Sie sind auf Seite 1von 36

LAPORAN KASUS

Kolelitiasis

Disusun oleh:
Dimes Atika Permanasari
122011101045

Dokter Pembimbing:
dr. Ali Santosa, Sp.PD

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1
DAFTAR ISI

JUDUL ..................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2. LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Penderita ...................................................................................... 4
2.2. Anamnesis .................................................................................................. 4
2.3. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 6
2.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 8
2.5. Resume ..................................................................................................... 12
2.6. Diagnosis ................................................................................................. 12
2.7. Diagnosis Banding .................................................................................... 12
2.8. Planning .................................................................................................... 12
2.9. Prognosis ................................................................................................... 14
BAB 3. PEMBAHASAN ...................................................................................... 15
3.1. Definisi ..................................................................................................... 15
3.2. Epidemiologi ............................................................................................ 16
3.3. Etiologi ..................................................................................................... 16
3.4. Patofisiologi ............................................................................................. 17
3.5. Diagnosis ................................................................................................. 18
3.6. Penatalaksanaan ........................................................................................ 24
3.7. Komplikasi ............................................................................................... 28
3.8. Prognosis .................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis. Batu
kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat
duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu
kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat
operasi untuk tujuan yang lain.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan
20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika,
batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat
operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan
semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan
moralitas

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita


Nama : Ny, IR
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Randuagung, Lumajang
Status : Menikah
Pendidikan: : SMA
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal MRS : 29 Juli 2016
Tgl Pemeriksaan : 29 juli 2016

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama


Nyeri perut, mual dan perut membesar.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan utama nyeri perut kuadran
kanan atas. Pasien mengaku mengalami nyeri tersebut sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien merasa bahwa perutnya semakin membesar dan perut terasa penuh. Pasien
mengaku dapat buang air kecil dan buang air besar dengan normal keluhan
buang air besar hitam atau bercampur warna hijau disangkal, namun warna urin
pasien terlihat lebih coklat atau seperti the. Pasien juga mengeluh lemas dan
batuk-batuk kurang lebih 5 hari.

4
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat DM. Gagal ginjal disangkal, Alergi disangkal.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

2.2.6 Riwayat Sanitasi Lingkungan


Pasien dan keluarga menggunakan sumur untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Air minum sehari-hari yang berasal dari air mineral. Untuk kebutuhan kakus,
pasien dan keluarga menggunakan kamar mandi sendiri.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan cukup.

2.2.7 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi,
tempe, tahu, kadang-kadang sayur, ikan, telur, daging, dan buah-buahan.
BB : 60 kg
TB : 155 cm
BMI = 60/ (1,55)2 = 60/2,4
= 25
Kesan : Riwayat gizi cukup. BMI termasuk overweight

2.2.8 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), demam (+), kejang (-),
nyeri kepala (-)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
- Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), diare (-), nafsu makan
menurun (+), nyeri perut (+), BAB berwarna
dempul

5
- Sistem urogenital : BAK (+) normal, berwarna coklat seperti teh
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (+),
purpura (-), ptekie (-)
- Sistem muskuloskeletal : edema (+), atrofi (-), deformitas (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 100/60 mmHg
Nadi : 96x/menit, lemah
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,7 oC
Pernapasan : sesak (-)

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Umum
Anemis (+), icterus (+), cyanosis (-), dyspnea (-)
b. Kepala
- Bentuk : bulat lonjong, simetris
- Rambut : hitam, lurus
- Mata : konjungtiva anemis : +/+
sklera ikterus : +/+
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (+)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-)
c. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran

6
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
d. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler

2. Pulmo :

Dextra Sinistra

I : simetris, retraksi - I: simetris, retraksi -


P : fremitus raba + normal P: fremitus raba + normal
P : sonor + P: sonor +
A: Vesikuler +, Rhonki -, A: Vesikuler +, Rhonki -, Wheezing -
Wheezing -

e. Abdomen
- Inspeksi : cembung
- Auskultasi : bising usus (+)
- Palpasi : soepel, H/L/R dbn, nyeri tekan (+), nyeri ketok ginjal (-),
hepatomegaly (+)
- Perkusi : timpani
f. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema-/-,
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

