Sie sind auf Seite 1von 36

LAPORAN KEGIATAN

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA JUWET KENONGO

PORONG - SIDOARJO

PENYUSUN

KELOMPOK 6

No. NAMA NPM

1. ChristinEnglin W. Liu 05700014


2. Sisilia Chandra 07700065
3. Yanuarius A. S. Raimanus 08700175
4. Debi Setiawan 08700183
5. Yohanes A. Santoso 08700255
6. Andre P. Ch. Dopo 08700268

Pembimbing :
dr. Sugiharto, M.Kes (MARS)

BagianIlmuKesehatanMasyarakat
FakultasKedokteran
UniversitasWijayaKusuma Surabaya
SURABAYA
2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA

PUSKESMAS PORONG, DESA JUWET KENONGO, KECAMATAN PORONG,

SIDOARJO

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KEGIATAN

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

DI DESA JUWET KENONGO

Laporan kegiatan pemberdayaan masyarakat ini sebagai salah satu prasyarat untuk dapat

Mengikutin ujian profesi dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma

Disetujui :

Hari :

Tanggal :

Porong, 11 April 2015

Mengetahui,

Kepala Puskesmas Porong Kepala Desa Juwet

Kenongo

dr. Esti Handayani

(............................................)
NIP. 19620224 198912 2 001

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT, sehingga kami bisa
menyelesaikan penyusunan "LAPORAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DESA JUWET KENONGO KECAMATAN PORONG KABUPATEN
SIDOARJO BULAN APRIL 2015" Pada kesempatan ini tidak lupa kami kami ucapkan
terima kasih atas segala bimbingan dan bantuannya yang tak ternilai kepada pihak-pihak
sebagai berikut :
1. Prof. DR. Sri Harmadji, Sp.THT-KL (K), selaku Rektor Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
2. Prof. Soedarto,dr., DTM & H., PHD., spPark. Selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma
3. Prof.DR.Rika Subarniati T,dr.SKM selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
4. dr. Ayu C. Noviana. selaku koordinator Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
5. Sugiharto,dr,M.Kes (MARS) selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo beserta staf dan jajarannya.
7. dr. Esti Handayani, selaku Kepala Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo beserta staf.
8. dr. Anis Mahmudah Lestari selaku pembimbing di Pukesmas Porong.
9. Bpk. H. Totok Indarto, S.Kep., Ns.
10. Kepala Desa Juwet Kenongo beserta staf dan jajarannya.
11. Bidan Desa Juwet Kenongo
12. Rekan - rekan Dokter Muda yang terlah membantu menyelesaikan penelitian ini.
13. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan penelitian ini.

Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan laporan konsep penyelesaian masalah.
Akhirnya, sebagai harapan dari kami semoga laporan konsep penyelesaian masalah
dalam rangka kegiatan kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan masyarakat ini dapat
memberikan manfaat bagi kami dan pembaca semua. Amin.

Surabaya, April
2015

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.Pemerintah berusaha untuk mewujudkan suatu kondisi

lingkungan yang berkualitas melalui upaya kesehatan lingkungan agar kualitas

lingkungan secara fisik, kimia, biologi maupun sosial dapat memungkinkan setiap

orang untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda

(double burden).Penyakit infeksi dan menular masih memerlukan perhatian besar, di

samping itu terjadi peningkatan kejadian pada penyakit tidak menular. Adanya

ancaman penyakit-penyakit baru (New Emerging Infectious Disease) yang muncul

sebagai pandemi di seluruh dunia, penyakit lama yang muncul kembali (Re-emerging

Infectious Disease) dan penyakit yang ada saat ini (Emerging Infectious Disease)

terus menjadi ancaman bagi penduduk Indonesia(1).

Demam Tifoid masih menjadi permasalahan di berbagai negara seperti di

Afrika, Amerika, Asia termasuk Indonesia(2.4). Demam Tifoid sangat erat

hubungannya dengan higiene perorangan yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang

jelek (seperti penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan sampah dan

kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan, pengawasan makanan dan

minuman yang tidak sempurna) serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh

sebagian besar masyarakat(5). Kondisi seperti ini dapat menyebabkan menurunnya


kualitas hidup.Demam Tifoid merupakan penyakit menular yang dapat menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut pada manusia yang

disebabkan oleh bakteri S. typhi dengan tanda-tanda demam, roseole, splenomegali,

intestinal limphadenophati dan disertai komplikasi intestinal seperti perdarahan usus

dan komplikasi non intestinal berupa komplikasi paru, komplikasi

kardiovaskuler(367). Masuknya bakteri S. typhi ke dalam tubuh melalui mulut

merupakan fakta yang tidak dapat dibantah kebenarannya(5). Bakteri masuk melalui

makanan atau minuman yang dikonsumsi.

