Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Netrida
1206303374
Name : Netrida
Study Program: Ners Spesialis (Sp.1) Psychiatric Nursing
Title : Specialized Mental health- Psychiatric Nursing Management for Client
with at risk violent behaviors using the Approach of Peplau’s
Interpersonal Theory and Stuart’s Stress-Adaptation Theory to Male
Clients at Kresna Nursing Ward, RSMM, in Bogor.
Violent risk behaviours as one of nursing diagnosis usually found at Male Intensive Care Ward
as approximately 70%. The purpose of this scientific paper was to describe the application of
Assertiveness Training (AT), and Cognitive Behaviour Therapy (CBT), utilizing Peplau’s
Interpersonal Theory and Stuart’s Stress-Adaptation Theory as approach. The result of
assertiveness training to 39 clients cognitive behaviour therapy to 20 clients during a period of
16 February-17 April 2015 showed that those combination of therapies could improve the ability
of clients to deal with their aggressive behaviours, and decreased the signs and symprotms of
violent behaviours in cognitive, affective, physiological, behaviour and social aspects. These
therapies had proved to be effective for treating the clients with violent risk behaviors.
Key Words: Violent risk behavior, Assertiveness Training, Cognitive Behaviour Therapy,
Peplau’s Interpersonal Theory and Stuart’s Stress-Adaptation Theory
Nama : Netrida
Program Studi : Ners Spesialis (Sp.1) Keperawatan Jiwa
Judul : Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Dengan Pendekatan Teori Interpersonal Peplau
Dan Stress Adaptasi Stuart di Ruang Kresna Pria RSMM Bogor
Kata Kunci: Risiko Perilaku Kekerasan, Assertiveness Training, Cognitive Behaviour Therapy,
Teori Interpersonal Peplau, Stress Adaptasi Stuart
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah Nya, saya telah dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan
karya ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat
mencapai gelar Ners Spesialis (Sp.1) Keperawatan Jiwa pada Program Studi Ners
Spesialis (Sp.1) Universitas Indonesia. Saya sangat menyadari, apabila tanpa
bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya
untuk dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah akhir ini. Untuk itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
ix
Saya berharap bahwa Allah SWT selalu berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah banyak membantu saya. Semoga karya ilmiah akhir ini
membawa manfaat dan berkah bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR ORISINALITAS .......................................................................... ii
PERNYATAAN PLAGIARISME ………………………………………… iii
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR BAGAN.......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 6
1.3 Manfaat ................................................................................................ 7
xi
xii
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Fase Identifikasi .................................................................................... 54
5.1.1 Usia ....................................................................................................... 55
5.1 Fase Identifikasi .................................................................................... 54
5.1.2 Pendidikan ............................................................................................ 56
5.1.3 Pekerjaan ............................................................................................... 57
5.1.4 Status pernikahan .................................................................................. 58
5.1.5 Lama sakit ............................................................................................. 59
5.1.6 Frekuensi di Rawat................................................................................ 59
5.1.7 Hasil Identifikasi terkait Risiko Perilaku Kekerasan ............................ 60
5.2 Fase Eksploitasi .................................................................................... 72
5.3 Fase Resolusi ........................................................................................ 76
xiii
Judul Halaman
xiv
xv
xvi
xvii
Dampak globalisasi, persaingan bebas, bencana yang tidak habis habisnya saat ini
menyebabkan kecenderungan terjadinya peningkatan gangguan jiwa semakin
tinggi. Kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan pekerjaan, masalah
ekonomi, masalah pernikahan, deskriminasi, kehilangan orang yang sangat dicintai
meningkatkan risiko penderita gangguan jiwa. Gangguan jiwa menurut (Townsand,
2009) adalah respon maladaptif terhadap stresor yang berasal dari dalam dan luar
lingkungan dibuktikan melalui pikiran dan perasaan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma-norma budaya yang mengganggu fungsi pekerjaan, interaksi sosial
individu atau fisik. (PPDGJ 11) menyebutkan gangguan jiwa adalah sindrom atau
pola perilaku atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan
secara khas berkaitan dengan gejala penderitaan (distress) atau hendaya didalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia.
1
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Netrida, FIK UI, 2015
2
yang kronik pada orang yang mengalaminya dan tidak dapat menilai realitas dengan
baik, serta juga pemahaman diri yang baik.
Gejala skizofrenia dibagi 5 dimensi, yang terdiri dari gejala positif, gejala negatif,
gejala agresif dan hostilitas serta gejala depresi dan ansietas (Sinaga, 2007). Gejala
agresif dan hostile yang menekankan pada masalah pengendalian implus. Hostile
bisa berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain. Gejala pada
klien skizofrenia akan menimbulkan masalah yang muncul seperti perilaku
mencederai orang lain dan diri sendiri, halusinasi, depresi, rasa bersalah/ harga diri
rendah, waham. Menurut Nanda 2012 diagnosis yang muncul pada skizofrenia
adalah gangguan sensori persepsi: halusinasi, harga diri rendah, gangguan proses
pikir, risiko perilaku kekerasan.
Respon kognitif dari perilaku kekerasan adalah klien tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasannya, mendominasi pembicaraan, bawel, punya pikiran negatif
dalam menghadapi stressor, sarkasme, meremehkan keputusan, flight of idea,
perubahan isi pikir, ingin memukul orang lain. Respon afektifnya adalah afek labil,
marah, kecewa/ kesal, curiga, frustasi, mudah tersinggung, merasa tidak aman dan
nyaman, merasa jengkel dendam, ingin memukul orang lain. Respon fisiologisnya
adalah muka merah, frekuensi buang air besar meningkat, kadang konstipasi,
kewaspadaan meningkat, wajah tegang, pandangan tajam, mengatup rahang dengan
kuat, mengepalkan tangan, tekanan darah meningkat, denyut nadi meningkat, pupil
dilatasi, tonus otot meningkat, mual. Respon perilakunya mondar-mandir,
melempar/memukul benda/orang lain, merusak barang, berteriak, mengancam
secara verbal atau fisik, pengasingan, penolakan, ejekan, mentertawakan, menarik
diri sikap bermusuhan, agresif/ pasif, sinis, curiga, perilaku verbal ingin memukul,
memberontak nada suara keras. Respon sosialnya bicara kasar, suara tinggi,
menjerit.
Universitas Indonesia
Terapi untuk klien risiko perilaku kekerasan adalah dengan mengunakan terapi
generalis dan terapi spesialis. Terapi generalis yang dilakukan yaitu pada klien
diajarkan dan dilatih untuk mengenal dan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik, patuh minum obat, verbal, spiritual. Keluarga klien juga diajarkan dan dilatih
bagaimana cara mengontrol perilaku kekerasan yang diperlukan untuk perawatan
saat klien berada dirumah. Tindakan untuk klien risiko perilaku kekerasan lain
adalah dengan Terapi Aktifitas kelompok (TAK) yang merupakan kegiatan
kelompok dengan saling mendukung sesama anggota kelompok dalam mengatasi
masalah perilaku kekerasannya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kekerasan dicapai dengan menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku
yang berkonstribusi menyebabkan distress emosi seseorang.
Tindakan keperawatan jiwa spesialis pada klien risiko perilaku kekerasan yang
mengunakan Assertiveness Trainning (AT), Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
dan dengan pendekatan Teori Stress Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau, telah
penulis lakukan di ruang Kresna Pria Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada Bab 2 ini penulis akan memaparkan teori yang digunakan untuk penulisan
karya ilmiah akhir dalam melakukan manajemen asuhan keperawatan spesialis pada
klien dengan risiko perilaku kekerasan. Terapi yang digunakan Assertiveness
Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dengan menggunakan
pendekatan Teori Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau di ruang Kresna Pria
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Penulisan ilmiah ini menggunakan kerangka
ilmiah dengan pengorganisasian tulisan ini menggunakan alur pikir yang
berdasarkan integrasi dari teori Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau yang
diawali dengan fase orientasi, identifikasi, eksplorasi, resolusi.
Penerapan teori Peplau saat berhubungan antara perawat dan klien dimulai dari
membina hubungan saling percaya agar memberikan kenyamanan pada klien. Klien
bersama perawat mengidentifikasi suatu masalah dalam mencari penyelesaian yang
tepat. Perawat membimbing klien untuk menjadi mandiri, kemandirian klien
disiapkan dengan cara memaksimalkan sumber koping klien dan keluarga untuk
persiapan hidup klien dimasyarakat. Perawat memberikan informasi dan kebutuhan
yang berhubungan dengan penyembuhan dan kebutuhan perawatan klien.
Kerangka teori ini digunakan sebagai kerangka garis besar penulisan karya ilmiah
ini. Penjabaran teori model teori Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau pada
klien resiko perilaku kekerasan dapat dilihat pada bagan 2.1
Klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya bersama orang lain yang dapat
membantunya. Perawat membantu dalam mengeksplorasi perasaan dan membantu
klien dalam penyakit yang dirasakan sebagai suatu pengalaman yang mengorientasi
ulang perasaannya dan menguatkan kekuatan positif pada kepribadiannya dan
memberikan kepuasan. Proses identifikasi dilakukan saat perawat memfasilitasi
ekspresi perilaku klien dan memberikan asuhan keperawatan yang diterima klien
tanpa penolakan terhadap perawat. Fase identifikasi merupakan suatu fase yang
paling tinggi kualitasnya pada hubungan interpersonal, karena pada saat fase ini
terjadi proses menggali perasan–perasaan yang dialami klien, pengkajian data-data,
pengalaman klien, serta akan terlihat bagaimana klien mengatakan ketakutan,
ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam berhubungan dengan orang lain dan
akibat halusinasinya. Fase ini merupakan suatu tahap pengkajian dan dasar perawat
menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap klien. Perawat menentukan
keadaan klien pada tahap risiko perilaku kekerasan setelah mengidentifikasi
kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki klien. Peran perawat pada fase
identifikasi ini adalah sebagai wali atau pengganti, dimana pada fase ini perawat
mengintepretasikan apa yang dirasakan terhadap topik dari komunikasi yang terjadi
dan berkembang selama hubungan dalam fase ini.
2.1.1.1 Biologi
Faktor biologi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Menurut Stuart (2013) komponen biologi yang menjadi
faktor predisposisi adalah genetik, status nutrisi, sensitivitas biologi, paparan
terhadap racun, neurotransmiter, penggunaan obat obatan, riawayat trauma kepala.