7
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. 29 Juli 2016
DARAH LENGKAP (DL)
Hasil Normal
Hb 8,7 12-16
Leukosit 21,6 4,5-11,0
Eosinofil 0 1-3
Basofil 0 0-2
Neutrofil 86 50-70
Limfosit 9 18-42
Monosit 5 2-11
HCT 27,2 40-50
Trombosit 320 150-400
FAAL HEPAR
SGOT 112 5-34
SGPT 18 10-35
Albumin 2,5 3,4-4,8
GULA DARAH
Sewaktu 71 <200
FAAL GINJAL
Kreatinin 0,8 0,5-1,1
BUN 3 6-20
Urea 7 26-43
ELEKTROLIT
Na 133,0 135-155
K 3,22 3,5-5,0
Cl 99,3 90-110

8
Ca 2,10 2,15- 2,57
LAIN-LAIN
Hbs-Ag Kualitatif negatif negatif

Kesan : leukositosis, neutrofilia, gangguan faal hepar

b. Lab: 31-07-2016
DARAH LENGKAP (DL)
Hasil Normal
Hb 12,4 12-16
Leukosit 22,3 4,5-11
HCT 36,4 36-46
Trombosit 278 150-450

Kesan : Didapatkan Leukositosis


c. Lab: 02-8-2016
DARAH LENGKAP (DL)
Hasil Normal
Hb 11,8 12-16
Leukosit 18,6 4,5-11
HCT 36,6 36-46
Trombosit 286 150-450
FAAL HATI
Bilirubin direk 4,06 0,2-0,4
Bilirubin total 477 <1,2
APT 308 40-130
Gamma GT 774 7-32
Albumin 2,4 3,4-4,8
GDA 73 <200

9
2.4.2 USG
Tanggal 3 Agustus 2016

10
2.5 Resume
 Anamnesis:
Nyeri perut (+) dan mual (+) sejak 1 bulan yang lalu. Perut dirasa membesar
sejak 5 hari yang lalu. Pasien mengeluh BAB (+) berwarna dempul dan BAK(+)
coklat gelap. Pasien lalu dirawat di ruang adenium pada tanggal 29 Juli 2016.

 Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, TD : 100/60 mmHg, Nadi : 96
x/menit, RR : 24 x/menit, Suhu : 36,4 oC, akral hangat, retraksi -/-, S1 S2
tunggal

 Pemeriksaan Penunjang:
Leukositosis, gangguan faal hepar, hipoalbumin, hiperbilirubin direk,
peningkatan Gamma GT

2.6 Diagnosis
Kolelitiasis

2.7 Diagnosis Banding


Hepatitis
Kolesistitis

2.8. Planning
2.8.1 Planning Diagnostik
 Pemeriksaan Laboratorium
 USG
2.8.2 Planning Monitoring
 Keadaan Umum

11
 Vital Sign
 Produksi Urin 24 jam

2.8.3 Planninng Terapi


 Inf. PZ 7 tpm
 Meropenem 3x 1
 Inj. Antrain k/p
 Omeprazol 2x 1
 Ondansentron 3x1
 CPZ 25 mg 1⁄2-0- 1⁄2
 Loratadine 3x 1
 GG 3x1
 Ambroxol 3x1
 Codein
 Tranfusi PRC 1 kolf/hari

2.8.4 Planning Edukasi


 Istirahat yang cukup
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga (penyebab,
perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi)
 Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan
pasien
2.9. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam

12
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (Robbins et al,
2007). Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,
pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan
kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke
belakang vena kava (Mttaqin, 2010).
Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan
kandung empedu.1 Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati
(Carpenito, 1999). Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus
(Reeves, 2001). Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.3 Batu empedu bisa
terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya
penyempitan saluran (Sjamsuhidajat, 2005). Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam
saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian
tubuh lainnya. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu,
sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu.
Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke
saluran empedu sampai ke kantong empedu (Hadi, 2002).
Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa terasa
menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada
di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid
atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan
peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun,
infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab
terbentuknya batu.
2.2 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus
dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

14
Gambar 2.1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

2.3 Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu: a. Tempat menyimpan cairan empedu dan
memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan
elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. b.
Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin
yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen
utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu (Price et al, 2006). Kandung
empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan
sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus
sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam
kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati (Suratun,
2010). Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan (Price, 2006). Pengaliran cairan
empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu,
dan Universitas Sumatera Utara tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,
empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan,
kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum.3
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung
empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal
terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi
dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri
dari air, lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat
terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.7 Sebelum makan,
garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu

15
yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal
hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya,
empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu
memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam
pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu
sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, Universitas Sumatera Utara serta
obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.22
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. 22
Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari.
Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar
(kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur
pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama
tinja.22 Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.7

Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan
angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat
dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

2.6 Faktor Resiko


Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin

16
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

17
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.