Selama masa inkubasi banyak keluhan penderita yang dirasakan seperti rasa

lelah, kepala pusing, anoreksia, mual, muntah, tidak enak badan, batuk.Keluhan ini

berkembang sesuai dengan progresivitas penyakit. Gejala-gejala Demam Tifoid

hampir sama dengan penyakit Demam Berdarah Dengue yaitu ditandai dengan

demam yang tinggi mencapai di atas 38oC khususnya pada malam hari, tetapi pada

Demam Tifoid panas akan turun pada pagi hari. Keluhan dan gejala lain yang terjadi

adalah konstipasi dan atau diare yang terjadi pada sepertiga penderita Demam

Tifoid(8).

Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman

S. typhi dari tinja dan urine penderita atau carier.Di beberapa negara pencemaran

terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar,

buah-buahan dan sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia.Lalat

dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari

tinja ke makanan. Di dalam makanan mikrorganisme berkembang biak

memperbanyak diri mencapai dosis infektif.


Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama

disadari, bahkan telah lama disinyalir lingkungan berperan dalam meningkatkan

derajat kesehatan(14). Penyakit sebagian besar dikaitkan dengan adanya hubungan

interaktif antara kehidupan manusia dengan bahan, kekuatan atau zat yang tidak

dikehendaki yang datang dari luar tubuh(15). Demam tifoid berhubungan erat dengan

kondisi perumahan yang jelek, makanan yang kurang bersih serta higiene perorangan

yang tidak adekuat(16). Kualitas air, sistim pembuangan air limbah, lantai rumah

mempunyai peranan dalam penularan Demam Tifoid.

Perilaku perorangan dan kebersihan lingkungan yang tidak baik diduga

mempunyai peranan dalam penyebaran penyakit Demam Tifoid, seperti kebiasaan

tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, kebiasaan menutup

makanan/minuman, kebiasaan jajan, kondisi sanitasi rumah yang tidak baik.

Penanganan yang tepat dan komprehensif akan dapat memberikan

kesembuhan terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun

perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang tepat

agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien dengan Demam Tifoid.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana cara dalam mencegah dan menanggulangi Demam Tifoid?

C. Tujuan

1. Tujuan umum
Untuk dapat menurunkan angka kejadian dan menanggulangi Demam Tifoid, serta

mencegah berulangnya insiden tersebut, dengan cara mengadakan penyuluhan serta

pelatihan bagi masyarakat di daerah sekitar Puskesmas Porong.

2. Tujuan khusus

a. Menurunkan angka morbiditas akibat demam tifoid di daerah sekitar

Puskesmas Porong.

b. Mengadakan penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat sekitar daerah

Puskesmas Porong.

c. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

sanitasi lingkungan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Demam Tifoid

1. Definisi

Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut

yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari

satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhosa mempunyai sekurang-

kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatic, terdiri zat kompleks

lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum pasien

terdapat zat anti (agglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut (Ngastiyah,

1997).

a. Distribusi penyakit

1) Geografi dan musim

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya

tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di

negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.Hal ini disebabkan

karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan

individu kurang baik.Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan

sepanjang tahun.Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan

antara musim dan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada

yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula

yang mendapatkan peningkatan pada peralihan antara musim kemarau

dan musim hujan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di


Semarang tercatat bahwa angka kejadian tertinggi demam tifoid yang

diikuti dengan curah hujan yang tinggi adalah 43,8% (Rahmawati,

2010).

2) Jenis kelamin

Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid

pada pria dan wanita.Berdasarkan jenis kelamin hasil didapatkan kasus

demam tifoid terjadi lebih banyak pada laki-laki 52,7% daripada

perempuan 47,3% (Rahmawati, 2010).

3) Umur

Di daerah endemik demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan

pada anakanak.Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang

sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien yang berumur

12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30

tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5- 10% di atas 40

tahun (Juwono, 1996). Kelompok umur 0 sampai 10 tahun merupakan

kelompok umur dengan kejadian demam tifoid terbanyak (74 kasus

:43,8%) sedangkan jumlah penderita paling sedikit terdapat pada usia

lebih dari 60 tahun (Rahmawati, 2010).

4) Epidemiologi

Di Indonesia terdapat dalam keadaan endemik.Penderita anak

yang ditemukan biasanya berumur di atas satu tahun.Sebagian besar

dari penderita (80%) yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FKUI-RSCM Jakarta berumur di atas 5 tahun (Anonim, 1985).

Salmonella Typhi merupakan penyebab dari demam tifoid manusia

pada daerah endemik dengan kondisi air dan sanitasi lingkungan yang
buruk.Salmonella Typhi menyebabkan lebih dari 25 juta terinfeksi di

seluruh dunia, tercatat kira-kira 200.000 kematian tiap tahun (Ngan et

al., 2010).

5) Pathogenesis dan patofisiologi

Kuman S.typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar.Sebagian kuman dimusnahkan oleh

asam lambung.Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai

jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami

hipertrofi.Pada tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi

intestinal dapat terjadi.Kuman S.typhi kemudian menembus ke lamina

propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,

yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar

limfe ini S,typhi masuk aliran darah melalui ductus thoraticus. Demam

pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang

sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang

meradang.

