Sie sind auf Seite 1von 4

Representasi Idealisme Perempuan Jawa Masa Feodalisme oleh Tokoh Gadis

Pantai Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

Oleh: Nur Chamidah (16201241075)

"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi...ah tidak, aku tak suka pada priyayi.
Gedung-gedungnya yang berdinding batu di neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan." -
Pramoedya Ananta Toer-

Fiksi dan Wanita Jawa

Fiksi merupakan sebuah keseluruhan yang utuh dan memiliki ciri artistik.
Keutuhan dan keartistikan fiksi justru terletak pada keterjalinannya yang erat antar
berbagai unsur pembangunnya. Penokohan itu sendiri merupakan bagian, unsur yang
bersama unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas, namun penokohan merupakan
unsur yang penting dalam fiksi. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita
(Nurgyantoro, 2002: 165). Lebih lanjut, menurut Once (2009:01) tokoh adalah perilaku
dalam karya sastra. Tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral yang
kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.

Wirawan (dalam Handayani, 2004) mengungkapkan bahwa wanita dalam budaya


Jawa sering disebut sebagai kanca wingking (teman di dapur) oleh suaminya yang
nasibnya sepenuhnya tergantung pada suaminya: “swarga nunut, neraka katut (ke surga
ikut, ke neraka pun terbawa)”, bunyi salah satu pepatah Jawa. Dalam pandangan hidup
orang jawa, dikenal tiga kesetiaan seorang perempuan, yakni ketika kecil harus „patuh‟
kepada orangtua, ketika dewasa harus „patuh‟ kepada suami, dan ketika tua harus „patuh‟
kepada anak-anaknya (Supatra, 2007). Pemilihan jodoh dan perkawinan sangat ketat
dilakukan oleh orangtua dalam keluarga Jawa. Keadaan ini menunjukkan seakan-akan
hak pengambilan keputusan tidak ada dalam diri seorang wanita Jawa. Adanya sikap
“narimo” terhadap keputusan keluarga adalah hal yang utama dalam keluarga Jawa.
Perkataan dan perintah orangtua dianggap sebagai suatu keharusan untuk diikuti oleh
anak-anak.

Gadis Pantai Sebagai Wanita Jawa

Gadis pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah,
Kabupaten Rembang. Seorang gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati
seorang pembesar santri setempat, seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi)
Belanda. Dia diambil menjadi selir pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten:
perempuan yang melayani "kebutuhan" seks pembesar sampai kemudian pembesar
memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.
Roman ini menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan.

Gadis Pantai berusia 14 tahun - kala itu, diserahkan kepada seorang pembesar
daerah, seorang priayi yang kemudian disebut Bendoro. Menjadi wanita Jawa kaum
rendahan, berarti menuruti kata orang tua dan menerima permintaan pembesar dengan
sukarela. Dinikahkan dengan sebilah keris sebagai simbol, Gadis Pantai tak paham arti
pernikahan. Yang ia tahu, keluarganya berharap ia akan bahagia naik derajatnya karena ia
akan dimantu oleh priayi. Namun, yang terjadi di lapangan, tidaklah semudah
pemahaman Gadis berusia 14 tahun yang disunting oleh Bendoro.

Sebagai perempuan Jawa pada umumnya, Gadis Pantai yang telah diserahkan
tanggung jawabnya pada Bendoro, ia ikut ke rumah besar milik bendoro. Bergelar Mas
Nganten, Gadis Pantai didampingi si Mbok yang mengajari dia memasak dan bagaimana
bersikap di hadapan Bendoro dan keluarganya.

Hidup dai dalam rumah besar Bendor, Gadis Pantai semakin bertumbuh menjadi
gadis yang cerdas dan cepat belajar. Suatu ketika si Mbok diusir dari rumah karena
mengkritik salah satu anak bendoro. Gadis Pantai merasa kesepian dan ia memohon izin
untuk menengok rumahnya di kampung . Ia diantarkan dengan dokar dan dibawakan
banyak bekal hasil bumi oleh Bendoro untuk diberikan ke rumah. Sampai depan
kampung , ia dismbut dengan meriah oleh warga. Segala barang bawaannya dibawakan,
dan diperlakukan selayaknya priayi.

