Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
DISUSUN OLEH
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
PSIKOSOSIAL dengan lancar dan tepat waktu. Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas
kelompok Mata Kuliah Keperawatan Jiwa. Tentunya kami juga berterima kasih untuk pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Atas segala dukungan baik secara moral
maupun gagasan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik
dari penyusunan, pembahasan dan penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun agar lebih baik lagi dalam pembuatan makalah
selanjutnya.
Demikianlah makalah ini saya susun, semoga bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi
pembaca.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia
2) Mengetahui tentang Teori Kejiwaan Lansia
3) Mengetahui tentang Teori Psikologi dan Psikososial.
4) Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
5) Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
6) Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia
BAB II
TINJAUAN TEORI
C. Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat
keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan
marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda
atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan
harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di
dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa
depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan
semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak
mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia
mengulang respon yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab
depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik
dalam irama biologis.
B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama
pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan
alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
D. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
1) Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup
dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru,
orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan
merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi
dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya
dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa
hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan
suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam
beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.
2) Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas
hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang
dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan
lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat
konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan
dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada
lansia .Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya
yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan
hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja
dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami
penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan
rendah diri (Rini, 2011).
3) Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia
tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk
menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga
(family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan
individualis menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga
langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia,
karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas
perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup
yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang
dikutip oleh Friedman, 2010)
A. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode
duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat
disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang
lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2
tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat
mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti
dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut
biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan
pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan
dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat,
konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.
C. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak
terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh
mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias
bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di
samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas
penderita dalam hal-hal tersebut.
D.Dementia
A.. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah
sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya
ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap
fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif,
perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari
penderita.
B.. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik
pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat
berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal
jantung, dan alkohol).
Dariuszky (2004) memberikan karakteristik individu yang memiliki Self-esteem tinggi sebagai
berikut:
1. Mempunyai harapan yang positif dan realitis atas usahanya mapupun hasil dari usahanya.
2. Bersedia mempertanggungjawabkan kegagalan maupun kesalahannya.
3. Memandang dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.
4. Cenderung melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan dirinya.
5. Tidak kuatir akan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil resiko.
6. Mempunyai bukti atau alas an yang kuat untuk menghargai dirinya sendiri atas
keberhasilan yang telah diraihnya.
7. Relative puas dan bahagia dengan hidupnya dan kemampuannya cukup bagus dalam hal
penyesuaian diri.
Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut Dariuszky (2004)
adalah:
1. Sulit menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan
mencari alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan
diri.
8. Pikiran cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.
Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan diri negative
2. Rasa bersalah atau malu
3. Evaluasi diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negative tentang diri
6. Ketidakmampuan untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif terhadap kritik ringan
9. Tanda dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari masalah nyata
11. Perilaku penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan
menjadi korban)
12. Penampilan tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi kegagalan pribadi
c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia makin
matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-
hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang m
enghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah
rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat menyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu
kematian akan dating agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali.
Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi
Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih
apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan. Contoh
: Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa
sabun, handuk, pakaian bersih)
Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki
pasien.
Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan
jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah
5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini
pengetahuan mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di
antara berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh
karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain mengenai
pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa pemeriksaan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC