Sie sind auf Seite 1von 17

REFERAT

Miokarditis akibat DHF

Penyusun:
Dimes Atika Permanasari
122011101045

Pembimbing:
dr. Suryono, Sp.JP

SMF INTERNA RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan penyakit infeksi dengan manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan, demam dengue, demam berdarah dengue (DBD)
sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Meskipun
kejadian syok pada DSS diperkirakan karena berkurangnya volume intravaskuler akibat
kebocoran plasma ke dalam ruang interstitial, tapi beberapa penelitian terbaru melaporkan bahwa
hal tersebut terjadi oleh karena kelainan jantung.
Kelainan jantung pada DBD belum diketahui penyebabnya, namun diduga terjadi akibat
hipoperfusi, invasi langsung otot jantung atau akibat respon imunologis yang memproduksi
sitokin. Umumnya sitokin terutama tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan syok. TNF-α dan interleukin juga
menyebabkan depresi fungsi miokard. Beberapa penelitian melaporkan adanya kelainan jantung
pada pasien infeksi dengue. Pada penelitian yang dilakukan di New Delhi melaporkan bahwa
pada pasien DBD yang dilakukan pemeriksaan echokardiografi terdapat 16,7% anak yang
mengalami disfungsi ventrikuler kiri. Kelainan jantung pada DBD bersifat ringan dan sementara,
namun potensial menyebabkan kematian.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2. Miokarditis

2.1 Definisi

Miokarditis adalah peradangan, nekrosis, atau miositolisis yang mengenai miokardium


oleh sebab apapun, baik oleh invasi langsung bakteri, toksinnya atau kompleks reaksi antigen
antibodi dengan atau tanpa disertai gejala sistemik dari suatu proses penyakit atau keterlibatan
endokardium atau pericardium (Rahayuningsih, 2011)

2.2 Epidemiologi

Insidensi sebenarnya miokarditis tidak diketahui, karena banyaknya kasus subklinis


dibandingkan kasus berat. Banyak kasus tidak diketahui karena kisaran variasi tanda dan gejala
yang luas. Suatu penelitian postmortem pada anak yang meninggal dengan riwayat 4 suspek
miokarditis menunjukkan adanya bukti miokarditis aktif atau telah sembuh pada 17 dari 138
kasus (12,3%). Dari 17 kasus tersebut, sebanyak 15 kasus ditemukan pada anak yang meninggal
mendadak. Miokarditis karena virus biasanya bersifat sporadik, dan biasanya manifestasinya
tergantung dari usia. Pada bayi biasanya muncul sebagai penyakit fulminan yang akut, pada anak
yang lebih muda muncul sebagai penyakit yang akut tapi kurang fulminan, dan pada anak yang
lebih tua dan remaja biasanya asimptomatis.6 Angka kematian miokarditis pada bayi dilaporkan
sebesar 75% dan pada anak sebesar 25% (Freedman, 2007).

2.3 Etiologi

Miokarditis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, jamur, protozoa, penyakit yang
didasari oleh imun termasuk demam rematik dan penyakit Kawasaki, dan penyakit vaskuler
kolagen serta obat-obatan tertentu (Park, 2008)

