Sie sind auf Seite 1von 32

MAKALAH GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL

DISUSUN OLEH

1. ADRIANO BAPTISTA D.Z.MONIZ (KP.16.01.119)


2. AGUSTINA KURNIA SERENA (KP.16.01.120)
3. ALFONSA KAKA (KP.16.01.122)
4. ALVINA FIKRIATUZUHROH (KP.16.01.123)
5. ANDREAS YULIUS KONDO (KP.16.01.124)
6. ADRIANA BODU LORI (KP.16.01.125)
7. ANTONIUS BILI (KP.16.01.126)
8. CAHYANI AGNES ANGGRAINI (KP.16.01.129)
9. MARIA ADOLFINA NUNU (KP.16.01.150)
10. MARIA FENANLAMPIR (KP.16.01.152)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN WIRA HUSADA YOGYAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
PSIKOSOSIAL dengan lancar dan tepat waktu. Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas
kelompok Mata Kuliah Keperawatan Jiwa. Tentunya kami juga berterima kasih untuk pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Atas segala dukungan baik secara moral
maupun gagasan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik
dari penyusunan, pembahasan dan penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun agar lebih baik lagi dalam pembuatan makalah
selanjutnya.

Demikianlah makalah ini saya susun, semoga bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi
pembaca.

Yogyakarta,14 Desember 2018

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan,
diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini
disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan psikiatrik anak
Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena
kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan
mental antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia .Faktor penyulit pada pasien lanjut usia
juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan
kognitif.
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan adanya
pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day hospital,
merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts, Allen, 1987).
Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat dilihat pada bab
mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.3 Tujuan
1) Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia
2) Mengetahui tentang Teori Kejiwaan Lansia
3) Mengetahui tentang Teori Psikologi dan Psikososial.
4) Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
5) Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
6) Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Teori Lansia


2.1.1 Teori Psikososial Lansia
A.Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh.
Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun
generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai
integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan
hidupnya bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010)
perubahan psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif
dan integritas yang utuh.

B.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut
Kuntjoro (2012), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik
yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi
menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum
kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan
kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat,
maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun
sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik,
misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti:
a. Gangguan jantung
b. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
c. Vaginitis
d. Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya .
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif
dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin
lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki
lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang
tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi
morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya
terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat
susah dirinya.

4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah
diuraikan pada point tiga di atas.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya
menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga
sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka
melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing
atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi
dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis,
mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan
menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.

2.2. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial


2.2.1. Depresi
A. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kap'an dan Sadock, 2010). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri
atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2010). Menurut Hudak & Gallo (2012), gangguan
depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh
diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,
rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 2008). Sedangkan menurut Hawaii (1996;,
depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi
adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 2010).

B. Tanda Dan Gejala Depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek
seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan
pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan
perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri,
pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial,
mudah menangis, dan menarik diri.

C. Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat
keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan
marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda
atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan
harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di
dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa
depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan
semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak
mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia
mengulang respon yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab
depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik
dalam irama biologis.
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama
pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan
alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.

C. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang
setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena
adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun
tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2010).
Menurut Kuntioro (2012), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental
lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa
pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik
positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative
akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan
interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar.
Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa
lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan,
perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam,
1998).
Menurut Hawari 2011) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai
kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang
kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini
telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya
keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan
perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power
syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial
dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini
merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam
perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan
kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka
keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan
perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang
mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di
luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan
mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka
terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut
Maramis (2010), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan
dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada
sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita
harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh
manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen
psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih,
pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas
lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak
senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup,
terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar
untuk tertidur) dan konstipasi.

D. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
1) Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup
dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru,
orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan
merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi
dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya
dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa
hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan
suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
2) Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas
hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang
dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan
lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat
konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan
dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada
lansia .Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya
yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan
hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja
dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami
penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan
rendah diri (Rini, 2011).

3) Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia
tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga
(family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan
individualis menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga
langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia,
karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas
perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup
yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang
dikutip oleh Friedman, 2010)

E. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu
ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut
karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut
usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam
bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu
pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek
psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik
adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut
usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang
berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi
kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara
menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan
kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887),
pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan
perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan
pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai
macam emosi.

2) Pendekatan Perilaku Belajar


Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya
hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan
identifikasi aspek-aspek leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman.
Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau
mengurangi pengalaman yang menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan
social, latihan relaksasi, dan latihan manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan
hadiah dalam hidup dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat
diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah
dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah
dan hukuman dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah
laku supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan
keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan
masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi
suasana hati dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar
dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun,
2006). Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari
rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang
menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode
depresi dan mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative,
mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan
perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya
didunia ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung
jawab terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka
pintu menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara
secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat
pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih
mempu menetapkan masa depan.
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka
(farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan
obat anti depresan adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

A. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode
duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat
disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang
lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2
tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat
mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti
dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut
biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan
pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan
dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat,
konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

C. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak
terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh
mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias
bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di
samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas
penderita dalam hal-hal tersebut.

D.Dementia
A.. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah
sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya
ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap
fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif,
perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari
penderita.

B.. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik
pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat
berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal
jantung, dan alkohol).

C.. Penanganan Pasien Demensia


Tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan jika menghadapi pasien demensia aialah sebagai
berikut:
a. Terapi obat dengan pengawasan dokter
b. Intervensi non obat :
1. Intervensi Lingkungan
 Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia).
 Penyesuaian waktu (membuat jadual rutin).
 Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur).
 Penyesuaian indra (mata, telinga).
 Penyesuaian nutrisi (makan makanan dengan gizi seimbang).
2. Intervensi Perilaku
Wandering
 Yakinkan dimana keberadaan pasien.
 Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar rumah.
 Gelang pengenal “hendaya memory”.
Agitasi dan Agresifitas
 Hindari situasi yang memprovokasi
 Hindari argumentasi
 Sikap kita tenang dan mantap
 Alihkan perhatian kenal lain
Sikap dan pertanyaan yang berulang
 Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian. Bila masih berulang,
acuhkan dan usahankan aluhkan ke hal yang menarik.
 Perilaku seksual yang tidak wajar/ sesuai
 Tenang dan bombing pasien keruang pribadinya
 Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya
 Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah pakaian atau selimut untuk menutupi
badannya. Bantu mengenakan baju kembali.
3. Intervensi Psikologis
 Psiko terapi individual
 Psiko terapi kelompok
 Psiko terapi keluarga
4. Intervensi untuk “care giver” (pengasuh) diperlukan :
 Dukungan mental
 Pengembangan kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian
 Kemampuan menerima kenyataan
5. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi mudah lupa :
 Lakukan latihan terus-menerus, berulang-ulang
 Tingkatkan perhatian
 Asosiasikan hal yang diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak
6. Aktivitas Keagamaan
7. Mengembangkan hobi yang ada seperti melukis, memasak, main music, berkebun,
fotografi.

E. SELF-ESTEEM Lanjut Usia


A. Pengertian
Branden (2001) mendefinisikan self-esteem sebagai cara pandang individu terhadap
dirinya, bagaimana seseorang menerima dirinya dan menghargainya sebagai individu yang utuh.
Nilai yang kita taruh atas diri kita sendiri berdasar penilaian kita sejauhmana memenuhi harapan
diri. Harga diri yang tinggi merupakan nilai positif yang kita lekatkan pada diri yang berakar dari
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalah, kekalahan dan kegagaln,
tetapi tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Dariuszky, 2004).
Self-esteem adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain
(Stuart dan Sundeen, 1998). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuan, interaksi
dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan obyek,
tujuan serta keinginan (Tarwoto & Wartonah, 2003). Self-esteem dipelajari melalui kontak social
dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandagan individu tentang dirinya dipengaruhi
oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya (Stuart dan Sunden,
1993; Kelliat, 1994).
Ideal self adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan
standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan cita-cita, apa yang diinginkan dan nilai yang
ingin dicapai. Ideal self akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma
social, keluarga dan budaya (Stuart dan Sunden, 1998).