2.8 Patofisiologi
2.8.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo
Maki tahun 1995 sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa
sebagai:
 Batu Kolesterol Murni
 Batu Kombinasi
 Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar
kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
 Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
 Batu Kolesterol
 Batu Campuran (Mixed Stone)
 Batu Pigmen.

 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi

18
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu
ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan
garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu
dan lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya
melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya
sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-
sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari
kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan
asam empedu.

19
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti
batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus.
Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi
akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah
terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian
total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena
pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi
mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat
kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

 Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell.
Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi
bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena
adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli.
Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton
yang menghambat kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa
juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki

20
melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan
dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

2.8.2 Patofisiologi Umum


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka
10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung
empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium
dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk
di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang
terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut
bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung
empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan
batu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh
alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya

21
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding
(dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis
generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
2.7 Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena
adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai
kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai
di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran
kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai
pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral
ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan
istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak
memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara
30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat

22
menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat
menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang
merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis
akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder,
ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan
ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ
tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah
sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan
penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain
seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya
ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang
tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar.
Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.

23
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

2.9 Diagnosis
2.9.1 Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu
empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan
kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah
asimptomatik.
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

24
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
 Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
b. Pemeriksaan radiologis

25
TEKNIK IMAGING
Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris.
Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat diidentifikasi
sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di
dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras. Kadang-kadang dinding kandung
empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab
dari hubungan kelainan ini dengan karsinoma kandung empedu.
Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga
(mercedez-ben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak langsung
hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat
disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus biliaris atau erosi batu
kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus
sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam
kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari
infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari
arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy.
Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak
langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan cholecystitis hebat.
Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak
diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan oral yang
diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu
memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung empedu yang tidak mengapur
sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung
empedu.
Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral. Bahan
kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung iodine 50%).
Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh yang hebat
pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan kolesistografi oral sebagai cara
imaging utama karena ini menawarkan bermacam-macam keuntungan. Tidak
mempergunakan sinar x, tidak perlu menelan kontras.

26
Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi
parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang ultrasonografer
yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum.
Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada patophysiology,
kolesistografi oral memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai
batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu derajat tertentu agar batu tampak pada
ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung
empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada kolesistografioral. Ultrasonografi dapat
pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari pada batu, seperti adenoma, polip
kolestrol dan karsinoma kandung empedu. Kolesistografi telah berkembang sebagai
studi dinamik dari patologi fisiologi dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium
labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung
empedu dan radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum.
Kolelitiasis
Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung
empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis
kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan
perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat membantu.
Kolesistitis akut
Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan dinding
kandung empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang
menandakan adanya perikolesistitis atau perforasi. Sering diikuti rasa nyeri pada
penekanan dengan transuder yang dikenal sebagai morgan sign positif atau positif
transuder sign.
Kolesistitis kronik
Kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding menjadi sangat tebal dan eko
cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis kronik lanjut dimana
kandung empedu sudah mengisut (contracted gallblader). Kadang-kadang terlihat hanya
eko batunya saja yang terlihat pada fossa vessika felea.