Kerusakan pada struktur sistem limbik, lobus frontal serta temporal otak dapat
mengubah kemampuan individu untuk dapat memodulasi agresif sehingga dapat
menyebabkan perilaku kekerasan (Videback , 2011). Peningkatan atau penurunan
perilaku agresif dapat terjadi jika ada perubahan pada sistem limbik. Stuart (2013)
mengatakan bagian sistem limbik khususnya amigdala menjadi mediasi ekspresi
ketakutan dan kemarahan. Perubahan dalam fungsi sistem limbik berpotensi
menurunkan dan meningkatkan perilaku kekerasan, khususnya daerah amigdala
yang merupakan bagian dari sistem limbik, yang berfungsi sebagai penengah dari
ekpresi takut dan amuk (Stuart,2013). Hasil penelitian pada area biologis meyakini
bahwa ada tiga area otak yaitu sistim limbik, lobus frontal dan hipotalamus berperan
terhadap munculnya perilaku kekerasan (Stuart, 2013) Perubahan dalam system
limbic dapat berakibat pada peningkatan atau penurunan rasa takut, perilaku agresif
dan amuk.
kali lebih besar pada individu dengan ketergantungan obat. Townsend (2009)
memaparkan bahwa ada suatu relasi yang kuat antara perliaku kekerasan dengan
alhokol, serta penggunaan zat terlarang seperti kokain, amfetamin, zat halusinogen,
anbolik steroid.
2.1.1.2 Psikologis
Faktor psikologis yang mendukung perilaku kekerasan antara lain kepribadian,
pengalaman masa lalu, pertahanan psikologis dan konsep diri (Stuart, 2013).
Meniru atau mengadaptasi perilaku kekerasan menjadi penyebab seseorang
melakukan perilaku kekerasan (Townnsend, 2014). Proses pembelajaran internal
terjadi ketika individu mendapatkan penguatan ketika individu melakukan perilaku
kekerasan untuk mencapai tujuan. Menurut Varcarolis dan Halter (2010),
pengamalan hidup yang tidak baik dapat menimbulkan penilaian negatif terhadap
kejadian dan situasi yang pada akhirnya akan menimbukan perasaan negatif berupa
merasa dipermalukan, situasi di luar kontrol, penolakan, terancam, kelelahan, cepat
tersinggung ketakutan, dibuang, bersalah, menyakitkan, ditolak, tidak adequat,
tidak aman, tidak didengarkan, dan direndahkan.
2.1.1.3 Sosiokultural
Stuart (2013) menjelaskan faktor spritual sosial dan budaya merupakan faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan seperti usia,
pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, budaya, agama, peran sosial dan keyakinan
individu. Ketidakharmonisan lingkungan sosial budaya serta kemiskinan seseorang
akan menyebabkan skizofrenia. Faktor dari sosio kultural meliputi disfungsi dalam
keluarga, konflik keluarga, komunikasi doueble bind serta tidak mampu nya
seseorang dalam memenuhi tugas perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian
Keliat et al (2007) bahwa karakteristik usia yang paling banyak 30 tahun kebawah
dan jenis kelamin yang berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan secara
verbal dengan hasil laki laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan (p
value 0,01).
Menurut Stuart (2013) Faktor presipitasi terdiri dari sifat stressor, asal stressor,
lamanya terpapar stressor yang dialami dan banyaknya berbagai stressor. Sifat
stressor terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah stressor biologis, stressor
psikologis dan sosial budaya. Stressor biologis seperti kelemahan fisik, penyakit
infeksi dan kronis. Stressor psikologis berkaitan tentang pertumbuhan dan
perkembangan, keinginan yang tidak terpenuhi, kehilangan pekerjaan, kehilangan
orang yang dicintai.. Sosial budaya misalnya adanya konflik, tuntunan masyarakat,
lingkungan yang padat, penghinaan, ribut. Faktor presipitasi dengan teori Stuart
yang meliputi:
1. Biologi meliputi gangguan umpan balik, abnormal pintu mekanisme/gatting
proses. Penyakit/kondisi yang mempengaruhi fungsi dan struktur otak,
kelemahan fisik, penyakit infeksi dan penyakit kronis. Segala proses fisik
dan kimiawi dalam tubuh seseorang termasuk didalamnya adalah
ketidakpatuhan pada pengobatan.
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri
sendiri seperti hilangnya kepercayaan diri, merasa tidak mampu
ketidakberdayaan, keputusasaan, dll. Stresor eksternal berasal dari luar
individu. Stressor ini dapat berupa kehilangan (orang yang dicintai,
barang/object, pekerjaan), tuntutan dari keluarga/kelompok/ masyarakat,
bencana alam, konflik, dll. Jumlah stresor menggambarkan berapa banyak
stressor yang dialami individu dalam suatu waktu, baik berupa stressor biologis,
psikologis dan sosialkultural. Waktu menggambarkan kapan, berapa lama, dan
berapa kali individu terpapar stressor (Stuart, 2009). Jumlah dan frekuensi
stresor juga mempengaruhi individu dalam berespon terhadap stressor.
yang dilakukan, ditemukan tanda dan gejala secara kognitif pada klien perilaku
kekerasan daiantaranya yaitu tidak mampu mengontrol PK, meremehkan
keputusan, perubahan isi pikir, menyalahkan orang lain, punya pikiran negatif
dalam menghadapi stressor, sarkasme, ingin memukul orang lain, flight of idea
(Lelono, Sudiatmika, 2011 dan Hastuti 2012)
2.1.3.2 Afektif :
Menurut Stuart (2013) afektif adalah menggambarkan perasaan seseorang. Respon
afektif yang sering muncul adalah merasa tidak berdaya, dendam, ingin memukul
orang lain mudah tersinggung, tidak sabar, frustasi, merasa tidak nyaman, jengkel,
menyalahkan dan menuntut. Bentuk afek yang muncul pada klien perilaku
kekerasan adalah merasa jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan
perasaan tidak nyaman. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan tanda dan gejala
afektif meliputi mudah tersinggung, frustasi marah, labil, kecewa/kesal, merasa
tidak aman dan nyaman, ingin memukul orang lain (Sudiatmika, 2011 dan Hastuti
2012)
2.1.3.3 Fisiologi:
Respon fisiologis di perlukan untuk melihat sejauh mana keadaan stressor
mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Respon fisiologis yang sering muncul
adalah tekanan darah meningkat, denyut nadi, pernapasan meningkat, pupil dilatasi,
kewaspadaan disertai ketegangan otot, seperti rahang terkatup ekspresi wajah
tegang, mual, tonus otot meningkat, tangan mengepal, tubuh kaku dan disertai
reflek yang cepat. Klien risiko perilaku kekerasan ditemukan perubahan respon
fisiologis sbb: ketegangan tubuh, muka memerah frekuensi pernafasan meningkat,
dan sorot mata yang tajam (Rawlins, Williams & Beck, 1993) peningkatan
frekuensi nadi, tekanan darah serta keringat yang banyak (Boyd & Nihart, 1998).
Menurut Stuart (2009), perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, rahang
mengencang, peningkatan pernafasan, tidak bisa diam, mengepalkan atau
memukulkan tangan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton. Penelitian dari
Sudiatmika (2011) dan Hastuti (2012) menyebutkan untuk respon fisiologi dari
perilaku kekerasan adalah muka merah, tekanan darah meningkat, pupil dilatasi,
tonus otot meningkat, mengatup rahang dengan kuat, mual, frekuensi BAB
meningkat, wajah tegang, kewaspadaan meningkat.
2.1.3.4 Perilaku:
Perilaku yang ditunjukkan pada klien perilaku kekerasan adalah seperti mondar
mandir, suara keras, kata kata menekan tidak mampu untuk tenang, memerintah.
(Stuart, 2009). Pada klien perilaku kekerasan respon perilaku seperti agresif, pasif,
bermusuhan, sinis, muncul perilaku menyerang, menghindar, memberontak curiga,
mengamuk, nada suara keras dan kasar, menyatakan secara assertive.
2.1.3.5 Sosial:
Menurut Stuart (2013) bentuk lain dari respon individu terhadap kebutuhan
dukungan dan lingkungan sosial. Respon sosial klien yang mengalami perilaku
kekerasan adalah menarik diri, pegasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
Klien cenderung menyalahkan orang lain, menolak hubungan dengan orang lain,
melanggar batas jarak personal saat berinteraksi mengejek, membicarakan
kesalahan orang lain, berkata kasar (Rawlins, Williams &Beck 1993).
2.2 Eksplorasi
Pada fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini
perawat membantu klien untuk memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh
aspek yang terlibat didalamnya. Pada tahap ini merupakan tindakan dalam
mengatasi masalah yang ditemukan mulai dari munculnya diagnosis perilaku
kekerasan sampai teratasinya masalah kilen. Proses pelaksanaannya dilakukan
dengan terapi dan manajemen asuhan keperawatan untuk mengatasi diagnose risiko
perilaku kekerasan baik terapi generalis maupun spesialis. Penatalaksanaan klien
risiko perilaku kekerasan berdasarkan pilar 4 Patient Care Delivery dari
Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional (MPKP).
Klien menerima penuh nilai yang ditawarkan oleh perawat melalui adanya proses
hubungan. Fase eksploitasi merupakan situasi dimana klien dapat merasakan
adanya nilai hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini
merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat
membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang
terlibat didalamnya. Fase ini perawat mendiskusikan lebih mendalam dan memilih
alternative terhadap permasalahan yang dialami klien. Proses ini membutuhkan
banyak energi agar dapat mentransfer energi klien dari yang negatif menjadi
seorang yang positif dan produktif. Perawat berperan sebagai pendidik pada yang
mengajarkan klien tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah
perilaku kekerasan, perawat mengajarkan dan memberikan informasi kepada klien
tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah.
2.2.1.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman
serangan fisik atau konsep diri (Stuart & Laraia; 2005, 2009). Keliat, Akemat,
(2010) menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah salah satu respon marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau
merusak lingkungan. Perasaan terancam ini dapat berasal dari stresor eksternal
(penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan
internal (perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang
dan ketakutan penyakit fisik).
Konflik di masa lalu, terutama yang terjadi selama masa kanak-kanak, dapat
mengganggu kemampuan belajar atau transfer pembelajaran. Apa yang tidak mau
Menurut Stuart (2013) Perilaku kekerasan merupakan akibat dari kemarahan yang
ekstrim atau kecemasan. Alasan spesifik dari perilaku agresif berbeda beda pada
setiap orang. Ketika marah ditekan, marah dapat berubah menjadi kebencian yang
dapat dimanisfestasikan dengan menunjukkan perilaku negatif mulai dari pasif
sampai agresif (Townsend, 2009). Videback (2008) menjelaskan kemarahan
seseorang terjadi apabila individu mengalami frustasi, terluka dan ketakutan. Saat
individu mengalami kesulitan dalam mengekspresikan marahnya, maka akan
mengalami gangguan jiwa.