F. Self-Esteem Pada Lanjut Usia


Pada usia lanjut umumnya dorongan dan kemauan masih kuat, akan tetapi kadang-kadang
realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional
(functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) akibat dari
aging process. Keinginan yang tidak dapat dilaksanakan akibat keterbatasan ini seringkali
menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan diri lanjut usia (lack of self-confidence).
Menurut Dariuszky (2004), unsur penting dalam pertumbuhan perasaan berguna dan
selg-esteem seseorang adalah pengakuan (approval). Pengakuan oleh anak-anaknya dan orang
lain sangat oenting bagi lansia, yang berarti ada penerimaan dari orang lain tentang kondisi dan
perubahan pada dirinya sebagai individu. Penerimaan orang lain menimbulkan rasa aman,
penerimaan diri (self-acceptance) dan peneguhan diri (self-affirmation) lansia sebagai pribadi
yang unik dan tetap terjaga eksistensinya. Apabila pengakuan dari orang lain tidak didapatkan,
maka lansia merasa tidak aman dan tidak dapat menerima diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi. Lansia menjadi tidak percaya diri (self-confident), selalu menanyakan eksistensi dirinya,
cenderung untuk menyalahkan diri dan memiliki self-esteem yang rendah.
Hilangnya harga diri (lack of self-esteem) timbul akibat kehilangan symbol-simbol self-
esteem yang mempengaruhi cara memandang dan menjalani kehidupan. Pada lansia symbol-
simbol self-esteem yang hilang seperti status social, kekuasaan, peran dalam kehidupan,
pekerjaan dan nilai-nilai yang dianut (Dariuszky, 2004). Hilangnya symbol self-esteem ini
mengakibatkan lansia merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, kekecewaan, rasa sesal,
bersalah, dan mudah jatuh dalam depresi.
C. Karakteristik Self-Esteem
Self-esteem berpengaruh besar terhadap kualitas dan kebahagian hidup seseorang
(Dariuszky, 2004). Seseorang yang memiliki Self-esteem yang tinggi akan merasa tenang,
mantap, optimistis, mampu mengendalikan situasi dirinya dan lebih mampu mengatasi masalah-
masalah dan kesulitan hidup. Sedangkan Self-esteem yang rendah sering menimbulkan
pesimistis dan mudah menyerah terhadap permasalahan yang dihadapi.
Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang
yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang ia inginkan. Harga
diri yang rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk dan menonjol pada
klien skozofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1998).

Dariuszky (2004) memberikan karakteristik individu yang memiliki Self-esteem tinggi sebagai
berikut:
1. Mempunyai harapan yang positif dan realitis atas usahanya mapupun hasil dari usahanya.
2. Bersedia mempertanggungjawabkan kegagalan maupun kesalahannya.
3. Memandang dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.
4. Cenderung melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan dirinya.
5. Tidak kuatir akan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil resiko.
6. Mempunyai bukti atau alas an yang kuat untuk menghargai dirinya sendiri atas
keberhasilan yang telah diraihnya.
7. Relative puas dan bahagia dengan hidupnya dan kemampuannya cukup bagus dalam hal
penyesuaian diri.

Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky (2004)
adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan
mencari alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan
diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.

Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negative tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan
menjadi korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi

C.. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem


Harga diri (Self-esteem) bukanlah suatu sifat bawaan ang tidak dapat diubah. Ia
diengaruhi oleh berbagai factor seperti suasana hati, kondisi kesehatan, kehilangan sesuatu yang
dicintai, kehilangan pekerjaan. Pension dan lain-lain. Banyak orang yang tidak mampu
mengatasi kondisi seprti itu dan jatuh dalam kekalutan emosional dan tidak memiliki persepsi
yang sehat mengenai dirinya mauoun lingkungan eksternalnya, sehingga orang itu memiliki Self-
esteem yang rendah (Dariuszky, 2004).
Menurut Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994), stressor yang mempengaruhi Self-
esteem adalah penolakan dan kurangnya penghargaan dari orang lain, persaingan, kesalahan dan
kegagalan yang berulang, cita-cita yang tidak dapat dicapai, ideal self yang tidak realistic dan
gagal bertanggungjawab terhadap diri.
Factor-faktor yang mempengaruhi Self-esteem menurut Carpenito (2001):
1) Patofisiologi
Berhubungan dengan perubahan penampilan, sekunder akibat dari kehilngan citra tubuh,
kehilangan fungsi tubuh dan bentuk badan berubah akibat dari trauma, pembedahan, dan cacat
lahir.
2) Situasional (personal, lingkungan)
Berhubungan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan, umpan balik, perasaan diabaikan sekunder
akibat kemaitian orang terdekat. Perasaan kegagalan/penurunan berat badan. Kegagalan
disekolah, riwayat ketidakefektifan hubungan dengan orang tua, riwayat penyalahgunaan zat,
penolakan orang tua, harapan yang tidak realistis dari orang tua, hukuman yang tidak konsisten.
Perasaan tidak berdaya dan/atau kegagalan sekunder akibat dari institusional seperti penjara,
rumah sakit jiwa, panti asuhan, dan rumah penitipan.
3) Maturasional
Pada usia bayi dan usia bermain berhubungan dengan kurangnya stimulasi dan kedekatan dengan
orang tuanya, perpisahan dari orang tua/orang terdekat, evaluasi negative yang terus menerus
oleh orang tua, ketidakadekuatan dukungan orang tua, dan ketidakmampuan untuk mempercayai
orang terdekat.
4) Sumber eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap Self-esteem. Pada
sumber internal, misalnya orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber
eksternal misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang kuat.
5) Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan Self-esteem seseorang, dan
frekuensi gagal yang sering mengakibatkan rendahnya Self-esteem.

F. Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia


A. Pengkajian
Proses pengumpulan data untuk mengidentifikasi massalah keperawatan meliputi aspek
a. Fisik
 Wawancara
 Pemeriksaan fisik: Head to Toe dan system tubuh
b. Psikologis
Pemeriksaan psikologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan Status Mental.
Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita berpikir (proses pikir),
merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadaan umum penderita adalah termasuk
penampilan, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktifitas bicara.
Gangguan motorik, antara lain gaya berjalan menyeret, posisi tubuh membungkuk,
gerakan jari seperti memilin pil, tremor dan asimetri tubuh perlu dicatat (Kaplan et al, 1997).
Banyak penderita depresi mungkin lambat dalam bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng
terdapat pada penderita penyakit Parkinson (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin tertekan. Keluar air mata
dan menangis ditemukan pada gangguan depresi dan gangguan kognitif, terutama jika penderita
merasa frustasi karena tidak mampu menjawab pertanyaan pemeriksa (Weinberg, 1995; Kaplan
et al, 1997; Hamilton, 1985). Adanya alat bantu dengar atau indikasi lain bahwa penderita
menderita gangguan pendegaran, misalnya selalu minta pertanyaan diulang, harus dicatat
(Gunadi, 1984).
Sikap penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curigaa, bertahan dan tak berterima
kasih dapat memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya reaksi transferensi. Penderita lanjut
usia dapat bereaksi pada dokter muda seolah-olah dokter adalah seorang tokoh yang lebih tua,
tidak peduli, terhadap adanya perbedaan usia (Weinberg, 1995; Laitman, 1990).
1. Gangguan Persepsi. Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang
disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita
mengalami kebingungan terhadap waktu atau tempat selama periode halusinasi. Adanya
kebingungan menyatakan suatu kindisi organic. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan
patologi fokal yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut siperlukan untuk menegakkan diagnosis
pasti (Hamilton, 1985).
2. Fungsi Visuospasial. Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan
lanjutnya usia. Meminta penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar mungkin
membantu dalam penilaian. Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi
visuospasial sangat terganggu (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
3. Proses Berpikir. Gangguan pada progesi pikiran adalah neologisme, gado-gado kata,
sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan retardasi. Hilangnya
kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak mungkin merupakan tanda awal dementia.
4. Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic, kompulsi atau waham.
Gagasan tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksa harus menetukan apakah
terdapat waham dan bagaimana waham tersebut mempengaruhi kehidupan penderita. Waham
mungkin merupakan alas an untuk dirawat. Pasien yang sulit mendengar mungkin secara keliru
diklasifikasikan sebagai paranoid atau pencuriga (Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985; Laitman, 1990).
5. Sensorium dan Kognisi. Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indra tertentu,
sedangkan kognisi mempermasalahkan informasi dan intelektual (Hamilton, 1985; Weinberg,
1995).
6. Kesadaran. Indicator yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan
kesadaran , adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan yang berat
penderita dalam keadaan somnolen atau stupor (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
7. Orientasi. Gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan
gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan
kecemasan,. Gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian, terutama selama
periode stress fisik atau lingkungan yang tidak mendukung (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
Pemeriksa harus menguji orientasi terhadap tempat dengan meminta penderita menggambar
lokasi saat ini. Orientasi terhadap orang mungkin dinilai dengan dua cara: apakah penderita,
mengenali namanya sendiri, dan apakah juga mengenali perawat dan dokter. Orientasi waktu
diuji dengan menanyakan tanggal, tahun, bulan dan hari.
8. Daya Ingat. Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes
yang siberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan penderita diminta untuk
mengulangi maju dan mundur. Penderita dengan daya ingat yang tak terganggu biasanya dapat
mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya ingat jangka panjang diuji dengan
menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya
ingat jangka pendek dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya menyebut tiga benda pada
awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda tersebut diakhir wawancara.
Atau dengan mengulangi cerita tadi secara tepat/persis (Hamilton, 1985).
9. Fungsi Intelektual, Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan. Sejumlah fungsi intelektual
mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum dan fungsi intelektual. Menghitung dapat
diujikan dengan meminta penderita untuk mengurangi 7 angka dari 100 dan mengurangi 7 lagi
dari hasil akhir dan seterusnya samapi dicapai angka 2. Pemeriksa mencatat respons sebagai
dasar untuk pengujian selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita untuk menghitung
mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pemeriksaan
tersebut (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
10. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan. Penderita ditanya
nama presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia. Pemeriksa harus memperhitungkan
tingkat pendidikan penderitam status social ekonomi dan pengalaman hidup penderita dalam
menilai hasil dari beberapa pengujian tersebut.
11. Membaca dan Menulis. Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan
menulis dan menetukan apakah penderita mempunyai deficit bicara khusus. Pemeriksa dapat
meminta penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis pada penderita.
Apakah menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat. (Hamilton, 1985).
12. Pertimbangan. Pertimbangan (judgement) adalah kapasitas untuk bertindak sesuai dengan
berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan pertimbangan, apa yang akan
dilakukan oleh penderita, misalnya jika ia menemukan surat tertutup, berperangko dan ada
alamatnya di jalan anu? Apa yang akan dilakukan oleh penderita bila ia mencium bau asap di
sebuah gedung bioskop? Apakah penderita mampu mengadakan pembedaan? Apakah penderita
mampu membedakan antara seorang kerdil dan seorang anak? Mengapa seorang memerlukan
KTP atau surat kawin? Dan seterusnya.

c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia makin
matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-
hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang m
enghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah
rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat menyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu
kematian akan dating agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali.
Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.

2.6.2. Diagnosa Keperawatan


1. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
1. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi
 Bina hubungan saling percaya
 Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
 Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan memberikan
kepuasan timbal balik :
a) Beri penguatan dan kritikan yang positif
b) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d) Hindari ketergantungan klien
 Libatkan dalam kegiatan ruangan.
 Ciptakan lingkungan terapeutik
 Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya

Intervensi
 Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
 Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
 Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
 Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih
apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
 Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan. Contoh
: Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa
sabun, handuk, pakaian bersih)
 Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
 Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
 Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
 Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki
pasien.
 Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan
jadwal kegiatan yang sudah dibuat.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas


Tujuan :
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
2) Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi
 Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
 Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
 Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
 Kurangi tidur pada siang hari
 Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur
 Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
 Mandi air hangat sebelum tidur
 Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur
 Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan kebutuhannya)
 Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
 Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar pasien
dapat tidur.

4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
 Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
 Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
 Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
 Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
 Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
 Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
 Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
 Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah

5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
 Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
 Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
 Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
 Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
 Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
 Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini
pengetahuan mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di
antara berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh
karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain mengenai
pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa pemeriksaan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Das könnte Ihnen auch gefallen