Sie sind auf Seite 1von 27

PENGARUH PEMBERIAN QUERCETIN TERHADAP

KADAR INTERLEUKIN-5 PLASMA , KADAR EOSINOFIL DARAH,


NILAI %VEP1, DAN SKOR ACT PADA PENDERITA ASMA ALERGI
Hesti Nila Mayasari, Suradi, Ana Rima Setijadi
SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta

ABSTRAK
Asma merupakanDr inflamasi saluran napas kronik merupakan manifestasi
interaksi kompleks antara sel dan mediator molekuler. Penatalaksanaan asma
bertujuan untuk mendapatkan asma dalam keadaan terkontrol. Pemberian terapi
tambahan pada keadaan ini diperlukan untuk mengontrol asma. Quercetin sebagai
terapi tambahan dapat memperbaiki gejala klinis dan fungsi paru.
Uji klinis eksperimental pretest dan postest design dilakukan terhadap 34
penderita asma di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 6
Oktober – 10 Desember 2018. Subyek kelompok perlakuan ( n= 17) diberikan
quercetin 1x500 mg per hari selama 28 hari, kelompok kontrol ( n=17) hanya
mendapatkan terapi standar asma. Penurunan inflamasi saluran napas berdasarkan
presentasi kadar IL-5 plasma dan kadar eosinofil darah. Perbaikan fungsi paru
menggunakan %VEP1 dan perbaikan klinis dengan skor ACT.
Quercetin menurunkan inflamasi saluran napas penderita asma dibuktikan
dengan penurunan IL-5 plasma pada kelompok perlakuan secara signifikan tetapi
tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol,
penurunan rerata kadar eosinofil darah pada kelompok perlakuan signifikan.
Quercetin terbukti memperbaiki fungsi paru dengan perbaikan %VEP 1 pada
kelompok perlakuan secara signifikan tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Quercetin terbukti
memperbaiki fungsi paru dengan perbaikan skor ACT pada kelompok perlakuan
secara signifikan.

1
Pemberian quercetin secara signifikan menurunkan inflamasi berdasarkan
penurunan kadar eosinofil darah dan terdapat perbaikan fungsi paru dan perbaikan
klinis setelah pemberian quercetin.
Kata Kunci
Quercetin, asma, IL-5 plasma , eosinofil darah, %VEP 1, ACT

PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronis. Asma ditemukan di negara
maju dan berkembang meliputi segala jenis cuaca serta iklim. Asma mengenai
pada usia anak, dewasa, bahkan usia lanjut. Jumlah penderita asma dunia
mencapai 300 juta diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada
tahun 2025. Prevalensi asma di Amerika meningkat dari 7,3% atau 20,3 juta
penduduk menjadi 8,4 atau 24,6 juta penduduk pada tahun 2008 menurut National
Health Survey. Prevalensi asma di Indonesia sekitar 4,5% atau 9 juta penduduk
dengan karakteristik lebih banyak ditemukan pada usia 15-45 tahun menurut riset
kesehatan dasar tahun 2013. Insidens asma di Indonesia masuk kedalam sepuluh
besar penyebab morbiditas dan mortalitas. Peningkatan jumlah penderita asma
berpengaruh terhadap beban kesehatan dan ekonomi negara. Derajat morbiditas
asma bervariasi mulai dari gejala ringan sampai mengganggu aktivitas penderita.
Asma timbul akibat interaksi faktor pejamu dan lingkungan. Faktor pejamu
mempengaruhi asma yaitu genetik, alergi , hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin,
dan ras. Faktor lingkungan penyebab asma adalah alergen, sensitisasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, dan sosioekonomi yang
merupakan pencetus serangan asma. Fenotipe asma merupakan klasifikasi
menurut demografi, klinis, serta patofisiologis. Beberapa fenotipe asma yang telah
diidentifikasi meliputi asma alergi, asma non alergi, asma late onset, asma dengan
hambatan aliran udara tetap, dan asma pada obesitas. 1,2,3,4
Asma alergi adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, dimulai
pada masa kanak-kanak dan dikaitkan dengan riwayat penyakit alergi masa lalu
dan atau keluarga seperti eksim, rhinitis alergi, alergi makanan, atau alergi obat.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
2
alergen, virus, zat iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi. Proses
inflamasi terjadi diseluruh saluran napas terutama lapisan submukosa ditandai
inflitrasi sel inflamasi yang berasal dari aktivasi dan penarikan sel inflamasi.
Proses ini melibatkan eosinofil, neutrofil, limfosit T, sel epitel, sel mast, dan sel
limfosit B. Sel Th2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13. Interleukin-5
merupakan sitokin yang berperan pada produksi, maturasi, aktivasi dan menjaga
kelangsungan hidup eosinofil. Interleukin-5 berperan penting dalam rekruitmen
eosinofil darah ke jaringan, serta ,memicu aktivasi eosinofil jaringan yang
mengalami inflamasi. Interleukin -5 merangsang inflamasi eosinofilik.
Peningkatan jumlah eosinofil pada saluran napas penderita asma berhubungan
kuat dengan peningkatan hiperresponsif saluran napas. Interleukin -5 menginduksi
aktivasi dan kelangsungan hidup eosinofil dan penanda proliferasi dari eosinofil di
sputum dan meningkatkan responsivitas saluran napas pada penderita asma. 5,6,7
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis asma adalah
spirometri faal paru. Spirometri adalah alat pemeriksaan faal paru objektif menilai
derajat obstruksi saluran napas, reversibilitas, dan variabilitas faal paru.
Spirometri penderita asma akan menunjukkan penurunan nilai volume ekpirasi
paksa detik pertama ( VEP-1), kapasitas vital paksa (KVP), dan penurunan nilai
VEP1/KVP.4,6 Penilaian tingkat kontrol gejala asma menggunakan asthma control
test (ACT), Asthma control test terdiri dari lima pertanyaan yaitu pertanyaan
tentang gejala asma, penggunaan pelega, dan penilaian pasien terhadap tingkat
kontrol asma. Pasien asma perlu dilakukan penilaian klinis terhadap kontrol gejala
