Sie sind auf Seite 1von 104

FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR

DI KOTA BOGOR

RIKSA ADITYA PRAMUDITA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT

RIKSA ADITYA PRAMUDITA. Risk Factor of Obesity at Elementary School


Children in Bogor. Supervised by FAISAL ANWAR and SRI ANNA MARLIYATI.

The purpose of this study was to find out the influence of food
consumption pattern, physical activity, heredity, infant feeding history, and
dominant risk factors on obesity in elementary school children in Bogor. The
observation was held between May and September 2011 at Insan Kamil
Elementary School. The samples for this study were 80 students of 9 – 11 years
old (40 obese students and 40 normal students) selected from grades IV and V
by random sampling technique. Food consumption pattern, physical activity,
parents nutritional status, and infant feeding history of the students were
identified and measured by using questionnaire and interview technique. The
obtained data then was analyzed by using bivariate and multivariate (logistic
regression) statistics tests. The results of study showed that there were
significant influences of birth weight (r = 0.253, p = 0.023), father nutritional status
(r = 0.408, p = 0.000), energy adequacy level (r = 0.557, p = 0.000), fat
consumption (r = 0.458, p = 0.000), soft drink consumption frequency (r = 0.314,
p = 0.005), fast food consumption frequency (r = 0.311, p = 0.005), fatty food
consumption frequency (r = 0.469, p = 0.000), playing time (r = -0.271, p =
0.015), on obesity of children. The result of logistic regression test showed that
dominant and influential variables on the obesity were father nutritional status
(OR = 1.494), mother nutritional status (OR = 1.446), energy adequacy level (OR
= 1.073), fast food consumption frequency (OR = 4.028), and fatty food
consumption frequency (OR = 9.071).

Keywords: risk factor, obesity, elementary school children


RINGKASAN

RIKSA ADITYA PRAMUDITA. Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
di Kota Bogor. Dibawah bimbingan Faisal Anwar dan Sri Anna Marliyati.

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko
obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mempelajari
karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah dasar obes di Kota
Bogor, 2) mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah
dasar obes di Kota Bogor, 3) mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar
obes di Kota Bogor, 4) mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota
Bogor, dan 5) menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan obesitas.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Pengambilan
data dilakukan pada bulan Mei sampai September 2011. Penelitian dilakukan di
SD Insan Kamil yang berada di Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini adalah
anak SD kelas IV dan V yang memiliki status gizi obes dan normal. Status gizi
contoh ditetapkan berdasarkan IMT menurut umur standar WHO 2007. Penelitian
diawali dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak SD kelas IV dan
V yang diperkirakan mengalami obesitas di SD Insan Kamil Bogor. Jumlah
contoh dipilih berdasarkan kelengkapan pengisian kuesioner, yaitu 40 anak obes
dan 40 anak dengan status gizi normal.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer
yang dikumpulkan meliputi karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak,
berat badan, dan tinggi badan anak), karakteristik keluarga (berat badan dan
tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga,
pengetahuan gizi ibu), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu
formula, pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (konsumsi energi,
protein, lemak, konsumsi cemilan, frekuensi konsumsi sayur dan buah, frekuensi
konsumsi fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak),
dan aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game,
internet; dan bermain di luar rumah).
Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan injak dan
pengukuran tinggi badan anak menggunakan microtoise. Konsumsi pangan anak
diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 1x24 jam pada hari
libur dan food recall selama 1x24 jam pada hari sekolah. Data aktivitas fisik
diperoleh melalui metode pencatatan dan wawancara 2x24 jam, satu hari
sekolah dan satu hari libur. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah dan
data murid SD Insan Kamil Bogor (nama, kelas, dan nomor telepon).
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entri, dan analisis data.
Data dientri menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan SPSS
16.0 for windows. Data yang telah dikategorikan dianalisis secara deskriptif, uji
beda t-test dan Mann-Whitney U, analisis korelasi Pearson dan Spearman, dan
binary regresi logistik.
Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan
kisaran umur 9-11 tahun. Karakteristik anak menunjukkan sampel yang diambil
sebagian besar adalah laki-laki. Sebagian besar dari kelompok anak berstatus
gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal. Namun
persentase anak yang lahir dengan BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak
pada kelompok anak obes, yaitu 17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat
lebih dan 2,5% anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih.
Dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status
gizinya overweight (45%). Anak yang berstatus gizi normal sebagian besar
memiliki ayah yang berstatus gizi normal (62,5%). Sebagian besar anak yang
berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi
normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak
obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang
overweight.
Karaktersitik orang tua menunjukkan sebagian besar anak obes dan anak
berstatus gizi normal memiliki orang tua yang berpendidikan tinggi. Kelompok
anak obes, sebagian besar berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 5-
10 juta rupiah (42,5%) dan sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan
pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Sebanyak 72,5% anak obes
memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik.
Riwayat makan anak menunjukkan anak obes sebagian besar tidak
mendapatkan ASI eksklusif pada waktu bayinya (80%). Terdapat 57,5% anak
obes yang diberi susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan. Terdapat
50% anak obes yang diberikan makanan padat sebelum usia 6 bulan.
Asupan zat gizi anak menunjukkan rata-rata asupan energi anak obes
lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal, yaitu anak
berstatus gizi normal 2007 ± 403 kkal/kap/hari dan anak obes 2406 ± 388
kkal/kap/hari. Rata-rata asupan lemak anak obes lebih tinggi dibandingkan
dengan anak berstatus gizi normal, yaitu anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5
g/kap/hari dan anak obes 89,2 ± 19,9 g/kap/hari. Rata-rata asupan protein anak
obes lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yaitu anak
berstatus gizi normal 70,4 ± 22,8 g/kap/hari dan anak obes 67,4 ± 20,1
g/kap/hari. Sebanyak 52,5% anak obes dengan tingkat kecukupan energi lebih
dan 57,5% anak obes dengan tingkat kecukupan protein lebih. Kebiasaan makan
anak menunjukkan sebagian besar anak obes suka ngemil (87,5%). Terdapat
60% anak obes yang suka ngemil makanan ringan. Sebagian besar anak obes
yang mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu (45%) dan mengonsumsi buah 1-3
kali tiap minggu (55%). Sebagian besar anak obes mengonsumsi soft drink 4-6
kali tiap minggu (35%) dan hanya 7,5% anak berstatus gizi normal yang suka
mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu. Hampir separuh (45%) anak obes
yang mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu. Lebih dari separuh (67,5%)
anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu.
Aktivitas fisik anak menunjukkan sebanyak 77,5% anak obes yang
menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari, 85% anak obes
menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game,
dan internet dalam satu hari, dan 70% anak obes yang menghabiskan waktunya
bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari.
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berat lahir anak
(p=0,023; r=0,253), IMT ayah (p=0,000; r=0,408), tingkat kecukupan energi
(p=0,000; r=0,557), konsumsi lemak (p=0,000; r=0,458), frekuensi konsumsi soft
drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak
(p=0,000; r=0,469) dengan kejadian obesitas pada anak. Namun Terdapat
hubungan yang negatif dan signifikan antara lamanya waktu bermain di luar
rumah (p=0,015; r=-0,271) dengan kejadian obesitas pada anak. Faktor risiko
yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak
adalah IMT ayah (OR 1,494), IMT ibu (OR 1,446), TKE (OR 1,073), frekuensi
konsumsi fast food (OR 4,028), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR
9,071).
FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR
DI KOTA BOGOR

RIKSA ADITYA PRAMUDITA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul : Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor
Nama : Riksa Aditya Pramudita
NIM : I14070001

Disetujui :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si
NIP. 19520413 198103 1 003 NIP. 19600205 198903 2 002

Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus :
PRAKATA

Assalamua’alaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas karunia-
Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Perilaku Gizi pada
Anak Sekolah Dasar Obes di Kota Bogor” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Program Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku
pembimbing yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu dan
pikirannya, memberikan arahan, saran, kritikan, semangat, dan dorongan
untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen
penguji atas semua saran dan masukannya demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Yeni Awadipura, Nadia Svenskarin, Rizwana Syarifah, dan M. Azizul Hakim
Imaduddin selaku pembahas seminar.
4. Kepala Sekolah SD Insan Kamil Bogor, guru wali kelas 4 dan kelas 5, dan
para staf yang telah memberi izin dan bantuan selama penelitian.
5. Bapak dan Mamah yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang yang
tulus, memberikan semangat, tenaga, kehadiran, serta saran dan kritikan
dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah diberikan
baik dukungan moril maupun materi selama menempuh pendidikan. Aa
Rangga yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini
dan kedua adik penulis yaitu Reka dan Neng Roisa yang selalu mendoakan
dan memberikan semangatnya.
6. Rendy yang selalu memberi semangat, doa, bantuan, kehadiran, dan
dorongan kepada penulis hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Diana Lestari dan Nadya Bellatrix Paramaita yang telah membantu dalam
pengolahan data, memberikan saran, semangat, dan hadir dalam seminar.
8. Teman-teman S1 Mayor Ilmu Gizi angkatan 44 yang selalu memberikan
saran, doa, dan semangatnya kepada penulis.
9. Alhana teman sesama alumni SD, SMP, dan SMA Insan Kamil yang telah
membantu dalam pengambilan data.
10. Adik-adik murid SD Insan Kamil yang telah membantu, menemani, bersedia
diwawancarai, dan telah membantu kelancara penelitian.
11. Orang tua murid SD Insan Kamil yang telah bersedia mengisi kuesioner dan
membantu kelancaran penelitian.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, besar
harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya,
khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, Oktober 2011

Riksa Aditya Pramudita


RIWAYAT HIDUP

Riksa Aditya Pramudita dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 2


September 1989 dari pasangan Dr. Ir. H. Wawan Hermawan, MS. dan Dra. Hj.
Neneng Solihat. Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara.
Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Insan Kamil Bogor dan lulus pada
tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah
pertamanya di SMP Insan Kamil Bogor, lulus tahun 2005. Pendidikan menengah
atasnya ditempuh di SMA Insan Kamil Bogor dan lulus pada tahun 2007.
Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Mayor Ilmu Gizi,
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB melalui jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa, penulis merupakan anggota Himpunan
Mahasiswa Gizi (Himagi) 2008-2011 dan menjadi seksi dana usaha pada
Seminar Nasional Senzasional 2010. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi
(KKP) di Desa Ciadeg, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor pada bulan
Juni-Agusutus 2010. Kemudian pada 21 Februari 2011 – 11 Maret 2011 penulis
mengikuti Internship Dietetik (ID) di RSUD Ciawi Bogor.
iv

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................... 3
Kegunaan .......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 4
Obesitas........................................................ ..................................... 4
Karakteristik Anak ........................................................................ 4
Faktor Keturunan ......................................................................... 5
Karakteristik Keluarga .................................................................. 6
Riwayat Makan Anak ................................................................... 7
Kebiasaan Makan ........................................................................ 8
Aktivitas Fisik ............................................................................... 11
Penilaian Status Gizi.......................................................................... 14
Dampak Obesitas pada Anak ............................................................ 15
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 17
METODE ...................................................................................................... 19
Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................... 19
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................. 19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 20
Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 22
Definisi Operasional........................................................................... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 30
Gambaran Umum Sekolah ................................................................ 30
Karakteristik Anak .............................................................................. 31
Faktor Keturunan ............................................................................... 33
Karakteristik Keluarga ........................................................................ 35
Pendidikan Orang Tua ................................................................ 35
Pendapatan Keluarga ................................................................. 37
Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................. 38
v

Riwayat Makan Anak ......................................................................... 39


Pemberian ASI Eksklusif ............................................................ 39
Pemberian Susu Formula ........................................................... 40
Pemberian Makanan Padat ........................................................ 41
Kebiasaan Makan .............................................................................. 42
Asupan Zat Gizi .......................................................................... 42
Kebiasaan Konsumsi Camilan .................................................... 46
Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah ......................................... 48
Frekuensi Konsumsi Fast Food dan Soft Drink ........................... 50
Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak.................................... 51
Aktivitas Fisik ..................................................................................... 53
Waktu Tidur ................................................................................ 53
Waktu Menonton TV, Bermain Game, dan Internet .................... 54
Waktu Bermain di Luar ............................................................... 55
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas ............................ 57
Hubungan Karakteristik Anak dengan Obesitas.......................... 58
Hubungan Faktor Keturunan dengan Obesitas ........................... 58
Hubungan Riwayat Makan Anak dengan Obesitas ..................... 59
Hubungan Kebiasaan Makan Anak dengan Obesitas ................. 59
Hubungan Aktivitas Fisik Anak dengan Obesitas ........................ 61
Faktor Risiko Obesitas................................................................ 62
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 66
Kesimpulan ........................................................................................ 66
Saran ................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 68
LAMPIRAN..................................................................................................... 71
vi

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kategori status gizi anak berdasarkan IMT/U .......................................... 14
2. Klasifikasi IMT menurut WHO .................................................................. 15
3. Jenis dan cara pengumpulan data ........................................................... 22
4. Pengkategorian variabel penelitian .......................................................... 24
5. Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir .............. 32
6. Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan ........................................... 33
7. Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu ................. 34
8. Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua.................................... 36
9. Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga ................................... 37
10. Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga ............... 37
11. Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu .................................... 38
12. Sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak ..................................... 39
13. Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak per kapita per hari.............. 43
14. Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein........... 44
15. Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak ................................ 45
16. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil ......................................... 46
17. Sebaran anak berdasarkan jenis camilan ................................................ 47
18. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah ............. 49
19. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dan fast food .. 50
20. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak ....... 51
21. Sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan ........................................... 53
22. Hubungan antara karaktersitik anak dengan obesitas.............................. 57
23. Hubungan antara faktor keturunan dengan obesitas ............................... 58
24. Hubungan antara riwayat makan anak dengan obesitas.......................... 59
25. Hubungan antara kebiasaan makan anak dengan obesitas..................... 59
26. Hubungan antara aktivitas fisik anak dengan obesitas............................. 62
27. Faktor risiko obesitas pada anak ............................................................. 63
vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kerangka pemikiran yang berhubungan dengan obesitas pada anak
Sekolah Dasar di Kota Bogor................................................................... 18
viii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuesioner ................................................................................................ 72
2. Jumlah kelas dan murid SD Insan Kamil Bogor ....................................... 83
3. Data jenis kelamin, umur, BB, TB, Z-score IMT/U .................................... 84
4. Data rata-rata asupan energi, protein, dan lemak .................................... 86
5. Hasil uji beda t-test dan Mann-Whitney U ................................................ 88
6. Hasil uji korelasi pearson dan spearman antara variabel ......................... 89
7. Hasil uji Regresi Logistik.......................................................................... 90
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional khususnya dalam bidang gizi dan
kesehatan, beberapa tahun belakangan ini berdampak baik bagi penurunan
jumlah penderita kasus gizi kurang di Indonesia dan dunia. Namun keberhasilan
tersebut diikuti oleh peningkatan prevalensi gizi lebih pada masyarakat.
Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003, tidak
kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia mengalami obesitas. Data survei yang
dikumpulkan oleh WHO sejak tahun 1983 hingga 2004 menggambarkan bahwa
17 dari 28 negara di dunia (dua negara di Afrika, satu negara di Amerika Utara,
satu negara di Amerika Latin, 3 negara di Asia, 8 negara di Eropa, dan dua
negara di Oceania), mengalami peningkatan prevalensi obesitas (Nishida &
Mucavale 2005).
Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan
melebihi 20% dari berat badan normal. Obesitas ditandai dengan penimbunan
lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang,
pinggul, dan lengan atas (Siagian 2004). Obesitas mulai menjadi masalah
kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah
merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu
masalah kesehatan yang harus segera ditangani (WHO 2000).
Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju
maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan 14 tahun
mencapai 9,5% untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4%. Kondisi
ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4% (RISKESDAS 2007).
Menurut RISKESDAS (2010) secara nasional masalah kegemukan pada
anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5,0%.
Prevalensi kegemukan pada anak laki-laki umur 6-12 tahun lebih tinggi dari
prevalensi pada anak perempuan yaitu berturut-turut sebesar 10,7% dan 7,7%.
Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan
dibandingkan dengan prevalensi di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4%
dan 8,1%.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa
dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif
di kemudian hari. Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid
2

pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko


hipertensi lebih besar. Penelitian Syarif (2003) menemukan hipertensi pada 20–
30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal. Ancaman obesitas di
kalangan anak-anak juga melanda Indonesia (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Faktor utama terjadinya obesitas adalah adanya ketidakseimbangan
asupan energi dengan keluaran energi. Asupan energi tinggi bila konsumsi
makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila
metabolisme tubuh dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Hal tersebut banyak
dialami oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas. Di Indonesia,
terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang
menjurus ke westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan
atau konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi
lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast
food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas (Heird 2002).
Salah satu penyebab obesitas pada anak dapat terjadi karena faktor
genetik. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari.
Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada
anak. Selain itu kebiasaan makan anak yang gemar terhadap makanan cepat saji
(fast food) yang umumnya mengandung lemak dan minuman ringan (soft drink)
yang mengandung gula yang tinggi juga merupakan penyebab obesitas pada
anak.
Selain karena masalah konsumsi pangan, aktivitas fisik pada anak juga
mempengaruhi terjadinya obesitas pada anak. Dulu permainan anak yang
umumnya dilakukan adalah permainan fisik yang mengharuskan anak berlari,
melompat, atau gerakan lainnya, namun kini digantikan dengan permainan anak
yang kurang melakukan gerak badannya seperti game elektronik, komputer,
internet, atau televisi yang cukup dilakukan dengan hanya duduk di depannya
tanpa harus bergerak. Kegemukan tidak hanya disebabkan oleh kebanyakan
makan dalam hal karbohidrat, lemak, maupun protein, tetapi juga karena
kurangnya aktivitas fisik (Almatsier 2003). Dengan demikian obesitas pada anak
memerlukan perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin,
dengan melibatkan peran serta orang tua. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai faktor risiko
obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor.
3

Tujuan

Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko
obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Tujuan Khusus
1. Mempelajari karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah
dasar obes di Kota Bogor.
2. Mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah
dasar obes di Kota Bogor.
3. Mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.
4. Mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.
5. Menganalisis faktor risiko obesitas pada anak.

Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi kepada
masyarakat mengenai faktor risiko pada anak sekolah dasar yang dapat
dijadikan acuan untuk mencegah kejadian obes pada anak. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua anak sekolah obes
untuk mengubah perilaku gizinya dengan meningkatkan aktifitas fisik dan
mengatur pola konsumsi anak sehingga dapat mengubah status gizi obes pada
anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah untuk
memberikan materi dan praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat
membina perilaku gizi anak menjadi lebih baik.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Obesitas
Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal
kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, kegemukan (overweight)
adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas
adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan
wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai kelompok usia
dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda
(anak-anak) (Rimbawan & Siagian 2004).
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu
penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan
oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain
aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu prilaku makan dan pemberian
makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang
berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air
susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan pakai susu formula dalam botol, padahal anak
yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi
(Darmono 2006). Beberapa faktor penyebab obesitas diuraikan di bawah berikut:

Karakteristik Anak
Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan
penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung
mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,
sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa
laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau
obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih
bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.
Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak
kemudian. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko
menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kendungan menderita
kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi
setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses
5

pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih


besar, sistem tubuh meraka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini
berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan
akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak
lebih banyak dan lebih efesien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001).
Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat
dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara
2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang
dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan
risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan
bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi
obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl
95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat
hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas
pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih
tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-
2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010).

Faktor Keturunan
Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila
kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang
tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak
obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor
genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar
dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel
yang relatif sama besar (Zainun 2002).
Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan,
maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah
satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami
obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi
normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.
Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Tak Force (IOTF)
dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan
6

hasil yang berbeda, bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian
obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono
2006).

Karaktersitik Keluarga
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004).
Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi
keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan
orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas
dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan
maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi
berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal
yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).
Perubahan pengetahuan sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan,
serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun
terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas
bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-
anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer atau
games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Selain
itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan
berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan
pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas
konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya.
Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang
berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan
bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan
7

merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang


dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga
keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya
berdampak positif terhadap status gizi.
Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat
hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang
obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka
orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan
sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak
juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau
tidak.

Riwayat Makan Anak


Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan
makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan
mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula
dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai
dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah
masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para
orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi
yang dibutuhkan anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang
melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian
obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar
4,5%, tidak setinggi prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI
pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya
akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi
obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti
pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada
masa anak. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ASI
pada masa bayi dapat menurunkan risiko anak menjadi obes, baik pada masa
kanaknya ataupun setelah ia menjadi dewasa.
Penelitian Bogen, Hanusa, dan Whitaker (2004) menyebutkan bahwa
pembenan ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak 0,70 (95%
8

Cl 0,61-0,80). Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan di mana jumlah
lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat
badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan
padat, asupan tinggi energi dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan
mengonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Hidayati, Irawan,
Hidayat 2009).

Kebiasaan Makan
Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi
berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku
konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan
makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih,
mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan
pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup
(Suhardjo 2003). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah
tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan.
Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan
membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan
mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul
akan befakibat pada konsumsi makan yang tidak pada waktunya dan berlebihnya
intake makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur. Jarak antara dua
waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk
makan labih banyak dan melebihi batas (Wirakusumah 1994).
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk
dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas
terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil
atau makan camilan, sementara aktivitas kurang (Hartoyo 2007).
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok
dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali,
selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas
sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak
mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran
dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung
protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
9

Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang


lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi
yang berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga
menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan
sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino
diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan
akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan
dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh
rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak
mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan
disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab
perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam
sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan
mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain
game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang
sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan
yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi
energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab
obesitas pada anak.
Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi
sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari
selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur
dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 10-
14 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6% (<5 porsi
per hari). Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya
strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur,
dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan,
semakin tinggi konsumsi buah dan sayur.
Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan
bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat
badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi
kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak
10

mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan


kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang
dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan
berat badannya.
Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk
atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat
modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena
menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin,
restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia
setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000).
Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya
berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi
rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas.
Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya
obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali
mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak
mengonsumsinya.
Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan
protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak
terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya
rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk
dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005).
Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng
berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central
obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal
dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan
lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk
mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007).
Menurut kelompok umur 10-14, terdapat 13,5% anak yang sering
mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang sering mengonsumsi
jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap
sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi makanan
berisiko dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan
tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat pendidikan, pola
11

prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung


meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola
prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di
perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per
kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan
cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS
2007).

Aktivitas Fisik
Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk
penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik
merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari
total energi expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan
antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan
aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5
kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai
kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap
anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa
mereka yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar
5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap
harinya (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya
keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan
energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake
ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat
dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).
Sebuah penelitian yang diadakan di Inggris oleh tim peneliti dari ALSPAC
(Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang meneliti anak sejak
dalam kandungan hingga usia 7 tahun, menemukan kaitan antara menonton
televisi dengan kejadian obesitas. Odds ratio kemungkinan menjadi obesitas
meningkat linier dengan bertambahnya waktu menonton televisi. Anak yang
menonton televisi 4 sampai 8 jam perminggu di usia 3 tahun, maka kemungkinan
untuk menjadi obes (odds ratio) pada usia 7 tahun adalah 1,37 kali lebih besar.
Secara keseluruhan anak yang menonton televisi lebih dari delapan jam
seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1,55 kali lebih besar dibandingkan
12

anak yang menonton televisi kurang dari depalan jam perminggu (Reilly et al.
2005).
Dijelaskan lebih lanjut, menonton televisi merupakan salah satu bentuk
bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini
tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton
televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil
waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik.
Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi
yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan
erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan
memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca
energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005).
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, aktivitas tidur menjadi salah satu
aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu
tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada
penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan
meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1
hingga 2 jam (Boyles 2005).
Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun
seharusnya tidur selama 12-14 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnya tidur
11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per
malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan
kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr.
Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan
mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu
saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak
menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak
kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki
selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar,
seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak (Priyambodo 2010).
Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara
IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya
sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga
menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya
perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000).
13

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari


tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang
mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of
Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa
peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan
penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan
overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi
ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di
sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6%
anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain
atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar
sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan
kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah
mereka (Health & Human Services 2011).
Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan
menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik
dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10
menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama
lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang
melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat
pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas
fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di
banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita
per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik (RISKESDAS
2007).
Perilaku kurang mengonsumsi sayur dan/atau buah (<5 porsi per hari),
kurang aktifitas fisik (<150 menit/minggu), dan merokok setiap hari merupakan
perilaku yang menjadi faktor risiko untuk penyakit tidak menular utama (penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, kanker, stroke, penyakit paru obstruktif kronik)
(RISKESDAS 2007).
14

Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu
antropometri, klinis, biokimia, dan konsumsi pangan. Metode antropometri
menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh.
pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi sehingga
bermanfaat terutama pada keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan
protein secara kronis. Antropometri dapat mendeteksi malnutrisi derajat sedang
dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan
informasi mengenai riwayat gizi masa lampau (Riyadi 2003).
Di dalam ilmu gizi status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB
atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan
kombinasi antara ketiganya. lndikator BB/U menunjukkan secara sensitif status
gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena
berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga oleh tinggi badan
(TB). lndikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB
menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman
2000). Menurut WHO (2007) bahwa pengukuran status gizi pada anak usia 5-19
tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan
indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan
IMT/U dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori status gizi anak berdasarkan IMT/U
Variabel Kategori
=-3 SD Severe underweight
-3 SD < Z < -2 SD Underweight
-2 SD < Z < +1 SD Normal
+1 SD < Z < +2 SD Overweight
+2 SD < Z < +3 SD Obese
=+3 SD Severe obese
Status gizi orang dewasa secara antropometri salah satunya dapat
diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). IMT dihitung dengan
cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Badan
kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 mengeluarkan kategori IMT yang cocok
untuk masyarakat Asia. Kriteria IMT orang dewasa menurut WHO disajikan pada
Tabel 2.
15

Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut WHO


Status Gizi Klasifikasi cut-off points
Kurus tingkat berat < 16.00
Kurang Kurus tingkat sedang 16.00-16.99
Kurus tingkat ringan 17.00-18.49
Normal Normal 18.50-24.99
Overweight ≥25.00
Pra-obese 25.00-29.99
Obese ≥30.00
Lebih
Obes kelas I 30.00-34.99
Obes kelas II 35.00-39.00
Obes kelas III ≥40.00
Sumber: WHO (2005)

Dampak Obesitas pada Anak


Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak (aspek
organik dan psikososial), anak berisiko tinggi obesitas di masa dewasa dan
berpotensi mengalami berbagai penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus,
kelainan metabolik seperti atherogenesis, resistensi insulin, gangguan
trombogenesis, dan karsinogenesis (Yussac et al. 2007).
Anak-anak dengan kelebihan berat badan atau kegemukan dapat
mengalami kesulitan bergerak dan terganggu pertumbuhannya karena timbunan
lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang.
Obesitas pada anak juga perlu diwaspadai, karena jika berlanjut hingga dewasa
biasanya lebih sulit diatasi, mungkin karena faktor penyebab yang sudah
menahun dan sel-sel lemak yang sudah bertambah banyak dan bertambah besar
ukurannya. Obesitas atau kegemukan di masa anak-anak bisa berisiko diabetes
tipe 2, asma, darah tinggi, apnea, gangguan metabolisme glukosa, resistensi
insulin, dislipidemia, gangguan hati, serta gangguan emosional di masa dewasa
(Aini 2008). Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), anak obes berisiko
mengalami gangguan kesehatan seperti berikut ini:
Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
Faktor Risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin, trigliserida, LDL-
kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL- kolesterol.
Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi.
16

Diabetes Mellitus Tipe-2


Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas. Hampir
semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD.
Obstruktive Sleep Apnea
Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala
mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding
dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma,
sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta
meningkatkan beban kerja otot pernafasan.
Gangguan Ortopedik
Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik
yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput
femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya
gerakan panggul.
Pseudotumor Serebri
Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada
obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-paru yang menyebabkan
peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema,
diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas.
17

KERANGKA PEMIKIRAN

Prevalensi anak yang menderita obesitas di Indonesia semakin


meningkat. Banyak faktor yang memicu semakin meningkatnya angka obesitas
pada anak, di antaranya adalah pengaruh parenteral fatness, karakteristik anak,
karakteristik keluarga, aktifitas fisik, dan kebiasaan makan pada anak.
Parenteral fatness berkaitan dengan status gizi orang tua yang diketahui
dari IMT yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan. Seseorang
mengalami obesitas dapat terjadi karena salah satu atau kedua orang tuanya
mengalami obesitas pula. Menurut Effendi (2003) faktor keturunan berpengaruh
terhadap gangguan keseimbangan energi. Bila kedua orang tua tidak gemuk,
maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Bila salah satu orang tua
gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 41-51%, sedangkan bila
kedua orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-
80%.
Karakteristik anak meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, berat badan
sekarang, dan tinggi badan sekarang. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan
orang tua, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan pola konsumsi
keluarga. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan memberikan pertanyaan pada
kuesioner yang ditujukan untuk ibu. Aktivitas fisik lebih menyoroti pada
banyaknya waktu yang dihabiskan anak untuk tidur, menonton televisi, dan
bermain di luar rumah dalam satu hari.
Kebiasaan makan mencakup riwayat makan anak dan konsumsi pangan.
Riwayat makan yang diteliti adalah riwayat pemberian ASI, pemberian susu
formula, dan pemberian makanan padat. Konsumsi pangan yang diteliti adalah
konsumsi makan harian, konsumsi cemilan, konsumsi sayur dan buah, konsumsi
makanan berlemak, konsumsi fast food, dan konsumsi soft drink. Konsumsi
cemilan, soft drink, fast food, dan makanan berlemak diperkirakan dapat
memberikan pengaruh terhadap tingkat konsumsi energi pada anak yang
nantinya berhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak. Kerangka
pemikiran penelitian ini dapat digambar dalam skema di Gambar 1.
18

Faktor Keturunan
(Parenteral fatness)
 IMT orang tua

Karakteristik Anak Riwayat Makan Anak


 Berat badan lahir  Pemberian ASI
 Jenis kelamin  Pemberian susu formula
 Berat badan  Pemberian makanan
 Tinggi badan padat

Karakteristik Keluarga Aktivitas Fisik Anak


 Pendidikan orang tua  Jumlah waktu tidur
 Pendapatan keluarga  Menonton televisi, main
 Pengetahuan gizi ibu game, dan internet
 Bermain di luar rumah

Obesitas

Kebiasaan Makan Anak


 Asupan zat gizi
 Frekuensi konsumsi sayur dan buah
 Kebiasaan konsumsi cemilan
 Frekuensi konsumsi fast food
 Frekuensi konsumsi soft drink
 Frekuensi konsumsi makanan berlemak

Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas


pada anak sekolah dasar di Kota Bogor
19

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian
diawali dengan survei pendahuluan dari beberapa Sekolah Dasar (SD) di Kota
Bogor, dilanjutkan pengumpulan data lewat kuesioner pada bulan Mei sampai
dengan September 2011. Penelitian dilakukan di SD Insan Kamil yang berada di
Kota Bogor. Pemilihan SD yang dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara
purposive dengan pertimbangan sekolah swasta yang rata-rata muridnya dari
keluarga ekonomi menengah ke atas, peluang memperoleh anak obes cukup
tinggi, dan merupakan sekolah dengan kategori SD favorit di Kota Bogor.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh


Populasi dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar (SD) kelas IV
dan V yang memiliki status gizi obes dan normal. Contoh pada penelitian ini yaitu
anak sekolah dasar kelas IV dan V yang bersekolah di Sekolah Dasar Insan
Kamil Bogor dengan status gizi obes dan normal. Kriteria inklusi anak obes
adalah 1) laki-laki atau perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2)
memiliki status gizi obes (indeks z-skor >+2); 3) contoh bersedia mengikuti
penelitian. Kriteria inklusi anak dengan status gizi normal adalah 1) laki-laki atau
perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2) memiliki status gizi
normal (-2 < z-skor ≤ +1); 3) contoh bersedia mengikuti penelitian. Adapun
kriteria eksklusinya adalah 1) contoh tidak bersedia mengikuti penelitian; 2)
pengisian kuesioner yang tidak lengkap.
Pemilihan anak sekolah dasar kelas IV dan V dilakukan secara purposive
dengan asumsi anak kelas IV dan V sudah dapat diajak berkomunikasi dengan
baik, mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam kuesioner,
dan mampu mengisi kuesioner dengan baik. Sementara itu anak kelas VI tidak
dijadikan contoh karena sudah sibuk dengan kegiatan Ujian Negara (UN). Status
gizi contoh ditetapkan berdasarkan IMT menurut umur standar WHO 2007.
Jumlah murid SD Insan Kamil adalah 1181 anak. Jumlah anak kelas 4 dan kelas
5 adalah sebanyak 398 anak. Penelitian diawali dengan pengukuran berat badan
dan tinggi badan anak SD kelas IV dan V yang diperkirakan mengalami obesitas
di SD Insan Kamil Bogor. Jumlah awal anak obes yang diperoleh saat
penimbangan adalah 60 anak. Kemudian dilakukan pengukuran dan tinggi badan
anak SD kelas IV dan V yang diperkirakan memiliki status gizi normal. Jumlah
20

awal anak yang memiliki status gizi normal saat penimbangan adalah 50 anak.
Penentuan jumlah sampel minimal yang digunakan pada penelitian ini

z12 / 2 P (1  P )
n
d2
menggunakan rumus:
Keterangan :
Z = 1,96 ( = 0,05)
P = prevalensi gizi lebih pada anak di perkotaan (10,4%)
d = toleransoi estimasi (10% atau 0,1)
Berdasarkan rumus, jumlah sampel minimal adalah 36 anak obes.
Berdasarkan kelengkapan pengisian kuesioner, jumlah contoh yang dipilih dari
60 anak obes dan 50 anak dengan status gizi normal yaitu 40 anak obes dan 40
anak dengan status gizi normal.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer mencakup karakteristik anak (jenis kelamin, berat
lahir anak, berat badan, dan tinggi badan anak), karakteristik keluarga (berat
badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga,
dan pengetahuan gizi ibu), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu
formula, dan pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (konsumsi
energi, protein, dan lemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast
food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas
fisik anak (waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan
bermain di luar rumah).
Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan injak yang
telah dikalibrasi dengan ketelitian 0,5 kg, dan pengukuran tinggi badan anak
menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data status gizi anak
diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U)
dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Nama, umur, dan
tanggal lahir anak diperoleh dengan pengisian kuesioner olah anak.
Data berat lahir anak, karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi
badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan
gizi ibu) dan riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan
pemberian makanan padat) diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh orang tua
anak di rumah.
21

Konsumsi pangan anak diketahui dengan pencatatan makanan (food


record) selama 1x24 jam pada hari libur dan food recall selama 1x24 jam pada
hari sekolah. Konsumsi pangan anak pada hari libur (food record) diperoleh dari
kuesioner yang diisi oleh contoh, disertai dengan keterangan lengkap cara
pengisian dan contoh pengisian. Konsumsi pangan anak pada hari sekolah (food
recall) diperoleh dari pencatatan kuesioner dengan metode wawancara. Pola
konsumsi anak yang terdiri dari frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast
food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak diperoleh
menggunakan kuesioner yang diisi oleh anak yang sebelumnya telah mendapat
penjelasan tentang cara pengisiannya dari peneliti.
Data aktivitas fisik anak yang terdiri dari alokasi waktu tidur; lama
menonton televisi, bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah
diperoleh dari pencatatan kuesioner mengenai alokasi waktu kegiatan yang
dilakukan dalam waktu 2x24 jam, yaitu satu hari sekolah dan satu hari libur
dengan metode wawancara. Secara lengkap kuesioner penelitian untuk orang
tua dan anak disajikan pada Lampiran 1.
Pemantauan pengisian kuesioner dilakukan dengan bantuan pihak
sekolah. Setiap anak mendapatkan surat pengantar dari sekolah untuk orang tua
yang juga menerangkan cara pengisisan kuesioner sehingga orang tua akan
lebih mudah mengisinya. Pengumpulan kuesioner dari tiap anak dibantu oleh
pihak sekolah. Kuesioner yang terkumpul kemudian diperiksa kelengkapan
pengisiannya oleh peneliti. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah (letak
sekolah, kegiatan ekstrakulikuler sekolah, jadwal kegiatan belajar mengajar di
sekolah), dan data murid SD Insan Kamil Bogor (nama, tanggal lahir, dan jenis
kelamin). Untuk lebih jelasnya jenis dan cara pengumpulan data primer dapat
dilihat pada Tabel 3.
22