B. Pengobatan

Pengobatan demam tifoid terdiri dari 3 bagian yaitu:

1. Perawatan

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan

pengobatan.Pasien harus tirah baring absolute sampai minimal 7 hari bebas

demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk

mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.Mobilisasi

pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.Dalam

perawatan perlu dijaga hygiene perseorangan, kebersihan, tempat tidur,pakaian


dan peralatan yang dipakai oleh pasien.Pasien dengan kesadaran menurun,

posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia

hipostatik.Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang

terjadi obstipasi dan retensi urin (Mansjoer et al., 2001).

2. Diet

Pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa

(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien

demam tifoid.Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka

selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri

apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah

selulosa.

3. Obat

Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan ialah:

a. Kloramfenikol

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama

untuk demam tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan

demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4

kali 500 mg sehari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas

demam.Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuscular tidak dianjurkan

karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa

nyeri.Dengan penggunaan kloramfenilkol, demam pada demam tifoid turun

rata-rata setelah 5 hari. Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam

pengobatan demam tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (53,55%) masih

merupakan antibiotika pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak

disamping obat tersebut relatif murah (Hadisaputro, 1990).


b. Tiamfenikol

Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan

kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih

jarang dari pada kloramfenikol.Demam pada pasien demam tifoid turun

setelah rata-rata 5-6 hari menggunakan tiamfenikol.

c. Ko-trimolsazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol)

Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.

Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari

bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg

sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun

rata-rata setelah 5-6 hari.

d. Ampisilin dan Amoksisilin

Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.

Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari

bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg

sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun

rata-rata setelah 5-6 hari.Berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari,

digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan ampisilin dan amoksisilin

demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.

e. Sefalosporin Generasi Ketiga

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga

antara lain sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam

tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan
pasti. Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatandemam tifoid anak yakni

seftriakson (26,92%) dan sefiksim (2,19%) (Musnelina et al., 2004).

f. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama

pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti (Juwono, 1996).

C. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang

tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga

melibatkan terapi obat dan berpotensi bertentangan terhadap hasil yang diinginkan

pasien. Drug Related Problems (DRPs) sering juga disebut Drugs Therapy Problems

atau masalah-masalah yang berhubungan dengan obat.Drug Related Problems (DRPs)

terdiri dari actual DRPs, yaitu masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi

yang sedang diberikan pada penderita dan potensial DRPs, yaitu masalah yang

diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada

penderita (Cipolle at al., 1998). Beberapa masalah dalam kajian DRPs dapat

ditunjukkan oleh kemungkinan penyebab DRPs di bawah ini :

1. Permasalahan Terapi

a. Butuh Obat (need for additional drug)

1) Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang baru.

2) Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat.

3) Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi

farmakoterapi untuk mencapai efek sinergi/potensi.


4) Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat

dicegah dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau

premedication.

b. Tidak Perlu Obat (unnecessary drug)

1) Pasien yang mendapat pengobatan yang tidak tepat indikasi pada

saat itu.

2) Pasien yang sengaja atau tidak disengaja toksik karena obat atau

hasil pengobatan dalam keadaan sakit.

3) Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alcohol, rokok.

4) Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan

non drug therapy.

5) Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single

drug therapy dapat digunakan.

6) ) Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat menghindari

reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya.

2. Permasalahan Dosis

Dosis lazim obat umumnya dianggap sesuai untuk individu berbobot

70 Kg (154 pon).Rasio antara jumlah obat yang diberikan dan ukuran tubuh

mempengaruhi konsentrasi obat di tempat kerjanya.Perhitungan dosis

berdasarkan bobot pada pasien anak menggunakan hukum Clark, yaitu dengan

mengalikan jumlah bobot dosis dengan bobot badan pasien (Ansel, 2004).

Hukum Clark:

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝐾𝑔)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑛𝑎𝑘 = 𝑥𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
70
Permasalahan dosis meliputi:

a. Dosis kurang (inadequate dosage)

1) Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

2) Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single

drug dapat memberikan pengobatan yang tepat.

3) Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon.

4) Konsentrasi obat dalam serum pasien dibawah range terapeutik yang

diharapkan.

5) Waktu prophylaxis (pre-surgical) antibiotic diberikan terlalu cepat.

6) Dosis dan flexibility tidak tepat untuk pasien.

7) Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup pasien.

b. Dosis lebih (over dosage)

1) Dosis terlalu tinggi.

2) Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas terapeutik range obat yang

diharapkan.

3) Dosis obat meningkat terlalu cepat.

4) Dosis obat, rute perubahan formulasi yang tidak tepat.

5) Dosis dan interval flexibility tidak tepat (Cipolle at al., 1998).