asma, untuk evaluasi pengobatan khususnya teknik pemakaian inhaler dan tingkat
kepatuhannya, dan faktor komorbid yang ikut berperan pada beratnya gejala dan
kualitas hidup yang rendah.8,9
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mencapai keadaan asma terkontrol
sehingga kualitas hidup pasien meningkat. Tingkat kontrol asma adalah
manifestasi perubahan berupa berkurang atau hilangnya gejala dan tanda asma
setelah mendapat terapi. Strategi penatalaksanaan asma yaitu dengan cara non-
farmakologi dan farmakologi. Terapi farmakologi dibagi menjadi obat pelega dan
pengontrol. Pemberian terapi pada penderita asma sudah sesuai dengan standar
3
yang ditentukan tetapi hasilnya belum maksimal dan belum bisa mencapai derajat
asma terkontrol baik maka diperlukan terapi tambahan . Pemberian terapi
tambahan pada keadaan ini diperlukan untuk mengontrol asma salah satunya
quercetin dapat menurunkan hiperresponsif saluran napas.9,10,11
Mekanisme quercetin menurunkan interleukin-5 pada tingkat mRNA
dengan menurunkan regulasi gen serta mengganggu ikatan DNA, dan
menghambat transkripsi pada nuclear factor kappa beta (NFκβ). Penelitian
pemberian quercetin pada penderita asma persisten dan asma atopik terbukti dapat
menurunkan jumlah eosinofil darah, dan menurunkan kadar IgE darah .Quercetin
adalah senyawa golongan flavonoid masuk kedalam kategori flavonol. Senyawa
flavonoid memiliki enam sub kelas yaitu antosianidin, flavanol, flavanon,
flavonol, flavon, dan isoflavon. Quercetin diketahui memiliki efek menghambat
peroksidase lipid, agregasi trombosit, menjaga permeabilitas kapiler, dan
merangsang biogenesis mitokondria. Peran quercetin pada asma sebagai
antiinflamasi, antioksidan, dan antimikroba. Efek antiinflamasi dengan cara
mempengaruhi transkripsi gen inflamasi melalui jalur signaling dengan
menghambat aktivitas enzim. Peran quercetin menghambat fosforilasi IKKα/β
yang dikatalisis oleh IKK. Quercetin mencegah translokasi NFƙβ dari sitoplasma
ke dalam nukleus dengan menghambat fosforilasi dan aktivasi IKK. Quercetin
secara tidak langsung menghambat inflamasi dengan meningkatkan aktifitas
peroxisome proliferator-activated receptor-γ (PPARγ) antagonis NFƙβ atau
aktivator protein-1 (AP-1) mengaktifkan transkripsi gen inflamasi5,6,9,10
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui dan membuktikan pengaruh pemberian quercetin sebagai terapi
tambahan pada terapi standar penderita asma. Penelitian ini untuk menilai kadar
IL-5 plasma, kadar eosinofil darah, nilai %VEP1, dan penilaian skor ACT untuk
melihat perbaikan klinis pada penderita asma alergi setelah pemberian quercetin
dosis 500 mg per hari. Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan
manfaat quercetin sebagai terapi tambahan pada penderita asma dalam
menurunkan inflamasi dan memperbaiki gejala obstruksi saluran napas.
Pemberian quercetin diharapkan mampu meningkatkan kontrol asma.8,10,12,13
4
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian uji klinis eksperimental dengan
rancangan case group pretest- post test pada subyek perlakuan dan kontrol.
Penelitian ini dilakukan di poli paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan
Oktober 2018 sampai memenuhi besar sampel. Sampel penelitian adalah penderita
asma alergi yang tidak dalam eksaserbasi di poliklinik paru RSUD Dr Moewardi
pada bulan Oktober 2018 sampai besar sampel terpenuhi. Pengambilan sampel
penelitian dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu memilih subyek
penelitian yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Jumlah sampel
sekitar 34 pasien asma alergi yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Kriterai inklusi yaitu pasien asma alergi umur ≥ 18 tahun, riwayat atopi pada
pasien atau keluarga, penderita asma alergi tidak dalam eksaserbasi yang telah
terdiagnosis secara klinis, bersedia mengisi kuesioner dengan lengkap dan benar,
dan bersedia ikut dalam penelitian dan mendatangani lembar persetujuan. Kriteria
eksklusi yaitu penderita asma alergi mengalami eksaserbasi atau mendapat
kortikosteroid oral selama 4 minggu, penderita asma alergi dengan klinis
gangguan hati berat ditandai sklera icterus, perut membesar, air kencing berwarna
kuning kemerahan, mual, muntah, badan elmah, dan nafsu makan menurun,
penderita asma alergi dengan klinis gangguan ginjal berat ditandai konjunctiva
pucat, mual, muntah, badan lemah, bengkak seluruh tubuh, sesak napas, kulit
kering, dan gatal seluruh tubuh. Kriteria diskontinyu yaitu penderita asma alergi
mengundurkan diri atau meninggal dunia, penderita asma alergi mengalami efek
samping berat quercetin antara lain gangguan ginjal berat selama penelitian
berlangsung, dan penderita asma alergi yang mengalami eksaserbasi berat.
Analisis data dilakukan dengan memakai SPSS version 21 for window dan
penyajian data menggunakan Microsoft Office 2007. Seluruh data penelitian
dilakukan uji normalitas data penelitian menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk
karena sampel jumlah < 50 subyek. Uji beda yaitu suatu metode untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan antara 2 sampel baik berpasangan maupun
independent. Uji beda sampel berpasangan dilakukan dengan paired sampel t test
5
( apabila sampel memenuhi syarat normalitas) atau Wilcoxon signed rank test (
apabila sampel tidak memenuhi syarat normalitas), uji beda independen dilakukan
dengan independent t test ( apabila memenuhi syarat normalitas), atau Mann-
whitney test ( apabila tidak memenuhi syarat normalitas). Batas nilai kemaknaan
nilai p<= 0,05 yaitu bermakna.

