Sie sind auf Seite 1von 3

Tiga tahun terakhir demokratisasi kampus dan kebebasan akademik menjadi perbincangan yang

hangat baik di forum diskusi kampus. Hal ini tentunya disebabkan oleh penolakan dan sikap kritis
mahasiswa terhadap kebijakan kampus serta penyalah gunaan kekuasaan birokrat kampus untuk
mempertahankan kebijakannya. Persoalan ini tentunya menjadi problem, apalagi hal ini terjadi dalam
lingkup kampus. Kampus yang seharusnya menjadi ruang dialektika, perdebatan jika mengharuskan,
dicederai dengan represifitas birokrat kampus dalam mematikan nalar kritis mahasiswa.

Ada banyak kasus, khususnya di kota Makassar, bagaimana birokrat kampus mencederai
demokrasi di lingkungan kampus. Universitas Hasanuddin contohnya, Unit Kegiatan Pers Mahasiswa,
atau disingkat UKPM, mesti merasakan sikap represif Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
Universitas Hasanuddin. Penolakannya terhadap kebijakan Peraturan Rektor tentang Organisasi
Kemahasiswaan serta pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat universitas mengakibatkan
tidak ditanda tanganinya Surat Keputusan Kepengurusan baru. Bukan hanya itu, Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Hasanuddin juga mempersoalkan tulisan-tulisan yang dimuat
dalam website Catatnkaki.info milik UKPM yang sering mengkritik kampus. Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Hasanuddin mempertegas sikap otoriteriannya dengan
mengatakan “Jika UKPM tidak mau mengikuti rezim saya yah sudah, 33 UKM semua mengikut di belakang
saya. Hanya kau yang tidak”.

Tidak hanya di Universitas Hasanuddin, bobroknya demokrasi di lingkungan kampus juga terjadi
di kampus lain, salah satu contohnya ialah Universitas Negeri Makassar. Berawal dari mempertanyakan
realisasi anggaran Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar, 6 mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Makassar dijatuhkan hukuman skorsing. Mahasiswa Fakultas Ekonomi yang
menggelar aksi untuk mempertanyakan realisasi anggaran Pengadaan Barang/Jasa di FE UNM dengan
total anggaran Rp 2.876.624.000 di depan ruang dekanat FE UNM dijatuhkan hukuman Skorsing.

Dua contoh kasus di atas telah memperlihatan kita bagaimana kampus telah merampas hak
demokrasi mahasiswanya sekaligus membunuh nalar kritisnya. Lalu mengapa birokrat kampus
membunuh domokrasi dan kebebasan akademiknya?

Sebelum membahas hal tersebut, kita perlu melompat jauh kebalakang ke abad 5 SM. Pada
abad ini merupakan Era kejayaan Athena dalam mengokohkan sistem demokrasi dan juga kemunculan
kaum Sofis. Pertautan antara kebebasan demokrasi dan kaum sofis menjadikan demokrasi Athena justru
lebih dekat kepada plutokratis (kekuasaan orang kaya). Sebagaimana pendapat Thrasymakhos, seorang
Sofis.

“Aku menyatakan keadilan adalah kepentingan mereka yang lebih kuat. Semua bentuk
pemerintahan selalu membuat hukum dengan kepentingan (mereka yang paling kuat), baru hukum
dideklarasikan sebagai adil”.

Menurutnya keadilan adalah kekuasaan. Apa yang keluar dari mulut penguasa adalah keadilan.
Pandangan seperti ini muncul dari pahaman kontraktualisme dan konvensionalisme yang inheren dalam
filsafat kaum sofis pada saat itu.

Kembali pada dua kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, pemikiran Thrasymakhos
memberikan kita sudut pandang bagaimana demokrasi dijalankan di kampus. Pernyataan Wakil Dekan
bagian Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Hasanuddin, misalnya, menggambarkan bagaimana
pimpinan memproduksi kebijakan atas dasar kepentingan kaum dominan. Paulo Freire telah
mengingatkan kita bahwa netralitas dalam pendidikan adalah sebuah kenaifan. Pendidikan punya
keterkaitan erat dengan upaya mempertahankan kepentingan kelompok dominan. Itu artinya Ilmu
pengetahuan yang diproduksi oleh institusi pendidikan tidak pernah bebas nilai.

Ilmu memiliki dua nilai yaitu nilai epistemik dan nilai non-epistemik. Nilai Epistemik ialah upaya
manusia (cognitive agent) untuk menemukan kebenaran (justified truth); dapat disejajarkan dengan ilmu
atau nilai ilmiah yang beroperasi di bawah prinsip otonomi, sedangkan nilai non-epistemik ialah nilai
komersial dan nilai politik. Membaca kepentingan kelompok dominan dalam dunia pendidikan haruslah
melihat jauh lebih dalam nilai komersial atau ekonomi dan nilai politik yang mendominasi pendidikan di
Indonesia. Dua nilai ini kemudian saya konfigurasikan dalam suatu kebijakan ekonomi politik yang
menjadi ide dominan di Indonesia yaitu, Neoliberalisme.

Kebijakan ekonomi politik di Indonesia telah berubah haluan menuju kearah neoliberalisme di
masa Orde Baru setelah dibuatnya undang-undang penanaman modal asing, Perusahaan asal Amerika,
Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut. Kebijakan
neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak
akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan
neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan
nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia,
ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka
berikan. Kebijakan ini yang kemudian berdampak sampai ke dalam sektor pendidikan yang semakin
diperkuat dengan kebijakan Indonesia meratifikasi GATS yang di adakan oleh WTO di tahun 1994. Hal ini
yang memaksa pendidikan harus diliberalisasi mengikuti arus mekanisme pasar global yang telah
diciptakan oleh IMF, WTO dan kronik-kroniknya.

Kebijakan ekonomi politik neoliberalisme yang menghantui kampus inilah yang kemudian
mempengaruhi segala kebijakan dan tindak laku birokrasi kampus. Bagi mereka yang berseberangan
dengan kepentingan tersebut merupakan musuh atau kampus sering menyebutnya “Anak Nakal”. Upaya
skorsing dan tidak disahkannya SK kepengurusan yang dilakukan oleh dua kampus seperti yang
dipaparkan sebelumnya tidak lebih sebagai upaya mematikan kritik atas neoliberalisme yang ada
dilingkungan kampus. Sanksi ini juga bisa dimaknai sebagai upaya hegemoni kepentingan kelompok
dominan untuk menghegemoni pemikiran mahasiswa untuk terus berada dalam alur neoliberalisme.
Seperti yang telah ditekankan oleh Freire, Kepentingan penindas terletak pada perubahan kesadaran
yang tertindas.

Das könnte Ihnen auch gefallen