D. Farmakoekonomi

Farmakoekonomi didefinisikan sebagai sistem pendeskripsian dan analisis

tentang harga obat yang digunakan untuk terapi kesehatan.Lebih khususnya

farmakoekonomi diartikan sebagai sistem yang terdiri dari identifikasi, pengukuran

dan pembandingan dari harga, resiko, keuntungan program atau pelayanan dengan
memilih alternatif produk yang lebih efektif dan efisien dari berbagai perspektif

(Dipiro, 1993).Untuk beberapa praktisi sistem ini dapat digunakan untuk memilih

produk obat yang tepat sehingga didapat hasil yang optimal dengan pengeluaran biaya

yang rendah.

Dari definisi diatas farmakoekonomi tidak lepas dari beberapa acuan dalam

pengambilan keputusan penyediaan obat, yaitu:

1. Perspektif pasien

Pasien perspektif merupakan faktor tertinggi dalam pengambian

keputusan, karena pasien adalah konsumen pasti dalam pelayanan

kesehatan.Biaya untuk perspektif pasien dikeluarkan untuk pembelian obat

dan layanan, dengan catatan tidak didukung dengan asuransi.Konsekuensi

yang didapat adalah efek klinik terhadap pasien baik itu positif ataupun

negatif dari program pelayanan yang dipilih.

2. Perspektif penyedia

Biaya bila dilihat dari perspektif penyedia bersifat langsung dan

tercatat, dengan tanpa melihat siapa penyedia tersebut.Penyedia bisa saja

rumah sakit, Manage-care organizations (MCOs), ataupun lembaga

kesehatan swasta.Dari perspektif ini biaya langsung seperti pembelian

obat, pembayaran layanan perawatan di rumah sakit, tes laboratorium,

masukan dan pengeluaran selama perawatan bisa diidentifikasi, diukur dan

dibandingkan.

3. Perspektif pembayar

Pembayar disini termasuk instansi asuransi, pekerja ataupun

pemerintah.Dari perspektif ini biaya ditanggung atau dibayar kembali oleh

pembayar.
4. Perspektif masyarakat

Perspektif ini sangat luas cakupannya karena dalam pengambilan

keputusan akan mempengaruhi keuntungan atau kerugian pada masyarakat

secara keseluruhan. Secara teori, biaya tidak langsung dan biaya langsung

sudah masuk cakupan dari perspektif ini.Biaya dari perspektif ini

mencakup semua biaya kesehatan dan kematian, semua biaya pemberian

dan penerimaan layanan kesehatan.

E. Aspek Pencegahan dan Pengendalian Tifoid

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik

berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula.Kedua ungkapan ini berlaku juga

untuk tifoid, dimana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa risiko yang

membahayakan.Bila pengobatan tifiod terlaksana dengan sempurna, maka dapat

mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat.Pencegahan

adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh

basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan yakni:

1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid.

2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan.

3. Perlindungan dini agar tidak tertular.

Pengendalian adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat mengelola, mengatur dan

mengawasi, agar tifoid tidak bermasalah lagi bagi masyarakat.Seluruh tenaga

kesehatan baik dalam bidang kuratif, preventif atau kegiatan lai yang terkait,

sebenarnya adalah pengendali tifoid.

Beberapa kegiatan dalam aspek pencegahan dan pengendalian tifoid, antara lain:

1. Langkah-langkah stategis pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid.


Karier tifoid adalah seseorang yang selalu mengandung basil

Salmonella sehingaa menjadi sumber infeksi (penular) untuk orang lain.

Karier akan terjadi bila penderita tidak diobati atau pengobatan yang tidak

adekuat, atau ada faktor-faktor predisposisi pad apenderita sehingga basil

susah dimusnahkan dari tubuh. Dianggap karier bila hasil kultur feses atau

urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan disebut kronik bila basil

masih ada sampai 1 tahun atau lebih.

Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis demam tifoid

setelah 2 minggu masa penyembuhan.Relaps terjadi sehubungan dengan

pengobatan yang tidak adekuat, baik dosis atau lama pemberian

antibiotic.Relaps dapat timbul dengan gejala klinis lebih ringan atau lebih

berat.

Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan antimikroba yang

lazim dipakai.Resistensi timbul karena adanya perubahan atau mutasi genetika

kuman, tanpa perubahan pathogenesis dan virulensinya.Resistensi terhadap

kloramfenikol sering diambil sebagai standar penelitian karena obat ini adalah

obat yang menjadi pilihan utama untuk tifoid (drug of choice). Resistensi

makin berkembang dengan antimikroba lain seperti Ampisilin, Kotrimoksazol

dan Quinolone (Multi drug resistence Salmonella typhi / MDRST). Beberapa

faktor yang menunjang kejadian resistensi adalah:

a. Pemakaian antimokroba yang bebas oleh masyarakat.

b. Pemakaian antibiotik oleh dokter yang tanpa pedoman dan tanpa control.

c. Pilihan antibiotik lini pertama yang kurang tepat.

d. Dosis yang tidak tepat.

e. Lama pemberian yang kurang tepat.


f. Ada penyakit lain yang menurunkan imunitas, serta kelainan-kelainan

yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid.