HASIL
Penelitian ini dilakukan pada penderita asma alergi yang berobat ke poliklinik
paru RSUD Dr Moewardi Surakarta mulai 6 Oktober 2018 sampai 10 Desember
2018. Jumlah keseluruhan subyek adalah 40 orang. Sebanyak 6 orang masuk
dalam kriteria eksklusi terdiri dari 3 orang kelompok perlakuan tidak datang
kontrol, sebanyak 3 orang kelompok kontrol yang terdiri dari 2 orang tidak datang
kontrol dan 1 orang meninggal dunia.
Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik subyek penelitian terdiri atas usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status gizi, derajat kontrol asma dan derajat obstruksi. Variabel
karakteristik subyek penelitian ini diukur pada masing-masing kelompok dan
diperbandingkan untuk mendeteksi homogenitas variabel-variabel karakteristik
dimaksud sebagai syarat kelayakan prosedur penelitian uji klinis. Variabel
karakteristik yang bersifat kualitatif dengan skala kategorik meliputi jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, status gizi, derajat kontrol asma dan derajat
obstruksi. Sedangkan variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif dengan skala
numerik yaitu usia. Karakteristik dasar subyek penelitian dijelaskan pada tabel 1.

6
Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian
Kelompok
Karakteristik Perlakuan Kontrol P
(n=17) (n=17)
Jenis Kelamin (P/L) 0,7141
Perempuan 12 (70.6%) 11 (64.7%)
Laki-laki 5 (29.4%) 6 (35.3%)
Usia 49.76 +14.23 53.88 +17.48 0,4573
Pendidikan 0,9132
SD 4 (23.5%) 1 (5.9%)
SMP 2 (11.8%) 3 (17.6%)
SMA 3 (17.6%) 7 (41.2%)
PT 8 (47.1%) 6 (35.3%)
Pekerjaan 0,0671
Tidak Bekerja 9 (52.9%) 14 (82.4%)
Bekerja 8 (47.1%) 3 (17.6%)
Status Gizi (IMT) 0,3522
Gizi Kurang 1 (5.9%) 1 (5.9%)
Gizi Normal 6 (35.3%) 9 (52.9%)
BB Berlebih 10 (58.8%) 7 (41.2%)
Derajat kontrol asma 0,1321
Tidak Terkontrol 7 (41.2%) 3 (17.6%)
Terkontrol Sebagian 10 (58.8%) 14 (82.4%)
Terkontrol Baik 0 (0%) 0 (0%)
Derajat Obstruksi 0,6242
Normal 13 (76.5%) 14 (82.4%)
Ringan 3 (17.6%) 3 (17.6%)
Sedang 1 (5.9%) 0 (0 .0%)
Berat 0 (0%) 0 (0%)
1
Keterangan : Uji Chi Sqaure/Fhiser Exact Test
2
Uji Mann Whitney
3
Uji Independen t test
Hasil analisis homogenitas menunjukan bahwa semua variabel
karakteristik kualitatif/katagorikal memiliki proporsi yang tidak berbeda antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Variabel karakteristik yang bersifat
kuantitatif/numerik setelah diuji normalitas dengan Shapiro Wilks menunjukan
hasil berdistribusi normal sehingga uji homogenitas dilakukan dengan uji beda 2
7
mean dengan uji t untuk sampel independent. Variabel data penelitian yang
berdistribusi tidak normal diuji menggunakan Mann-Whitney untuk 2 sampel
independent, sedangkan sampel berhubungan/berpasangan akan diuji
menggunakan uji Wilcoxon.
Jumlah subyek penelitian sebanyak 34 orang penderita asma alergi yang
terdiri dari 23 orang perempuan dan 11 orang laki-laki. Kelompok perlakuan
berjumlah 17 orang terdiri dari 12 orang perempuan ( 70,6%) dan 5 orang laki-
laki ( 29,4%) sedangkan kelompok kontrol berjumlah 17 orang terdiri dari 11
orang perempuan ( 64,7%) dan 6 orang laki-laki (35,3%). Hasil uji statistik
didapatkan nilai p = 0,714 ( p > 0,05) hal ini menunjukan tidak didapatkan
perbedaan yang signifikan karakteristik penderita asma alergi berdasarkan jenis
kelamin antara dua kelompok.
Rerata usia penderita asma alergi pada kelompok perlakuan adalah
49,76+/-14,23 tahun dan kelompok kontrol adalah 53,88+/-17,48 tahun. Variabel
bersifat kuantitatif dengan skala numerik dan uji normalitas dengan Shapiro Wilks
dan hasil pengujian berdistribus normal sehingga uji homogenitas dilakukan
dengan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent dengan hasil uji
statistik didapatkan nilai p = 0,457 ( p > 0,05), hal ini menunjukan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan usia penderita asma alergi berdasarkan usia antara
kedua kelompok.
Pendidikan penderita asma alergi kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol terdiri atas sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP),
sekolah menengah atas (SMA), dan perguruan tinggi (PT). Pendidikan penderita
asma alergi kelompok perlakuan terdiri dari SD 4 orang (23,5%), SMP 2 orang
(11,8%), SMA 3 orang (17,6%) dan PT 8 orang (47,1%). Pendidikan penderita
asma alergi kelompok kontrol terdiri dari SD 1 orang (5,9%), SMP 3 orang (
17,6%), SMA 7 orang ( 41,2%) dan PT 6 orang ( 35,3%). Variabel data penelitian
yang berdistribusi tidak normal diuji menggunakan Mann- Whitney untuk 2
sampel independent, hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,913 (p>0,05) yang
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik pasien
berdasarkan tingkat pendidikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
8
Status pekerjaan penderita asma alergi pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol dibedakan menjadi tidak bekerja dan bekerja. Kelompok
perlakuan yang tidak bekerja sebanyak 9 orang ( 52,9%) dan bekerja sebanyak 8
orang ( 47,1%) sedangkan kelompok kontrol yang tidak bekerja sebanyak 14
orang ( 82,4%) dan bekerja sebanyak 3 orang ( 17,6%). Variabel penelitian adalah
kualitatif sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square test. Hasil
uji statistik didapatkan nilai p=0,067 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan karakteristik pasien berdasarkan status pekerjaan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Status gizi (IMT) penderita asma alergi pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol terdiri dari gizi kurang, gizi normal, dan BB berlebih.
Kelompok perlakuan terdiri dari status gizi kurang 1 orang ( 5,9%), status gizi
normal 6 orang ( 35,3%), dan BB Berlebih 10 orang ( 58,8%). Sedangkan
kelompok kontrol terdiri dari status gizi kurang 1 orang ( 5,95), status gizi normal
9 orang ( 52,95), dan BB berlebih 7 orang ( 41,2%). Variabel data penelitian yang
berdistribusi tidak normal diuji menggunakan Mann- Whitney untuk 2 sampel
independen, hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,352 ( p > 0,05). Hasil uji
statistik yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik
pasien berdasarkan status gizi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Derajat kontrol asma penderita asma alergi kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol terdiri dari asma tidak terkontrol, asma terkontrol sebagian, dan
asma terkontrol baik. Kelompok perlakuan terdiri dari asma tidak terkontrol 7
orang ( 41,2%), asma terkontrol sebagian 10 orang ( 58,8 %) , dan asma terkontrol
baik 0 orang ( 0%), sedangkan kelompok kontrol terdiri dari asma tidak terkontrol
3 orang ( 17,6%), asma terkontrol sebagian 14 orang ( 82,4%), dan asma
terkontrol baik 0 orang ( 0%). Variabel penelitian adalah kualitatif sehingga uji
statistik yang digunakan adalah uji Chi Square test. Hasil uji statistik didapatkan
nilai p=0,132 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan karakteristik pasien berdasarkan derajat kontrol asma antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol.

9
Derajat obstruksi pada penderita asma alergi kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol terdiri dari normal, obstruksi ringan, obstruksi sedang, dan
obstruski berat. Kelompok perlakuan didapatkan derajat obstruki yang terdiri dari
normal 13 orang ( 76,5%), obstruksi ringan 3 orang ( 17,6%), obstruksi sedang 1
orang ( 5,9 %), dan obstruksi berat 0 orang (0%), sedangkan kelompok kontrol
didapatkan derajat obstruksi yang terdiri dari normal 14 orang ( 82,4%), obstruksi
ringan 3 orang ( 17,6%), obstruksi sedang 0 orang (0%), dan obstruksi berat 0
orang (0%). Variabel data penelitian yang berdistribusi tidak normal diuji
menggunakan Mann- Whitney untuk 2 sampel independen, hasil uji statistik
didapatkan nilai p=0,624 ( p > 0,05). Hasil uji statistik yang berarti bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik pasien berdasarkan derajat
obstruksi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian kadar interleukin-5 plasma pada penderita asma alergi.
Kadar IL-5 plasma diukur menggunakan pq/ml. Kadar IL-5 plasma diukur
sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan baik pada kelompok
perlakuan maupun kelompok kontrol. Hasil uji normalitas pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol berdistribusi tidak normal, sehingga uji statistik
untuk data kelompok tidak berpasangan menggunakan uji Mann- Whitney. Uji
statistik untuk data berpasangan berdistribusi tidak normal menggunakan uji
Wilcoxon. Hasil penelitian IL-5 plasma dijelaskan oleh tabel 5.
Tabel 2. Hasil penelitian kadar IL-5 plasma antara kelompok perlakuan dan
kontrol
IL-5 IL-5
Kelompok p Selisih
Pretest Postest
Perlakuan 0.044 +0.050 0.021 +0.011 0,0492 -0.023 +0.049
Kontrol 0.039 +0.042 0.034 +0.041 0.3982 -0.006 +0.046
P 0,9711 0,3541 0,4891
1
Ket : Uji Mann Whitney
2
Uji Wilcoxon
Kelompok perlakuan sebelum diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
kadar IL-5 plasma memiliki rerata 0,044 dengan standar deviasi 0,050. Sedangkan