27
Saluran empedu
Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu, USG
merupakan pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur pencitraan. Saluran empedu
intra hepatik akan mudah dilihat bila terjadi pelebaran karena selaluberjalan periportal
anterior. Hal ini menjadi sangat penting karena pelebaran saluran empedu ini kadang-
kadang sudah terlihat sebelum bilirubin darah meningkat.
Pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih dahulu. Pada
keadaan obstruksi duktus koledukus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih
lebar, sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, diman elastisitas dinding
saluran sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil.
Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau tidaknya
obstruksi yang terjadi. Pada penderita-penderita yang mengalami obstruksi sebagian
(partial obstruction) baik disebabkan oleh duktus koledukus, tumor papila vateri
ataukolangitis sklerosis, kadang-kadang tidak memperlihatkan pelebaran saluran
empedu sama sekali, tetapi mungkin saja dijumpai pelebaran yang berkala.
Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput pankreas dan
duktus pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu dalam menentukan lokasi
sumbatantersebut
Pada umumnya terhadap penderita-penderita dengan ikterus yang tidak
ditemukan adanya saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih kepada
kelainan-kelainan parenkim hati misalnya pada sirosis hati, hepatitis, maupun
metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan dari parenkim hati normal.
Ringkasan dibawah ini akan sangat membantu dalam mempelajari sistem traktus
biliaris. Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan saluran empedu adalah
untuk menentukan ikterus, apakah berasal dari kelainan hepatoseluler atau karena
obstruksi saluran empedu. Namun demikian sampai saat ini belum ada zat kontras yang
dapat digunakan seperti halnya pada kolesistografi. Didalam parenkim hati, kita harus
dapat membedakan pelebaran saluran empedu dari vena hepatika serta vena porta.

28
Pelebaran saluran empedu
Merupakan tabung (tubukus) yang anekoik (cairan) dengan dinding hiperekoik
yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang berkonfluensi membentuk
gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena portae. Pada dinding bawah bagian
posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic enhancement)
Kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi obstruksi traktus biliaris sangat
sukar dideteksi, maka pemeriksaan lanjutan seperti kolongiografi transhepatik (PTC)
atau retrograd endoskopik kolangiopankreatikografi (ERCP) sangat diperlukan.
Kekurangan pengisian kandung empedu menunjukkan adanya obstruksi duktus
sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta. Kolesskintigrafi salah satu prosdur yang dapat
mendeteksi obstruksi duktus biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat
dengang ultrasounografi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan
kebocoran empedu oleh berbagai penyebab.
Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung duktus
koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu di dalam
duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus. Papilotomi, biopsi,
mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi dan penempatan
nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin dengan ERCP “
Percutaneus Transhepatic Cholangiography” dilakukan dengan penyuntikan bahan
kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim
hati.ini penting, sama alasannya dengan ERC dan keuntungannya memungkinkan
operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi jarum (needle biopsy).
Drainage dari kumpulan cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage stents
dpat dikerjakan secara percutan.

Computed tomography (CT): CT tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi


kandung empedu dan sistem duktus dari pada metoda yang lain, tetapi berguna pada
studi neoplasma parenkim hati. Dalam penentuan gas di dalam vena porta lebih sensitif
dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan menentukan
komposisi batu.

29
 Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara
di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu
kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

30
 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

 CT scan

Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gb 5. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

31
2.10 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain:
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.

32
Gambar 8: Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-
ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi

33
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama
untuk pasien yang sakitnya kritis.

2.11 Terapi
 Ranitidin
 Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50
mg/ml injeksi.
 Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap
simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung (Dalam kasus
kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).
 Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma
lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
 Buscopan (analgetik /anti nyeri)
 Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi.
 Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih
wanita.
 Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat.

 Buscopan Plus
 Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg.
 Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik
pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.

 NaCl
 NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana
kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam
plasma tubuh.

34
 NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma
tubuh.

2.12 Penatalaksanaan Diet


Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah
lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme
lemak, sehingga klien dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair rendah lemak.
Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen
bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun
makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran
yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.

35
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. Centra Communications
Yochai Birnbaum, Michael c. Fishbein, Carlos Blanche, And Robert J. Siegel. 2002.
Ventricular Septal Rupture After Acute Myocardial Infarction. N Engl J Med,
Vol. 347, No. 18
Ionud Donoiu, Octavian Istratoaie, Dan-Dominic Ionescu. 2010. Ventricular Septal
Rupture After Acute Myocardial Infarction. Hellenic J Cardiol; 51: 374-376
Kosowsky, Joshua M. Yiadom, Maame. 2009. The Diagnosis And Treatment of STEMI
In The Emergency Department. Emergency Medicine Practice. Diambil dari:
http://www.EBMedicine.net
Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I.,
Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta:
FK UI
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi
V. Jakarta: Interna Publishing; 2010
Patrick T. O'Gara, Frederick G. Kushner, Deborah D. Ascheim, et al. 2013. ACCF/AHA
Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. DOI:
10.1161/CIR.0b013e3182742cf6

36

Das könnte Ihnen auch gefallen