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data


No. Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan Data
1. Karakteristik - Jenis kelamin - Pengisian kuesioner (jenis
anak - Berat lahir anak kelamin dan berat lahir anak)
- Berat badan - Timbangan injak dengan
ketelitian 0.5 kg
- Tinggi badan - Microtoise dengan ketelitian
0.1 cm
2. Karakteristik - Berat badan dan tinggi - Pengisian kuesioner (berat
keluarga badan orang tua badan, tinggi badan,
- Pendidikan orang tua pendidikan, dan pendapatan
- Pendapatan keluarga keluarga)
- Pengetahuan gizi ibu - Pengisisan kuesioner yang
berisikan pertanyaan tentang
pengetahuan gizi seimbang
dan obesitas (pengetahuan
gizi ibu)
3. Riwayat - Pemberian ASI - Pengisian kuesioner oleh
makan anak - Pemberian susu formula orang tua anak
- Pemberian makanan
padat
4. Kebiasaan - Pangan harian - Food Record 1x24 jam pada
makan anak hari libur dan food recall 1x24
Pola konsumsi: pada hari sekolah
- Cemilan - Food frequency questionnaire
- Sayur dan buah (FFQ) (konsumsi sayur, buah,
- Fast food cemilan, makanan berlemak,
- Soft drink makanan manis, fast food, dan
- Makanan berlemak soft drink)
5. Aktifitas fisik - Waktu tidur - Pengisian kuesioner dengan
anak - Lama menonton televisi, metode pencatatan dan
bermain game, dan wawancara 2 x 24 jam selama
internet 1 hari sekolah dan 1 hari libur
- Bermain di luar rumah

Pengolahan dan Analisis Data


Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan
analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data
terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah
disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga
memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah
memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk
masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu
melakukan pengecekan terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang
disediakan kuesioner atau isian data yang di luar kewajaran. Data yang telah
diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik
deskriptif dan inferensia menggunakan program komputer.
23

Data status gizi anak diperoleh dengan menggunakan indeks massa


tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO
Anthroplus 2007. Hasil yang diperoleh berdasarkan indikator IMT/U dikategorikan
ke dalam status serve underweight (=-3SD), underweight (-3SD<Z<-2SD),
normal (-2SD<Z<+1SD), overweight (+1SD<Z<+2SD), obese (+2SD<Z<+3SD)
dan severe obese (>+3SD) (Soekirman 2000).
Data berat badan dan tinggi badan orang tua digunakan untuk
menghitung IMT orang tua anak. IMT dihitung dengan cara membagi berat badan
(kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Hasil yang diperoleh kemudian
dikategorikan ke dalam status gizi kurus (≤18,50), normal (18,50-24,99),
overweight (25,00-29,99), dan obes (≥30,00) (WHO 2005).
Data pengetahuan gizi diukur dengan cara memberikan skor terhadap
setiap jawaban pertanyaan mengenai tingkat pengetahuan gizi. Data
pengetahuan gizi ibu diperoleh dengan memberikan 20 buah pertanyaan pilihan
ganda dengan memilih jawaban yang paling benar (correct-answer multiple
choice) dalam bentuk kuesioner. Skor jawaban ibu setiap satu pertanyaan diberi
skor satu (1) bila memilih jawaban benar dan skor nol (0) bila memilih jawaban
yang salah atau tidak memilih jawaban. Tingkat pengetahuan ibu anak obes dan
normal tentang gizi dihitung dengan cara menjumlahkan skor dan dikelompokkan
menjadi tiga kategori tingkat pengetahuan, yaitu kurang jika skor nilai kurang dari
60% (<60%), cukup jika skor antara 60-80%, dan baik jika lebih dari 80% (>80%)
(Khomsan 2000). Pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
24

Tabel 4 Pengkategorian variabel penelitian


No. Variabel Kategori
1. Laki-laki
1. Jenis kelamin
2. Perempuan
1. Normal
2. Berat badan lahir
2. BBLR/Lebih
1. Kurus
Status gizi ayah 2. Normal
3.
(WHO 2005) 3. Overweight
4. Obes
1. Kurus
Status gizi ibu 2. Normal
4.
(WHO 2005) 3. Overweight
4. Obes
1. SD/sederajat
2. SMP/sederajat
5. Pendidikan orang tua
3. SMA/sederajat
4. Perguruan tinggi/sederajat
1. < 3.000.000
2. 3.000.000–5.000.000
6. Pendapatan keluarga perbulan
3. 5.000.000–10.000.000
4. > 10.000.000
1. Kurang : <60%
Pengetahuan gizi ibu
7. 2. Sedang : 60%-80%
(Khomsan 2000)
3. Baik : >80%
1. Defisit tingkat berat : <70% AKG
2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG
Tingkat kecukupan energi (TKE)
8. 3. Kurang : 80-89 % AKG
(Depkes 1996)
4. Cukup : 90-119% AKG
5. Lebih : ≥120% AKG
1. Defisit tingkat berat : <70% AKG
2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG
Tingkat kecukupan protein (TKP)
9. 3. Kurang : 80-89 % AKG
(Depkes 1996)
4. Cukup : 90-119% AKG
5. Lebih : ≥120% AKG
1. Setiap hari
2. 4-6 kali/minggu
10. Konsumsi sayur
3. 1-3 kali/minggu
4. Tidak pernah
1. Setiap hari
2. 4-6 kali/minggu
11. Konsumsi buah
3. 1-3 kali/minggu
4. Tidak pernah
1. Ya
12. Konsumsi cemilan
2. Tidak
1. Tidak pernah
2. 1-3 kali/minggu
13. Konsumsi fast food
3. 4-6 kali/minggu
4. Setiap hari
1. Tidak pernah
2. 1-3 kali/minggu
14. Konsumsi soft drink
3. 4-6 kali/minggu
4. Setiap hari
1. Tidak pernah
2. 1-3 kali/minggu
15. Konsumsi makanan berlemak
3. 4-6 kali/minggu
4. Setiap hari
1. ≤8 Jam
16. Waktu tidur
2. >8 Jam
Menonton televisi, bermain game, dan 1. ≤2 Jam
17.
internet 2. >2 Jam
1. ≥2 Jam
18. Bermain di luar
2. <2 Jam
25

Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam


gram/URT dikonversi ke dalam nilai zat gizi dengan menggunakan Daftar
Konsumsi Bahan Makanan sehingga dapat diketahui kandungan gizi masing-
masing bahan pangan. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi
untuk energi dan protein. Adapun rumus umum yang digunakan untuk
mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

Keterangan:
KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang
dikonsumsi
Bj = Berat bahan makanan j (gram)
Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj = % bahan makanan j yang dapt dimakan
(Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994)
Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap
lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi
merupakan persentase konsumsi aktual anak dengan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat
kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TKGi = (Ki/AKGi) x 100%

Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i
AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan
Ki = Konsumsi zat gizi i
(Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)
Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Analisis univariat meliputi :
a. Karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan,
dan berat badan lahir).
b. Karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua,
pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu).
c. Riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan
pemberian makanan padat).
26

d. Asupan zat gizi anak (konsumsi energi, protein, dan lemak, tingkat
kecukupan energi, protein, dan % kontribusi lemak).
e. Kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan,
fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak).
f. Aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur, lama menonton televisi, bermain
game, internet, dan lama bermain di luar rumah).
2. Analisis bivariat digunakan untuk mengtahui hubungan antara variabel
independen dengan dependen. Uji yang digunakan adalah uji korelasi
Pearson dan Spearman. Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji
korelasi Pearson di antaranya adalah:
a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (berat badan lahir) dengan
obesitas.
b. Menganalisis hubungan faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu) dengan
obesitas.
c. Menganalisis hubungan asupan zat gizi anak (TKE, TKP, dan konsumsi
lemak) dengan obesitas.
d. Menganalisis hubungan aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur; lama
menonton televisi, bermain game, internet; dan lama bermain di luar
rumah) dengan obesitas.
Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji korelasi Spearman di
antaranya adalah:
a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (jenis kelamin) dengan
obesitas.
b. Menganalisis hubungan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi
sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi
konsumsi makanan berlemak) dengan obesitas.
3. Uji beda t-test digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik anak (berat
lahir anak), faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu), karakteristik keluarga
(pengetahuan gizi ibu), konsumsi harian anak (konsumsi energi, protein, dan
lemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain
game, internet; dan bermain di luar rumah) antara anak berstatus gizi normal
dan anak obes.
4. Uji beda Mann-Whitney U digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik
keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga), riwayat makan anak
(pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat),
27

dan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, fast food
dan soft drink, frekuensi konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi
cemilan) antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.
5. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds
Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh
variabel independen yang berhubungan dengan obesitas dan diduga
menjadi faktor risiko kejadian obesitas dianalisis bersama-sama untuk
mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap
variabel dependen. Analisis ini menggunakan model multiple logistic
regression dengan metode enter. Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:

e 0   1x1   2 x 2   3 x3   4   5 x5   6 x6 ...nxn
 ( x) 
1  e  0   1x1   2 x 2   3 x3   4   5 x5   6 x6 ...nxn
Keterangan :
(x) : Peluang kejadian obesitas (1=obes, 0=tidak obes)
e : Eksponensial
β0 : Konstanta
β1 – βn : Koefisien regresi
X1 : Berat lahir
X2 : IMT ayah
X3 : IMT ibu
X4 : Pengetahuan gizi ibu
X5 : Pemberian susu formula <6 bulan
X6 : TKE
X7 : Frekuensi konsumsi soft drink
X8 : Frekuensi konsumsi fast food
X9 : Frekuensi konsumsi makanan berlemak
X10 : Frekuensi konsumsi sayur dan buah
X11 : Lamanya bermain di luar
28

Definisi Operasional
Obes adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yang
berdasarkan standar WHO 2007, memiliki nilai z-skor untuk IMT menurut
umur >+3 SD.
Anak Sekolah adalah anak yang menjalani pendidikan sekolah yang terdaftar di
Dinas Pendidikan Kota Bogor yang berusia 9 sampai 11 tahun.
Karakteristik anak adalah data yang berisi jenis kelamin anak, berat lahir anak,
berat badan, dan tinggi badan sekarang.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh yang
dikategorikan menjadi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat
Perguruan Tinggi.
Pendapatan keluarga adalah bersarnya pendapatan atau penghasilan keluarga
yang diperoleh dalam sebulan yang terdiri dari penghasilan ayah maupun
ibu (bila bekerja) yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan
anggota keluarga.
Pengetahuan gizi ibu adalah pemahaman ibu terhadap gizi dan kesehatan
secara umum dan tentang obesitas yang diketahui bedasarkan jawaban
ibu terhadap pertanyaan pada kuesioner yang diberikan.
Riwayat makan adalah keterangan apakah anak diberikan ASI ekslusif dan pada
usia berapa anak mulai diberikan susu formula. Riwayat makan juga
mencakup keterangan pada usia berapa anak pertama kali diberikan
makanan padat.
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja tanpa tambahan susu atau
makanan lain sampai bayi berusia 6 bulan.
Susu formula adalah susu selain ASI yang diberikan pada anak sebelum usia 6
bulan.
Makanan padat adalah makanan yang ditujukan untuk anak usia 6 bulan ke atas
yang tidak berbantuk cair, seperti bubur dan biskuit.
Kebiasaan makan adalah mencakup asupan zat gizi yang diketahui dengan
pencatatan makanan (food record) selama 2x24 jam, kebiasaan makan
sayur dan buah, cemilan, fast food, soft drink, dan makanan berlemak.
Konsumsi buah dan sayur adalah kebiasaan makan buah dan sayur pada anak
yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu. Anak dikatakan
kurang konsumsi sayur dan buah adalah anak yang mengonsumsi buah
dan sayur kurang dari 4 porsi selama 7 kali dalam seminggu.
29

Konsumsi fast food dan soft drink adalah kebiasaan makan fast food dan soft
drink pada anak yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu.
Konsumsi makanan berlemak adalah kebiasaan seseorang makan makanan
berlemak yang dinilai berdasarkan frekuensinya selama satu minggu.
Aktivitas fisik merupakan jenis kegiatan fisik anak (tidur; menonton televisi,
bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah) yang dilakukan
bersamaan dengan hari pencatatan konsumsi makan selama 2x24 jam.
30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah


Sekolah Dasar (SD) Insan Kamil beralamat di Jalan Raya Dramaga Km. 6
Bogor. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. SD Insan Kamil
memiliki 2 gedung sekolah, yaitu Gedung A dan Gedung B. Gedung B ditempati
oleh anak kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, sedangkan Gedung A ditempati oleh
anak kelas 5 dan 6 SD. Sekolah ini mendapatkan akreditasi A dari Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). SD Insan Kamil juga masuk
dalam daftar 10 besar SD Negeri dan Swasta di Kota Bogor.
Sekolah Dasar Insan Kamil dengan status disamakan, dikembangkan
dengan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memadukan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Madrasah Diniyah.
Perpaduah Kurikulum ini diimplementasikan menjadi program pendidikan yang
berorientasi pada keterampilan hidup (life skill) yang berakar kuat pada konsep
‘ubudiyah (hidup adalah ibadah).
Visi sekolah ini yaitu dengan berlandaskan konsep ibadah, SD Insan
Kamil unggul prestasi. Adapun misi dari sekolah ini adalah mendidik murid-murid
agar menghayati dan mengamalkan bahwa hidup adalah ibadah, belajar adalah
ibadah, dan prestasi adalah ibadah sehingga murid-murid memiliki: (1)
penguasaan ilmu-ilmu diniyah, ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi,
(2) motivasi yang kuat untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
dan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui amaliah, ubudiyah/muamalah,
dan (3) kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan hanya disandarkan
kepada pandangan dan penilaian Allah SWT.
Jumlah guru sekolah sebanyak 77 orang. Tingkat pendidikan guru
diantaranya 52 orang sarjana dan 25 orang lainnya diploma. Jumlah staf tata
usaha sekolah 5 orang. Jumlah murid sebanyak 1181 orang yang terdiri 662 laki-
laki dan 519 perempuan. Kelas 1 sampai kelas 5 masing-masing terdiri dari 7
kelas, dan kelas 6 terdiri dari 8 kelas. Data lengkap jumlah kelas dan murid tiap
kelas dapat dilihat di Lampiran 2.
Sarana yang dimiliki sekolah antara lain sarana pendidikan (2 gedung
masing-masing 3 lantai), sarana ibadah (mesjid dan musholla), sarana
penunjang (Lab. Komputer, ruang serbaguna, aula, perpustakaan, dan Lab. IPA),
sarana olah raga (lapangan futsal, tenis meja, senam dan tae kwon do, lapangan
bulutangkis dan volly, lapangan basket, dan UKS), dan sarana kebersihan dan
31

lingkungan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih, air PDAM, dan
lapangan parkir luas). Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung
A dan 2 kantin di Gedung B. Tiap kantin memiliki berbagai macam jenis makanan
mulai dari makanan ringan, makanan kemasan, kue basah, gorengan, nasi
paket, nasi uduk, bihun goreng, es krim, dan berbagai macam minuman.
Jam pelajaran di SD Insan Kamil pada hari Senin hingga Kamis dan
Sabtu dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 11.30 WIB (Kelas 1 dan Kelas 2),
sedangkan Kelas 3 sampai Kelas 6 sampai pukul 13.00 WIB. Hari Jumat jam
pelajaran dimulai pada pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 10.00 WIB
(Kelas 1 hingga Kelas 6). Jam istirahat Kelas 1 dan Kelas 2 pada pukul 09.30
WIB sampai 10.00 WIB sedangkan Kelas 3 hingga Kelas 6 pada pukul 10.00
WIB hingga 10.30 WIB. Waktu istirahat biasanya digunakan murid untuk jajan,
bermain, dan mengobrol dengan teman.
Ektrakurikuler yang ada di sekolah ini di antaranya adalah Al-Qur,an,
english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni
lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Tiap ekstrakulikuler
memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan biasa dilakukan setelah
jam sekolah berakhir. Setiap murid diwajibkan mengikuti minimal satu kegiatan
ekstrakulikuler.

Karakteristik Anak
Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan
kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata murid berumur 10,4 ± 0,6 tahun. Sebagian
besar umur murid berada pada usia 10 dan 11 tahun. Karakteristik anak
mencakup berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Berat
badan dan tinggi badan digunakan untuk mengukur IMT anak. Rata-rata berat
badan dari anak dengan status gizi obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan
kisaran 40-66 kilogram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-
rata berat badan 29,2 ± 3,6 kilogram, dengan kisaran 23-38 kilogram. Data umur,
jenis kelamin, BB, TB, dan IMT anak terdapat pada Lampiran 3.
Rata-rata berat badan lahir dari anak dengan status gizi obes adalah
3343 ± 542 gram, dengan kisaran 1600-4200 gram. Kelompok anak dengan
status gizi normal memiliki rata-rata berat badan lahir 3135 ± 350,7 gram, dengan
kisaran 2500-3900 gram. Tabel 5 menunjukkan sebaran anak berdasarkan jenis
kelamin dan berat badan lahir. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari
kelompok anak obes sebanyak 70% adalah anak laki-laki. Nilai ini tidak berbeda
32

jauh dengan kelompok anak berstatus gizi normal yaitu sebanyak 65% adalah
anak laki-laki.
Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir
Status Gizi Anak
p
Karakteristik Anak Normal Obes Total
value
n % n % n %
Jenis Perempuan 14 35,0 12 30,0 26 32,5
-
Kelamin Laki-laki 26 65,0 28 70,0 54 67,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berat Badan Normal 39 97,5 33 82,5 72 90,0
0,045
Lahir BBLR/Lebih 1 2,5 7 17,5 8 10,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan
penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung
mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,
sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa
laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau
obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih
banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak
berstatus gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal.
Sebanyak 97,5% anak dari kelompok anak dengan status gizi normal lahir
dengan berat badan normal dan sebanyak 82,5% anak dari kelompok anak obes
lahir dengan berat badan normal. Namun persentase anak yang lahir dengan
BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak pada kelompok anak obes, yaitu
17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat lebih, sedangkan hanya 1 dari
40 (2,5%) anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih. Anak
yang lahir dengan BBLR/lebih adalah anak yang lahir dengan berat badan di luar
kisaran 2500-3800 gram. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,045) berat badan lahir antara anak berstatus gizi normal dan anak
obes.
Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat
dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara
2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang
dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan
risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan
33

bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi
obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl
95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat
hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas
pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih
tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-
2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010).