2. Perbaikan sanitasi lingkungan

Salah satu usaha pemutus rantai penularan tifoid adalah usaha

perbaikan lingkungan.Usaha ini sangat mendasar, komplit, melibatkan banyak

pihak dan sector, serta merupakan bagian terpenting dalam upaya

pembangunan kesehatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi masalah

dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air minum, pengawasan

terhadap makanan dan air serta system pembuangan kotoran dan limbah,

beberapa usaha perbaikan sanitasi lingkungan adalah:

a. Penyediaan air bersih untuk seluruh warga. Penyediaan air yang aman,

khlorinasi, terlindung dan terawasi. Tidak tercemar oleh limbah dan

kotoran lain. Untuk air minum masyarakat membiasakan dengan memasak

sampai mendidi, kurang lebih selama 10 menit.

b. Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tidak

terkontaminasi oleh lalat dan serangga lain.

c. Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah harus benar sehingga tidak

mencemari lingkungan.

d. Control dan pengawasan terhadap kebersihan lingkungan, terlaksana

dengan baik dan berkesinambungan.

e. Membudayakan perilaku hidup bersih yang berlaku untuk seluruh lapisan

masyarakat.

3. Peningkatan Higiene Makanan dan Minuman

Transmisi utma basil Salmonella melalui air minum dan

makanan.Hygiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor


yang sangat penting dalam pencegahan. Beberapa hal dibawah ini merupakan

kegiatan yang sangat perlu dilaksanakan:

a. Perlu diingat “Golden rules of WHO” dalam promosi kebersihan

makanan:

1) Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi kesehatan.

2) Panaskan kembali secara benar makanan yang sadah dimasak.

3) Hindarkan kontak antara makanan mentah dengan yang sudah

dimasak.

4) Mencuci tangan dengan sabun.

5) Permukaan dapur dibersihkan dengan cermat.

6) Lindungi makanan dri serangga, binatang mengerta dan binatang

lainnya.

7) Gunakan air bersih atau air yang dibersihkan.

b. Menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan

penyajian makanan, sejak awal pengobatan, pendinginan sampai penyajian

untuk dimakan.

c. Mendorong penggunaan ASI untuk bayi, serta mendidihkan seluruh susu

dan air yang akan digunakan sebagai makanan bayi.

d. Memasak dan pasteurisasi susu serta produk lainnya, serta superfisi

terhadap sanitasi produknya.

e. Melaksanakan quality controle terhadap semua hasil pertanian yang

dimakan dan diminum.

f. Pengawasan terhadap restoran dan industry makanan.

g. Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat tentang tata cara hidup bersih

dan sehat, terutama kegiatan cuci tangan yang benar.


4. Peningkatan Higiene Perorangan

Peningkatan hygiene perorangan adalah pilar ketiga dari program

pencegahan yakni perlindungan diri terhadap penularan tifoid.Kegiatan ini

merupakan ciri berperilaku hidup sehat.Budaya cuci tangan yang benar adalah

kegiatan terpenting.Setiap tangan yang dipergunakan untuk memegang

makanan, maka tangan sudah harus bersih.Kegiatan ini sangat penting untuk

bayi, anak-anak, penyaji makanan di restoran atau warung serta orange-orang

yang merawat dan mengasuh anak.Setiap kontak dengan feses, urin atau dubur

maka harus cuci tanga pakai sabun dan kalau perlu dapat disikat.

5. Pencegahan dengan Imunisasi.

Sampai saat ini vaksin tifoid baru diprioritaskan untuk traveler, tenaga

laboratorium mikrobiologis dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restora-

restoran.Namun mengingat perangai tifoid dengan morbiditas cukup tinggi,

vaksinasi terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak

anak-anak, setelah mereka mengenal jajanan yang tidak terjamin

kebersihannya.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yaitu:

a. Vaksin oral Ty 21aVivotif Berna

Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.daya proteksi

dilaporkan, ada yang mencapai 10% dan sayangnya di Indonesia hanya 36-

66%. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam

seminggu, 1 jam sebelum makan.Vaksin ini dikontraindikasikan pada

wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam,


sedang minum antibiotik dan anak < 6 tahun. Lama proteksi dilaporkan 5

tahun.

b. Vaksin Parenteral sel utuh: Typa Bio Farma.

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan

mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dikenal 2

jenis vaksin yaitu K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in

activated- Phenol preserved). Daya proteksi K vaccine adalah 79-89% dan

L vaccine adalah 51-66%. Dosis untuk dewasa adalah 0,5 ml; anak 6-12

tahun adalah 0,25 ml; anak 1-5 tahun adalah 0,1 ml. Diberikan 2 dosis

dengan interval 4 minggu. Efek samping yang dilaporkan adalah demam,

nyeri kepala, lesu dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.Vaksin

ini dikontraindikasikan pada keadaan demam, hamil dan riwayat demam

pada pemberian pertama.

c. Vaksin Polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari basil Salmonella.