10
kelompok kontrol sebelum diberikan perlakuan terapi standar asma didapatkan
kadar IL-5 plasma memiliki rerata 0,039 dengan standar deviasi 0,042. Kelompok
perlakuan dan kontrol tidak memenuhi syarat normalitas maka uji beda kelompok
tidak berpasangan yang digunakan uji Mann-Whitney. Hasil dari uji beda 2 mean
IL-5 plasma sebelum perlakuan (pretest) antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menggunakan uji Mann-Whitney didapatkan hasil p = 0,971 (p
> 0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan kadar IL-5 plasma
sebelum perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Kelompok perlakuan setelah diberikan perlakuan quercetin 1x500 mg
selama 28 hari didapatkan kadar IL-5 plasma memiliki rerata 0,021 dengan
standar deviasi 0,011. Sedangkan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan
terapi standar asma selama 28 hari didapatkan kadar IL-5 plasma memiliki rerata
0,034 dengan standar deviasi 0,041. Kelompok perlakuan dan kontrol tidak
memenuhi syarat normalitas maka uji beda kelompok tidak berpasangan yang
digunakan uji Mann-Whitney. Hasil dari uji beda 2 mean IL-5 plasma setelah
perlakuan (postest) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
menggunakan uji Mann-Whitney didapatkan hasil p = 0,354 (p > 0,05). Hal ini
berarti tidak ada perbedaan yang signifikan kadar IL-5 plasma setelah perlakuan (
postest) pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Kadar IL-5 plasma kelompok perlakuan pada kondisi sebelum diberikan
terapi tambahan quercetin 1x500 mg adalah sebanyak 0,044 +0,050, dan pada
kondisi setelah perlakuan menurun menjadi 0,021 +0,011. Pengujian beda 2(dua)
mean IL-5 plasma (pre) dan sesudah perlakuan (post) pada kelompok perlakuan
menggunakan uji Wilcoxon. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut
mendapatkan nilai probabilitas sebesar p = 0,049 ( p < 0,05). Hal ini dapat
diartikan bahwa setelah pemberian terapi tambahan quercetin pada kelompok
perlakuan terdapat penurunan yang signifikan kadar IL-5 plasma pada penderita
asma alergi.
Kadar IL-5 plasma kelompok kontrol pada kondisi sebelum diberikan
terapi standar asma adalah sebanyak 0,039 +0,042, dan pada kondisi setelah
perlakuan menurun menjadi 0,034 +0,041. Pengujian beda 2(dua) mean IL-5
11
plasma (pre) dan sesudah perlakuan (post) pada kelompok kontrol menggunakan
uji Wilcoxon. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut mendapatkan nilai
probabilitas sebesar p = 0,398 ( p > 0,05). Hal ini dapat diartikan bahwa setelah
pemberian terapi standar asma pada kelompok kontrol terdapat penurunan yang
tidak signifikan kadar IL-5 plasma pada penderita asma alergi.
Perubahan kadar IL-5 plasma ( delta IL-5 plasma) merupakan selisih
jumlah kadar IL-5 plasma sebelum perlakuan dengan kadar IL-5 plasma setelah
perlakuan. Delta IL-5 plasma pada kelompok perlakuan memilki nilai -0,023
+0,049 berarti pada kelompok perlakuan IL-5 plasma mengalami penurunan
setelah perlakuan. Sementara pada kelompok kontrol delta IL-5 plasma memiliki
rerata -0,006 + 0,046 juga mengalami penurunan setelah mendapatkan perlakuan
terapi standar asma. Delta IL-5 plasma baik pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol memiliki distribusi data tidak normal, sehingga uji beda 2 (dua)
mean delta IL-5 plasma pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok
kontrol digunakan uji Mann-Whitney. Hasil pengujian beda 2 ( dua) mean delta
IL-5 plasma menunjukan nilai probabilitas sebesar p = 0,489 ( p > 0,05) yang
berarti tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan IL-5 plasma antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Meskipun tidak signifikan secara
statistik dapat dilihat bahwa penurunan IL-5 plasma kelompok perlakuan lebih
besar dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan quercetin dapat
berperan menurunkan kadar IL-5 plasma pada penderita asma alergi meskipun
tidak signifikan.
Hasil penelitian kadar eosinofil darah pada penderita asma alergi
Data kadar eosinofil darah diukur menggunakan satuan mikro liter. Kadar
eosinofil darah diukur sebelum diberikan perlakuan dan setelah perlakuan baik
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hasil uji normalitas pada
kelompok perlakuan menunjukan distribusi normal, sehingga uji statistik yang
digunakan uji kelompok berpasangan menggunakan uji independent t test.
Sedangkan kelompok kontrol menunjukan distribusi yang tidak normal, sehingga
uji statistik yang digunakan uji kelompok berpasangan menggunakan uji
Wilcoxon.
12
Hasil penelitiam kadar eosinofil darah penderita asma dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil penelitian kadar eosinofil darah antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol
Eosinofil Eosinofil
Kelompok p Selisih
Pretest Postest
Perlakuan 3.71 +2.62 2.54 +1.88 0,0403 -1.18 +2.17
Kontrol 4.86 +3.73 5.58 +4.10 0,2672 0.72 +2.75
P 0.4591 0,0121 0,0191
1
Ket : Uji Mann Whitney
2
Uji Wilcoxon
2
Uji Pair sampel t test
Kelompok perlakuan sebelum diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
nilai kadar eosinofil darah memilki rerata 3,71 dengan standar deviasi sebesar
2,62, sedangkan kelompok kontrol sebelum perlakuan terapi standar asma
didapatkan nilai kadar eosinofil darah memiliki rerata 4,86 dengan standar deviasi
sebesar 3,73. Pengujian normalitas data eosinofil secara keseluruhan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan distribusi tidak normal
maka pengujian beda 2 (dua) mean kadar eosinofil darah sebelum perlakuan (pre)
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan uji beda
kelompok tidak berpasangan Mann- Whitney. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean
tersebut menghasilkan nilai p = 0,459 ( p > 0,05), hal ini dapat diartikan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol sebelum perlakuan.
Kelompok perlakuan setelah diberikan quercetin 1x500 mg selama 28 hari
didapatkan nilai kadar eosinofi darah memilki rerata 2,54 dengan standar deviasi
sebesar 1,88 sedangkan kelompok kontrol setelah perlakuan terapi standar asma
didapatkan nilai kadar eosinofil darah memiliki rerata 5,58 dengan standar deviasi
sebesar 4,10. Pengujian normalitas data eosinofil secara keseluruhan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan distribusi tidak normal
maka pengujian beda 2 (dua) mean kadar eosinofil darah sebelum perlakuan (pre)
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan uji beda