Faktor Keturunan
Genetik atau parenteral fatness ditentukan dengan menghitung IMT orang
tua dengan pengkategorian status gizi menjadi kurus, normal, overweight, dan
obes. Rata-rata IMT ayah dari anak dengan status gizi obes adalah 26,6 ± 3,9
kg/m2, dengan kisaran 20,2-37,6 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi
normal memiliki rata-rata IMT ayah 23,9 ± 2,7 kg/m2, dengan kisaran 18,6-29,4
kg/m2. Tabel 6 merupakan sebaran anak berdasarkan faktor keturunan yaitu
berdasarkan status IMT ayah dan IMT ibu.
Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan
Status Gizi Anak
Faktor Keturunan Normal Obes Total p value
n % n % n %
Kurus - - - - - -
Normal 25 62,5 13 32,5 38 47,5
IMT ayah 0,001
Overweight 15 37,5 18 45,0 33 41,2
Obes 0 0,0 9 22,5 9 11,3
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Kurus 2 5,0 0 0,0 2 2,5
Normal 28 70,0 20 50,0 47 58,8
IMT ibu 0,143
Overweight 7 17,5 18 45,0 25 31,2
Obes 3 7,5 2 5,0 6 7,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa
dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya
overweight (45%). Pada kelompok anak yang berstatus gizi normal tidak ada
anak yang ayahnya berstatus gizi obes, sedangkan dari kelompok anak obes
terdapat 22,5% anak memiliki ayah obes. Anak yang berstatus gizi normal
sebagian besar memiliki ayah yang berstatus gizi normal yaitu sebanyak 62,5%.
Tidak ada ayah yang berstatus gizi kurus baik dari anak obes maupun anak yang
berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,001) IMT ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak
obes.
34

Rata-rata IMT ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 25,0 ± 2,8
kg/m2, dengan kisaran 18,7,2-32,5 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi
normal memiliki rata-rata IMT ibu 23,8 ± 4,4 kg/m2, dengan kisaran17,1-38,9
kg/m2. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang
berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi
normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak
obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang
overweight, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal hanya 17,5%
ibu yang overweight. Terdapat 5% dari kelompok anak obes memiliki ibu obes,
sedangkan 7,5% dari kelompok anak berstatus gizi normal memiliki ibu obes.
Tidak ada dari kelompok anak obes memiliki ibu yang berstatus gizi kurus,
sedangkan terdapat 5% ibu bersatatus gizi kurus dari kelompok anak berstatus
gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(p=0,143) IMT ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas,
80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian
obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menjadi 14%. Perubahan lingkungan gizi ketika anak berada dalam kandungan
menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan
terhadap pemrograman janin yang di kemudian hari bersama-sama dengan
pengaruh diet dan stres lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai
penyakit di kemudian hari. Berikut disajikan sebaran anak berdasarkan
kombinasi antara IMT ayah dan IMT ibu yang terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu
Status Gizi Anak
IMT ayah dan IMT ibu Normal Obes Total
n % n % n %
Kurus dan Normal 1 2,5 0 0,0 1 1,2
Normal dan Normal 19 47,5 6 15,0 24 30,0
Overweight dan Kurus 1 2,5 0 0,0 1 1,2
Overweight dan Normal 12 30,0 16 40,0 28 35,0
Overweight dan Overweight 4 10,0 7 17,5 11 13,8
Obes dan Normal 2 5,0 5 12,5 8 10,0
Obes dan Overweight 1 2,5 6 15,0 7 8,8
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Table 7 dapat diketahui bahwa
hampir separuh (47,5%) anak berstatus gizi normal berasal dari kedua orang tua
yang berstatus gizi normal. Pada kelompok anak obes, sebagian besar (40%)
anak obes berasal dari ayah overweight dan ibu normal atau ayah yang normal
35

dan ibu yang overweight. Bahkan terdapat 15% anak obes yang berasal dari
kedua orang tua yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Internasional
Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO menyebutkan bahwa faktor genetik
hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99%
disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006).
Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan,
maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah
satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami
obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi
normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.

Karakteristik Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak berinteraksi.
Keluarga juga yang menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Kondisi
obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas
rata-rata, karena kemampuannya untuk memberikan makanan yang penuh gizi
pada anaknya. Karakteristik keluarga mencakup pendidikan orang tua,
pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu.

Pendidikan Orang Tua


Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas
dari keluarga itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu faktor penting
dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Tingkat pendidikan sangat
berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Menurut
Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Sebaran anak berdasarkan pendidikan
orang tua dapat dilihat pada Tabel 8.
36

Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua


Status Gizi Anak
Karakteristik Orang Tua Normal Obes Total p value
n % n % n %
SMP 1 2,5 2 5,0 3 3,8
Pendidikan
SMA 8 20,0 6 15,0 14 17,5 0,839
Ayah
PT 31 77,5 32 80,0 63 78,7
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
SMP 5 12,5 1 2,5 6 7,5
Pendidikan 12 30,0 13 32,5 25 31,2 0,333
SMA
Ibu
PT 23 57,5 26 65,0 49 61,3
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang obes
memiliki orang tua yang berpendidikan sampai ke perguruan tinggi (80%), 15%
memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 5% memiliki ayah yang
berpendidikan SMP. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok anak
yang berstatus gizi normal. Dari kelompok anak yang berstatus gizi normal,
sebanyak 77,5% memiliki ayah yang berpendidikan perguruan tinggi (PT), 20%
memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 2,5% memiliki ayah
berpendidikan SMP. Namun persentase ayah yang berpendidikan perguruan
tinggi lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan anak
berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (p=0,839) pendidikan ayah antara anak berstatus gizi
normal dengan anak obes. Hal ini diduga rata-rata tingkat pendidikan ayah
antara dua kelompok tersebut sama.
Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi
keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan
orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas
dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan
maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi
berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal
yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes
memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) (65%), sedangkan dari
kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 57,5% memiliki ibu yang
berpendidikan perguruan tinggi (PT). Persentase ibu yang berpendidikan sampai
perguruan tinggi ternyata lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan
dengan kelompok anak berstatus gizi normal. Tidak terdapat perbedaan yang
37

signifikan (p=0,333) pendidikan ibu antara anak berstatus gizi normal dengan
anak obes.

Pendapatan Keluarga
Kondisi obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki
perekonomian di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk
membeli dan memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Pendapatan
keluarga adalah total dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Tabel 9
merupakan sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga.
Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga
Status Gizi Anak
Karakteristik Orang Tua Normal Obes Total
n % n % n %
<3 Juta 4 10,0 3 7,5 7 8,8
Pendapatan 3-5Juta 14 35,0 10 25,0 24 30,0
Keluarga 5-10 Juta 14 35,0 17 42,5 31 38,7
>10 Juta 8 20,0 10 25,0 18 22,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tabel 9 menggambarkan dari kelompok anak obes, sebagian besar
berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 5-10 juta rupiah (42,5%) dan
sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah
per bulan. Pada kelompok anak dengan status gizi normal sebesar 20% berasal
dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Nilai ini tidak
jauh berbeda, namun jika dikelompokkan lagi menjadi dua kategori pendapatan
keluarga, yaitu di bawah 5 juta rupiah per bulan dan di atas 5 juta rupiah terdapat
perbedaan yang semakin terlihat (Tabel 10).
Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga
Status Gizi Anak
Karakteristik Orang Tua Normal Obes Total p value
n % n % n %
Pendapatan <5 Juta 18 45,0 13 32,5 31 38,8
0,306
Keluarga ≥5Juta 22 55,0 27 67,5 49 61,2
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes
memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan (67,5%).
Pada kelompok anak dengan status gizi normal, sebesar 55% memiliki orang tua
dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan sebesar 55% dan 45% dari
orang tua dengan pendapatan di bawah 5 juta rupiah per bulan. Berdasarkan
hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (0,306)
pendapatan keluarga antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
38

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan


kuantitas makanan. Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa
peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan
kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat
gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang
berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan
bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan
merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang
dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga
keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya
berdampak positif terhadap status gizi.

Pengetahuan Gizi Ibu


Pengetahuan gizi ibu pada penelitian ini diukur dengan menggunakan
kuesioner yang diisi oleh ibu di rumah. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 20
soal mengenai pengetahuan gizi umum dan pengetahuan mengenai obesitas.
Rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu dari anak dengan status gizi obes adalah
86,5 ± 10,9 dengan kisaran 50-100. Kelompok anak dengan status gizi normal
memiliki rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu 87,75 ± 11,9 dengan kisaran 35-100.
Pengetahuan gizi ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang (skor <60%),
sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Sebaran anak berdasarkan
pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu
Status Gizi Anak
Karakteristik Orang Tua Normal Obes Total p value
n % n % n %
Kurang 1 2,5 1 2,5 2 2,5
Pengetahuan
Sedang 8 20,0 10 25,0 18 22,5 0,626
Gizi Ibu
Baik 31 77,5 29 72,5 60 75,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes
ternyata sebagian besar memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik
(72,5%). Bila dibandingkan dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal,
ternyata 77,5% anak yang berstatus gizi normal memiliki ibu dengan pengetahun
gizi yang baik. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun persentase pengetahuan gizi
ibu yang baik lebih tinggi pada kelompok anak berstatus gizi normal. Hal ini dapat
39

dikatakan ada kecenderungan ibu yang berpengetahuan gizi baik memiliki anak
yang berstatus gizi normal. Namun berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (p=0,626) pengetahuan gizi ibu antara anak berstatus
gizi normal dan anak obes.
Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat
hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang anak
obes. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh
kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat
menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak
yang baik, menjaga kesehatan anak, dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut,
pengetahuan ibu tentang obes pada anak juga berhubungan dengan status
pekerjaan ibu, yaitu ibu bekerja atau tidak.

Riwayat Makan Anak


Riwayat makan anak yang dimaksud adalah kondisi konsumsi anak pada
saat masih bayi. Riwayat makan anak terdiri dari pemberian ASI eksklusif,
pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat.

Pemberian ASI Eksklusif


ASI sangat penting bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat
gizi lain yang diperlukan oleh bayi. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian
ASI saja tanpa makanan lain dari mulai bayi dilahirkan sampai dengan uisa 6
bulan. Tabel 12 menggambarkan sebaran anak berdasarkan riwayat makan
anak.
Tabel 12 Sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak
Status Gizi Anak
p
Riwayat Makan Anak Normal Obes Total
value
n % n % n %
Ya 12 30,0 8 20,0 20 25,0
ASI Eksklusif 0,305
Tidak 28 70,0 32 80,0 60 75,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Pemberian Susu Tidak 26 65,0 17 42,5 43 53,8
0,045
Formula < 6 bulan Ya 14 35,0 23 57,5 37 46,2
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Pemberian Makan Tidak 25 62,5 20 50,0 45 56,2
0,263
Padat < 6 bulan Ya 15 37,5 20 50,0 35 43,8
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa
dari kelompok anak obes sebagian besar tidak mendapatkan ASI eksklusif pada
waktu bayinya. Sebanyak 32 dari 40 (80%) anak obes tidak mendapatkan ASI
40

eksklusif waktu bayi, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal, 70%
tidak mendapatkan ASI eksklusif waktu bayi. Dari sampel anak berstatus gizi
normal dan obes, ternyata sebanyak 75% ibu tidak memberikan ASI eksklusif
pada anaknya. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0,305) pemberian ASI eksklusif antara anak berstatus gizi
normal dengan anak obes.
Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh asupan
makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan
mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula
dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai
dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah
asupan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para
orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi
yang dibutuhkan anak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang
melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian
obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar
4,5%, dibandingkan dengan prevalensi obesitas pada anak yang pernah
mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada
masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil)
untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya.
Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian
obesitas pada masa anak.

Pemberian Susu Formula


Riwayat makan anak mengenai pemberian susu formula dikategorikan
menjadi dua, yaitu pemberian susu formula sebelum usia anak 6 bulan dan
pemberian susu formula setelah usia anak 6 bulan. Berdasarkan hasil pada
Tabel 12 dapat diketahui bahwa kecenderungan obes dialami anak yang diberi
susu formula sebelum usia 6 bulan.
Terdapat 23 dari 40 (57,5%) anak obes yang diberi susu formula lebih
awal atau sebelum usia 6 bulan. Berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi
normal, sebanyak 65% anak berstatus gizi normal tidak diberi susu formula
sebelum usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0,045) pemberian susu formula antara anak berstatus gizi
normal dengan anak obes.
41

Terdapat 42,5% anak obes yang tidak diberi susu formula sebelum usia 6
bulan namun mengalami obes. Hal ini bisa saja terjadi karena anak yang tidak
diberikan susu formula sebelum usia 6 bulan, namun dalam pertumbuhannya
diberikan makaan dengan jumlah yang lebih dari kecukupannya dan tidak
diimbangi dengan aktifitas fisik, maka anak akan tumbuh dengan status gizi
obes. Pemberian susu formula dalam takaran yang sesuai dan frekuensi yang
tidak berlebih juga akan membantu konsumsi energi yang seimbang pada anak.
Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan
makanan yang berlebih. Anak yang biasa minum susu dalam botol, jumlah
masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para
orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi
yang dibutuhkan anak. Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001),
didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di antaranya
mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu dengan
osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan energi
yang melebihi kebutuhan optimal.

Pemberian Makanan Padat


Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui tidak ada perbedaan yang nyata
antara pemberian makanan padat sebelum usia 6 bulan dengan status gizi obes
pada anak. Hal ini dikarenakan pada kelompok anak obes, baik anak yang diberi
makanan pada sebelum usia 6 bulan dan setelah usia 6 bulan memiliki
persentase yang sama (50%). Sebanyak 25 dari 40 (62,5%) anak berstatus gizi
normal tidak diberi makanan padat (biskuit bayi) sebelum usia 6 bulan,
sedangkan hanya 37,5% anak berstatus gizi normal yang diberi makanan padat
setelah usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat
perbedaan yang siginifikan (p=0,263) pemberian makanan padat antara anak
berstatus gizi normal dengan anak obes.
Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001), pemberian
makanan padat yang terlalu dini (sebelum usia 6 bulan) pada anak merupakan
salah satu faktor penyebab timbulnya obesitas pada anak. Pada anak yang
mendapatkan makanan padat terlalu dini (bubur bayi, biskuit, dan nasi tim
sebelum 6 bulan) masukan energi akan melebihi kebutuhan energinya. Dari
penelitian didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di
antaranya mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu
42

dengan osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan


energi yang melebihi kebutuhan optimal.

Kebiasaan Makan
Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi
berulang-ulang. Kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan
yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan
dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan
menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor
psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003).
Menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia
atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi
sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan yang dilihat di
penelitian ini di antaranya adalah konsumsi harian dengan menghitung energi,
protein, dan lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, konsumsi soft
drink, dan konsumsi makanan berlemak.

Asupan Zat Gizi


Pengukuran asupan zat gizi anak menggunakan metode food record 1x24
jam pada hari libur dan metode food recall 1x24 jam pada hari sekolah.
Kemudian konsumsi pangan dari dua hari tersebut dirata-ratakan. Metode food
record ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah
lebih akurat, sedangkan kelemahannya adalah perlu adanya partisipasi tinggi
dari responden dan pola konsumsi pangan rumah tangga bisa berubah.
Kelebihan dari metode food recall yaitu mudah dalam melaksanakannya, tidak
membebani responden, biaya murah, dan cepat. Namun metode ini juga memiliki
kekurangan yaitu kurang dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari jika
dilakukan satu hari dan ketepatannya tergantung dari daya ingat responden.
Asupan energi anak berstatus gizi normal berkisar 1169-2854
kkal/kap/hari, sedangkan asupan energi anak obes berkisar 1691-3318
kkal/kap/hari. Data asupan energi, protein, dan lemak anak terdapat pada
Lampiran 4. Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak anak berstatus gizi
normal dan anak obes dapat dilihat pada Tabel 13.
43

Tabel 13 Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak per kapita per hari
Satus Gizi Anak
Energi dan Zat Gizi p value
Normal Obes
Energi (kkal/kap/hari) 2007 ± 403 2406 ± 388 0,000
Protein (g/kap/hari) 70,4 ± 22,8 67,4 ± 20,1 0,536
Lemak (g/kap/hari) 68,8 ± 22,5 89,2 ± 19,9 0,000
Berdasarkan hasil pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata asupan
energi anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi
normal, yaitu dengan rata-rata asupan anak berstatus gizi normal 2007 ± 403
kkal/kap/hari dan anak obes 2406 ± 388 kkal/kap/hari. Hasil uji t-test
menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata antara asupan energi anak
obes dan anak berstatus gizi normal (p=0,000).
Asupan lemak anak berstatus gizi normal berkisar 26,5-130,4 g/kap/hari,
sedangkan asupan lemak anak obes berkisar 48,9-142,3 g/kap/hari. Sama
halnya dengan asupan energi, rata-rata asupan lemak anak obes lebih tinggi
dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal, yaitu dengan rata-rata asupan
lemak anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 89,2 ±
19,9 g/kap/hari. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang nyata
(p=0,000) antara rata-rata asupan lemak anak obes dengan anak status gizi
normal.
Asupan protein anak berstatus gizi normal berkisar 35,2-121,7 g/kap/hari,
sedangkan asupan energi anak obes berkisar 39,4-135,5 g/kap/hari. Berbeda
dengan rata-rata asupan energi dan lemak contoh, rata-rata asupan protein anak
obes ternyata lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yaitu
rata-rata asupan protein anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan
anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari. Asupan protein anak berstatus gizi normal
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak obes. Protein tidak terlalu
berpengaruh dalam pembentukan sel lemak. Protein mempunyai kapasitas
penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme
asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan
dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas
penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan
lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi
dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Hidayati,
Irawan, Hidayat 2009). Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang
nyata antara rata-rata asupan protein anak obes dengan anak status gizi normal
(p=0,536).
44

Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan


antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah
kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan.
Menurut Hardinsyah dan Martianto (1988) tingkat kecukupan zat gizi
seseorang atau kelompok orang dapat diketahui dengan cara membandingkan
kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang
dengan angka kecukupannya. Kecukupan zat gizi antar individu berbeda
menurut berat badan, jenis kelamin, umur, keadaan fisiologis, dan lain-lain.
Rata-rata tingkat kecukupan energi dari anak dengan status gizi obes
adalah 118,2 ± 19,4 % dengan kisaran 82,5-161,8%. Kelompok anak dengan
status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi 92,0 ± 25,0 dengan
kisaran 44,2-143,4%. Rata-rata tingkat kecukupan protein dari anak dengan
status gizi obes adalah 135,8 ± 42,8 % dengan kisaran 78,8-301,1 %, sedangkan
kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan
protein 132,6 ± 50,1 % dengan kisaran 52,3-256,9 %. Tingkat kecukupan energi
dan protein dibedakan menjadi lima; defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit
tingkat sedang (70-79% AKG), kurang (80-89 % AKG), cukup (90-119% AKG),
dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Sebaran anak berdasarkan tingkat
kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
Status Gizi Anak
Tingkat Kecukupan Normal Obes Total p value
n % n % n %
Defisit tingkat berat 7 17,5 0 0,0 6 7,5
Defisit tingkat sedang 3 7,5 0 0,0 3 3,8
Energi Kurang 11 27,5 5 12,5 17 21,2 0,000
Cukup 15 37,5 14 35,0 29 36,2
Lebih 4 10,0 21 52,5 25 31,3
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Defisit tingkat berat 2 5,0 0 0,0 2 2,5
Defisit tingkat sedang 1 2,5 1 2,5 2 2,5
Protein Kurang 7 17,5 3 7,5 9 11,2 0,761
Cukup 10 25,0 13 32,5 23 28,8
Lebih 20 50,0 23 57,5 44 55,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes


memiliki tingkat kecukupan energi lebih (52,5%) dan cukup (35%). Hal ini
berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi normal, anak berstatus gizi normal
cenderung mengonsumsi energi dengan tingkat kecukupan energi yang cukup
(37,5%) dan kurang (27,5%). Bahkan tidak ada anak obes dengan tingkat
45

kecukupan energi defisit tingkat sedang dan defisit tingkat berat, sedangkan
pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 7,5% anak dengan tingkat
kecukupan energi defisit tingkat sedang dan 17,5% anak dengan tingkat
kecukupan energi defisit tingkat berat. Anak yang obes cenderung memiliki
kebiasaan pola makan berlebih serta mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih
banyak setiap kalinya. Selain itu anak yang obes juga sangat menyukai aktivitas
makan. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang sangat signifikan
(p=0,000) tingkat kecukupan energi antara anak berstatus gizi normal dengan
anak obes.
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes
sebanyak 57,5% mempunyai tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Hal
yang sama terjadi pada kelompok anak berstatus gizi normal, separuh (50%)
memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Nilai ini tidak berbeda
jauh dengan kelompok anak obes, namun pada kelompok anak obes nilai
persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,761) tingkat kecukupan protein
antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
Pertumbuhan anak sebaiknya didukung oleh konsumsi zat gizi yang
cukup. Menurut Almatsier (2003), protein merupakan bagian terbesar tubuh
setelah air yang mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain,
yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Oleh karena itu
protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan anak.
Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak terhadap konsumsi
energi dapat dilihat pada Tabel 15. Rata-rata konsumsi energi pada anak obes
adalah 2406 ± 388 kkal setiap hari. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan
dengan rata-rata konsumsi energi anak normal yaitu 2007 ± 403 kkal setiap hari.
Tabel 15 Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak
Rata-rata Konsumsi
% Kontribusi
Status Gizi Anak Energi Lemak p value
Lemak
(kkal/kap/hari) (g/kap/hari)
Normal 2007 ± 403 68,8 ± 22,5 30,4
0,027
Obes 2406 ± 388 89,2 ± 19,9 33,4
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa kontribusi konsumsi lemak
anak obes cenderung lebih banyak dibandingkan dengan anak dengan status
gizi normal. Kontribusi lemak pada anak obes sebesar 33,4% sedangkan pada
anak dengan status gizi normal sebesar 32,0%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda,
namun kontribusi lemak pada anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak
46

berstatus gizi normal. Kisaran kontribusi lemak pada anak obes adalah 21,6-
43,6%, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal adalah 14,4-
44,9%. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,027)
persen kontribusi lemak antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
Menurut Almatsier (2003), konsumsi lemak perlu diawasai karena tidak
boleh melebihi seperempat dari kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa
kontribusi lemak tidak boleh lebih dari 25%. Kontribusi lemak baik pada anak
obes dan anak berstatus gizi normal ternyata melebihi 25%. Maka kedua
kelompok tersebut mengonsumsi lemak melebihi batas yang telah dianjurkan.
Nilai ini mungkin saja terjadi, karena nilai konsumsi yang diketahui adalah
konsumsi saat ini, di mana kedua kelompok tersebut banyak mengonsumsi
makanan yang berlemak dan makanan yang digoreng saat dilakukan food record
dan food recall.

Kebiasaan Konsumsi Camilan


Makanan camilan biasa dikonsumsi di luar jam makan utama. Tabel 16
merupakan sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil anak dengan kejadian
kegemukan anak.
Tabel 16 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil
Status Gizi Anak
Kebiasaan Ngemil Normal Obes Total p value
n % n % n %
Tidak 9 22,5 5 12,5 14 17,5
0,242
Ya 31 77,5 35 87,5 66 82,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa kelompok anak obes
sebagian besar suka ngemil. Terdapat 35 dari 40 (87,5%) anak obes yang suka
ngemil, sedangkan hanya 5 dari 40 (12,5%) anak obes yang tidak suka ngemil.
Hal yang sama terjadi pada anak berstatus gizi normal, terdapat 77,5% anak
berstatus gizi normal yang suka ngemil dan 22,5% anak berstatus gizi normal
yang tidak suka ngemil. Dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes
sebanyak 66 dari 80 (82,5%) anak suka ngemil. Namun persentase anak yang
suka ngemil lebih tinggi pada kelompok anak obes. Berdasarkan hasil uji Mann-
Whitney U tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,242) kebiasaan ngemil
antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
Kebiasaan ngemil ini tidak buruk apabila dimaksudkan untuk membantu
penyediaan energi yang kurang dari asupan makanan utama sehari-hari, tetapi
perlu diperhatikan jenis camilannya. Tidak ada bantahan bahwa beberapa jenis
47

camilan termasuk bergizi. Camilan dikatakan buruk apabila berlebihan


kandungan gula, garam, dan lemak, tetapi rendah protein, vitamin, dan mineral.
Sebaran anak berdasarkan jenis makanan camilan yang biasa dikonsumsi dapat
dilihat pada Tabel 17. Kebiasaan konsumsi camilan terdiri atas jenis camilan
makanan ringan, biskuit, es krim, coklat, dan gorengan.
Tabel 17 Sebaran anak berdasarkan jenis camilan
Status Gizi Anak
Jenis Camilan Normal Obes Total p value
n % n % n %
Makanan Tidak 25 62,5 16 40,0 41 51,2
0,045
Ringan Ya 15 37,5 24 60,0 39 48,8
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tidak 22 55,0 25 62,5 47 58,8
Biskuit 0,498
Ya 18 45,0 15 37,5 33 41,2
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tidak 38 95,0 29 72,5 67 83,8
Es Krim 0,007
Ya 2 5,0 11 27,5 13 16,2
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tidak 37 92,5 31 77,5 68 85,0
Coklat 0,062
Ya 3 7,5 9 22,5 12 15,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tidak 38 95,0 26 65,0 64 80,0
Gorengan 0,001
Ya 2 5,0 14 35,0 16 20,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tabel 17 menunjukkan bahwa 60% anak obes suka ngemil makanan
ringan, sedangkan anak berstatus gizi normal yang suka ngemil makanan ringan
hanya 37%. Anak berstatus gizi normal dan obes cenderung tidak suka
mengemil biskuit, es krim, coklat, dan gorengan, namun jika dibandingkan antara
anak berstatus gizi normal dan obes yang suka mengemil es krim, coklat, dan
gorengan, ternyata persentasenya lebih banyak terjadi pada anak obes
dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal.
Terdapat 27,5% anak obes yang suka ngemil es krim, sedangkan pada
anak berstatus gizi normal hanya 5%. Terdapat 22,5% anak obes yang suka
ngemil coklat, sedangkan pada kelompok anak normal hanya 7,5%, dan terdapat
35% anak obes yang suka ngemil gorengan sedangkan pada kelompok anak
berstatus gizi normal hanya 5% yang suka ngemil gorengan. Tetapi pada jenis
camilan biskuit, anak berstatus gizi normal persentasenya lebih tinggi
dibandingkan dengan anak obes. Terdapat 45% anak berstatus gizi normal yang
suka ngemil biskuit dan 37,5% anak obes yang suka ngemil biskuit. Berdasarkan
hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
konsumsi jenis camilan biskuit (p=0,498) dan coklat (p=0,062) dari anak
berstatus gizi normal dan anak obes. Namun terdapat perbedaan yang signifikan
48

pada konsumsi jenis camilan makanan ringan (p=0,045), es krim (0,007), dan
gorengan (0,001) dari kedua kelompok anak tersebut (anak berstatus gizi normal
dan obes).
Jenis camilan seperti es krim, coklat, dan gorengan memiliki kandungan
lemak yang tinggi. Makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar
dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan
makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak
juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan
yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh
rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak
mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan
disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab
perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam
sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan
mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain
game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang
sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan
yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi
energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab
obesitas pada anak.

Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah


Sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan
vitamin, mineral, dan serat bagi tubuh. Selain itu, sayuran dan buah-buahan juga
sangat penting sebagai sarana untuk pencegahan kegemukan. Oleh karena itu
konsumsinya dianjurkan setiap hari. Tabel 18 menunjukkan sebaran anak
berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah.
49

Tabel 18 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah


Status Gizi Anak
Konsumsi Sayur dan Buah Normal Obes Total p value
n % n % n %
Setiap hari 9 22,5 16 40,0 25 31,2
4-6 kali/minggu 15 37,5 6 15,0 21 26,3
Sayur 0,468
1-3 kali/minggu 14 35,0 18 45,0 32 40,0
Tidak pernah 2 5,0 0 0,0 2 2,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Setiap hari 8 20,0 9 22,5 17 21,2
4-6 kali/minggu 8 20,0 6 15,0 14 17,5
Buah 0,736
1-3 kali/minggu 23 57,5 22 55,0 45 56,3
Tidak pernah 1 2,5 3 7,5 4 5,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa pada kelompok anak obes
sebagian besar mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu. Terdapat 45% anak
obes yang mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu, sedangkan pada kelompok
anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi sayur 4-6 kali tiap
minggu, yaitu 37% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi sayur 4-6 kali
tiap minggu. Anak berstatus gizi normal cenderung lebih sering mengonsumsi
sayur dibandingkan dengan anak obes. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U
tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,468) frekuensi konsumsi sayur
antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.
Berdasarkan data pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa sebagian besar
anak berstatus gizi normal dan obes cenderung mengonsumsi buah 1-3 kali tiap
minggu. Terdapat 57,5% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi buah 1-3
kali tiap minggu dan 55% anak obes yang mengonsumsi buah 1-3 kali tiap
minggu. Namun terdapat 7,5% anak obes yang tidak pernah mengonsumsi buah,
nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak normal yang tidak
pernah mengonsumsi buah (2,5%). Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,736) frekuensi konsumsi buah antara
anak berstatus gizi normal dan anak obes.
Kecenderungan yang sama pada frekuensi konsumsi sayur dan buah ini
diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam
mengonsumsi sayur dan buah dalam seminggu tanpa melihat kuantitas dan
kualitasnya. Walaupun contoh mengonsumsi buah setiap hari, tetapi dalam
jumlah yang sedikit atau jenisnya yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat
memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan.
Bahkan belum diketahui juga apakah konsumsi contoh sudah memenuhi
kebutuhan yang dianjurkan.
50

Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ’kurang’ konsumsi


sayur dan buah apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari 5 porsi per hari
selama 7 hari dalam seminggu. Secara keseluruhan, penduduk umur 10-14
tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6%. Berdasarkan
tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak
pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan
lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi
konsumsi buah dan sayur.

Frekuensi Konsumsi Fast food dan Soft drink


Konsumsi fast food dan soft drink yang berlebihan tidak baik untuk
kesehatan, karena kedua jenis makanan tersebut mengandung kalori yang
sangat tinggi. Tetapi usia anak sekolah merupakan usia yang menjadi sasaran
konsumen bagi produsen fast food dan soft drink, hal ini dikarenakan mudah
didapat di pusat perbelanjaan, praktis, dan memiliki rasa yang enak dan lezat.
Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dan soft drink dapat
dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dan fast food
Status Gizi Anak
Konsumsi Normal Obes Total p value
n % n % n %
Tidak pernah 14 35,0 9 22,5 23 28,8
Soft 1-3 kali/minggu 23 57,5 17 42,5 40 50,0
0,014
Drink 4-6 kali/minggu 3 7,5 14 35,0 17 21,2
Setiap hari - - - - - -
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tidak pernah 3 7,5 2 5,0 5 6,2
Fast 1-3 kali/minggu 33 82,5 17 42,5 50 62,5
0,000
Food 4-6 kali/minggu 3 7,5 18 45,0 21 26,3
Setiap hari 1 2,5 3 7,5 4 5,0
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa baik
dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes ternyata terbiasa
mengonsumsi soft drink 1-3 kali tiap minggunya. Namun persentase anak yang
suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu lebih banyak terjadi pada anak
obes yaitu sebasar 35%, sedangkan hanya 7,5% anak berstatus gizi normal yang
suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu. Tidak ada anak berstatus gizi
normal dan obes yang mengonsumsi soft drink setiap hari. Berdasarkan hasil uji
Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,014) frekuensi
konsumsi soft drink antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
51

Sebagian besar anak yang suka mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap
minggu terjadi pada kelompok anak obes. Terdapat hampir separuh (45%) anak
obes yang mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak
berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi fast food 1-3 kali tiap minggu
(82,5%). Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari lebih banyak terjadi pada
kelompok anak obes, terdapat 7,5% anak obes yang mengonsumsi fast food
setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal hanya 2,5%
yang mengonsumsi fast food setiap hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak
obes cenderung lebih sering mengonsumsi fast food dibandingkan dengan anak
berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi fast food antara anak berstatus gizi
normal dengan anak obes.
Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan
dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun
anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini meskipun kandungan
dalam minuman tersebut tidak baik untuk kesehatan. Menurut WHO (2000),
perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan
cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks
merupakan salah satu faktor risiko obesitas.
Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk
atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat
modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena
menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin,
restoran yang mudah ditemukan, serta karena pelayanannya yang selalu sedia
setiap saat bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000).

Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak


Makanan berlemak tidak dapat dipungkiri terasa lezat di mulut, tetapi
membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Sebaran anak berdasarkan
frekuensi konsumsi makanan berlemak dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak
Status Gizi Anak
Konsumsi Normal Obes Total p value
n % n % n %
Tidak pernah 1 2,5 0 0,0 1 1,2
Makanan 1-3 kali/minggu 32 80,0 8 20,0 40 50,0
0,000
Berlemak 4-6 kali/minggu 7 17,5 27 67,5 34 42,5
Setiap hari 0 0,0 5 12,5 5 6,3
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
52

Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang


suka mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu terjadi pada
kelompok anak obes. Terdapat lebih dari separuh (67,5%) anak obes yang
mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak
berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi makanan berlemak 1-3 kali
tiap minggu (80,0%). Terdapat 12,5% anak obes yang mengonsumsi makanan
berlemak setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal tidak
ada anak yang mengonsumsi makanan berlemak tiap hari. Maka dapat dikatakan
bahwa anak obes cenderung lebih sering mengonsumsi makanan berlemak
dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Hal ini sesuai dengan
persentase kontribusi lemak anak obes yang lebih tinggi dibandingkan dengan
anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U Terdapat
perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi lemak antara
anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan
protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak
terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya
rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk
dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005).
Menurut RISKESDAS (2007), pada kelompok umur 10-14, terdapat
13,5% anak yang sering mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang
sering mengonsumsi jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak
dan jeroan dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku
konsumsi makanan berisiko dikelompokkan “sering” apabila penduduk
mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat
pendidikan, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan
cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe
daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih
tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah
tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan
jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi
(RISKESDAS 2007).
53

Aktivitas Fisik
Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk
penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik
merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari
total energi expenditure. Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena
tidak adanya keseimbangan energi, di mana asupan energi jauh lebih besar
dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik
(WHO 2000).
Menurut WHO (2000), kehidupan modern telah memberikan pola hidup
yang efisien. Ketika berada di tempat umum (publik area), tersedia eskalator atau
lift untuk mempercepat proses menempuh jarak sekaligus menghemat waktu.
Dengan sistem transportasi yang semakin canggih, seseorang dapat menempuh
jarak jauh dengan lebih cepat dan mudah, tidak seperti berjalan kaki atau naik
sepeda. Keterbatasan gerak manusia inilah yang pada akhirnya berujung pada
kejadian obesitas. Terdapat tiga aktivitas kegiatan yang dilihat pada penelitian ini,
yaitu alokasi waktu tidur, alokasi waktu menonton TV, bermain game, serta
internet, dan alokasi waktu bermain di luar rumah.

Waktu Tidur
Alokasi waktu tidur adalah lamanya anak tidur dalam satu hari, baik tidur
malam maupun tidur siang. Rata-rata waktu tidur anak obes adalah 9,0 ± 1,1 jam
dengan kisaran 6,5-11,5 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-
rata waktu tidurnya adalah 9,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 6,5-11,5 jam. Alokasi
waktu tidur dikategorikan menjadi dua, yaitu kurang dari 8 jam dan lebih dari 8
jam. Tabel 21 merupakan sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan.
Tabel 21 Sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan
Status Gizi Anak
Alokasi Kegiatan Normal Obes Total p value
n % n % n %
≤8 jam 10 25,0 9 22,5 19 23,8
Waktu Tidur 0,697
> 8 jam 30 75,0 31 77,5 61 76,2
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Menonton TV, bermain ≤2 jam 16 40,0 6 15,0 22 27,5
0,363
game, dan internet >2 jam 24 60,0 34 85,0 58 72,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
≥2 jam 22 55,0 12 30,0 34 42,5
Bermain di Luar 0,009
<2 jam 18 45,0 28 70,0 46 57,5
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
54

Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui sebagian besar anak berstatus gizi


normal dan obes tidur lebih dari 8 jam per hari. Sebanyak 77,5% anak obes yang
menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari dan 75% anak
berstatus gizi normal yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur tiap
harinya. Nilai yang tidak berbeda jauh ini diduga bahwa waktu tidur yang dihitung
hanya rata-rata dari 2 hari saja. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (p=0,697) lamanya tidur antara anak berstatus gizi
normal dengan anak obes.
Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia 5-10 tahun seharusnya tidur
selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur
yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan
mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat
dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya
melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup
sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti
lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang
tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan
dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak juga
(Priyambodo 2010).
Menurut Boyles (2005), aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang
harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak
dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang
dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua
kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam.

Waktu Menonton TV, Bermain Game, dan Internet


Menonton televisi, bermain game, dan internet merupakan salah satu
bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang.
Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara
berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas
fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk
melakukan aktivitas fisik lainnya yang lebih banyak mengeluarkan energi.
Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi
yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan
erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan
55

memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca


energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005).
Rata-rata lama menonton TV, bermain game, dan internet anak obes
adalah 3,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 0,5-6,5 jam, sedangkan pada anak
berstatus gizi normal rata-rata lamanya menonton TV, bermain game, dan
internet adalah 2,8 ± 1,4 jam dengan kisaran 0-6 jam. Berdasarkan hasil pada
Tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes menghabiskan waktu
untuk menonton TV, bermain game, dan internet lebih dari 2 jam per hari (85%).
Pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 60% anak yang
menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game,
dan internet dalam satu hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes lebih
banyak menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain
game, dan internet dalam satu hari dibandingkan dengan anak berstatus gizi
normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(p=0,363) lamanya menonton TV, bermain game, dan internet antara anak
berstatus gizi normal dengan anak obes.
Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), penelitian terhadap anak
Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka
yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali
lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya.