Predisposisi / presipitasi
1) Biologis: Riwayat masuk RS sebelumnya, berapa kali dirawat, riwayat
pengobatan sebelumnya, jatuh/trauma, riwayat penggunaan NAPZA, riwayat
minum obat, teratur atau tidak minum obat, kapan terakhir minum obat,
riwayat kejang, riwayat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
2) Sosial cultural: Riwayat pendidikan, riwayat putus sekolah dan gagal sekolah,
riwayat pekerjaan, kecukupan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan, siapa
orang yang paling berarti, apakah pernah mengalami kehilangan orang yang
dicintai, siapa yang menanggung biaya hidup selama dirawat, tinggal dengan
siapa, berapa saudara, siapa orang yang paling berarti, perceraian, kehilangan
harta benda, penolakan dari masyarakat
3) Psikologis: perasaan klien setelah perawatan, komentar negatif orang-orang di
sekitarnya, peran yang terganggu akibat dirawat, pengalaman tidak
menyenangkan, kecemasan tinggi, kepribadian klien misalnya mudah kecewa,
mudah putus asa dan menutup diri, konsep diri : adanya riwayat ideal diri yang
harga diri rendah, krisis peran, tidak realistis, identitas diri tak jelas, dan
gambaran diri negatif. Motivasi: riwayat kurangnya penghargaan dan riwayat
kegagalan. Pertahanan psikologi: ambang toleransi terhadap stres rendah dan
adanya riwayat gangguan perkembangan.
2.2.3 Penatalaksanaan
Perilaku Kekerasan merupakan salah satu gejala dari skizoprenia maka dalam hal
ini penatalaksanaan secara medis mengacu pada diagnosis skizofrenia. Gorman,
(2007 dalam Townsend, 2009) menyatakan pengobatan skizofrenia menggunakan
pendekatan terapi antipsikotik dan pengobatan psikososial.
2.2.3.1 Terapi Medis
Obat psikofarmaka yang umum digunakan untuk klien skizofrenia adalah obat
antipsikotik. Obat antipsikotik ini dibedakan menjadi dua golongan yaitu
antipsikotik jenis tipikal dan atipikal. Anti psikotik tipikal efektif digunakan untuk
mengatasi gejala positif klien skizofrenia seperti waham, halusinasi, gangguan
berpikir, namun tidak memberikan efek yang baik untuk perubahan gejala negatif.
Klien yang mendapatkan obat ini halusinasinya sering tidak muncul lagi namun
perilaku menarik diri atau keengganan untuk melaksanakan aktivitas tidak ada
perbaikan.
merupakan obat-obatan yang bisa diberikan untuk mengatasi perilaku agresif. Obat-
obatan anti ansietas dan sedative hipnotik sangat efektif diberikan untuk mengatasi
agitasi yang akut (Stuart, 2009). Peran penting dari seorang perawat dalam
pemberian obat kepada klien menurut Potter dan Perry (2010) adalah dengan
mengajarkan pada klien dan keluarganya mengenai pemberian obat yang tepat dan
benar serta memantaunya.
Intervensi yang dilakukan dalam upaya mencegah dan mengelola perilaku agresif
pada klien dengan perilaku kekerasan terdiri dari preventive strategies, anticipatory
Strategies, dancontainment Strategies (Stuart, 2009).
a. Strategi preventif
Strategi preventif bertujuan sebagai tindakan pencegahan perilaku
kekerasan. Tindakan perawat yang dilakukan pada strategi preventif adalah
sebagai berikut :
1) Meningkatkan kesadaran diri (self awareness), tindakan meningkatkan
kesadaran diri ini ditujukan untuk perawat. Sumber daya yang paling
berharga dari seorang perawat adalah kemampuannya untuk
menggunakan diri sendiri dalam menolong orang lain. Penggunaan diri
yang efektif dapat semakin dioptimalkan dengan menyadari kekuatan
dan keterbatasan perawat. Stuart (2009) menyatakan stress, kelelahan,
kecemasan, marah, perasaan negatif terhadap klien akan mempengaruhi
dan menghambat perawat dalam melakukan perawatan klien perilaku
b. Strategi Antisipasi
Strategi antisipasi bertujuan untuk mengantisipasi berulangnya kejadian
perilaku kekerasan. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada strategi
antisipasi, terdiri dari: komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku, dan
psikofarmakologi (Stuart, 2013).
1) Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi verbal dan non verbal dapat digunakan untuk
mencegah situasi krisis. Komunikasi verbal seperti bicara lembut, suara
rendah untuk membantu mengurangi kegelisahan klien, tidak membalas
suara keras klien, kalimat pendek dan sederhana. Komunikasi non
verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan sikap tubuh yang relaks,
tenang, sikap terbuka dan tidak memasukkan tangan kedalam saku,
gerakan tidak tergesa-gesa, dengan menjaga jarak aman.
Perawat harus waspada terhadap tanda verbal dan perilaku klien saat
interaksi. Jika klien mulai gelisah, mulai berbicara keras dengan kata
kata kasar, perawat tetap lembut, tidak meningikan suaranya dan
menanggapi perilaku klien (Stuart, 2013). Penerapan teknik komunikasi
yang sesuai akan mengekspresikan kepedulian perawat dan
meningkatkan keyakinan klien terhadap petugas.
Jika klien melakukan perilaku diluar kontrak, maka klien akan mendapat
sanksi atau time out. Jika klien melakukan perilaku yang diharapkan
maka akan mendapat hadiah atau token. Token economy dilakukan
dengan cara memberikan hadiah berupa barang, menerima imbalan atau
mendapatkan hak istimewa ketika klien mampu mengontrol
perilakunya. Penerapan token ekonomi pada klien yang dirawat di
rumah sakit, secara signifikan menunjukkan penurunan perilaku agresif
(Stuart, 2013). Membentuk perilaku yang konstruktif dapat dilakukan
dan cognitive behaviour therapy (CBT).
conference setiap dua minggu sekali dan kolaborasi dengan dokter melalui kegiatan
visit dokter.
Perawat sangat berperan dalam mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal
dengan kilen. Dalam hubungannya dengan klien, perawat berperan sebagai mitra
kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti, pemimpin dan konselor sesuai
dengan fase proses interpersonal. Perawat mempunyai 6 peran sebagai berikut:
1) Mitra kerja, Perawat menghadapi klien seperti ibarat tamu yang dikenalkan
pada situasi baru. Hubungan perawat klien sebagai mitra kerja merupakan suatu
hubungan yang memerlukan kerjasama atas dasar kemitraan sehingga sangat perlu
dibina rasa saling percaya, saling menghargai dan mengasihi.
2) Nara sumber, perawat memberikan jawaban yang spesifik terhadap
pertanyaan tentang masalah yang lebih luas, mengarahkan pada area yang
memerlukan bantuan. Perawat mampu memberikan informasi yang jelas, akurat
dan rasional kepada klien dalam suasana akrab dan bersahabat.
3) Pendidik merupakan kombinasi dari semua peran yang lain. Perawat harus
berupaya memberikan bimbingan, pendidikan dan pelatihan pada klien dan
keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan.
4) Kepemimpinan, mengembangkan hubungan yang demokratis yang mengajak
individu untuk berperan. Perawat harus mampu memimpin klien dan keluarga
dalam memecahkan masalah kesehatan melalui proses kerjasama dan partisipasi
akktif klien.
5) Pengasuh pengganti, Perawat merupakan individu yang dipercaya klien untuk
berperan sebagai orangtua, tokoh masyarakat atau rohaniawan guna membantu
memenuhi kebutuhannya.
6) Konselor, meningkatkan pengalaman individu menuju keadaan sehat yaitu
kehidupan yang kreatif, produktif dan konstruktif. Perawat harus dapat
memberikan bimbingan terhadap masalah klien sehingga pemecahan masalah
pada klien akan mudah dapat dilakukan.
2.3 Resolusi
Pada fase resolusi ini, proses dimana pasien membebaskan dirinya dari identifikasi
dengan perawat. Pada fase ini perawat mengakhiri hubungan interpersonalnya
dengan klien. Tujuan lama yang akan dicapai dikesampingkan dan diganti dengan
tujuan baru. Ini adalah proses dimana klien membebaskan dirinya dari identifikasi
dengan perawat yang telah dirawat. Secara bertahap klien melepaskan diri dari
perawat. Resolusi ini memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi.
Sebelum mengakhiri fase ini perawat mengevaluasi kemampuan klien baik secara
subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria
tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru
dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan
jadual yang telah disusun. Untuk mengurangi rasa ketergantungan pada perawat,
tindakan yang dilakukan perawat adalah mempersiapkan kemandirian klien dengan
cara memaksimalkan sumber koping klien dan keluarga dalam mempersiapkan
klien untuk kembali pulang. Kemandirian klien dengan risiko perilaku kekerasan
yang terpenting adalah klien selalu, memiliki sikap dan harapan yang positif
sebagai implikasi dari pikiran positif yang dimiliki klien, mengembangkan koping
yang adaptif, sehingga tidak muncul pikiran tidak diterima oleh lingkungan, tidak
mampu bersosialisasi, tidak mempunyai teman dan tidak mempunyai kelebihan.
Dukungan keluarga sangat penting sehingga keluarga harus dilibatkan dari awal,
perawat juga harus mempersiapkan lingkungan klien melalui keluarga untuk
mempertahankan sikap dan pikiran positif klien ketika klien pulang. Keempat fase
diatas tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana perawat
membimbing klien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang
berfokus pada realita lingkungan sosial, artinya seorang perawat berusaha
mendorong kemandirian klien dalam mengatasi perilaku kekerasan.
Bab 3 ini akan menguraikan tentang manajemen pelayanan jiwa pada klien risiko
perilaku kekerasan di RSMM Bogor. Penjelasan juga ditujukan untuk melihat
pelaksanaan manajemen pelayanan ruang Intensive psikiatri Kresna Pria di Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor.
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi mempunyai visi: “Menjadi Rumah Sakit Jiwa
Rujukan Nasional Dengan Unggulan Layanan Rehabilitasi Psikososial Pada Tahun
2019”. Misi RSMM adalah 1). Mewujudkan layananan kesehatan jiwa dengan
unggulan rehabilitasi psikososial 2) Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan,
pelatihan dan riset unggulan dalam bidang kesehatan jiwa, 3) Meningkatkan peran
strategis dalam program kesehatan jiwa nasional, 4) Meningkatkan kemitraan dan
pemberdayaan, 5) Mencapai kesejahteraan bersama. Adapun Tujuan dari RSMM
32
ini adalah: 1) Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima, 2)
Tercapainya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa, 3) Tersedianya sumber
daya manusia bidang kesehatan jiwa yang professional dan kemitraan.
Mewujudkan visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan, Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi melaksanakan pelayanan manajemen keperawatan jiwa berdasarkan MPKP.