Mempunyai daya proteksi 60-70% pada orang dewasa dan anak diatas 5

tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 ml yang berisi 25

mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonic. Vaksin diberikan secara

intramuskuler dan booster setiap 3 tahun.Vaksin ini dikontraindikasikan

pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak < 2

tahun.
BAB III

KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

DESA JUWET KENONGO

Tanggal : 11 April 2015

Waktu : 08.30 - Selesai WIB

Tempat : Desa Juwet Kenongo

Topik : Tifoid

Peserta : Warga Desa Juwet Kenongo

Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa juwet kenongo di bagi menjadi

3 tahap, yaitu :

1. Tahap Perkenalan Dan Penggalian Pengetahuan Peserta.

Setelah memberi salam dan perkenalan pemateri terlebih dahulu

menyampaikan maksud dan tujuan diberikan penyuluhan sebelum materi

disampaikan. Kemudian pemateri memberi pertanyaan pembuka untuk mengetahui

tingkat pengetahuan peserta ( tanya jawab ) tentang materi yang akan di berikan.

Pertanyaan yang diberikan sebagai berikut

a. Adakah yang mengerti tentang penyakit tifus ?

b. Bagaimana cara mengobati penyakit tifus ?

Adanya peserta yang menjawab pertanyaan pemateri dengan benar dan ada

peserta yang tidak paham. Setelah itu pemateri menyajikan penyuluhan tentang

penyakit dan bahayanya tifus.

2. Tahap Penyajian Materi


Penyajian materi sesuai dengan prosedur dan bahasa yang mudah di mengerti

oleh pendengar di desa juwet kenongo. Di sela - sela materi yang disampaikan,

pemateri memberikan sesi tanya jawab bila pendengar tidak mengerti.

3. Evaluasi

a. Evaluasi Struktur

Pemberi materi datang sebelum waktu yang di tetapkan untuk mempersiapkan

sarana dan prasarana untuk kegiatan penyuluhan. Semua peserta datang tepat waktu.

Penyuluhan dimulai setelah warga desa kenongo berkumpul di posyandu. Dengan

pembagian sabun cuci tangan. Setelah itu di lanjutkan dengan penyuluhan sampai

selesai

b. Evaluasi Proses

Peserta yang hadir sekitar 5 Anak - anak, 12 Ibu berseta balita, 3 kepala

keluarga. Pelaksanaan penyuluhan berjalan dengan baik karena warga ingin

mengetahui tentang penting nya kebersihan diri dan bahayanya penyakit tifus

c. Evaluasi Hasil.

Lebih dari 80% dari peserta yang hadir mampu menjawab tentang materi yang

di sampaikan. Hal ini membuktikan bahwa peserta memperhatikan materi yang

disampaikan
BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS

Desa juwet kenongo terletak di kecamatan porong, kabupaten sidoarjo yang

berjarak 4 km dari puskesmas porong. Desa ini perempuan banyak bekerja sebagai

ibu rumah tangga, beberapa warga laki - laki banyak yg bekerja sebagai pegawai

swasta.

Sumber daya desa yang dapat di indentifikasi sebagai modal kekuatan untuk

mengatasi masalah adalah sebagai berikut :

1. Posyandu yang aktif dengan ketersediaan tenaga kader 19 orang

2. Lokasi pemukiman warga desa berada dalam area yang berdekatan sehingga

memudahkan mobilisasi kegiatan

3. Fasilitas desa sederhana untuk sentralisasi kegiatan guna mengatasi masalah

4. Sistem pelayanan yang di koordinir puskesmas porong selama ini berjalan lancar,

termasuk penyediaan tenaga dokter dan bidan desa

Untuk mendalami analisa umum di atas, digunakan pendekatan Diagram

Fishbone. Cara ini sering juga disebut Cause and Effect Diagram atau Ishikawa

Diagram diperkenalkan oleh dr. Kaoru Ishikawa, seorang ahli pengendalian kualitas

dari jepang, sebagai satu dari tujuh alat kualitas dasar ( 7 basic quality tools )

Diagram Fishbone digunakan ketika ingin mengindentifikasi kemungkinan

penyebab masalah. Suatu tindakan dan langkah Improvement akan lebih mudah

dilakukan jika masalah dan akar penyebab masalah sudah ditemukan. Manfaat dari

diagram ini dapat menolong untuk menemukan akar penyebab masalah


Dalam diagram Fishbone penyebab biasanya berupa suatu permasalahan yang

akan di perbaiki dan permasalahan tersebut ditemukan pada " kepala ikan ". Penyebab

dari masalah kemudia diletakkan sepanjang " tulang " dan di klarisifikasi ke dalam

tipe berbeda sepanjang cabang, Penyebab masalah berikutnya ditempatkan di samping

cabang yang lain.