Infeksi Non Infeksi


Virus Obat-obatan yang menyebabkan reaksi
Coxsackievirus, echovirus, HIV, virus Epstein- hipersensitivitas
Barr, Influenza, cytomegalovirus,adenovirus, Antibiotik: Sulfonimida, penisilin,
hepatitis, mumps, poliovirus, rabies, kloramfenikol, amfoterisin B, tetrasiklin,
respiratory syncytial virus, rubella, vacina, streptomisin
varicella zoster, arbovirus Antituberkullosis: INH, para-aminosalicytic
acid
Antikonvulsan: Penindion, Fenitoin,
Karbamazepin
Diuretik: Asetazolamid, klortalidon,
hidroklorotiazid, spironolakton
Lain-lain: amitripilin, metildopa, sulfonylurea
Bakteri Obat-obat yang tidak menyebabkan reaks
Corynebacteium diphteriae, Streptococcus hipersensitivitas
progenies, Staphyococcus aureus, Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha
Haemophilus pneumonie, Salmonella spp.,
Neisseria gonnorrhoeae, Leptospira, Borelia
burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella,
Mycobakterium tuberculosis, Actinomyces,
Chlamydia sp., Coxiella burnetti, Mycoplasma
pneumonia, Ricketsia spp.
Jamur Penyebab selain obat-obatan
Candda spp., Aspergillus spp., Histoplasma, Radiasi, giant-cells, myocarditis
Blastomyces, Cryptococcus, Coccidiomyces

Parasit
Trypanosoma Cruzii, Toxoplasma,
Schistosoma, Trichina
Tabel 1. Etiologi Miokarditis

2.4 Patogenesis
Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal bahwa infeksi viral dapat
menimbulkan miokard. Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard membaik setelah
eradika si penyebab infeksi dan menduga bahwa pathogenesis miokarditis mungkin disebabkan
2 fase berbeda kerusakan miokard; pertama akibat infeksi virus langsung dan kedua akibat
respons imun pejamu.
Pengertian respon imunspesifik yang mengakibatkan kerusakan miokard sebagian besar
berasal dari model penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardiotropik. Garis waktu
penelitian eksperimental miokarditis viral dapat dilihat pada gambar 2.1. Setelah masuk tubuh
melalui salurancerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan enterovirus), virus
kardiotropik ini akan menikat coxasackie adenoviral reseptor (CAR), untuk penggabungan
genom virus kedalam miosit.
Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang diinjeksi dengan virus kaksaki
menunjukkan bukti sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard tanpa infiltrasi sel
inflamasi. Makrofag yang teraktivasi mulai mengekspresikan interleukin (IL)-1𝛼, IL-2, TNF-𝛼,
dan interfenor gamma (IFN-𝛼).
Pada fase subakut (hari 4-14) terdapat infiltrasi sel natural killer (sel NK) yang
memproduksi neutralizing antibody dan sel pathogen yang dimediasiimun. D=gelombang
pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang mempunyai 2 peran penting yaitu
menghambat replikasi virus (protektif) dan melepaskan perfofin dan granzymes yang membentuk
lesi inti sirkuler pada permukaan membrane sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan
miosit). Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar IL-1, IL-2 dan IL-6 meningkat
pada pasien miokarditis akut, sepertijuga TNF-𝛼 dan ekispresi protein. Nitrit oksida yang
bermanfaat mempertahankan tonus vaskuar, mungkin mempunyai efek buruk pada miokarditis
akut dan berperan pada progresivitas kerusakan miosit.
Pada fasekronik (hari 15-90) terjadi eliminasi virus dan kerusakan miokardial yang terus
berlanjut. Jantung tikus yang terinfeksi mengalami hipertofi dan fibrosis miokard menetap. Sel
inflamasi tak Nampak lagi. Mekanisme yang melibatkan transisi stadium ini menjadi
kardiomiopati dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar 2.1). Apoptosis atau kematian sel
terprogram merupakan mekanisme pathogenesis ketiga yang mengakibatkan miokarditis menjadi
kardiomiopati dilatasi.
Gambar 2.1 Patogenesis Miokarditis

