Sie sind auf Seite 1von 13

Closed Reduction Management in Mandibular Fractures Due to Violent Actions

(Serial Case).

Ramadhan Pramudya* , Zefry Zainal Abidin*, David Buntoro Kamadjaja**


* Residen Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya.
**Konsultan, Kepala Departemen Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan
Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya.

Abstract
Introduction: Violence is the second largest cause of mandibular fractures, but is rare.
Ideally, the method of internal fixation open reduction (ORIF) is performed for mandibular
fracture cases. Mandibular fracture management with Closed reduction method can be performed
by dentists as a definitive treatment option after emergency treatment. Objective: to present to the
effectiveness of the management of mandibular fractures with the Closed Reduction method in
cases resulting from acts of violence that can be performed by dentist. Case management: Case
1: A 15-year-old boy who complained of not being able to close his mouth properly from the past
3 days due to being hit on his left cheek, was diagnosed with angular fracture and left mandibular
condyle fracture. Mandibular fracture management Closed Reduction Method with repositioning
and fixation using Archbar, ligature rubber and immobilization with Maxilla - Mandibula Fixation
(MMF) performed for 8 weeks. Case 2: A male patient aged 41 with a complaint that he could not
close his mouth and gums due to being hit on his chin and cheek 3 days ago, was diagnosed with
a fracture of the left mandibular ramus and ascending fracture. Closed Reduction method by
repositioning and fixation using Archbar, ligature rubber and wire and immobilized with Maxilla
- Mandibula Fixation (MMF) was performed for 12 weeks. Treatment of mandibular fracture
starts from emergency treatment according to ATLS rules until the patient is stable, then a
complete history, physical examination and support are done to establish the diagnosis and
therapeutic plan. In the above cases the Closed Reduction Method was performed as a treatment
option due to the patient's condition and request. The Closed Reduction method rebuilds a stable
occlusion, recovery from the normal shape of the mandible and a symmetrical face, then continues
with normal physiological movements and functions. Conclusion: Closed reduction management
of mandibular fractures due to violence can be done by dentists as a therapeutic option to restore
normal occlusion and masticatory function.
Keywords: Violence, mandibular fracture, Closed Reduction, dentist.

Manajemen Closed Reduction pada Fraktur Mandibula Akibat Tindakan Kekerasan


(Serial Case).

Abstrak
Pengantar : Tindakan kekerasan merupakan penyebab kedua terbesar dari kasus fraktur
mandibula, namun jarang ditemui. Idealnya, metode open reduction internal fixation (ORIF) di
untuk menangani kasus fraktur mandibular. Manajemen fraktur mandibula dengan Metode Closed
reduction dapat dilakukan dokter gigi sebagai pilihan terapi definitif setelah penanganan
kedaruratan. Tujuan : untuk menunjukkan efektifitas dari tatalaksana fraktur mandibula dengan
metode Closed Reduction pada kasus yang diakibat tindakan kekerasan yang bisa dilakukan oleh
dokter gigi. Manajemen kasus : Kasus 1 : Pasien anak laki-laki usia 15 tahun dengan keluhan
tidak bisa menutup mulut dengan baik sejak 3 hari yang lalu akibat dipukul pada pipi kirinya,
didiagnosa mengalami fraktur angulus dan fraktur kondilus mandibular kiri. Manajemen fraktur
mandibula Metode Closed Reduction dengan reposisi dan fiksasi menggunakan Archbar, karet
Ligature dan immobilisasi dengan Maxilla - Mandibulary Fixation (MMF) dilakukan selama 8
minggu. kasus 2 : Pasien laki-laki usia 41 dengan keluhan tidak bisa menutup mulut dan luka pada
gusi akibat dipukul di dagu dan pipinya 3 hari yang lalu, di diagnosa mengalami fraktur
parasimfisis dan fraktur ramus ascenden mandibular kiri. Metode Closed Reduction dengan
reposisi dan fiksasi menggunakan Archbar, karet Ligature, dan Wire dan immobilisasi dengan
Maxilla - Mandibulary Fixation (MMF) dilakukan selama 12 minggu. Perawatan Fraktur
mandibula dimulai dari penanganan yang bersifat kedarurtan sesuai kaidah ATLS sampai pasien
stabil, lalu dilakukan anamnesa lengkap, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menegakkan
diagnosa dan rencana terapi. Pada kasus-kasus diatas Metode Closed Reduction telah dilakukan
sebagai pilihan terapi dikarenakan kondisi dan permintaan pasien. Metode Closed Reduction
membangun kembali oklusi yang stabil, pemulihan dari bentuk lengkung mandibula yang normal
dan wajah yang simetri, lalu dilanjutkan pada gerakan dan fungsi fisiologis yang normal.
Kesimpulan : Manajement Closed reduction pada fraktur mandibula akibat tindak kekerasan
dapat dilakukan oleh dokter gigi sebagai pilihan terapi untuk mengembalikan oklusi dan fungsi
pengunyahan yang normal.
Kata kunci : Tindak kekerasan, fraktur mandibula, Closed Reduction, dokter gigi.