Di kampung , Gadis Pantai masih merasa ia adalah warga kampung yang mencari
ikan seharian di pantai sampai kulitnya gosong. Namun sekarang ia dilarang. Harus di
rumah saja dan dilayani. Ia tidak suka perubahan tersebut. Perlakuan orang-orang
terhadap dirinya yang kini menjadi bagian priayi merupakan beban tersendiri baginya. Ia
tak lagi sebebas dan bahagia seperti dulu. Karena Gadis Pantai merasa tidak lagi nyaman
di rumahnya karena perlakuan orang-orang, ia kembali ke rumah besar Bendoro.

Keinginan bendoro untuk memiliki anak akhirnya terkabul. Gedis Pantai hamil.
Di tahun kedua, kehidupannya dengan bendoro, anaknya lahir. Namun saying, harapan
bendoro untuk memiliki anak laki-laki tidak terkabul. Gadis Pantai diusir dari rumah
Bendoro dan anaknya direbut. Ia pergi meninggalkan rumah Bendoro tanpa sempat
memberikan asi untuk anaknya.

“Jadi sudah lahir Dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “'Sahaya, Bendoro.”
“Jadi cuma perempuan?” “Seribu ampun, Bendoro.” “Bendoro membalikkan badan,
keluar kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan,
dipeluknya bayinya dan diciuminya rambutnya…” (Gadis Pantai, Hlm. 253)

Jiwa wanita Jawa yang bersemayam di dirinya tak membuatnya melangkahkan


kaki ke arah kampung halaman. Ia yang telah dianggap sebagai priayi tak semestinya
pulang dengan muka tercoreng karena diusir dari keluarga priayi. Kampung halaman juga
bukan lagi rumah yang mampu menjadi pelindungnya.

Pram dan Gadis Pantai

Gadis Pantai dikarang oleh Pram mulai tahun 1962-1965 ketika di penjara Pulau
Buru ketika dalam tahanan Orde Baru. Ia menulis Gadis Pantai sebagai kritik feodalisme
yang terjadi dari kacamata rakyat Jawa. Kisah pernikahan dini seorang Gadis Pantai
merupakan kritik terhadap situasi sosial. Kisah ini diangkat dari kisah pernikahan
neneknya sendiri. Mirip kebanyakan karya Pram yang lain, aspek kemanusiaan selalu
menjadi topik yang tak henti ia bahas dalam setiap karyanya. Meski dalam kondisi
sebagai tahanan politik di Pulau Buru, ia terus menelurkan karyanya untuk dibaca dan
dipahami masyarakat luas.

Priyayi, ia jadi suatu goncangan yang menyedarkan mengenai bentuk perbudakan


dan perhambaan sesama manusia yang boleh muncul dalam pelbagai bentuk. Apabila hati
dan perasaan Gadis Pantai sebagai seorang 'hamba' dihidangkan sebelah-menyebelah dan
sedekat berkongsi kamar dengan priyayi pantai yang 'bangsawan', perbandingan itu
memberi kesan dalam sekali.

Apa ada makna kesenangan lagi apabila hati sudah harus tunduk serendah itu
kepada sesama manusia, jadi tak ada ertinya hidup di rumah besar, dilayani bagaikan
puteri bidadari, dihiasi emas, mutiara dan kain-kain indah yang dianggap hadiah. Ya, apa
gunanya itu semua apabila jiwa pun tak layak dimiliki diri sendiri? Monolog-monolog
jiwa Gadis Pantai pun mengalah kepada takdir derita yang dilukiskan masyarakat
untuknya. Kejam dan penuh hukuman, di sebalik limpah materi dan mulus bicara.

Daftar Pustaka

Burhan, N. (2002). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Handayani, C. S., & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita jawa. LKIS PELANGI
AKSARA.

Supatra, H., Astuti, S. P., & Suharyo. (2007). Stereotip Perempuan Dalam Bahasa
Indonesia Dalam Rumah Tangga Di Pantai Utara Jawa Tengah [online]. Diambil dari
http://lemlit.undip.ac.id/ abstrak/content/view/246/288/

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

Das könnte Ihnen auch gefallen