2.5 Gambaran Klinis

Miokraditis mempunyai gambaran klinis yang sangat luas sehinga sulit untuk
menegakkan diagnosis dan melakukan klasifikasi. Gambaran klinis dapat berupa kelainan
elektrokradiografi atau ekokardiografi tanpa gejala klinis yang jelas, sampai dengan keluhan
gagal jantung, aritmia dan gangguan hemodinamik yang berat. Kelainan elektrokardiografi atau
ekokradiografi yang bersifat sementara banyak didapatkan pada saat wabah infeksi virus atau
influenza dan pasien tetap asimptomatik dan hanya sebagian kecil saja yang mempunyai gejala
sisa jangka panjang. Miokarditis dengan gambaran yang akut lebih banyak ditemukan pada anak-
anak usia muda dan remaja dan pada orang dewasa biasanya gejalanya lebih ringan, dengan
gambaran kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung. Perbedaan presentasi klinis ini diduga
berkaitan dengan kematangan sistem imun, pada usia muda biasanya mempunyai respon yang
berlebihan pada paparan pertama dengan antigen. Pada usia tua biasanya mempunyai daya
toleransi yang sangat tinggi dan gambaran klinisnya berupa respon inflamasi kronis terhadap
antigen asing atau gangguan sistem imun yang akan berdampak terhadap otoimun.
Gambaran klinis miokarditis diklasifikasi menjadi

1. Miokarditis Akut

Gambaran klinis pada penderita miokarditis biasanya tidak khas. Pada penelitian terhadap 245
pasien dengan kecurigaan suatu miokarditis, maka gejala yang paling banyak ditemukan adalah
lemah badan/fatigue (82%); dyspnea on exertion (81%); aritmia (55 %, untuk aritmia
supraventrikular dan ventrikular); berdebar (49 %); dan nyeri dada saat istirahat (26 %).7 Nyeri
dada pada miokarditis sulit dibedakan dengan sindroma iskemik akut karena keduanya
mengakibatkan pelepasan troponin, elevasi segmen ST pada EKG, dan gangguan gerakan
segmental dinding jantung pada ekokradiografi. Gejala pordormal akibat infeksi virus berupa
demam, menggigil, mialgia, dan gejala konstitusional lainnya dapat terjadi pada 20-80% kasus
dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien dan tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.

Banyak kasus miokarditis datang dengan gambaran klinis berupa gagal jantung akut yang
timbul mendadak tanpa sebab yang jelas, terutama pada pasien usia pertengahan atau lebih tua.
Sehingga jika tidak ditemukan etiologi gagal jantung, maka diagnosa miokarditis viral dan
kardiomiopati dilatasi idiopatik merupakan suatu diagnosis ekslusional. Untuk dapat
membedakan kardiomiopati dilatasi idiopatik dengan miokarditis viral adalah pada sepertiga
kasus miokarditis karena viral, gejala klinis dan hasil pemeriksaan fungsi ventrikel kembali
menjadi normal dengan terapi suprotif yang sesuai, sedangkan hal ini jarang terjadi pada kasus
kardiomiopati dilatasi idiopatik.

2. Miokarditis Fulminan

Pada beberapa kasus, pasien akan datang dengan gagal jantung akut yang berat dengan syok
kardiogenik dengan penyebab yang tidak jelas. Tampilan umum pasien ini sangat toksik dengan
tekanan darah dan curah jantung yang rendah dan biasanya membutuhkan vasopressor dosis
tinggi atau suatu ventricular assist device (VAD). Pada sebuah penelitian didapatkan adanya 14
dari 147 (10.2%) penderita dengan gambaran klinis miokarditis datang dengan gambaran yang
fulminan dengan gambaran trias berupa gangguan hemodinamik, onset gejala yang singkat
(dalam 2 minggu), dan demam. Pemeriksaan ekokardiografi akan ditemukan disfungsi global
ventrikel yang berat dengan gambaran ventrikel kiri yang berdilatasi minimal. Gambaran
patologi dari biopsi akan didapatkan adanya fokus inflamasi dan nekrosis yang banyak dan tidak
sesuai dengan beratnya gambaran klinis. Gambaran klinis ini lebih disebabkan oleh produksi
sitokin oleh pejamu dan mengakibatkan depresi jantung reversibel. Pada follow-up penelitian
secara kohort didapatkan adanya 93% pasien yang hidup dan tidak dilakukan transplantasi
selama 11 tahun setelah dilakukan biopsi awal dibandingkan dengan 45% pada penderita dengan
miokarditis akut yang klasik. Penelitian ini menegaskan perlunya dilakukan terapi yang agresif
pada penderita dengan miokarditis untuk dapat memaksimalkan kemungkinan penyembuhan.