Pelayanan manajemen Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)
dikembangkan pertama dirumah sakit jiwa RSMM Bogor. Pengembangan MPKP
di RSMM bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
yang dimulai sejak tahun 2001. Pada tahun 2010 seluruh ruangan baik ruang
psikiatri maupun ruang perawatan umum (fisik) menggunakan metode pendekatan
manajemen dengan menggunakan MPKP. RSMM Bogor saat ini menerima klien
untuk rawat inap umum, rawat napza, dan juga rawat psikiatri.
Kasus klien yang dirawat di RSMM masuk pertama kali yang terbanyak dengan
diagnosis risiko perilaku kekerasan. Berdasarkan data mahasiswa residen 3 (2015)
yang praktek di Poliklinik dan Instalasi gawat darurat (IGD) terdapat klien dengan
risiko perilaku kekerasan (43,7 %) dari pasien 540. Pasien yang dengan risiko
perilaku kekerasan yang masuk Instalasi gawat darurat (60%) dari 235 pasien.
Pasien dengan risiko perilaku kekerasan yang datang berobat di Poliklinik lansung
di rujuk ke Instalasi gawat darurat. Pasien yang berobat setelah jam poliklinik
selesai, penanganan risiko perilaku kekerasan pertama kali dilakukan di Instalasi
gawat darurat. Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien
dengan risiko perilaku kekerasan di Instalasi gawat darurat berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) Rumah sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Setelah 2 jam
klien mendapatkan tindakan keperawatan dan medis di IGD, Apabila klien tidak
ada indikasi untuk rawat inap, klien diperbolehkan untuk pulang. Pada klien yang
mendapatkan indikasi untuk rawat inap, klien akan dipindahkan keruang Intensive
Psikiatri. Klien yang wanita dipindahkan keruangan Kresna Wanita, Klien yang
Pria dipindahkan keruangan Kresna pria.
[Type here]
Universitas Indonesia
Ruang Kresna pria merupakan ruang pelayanan intensive spikiatri pada pasien laki
laki dengan kelas perawatan kelas III, yang merawat klien dengan kondisi akut,
berkapasitas tempat tidur 20. Fasilitas pelayanan yang diberikan terbagi dengan
ruang intensif I, ruang intensif II, ruang intensif III, 2 kamar isolasi, kantor
perawatan, ruang diskusi dan ruang TAK yang merangkap ruang makan, kamar
mandi, tempat cuci piring, gudang.
Selama praktik diruang Intensive Psikiatri Kresna Pria dari tanggal 16 Februari s.d
tanggal 17 April 2015 kasus yang terbanyak adalah risiko perilaku kekerasan
(70%). Pelayanan manajemen pada klien perilaku kekerasan diruangan Kresna
sudah berdasarkan pada Pilar pilar di MPKP. Pada pendekatan manajemen, perawat
ruangan sebelum melaksanakan tindakan pada klien perilaku kekerasan sudah
mempunyai perencanaan tentang tindakan yang akan dilakukan. Pengaturan dalam
pelaksanaan jadwal dinas sudah dilakukan berdasarkan Tim. Daftar pasien
diruangan sudah tercantum, sehingga setiap petugas sudah mengetahui pasien yang
mengalami risiko perilaku kekerasan. Setiap pertukaran sif baik dari dinas malam
ke pagi atau dari dinas pagi kesore petugas ruangan sudah melaksanakan overan,
disaat overan dibahas tentang klien yang mengalami perilaku kekerasan, tindakan
yang sudah diberikan, rencana tindak lanjut untuk tindakan pada pasien perilaku
kekerasan.
[Type here]
Universitas Indonesia
Kegiatan pengendalian pada ruangan kresna ini diterapkan dalam bentuk kegiatan
pengukuran. Indikator mutu dari bulan Februari 2015 meliputi BOR: 78,03%,
ALOS : 6 hari dan TOI : 1,5 hari. Selain itu masalah keperawatan pada bulan
Februari adalah risiko perilaku kekerasan 57,5 %, Gangguan sensori persepsi:
halusinasi sebanyak 64,6%, isolasi sosial sebanyak 46,4%, harga diri rendah
sebanyak 39,4%, waham 12,2%, risiko bunuh diri masing masing 6% dan defisit
perawatan diri sebanyak 32,3%. Pada indikator rumah sakit jiwa juga dilakukan
penghitugan pada angka pengekangan fisik, cedera pada pasien perilaku kekerasan.
Kegiatan mengevaluasi dokumen asuhan keperawatan pada klien risiko perilaku
kekerasan sudah dilaksanakan, kegiatan audit diakukan oleh kepala ruangan apabila
klien sudah pulang. Klien atau keluarga yang telah mendapatkan tindakan atau
asuhan risiko perilaku kekerasan diberikan hak untuk mengisi survey kepuasan
yang dilakukan setiap klien akan pulang.
Monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas organisasi diruangan Kresna Pria ini
telah diterapkan. Hasil evaluasi dan pengamatan yang telah dilakukan oleh
mahasiswa, didapatkan hasil bahwa kepala ruangan ruang, Katim, perawat
pelaksana Kresna Pria telah memiliki kemampuan melaksanakan manajemen
pelayanan pada klien risiko perilaku kekerasan. Mahasiswa juga melakukan
supervisi insidentil dan pendampingan. Supervisi insidentil dan pendampingan
merupakan kegiatan supervisi yang dilakukan terhadap kemampuan karu, katim,
dan perawat pelaksana dalam melakukan asuhan perawatan pada klien risiko
perilaku kekerasan, yang telah bernilai lulus (nilai >75). Penilaian kemampuan
[Type here]
Universitas Indonesia
kepala ruang dan ketua tim juga dilakukan pada diagnosis penyerta dari risiko
perilaku kekerasan, yaitu: halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan diri.
[Type here]
Universitas Indonesia
Manajemen krisis yang dilakukan pada klien dengan risiko perilaku kekerasan
diruang Intensive psikiatri juga menggunakan tidakan restraint dan seklusi.
Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan risiko
perilaku kekerasan di ruang Kresna Pria berdasarkan Standar Operasional Prosedur
(SOP) Rumah sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Restrain dan seklusi merupakan
suatu tindakan yang membatasi ruang gerak klien yang dapat membahayakan klien
sendiri dan petugas yang melaksanakan. Restrain dan seklusi dilakukan sekitar 2
sampai 4 jam. Pelaksanaan restrain dan seklusi dilakukan oleh perawat ruangan
[Type here]
Universitas Indonesia
dengan melakukan kontrak kepada klien dan dengan dilakukan observasi yang
intensif terhadap klien yang direstrain dan seklusi. Bentuk restrain dan seklusi yang
diberikan pada klien adalah pengikatan dengan tali, jaket.
[Type here]
Universitas Indonesia
Bab ini menjelaskan mengenai pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami risiko perilaku kekerasan, dengan pemberian Assertiveness Trainning
(AT) dan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Pelaksanaan asuhan keperawatan
melalui proses keperawatan dengan pendekatan teori Stuart dan Interpersonal
peplau.
Asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien risiko perilaku kekerasan dilakukan
diruang Kresna pria. Ruangan Kresna pria ini adalah ruangan psykiatric intensive
care untuk klien laki-laki yang pindahan dari IGD dan poliklinik. Perpindahan klien
keruangan intermediate sangat cepat diruang Kresna pria ini. Hal ini menyebabkan
klien yang RPK mendapatkan terapi tidak selesai.
39
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
1 Usia
a. Remaja (12-18 tahun) 4 6,7
b.Dewassamuda (18-25Tahun) 21 35,5
34
a. c. Dewasa (25-65 Tahun) 57,6
Pendidikan
2 a.Rendah (SD) 11 18,6
b.Menengah (SMP) 28 47,4
20
c. Tinggi (SMA&PT) 33.8
3 Pekerjaan
a.Bekerja 7 11,8
b.Tidak bekerja 52 88
4 Status Perkawinan
a. Menikah 14 23,7
b.Belum menikah 39 66
a. c.Duda 6 10
5 Onset
a.< 1Tahun 13 22
b. 1-5 Tahun 34 57.6
c. > 5 Tahun 12 20
6 Frekuensi masuk RS
a. 1kali 8 13,5
b. 2-5 kali 51 86,4
Tabel 4.2
Distribusi Predisposisi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
1 Biologi
b. a. Gangguan jiwa sebelumnya 23 39
c. b. Napza 19 32
d. c. Trauma kepala 12 20,3
e. d. Genetik
5 8,4
2 Psikologis
a. Keinginan tidak terpenhi 21 35,5
b. Pengalaman tidak menyenangkan 15 25,4
c. Konsep diri negatif 12 20,3
d. Pola asuh (otoriter) 15 25,4
e. Tipe kepribadian tertutup 24 40,6
3 Sosial
a. Tidak bekerja 24 40,6
c Konflik dengan klg/teman 43 72,8
e. Kehilangan orang yang berarti 13 22
h. Tidak tamat/putus sekolah. 21 35,5
stressor, asal stressor, lamanya stressor yang dialami, dan banyaknya stressor yang
dihadapi (Tabel 4.3)
Berdasarkan tabel 4.3, factor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien
risiko perilaku kekerasan yaitu aspek biologis adalah putus obat sebanyak 51 orang
(86,4%). Aspek psikologis yang terbanyak yaitu kegagalan (59,3%). Aspek sosial
budaya yang terbanyak yaitu tidak bekerja. 35 orang (59%) Asal stressor sebagian
besar berasal dari luar yaitu sebanyak 31 orang (52,5%).
Tabel 4.3
Distribusi Presipitasi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
1 Biologi
f. a. Putus obat 51 86,4
g. b. Napza 8 13,5
2 Psikologis
a. Kegagalan 35 59,3
b. Keinginan tidak terpenuhi 23 38,9
c. Pengalaman tidak menyenangkan 21 35,5
3 Sosial
a. Tidak bekerja 35 59
c Konflik dengan klg/teman 27 45,7
e. Kehilangan orang yang berarti 28 47,4
h. Tidak tamat/putus sekolah. 19 32
4 Asal Stresor
h. a. Internal 28 47,4
i. b. Exterrnal 31 52,5
sebanyak 59 orang (100%). Respon sosial adalah bicara kasar, suara tinggi masing
masing sebanyak 59 orang (100%). Respon perilaku adalah mondar mandir
sebanyak 49 orang (83%).