Waktu Bermain di Luar


Waktu bermain di luar identik dengan permainan anak yang dilakukan
secara aktif, seperti bermain bola, bermain sepeda, dan permainan lainnya yang
melibatkan semua anggota tubuh untuk bergerak secara aktif. Selama
beraktivitas, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak,
sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan
sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada barapa
banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang
dilakukan (Almatsier 2006).
Rata-rata waktu bermain di luar anak obes adalah 1,6 ± 1,0 jam dengan
kisaran 0-4 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-rata waktu
bermain di luarnya adalah 2,1 ± 0,8 jam dengan kisaran 0,75-4,25 jam. Tabel 21
menggambarkan bahwa anak obes sebagian besar menghabiskan waktu
bermain di luar rumah kurang dari 2 jam perhari (70%), sedangkan pada
56

kelompok anak berstatus gizi normal sebanyak 55% menghabiskan waktunya


bermain di luar rumah lebih dari 2 jam per hari. Maka dapat dikatan bahwa anak
obes cenderung lebih sedikit bermain di luar dibandingkan dengan anak
berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,009) lamanya bermain di luar antara anak berstatus gizi normal
dengan anak obes.
Kurangnya aktivitas bermain di luar berarti sedikitnya energi yang
dikeluarkan anak. Padahal beraktivitas di luar rumah dimaksudkan agar anak
secara tidak langsung mengurangi waktunya menonton TV, bermain game,
internet atau kegiatan lain yang sifatnya sedentary. Adanya aktivitas fisik yang
cukup, maka energi expenditure dapat dipakai lebih banyak.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari
tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang
mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of
Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa
peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan
penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan
overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi
ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di
sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6%
anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain
atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar
sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan
kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah
mereka (Health & Human Services 2011).
Menurut RISKESDAS (2007), aktifitas fisik secara teratur bermanfaat
untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh
darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan
terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan
secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut
kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9%
(<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan
semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik
penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan
57

semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat
prevalensi kurang aktifitas fisik.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas


Obesitas berhubungan dengan berbagai faktor baik secara langsung
maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang dianalisis hubungan kemaknaannya
dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak),
faktor keturunan (IMT orang tua), riwayat makan anak (pemberian ASI Eksklusif,
pemberian susu formula, pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak
(TKE, TKP, konsumsi lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi cemilan,
frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi soft drink, serta frekuensi
konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur, lama
menonton televisi, bermain game, internet, dan waktu bermain di luar rumah).
Hasil uji korelasi antara variabel dependen dengan variabel independen dapat di
lihat pada Lampiran 5.

Hubungan Karakteristik Anak dengan Obesitas


Hasil uji korelasi antara karakteristik anak (jenis kelamin dan berat badan
lahir) dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Hubungan antara karakteristik anak dengan obesitas
Obesitas
Variabel
r p
Karakterisitk Anak
Jenis Kelamin -0.081 0.476
Berat Badan Lahir 0.253* 0.023
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 22 dapat diketahui


bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin anak
dengan obesitas pada anak (p=0,476; r=-0,081). Namun hasil uji korelasi
Pearson terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berat lahir anak
dengan obesitas pada anak (p=0,023; r=0,253). Hal ini berarti jika berat lahir
anak tidak normal (BBLR/Lebih) kecenderungan anak mengalami obesitas lebih
besar daripada anak dengan berat lahirnya normal.
Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi
obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kandungan menderita
kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi
setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses
pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih
58

besar, sistem tubuh mereka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini
berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan
akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak
lebih banyak dan lebih efisien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001).
Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan
antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko
kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa
berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas
pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-
0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan
antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak
laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk
menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-2,78) dan anak
laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010).

Hubungan Faktor Keturunan dengan Obesitas


Hasil uji korelasi Pearson antara faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu)
dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Hubungan antara faktor keturunan dengan obesitas
Obesitas
Variabel
r p
Faktor Keturunan
IMT ayah 0.408** 0.000
IMT ibu 0.203 0.071
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif


dan signifikan antara IMT ayah dengan obesitas (p=0,000; r=0,408). Namun tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ibu dengan obesitas (p=0,071;
r=0,203). Hal ini berarti semakin tinggi IMT ayah maka semakin tinggi kejadian
obesitas pada anak.
Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas,
80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian
obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menjadi 14%.
Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor
genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar
dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
59

selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel
yang relatif sama besar (Zainun 2002).

Hubungan Riwayat Makan Anak dengan Obesitas


Hasil uji korelasi Spearman antara riwayat makan anak (pemberian ASI
Eksklusif, pemberian susu formula, pemberian makanan padat) dengan obesitas
anak dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Hubungan antara riwayat makan anak dengan obesitas
Obesitas
Variabel
r p
Riwayat Makan
ASI Eksklusif -0.130 0.250
Pemberian susu formula < 6 bulan -0.219 0.051
Pemberian makanan padat <6 bulan -0.142 0.208
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang terdapat pada Tabel 24
dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian
ASI Eksklusif (p=0,250; r=-0,130), pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan
dengan obesitas pada anak (p=0,051; r=-0,219), dan pemberian makanan padat
dibawah usia 6 bulan (p=0,208; r=-0,142) dengan obesitas pada anak.

Hubungan Kebiasaan Makan Anak dengan Obesitas


Hasil uji korelasi antara kebiasaan makan anak (TKE, TKP, konsumsi
lemak, sayur dan buah, cemilan, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi
konsumsi soft drink, dan frekuensi konsumsi makanan berlemak) dengan
obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Hubungan antara kebiasaan makan anak dengan obesitas
Obesitas
Variabel
r p
Konsumsi
TKE 0.557** 0.000
TKP 0.125 0.267
Lemak 0.458** 0.000
Cemilan 0.076 0.502
Frekuensi Konsumsi
Sayur dan Buah -0.022 0.849
**
Soft Drink 0.314 0.005
**
Fast Food 0.311 0.005
Makanan Berlemak 0.469** 0.000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 25, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak


terdapat hubungan yang signifikan antara TKP (p=0,267; r=0,125), frekuensi
konsumsi sayur dan buah (p=0,849; r=-0,022), dan kebiasaan ngemil (p=0,502;
r=0,076) dengan kejadian obesitas pada anak.
60

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif


dan signifikan antara tingkat kecukupan energi (TKE) dengan obesitas (p=0,000;
r=0,557). Semakin tinggi tingkat kecukupan energi (TKE) maka semakin tinggi
kejadian obesitas pada anak. Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan
sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk
jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan.
Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas
kurang berakibat obesitas.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara konsumsi lemak dengan status gizi obes anak
(p=0,000; r=0,458). Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi lemak maka semakin
tinggi kejadian obesitas pada anak. Penelitian di Amerika dan Finlandia
menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko
peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan
meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena
makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai
efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang
banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang
lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi
yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat
berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan
dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang
tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak
sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati,
Irawan, Hidayat 2009).
Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang positif dan
signifikan pada frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food
(p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469) dengan obesitas
pada anak. Hal ini berarti semakin sering frekuensi konsumsi soft drink maka
semakin tinggi kejadian obesitas. Semakin sering frekuensi konsumsi fast food
maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak, dan semakin sering frekuensi
konsumsi makanan berlemak maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak.
61

Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan
dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun
anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini. Penelitian yang dilakukan
oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih
dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan
dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini
disebabkan karena anak-anak tidak mengurangi makanan utama yang dimakan
dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut.
Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori
dan semakin tinggi pertambahan berat badannya.
Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya
berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi
rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas.
Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya
obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali
mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak
mengonsumsinya.
Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng
berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central
obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal
dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan
lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk
mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007).
Hasil uji korelasi Pearson yang tidak signifikan antara frekuensi konsumsi
sayur dan buah dengan obesitas diduga karena penelitian ini hanya
memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi sayur dan buah dalam
seminggu tanpa dilihat kuantitas dan kualitasnya. Walaupun contoh
mengonsumsi sayuran setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenisnya
yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai
kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum diketahui juga apakah
konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan.

Hubungan Aktivitas Fisik Anak dengan Obesitas


Hasil uji korelasi Pearson antara aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama
menonton televisi, bermain game, internet; dan waktu bermain di luar rumah )
dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 26.
62

Tabel 26 Hubungan antara aktivitas fisik anak dengan obesitas


Obesitas
Variabel
r p
Tidur 0.005 0.967
Nonton TV, bermain game, internet 0.151 0.180
Bermain di luar -0.271* 0.015
Berdasarkan Tabel 26 hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya waktu yang dihabiskan
untuk tidur dalam satu hari (p=0,967; r=0,005) dan lamanya waktu yang
dihabiskan untuk menonton TV, bermain game, dan internet (p=0,180; r=0,151)
dengan obesitas pada anak. Namun hasil uji korelasi Pearson menunjukkan
terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara lamanya bermain di luar
dengan obesitas pada anak (p=0,015; r=-0,271). Hal ini berarti semakin
sedikitnya waktu yang dihabiskan untuk bermain di luar maka semakin tinggi
kejadian obesitas pada anak. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan
antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan
aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5
kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai
kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas (Hidayati, Irawan,
Hidayat 2009).
Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara
IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya
sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga
menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya
perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000).

Faktor Risiko Obesitas


Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu
penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan
oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain
aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu perilaku makan dan
pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat
2009).
Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk
mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan kejadian obesitas pada
anak. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang
berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat dan
63

beberapa variabel independen yang memiliki kemungkinan memiliki faktor risiko


obesitas pada anak. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap
kejadian obesitas pada anak.
Terdapat sebelas variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko
kejadian obesitas pada anak, diantaranya ialah: BBLR/Lebih, IMT ayah, IMT ibu,
pengetahuan gizi ibu, pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan, TKE,
frekuensi konsumsi soft drink, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi
makanan berlemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, dan lamanya bermain di
luar. Hasil uji regresi logistik disajikan pada Lampiran 6.
Hasil uji lanjut dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan
metode Enter mendapatkan 5 faktor risiko obesitas pada anak yang secara
signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak, diantaranya IMT
ayah, IMT ibu, TKE, frekuensi konsumsi fast food, dan frekuensi konsumsi
makanan berlemak. Hasil uji regresi logisitk mengenai faktor risiko obesitas pada
anak dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27 Faktor risiko obesitas pada anak
90,0% C.I. for OR
Faktor Risiko B Sig OR
Lower Lower
IMT ayah 0,402 0,018 1,494 1,129 1,977
IMT ibu 0,369 0,019 1,446 1,117 1,872
TKE 0,070 0,005 1,073 1,030 1,117
Frekuensi Konsumsi Fast Food 1,393 0,078 4,028 1,097 14,793
Frekuensi Konsumsi Makanan
2,205 0,008 9,071 2,300 35,783
Berlemak
Konstanta -30,931 0,006 0,000
*signifikansi atau p-value bermakna (p<0,10)

Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa


faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada
anak adalah IMT ayah (OR: 1,494; Cl 90%: 1,129-1,977), IMT ibu (OR: 1,446; Cl
90%: 1,117-1,872), TKE (OR: 1,073; Cl 90%: 1,030-1,117), frekuensi konsumsi
fast food (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793), dan frekuensi konsumsi makanan
berlemak (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Anak dari ayah yang status gizi
obes akan berisiko 1,494 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ayah yang
memilki status gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ayah obes memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk obes. Anak dari ibu yang status gizi obes akan
berisiko 1,446 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ibu yang memilki status
64

gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ibu obes memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk obes. Menurut Zainun (2002), orang tua yang gemuk cenderung
memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel
lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara
otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran
bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar.
Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari akan berisiko 4,028 kali
menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi fast food tidak setiap hari.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan food industry yang
salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi
lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko
obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko
terjadinya obesitas (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793). lni berarti mengonsumsi
fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan
mereka yang tidak mengonsumsinya (WHO 2000).
Menurut hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), menunjukkan bahwa
prevalensi obesitas di SD cukup tinggi (13,6 %). Prevalensi ini lebih tinggi pada
sekolah swasta (18,2 %) dibandingkan anak sekolah negeri (12,4%). Banyaknya
macam makanan cepat saji (fast food) yang dimakan berhubungan dengan
naiknya risiko obesitas (OR: 6,5; Cl 95%: 1,4-30,7). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa makanan cepat saji berhubungan erat dengan obesitas pada anak
Sekolah Dasar.
Anak yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari akan berisiko
9,071 kali menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi makanan
berlemak tidak setiap hari (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa
kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat
badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko
obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak
mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran
dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung
protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya makanan berlemak seperti
makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu
general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan
65

tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang


mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25
kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007).
Anak yang konsumsi energinya lebih dari kecukupannya memiliki risiko
1,073 kali menjadi obes dibandingkan dengan anak yang konsumsi energinya
cukup (OR: 1,073; Cl 90%: 1,030-1,117). Obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan
sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk
jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan
(Hartoyo 2007).
Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya
keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan
energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake
ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat
dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).
66

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan
kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata berat badan dari anak dengan status gizi
obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan kisaran 40-66 kilogram. Rata-rata berat
badan lahir dari anak dengan status gizi obes adalah 3343 ± 542 gram, dengan
kisaran 1600-4200 gram. Sebagian besar anak obes adalah anak laki-laki (70%).
Berdasarkan karakterisitik keluarga anak obes sebagian besar berasal dari ayah
yang status gizinya overweight (45%). Sebesar 45% anak obes dari ibu yang
overweight dan 5% dari ibu yang obes. Sebagian besar orang tua dari anak obes
penempuh pendidikan sampai perguruan tinggi (PT). Sebagian besar anak obes
memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan (67,5%).
Sebagian besar anak obes memiliki ibu dengan pengetahuan tentang gizi yang
baik (72,5%).
Berdasarkan riwayat makan, anak obes sebagain besar tidak
mendapatkan ASI eksklusif waktu bayi (80%). Sebagian besar anak obes tidak
mendapatkan susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan (57,5%).
Separuh anak obes diberikan makanan pada sebelum usia 6 bulan (50%).
Berdasarkan asupan zat gizinya, rata-rata asupan energi anak obes 2406 ± 388
kkal/kap/hari dengan kisaran 1691-3318 kkal/kap/hari. Rata-rata asupan protein
anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari dan rata-rata asupan lemak anak obes 89,2 ±
19,9 g/kap/hari.
Pola konsumsi anak obes sebagian besar suka ngemil (87,5%), frekuensi
konsumsi sayur sebagian besar 1-3 kali per minggu (45%), frekuensi konsumsi
buah sebagian besar 1-3 kali per minggu (55%), frekuensi konsumsi soft drink 1-
3 kali per minggu (42,5%), frekuensi konsumsi fast food 4-6 kali per minggu
(45%), dan frekuensi mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali per minggu
(67,5%).
Berdasarkan aktivitas fisiknya, anak obes sebagian besar tidur lebih dari
8 jam per hari (77,5%). Sebagian besar anak obes menghabiskan waktu lebih
dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu
hari (85%). Sebagian besar anak obes sedikit meluangakan waktunya untuk
bermain di luar, sebanyak 70% anak obes yang menghabiskan waktu bermain di
luar rumah kurang dari 2 jam per hari.
67

Faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas pada anak di antaranya


adalah berat lahir anak (p=0,023; r=0,253), IMT ayah (p=0,000; r=0,408), tingkat
kecukupan energi (p=0,000; r=0,557), konsumsi lemak (p=0,000; r=0,458),
frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311),
dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469), dan lamanya waktu bermain di luar
rumah (p=0,015; r=-0,271) dengan kejadian obesitas pada anak. Faktor risiko
yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak
adalah IMT ayah (OR: 1,494), IMT ibu (OR: 1,446), TKE (OR: 1,073), frekuensi
konsumsi fast food (OR: 4,028), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR:
9,071).