Berikut ini disajikan diagram Fishbone untuk mengurai permasalahan sanitasi

lingkungan pada desa juwet kenongo ;

Method Material MAN

Kurangnya Kebersihan Diri


Kesadaran dalam
Menjaga
Kebersihan Diri Masyarakat Desa
Kebersihan Juwet Kenongo
Kurang Lingkungan
Sadarnya
Membuang
Sampah Pada
Tempatnya

Sanitasi
Lingkungan

Kurangnya Melakukan Cuci


Ketersediaan Tangan sebelum dan
Air bersih sesudah melakukan
kegiatan

ENVIRONMENT
MANAGEMENT

B. Pembahasan

1. Karekteristik Sumber Informasi


Sumber informan adalah warga desa juwet kenongo,bahwa masyarakat desa

juwet kenongo masi kurang akan sadarnya kebersihan diri

2. Karakteristik Sumber Informasi Kunci

Semua informan adalah kader - kader desa yang mengikuti pelatihan

kebersihan diri dan kebersihan lingkungan yang di selenggarakan oleh tenaga dokter

umum dari puskesmas porong. Semua informan terlibat dalam pengorganisasian

dalam warga setempat

3. Karakteristik Sanitasi Lingkungan

Sebagian besar kontak penyakit terhadap penderita dikarenakan kurangnya

kebersihan diri dalam melakukan segala hal

4. Kausa

Permasalahan yang dikemukakan di atas dapat digarih-bawahi penyebanya

dikarenakan kurangnya kesadaran diri dalam kebersihan lingkungan sekitarnya

sehingga menimbulkan:

a.Masyarakat mudah terjangkit penyakit

5. Kausa Alternatif

Pemecahan masalah yang akan dikedepankan adalah progam sanitasi

lingkungan yang bersih dan sehat dengan pendektan strategi sesuai progam - progam

yang ada
BAB V

RENCANA PROGAM

A. Pra - Progam

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah proses atau upaya

memampukan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi

kesehatan masyarakat. Dalam hal kebutuhan masyarakat di desa juwet kenongo,

pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk mengatasi sanitasi lingkungan yang

masih kurang bersih. Tujuan pemberdayaan masyarakat dalam hal kebutuhan di desa

juwet kenongo pada kegiatan ini adalah:

1. Memampukan warga untuk hidup sehat

2. Menjaga lingkungan mereka menjadi lingkungan yang sehat

3. Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk menjaga sanitasi lingkungan mereka

B. Strategi Pemberdayaan

Langkah - langkah yang diperlukan dalam strategi implementasi

pemberdayaan warga masyarakat di desa juwet kenongo, terkait masalah sanitasi

lingkungan adalah sebagai berikut :

1.Merumuskan kendala - kendala internal maupun eksternal guna memperoleh

pendekatan yang efektif dan antisipatif untuk pelaksanaan progam pos sanitasi

lingkungan

2.menentukan bentuk - bentuk kemitraan di antara warga masyarakat untuk

memenuhi sanitasi yang ditargetkan untuk warga juwet kenongo

3. Perumusan model monitoring dan evaluasi dari progam sanitasi lingkungan yang

melibatkan semua pihak di dalam masyarakat desa juwet kenongo


Berikut adalah uraian strategi implementasi dari tahap pemberdayaan

masyarakat di desa juwet kenongo untuk mengatasi sanitasi lingkungan yang

kurang bersih

Instrumen Tujuan Sasaran Keluaran Pelaksanaan


Kegiantan
Penyadaran 1. Membuka 1.Warga Komitmen Pertemuan
wawasan masyarakat juwet tokoh forum warga
tentang kenongo masyarakat tanggal 7
pentingnya 2. Pengurus dan warga April 2015
sanitasi organisasi desa untuk bertempat
lingkungan bersama - dibalai desa
yang di pantau sama juwet
di posyandu mendukung konongo
2. Membentuk progam
paradigma sanitasi
bahwa proses lingkungan
sanitasi yang bersih
lingkungan dan sehat
yang bersih
menjadi
tanggung jawab
semua pihak
Capacity 1. Memberikan 1. Kader 1. Kader 1.Pelatihan
penyegaran, kesehatan desa Kesehatan penguatan
Building pengetahuan juwet kenongo desa juwet kapasiatas
dan informasi 2. Remaja karang kenongo kader
bagi tenaga taruna dengan posyandu
kader kesehatan kapasitas 2. Pelatihan
posyandu pengetahuan taruna
terkait teknis pendukung
pemantauan sanitasi
dan pemberi lingkungan
KIE yang bersih
dan sehat
Tanggal 7
April 2015 di
balai desa
juwet kenongo
Pendayaan 1. Melaksankan 1.Anak - anak 1. Perbaikan 1.Kinerja yang
kegiatan di desa berjumlah 5 sanitasi baik harusnya
juwet kenongo " orang lingkungan dilakukan 1
Sanitasi 2. Ibu dan 2. Diadakan bulan 1x
Lingkungan balitanya forum untuk
yang bersih dan berjuamlah 12 bersama mengevaluasi
sehat " orang warga dan kegiatan
2.Melaksanakan 3. Laki - laki tokoh desa masyarakat.
forum warga berjumlah 3 2. Pertemuan
untuk orang warga untuk
mengevaluasi 4. Tokoh progam
keberlanjutan masyarakat,kader sanitasi
progam sanitasi desa,bidan lingkungan
lingkungan desa,petugas
yang bersih dan kesehatan
sehat

C. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

1. Menumbuhkan potensi masyarakat

2. Kontribusi masyarakat dalam pembangunan kesehatan

3. Mengembangkan gotong royong

4. Bekerja bersama masyarakat

5. KIE berbasis masyarakat dan ormas lainnya

D. Proses Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan.

Inti progam yang akan dilaksanakan sebagai bentuk hasil pemberdayaan

masyarakat, untuk mengatasi masalah sanitasi lingkungan masyarakat di desa juwet

kenongo

Beberapa langkah dalam pelaksanaan meliputi tahap persiapan, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan pelatihan kepada

petugas kesehatan, melakukan koordinasi dengan pemerintah dan masyarakat

setempat, menentukan wilayah yang akan di bentuk. Wilayah yang dipilih adalah

wilayah yang memiliki sanitasi lingkungan paling buruk,melakukan analisa dengan

alat bantu keluarga yang banyak terserang tifoid.

Pos Sanitasi lingkungan dibentuk atas arahan dan bimbingan tenaga kesehatan

puskesmas porong. Lalu bersama kader, Lurah RT/RW dan tokoh masyarakat

dikumpulkan guna menyepakati bersama strategi dan pendekatan implementasi

progam. Terutama penghimpuhan bantuan untuk memenuhi kebutuhan progam sesuai

dengan daftar keperluan yang disepakati bersama. Kebutuhan tersebut meliputi dana,
peralatan dan fasilitas progam dan penunjang untuk kelangsungan sistem jangka

panjang.
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa juwet kenongo ini

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1.Sanitasi lingkungan di posyandu desa juwet kenongo pada bulan maret 2015

didapatkan masalah yaitu beberapa anak di desa juwet kenongo terjangkit penyakit

tifoid

2. Dari proses penelusuran akar masalah yang dilaksanaan melalui pendekatan dan

wawancara dengan inforoman kunci yakni kader desa juwet kenongo

3. Berdasarkan kebutuhan warga masyarakat desa juwet kenongo untuk mengatasi

masalah sanitasi lingkungan maka di perlukan pemberdayaan masyarakat

4. Keluaran dari target progam sanitasi lingkungan di desa juwet kenongo adalah

tercapainya perubahan lingkungan di desa juwet kenongo

5. Monitoring dan evaluasi progam sanitasi lingkungan untuk dapat dilaksanakan

secara menyeluruh.

B. Saran

Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat ini hendaknya dapat dimanfaatkan

sebagai contoh untuk mengatasi suatu masalah yang ada di desa juwet kenongo.

Secara khusus pada masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan di desa.

Di sisi lain, diharapkan warga desa juwet kenongo dapat memberikan perhatian pada

semua kelompok umur anak dan remaja. Termasuk pembentukan kader - kader muda

di bidang kesehatan dan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat ini dapat


menciptakan hubungan yang harmonis di antara seluruh warga an generasi guna

membentuk suatu kelompok masyarakat yang mandiri dan berdaya


DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1985, Demam Tifoid, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta


2. Arif Mansjoer. et. al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Agustin Dwi Rahmawati, 2010. Analisis Spasiotemporal Kasus Demam Tifoid di Kota
Semarang. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
4. Cipolle, Strand, Morley. 1998. Pharmaceutical Practice. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1999). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I, Edisi 3, FKUI, Jakarta, hal 425-426.
6. Hadisaputro, S. 1990. Beberapa Faktor yang Memberi Pengaruh Terhadap Kejadian
Perdarahan dan atau Perforasi Ususpada Demam Tifoid. Jakarta: Direktorat
pembinaan penelitian pada masyarakat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
7. Juwono, R..Ilmu Penyakit Dalam. 1996, Jakarta: FKUI
8. KMK No. 364 ttg Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.pdf,
www.hukor.depkes.go.id, diakses pada 1 April 2015.
9. Martina B E E et al. Clin. Microbiol. Rev. 2009;22:564-581
10. Musnelina L, Afdhal AF, Gani A, Andayani P. Pola Pemberian Antibiotika
Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-
2002. Makara 2004; 8(1): 27-31.
11. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit; editor, Setiawan. Jakarta: EGC
12. WHO, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003,Geneva:
Department of Vaccines and Biologicals.
LAMPIRAN

DOKUMENTASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

DESA JUWET KENONGO

Foto bersama dokter muda, bidan kesehatan, kader desa juwet kenongo

Das könnte Ihnen auch gefallen