3. Miokarditis Giant cell

Miokarditis Giant cell adalah subklas miokarditis dimana pada penderita ini akan terjadi gagal
jantung diikuti dengan gambaran yang semakin memburuk. Pada pemeriksaan biopsy ditemukan
adanya giant cell dan inflamasi akut. Penelitian pada Miokarditis Giant cell didapatkan 75%
pasien datang dengan gagal jantung yang berat. Gejala yang lain berupa aritmia atau blok
jantung. Penderita miokarditis giant cell biasanya akan mengalami perburukan yang agresif
dengan prognosis yang sangat buruk dan kesintasan rata-rata kurang dari 6 bulan. Beberapa
penderita akan berespon sementara dengan terapi imunosupresif yang agresif. Sebagian besar
pasien akan dilakukan transplantasi jantung.

4. Miokarditis Kronis Aktif

Miokarditis kronis aktif sering terjadi pada usia tua. Ditemukan gejala akibat dengan disfungsi
ventrikel misalnya cepat lelah dan sesak nafas. Biopsi patologi pada miokardium akan
didapatkan adanya miokarditis aktif, tetapi lebih sering pada bentuk perbatasan atau perubahan
miopati kronis secara umum dengan fibrosis. Beberapa pasien akan mengalami disfungsi
diastolik dengan fibrosis dan mempunyai gambaran seperti kardiomiopati restriktif.

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan


laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinophilia, laju endap darah yang menungkat
atau peningkatan MB band of creatine phosphokinase (CKMB). Peningkatan CKMB ditemukan
pada kurang lebih 10 persen pasien, namun pemeriksaan troponin lebih sensitive untuk
mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis. Dapat dijumpai peningkatan titer
virus kardiotrofik. Dibutuhkan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG setelah lebih dari 4-6
minggu untuk memperlihatkan infeksi akut, Peningkatan titer antibody IgM mungkin
menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik dibandingkan dengan peningkatan pada titer
antibody IgG (IPD).

A, EKG

EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukan sinus
takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. dapat ditemukan perlambatan QTc,
voltasi rendah dan bahkan pola infark miokard akut, aritmia jantung seringkali ditemukan
ermasuk blok jantung total, takikardia ventricular dan aritmia supraventrikular terutama dengan
adanya gagal jantung kongestif atau inflamasi perikard.

B. Foto rontgen dada

Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit sebelum terjadi
kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri menurun progresif dapat mengakibatkan kardiomegali.
Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru.

C. Ekokardiografi

Ekokardiografi dapat menunjukan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengen dimensi
ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan.
Kekebalan dinding jantung mungkin bertambah, terutama ssat permulaan penyakit, saat
inflamasi sedang hebat. Thrombus ventrikel terdeteksi sekitar 15%. Gambaran ekokardiogafi
pada miokarditis aktif dapat meniru restriksif, hipertropik, atau kardiomiopati dilatasi.
Dengan ditemukannya beberapa strategi diagnostik miokraditis, maka akan dikatakan
strongly suspect myocarditis apabila dua dari kriteria terpenuhi, dan highly probable myocarditis
apabila terdapat tiga atau lebih kriteria terpenuhi, yaitu berupa (1) gambaran klinis yang sesuai;
(2) bukti adanya defek structural atau fungsional jantung atau kerusakan miokard yang tidak
disertai adanya iskemia koroner aktif; (3) perlambatan peningkatan kontras secara regional atau
perningakatn sinyal T2 pada pencitraan CMR; dan (4) adanya sel infiltrative atau sinyal genom
virus yang positif pada pemeriksaan biopsi miokard atau patologi. (Tabel 1). Akan tetapi biopsi
miokardium tetap merupakan alat diagnosis yang paling
spesifik untuk miokarditis.
TABEL 1 -- Kriteria Tambahan untuk Diagnosis Miokarditis10
Suspicious miokarditis = 2 kategori positif
Compatible miokarditis = 3 kategori positif
High probability miokarditis = semua 4 kategori positif
(Adanya kesesuaian kategori = kategori positif)
Kategori I: Gejala Klinis
Gagal Jantung secara Klinis
Demam
Prodromal dari virus
Lemah
Dyspnea on exertion
Nyeri dada
Berdebar
Presinkop atau sinkop