Tabel 4.4
Distribusi Penilaian Stresor pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
No
Jumlah %
1 Respon Kognitif
1 Tidak mampu mengontrol PK 59 100
2 Punya pikiran negative dalam 45 76
menghadapi stressor
3 Mendominasi pembicaraan 51 86
4 Bawel 34 57
5 Sarkasme 30 50,8
6 Meremehkan keputusan 47 79,6
7 Flight of idea 49 83
8 Perubahan isi piker 46 78
2 Respon Afektif
9 Afek labil 59 100
10 Marah 59 100
11 Kecewa/kesal 59 100
12 Curiga 34 57
13 Mudah tersinggung 43 62,7
14 Frustasi 59 100
15 Merasa tidak aman dan nyaman 43 62,7
16 Merasa jengkel 38 64,4
17 Dendam 41 69,4
18 Ingin memukul orang lain 15 25,4
4 Fisiologis
19 Muka merah 40 67,7
20 Pandangan tajam 50 84,7
21 Mengatup rahang dengan kuat 45 76
22 Mengepalkan tangan 40 67,7
23 Tekanan darah meningkat 42 71
24 Denyut nadi meningkat 42 71
25 Pupil dilatasi 3 5
26 Tonusotot meningkat 9 15
27 Mual 5 8,4
28 Frekuensi BAB Meningkat 7 12
29 Kadang konstipasi 6 10
30 Kewaspadaan meningkat 47 79,6
31 Wajah tegang 59 100
5 Perilaku
32 Mondar-mandir 49 83
33 Melempar,/memukul 20 33,8
benda/orang lain
34 Merusak barang 20 33,8
35 Sikap bermusuhan 35 59,3
36 Agresif 20 33,8
37 Sinis 35 59,3
38 Perilaku verbal ingin memukul 12 20,3
39 Memberontak 20 33,8
Sosial
40 Bicara kasar 59 100
41 Suara tinggi, menjerit, berteriak 59 100
42 Mengancam secara verbal 58 98,3
43 Pengasingan 59 100
44 Penolakan 57 96,6
45 Ejekan 59 100
46 Menertawakan 49 83
Tabel 4.5
Distribusi Sumber Koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
1 Kemampuan Personal
j.a. Tahu cara mengatasi risiko perilaku 28 47,4
kekerasan
k. b. Tidak tahu cara mengatasi risiko 31 52,5
perilaku kekerasan
2 Dukungan Sosial
a. Dukungan keluarga
- Ada mampu merawat 19 32
- Tidak mampu merawat 50 84
b. Dukungan kelompok
-Tidak ada 59 100
c. Dukungan masyarakat
-Tidak ada 59 100
3 Ketersedian Aset
a.Pembayaran
- Jamkesmas/Jamkesda 52 88
- Pribadi 7 11,8
b. Jangkauan ke Pelayanan Kesehatan
- Jauh 18 30,5
- Dekat/Terjangkau 41 69,4
4 Status Perkawinan
b. a. Yakin akan sembuh 36 61
c. b.Tidak yakin 23 39
Tabel 4.6
Distribusi Mekanisme koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
Tabel 4.7
Distribusi Diagnosis Keperawatan pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015
Halusinasi 39 66
Tabel 4.8
Distribusi Diagnosis Medis pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
Jenis terapi psikofarmaka yang diberikan adalah obat anti psikotik tipikal banyak
digunakan pada saat terapi awal. Terapi tipikal sangat berfungsi sekali mengatasi
gejala positif dari klien skizofrenia. Obat anti psikotik atypical digunakan untuk
memperbaiki gejala negatif klien setelah perilaku kekerasan berkurang.
Tabel 4.9
Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
Pada Tabel 4.9 diketahui bahwa semua pasien yang mendapatkan terapi spesialis
Assertiveness Training dan Cognitive Behavior Therapy mendapatkan terapi
genaralis. Selain itu juga mendapatkan tindakan manajemen krisis restrain dan
seclusion. Pemberian restrain dan seclusion dilakukan pada saat segera setelah
dirawat di Ruang Kresna. Pelaksanaan restrain dan seclusion pada klien tetap
memperhatikan keselamatan, keamanan dan juga menjaga privacy klien. Setelah 4
jam atau minimal ½ jam dilakukan evaluasi kondisi klien, setelah kondisi tenang
dan emosinya stabil, tindakan seklusion dihentikan dan restrain dilepas, selanjutnya
penulis baru memberikan terapi spesialis Assertiveness Training dan Cognitive
Behavior Therapy. Pada beberapa klien yang memungkinkan, pemberian terapi
generalis diberikan bersamaan dengan pemberian terapi spesialis Assertiveness
Training dan Cognitive Behavior Therapy
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan management Krisis pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dijelaskan maanajemen krisis yang dilakukan pada
klien dengan risiko kekerasan didapatkan klien yang mendapat terapi restraint
sebanyak 17 orang (28,8%). Klien yang mendapat terapi seklusi /isolasi adalah
sebanyak 12 orang (20,3%).
Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Di Ruang Kresna Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=59)
Berdasarkan tabel 4.11 klien yang mendapat terapi generalis sebanyak 59 orang
(100%). Terapi generalis rata rata dilakukan sebanyak 4 kali, sebagian besar klien
bisa melakukannya. Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan pada klien
risiko perilaku kekerasan adalah mengevaluasi kemampuan yang dimiliki klien
untuk mengontrol perilaku kekerasannya, melatih kemampuan yang belum
dimiliki/dilakukan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan (cara fisik, patuh
obat, verbal dan spiritual). Terapi generalis pada keluarga pasien juga dilakukan
tetapi sebagian besar hanya sampai sesi 1-2 karena diberikan saat keluarga datang
mengantar klien. Terapi spesialis untuk keluarga Family Psychoeducation (FPE)
belum bisa diberikan pada keluarga, karena keluarga hanya berkunjung 1 kali
selama di ruang Kresna. Terapi aktifitas kelompok juga diberikan pada klien hanya
sampai sesi 1-2, sebagian besar klien ada mengikuti kegiatan terapi aktifitas
kelompok.
Klien yang mendapat terapi Assertiveness Trainning sebanyak 39 orang (66%). Klien
yang mendapatkan Cognitive behaviour Therapy sebanyak 20 orang (39%). Pada
manajemen kasus ini baik yang mendapatkan Assertiveness Trainning maupun
yang mendapatkan Cognitive behaviour Therapy sebelum pemberian terapi
spesialis klien diberikan terapi generalis (baik terapi individu, terapi aktivitas
kelompok serta pendidikan kesehatan keluarga). Pemberian terapi spesialis pada
klien, pada beberapa klien dilakukan secara bersamaan dengan terapi generalis jika
klien memungkinkan. Terapi AT dan CBT diberikan dalam 3 kali pertemuan.
Pertemuan tidak bisa tuntas karena klien akan dipindahkan keruangan intermediate.
Penilaian tanda dan gejala dilakukan pada klien saat awal dan akhir klien akan
dipindahkan keruangan intermediate.
Tabel 4.12
Kemampuan mengatasi masalah perilaku kekerasan dengan Assertiveness
Training (AT) pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Kresna Pria,
16 Februari-17 April 2015 (n=39)
Tabel 4.13
Tabel 4.14
Perubahan Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan pada Klien Yang
Sesudah diberikan Assertiveness Training (AT) Di Ruang Kresna Pria, 16
Februari-17 April 2015 (n=39)
Tabel 4.15
Perubahan Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan pada Klien Yang
Sesudah diberikan Cognitive Behaviour Training (CBT) Di Ruang Kresna
Pria, 16 Februari-17 April 2015 (n=20)
Pada bab ini akan dibahas tentang manajemen kasus spesialis dan manajemen
asuhan keperawatan masalah risiko perilaku kekerasan di ruangan Kresna Pria yang
dilakukan mulai tanggal 16 Februari sampai dengan 17 April 2015. Pembahasan
juga dilakukan terkait manajemen pelayanan yang menunjang pelaksanaan asuhan
keperawatan, serta keterbatasan yang ditemukan selama proses pelaksanaan asuhan
keperawatan. Pembahasan asuhan kasus spesialis meliputi hasil pengkajian klien
dengan risiko perilaku kekerasan dan efektifitas manajemen asuhan keperawatan
pada klien dengan risiko perilaku kekerasan yang diberikan terapi generalis, terapi
spesialis menggunakan pendekatan teori konsep stres adaptasi Stuart dan hubungan
interpersonal Peplau.
53
Setelah terbina hubungan saling percaya antara klien dan perawat pada fase
orientasi, perawat melanjutkan asuhan keperawatan ke fase identifikasi. Pada fase
identifikasi ini perawat melakukan pengkajian mengenai masalah yang dirasakan
oleh klien melalui eksplorasi perasaan klien. Bila dikaitkan dengan model Stuart,
maka yang termasuk dalam kondisi di atas adalah faktor presipitasi/ faktor pencetus
yang dalam hal ini terkait dengan suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman atau tuntutan dan penilaian terhadap
stresor. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa partisipasi mandiri dalam
hubungannya dengan perawat, individu mandiri terpisah dari perwat, individu yang
tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat. Pada tahap identifikasi ini peran
perawat adalah melakukan atau bertindak sebagai fasilitator yang memfasilitasi
ekspresi perasaan klien serta melaksanakan asuhan keperawatan.
5.1.1 Usia
Klien yang dirawat dengan risiko perilaku kekerasan di ruangan Kresna sebagian
besar klien berusia dewasa, yaitu dewasa muda atau 18-25 th sebanyak 21 (35,5%),
dan dewasa atau 26-65 tahun sebanyak 34 (57,6%). Usia klien tersebut termasuk
dalam kategori usia dewasa pertengahan. Menurut Erickson (2000 dalam Stuart
(2013), pada usia dewasa mempunyai tugas perkembangan membangun hubungan
intim, mengembangkan karir dan mulai meninggalkan rumah. Usia merupakan
aspek sosial budaya yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa dengan risiko
frekuensi tertinggi pada usia 25-44 tahun. Usia berhubungan dengan penurunan
kemampuan untuk memperoleh dan menguasai keterampilan baru karena adanya
penurunan kognitif yang berkaitan dengan usia tidak hanya pada klien dengan
skizofrenia, tetapi juga pada populasi umum (Stuart, 2013).
Masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek kognitif, emosi, dan
perilaku. Kegagalan yang dialami dalam mencapai kematangan akan sulit
5.1.2 Pendidikan
Pendidikan klien sebagian besar berpendidikan rendah (SD dan SMP) yaitu 39
(66%). Hasil manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh Hastuti (2013)
menemukan sebanyak 46,6% klien mempunyai latar belakang pendidikan
menengah. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur dalam kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Hal ini akan mendukung proses
perawatan pada klien dengan latar belakang pendidikan yang cukup memadai
dalam menerima suatu bentuk pembelajaran dan informasi. Schwartz et al (2009)
menemukan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan klien
dengan kemampuan klien dalam melakukan pengaturan hidup sehingga
meningkatkan harga dirinya. Aspek intelektual merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk menyampaikan idea atau pendapatnya, selanjutnya akan
berpengaruh pada kemampuan klien untuk memenuhi harapan dan keinginan yang
ingin dicapai dalam kehidupannya sehingga akan meminimalisasi terjadinya
prilaku distruktif (Stuart, 2013). Semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan
seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki.
diri penyakitnya. Pada klien dengan risiko perilaku kekerasan tingkat pendidikan
akan mempengaruhi kemampuan termasuk kemampuan kognitif dan psikomotor
klien dalam beperilaku. Sebagian besar klien kelolaan memiliki tingkat pendidikan
yang termasuk dalam pendidikan menengah sehingga penulis mengasumsikan klien
mampu menerima informasi pembelajaran yang disampaikan oleh perawat. Hal ini
dapat dilihat pada saat perawat melakukan terapi latihan ketrampilan kognitif,
perilaku dan sosial, klien dapat menerima informasi yang disampaikan tentang
terapi dan sesi-sesi yang akan dilakukan sebelum melakukan terapi.