13
kelompok tidak berpasangan Mann- Whitney. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean
tersebut menghasilkan nilai p = 0,012 ( p < 0,05), hal ini dapat diartikan terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
setelah perlakuan.
Kadar eosinofil darah kelompok perlakuan pada kondisi sebelum diberikan
quercetin adalah sebanyak 3,71+ 2,62 dan pada kondisi setelah diberikan
quercetin menurun sebanyak 2,54 +1,88. Pengujian beda 2 (dua) mean kadar
eosinofil darah sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan pada kelompok
perlakuan digunakan uji beda 2 mean uji pair sampel t test. Hasil pengujian beda 2
mean tersebut mendapatkan nilai probabilitas sebesar p = 0,040 ( p < 0,05), hal ini
dapat diartikan bahwa setelah diberikan terapi tambahan quercetin 1x500 mg
selama 28 hari pada kelompok perlakuan, kadar eosinofil darah cenderung
menurun secara signifikan. Sedangkan kadar eosinofil darah pada kelompok
kontrol sebelum diberikan terapi standar asma adalah sebanyak 4,86 +3,73 dan
pada kondisi setelah diberikan perlakuan terapi asma standar meningkat sebanyak
5,58 +4,10. Hasil pengujian beda 2 mean kadar eosinofil darah sebelum perlakuan
dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol menggunakan uji beda kelompok
berpasangan yaitu uji Wilcoxon. Hasil uji beda 2 mean tersebut mendapatkam
probabilitas p = 0,267 ( p > 0,05) , hal ini dapat diartikan bahwa setelah diberikan
terapi standar asma pada kelompok kontrol kadar eosinofil darah cenderung
meningkat meskipun tidak signifikan.
Delta kadar eosinofil darah pada kelompok perlakuan memiliki nilai -1,18
+2,17 sedangkan delta kadar eosinofil darah kelompok kontrol memiliki nilai 0,72
+2,75. Hasil pengujian beda 2 mean delta kadar eosinofil darah antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak
berpasangan yaitu uji Mann- Whitney. Hasil uji beda 2 mean tersebut
mendapatkam probabilitas p = 0,019 ( p < 0,05) , hal ini dapat diartikan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan penurunan kadar eosinofil darah pada
kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol.

14
Hasil penelitian nilai % VEP 1 pada penderita asma alergi
Volume ekspirasi paksa detik pertama per prediksi ( %VEP1) merupakan
modalitas alat ukur obstruksi saluran napas. Uji normalitas data kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol sebelum perlakuan berdistribusi normal maka uji
beda 2 mean menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan yaitu
independent t test. Sedangkan uji normalitas kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol setelah perlakuan berdistribusi tidak normal maka uji beda 2 mean
menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan yaitu uji Mann – Whitney.
Hasil penelitian %VEP 1 pada penderita asma dijelaskan pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil penelitian % VEP 1 antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol
%VEP1 %VEP1
Kelompok p Selisih
Pretest Postest
Perlakuan 62.57 +23.76 78.63 +28.11 0,0013 16.06 +16.25
Kontrol 76.28 +22.53 88.54 +24.27 0,0014 12.26 +11.96
P 0,0941 0,1962 0,5022
1
Ket : Uji Independent t test
2
Uji Mann Whitney
3
Uji Wilcoxon
4
Uji Pair sampel t test
Kelompok perlakuan sebelum diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
nilai %VEP 1 memilki rerata 62,57 dengan standar deviasi sebesar 23,76
sedangkan kelompok kontrol sebelum perlakuan terapi standar asma didapatkan
nilai %VEP 1 memiliki rerata 76,28 dengan standar deviasi sebesar 22,53.
Pengujian normalitas data %VEP 1 secara keseluruhan antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol menunjukan distribusi normal maka pengujian beda 2
(dua) mean nilai %VEP 1 sebelum perlakuan (pre) antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan
independent t test. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut menghasilkan nilai
p = 0,094 ( p > 0,05), hal ini dapat diartikan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum perlakuan.

15
Kelompok perlakuan setelah diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
nilai %VEP 1 memilki rerata 78,63 dengan standar deviasi sebesar 28,11
sedangkan kelompok kontrol sebelum perlakuan terapi standar asma didapatkan
nilai %VEP 1 memiliki rerata 88,54 dengan standar deviasi sebesar 24,27.
Pengujian normalitas data %VEP 1 secara keseluruhan antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol menunjukan distribusi tidak normal maka pengujian beda 2
(dua) mean nilai %VEP 1 setelah perlakuan (post) antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan Mann-
Whitney. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut menghasilkan nilai p =
0,196 ( p > 0,05), hal ini dapat diartikan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah perlakuan.
Nilai %VEP 1 kelompok perlakuan pada kondisi sebelum diberikan
quercetin 1x500 mg adalah sebanyak 62,57 +23,76 dan pada kondisi setelah
diberikan quercetin meningkat sebanyak 78,63 +28,11. Pengujian beda 2 (dua)
mean %VEP 1 sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan pada kelompok
perlakuan digunakan uji beda 2 mean uji kelompok berpasangan uji Wilcoxon.
Hasil pengujian beda 2 mean tersebut mendapatkan nilai probabilitas sebesar p =
0,001 ( p < 0,05), hal ini dapat diartikan bahwa setelah diberikan terapi tambahan
quercetin 1x500 mg selama 28 hari pada kelompok perlakuan, nilai %VEP
cenderung meningkat secara signifikan. Sedangkan nilai % VEP 1 pada kelompok
kontrol sebelum diberikan terapi standar asma adalah sebanyak 76,28 +22.53 dan
pada kondisi setelah diberikan perlakuan terapi asma standar meningkat sebanyak
88,54 +24,27. Hasil pengujian beda 2 mean nilai %VEP 1 sebelum perlakuan dan
sesudah perlakuan pada kelompok kontrol menggunakan uji pair sampel t test.
Hasil uji beda 2 mean tersebut mendapatkam probabilitas p = 0,001 ( p < 0,05) ,
hal ini dapat diartikan bahwa setelah diberikan terapi standar asma pada kelompok
kontrol nilai %VEP 1 cenderung meningkat secara signifikan.
Delta nilai %VEP 1 pada kelompok perlakuan memiliki nilai 16,06 +16,25
sedangkan delta nilai %VEP 1 kelompok kontrol memiliki nilai 12,26 +11,96.
Hasil pengujian beda 2 mean delta nilai %VEP 1 antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan yaitu uji
16
Mann- Whitney. Hasil uji beda 2 mean tersebut mendapatkam probabilitas p =
0,502 ( p > 0,05) , hal ini dapat diartikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan peningkatan nilai %VEP 1 pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol.
Hasil penelitian skor ACT pada penderita asma alergi
Skor ACT dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur perbaikan
klinis penderita asma. Hasil uji normalitas pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol berdistribusi tidak normal, sehingga uji statistik untuk data
kelompok tidak berpasangan menggunakan uji Wilcoxon . Uji statistik untuk data
berpasangan berdistribusi tidak normal menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil
penelitian skor ACT dijelaskan pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil penelitian skor ACT kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Skor ACT Skor ACT
Kelompok p Selisih
Pretest Postest
Perlakuan 14.71 +4.74 21.41 +3.34 0,0001 6.71 +2.66
Kontrol 16.59 +3.47 21.71 +3.08 0,0001 5.12 +3.04
P 0,3212 0,8022 0,0392
1
Ket : Uji Wilcoxon
2
Uji Mann Whitney
Kelompok perlakuan sebelum diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
skor ACT memilki rerata 14,71 dengan standar deviasi sebesar 4,74 sedangkan
kelompok kontrol sebelum perlakuan terapi standar asma didapatkan skor ACT
memiliki rerata 16,59 dengan standar deviasi sebesar 3,47. Pengujian normalitas
data %VEP 1 secara keseluruhan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menunjukan distribusi tidak normal maka pengujian beda 2 (dua) mean
nilai %VEP 1 sebelum perlakuan (pre) antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan Mann-Whytney.
Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut menghasilkan nilai p = 0,321 ( p >
0,05), hal ini dapat diartikan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum perlakuan.