Kategori II: Bukti Gangguan Struktural/Fungsi Jantung tanpa adanya iskemik


Koroner Regional
Bukti Ekokardiografi
Abnormalitas gerakan dinding regional
Dilatasi jantung
Hipertrofi jantung regional
Pelepasan Troponin
High sensitivity (>0.1 ng/ml)
Indium-111 antimyosin scintigraphy yang positif
Dan Angiografi koroner normal atau
Tidak ditemuakn iskemia reversible secara distribusi koroner pada sidik perfusi
Jantung
Kategori III: CardiacMagnetic Resonance Imaging
Peningkatan sinyal T2 miokardium pada saat fase recovery
Terlambatnya peningkatan kontras setelah infuse gadolinium-DTPA

Kategori IV: Biopsi Miokardium—Analisis Patologis atau Molekular


Temuan Patologis sesuai kriteria Dallas
Adanya genom virus secara PCR atau hibridisasi in situ

2.6 Penatalaksanaan
• Perawatan suportif:
– Diuretik untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel;
– inhibitor angiotensin converting enzyme untuk menurunkan resistensi vaskular;
– penyekat beta jika kondisi klinis sudah stabil, dan antagonis aldosteron.
• Terapi imunosupresif untuk menstabilkan hemodinamiknya pada pasien dengan
autoimun. Rejimen terapi imunosupresif terdiri dari steroid, azathioprine dan siklosporin.
• Intravenous immune globulin (IVIG) dosis tinggi: efek modulasi imun dan antivirus.
• Interferon tipe I (IFN-α dan IFN-β): aktivitas antivirus dengan mengutamakan
kemampuan mereka untuk memfosforilasi interferon-stimulated genes (ISGs) pada
sistem imun host. ISGs ini bersama-sama menyebabkan degradasi RNA virus asing
• Terapi IFN-β dan IFN-α memproteksi miosit terhadap kerusakan dan menurunkan
infiltrat sel inflamasi.

2. Demam Berdarah Dengue

2.1 Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam
mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati,
disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.
Fever Dengue (DF) adalah penyakit febris-virus akut, seringkali ditandai dengan sakit kepala,
nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam, dan leukopenia sebagai gejalanya. Demam berdarah
dengue (Dengue Haemoragick Frever/DHF) ditandai dengan empat gejala klinis utama: demam
tinggi/ suhu meningkat tiba-tiba, sakit kepala supra, nyeri otot dan tulang belakang, sakit perut
dan diare, mual muntah. Fenomena hemoragi, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat
disertai tanda – tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok yang diakibatkan
oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut Sindrom Syock Dengue (DSS) dan sering menyebabkan
fatal ( Mubin, 2008).