5.1.3 Pekerjaan
Klien dalam manajemen kasus ini sebagian besar tidak bekerja yaitu 52 (88,2%).
Hasil manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh Hastuti (2013) menemukan
Sebagian besar klien tidak mempunyai pekerjaan yaitu sebanyak 9 orang (60 %).
Menurut Yoo et al (2011) pekerjaan klien dapat berhubungan dengan harga diri dan
efikasi diri yang dimiliki klien yang menderita penyakit kronis, klien yang bekerja
cenderung mempunyai efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan klien yang
tidak bekerja dan klien yang tidak mempunyai pekerjaan cenderung mempunyai
harga diri yang rendah. Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan
presipitasi sosial budaya proses terjadinya gangguan jiwa. Hal ini memberikan
gambaran bahwa klien kurang memiliki keterampilan tertentu sebagai sarana untuk
menunjukkan kemampuan hidup secara produktif. Kondisi tidak memiliki
pekerjaan pada kasus kelolaan ini semakin membuat klien mengkritik diri, merasa
tidak berguna atau tidak berharga dan akhirnya individu merasa frustasi dengan
kondisinya dan merasa iri jika melihat kemampuan orang lain, klien merasa malu
dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Syukri, 2013). Masalah
pekerjaan menurut Hawari (2001) merupakan sumber stres pada diri seseorang.
Masalah ini bila tidak teratasi dapat menyebabkan jatuh sakit (mengalami
gangguan).
Bekerja dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi sosial dan menyebabkan efikasi
diri meningkat dalam hubungan sosial dan merupakan domain yang umum.
Individu yang bekerja biasanya melaporkan tingkat kepuasan hidup lebih tinggi.
Pekerjaan memiliki efek langsung pada kepuasan hidup, atau dimediasi oleh
hubungan sosial dan individu yang bekerja mempunyai harga diri tinggi. Harga diri
yang rendah sering kali memicu terjadinya risiko perilaku kekerasan yang
dimediasi oleh perasaan gagal, tidak berguna dan tidak terpenuhinya keinginan
klien.
Hasil penelitian Bracke et.al (2008) menemukan kualitas dukungan yang diterima
memiliki dampak penting pada diri perempuan, sedangkan harga diri klien laki-laki
sangat dipengaruhi oleh jumlah dukungan yang diberikan. Notoatmodjo (2003)
mengungkapkan seseorang yang memiliki pasangan hidup mempengaruhi
ketenangan atau pengambilan keputusan dalam meningkatkan kemampuan
mengatasi masalah kognitif dalam menghadapi suatu tekanan hidup. Dukungan dari
pasangan meningkatkan kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan tentang
perilaku yang harus diambil dan terbaik untuk penyembuhan penyakitnya.
dirawat dengan efikasi diri klien. Hasil manajemen kasus spesialis yang dilakukan
oleh Hastuti (2013) frekuensi di rawat berhubungan dengan perubahan gejala
kekerasan rata- rata klien pernah dirawat rata-rata 2 kali di rumah sakit. Hasil
penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih
(2009) yang menyatakan bahwa frekuensi dirawat tidak berhubungan dengan
perilaku kekerasan, walaupun sebagian besar klien pernah dirawat 3 kali atau lebih.
Klien yang pernah mengalami rawat inap seharusnya mampu belajar dari
pengalamannya terkait perilaku kesehatannya agar tidak terulang kembali sehingga
harga dirinya terkait pengelolaan klien skizofrenia meningkat. Berbagai
pengalaman pribadi lebih dapat meningkatkan harga diri dibandingkan dengan
pengalaman orang lain pada umumnya. Pengalaman yang tidak menyenangkan
akibat sering kambuh dan dirawat kembali berdampak pada terbentuknya stigma
diri dapat menurunkan harga diri. Kemampuan mengatasi emosi seseorang dan
menghadapi suatu tekanan bisa disebabkan terlalu lama sakit atau seringnya dirawat
di rumah sakit karena penyakit yang dialaminya (Hidayat, 2011). Hasil pelaksanaan
kasus spesilias ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Schwartz et al (2009) yang
menemukan hubungan yang signifikan antara frekuensi dirawat dengan
kemampuan klien melakukan manajemen diri atau pengaturan hidup.
a. Aspek Biologis
Berdasarkan hasil identifikasi klien dengan risiko prilaku kekerasan secara
biologis yang dialami klien adalah 23 (39%) mengalami gangguan jiwa
sebelumnya, dan 19 (32,2%) pernah menggunakan NAPZA. Riwayat
penggunaan NAPZA berakibat pada kerusakan otak akan mempengaruhi proses
berpikir, menilai dan mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga gangguan
pada otak bisa menyebabkan seseorang mengalami harga diri rendah. Sebagian
besar faktor biologi pada klien adalah adanya riwayat gangguan jiwa. Klien
yang telah lama mengalami gangguan jiwa juga cenderung memiliki perilaku
menarik diri dan komunikasi terbatas yang kesemuanya ini merupakan gejala
dari perilaku maladaptif. Semakin lama klien mengalami gangguan jiwa maka
akan lebih sering menerima paparan stresor yang berasal dari berbagai aspek
kehidupan.
b. Aspek Psikologis
Pada aspek psikologis ditemukan sebagian besar klien termasuk berkepribadian
tertutup yaitu 24 (40,6%) dan 21 (35,5%) mempunyai keinginan yang tidak
terpenuhi. Pengalaman masa lalu berupa kehilangan dan kegagalan
mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya, klien menjadi
tidak percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain. Kondisi ini akan
membuat individu lebih cenderung merasa rendah diri dan menarik diri dari
orang lain dan lingkungannya. Wahyuningsih (2009) bahwa kegagalan
diartikan sebagai ketidakmampuan, sehingga menjadi menyalahkan diri sendiri
atau orang lain yang menstimulasi munculnya harga diri rendah kronis. Hal ini
dapat memicu perilaku agresif.
Alasan putus obat karena adanya perasaan bosan, merasa sudah sembuh, merasa
obat tidak cocok karena jika minum obat menjadi mudah mengantuk, tidak
nyaman, lemas setelah minum obat sehingga tidak bisa bekerja lagi, merasa obat
tidak cocok karena meskipun obat sudah habis tetapi belum sembuh juga dan
ada perasaan khawatir menjadi ketergantungan obat.
Townsend (2009) memaparkan bahwa ada relasi yang kuat antara periaku
kekerasan dengan alhokol, serta penggunaan zat terlarang seperti kokain,
amfetamin, zat halusinogen dan anbolik steroid. Hasil penelitian Nolan dkk
(2003), dalam Stuart, 2009) menemukan bahwa angka kejadian perilaku
kekerasan 12 lebih besar pada pengguna alkohol dan obat-obatan serta 16 kali
lebih besar pada individu dengan ketergantungan obat.
b. Stressor Psikologis
Faktor psikologis ditemukan sebagian besar klien 35 (59,3%) pernah
mengalami kegagalan dan 23 (38,9%) mempunyai keinginan yang tidak
terpenuhi. Menurut Varcarolis (2010), pengamalan hidup yang tidak baik dapat
menimbulkan penilaian negatif terhadap situasi dan kejadian yang pada
akhirnya akan menimbukan perasaan negatif berupa merasa dipermalukan,
ketakutan, dibuang, bersalah, menyakitkan, ditolak, tidak adequat, tidak aman,
tidak didengarkan, situasi di luar kontrol, penolakan, terancam, kelelahan, cepat
tersinggung dan direndahkan. Faktor psikologis yang mendukung perilaku
kekerasan antara lain kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan
pertahanan psikologi (Stuart, 2009). Hasil manajemen kasus spesialis yang
dilakukan oleh Hastuti (2013) ditemukan penyebab dari psikologi adalah
kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis dan kegagalan dalam
pekerjaan.
d. Sumber stressor
Stresor internal berasal dari diri sendiri seperti ketidakberdayaan, keputusasaan,
hilangnya kepercayaan diri, merasa tidak mampu, dll. Stresor eksternal berasal
dari luar individu. Stressor ini dapat berupa kehilangan (orang yang dicintai,
barang/object, pekerjaan), tuntutan dari keluarga/ kelompok/ masyarakat,
bencana alam, konflik. Sumber stressor sebagian besar dari internal yaitu 31
(52,5%). Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa stresor dapat berasal dari
internal maupun eksternal (Stuart, 2013). Pada klien dengan risiko perilaku
kekerasan sumber internal yaitu adalah kegagalan dan perasaan bersalah yang
ditujukan kepada dirinya karena perasaan frustasi akan kebutuhan yang tidak
terpenuhi.
pembicaraan, dan 49 (83%) flight of idea. Hasil manajemen kasus spesialis yang
dilakukan oleh Hastuti (2013) ditemukan respon kognitif pada klien RPK yakni
dengan menekan tidak mampu memecahkan masalah, mendominasi
pembicaraan, pikiran meloncat (flight of idea) dan menyalahkan orang lain. Hal
ini terjadi pada klien skizofrenia yang mempengaruhi perasaan, inisiatif,
pekerjaan dan kehidupan sosial klien. Respon kognitif ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lelono (2011), Sudiatmika (2011) dan Hastuti
(2012), bahwa tanda dan gejala secara kognitif pada klien perilaku kekerasan
yaitu tidak mampu mengontrol PK, punya pikiran negatif dalam menghadapi
stresor, mendominasi pembicaraan, sarkasme, meremehkan keputusan, flight of
idea, perubahan isi pikir, ingin memukul orang lain, menyalahkan orang lain.
b. Respon afektif
Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi dalam menghadapi
masalah (Stuart & Laraia, 2005). Respon emosi sangat bergantung dari lama
dan intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Respon afektif, semua
klien merasa marah, kesal, kecewa, dan merasa tidak aman dan nyaman, serta
menjadi mudah tersinggung. Hasil manajemen kasus spesialis yang dilakukan
oleh Hastuti (2013) ditemukan Respon afektif yang ditemukan pada klien yakni
marah dan afek labil. Respon afektif ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sudiatmika (2011) dan Hastuti (2012), bahwa tanda dan gejala
afektif meliputi afek labil, marah, kecewa/kesal, curiga, mudah tersinggung,
frustasi, merasa tidak aman dan nyaman, merasa jengkel, dendam dan ingin
memukul orang lain. Stuart (2009) menyatakan bahwa afektif merupakan
gambaran perasaan. Perasaan tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan,
menuntut, mudah tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan
afek labil Stuart (2009), iritabilitas, depresi, apatis (Boyd & Nihart, 1998).