17
Kelompok perlakuan setelah diberikan quercetin 1x500 mg didapatkan
skor ACT memilki rerata 21,41 dengan standar deviasi sebesar 3,34 sedangkan
kelompok kontrol setelah perlakuan terapi standar asma didapatkan skor ACT
memiliki rerata 21,71 dengan standar deviasi sebesar 3,08. Pengujian normalitas
data %VEP 1 secara keseluruhan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menunjukan distribusi tidak normal maka pengujian beda 2 (dua) mean
nilai %VEP 1 sebelum perlakuan (pre) antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menggunakan uji beda kelompok tidak berpasangan Mann-Whytney.
Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut menghasilkan nilai p = 0,802 ( p >
0,05), hal ini dapat diartikan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah perlakuan.
Skor ACT kelompok perlakuan pada kondisi sebelum diberikan perlakuan
adalah sebanyak 14,71 +4,74 dan pada kondisi setelah perlakuan meningkat
sebanyak 21,41 +3,34. Pengujian beda 2 (dua) mean skor ACT sebelum
perlakuan dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan digunakan uji beda 2
mean uji kelompok berpasangan uji Wilcoxon. Hasil pengujian beda 2 mean
tersebut mendapatkan nilai probabilitas sebesar p = 0,000 ( p < 0,05), hal ini dapat
diartikan bahwa setelah diberikan terapi tambahan quercetin 1x500 mg selama 28
hari pada kelompok perlakuan, skor ACT cenderung meningkat secara signifikan.
Sedangkan skor ACT pada kelompok kontrol sebelum diberikan terapi standar
asma adalah sebanyak 16,59 +3,47 dan pada kondisi setelah diberikan perlakuan
terapi asma standar meningkat sebanyak 21.71 +3,08. Hasil pengujian beda 2 skor
ACT sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji beda 2 mean tersebut mendapatkam
probabilitas p = 0,000 ( p < 0,05) , hal ini dapat diartikan bahwa setelah diberikan
terapi standar asma pada kelompok kontrol skor ACT cenderung meningkat
secara signifikan.
Delta skor ACT pada kelompok perlakuan memiliki nilai 6,71 +2,66
sedangkan delta skor ACT kelompok kontrol memiliki nilai 5,12 +3,04. Hasil
pengujian beda 2 mean delta skor ACT antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menggunakan uji beda kelompok berpasangan yaitu uji Wilcoxon. Hasil
18
uji beda 2 mean tersebut mendapatkam probabilitas p = 0,039 ( p < 0,05) , hal ini
dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan peningkatan skor ACT
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

PEMBAHASAN
Asma merupakan penyakit heterogen berkarakteristik gangguan inflamasi
kronik saluran napas, ditandai gejala pernapasan antara lain mengi, sesak napas,
rasa berat di dada, dan batuk yang intensitasnya bervariasi dari waktu ke waktu,
disertai keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Penyakit inflamasi
kronis saluran napas dimana banyak sel dan komponen sel yang berperan serta
didalamnya. Inflamasi kronis yang dimaksud berhubungan dengan hipereaktivitas
saluran napas yang mengakibatkan episode berulang berupa wheezing, sesak
napas, dan batuk yang biasanya terjadinya malam hari atau pada pagi hari. Asma
alergi merupakan fenotip yang sering terjadi pada anak dengan riwayat dan/atau
keluarga penyakit alergi seperti rhinitis alergi, alergi makanan, eksim, dan obat-
obatan. Pemeriksaan induksi sputum menunjukkan inflamasi saluran napas
eosinofilik. Faktor risiko meliputi riwayat atopi pada keluarga, dan angka kejadian
meningkat pada individu dengan riwayat keluarga atopi. Asma alergi merupakan
penyakit inflamasi kronik paru dengan karakteristik episode berulang gejala
mengi dan sesak napas didasari oleh respon inflamasi yang diperantarai sel T
helper 2 (Th2) pada saluran napas. 5,6,10
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mencapai keadaan asma terkontrol
sehingga kualitas hidup pasien meningkat. Tingkat kontrol asma adalah
manifestasi perubahan berupa berkurang atau hilangnya gejala dan tanda asma
setelah mendapat terapi. Strategi penatalaksanaan asma yaitu dengan cara non-
farmakologi dan farmakologi. Terapi farmakologi dibagi menjadi obat pelega dan
pengontrol. Penderita asma kadang menunjukkan kondisi gejala klinis tidak
terkontrol meskipun telah menggunakan terapi pengontrol dengan adekuat salah
satunya adalah kortikosteroid inhalasi, hal ini disebabkan karena cara pemakaian
inhaler yang salah sehingga dosis kortikosteroid yang masuk ke dalam saluran
napas tidak adekuat. Pemberian terapi tambahan pada keadaan ini diperlukan
19
untuk mengontrol asma salah satunya quercetin dapat menurunkan hiperresponsif
saluran napas. Pemberian terapi tambahan pada keadaan ini diperlukan untuk
mengontrol asma salah satunya quercetin dapat menurunkan hiperresponsif
saluran napas dan menurunkan respons inflamasi dengan menurunkan eosinophil
sehingga dapat mengontrol gejala asma.5,6,9
Karakteristik Subyek Penelitian
Keseluruhan subyek yang dianalisis pada penelitian ini berjumlah 34 orang
yang yang terdiri dari 23 perempuan ( 67.65%) dan 11 laki-laki ( 32.35%) yang
menunjukkan penderita asma perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Penderita asma lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki sesuai
dengan penelitian De Nijs dkk tahun 2013 menyebutkan bahwa penderita asma
ditemukan 20% lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki,
berhubungan dengan pengaruh hormon estrogen dan setelah pubertas disebabkan
kaliber jalan napas lebih kecil.19
Nilai rerata usia penderita pada kelompok perlakuan yaitu 49,76+ 14,23
tahun sedangkan kelompok kontrol rerata usia 53,88 + 17,48 tahun. Penelitian ini
sesuai dengan penelitian Muharrom A tahun 2017 yaitu rerata umur asma 51,31
+16,55 tahun. Tingkat pendidikan pada subyek baik kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol terbanyak adalah PT ( 47,1%). Sebaran pada tingkat pendidikan
pada subyek penelitian telah homogen sehingga tidak akan mempengaruhi dari
hasil penelitian. Pekerjaan subyek pada kedua kelompok pada penelitian ini paling
banyak adalah tidak bekerja ( 47,1%). Pekerjaan dan status ekonomi yang lebih
rendah memiliki tingkat kontrol asma yang lebih buruk dan gejala respiratorik
asma lebih berat. Hal ini dikaitkan dengan pajanan alergen dan asap rokok,
lingkungan tempat tinggal, serta pajanan partikel di tempat kerja. Penelitian Eagen
dkk tahun 2004 melaporkan bahwa insidens kumulatif asma lebih banyak dialami
pada subyek dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi rendah.16,17
Data status gizi (IMT) pada penelitian ini diukur dan dicatat untuk
mengevaluasi status gizi penderita. Hasil penelitian menunjukkan status gizi pada
kelompok perlakuan lebih banyak BB berlebih sebanyak 10 orang ( 58,8%) dan
kelompok kontrol sebanyak 7 orang ( 41,2%). Penelitian Holguin dkk tahun 2013
20
menyatakan bahwa kejadian asma berkaitan dengan peningkatan IMT dan
obesitas karena obesitas mempengaruhi stress oksidatif di saluran napas. Penderita
mengalami penurunan kadar L-arginine dan peningkatan asymmetric dimethyl
arginine (ADMA) yang mengganggu produksi nitric oxide.18
Derajat kontrol asma pada kedua kelompok baik subyek perlakuan maupun
kontrol paling banyak yaitu asma terkontrol sebagian sebanyak 10 orang ( 58,8%)
pada kelompok perlakuan dan 14 orang ( 82,4%) kelompok kontrol. Hasil uji beda
derajat kontrol asma tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol. Derajat obstruksi pada kedua kelompok baik
subyek perlakuan maupun kontrol paling banyak yaitu normal sebanyak 13 orang
( 76,5%) pada kelompok perlakuan dan 14 orang ( 82,4%) pada kelompok kontrol.
Hasil uji beda derajat obstruksi pada asma tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Pengaruh pemberian quercetin terhadap kadar interleukin-5 plasma
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi
penurunan kadar IL-5 plasma rata-rata sebesar 0,021 +0,011 pq/ml dan pada
kelompok kontrol terjadi penurunan rata-rata sebesar 0,034 +0,041. Kadar IL-5
plasma kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mengalami penurunan. Kadar
IL-5 plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan menunjukkan
penurunan signifikan dengan nilai p= 0,049. Kadar IL-5 plasma pada kelompok
kontrol sebelum dan sesudah perlakuan juga menurun tapi tidak signifikan dengan
nilai p= 0,398. Interleukin-5 pretest dan postest terapi pada kelompok perlakuan
lebih menurun dibandingkan kelompok kontrol meskipun tidak ada perbedaan
yang signifikan ( p= 0,489). Penelitian ini menunjukkan ada pengaruh pemberian
quercetin terhadap penurunan inflamasi saluran napas pada penderita asma
meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan. Penelitian Overman dkk pada
tikus yang diberi quercertin 10mg/kg/hr selama 28 hari setelah diberikan
sensitisasi antigen berasal dari telur ayam ovalbumin (OVA) menunjukan
penurunan IL-5 dan eosinofil darah sehingga menurunkan hiperesponsivitas
saluran napas akubat induksi alergen.15

