Sie sind auf Seite 1von 2

ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM PERDATA

Alat bukti terdapat bermacam-macam bentuk dan jenis yang mampu memberi
keterangan dan penjelasan mengenai masalah yang diperkarakan di pengadilan.
Dalam acara perdata yang dimana berlandaskan HIR, hakim terikat pada alat-alat
yang bukti yang sah yaitu alat-alat bukti yang didasarkan dalam Undang-Undang
sebagaimana alat bukti tersebut dijelaskan dalam pasal 164 HIR, 28 RBg dan 1866
BW. Berdasaran Pasal 164 HIR/284 RBg alat bukti dalam perkara perdata yaitu :
1. Alat bukti tertulis (surat);
2. Kesaksian (Keterangan Saksi);
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Diluar alat bukti tersebut masi terdapat alat-alat bukti lain, yaitu pemeriksaan
setempat yang diatur dalam pasal 153 HIR/180 RBg dan keterangan ahli/saksi ahli
yang diatur dalam pasal 154 HIR/181 RBg dan pengetahuan hakim. 1
George Whitecross Paton mengatakan bahwa alat bukti dapat bersifat dapat
bersifat oral, documentary, atau material.2 Alat bukti yang bersifat oral merupakan
perkatan seseorang yang diucapkan dipersidangan. Surat merupakan suatu alat bukti
yang bersifat documentary, sedangkan alat bukti material adalah alat bukti yang
berbentuk barang selain dokumen.3
Dengan semakin meningkatnya aktifitas elektronik, alat pembuktian yang
digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik serta
hasil keluaran komputer lainnya untuk memudahkan pelaksanaan hukum tersebut.
Selain itu, hasil cetak dari data elektronik tersebut juga dapat digunakan sebagai alat
bukti yang sah secara hukum, maka dari itu dalam praktek dikenal dan berkembang
apa yang dinamakan bukti elektronik.4 Bukti elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Indonesia, dalam UU ITE menjelaskan bahwa sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik
Alat bukti elektronik memiliki kelemahan dari segi pembuktian karena surat
yang bersifat virtual itu sangat rentan untuk diubah, dipalsukan atau bahkan dibuat

1
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 61
2
Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, S.H.,M.H., Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung,
hlm. 15
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 141.
4
E Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, S.H.,M.H., Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni, Bandung,
hlm. 14.
oleh orang yang sebenarnya bukanlah para pihak yang berwenang membuatnya
tetapi bersikap seolah-olah sebagai para pihak yang sebenarnya. Secara umum bukti
elektronik yang timbul dalam praktik adalah yang berbentuk dokumen elektronik.
Pengakuan dan pengaturan terhadap dokumen elektronik di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1997 melalui undang-undang Dokumen perusahaan sebagai titik awal
diakuinya bukti elektronik. Pasal 1 UU ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan
atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan nya, baik tertulis
dikertas atau disarana lain, maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat
dilihat, dibaca dan didengar Selama ini penggunaan dan pengakuan dokumen
elektronik sebagai alat bukti didasarkan pada Undang-undang Dokumen perusahaan
yang menyatakan bahwa dokumen perusahaan terdiri atas catatan, bukti pembukuan,
dan data pendukung administrasi keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam
undang-undang ini. Lebih lanjut, undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap
pengalihan dokumen perusahaan kedalam bentuk Microfilm atau media lainnya wajib
dilegalisasi, artinya jika dokumen perusahaan itu tidak dilegalisasi, dokumen hasil
pengalihan tersebut secara umum tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Legalisasi
adalah tindakan pengesahan isi dokumen perusahaan yang dialihkan atau
ditransformasikan ke dalam mikrofilm atau media lainnya yang menerangkan atau
menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung di dalam mikrofilm atau
media lainnya tersebut sesuai naskah aslinya5.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, jelaslah bahwa dengan undang-undang
Dokumen Perusahaan mulai ada pengaturan dokumen elektronik sebagai alat bukti,
meskipun terbatas pada dokumen perusahaan. Undang-undang ini hanya mengatur
mengenai peralihan dari data tertulis ke dalam bentuk data elektronik. Dapatlah
dikatakan bahwa munculnya UU Dokumen Perusahaan merupakan titik awal mulai
diakuinya bukti elektronik berupa dokumen elektronik sebagai alat bukti yang dapat
diajukan ke pengadilan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan dokumen
perusahaan yang sudah terekam dalam bentuk dokumen elektronik sebagai alat bukti,
dan hakim berdasarkan UU Dokumen perusahaan dapat mempertimbangkan untuk
menerimanya sebagai alat bukti sekalipun HIR/RBg tidak mengatur tentang dokumen
elektronik sebagai alat bukti. Untuk masalah dokumen elektronik, Indonesia dapat
berpedoman pada UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade
Law) yang telah memberikan patokan nilai bahwa data elektronik harus diterima
keabsahan nya dan tidak dapat ditolak hanya semata-mata atas dasar pertimbangan
bahwa data tersebut dibuat dan ditransmisikan secara elektronik.6

5
Pasal 13 UU Dokumen Perusahaan.
6
Arsyad Sanusi, E-Commerce Hukum dan Solusinya, Bandung, 2001, hlm 40.

Das könnte Ihnen auch gefallen