c. Respon fisiologis
Menurut Stuart (2009), perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, tidak
bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang mengencang,
peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton. Respon fisiologis,
d. Respon sosial
Respon sosial, semua klien bicaranya kasar dan suara meninggi, berteriak, 46
(78%) mengancam secara verbal. Klien cenderung menyalahkan orang lain,
membicarakan kesalahan orang lain, mengejek, berkata kasar dan menolak
hubungan dengan orang lain, melanggar batas jarak personal saat berinteraksi
(Rawlins,Williams & Beck, 1993), kekerasan verbal terhadap orang lain berupa
kata-kata kasar, nada suara tinggi dan bermusuhan (Morison, 1993).
e. Respon perilaku
Tanda dan gejala perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan
atau kegiatan yang dilakukan klien berkaitan dengan pandangannya terhadap
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Perilaku adalah
suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2003). Respon
perilaku sebagian besar klien mondar-mandir yaitu 49 (88%), 35 (59,3%) sikap
bermusuhan dan sinis. Hasil manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh
Hastuti (2013) ditemukan menunjukan 80% adalah sikap agresif hal ini bisa
terjadi karena belum terbentuknya mekanisme koping dari klien sehingga mode
adaptasi masih belum terbentuk. Perilaku yang ditunjukkan klien seperti
mondar-mandir, tidak mampu untuk duduk tenang, tangan mengepal,
menghentikan aktivitas motorik dengan tiba-tiba, kata-kata menekan, suara
keras, memerintah (Stuart, 2009). Menurut Morison (1993), kekerasan pada
diri sendiri berupa ancaman melukai, kekerasan pada orang lain berupa
ancaman, serangan fisik, memukul dan melukai, kekerasan pada lingkungan
berupa merusak peralatan rumah tangga, merusak harta benda dan membanting
pintu (Morison, 1993).
a. Personal ability
Klien dalam manajemen kasus spesialis ini sebagian besar klien tahu cara
mengatasi risiko perilaku kekerasan yaitu 31 (52,5%) dan hanya 28 (47,4%)
yang tidak tahu. Kemampuan personal yang dimiliki klien yaitu telah dilatih
dan diajarkan untuk mengenal tentang masalah perilaku kekerasan yang
dialaminya, mengenal tentang cara mengontrol perilaku kekerasan yaitu dengan
cara latihan fisik, verbal, sosial, spiritual dan patuh minum obat, namun klien
masih belum mengetahui cara mengatasi respon emosional yang muncul. Klien
mengindikasikan bahwa mereka membutuhkan alternatif cara mengatasi
perilaku marahnya. Kebutuhan ini diberikan dengan melakukan terapi
spesilialis keperawatan jiwa (Hastuti, 2013). Kemampuan personal merupakan
kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi masalah kesehatan yang
dialami (Stuart, 2009). Kemampuan personal yang dibutuhkan klien dalam
mengatasi masalah keperawatan risiko perilaku kekerasan adalah pengetahuan
yang baik tentang cara mengatasi risiko perilaku kekerasan dan keterampilan
koping yang perlu dilakukan untuk mengurangi marah atau mengendalikan
perilaku agresinya.
Menurut Hastuti (2013), Kemampuan generalis yang harus dimiliki klien untuk
mengontrol kekerasannya yaitu dengan melakukan latihan fisik (tarik nafas
dalam, pukul kasur/bantal), mengungkapkan kemarahan secara verbal, melatih
emosi secara spiritual dan patuh minum obat. Kemampuan lanjut yang harus
dikuasai dalam mengontrol perilaku kekerasan adalah kemampuan mereduksi
perilaku kekerasan mengungkapkan kebutuhan dan keinginan secara asertif,
serta kemampuan mengontrol pikiran dan perilaku yang negatif. Kemampuan
yang harus dimiliki keluarga yaitu mampu mengontrol perilaku kekerasan klien
dengan cara latihan fisik, verbal, spiritual dan patuh minum obat.
b. Sosial Support
Semua klien mempunyai dukungan keluarga tetapi sebagian besar keluarga
tidak mampu merawat klien risiko perilaku kekerasan yaitu 50 (84%). Peran
keluarga dalam proses pengobatan dan penyembuhan merupakan peran
keluarga yang paling penting (Syahreni, 2002). Menurut Stanhope & Lancaster
(2006), keluarga sebagai struktur atau konteks menunjukkan bahwa keluarga
merupakan sumber kesehatan ataupun sumber sakit bagi anggota keluarganya.
Keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kondisi
anggota keluarga baik secara fisik maupun mental. Hal ini sesuai dengan
pendapat Friedman (2010) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi
perawatan kesehatan. Anggota keluarga sebagai orang terdekat dan selalu
berdampingan dengan klien idealnya memiliki kemampuan dalam merawat
klien (caregiver) secara optimal. Sehingga perawatan yang berkesinambungan
dapat diberikan untuk mengurangi angka kekambuhan.
c. Material Asset
Berdasarkan ketersediaan aset, sebagian besar klien mempunyai
Jamkesmas/Jamkesda yaitu 52 (88%) dan 41 (69,4%) mempunyai pelayanan
kesehatan yang terjangkau. Ketersediaan aset ekonomi sangat mendukung
klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Penggunaan jaminan
kesehatan masyarakat untuk biaya perawatan dan pengobatan selama di RS
terbukti membantu klien dan keluarga. Pengobatan gratis meningkatkan
motivasi klien dan keluarga untuk menuntaskan pengobatan. Status ekonomi
yang adekuat merupakan sumber koping dalam menghadapi situasi yang penuh
dengan stres (Townsend, 2009). Salah satu kendala yang menghambat akses
klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer yaitu keterbatasan finansial.
d. Positive Belief
Keyakinan/kepercayaan positif merupakan cerminan cara pandang klien
terhadap diri, penyakit, pengobatan dan terapi yang dijalani. Keyakinan ini
bersumber pada diri sendiri. Keyakinan diri yang bersifat positif akan membawa
dampak positif bagi klien, dan demikian sebaliknya. Keyakinan akan sembuh
yang dimiliki klien, bahwa klien merasa yakin akan sembuh yaitu 36 (61%).
Hasil pengkajian yang dilakukan oleh Hastuti (2013), sumber koping keyakinan
positif pada klien risiko perilaku kekerasan, semuanya merasa yakin mampu
mengatasi masalah yang dihadapi dan dapat sembuh. Timbulnya penilaian ini
berdasarkan keyakinan klien terhadap diri, pengobatan, petugas (perawat dan
dokter). Keyakinan positif ini akan membantu proses penyembuhan klien
karena akan membangkitkan semangat untuk sembuh.
Semua klien dalam manajemen kasus spesialis ini mendapatkan terapi generalis
untuk risiko perilaku kekerasan, dan sebagian klien mendapatkan tindakan spesialis
assertiveness training dan cognitive behavior training. Sebelum diberikan tindakan
generalis dan spesialis klien juga dilakukan manajemen krisis baik restrain dan
seclusion. klien yang dilakukan seklusion sebesar 42 (71%) dan restraint sebesar 17
(28,8%). klien yang mendapatkan assertiveness training sebesar 39 (66%) dan
mendapatkan CBT sebesar 20 (33,8%). Aplikasi teori interpersonal Peplau
digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan tujuan dapat membantu
meningkatkan keterampilan kognitif, perilaku dan berkomunikasi pada klien risiko
perilaku kekerasan. Intervensi keperawatan dilakukan untuk membantu klien dapat
kembali mencapai keseimbangan subsistem. Terapi assertiveness training (AT) dan
cognitive behaviour therapy (CBT) dilakukan sebagai upaya dalam proses
pembelajaran bagi klien untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengontrol
perilaku kekerasan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mereduksi marahnya,
mengatur proses berpikir dan berperilaku positif dan melatih perilaku marah yang
asertif.
generalis risiko perilaku kekeraan, dan kelompok (TAK), dan terapi spesialis
Assertiveness Training dan Cognitive Behaviour Therapy.
Townsend (2009) dan Stuart (2009) menyatakan salah satu intervensi keperawatan
untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan adalah membangun komunikasi
asertif dengan mengajarkan keterampilan komunikasi efektif. Kemampuan asertif
ini adalah dasar keterampilan interpersonal yang meliputi: berkomunikasi secara
langsung kepada orang lain, mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang tidak
rasional, mampu untuk menyatakan ketidaksetujuan dan mengungkapkan
penghargaan secara tepat dan menerima pujian. Assertive Training bertujuan untuk
mengurangi ketergantungan, perilaku pasif dan agresif, serta meningkatkan
perilaku asertif (Rawlins, Williams, & Beck, 1993). Perilaku asertif akan membuat
seseorang merasa nyaman terhadap diri sendiri dan orang lain, mengembangkan
rasa saling menghormati dengan oranglain, meningkatkan harga diri, membantu
mencapai tujuan, mengurangi kecemasan, melindungi diri agar tidak dimanfaatkan
oleh orang lain.
Penurunan tanda dan gejala tanda gejala risiko perilaku kekerasan yang diberikan
Assertive training secara komposit sebesar 46,1 (72,9%) dan perubahan atau
penurunan tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan yang paling tinggi terjadi pada
respon sosial yaitu sebesar 178 (65,3%). Pelaksanaan AT dititikberatkan pada
melatih individu mengelola perilaku agresif dan menyampaikan kebutuhan dengan
cara yang berbeda (Rawlins, Williams, & Beck 1993). Perlunya mengajarkan
kepada klien mengatakan “tidak” atau menolak permintaan yang tidak masuk akal
namun tetap menghormati orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningsih (2009), menunjukkan bahwa komposit perilaku kekerasan pada
klien yang mendapatkan terapi Assertiveness Training mengalami penurunan
secara bermakna (87,4%) jika dibandingkan kelompok yang hanya mendapatkan
terapi generalis. Penelitian Aini (2011) tentang pelaksanaan Assertiveness Training
secara bermakna dapat menurunkan gejala perilaku kekerasan. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi ini sesuai dilakukan pada klien perilaku kekerasan.
Menurut Stuart (2009) tindakan yang dapat dilakukan dalam strategi pengelolaan
perilaku yaitu: pembatasan perilaku, kontrak perilaku, dan token economy.