21
Penurunan IL-5 pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
disebabkan kortikosteroid dan quercetin mempunyai mekanisme kerja yang sama
yaitu menurunkan sitokin proinflamasi. Kortikosteroid terikat pada reseptor
glukokotikoid akan menimbulkan perubahan struktur pada reseptor
glukokortikoid sehingga terjadi disosiasi molekul chaperone kemudian
memindahkan kompleks reseptor glukokortikoid ke inti sel dan terikat pada
glukokortikoid receptor elemen (GRE) di DNA. Proses tersebut mengaktifkan
transkripsi gen-gen anti inflamasi seperti anexin 1, secretory leucoprotease
inhibitor, IL-10 dan inhibitor Nf-kβ. Kortikosteroid menghambat faktor
transkripsi proinflamasi meliputi AP-1 dan Nf-kβ yang mengatur pengkodean
protein inflamasi seperti sitokin, enzim proinflamasi, molekul adhesi dan reseptor
inflamasi. Pada kelompok perlakuan diberikan terapi standar berupa
kortikosteroid inhalasi ditambah dengan quercetin sehingga membuat IL-5
mengalami penurunan lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol diduga
karena akibat efek sinergistik keduanya. Mekanisme quercetin sebagai
antiinflamasi dengan menghambat aktifitas NF-kβ di sitoplasma yang dapat
bertranslokasi ke nucleus dengan menghambat fosforilasi IKKα/β yang dikatalisis
oleh IKK sehingga terjadi penurunan produksi mediator inflamasi.9,12,13,14
Pengaruh pemberian quercetin terhadap kadar eosinofil darah
Kadar eosinofil darah kelompok perlakuan pada kondisi sebelum diberikan
perlakuan adalah sebanyak 3.71 +2.62 dan pada kondisi setelah perlakuan
menurun sebanyak 2.51 +1.88. Hasil pengujian beda 2 (dua) mean tersebut
mendapatkan nilai probabilitas sebesar p=0,040. Hal ini dapat diartikan bahwa
setelah perlakuan pada kelompok perlakuan kadar eosinofil darah cenderung
mengalami penurunan yang signifikan (p < 0,05). Nilai rerata besar perubahan
kadar eosinofil darah (selisih post-pre) rata-rata -1.18 +2.17% atau terdapat
penurunan kadar eosinofil darah sebesar 31,5%. Kadar eosinofil darah kelompok
kontrol sebelum diberikan perlakuan adalah sebanyak 4,86+ 3,73 dan pada
kondisi setelah perlakuan meningkat menjadi 5,58 +4,10. Hasil pengujian beda 2
(dua) mean tersebut mendapatkan nilai probabilitas sebesar p=0,267. Hal ini dapat
diartikan bahwa setelah perlakuan standar pada kelompok kontrol kadar eosinofil
22
darah cenderung mengalami peningkatan signifikan (p > 0,05). . Nilai rerata besar
perubahan kadar eosinofil darah (selisih post-pre) rata-rata 0.72 +2.75% atau
terdapat peningkatan kadar eosinofil darah sebesar 14,8%. Keadaan ini mungkin
disebabkan karena eosinofil yang distimulus CC-chemokine ligand 11 ( CCL-11)
dan berikatan dengan CCR-3 berperan sebagai kemoaktraktan yang dihasilkan sel
epitel saluran napas. Sel epitel saluran napas menghasilkam CCL-11 yang belum
terstimulasi. Jaringan paru pada orang normal tidak terdapat CCL-11. Peran dari
CCl-11 yaitu menstimulus fibroblast dan meningkatkan respons toleransi terhadap
cedera hyperoxic. Pada penderita asma peran dari CCl-11 sebagai kemoaktraktan
eosinofil menuju jaringan sel epitel sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan
dan remodelling saluran napas.11
Delta kadar eosinofil darah kelompok perlakuan rerata -1.18 +2.17 % dan
kelompok kontrol rata-rata 0.72 +2.75%l, didapatkan nilai p=0,019 menunjukan
perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan penelitian
Overman dkk pada tikus yang diberi quercetin 10 mg/kg/hr selama 28 hari setelah
diberikan sensitisasi antigen berasal dari telur ayam ovalbumine (OVA)
menujukkan penurunanan IL-5 dan eosinofil darah sehingga menurunkan
hiperesponsivitas saluran napas akibat induksi allergen. Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan teori Barnes tahun 2008 menyatakan bahwa IL-5 menyebabkan
inflamasi eosinofil. Eosinofil teraktivasi mampu mensekresi sejumlah mediator
inflamasi yang berhubungan dengan pathogenesis asma. Menurunnya IL-5 akan
menurunkan jumlah eosinofil. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
quercetin pada kelompok perlakuan menurunkan kadar eosinofil darah.11,15
Pengaruh pemberian quercetin terhadap nilai %VEP 1
Penelitian ini terjadi peningkatan %VEP1 kelompok perlakuan yaitu dari
nilai pre 62,57+ 23,76 dan nilai post 78,63+ 28,11 terdapat perbedaan yang
signifikan secara statistik ( p=0,001). Pada kelompok kontrol didapatkan
peningkatan nilai % VEP 1 pre 76,28+ 22,53 dan nilai post 88,54+ 24,27 terdapat
perbedaan yang signifikan secara statistik (p=0,001). Hasil penelitian ini terdapat
pengaruh yang signifikan pemberian quercetin 500 mg terhadap peningkatan %