2.2 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah
melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi
untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis
pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA
dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun
karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris yang dapat
diperiksa antara lain :
• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative
(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan
yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Etiologi akibat Dengue
Secara umum terdapat lima jenis gangguan irama dasar pada jantung, yaitu aritmia yang
berasal dari sinus, irama ektopik, aritmia reentri, blokade konduksi dan sindrom preeksitasi.
Blokade konduksi dapat terjadi di manapun pada sistem konduksi jantung. Berdasarkan lokasi
anatomiknya terdapat tiga tipe blokade konduksi, yaitu: blokade nodus sinus, blokade AV, dan
blokade cabang berkas. Tiga macam blokade AV adalah blokade AV derajat pertama, derajat ke-
2, dan derajat ke-3. Pada blokade AV derajat dua tidak semua impuls atrium mampu melewati
nodus AV untuk masuk ke ventrikel. Blokade AV derajat dua memiliki dua tipe, yaitu

Gambar 1. Rekaman EKG pada Hari Sakit ke-9 Menunjukkan Blokade AV Derajat dua
Mobitz Tipe I

Gambar 2. Rekaman EKG Menjadi Normal Kembali pada Perawatan Hari ke-7 Mobitz
tipe I dan Mobitz tipe II.
Blokade AV derajat dua Mobitz tipe I hampir selalu disebabkan oleh blokade di dalam
nodus AV (Gambar 3).

Pada blokade ini, blokade yang terjadi semakin bertambah pada setiap kejadian impuls.
Dalam EKG akan terlihat pemanjangan interval PR progresif pada setiap denyut dan kemudian
secara mendadak gelombang P tidak diikuti oleh kompleks QRS.
Pada penderita DBD derajat I dan II dapat terjadi komplikasi kelainan EKG. Kelainan ini
biasanya tanpa gejala dan hanya bersifat sementara saja. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Yusoff et al. didapatkan bahwa 20 dari 23 penderita DBD (87%) mengalami kelainan EKG.
Beberapa kelainan EKG pada penderita DBD yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu:
kelainan segmen ST, sinus bradikardia, blokade atrioventrikular (AV) derajat satu, kontraksi
atrial prematur, dan kontraksi ventrikel premature (Khong et al, 2000). Kelainan EKG berupa
berbagai derajat blokade nodus selama masa konvalesens DBD sering kali ditemukan
(Promphan, 2004). Literatur tersebut tidak mendeskripsikan mengenai kondisi pasienpasien
dengan kelainan-kelainan EKG yang ada. Mekanisme terjadinya bradiaritmia dengan
hemodinamik yang stabil pada penderita DBD masih belum diketahui secara pasti. Suatu studi
kasus pernah melaporkan bahwa pada penderita DBD dapat terjadi perubahan pada jantung.
Perubahan yang terjadi berupa kongesti, edema, fenomena perdarahan dan nekrotik, perubahan
inflamasi interstitial, dan miokarditis interstitial. Perubahan ini dapat menimbulkan gangguan
irama dan konduksi jantung. Literatur lain menyatakan bahwa mekanisme patogenesis terjadinya
kelainan fungsi jantung dapat dipengaruhi oleh adanya peranan perubahan tonus otonom dan
hipotensi yang berkepanjangan. Selain itu, kelainan fungsi jantung dapat pula disebabkan oleh
adanya kelainan metabolisme adenosin atau kelainan lain dalam sel yang sebagian besar
menggunakan kalsium untuk depolarisasi, serta perdarahan yang sedikit dan terlokalisasi pada
nodus. Perdarahan yang terlokalisasi pada nodus AV memungkinkan timbulnya blokade AV
yang terjadi untuk sementara waktu saja (Khong et al, 2000). . Literatur lainnya menyatakan
bahwa virus juga dapat menginvasi miokardium secara langsung dan menimbulkan kerusakan
pada serabut otot jantung. Selain itu, kerusakan pada serabut otot jantung juga dapat terjadi
melalui peningkatan reaksi hipersensitivitas atau melalui mekanisme autoimun. Disfungsi
miokardium yang terjadi, selain dipengaruhi oleh faktor virulensi virus, juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lainnya seperti digambarkan dalam Gambar