Saran
Faktor risiko yang menjadi penyebab obesitas anak pada penelitian ini
hendaknya menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan untuk lebih
memperhatikan kebiasaan makan anak. Pihak sekolah sebaiknya memberikan
porsi gerakan yang lebih dalam kegiatan olah raga pada anak obes. Bagi sekolah
yang memiliki kantin agar mengurangi jumlah dan jenis jajanan yang berlemak
tinggi. Pihak orang tua yang memiliki anak obes sebaiknya lebih mengurangi
pemberian konsumsi makanan camilan dan makanan yang berlemak tinggi
kepada anaknya, dan menggiatkan anak berolah raga.
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini sebaiknya diadakan pendidikan
gizi untuk orang tua dan murid yang lebih mengarah kepada tingkat penghayatan
dan penerapannya sehari-hari.
68

DAFTAR PUSTAKA

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Aini N. 2008. Pengendalian pola makan untuk mencegah obesitas.
http://kulinologi.biz/preview.php?view&id=169 [20 April 2011]
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Atkinson RL. 2005. Etiologies of Obesity. Di dalam: The Management of Eating
Disorders and Obestiy,2nd Ed. D.J Goldstein, editor. Totowa: Humana
Press, Inc.
Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di
dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian
Indonesia.
Bogen DL, Hanusa BH, Whitaker RC. 2004. The effect of breastfeeding with and
without concurrent formula feeding on risk of obesity at 4 years of age.
Obesity Research (2004) 12: 1527–1535.
Boyles S. 2005. Less sleep could mean more weight.
http://www.webmd.com/diet/news/20050110/less-sleep-could-mean-more
-weight [2 April 2011]
Castillon et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort
of Spanish adults from the European Prospective Investigation into
Cancer and Nutrition. Am J Clin Nutr (86):198 –205.
Cornell University. 2003. Too many Sweetened Drinks, from Soda to Lemonade,
Put Children at Risk of Obesity, Poor Nutrition, Study at Cornell Finds.
http://www.sciencedaily.com [10 Oktober 2011]
Darmono. 2006. Obesitas pada anak bisa turunkan tingkat kecerdasan.
www.litbang.depkes.co.id [2 April 2011]
Effendi YH. 2003. Pengelolaan Obesitas. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertania, IPB.
Hardinsyah & Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian IPB.
& Martianto D. 1988. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta
Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari.
Hartoyo E. 2007. Gemuk belum tentu sehat. www.indomedia.co.id [2 April 2011]
Heird WC. 2002. Parental Feeding Behavior and Children’s Fat Mass. Am J Clin
Nutr (75): 451 – 452.
Health & Human Services. 2001. Childhood obesity. http://aspe.hhs.gov/health/
reports/child_obesity/ [16 Oktober 2011]
Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya: Divisi
Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Unair.
69

IOTF. 2004. IOTF demands action on chilhood obesity crisis.


www.chw.edu.au/prof/services/chism/iotf_press_release.pdf [1 April 2011]
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Kries V, Rudiger. 1999. Breast Feeding and Obesity: Cross Sectional Study.
BMJ. Volume 319; 17 Juli 1999.
Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Gizi Terapan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nishida C, Mucavele P. 2005. Monitoring The Rapidly Emerging Public Health
Problem of Overweight and Obesity. The WHO Global Database On Body
Mass Index. SCN News (29):5-11.
Oldroyd J, Renzaho A, Skouteris H. 2010. Low and high birth weight as risk
factors for obesity among 4 to 5-year-old Australian children: does gender
matter? Eur J Pediatr 170 (7): 899-906. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/21174121 [4 November 2011]
Padmiari IAE & Hadi H. 2001. Konsumsi fast food sebagai faktor risiko obesitas
pada anak SD. www.tempo.co.id [2 April 2011]
Parson, Tessa J, Power C, Manor O. 2001. Fetal and Early Life Growht and Body
Mass Index From Birth To Early Adulthood In 1958 British Cohort:
Longitudinal Study. BMJ (323):1331-1335.
Popkin B. 2007. Ubah kebiasaan ngemil anak sekarang juga.
www.parenting.co.id [26 September 2011]
Priyambodo. 2010. Sedikit tidur berisiko obesitas pada anak.
http://www.antaranews.com/berita/1284156755/sedikit-tidur-berisiko-
obesitas-pada-anak [2 April 2011]
Proper KI, Cerin E, Brown WJ, Owen N. 2006. Sitting Time and Sosio-economic
Differences in Overweight and Obesity dalam International Journal of
Obesity 2007 (31): 169-176. www.npg.org [2 April 2011]
Reilly et al. 2005. The Avon Longitudinal Study of Parents and Children Study
Team. 2005. Early life risk factor for obesity in childhood: cohort study.
British Medical Journal (330):1357.
Rimbawan & Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Riyadi H. 2003. Metode Penelitian Status Gizi secara Antropometri. Bogor:
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Siagian A. 2004. Hubungan sarapan dan obesitas.
http://kesehatan.myhendra.web.id/2010/06/hubungan-sarapan-dan-
obesitas.html [1 April 2011]
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
70

WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epedemic. Geneva:
WHO Technical Report Series.
WHO. World Health Organization. 2005. Body Mass Indeks (BMI) = Indeks
Massa Tubuh. http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html 3
[2 April 2011]
WHO. 2007. Growth reference 5-19 years. www.who.int [2 April 2011]
Wirakusumah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Worthington B, Williams RSR. 2000. Nutrition Trought out the life Cycle, Fourth
Edition. Boston: Mc Graw Hill Companies.
Yueniwati T, Rahmawati A. 2001. Hubungan karakteristik sosial ibu dengan
pengetahuan tentang obesitas pada anak. www.tempointeraktif.com [2
April 2011]
Yussac MAA et al. 2007. Prevalensi obesitas pada anak usia 4-6 tahun dan
hubungannya dengan asupan serta pola makan.
www.mki.idionline.org/index [2 April 2011]
Zainun M. 2002. Obesitas dan faktor penyebabnya. www.e-psikologi.com [2 April
2011]
71

LAMPIRAN
72

Lampiran 1 Kuesioner

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Ibu/Bapak orang tua murid, perkenalkan saya Riksa Aditya Pramudita.
Saya alumni SD, SMP, dan SMA Insan Kamil Bogor dan sekarang sedang
kuliah di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Dalam
rangka penelitian skripsi, saya mohon kesediaan Ibu/Bapak untuk mengisi
kuesioner sebagai data penelitian saya dengan lengkap dan benar. Segala
identitas Ibu/Bapak serta putra putri Ibu akan dijaga kerahasiaanya. Bantuan
Ibu/bapak untuk pengisian kuesioner ini sangat berharga dalam mencapai
tujuan penelitian ini yaitu untuk 1) mencegah kejadian obesitas pada anak; 2)
bagi pihak sekolah dapat dijadikan masukan untuk memberikan materi dan
praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat membina perilaku gizi
anak menjadi lebih baik. Pengisian kuesioner dengan baik dan teliti sangat
membantu untuk memperoleh data yang valid dan baik. Atas kerjasama
Ibu/Bapak saya sampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

KUESIONER

FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR


DI KOTA BOGOR

Nama Orang Tua : __________________________________


Nama Anak : __________________________________
Tanggal Lahir : __________________________________
Jenis Kelamin :L/P
Alamat Rumah : __________________________________
No. Telp/ Hp : __________________________________

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
73

KUESIONER ORANG TUA


a. Identitas Ibu dan Keluarga
Pengisian nama lengkap, umur, berat badan dan tinggi badan semua anggota keluarga.
Hubungan dengan kepala keluarga dan pendidikan diisi sesuai kategori yang ada di
bawah tabel. Pengisian berat badan dan tinggi badan anggota keluarga wajib diisi
dengan benar.
Nama Anggota Hub dg Umur
No JK Pendidikan3) BB4) TB5)
Keluarga KK1) (thn/bln)
1 L/P
2 L/P
3 L/P
4 L/P
5 L/P
6 L/P
7 L/P
8 L/P
Keterangan :
1) Hubungan dengan kepala keluarga:
1. Kepala keluarga; 2. Istri; 3. Anak; 4. Orang tua; 5. Saudara; 6. Lainnya
2) Tingkat pendidikan terakhir:
1. SD/sederajat
2. SMP/sederajat
3. SMA/sederajat
4. Perguruan tinggi/sederajat
3) Berat badan (BB) dalam kg
4) Tinggi badan (TB) dalam cm

b. Pendapatan Keluarga dan Pengeluaran Pangan


Total Pendapatan/bulan
Anggota Keluarga Status Pekerjaan
(Rp)
Utama:
Tambahan:
Suami
1.
2.
Utama:
Tambahan:
Istri
1.
2.
1. <3.000.000
2. 3.000.000-5.000.000
Total*
3. 5.000.000-10.000.000
4. >10.000.000
Rata-rata pengeluaran untuk pangan/bulan Rp. ………………….,-
*Lingkari menurut total pendapatan suami dan istri perbulan sebenarnya
74

c. Karakteristik Anak
No Pertanyaan Jawaban
1 Umur anak …...…...………Tahun…………...…Bulan
2 Usia kandungan saat anak dilahirkan Bulan
3 Berat lahir anak gram

d. Riwayat Makan Anak


Lingkari dan isi menurut jawaban yang paling sesuai dengan kondisi saat anak
ibu/bapak masih bayi.
No Pertanyaan Jawaban
1 Apakah ibu memberikan ASI a. Tidak diberikan
kepada anak ibu? b. Diberikan mulai usia……….............. bln
sampai……………………... ............. bln
2 Apakah anak ibu diberi susu a. Tidak diberikan
formula? b. Diberikan mulai usia……….............. bln
sampai……………………….......(thn/bln)
3 Makanan selain ASI yang pernah a. Sari buah, sejak usia ...................... bln
diberikan sebelum usia 6 bulan b. Teh/kopi, sejak usia........................ bln
pada anak? c. Madu, sejak usia ............................ bln
d. Bubur tim, sejak usia ...................... bln
e. Biskuit/roti, sejak usia ..................... bln
f. Pisang, sejak usia .......................... bln
g. ……………….,sejak usia ................ bln
h. Hanya dibeikan ASI saja selama 6 bulan
75

e. Pengetahuan Gizi Ibu (Diisi oleh Ibu)


Jawaban diisi oleh Ibu dan silanglah jawaban yang menurut ibu paling tepat!
1. Makanan yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh
adalah zat gizi….
a. Lemak b. Protein c. Karbohidrat d. Tidak tahu

2. Pangan yang termasuk sumber protein adalah….


a. Jagung b. Bayam c. Telur d. Tidak tahu

3. Anemia disebabkan karena kekurangan….


a. Lemak b. Zat besi c. Protein d. Tidak tahu

4. Zat besi banyak terdapat dalam….


a. Wortel b. Sawi putih c. Bayam d. Tidak tahu

5. Jenis vitamin yang larut dalam lemak adalah….


a. A, C, K b. A, D, E, K c. D, C d. Tidak tahu

6. Sinar matahari pada pagi hari bermanfaat untuk menghasilkan vitamin….


a. E b. K c. D d. Tidak tahu

7. Buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C adalah….


a. Jambu biji b. Apel c. Pepaya d. Tidak tahu

8. Berapa minimal berat lahir bayi yang dikatakan sehat….


a. 3,5 kg b. 2,5 kg c. 3 kg d. Tidak tahu

9. Untuk mendukung pertumbuhan anak sebaiknya makanan tambahan selain ASI


diberikan setelah usia….
a. 3 bulan b. 6 bulan c. 1 tahun d. Tidak tahu

10. Mengonsumsi makanan berlemak tinggi dalam jangka waktu lama akan
mengakibatkan….
a. Anemia b. Kekurangan c. Obesitas d. Tidak tahu
protein

11. Obesitas adalah…..


a. Kelebihan berat b. Kelebihan berat c. Gizi buruk d. Tidak tahu
badan karena badan akibat
massa otot tertimbunnya
lemak

12. Sebagian besar obesitas (kegemukan) disebabkan timbul karena faktor….


a. Usia semakin b. Jenis kelamin c. Pola konsumsi d. Tidak tahu
bertambah

13. Obesitas dikarenakan pola makan sehari-hari yang….


a. Rendah lemak b. Tinggi vitamin c. Tinggi d. Tidak tahu
dan tinggi dan tinggi karbohidrat dan
protein protein tinggi lemak

14. Gangguan obesitas dapat terjadi pada….


a. Balita, remaja b. Remaja, c. Balita, remaja, d. Tidak tahu
dewasa dewasa
76

15. Obesitas menjadi berbahaya karena….


a. Bebas bergerak b. Tubuh mudah c. Mendorong d. Tidak tahu
terinfeksi timbulnya
penyakit
degeneratif

16. Contoh dari penyakit degeneratif akibat obesitas adalah….


a. Diabetes b. Marasmus c. Kwasiorkor d. Tidak tahu

17. Cara mengatasi obesitas yang baik adalah dengan cara….


a. Mengatur pola b. Mengatur c. Minum jamu d. Tidak tahu
makan dan jadwal istirahat
olah raga

18. Anak yang gemuk (obesitas) sebaiknya….


a. Banyak b. Makan sehari c. Banyak minum d. Tidak tahu
melakukan satu kali susu
aktivitas fisik

19. Orang yang gemuk (obesitas) sebaiknya banyak mengonsumsi….


a. Susu b. Daging dan c. Buah dan sayur d. Tidak tahu
telur
20. Penderita obesitas sebaiknya mengurangi konsumsi….
a. Buah b. Ikan c. Makanan d. Tidak tahu
berlemak
77

KUESIONER ANAK
a. Pola Makan Anak
No Pertanyaan Jawaban
1 Berapa kali kamu makan utama ..................................................... kali
dalam sehari?
2 Apa kamu selalu sarapan setiap a. Ya b. tidak
hari?
3 Apa kamu suka minum susu? a. Ya b. tidak
4 Berapa kali kamu minum susu ..................................................... kali
dalam sehari?
5 Jenis susu apa yang biasa kamu a. Susu bubuk,
minum? Merk: .....................................
b. Susu segar/cair
Merk: .....................................
c. Susu kental manis
Merk: .....................................
6 Apa kamu suka ngemil? a. Ya b. tidak
Kalo ya, merk makanan atau minuman
apa yang biasa kamu makan saat nonton
TV/main game/internet/main di rumah?
1. .............................................
2. .............................................
3. .............................................
4. .............................................
7 Biasanya berapa kali kamu jajan ..................................................... Kali/hari
dalam sehari? Jajanan kesukaan kamu apa saja?
1. .............................................
2. .............................................
3. .............................................
4. .............................................
8 Berapa uang saku kamu dalam Rp ................................................ ,-
sehari ke sekolah? Rata-rata uang yang dipakai untuk jajan di
sekolah?
Rp ................................................ ,-
9 Apa kamu suka minum soft drink? a. Tidak pernah
Soft drink (minuman bersoda) b. 1-3 kali/minggu
seperti coca cola, fanta, pepsi, c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
sprite, dll
10 Apa kamu suka makan fast food? a. Tidak pernah
Contoh Fast food : fried chicken, b. 1-3 kali/minggu
pizza, burger, mie instan, kebab, c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
kentang goreng.
11 Apa kamu suka makan makanan a. Tidak pernah
seperti ice cream, gorengan, b. 1-3 kali/minggu
bakso,martabak, roti goreng, Donat, c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
mie goreng, nasi goreng, kue Tart,
kue black forest?
12 Berapa kali kamu makan sayur a. Setiap hari
dalam seminggu? b. 4-6 kali/minggu
c. 1-3 kali/minggu
d. Tidak pernah
78

13 Berapa kali kamu makan buah a. Setiap hari


dalam seminggu? b. 4-6 kali/minggu
c. 1-3 kali/minggu
d. Tidak pernah
14 Berapa kali kamu makan daging a. Tidak pernah
ayam? b. 1-3 kali/minggu
Seperti ayam goreng, sate ayam, c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
nuget ayam, opor ayam, dll.
15 Berapa kali kamu makan daging a. Tidak pernah
sapi? b. 1-3 kali/minggu
Seperti bakso sapi, rendang, c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
dendeng, dll.
16 Berapa kali kamu makan daging a. Tidak pernah
kambing? b. 1-3 kali/minggu
Seperti daging kambing, sate c. 4-6 kali/minggu
d. Setiap hari
kambing, sop kambing, dll.
17 Berapa kali kamu makan ikan? a. Setiap hari
Seperti ikan mas, ikan patin, ikan b. 4-6 kali/minggu
gurame, ikan tuna, ikan mujair, ikan c. 1-3 kali/minggu
d. Tidak pernah
lele, sarden, dll.
79

Food Record (2 x 24 jam)


Petunjuk pengisian
Record konsumsi dilakukan selama dua hari, yaitu hari sekolah dan hari libur. Kolom
yang diisi hanya nama makanan, URT (Ukuran Rumah Tangga), dan kolom asal. Kolom
jumlah dimakan dalam gram tidak perlu diisi. Pengisian data konsumsi makanan dapat
berupa makan utama seperti nasi, lauk, sayur, buah, dan yang lainnya, serta makan
selingan seperti kue, biskuit, es campur, es kelapa, es krim, dll. Nama makanan dalam
bentuk kemasan jika terdapat nama merek dituliskan. Jenis makanan apapun yang
dikonsumsi pada hari tersebut dicatat selengkap-lengkapnya.
Contoh:
Jumlah dimakan
Waktu Nama Makanan Asal
URT gram
Nasi 1 prg Masak
Pagi Telor ceplok 1 btr Masak
Tahu goreng 1 ptg Masak
Biskuit oreo 3 keping Beli
Selingan pagi
Es teh manis 1 gls Beli
Nasi 1 prg Masak
Ayam goreng
Siang 1 ptg Beli
cripsy
Kentang goreng 1 bks Beli
Donat coklat 1 bh Beli
Selingan sore
Es krim 10 sdm Beli
Nasi 1 prg Masak
Malam Sate ayam 10 tsk Beli
Pisang 1 bh Beli

Keterangan:
Bh = buah kcl = kecil
Bj = biji ptg = potong
Btg = batang sdg = sedang
Btr = butir sdm = sendok makan
Bsr = besar sdt = sendok teh
Gls = gelas tsk = tusuk
80

Food record
Hari sekolah (hari/tanggal: )
Jumlah dimakan
Waktu Nama Makanan Asal
URT Gram

Pagi

Selingan
pagi

Siang

Selingan
sore

Malam
81

Hari libur (hari/tanggal: )


Jumlah dimakan
Waktu Nama Makanan Asal
URT Gram

Pagi

Selingan
pagi

Siang

Selingan
sore

Malam
82

Aktivitas Fisik Anak


Aktivitas fisik anak adalah semua kegiatan yang dilakukan dari mulai bangun pagi sampai
tidur di malam hari (24 jam). Aktivitas anak terdiri atas jenis aktivitas yang dilakukan (tidur
malam dan siang, sekolah, belajar, bermain di rumah, bermain di luar rumah, menonton
televisi, bermain game, internet, dan kegiatan lainnya yang dilakukan anak bisa berupa
olah raga disertai dengan keterangan jenis olah raga dan lamanya aktivitas yang
dilakukan.
Hari sekolah: (hari/tanggal: )
No Jenis aktivitas fisik Lama (jam) Keterangan
1. Tidur malam
2. Tidur siang
3. Menonton TV, bermain game, internet
4. Belajar di rumah
5. Belajar di luar rumah (les)
6. Bermain di rumah
7. Bermain di luar rumah (aktif)
8. Sekolah
9. Perjalanan ke sekolah, ke suatu tempat (naik
kendaraan)
10. Makan
11. Sholat, mengaji, dan beribadah
12. Mandi, berpakaian, berdandan
13. Lain-lain
a.
b.
c.
d.
Total alokasi waktu 24 jam

Hari libur: (hari/tanggal: )


No Jenis aktivitas fisik Lama (jam) Keterangan
1. Tidur malam
2. Tidur siang
3. Menonton TV, bermain game, internet
4. Belajar di rumah
5. Belajar di luar rumah (les)
6. Bermain di rumah
7. Bermain di luar rumah (aktif)
8. Perjalanan ke suatu tempat (naik kendaraan)
10. Makan
11. Sholat, mengaji, dan beribadah
12. Mandi, berpakaian, berdandan
13. Lain-lain
a.
b.
c.
d.
Total alokasi waktu 24 jam
83