23
VEP 1 antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol meskipun perbedaan
antar keduanya tidak signifikan(p=0,502).
Nilai % VEP 1 pada pemeriksaan fungsi paru untuk mengukur derajat
obstruksi aliran udara. Nulai VEP1 merupakan persentase rasio volume udara
yang dikeluarkan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal
terhadap nilai prediksi. Nilai prediksi disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, ras
dan tinggi badan. Pemberian quercetin 500 mg sebagai antiinflamasi akan
mengurangi obstruksi saluran napas yang ditandai dengan peningkatan nilai
%VEP 1. Tingkat inflamasi, fibrosis dan eksudasi di lumen saluran napas
berkorelasi dengan nilai %VEP 1.
Penderita asma mengalami inflamasi kronis saluran napas ditandai dengan
obstruksi saluran napas yang dapat diukur melalui penurunan nilai VEP1 pada
pemeriksaan spirometry. Nilai VEP 1 menurun akibat inflamasi kronis saluran
napas dan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras dan tinggi badan. Hal ini
sesuai dengan penelitian Fortunato dkk tahun 2012 menyatakan peran quercetin
dalam modulasi sel inflamasi dan sel struktural, serta sebagai antiinflamasi yang
menekan produksi sitokin proinflamasi, dapat memperbaiki kondisi obstruksi
saluran napas dan fungsi paru pada penderita asma.13
Pengaruh pemberain quercetin terhadap skor ACT
Hasil penelitian ini skor ACT pada kelompok perlakuan pretest didapatkan
sebesar 14,71+ 4,74 dan setelah perlakuan postest sebesar 21,41+ 3,34. Hasil ini
menunjukkan telah terjadi peningkatan skor ACT secara signifikian (p=0,000).
Pada kelompok kontrol pretest didapatkan skor ACT sebesar 16,59+ 3,47 dan
setelah postest sebesar 21,71+ 3,08. Hasil ini menunjukkan telah terjadi
peningkatan skor ACT secara signifikan (p=0,000). Delta ACT kelompok
perlakuan sebesar 6,71 dan kelompok kontrol sebesar 5,12 antara kedua kelompok
didapatkan nilai p= 0,039 menunjukan perbedaan bermakna antara kedua
kelompok. Peningkatan skor ACT pada kelompok perlakuan lebih baik
dibandingkan kelompok kontrol disebabkan pemberian quercetin.
Mekanisme quercetin sebagai antiinflamasi dengan menghambat aktifitas
NF-kβ di sitoplasma yang dapat bertranslokasi ke nucleus dengan menghambat
24
fosforilasi IKKα/β yang dikatalisis oleh IKK sehingga terjadi penurunan produksi
mediator inflamasi. Penurunan mediator inflamasi akan menyebabkan penurunan
inflamasi saluram napas dan hipersekresi mukus sehingga mengurangi hambatan
aliran udara dan terjadi perbaikan klnis yang ditandai dengan peningkatan skor
ACT. Penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
karena belum pernah ada penelitian tentang penilaian skor ACT pada penderita
asma alergi dengan pemberian terapi tambahan quercetin.9,10

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini pemeberian quercetin pada penderita asma
alergi menurunkan kadar IL-5 plasma meskipun tidak signifikan ( p = 0,489)
tetapi menurunkan kadar eosinofil darah secara signifikan ( p=0,019). Pemberian
quercetin mempunyai peran dalam menurunkan respons inflamasi alergi dan
bermanfaat dalam memperbaiki fungsi paru meskipun tidak signifikan ( p=0,502)
dengan meningkatnya %VEP1. Pemberian quercetin dapat menurunkan respons
inflamasi sehingga terjadi perbaikan fungsi paru dan perbaikan klinis tingkat
kontrol asma secara signifikan ( p=0,039). Keterbatasan penelitian ini subyek
penelitian tidak dapat mengendalikan asupan makanan yang mengandung
quercetin yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan penggunaan ICS dengan
quercetin dapat menurunkan gen proinflamasi ( IL-5) sehingga menurunkan kadar
kedua kelompok oleh karena itu diperlukan marker lain sebagai pembanding
untuk melihat pengaruh quercetin.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2004.
2. Grippi M. Milestones in the history of pulmonary medicine. In: Grippi MA,
Elias JA, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AI SR, editors. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 5th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2015. p. 34–60.
3. Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Riset kesehatan dasar (Riskedas) 2013. [ cited 2018 May 26]. Available
from:http://www.depkes.go,id/resources/download/general/Hasil%20Riske
sdas%202013.pdf.
4. Subbaro P, Mandhane PJ, Sears M. Asthma: epidemiology, etiology and risk
factors. Canadian Medical Association Journal. 2009;9:181-90.
5. Global Initiative for Asthma 2018. Global strategy for asthma management
and prevention. Cape Town: GINA Executice Commite University of Cape
Town Lung Institute.
6. Woodruff PG, Bhakta NR FJ. Asthma pathogenesis and phenotypes. In:
Broaddus VC , Mason RJ, Ernst JD, King TE, Murray JF NJ, ed. Murray &
nadel’s textbook of respiratory medicine. 6th editors. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2010. p. 713-30.
7. Khan MA. Inflammation signals airway smooth muscle cell proliferation in
asthma pathogenesis. Multidiscip Respir Med. 2013;8:1-5.
8. Weinberger ES, Cockrill B MJ. Asthma. In: Weinberger ES, Cockrill B
MJ, ed. Principles of pulmonary medicine. 6th ed. Philadelphia: Elsevier;
2008. p. 73-90.
9. Lakhanpal P RD. Quercetin: a versatile flavonoid. Internet J Med Updat.
2007;2(2):22-37.
10. Bu T, Mi Y, Zeng W ZC. Protective effect of quercetin on cadmium-
induced oxidative toxicity on germ cells in male mice. Anat Rec.
2011;526(268):520-26.
26
11. Barnes PJ. Immunology of asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Nat Rev Immunol. 2008;8:183-92.
12. Barnes PJ. Pathophysiology of asthma. Eur Respir Mon. 2003;23:84-113
13. Fortunato LR, Alves CDF, Teixeira MM RA. Quercetin: a flavonoid with
the potential to treat asthma. Brazilian J Pharm Sci. 2012;48(4):12-19.
14. Ozgen S, Kilinc OK SZ. Antioxidant activity of quercetin: a mechanistic
review. Turkish J Agric. 2016;4(12):1134-38.
15. Overman A, Chuang CC MM. Quercetin attenuates inflammation in human
macrophages and adipocytes exposed to macrophage- conditioned media.
Int J Obes. 2011;35(9):1165-72.
16. Muharrom A.Pengaruh Alfa Tokoferol Terhadap Kadar Interleukin-5
Plasma, Eosinofil Absolut Darah, % VEP1, Dan Perbaikan Klinis Pada
Penderita Asma Alergi. Tesis. 2017.
17. Eagen TM, Gulsvik A, Eide GE, Bakke PS, 2004. The effect of educational
level on the incidence of asthma and respiratory symptoms. Respir Med.
98(8):703-6
18. Holguin F, Comhair SAA, Hazen SL, Powers RW, Khatri SS, Bleecker ER,
et al. An Association between L-Argininie/asymmetric dimethyl arginine
balance, obesity, and the age of asthma onset phenotype. Am J Respir Crit
Care Med. 2013.187;153-9
19. De Nijs SB, Venekam LN, Bel EH. Adult onset asthma: is it really
different?. Eur Respir Rev. 2013.22(147);44-52

27

Das könnte Ihnen auch gefallen