Penelitian lain menyatakan bahwa kerusakan miokardium karena virus sangat langka,
namun jika terjadi dapat menyebabkan kerusakan pada otot, hipersensitivitas atau kerusakan
reaksi autoimun sehingga menyebabkan miokardium mengalami kerusakan berulang serta
peurunan penyimpanan kalsium akibat demam berdarah. Pada penelitian mengungkapan adanya
perubahan histologis yaitu edema interstitial miokardium dengan sel inflamasi dan nekrosis
miokard.
Tatalaksana
Berdasarkan algoritme dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardiac Life
Support/ACLS), dalam menghadapi penderita dengan bradikardia, yang penting dinilai adalah
apakah bradikardia telah menimbulkan gejala dan tanda seperti sesak napas, nyeri dada, pusing,
kesadaran menurun, syok, edema paru, dan penurunan produksi urin. Bila tidak terjadi gejala dan
tanda tersebut, maka penderita cukup diobservasi dan dipantau kondisi klinisnya.
Sebaliknya bila timbul gejala dan tanda tersebut, pertimbangkan pemberian obat-obatan
atau pemasangan pacu-jantung transkutan ataupun transvena. Obat-obatan yang dapat diberikan
adalah sulfas atropin 0,5 mg intravena yang dapat diulang setiap 3-5 menit bila tidak terdapat
respons peningkatan denyut jantung sampai total dosis sulfas atropin mencapai 3 mg. Selain itu
dapat pula diberikan epinefrin 2-10 µg/menit, atau dopamin 2-10 µg/kg BB/menit. Obat-obat ini
tidak diberikan pada blokade AV derajat dua Mobitz tipe II dan blokade AV derajat III.
Pemberian kortikosteroid pada penderita DBD dengan komplikasi kelainan konduksi
jantung masih menjadi kontroversi. Pemberian kortikosteroid sebagai anti-inflamasi, dapat
membantu mencegah kerusakan lebih lanjut dari otot jantung yang diakibatkan oleh proses
inflamasi yang terjadi. Di lain pihak, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kelainan
koduksi jantung yang terjadi pada penderita DBD hanya bersifat sementara saja.
DAFTAR PUSTAKA

Uhl TL. Viral myocarditis in children. Crit Care Nurse 2008;28:42-63.

Sutaryo. (2004). Dengue. Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah


Mada : 1 – 242

WHO. (2005). Regional guidelines on Dengue / DHF Prevention And Control. Available
from : http:// www.whosea.org/en/section 10/section 332/section 554.htm. accesed September
2005

Supachokchaiwattana P, La-orkhum V, Arj-ong S, Sirichonkolthong B, Lertsapcharoen


P, Khongphatthanayothin A. (2007). Reversible Impairment of Global Cardiac Function during
Toxic Stage of Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Thai heart J 2007

Rahayuningsih, Sri Endah .2011. Miokarditis Sebagai Penyebab Kardiomiopati Dilatasi.


Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) IX \Hotel Grand Royal Panghergar
Bandung

Freedman SB, Haladyn JK, Floh A, Kirsh JA, Taylor G, Freedman JT. Pediatric
myocarditis: Emergency Department clinical findings and diagnostic. Pediatrics. 2007;120:1278-
85.
Park M.K, Troxler R.G. Myocarditis. Dalam: Pediatric cardiology for practitioners. Edisi
kelima. Missouri. Mosby. 2008; hlm. 351-66

Mubin. 2008. Panduan Praktis Ilmu Penakit DalamDiagnosis dan terapi, Edisi 2. EGC:
Jakarta

Promphan W, Sopontammarak S, Pruekprasert P, Kajornwattanakul W,


Kongpattanayothin A. Dengue Myocarditis. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
2004;35(3):611-3.

Khongphatthallayothin A, Chotivitayatarakorn P, Somchit S,Mitprasart A,


Sakolsattayadorn S, Thisyakorn C. Morbitz Type I Second Degree AV Block During Recovery
From Dengue Hemorrhagic Fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2000;31:642-5

Kidermann, I., et al. Update on Myocarditis.J Am Coll Cardiol. 2012.

Das könnte Ihnen auch gefallen