Pembatasan perilaku dilakukan dengan cara memberitahu klien perilaku yang dapat
diterima dan tidak dapat diterima serta konsekunsi dari perilaku yang tidak dapat
diterima. Kontrak perilaku bertujuan untuk membantu klien mempertahankan
perilaku yang adaptif sesuai dengan kesepakatan dengan klien. Langkah pertama
adalah mendiskusikan perilaku yang tidak dapat diterima, perilaku yang dapat
diterima, konsekuensi yang bila mematuhi atau melanggar kontrak, serta
keterlibatan perawat dalam merawat klien (Stuart, 2009).
penurunan tanda dan gejala tanda gejala risiko perilaku kekerasan yang diberikan
Cognitive Behavior Therapy (CBT) secara komposit sebesar 105,58 tanda gejala
RPK (41,28%) dan perubahan atau penurunan tanda dan gejala risiko perilaku
kekerasan yang paling tinggi terjadi pada respon perilakul yaitu sebesar 122 tanda
gejala RPK (76,25%). Membentuk perilaku yang konstruktif dapat dilakukan dan
cognitive behaviour therapy (CBT). Oemarjoedi (2003) mendefinisikan Cognitive
Behaviour Therapy sebagai terapi yang digunakan untuk memodifikasi pikiran,
perasaan dan perilaku dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali, sehingga dengan
merubah status pikiran dan perasaanya tersebut, pasien diharapkan dapat merubah
tingkah lakunya dari negatif menjadi positif. Cognitive behaviour therapy adalah
terapi yang membantu individu merubah cara berfikir dan prilakunya sehingga
perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada
masalah here and now serta kesulitan yang dihadapi.
eksploitasi dimana pada fase ini klien dibantu oleh perawat dalam menentukan
tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil dari pemberian terapi dapat secara
maksimal dirasakan oleh klien.
Fase eksploitasi memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai
hubungan sesuai pandangan/ persepsi terhadap situasi. Fase ini merupakan inti
hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien
dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat
didalamnya. Perawat mampu menjawab pertanyaan klien mengenai kesehatannya
dan memberikan informasi mengenai rencana perawatan yang akan dijalani oleh
klien selama di ruangan. Selain itu peran perawat sebagai pendidik adalah
mengajarkan klien bagaimana cara mencapai kemampuan yang dimiliki klien
melalui pemberian terapi. Klien harus mampu dibantu dalam melaksanakan
kegiatan yang sudah diajarkan dalam terapi pada kehidupan sehari-harinya
sehingga kegiatan tersebut menjadi membudaya pada klien yang diharapkan
perilaku yang ditampilkan oleh klien mengarah menjadi adaptif. Perawat juga
diharapkan mampu memunculkan rasa ketertarikan klien dalam melakukan
aktivitas selama perawatan sehingga apapun yang diajarkan dan diberikan oleh tim
kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan klien dapat memberikan
efek yang baik pada klien.
dan eksternal yang muncul dalam setiap situasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Stuart (2009) bahwa perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri
dengan pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu
yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi.
Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan CBT juga dibuktikan dalam
penelitian Fauziah (2010), Hidayat (2011), Sudiatmika (2011), dan Lenolo (2011).
Berbagai penelitian tersebut membuktikan bahwa terapi kognitif perilaku bermakna
dalam meningkatkan kemampuan kognitif klien perilaku kekerasan, menurunkan
gejala afektif, fisiologis dan meningkatkan kemampuan sosialisasi klien.
Keberhasilan terapi ini terletak pada perubahan pola pikir terhadap perilaku
kekerasan, kemampuan penilaian/analisis terhadap masalah yang dihadapi.
Penurunan tanda dan gejala kekerasan juga diperoleh dengan pemberian terapi
Assertiveness training. Assertiveness Training merupakan program latihan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan nyaman dan percaya diri, jujur,
terbuka dan menghargai diri sendiri dan menghormati orang lain (Riley, 2000
dalam Fortinash, 2004). Assertiveness Training melatih klien untuk menyampaikan
kebutuhan, hak, serta menentukan pilihan tanpa mengabaikan hak orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Vinick (1983), Assertiveness Training menurunkan
tingkat agresifitas dan meningkatkan konsep diri. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wahyuningsih (2009) menunjukkan bahwa terapi Assertiveness Training
berpengaruh signifikan dalam menurunkan respon kognitif, perilaku dan sosial
sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh pada respon fisik.
Hasil dari keseluruhan terapi akan menjadi lingkungan eksternal klien yang menjadi
kekuatan klien dalam menghadapi stimulus yang datang. Fleksibilitas tolerasi stres
(stress tolerance flexibility) klien diharapkan meningkat dan dengan peningkatan
kemampuan kognitif, klien mampu memiliki persepsi positif pada stressor. Stressor
yang datang tidak dianggap lagi sebagai ancaman tapi sebagai kesempatan untuk
menambah kestabilan sistem perilaku. Melihat pemaparan diatas bahwa pada
pemberian terapi AT akan menjadi lebih baik hasilnya bagi klien dengan
menambahkan terapi CBT yang tentunya disesuaikan dengan masalah yang
menyertai klien dan perlu dilakukan adanya bimbingan terhadap klien untuk
mengungkapkan kemampuan yang masih dimiliki. Selama melaksanakan terapi AT
dan CBT perlu juga pendampingan agar klien menjadi tepat dalam menentukan
peristiwa atau stresor bahkan stimulus yang mendorong emosinya menjadi
meningkat sehingga melakukan perilaku kekerasan. Dan akan menjadi terarah saat
melakukan terapi untuk mengubah perilaku agresif menjadi perilaku asertif baik
yang disertai dengan merubah pikiran negatifnya terlebih dahulu sebelum dapat
berperilaku secara asertif.
Melihat dari hasil diatas menunjukan bahwa terapi yang dikombinasi dan saling
melengkapi memang dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pada hanya satu
terapi saja terlebih jika ada masalah yang menyertai sehingga diperlukan tambahan
terapi yang sesuai. Dalam memandang klien adalah sebagai individu yang holistik
meliputi bio-psiko-sosio-spiritual. Berdasarkan hasil asuhan keperawatan pada
klien perilaku kekerasan ini dengan memberikan terapi kombinasi AT dan CBT
melalui pendekatan teori Interpersonal Peplau menjadi memperkaya hasil
penerapan dan penelitian yang memberikan hasil yang efektif bagi klien.
Pada Bab ini akan diuraikan simpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir beserta
saran bagi pihak pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan
jiwa diunit psikiatri.
6.1 Simpulan
6. 1.1 Karakteristik klien dengan masalah perilaku kekerasan diruang Kresna Pria
mayoritas berusia dewasa (25-65 tahun). Pendidikan sebagian besar berpendidikan
rendah menengah (SD-SMP). Sebagian besar tidak memiliki pekerjaan, status
perkawinan sebagian besar belum menikah, onset atau lama sakit sebaian besar 1-
5 tahun dan frekuensi masuk RS sebagian besar 2-5 kali.
6.1.2.2 Faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien risiko perilaku
kekerasan yaitu aspek biologis adalah putus obat dari aspek psikologis yakni
kegagalan dan aspek sosial budaya yaitu tidak bekerja. Asal stressor sebagian besar
berasal dari luar.
6.1.2.3 Penilaian stressor pada klien sebagian besar respon kognitif adalah tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasaan, respon afektif dalam menghadapi masalah
yaitu Afek labil, marah, kecewa, mudah tersinggung, merasa tidak nyaman. Respon
fisik yang masih actual ditemukan pada klien adalah wajah tegang, Respon perilaku
adalah mondar mandir. Respon sosial adalah bicara kasar, suara tinggi.
79
6.1.2.4 Sumber koping klien risiko perilaku kekerasan adalah klien tidak tahu cara
mengatasi risiko perilaku kekerasan. Sebagian besar klien dengan risiko perilaku
kekerasan memiliki dukungan keluarga tetapi keluarga tidak mengetahui cara
perawatan klien. Sebagian besar klien memiliiki asuransi kesehatan BPJS. Jarak
rumah klien dengan pelayanan kesehatan dekat. Sebagian besar klien memiliki
keyakinan positif akan kesembuhan penyakitnya. Mekanisme koping yang sering
digunakan klien adalah marah marah.
6.2 Saran
Berikut ini adalah saran yang disusun berdasarkan hasil Karya Tulis Ilmiah ini
kepada pihak pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa
khususnya di ruang Kresna.
d. Bersama dengan kasie keperawatan rawat inap jiwa dan kepala instalasi
rawat inap jiwa melakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan dari
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh direktur utama.
6.2.2.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk praktik
mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi keperawatan
spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah keperawatan risiko
perilaku kekerasan.
Alligood, M.R. (2014). Nursing theorist and Work. Eight Edition. New York:
Elsevier, Inc
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric nursing contemporary practice.
USA: Lippincott Raven Publisher
Bracke, Cooke, M. A., Fannon, D., Kuipers, E., Peters, E., Williams, S. C., &
Kumaria, V. (2008). Neurological Basis of Poor Insight in Psychosis: A
Voxel-Based MRI Study. Schizophrenia Research Journal, 103(1-3), 40-
51. doi: 10.1016/j.schres.2008.04.022
Dermawan, D., Dan Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Baru
Fortinash, K.M., dan Worer, P.A. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing.
Third Edition, St Louise. Mosby, Inc.
Guindon, M.H. (2010). Self-Esteem Across The Lifespan. Firsth Edition. New
York: Taylor & Francis Group.
Hastuti, Y.A., Yani, A., dan Mustikasari. (2013). Manajemen Kasus Spesialis
Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan
Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy Di Ruang Gatotkaca
Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok. Karya Ilmiah Akhir.
Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Kaplan & sadock (2010). Kaplan & saddock Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2.
Jakarta: EGC
Keliat, B. A., & Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Keliat, B. A., & Akemat. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa . Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Keliat, B.A Panjaitan & Riasmini (2007). Peran Serta Keluarga Dalam
Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC
Mancuso, C.A., Sayles, W., Allegrante, J.P. (2010). Knowledge, Attitude, and
Self-Efficacy in Asthma Self-Management and Quality of Life. Journal of
Asthma, 47:883–888. DOI: 10.3109/02770903.2010.492540
Rawlin, William & Beck, (1998) Mental health psychiatric nursing a holistic
lifecycle approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc
Suerni, T., Keliat, B.A., dan Daulima, N. H.C. (2013). Penerapan Terapi Kognitif
Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang
Yudistira Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir.
Depok. Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2010). Nursing Theories and Their Work. (6th
ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (R. Komalasari & A. Hani,
Trans.). Jakarta: EGC.
Yoo, H., Kim, J. C., Jang, Y., & You, M. (2011). Self-Efficacy Associated with
Self-Management Behaviours and Health Status of South Koreans with
Chronic Diseases. . International Journal of Nursing Practice 17, 599-606.
doi: 10.1111/j.1440-172X.2011.01970.x