Lampiran 2 Jumlah kelas dan murid di SD Insan Kamil Bogor

Jumlah Kelas dan Murid di SD Insan Kamil Bogor


Nomor Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1a 14 12 26
2 1b 16 10 26
3 1c 15 11 26
4 1d 16 10 26
5 1e 16 10 26
6 1f 15 12 27
7 1g 17 10 27
Sub Total 109 75 184
8 2a 12 17 29
9 2b 13 13 26
10 2c 13 15 28
11 2d 14 13 27
12 2e 15 11 26
13 2f 12 14 26
14 2g 17 10 27
Sub Total 96 93 189
15 3a 14 13 27
16 3b 13 11 24
17 3c 13 13 26
18 3d 13 14 27
19 3e 14 12 26
20 3f 14 11 25
21 3g 14 12 26
Sub Total 95 86 181
22 4a 11 13 24
23 4b 19 11 30
24 4c 13 17 30
25 4d 18 11 29
26 4e 17 13 30
27 4f 16 14 30
28 4g 19 11 30
Sub Total 113 90 203
29 5a 12 12 24
30 5b 17 12 29
31 5c 18 12 30
32 5d 18 9 27
33 5e 16 13 29
34 5f 15 13 28
35 5g 19 9 28
Sub Total 115 80 195
36 6a 19 10 29
37 6b 14 14 28
38 6c 18 8 26
39 6d 16 12 28
40 6e 11 17 28
41 6f 21 8 29
42 6g 18 13 31
43 6h 17 13 30
Sub Total 134 95 229
Jumlah Total 662 519 1181
84

Lampiran 3 Data jenis kelamin, umur, BB, TB, Z-score IMT/U

Data Jenis Kelamin, Umur, BB, TB, Z-score IMT/U Anak Normal

Z-score
Kode Jenis Kelamin Umur BB TB
BB/TB
4112 Laki-laki 10 29 140 -1.09
4113 Perempuan 10 32 145 -0.79
4114 Laki-laki 10 24 130 -1.5
4116 Laki-laki 10 27 139 -1.9
4117 Perempuan 10 30 142 -0.95
4118 Laki-laki 10 27 138 -1.6
4120 Laki-laki 10 32 143 -0.4
4121 Laki-laki 10 30 137 -0.26
4122 Perempuan 10 31 146 -1.08
4123 Perempuan 10 35 139 0.66
4124 Perempuan 10 32 138 0.13
4125 Laki-laki 10 27 137 -1.43
4126 Perempuan 10 30 140 -0.78
4127 Laki-laki 10 36 142 0.75
4128 Perempuan 10 30 135 -0.02
4311 Perempuan 10 30 144 -1.34
4312 Laki-laki 11 29 133 -0.18
4313 Laki-laki 10 31 139 -0.21
4411 Laki-laki 9 23 124 -0.79
4412 Laki-laki 10 35 145 0.18
4611 Laki-laki 10 30 140 -0.64
4711 Laki-laki 10 25 131 -1.23
4712 Laki-laki 10 26 131 -0.8
4713 Perempuan 10 24 128 -0.99
4714 Laki-laki 10 25 131 -1.19
4717 Laki-laki 10 38 148 0.38
5211 Laki-laki 11 28 132 -0.47
5212 Perempuan 11 30 143 -1.35
5213 Perempuan 10 26 127 -0.37
5214 Laki-laki 11 26 133 -1.53
5215 Perempuan 11 30 137 -0.63
5311 Laki-laki 11 27 133 -1
5312 Laki-laki 11 29 134 -0.35
5313 Laki-laki 11 29 138 -1.15
5314 Laki-laki 11 30 136 -0.54
5315 Laki-laki 10 23 127 -1.65
5316 Perempuan 11 32 138 -0.18
5317 Perempuan 11 25 130 -1.24
5611 Laki-laki 11 35 141 0.35
5612 Laki-laki 11 30 139 -0.95
Rata-rata 29.2 136.8 -0.70
SD 3.6 5.8 0.66
Nilai tertinggi 38 148 0.75
Nilai terrendah 23 124 -1.9
85

Data Jenis Kelamin, Umur, BB, TB, Z-score BB/TB Anak Obes

Z-score
Kode Jenis Kelamin Umur BB TB
BB/TB
4101 Laki-laki 10 59 146 3.24
4103 Perempuan 10 45 140 2.09
4301 Perempuan 10 56 153 2.21
4302 Perempuan 9 45 142 2.25
4401 Perempuan 10 40 132 2.05
4402 Laki-laki 11 50 137 2.83
4403 Laki-laki 9 44 131 3.18
4404 Laki-laki 10 45 142 2.35
4405 Perempuan 10 54 148 2.44
4501 Perempuan 10 60 143 3.07
4502 Perempuan 11 50 138 2.57
4503 Laki-laki 10 64 145 3.95
4504 Laki-laki 10 49 135 3.39
4601 Laki-laki 10 65 144 3.93
4602 Laki-laki 10 56 146 3.19
4603 Laki-laki 10 51 147 2.44
4604 Laki-laki 11 42 134 2.31
4701 Perempuan 10 48 137 2.62
4703 Laki-laki 10 53 144 2.78
5101 Laki-laki 11 51 149 2.17
5201 Perempuan 11 65 151 2.75
5202 Perempuan 11 65 144 3.2
5203 Laki-laki 11 56 150 2.48
5204 Laki-laki 11 55 147 2.64
5301 Laki-laki 11 52 140 2.68
5302 Laki-laki 11 55 143 2.9
5303 Laki-laki 11 54 151 2.2
5401 Laki-laki 11 55 146 2.57
5403 Laki-laki 11 58 144 2.94
5404 Laki-laki 11 59 159 2.22
5405 Laki-laki 10 61 143 3.57
5503 Perempuan 11 66 149 3.04
5601 Laki-laki 11 52 140 2.82
5604 Perempuan 11 63 154 2.43
5701 Laki-laki 11 57 148 2.62
5704 Laki-laki 11 55 143 2.9
5801 Laki-laki 11 55 141 2.88
5802 Laki-laki 11 45 136 2.39
5803 Laki-laki 11 47 142 2.27
5804 Laki-laki 11 46 134 2.69
Rata-rata 53.7 143.4 2.73
SD 6.9 6.2 0.47
Nilai tertinggi 66 159 3.95
Nilai terrendah 40 131 2.05
86

Lampiran 4 Data rata-rata asupan energi, protein, dan lemak

Data Rata-rata Asupan Energi, Protein, dan Lemak Anak Normal


Kontribusi
Energi Protein Lemak TKE TKP
Kode Jenis Kelamin Lemak
(kkal) (gram) (gram) (%) (%)
(%)
4112 Laki-laki 2179 75.84 84.88 102.77 146.62 35.05
4113 Perempuan 1852 54.82 73.64 82.60 100.23 35.78
4114 Laki-laki 1673 66.34 59.33 65.30 106.14 31.91
4116 Laki-laki 2014 77.53 57.71 88.40 139.55 25.79
4117 Perempuan 1979 106.17 60.83 82.75 182.00 27.66
4118 Laki-laki 2064 47.02 62.60 90.60 84.64 27.30
4120 Laki-laki 1588 48.41 27.34 82.63 103.27 15.49
4121 Laki-laki 2075 67.54 72.40 101.24 135.07 31.40
4122 Perempuan 2309 64.98 85.69 99.76 115.10 33.40
4123 Perempuan 1959 71.44 73.33 95.58 142.88 33.68
4124 Perempuan 1745 65.03 64.57 77.85 118.91 33.29
4125 Laki-laki 2730 121.71 92.84 119.87 219.07 30.60
4126 Perempuan 2075 71.48 82.32 86.77 122.54 35.70
4127 Laki-laki 2335 107.04 95.73 136.66 256.89 36.90
4128 Perempuan 1960 51.27 64.78 81.96 87.88 29.74
4311 Perempuan 1777 51.18 88.59 74.28 87.74 44.88
4312 Laki-laki 2116 80.17 64.36 99.77 155.00 27.38
4313 Laki-laki 2304 101.24 92.23 116.15 209.23 36.03
4411 Laki-laki 2227 55.10 80.34 118.57 117.33 32.47
4412 Laki-laki 2508 95.51 93.57 142.75 222.86 33.57
4611 Laki-laki 2260 85.56 78.93 110.27 171.13 31.43
4711 Laki-laki 2132 59.08 60.56 86.66 98.46 25.57
4712 Laki-laki 2854 98.71 130.39 120.66 171.10 41.12
4713 Perempuan 2429 89.74 87.64 81.25 123.08 32.47
4714 Laki-laki 1344 49.08 26.52 54.63 81.80 17.76
4717 Laki-laki 2321 67.20 93.08 143.38 170.24 36.10
5211 Laki-laki 1782 105.65 28.43 81.12 197.21 14.36
5212 Perempuan 1169 51.38 40.42 48.90 88.07 31.12
5213 Perempuan 1221 35.19 36.79 44.23 52.28 27.13
5214 Laki-laki 2037 54.23 72.73 86.12 94.00 32.13
5215 Perempuan 2733 104.41 86.30 114.27 178.99 28.42
5311 Laki-laki 1419 48.86 46.00 62.29 87.94 29.18
5312 Laki-laki 2165 54.28 73.36 102.08 104.94 30.50
5313 Laki-laki 2260 106.60 68.07 106.55 206.10 27.11
5314 Laki-laki 2324 64.79 93.25 113.38 129.58 36.11
5315 Laki-laki 1492 47.73 47.57 55.80 73.19 28.69
5316 Perempuan 1798 46.95 49.59 80.18 85.86 24.83
5317 Perempuan 1477 38.51 34.82 51.47 55.01 21.21
5611 Laki-laki 2050 78.76 53.67 116.67 183.78 23.56
5612 Laki-laki 1561 49.76 68.23 76.15 99.53 39.33
Rata-rata 2007 70.4 68.8 92.06 132.63 30.40
SD 403 22.8 22.5 24.98 50.15 6.36
Nilai tertinggi 2854 121.7 130.4 143.38 256.89 44.88
Nilai terrendah 1169 35.2 26.5 44.23 52.28 14.36
87

Data Rata-rata Asupan Energi, Protein, dan Lemak Anak Obes


Kontribusi
Energi Protein Lemak TKE TKP
Kode Jenis Kelamin Lemak
(kkal) (gram) (gram) (%) (%)
(%)
4101 Laki-laki 3041 97.19 142.29 148.33 194.37 42.11
4103 Perempuan 2607 61.22 99.98 127.18 122.44 34.51
4301 Perempuan 2863 83.37 99.20 139.66 166.74 31.18
4302 Perempuan 2165 41.15 68.68 120.30 91.45 28.55
4401 Perempuan 2203 44.12 103.44 107.47 88.23 42.26
4402 Laki-laki 2510 50.60 108.71 122.43 101.20 38.98
4403 Laki-laki 2687 135.51 98.91 149.26 301.14 33.13
4404 Laki-laki 2229 51.16 67.67 108.73 102.32 27.32
4405 Perempuan 2717 48.64 74.57 132.53 97.27 24.70
4501 Perempuan 2924 58.23 113.80 142.62 116.45 35.03
4502 Perempuan 2236 42.98 91.15 109.08 85.95 36.69
4503 Laki-laki 2006 57.00 90.05 97.87 114.00 40.40
4504 Laki-laki 2588 69.25 86.00 126.22 138.49 29.91
4601 Laki-laki 1814 56.87 79.53 88.50 113.74 39.45
4602 Laki-laki 2794 61.46 80.56 136.32 122.92 25.94
4603 Laki-laki 2437 55.41 82.00 118.88 110.82 30.28
4604 Laki-laki 2540 63.90 107.51 123.92 127.80 38.09
4701 Perempuan 2502 92.45 94.35 122.03 184.90 33.94
4703 Laki-laki 1797 39.42 60.53 87.67 78.84 30.31
5101 Laki-laki 2528 58.94 83.34 123.33 117.88 29.67
5201 Perempuan 2438 74.29 86.10 118.92 148.57 31.79
5202 Perempuan 2116 61.67 68.79 103.24 123.34 29.25
5203 Laki-laki 2436 57.58 109.02 118.84 115.16 40.27
5204 Laki-laki 2871 90.51 95.96 140.03 181.01 30.09
5301 Laki-laki 2165 69.52 65.84 105.60 139.05 27.37
5302 Laki-laki 2465 80.33 92.06 120.26 160.65 33.61
5303 Laki-laki 3318 107.13 117.33 161.85 214.27 31.83
5401 Laki-laki 2165 94.65 60.54 105.63 189.31 25.16
5403 Laki-laki 2107 60.98 71.39 102.76 121.95 30.50
5404 Laki-laki 2043 77.05 48.95 99.68 154.11 21.56
5405 Laki-laki 2212 59.22 88.36 107.91 118.44 35.95
5503 Perempuan 2070 59.29 93.47 100.99 118.59 40.63
5601 Laki-laki 2519 92.16 99.06 122.88 184.31 35.39
5604 Perempuan 1822 57.82 75.64 88.90 115.64 37.35
5701 Laki-laki 2546 64.40 106.52 124.20 128.80 37.65
5704 Laki-laki 3203 77.70 118.04 156.26 155.41 33.16
5801 Laki-laki 1826 60.14 88.39 89.10 120.29 43.56
5802 Laki-laki 2467 62.39 75.49 120.34 124.78 27.54
5803 Laki-laki 1691 40.61 55.47 82.48 81.21 29.53
5804 Laki-laki 2560 80.36 118.89 124.88 160.73 41.80
Rata-rata 2406 67.4 89.2 118.18 135.81 33.41
SD 388 20.1 19.9 19.39 42.76 5.55
Nilai tertinggi 3318 135.5 142.3 161.85 301.14 43.56
Nilai terrendah 1691 39.4 48.9 82.48 78.84 21.56
88

Lampiran 5 Hasil uji beda t-test dan Mann-Whitney U


Hasil Uji Beda t-test

Sig. (2-tailed)
Berat Badan Lahir .045
IMT ayah .001
IMT ibu .143
Pengetahuan gizi ibu .626
Konsumsi Energi .000
Konsumsi Protein .536
Waktu Tidur .697
Waktu menontonTV, bermain game, dan internet .363
Lama bermain di luar .009
Konsumsi lemak .000
% Kontribusi lemak .027
TKE .000
TKP .761

Hasil Uji Beda Mann-Whitney U


Mknan kebiasaan Cmknan
CEsKrim CCoklat CGorengan CBiskuit Sayur Buah
Berlemak ngemil Ringan
Mann-Whitney U 278.500 720.000 620.000 620.000 680.000 560.000 740.000 729.000 768.500
Wilcoxon W 1098.500 1540.000 1440.000 1.440E3 1.500E3 1380.000 1.560E3 1.549E3 1.588E3
Z -5.617 -1.170 -2.000 -2.710 -1.867 -3.333 -.677 -.725 -.337
Asymp. Sig. (2-
.000 .242 .045 .007 .062 .001 .498 .468 .736
tailed)
Keterangan:
Mknan Berlemak=frekuensi konsumsi makanan berlemak, Cmknan Ringan= kemiasaan
ngemil makanan ringan, CesKrim= kebiasaan ngemil es krim, Ccoklat= kebiasaan ngemil
coklat, Cgorengan= kebiasaan ngemil gorengan, Cbiskuit= kebiasaan ngemil biskuit,
Sayur= frekuensi konsumsi sayur, Buah= frekuensi konsumsi buah

JK Pend_ayah Pend_ibu Pendapatan ASI_Eks Susu_For Biskuit_bayi SoftDrink FastFood


Mann-
760.000 785.000 713.500 699.000 720.000 620.000 700.000 564.500 472.000
Whitney U
Wilcoxon W 1.580E3 1605.000 1533.500 1519.000 1.540E3 1440.000 1520.000 1.384E3 1292.000
Z -.474 -.203 -.968 -1.023 -1.026 -2.005 -1.120 -2.470 -3.675
Asymp. Sig.
.635 .839 .333 .306 .305 .045 .263 .014 .000
(2-tailed)
Keterangan:
JK= jenis kelamian, Pend_ayah= pendidikan ayah, Pend_ibu= pendidikan ibu, ASI_Eks=
pemberian asi eksklusif, Susu_for= pemberian susu formula < 6 bulan, Biskuit_bayi=
pemberian makanan padat < 6 bulan, SoftDrink= frekuensi konsumsi soft drink,
FastFood= frekunsi konsumsi fast food
89

Lampiran 6 Hasil uji korelasi pearson dan spearman antara Variabel Dependen
(Status Gizi Anak) dengan Variabel Independen

Status Gizi Status Gizi


Pearson Spearman
Anak Anak
r .253* r -.081
Berat lahir Jenis Kelamin
p .023 p .476
**
r .408 r .076
IMT Ayah Kebiasaan Ngemil
p .000 p .502
r .203 Frek. Kons. Sayur dan r .022
IMT Ibu
p .071 Buah p .849
r -.102 r .314**
Pengetahuan Gizi Ibu Frek. Kons. Soft Drink
p .367 p .005
** **
r .557 r .311
TKE Frek. Kons. Fast Food
p .000 p .005
r .125 Frek. Kons. Makanan r .469**
TKP
p .267 Berlemak p .000
**
r .458 r .020
Lemak Pendidikan Ayah
p .000 p .860
Waktu Tidur r .005 r .050
Pendidikan Ibu
p .967 p .662
Waktu Nonton TV, r .151 r .129
Pendapatan Keluarga
Internet, Game p .180 p .254
r -.271* Pemberian ASI r -.130
Waktu Bermaian di Luar
p .015 Eksklusif p .250
Pemberian Susu r -.219
Formula p .051
Pemberian Makanan r -.142
Padat p .208

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
90

Lampiran 7 Hasil Uji Regresi Logistik


Hasil Binary Regresi Logistik
(Enter Method)

Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
a
1 46.165 .555 .740
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by
less than .001.

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 80 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 80 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 80 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Variables in the Equation


90.0% C.I.for EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Lower Upper
a
Step 1 BBL .000 .001 .196 1 .658 1.000 .999 1.002
IMT_ayah .402 .170 5.559 1 .018 1.494 1.129 1.977
IMT_ibu .369 .157 5.515 1 .019 1.446 1.117 1.872
Penget_ibu -.069 .060 1.320 1 .251 .933 .845 1.030
Susu_For 1.004 .936 1.152 1 .283 2.730 .586 12.726
SoftDrink -.666 .773 .743 1 .389 .514 .144 1.832
FastFood 1.393 .791 3.105 1 .078 4.028 1.097 14.793
MknanBerlemak 2.205 .834 6.985 1 .008 9.071 2.300 35.783
SayurdanBuah .344 .301 1.304 1 .254 1.410 .860 2.313
Aktv -.619 .439 1.989 1 .158 .538 .262 1.108
TKE .070 .025 7.915 1 .005 1.073 1.030 1.117
Constant -30.931 11.261 7.545 1 .006 .000
a. Variable(s) entered on step 1: BBL= berat badan lahir, IMT_ayah, IMT_ibu,
Penget_ibu= pengetahuan gizi ibu, Susu_For= pemberian susu formula<6 bulan,
SoftDrink= frekuensi konsumsi soft drink, FastFood= frekuensi konsumsi fast food,
MknanBerlemak= frekuensi konsumsi makanan berlemak, SayurdanBuah= frekunsi
konsumsi sayur dan buah, Aktv= lama waktu bermain di luar, TKE.

Das könnte Ihnen auch gefallen