Korespondensi: Ramadhan Pramudya, Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas


Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Jln. Mayjend. Prof. Dr. Moestopo No. 47 Surabaya 60132,
Indonesia, email : ramadhanpramudya@gmail.com.
Pengantar
Cedera dan kekerasan adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Menurut
World Health Organization (WHO), lebih dari 9 orang meninggal setiap menit karena cedera dan
kekerasan. Sebagian besar cedera ini melibatkan wilayah maksilofasial. Fraktur mandibula
merupakan dua pertiga dari seluruh fraktur yang terjadi pada daerah maksilofasial (Samman,
2018). Pada tahun 2005 – 2010 , penelitan di RS saiful Anwar menyatakan bahwa fraktur
mandibular urutan kedua disebabkan karena serangan individu atau kekerasan dengan 36 kasus
atau 9,92 (Cindera Sari, 2011)

Jonas, 2014 mengatakan bahwa prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal
bersifat kedaruratan seperti jalan nafas atau airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah
termasuk penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi
sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan
fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi dua metoda
yaitu reposisi tertutup Closed reduction dan terbuka Open Reduction. Pada reposisi tertutup atau
konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan menempatkan peralatan
fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan,
segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut
wire atau plate osteosynthesis. Open dan Closed reduction tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi
kadang- kadang dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka
yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula selalu
diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik sehingga daerah yang mengalami fraktur akan
kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi yang baik.

Dokter gigi biasanya merupakan tenaga medis yang dihubungi pasien pertama kali apabila
terjadi trauma rongga mulut. Peranan dokter gigi adalah sebagai penentu diagnosis dan melakukan
perawatan yang sederhana/darurat untuk trauma dentoalveolar atau merujuk pasien kepada
spesialis bedah mulut dan maksilofasial apabila diperlukan perawatan yang lebih sulit dan
komplek (Pederson 1999).

Tujuan

Tujuan dari penulisan Laporan kasus ini adalah untuk menujukan efektifitas dari tatalaksana
fraktur mandibula dengan metode closed reduction yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan yang
bisa di lakukan oleh dokter gigi.

Kasus

Kasus 1: Seorang pasien anak laki-laki usia 15 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut
FKG Universitas Airlangga dengan keluhan tidak bisa menutup mulut dengan baik sejak 3 hari
yang lalu akibat dipukul pipi sebelah kirinya dalam perkelahian antar pelajar di sekolah. Tidak ada
riwayat pingsan, mual/muntah, riwayat penyakit sitemik dan alergi disangkal. Hasil pemeriksaan
klinis ektsra oral, dari inspeksi didapatkan asimetri pada wajah, pembengkakan minimal pada regio
bukal kiri, serta dari palpasi didapati krepitasi pada regio kondilus mandibula kiri disertai dengan
nyeri tekan (gambar 1). Pemeriksaan klinis intra oral, dari inspeksi tampak pasien hanya bisa
membuka mulut selebar 2 jari (trismus), maloklusi , open bite anterior (gambar 2 a), tampak
kemerahan dan pembengkakan minimal, dan tidak didapati stepoff, serta dari palpasi maksila tidak
didapati adanya floating maksila namun didapati adanya unstable mandibula pada regio posterior
mandibular dan stepoff pada regio angulus mandibula. Pemeriksaan radiologis panoramik
menunjukan adanya garis fraktur pada regio posterior mandibula kiri di distal gigi 48 dan pada
regio condyle mandibula kiri. Hasil pemeriksaan klinis dan penunjang menunjukkan bahwa pasien
didiagnosa mengalami fraktur angulus mandibula kiri dan fraktur kondilus mandibular kiri
(gambar 2.b).

a. b. c. d.
Gambar 1. Foto klinis ekstra oral, a. tampak depan menunjukkan asimetri wajah, b. tampak deviasi mandibula ± 3 m
ke araha kanan c. tampak pembengkakan minimal pada regio bukal kiri.

a. b.
Gambar 2. a. Foto klinis ekstra oral, tampak maloklusi, openbite anterior. b. Tampak garis fraktur pada regio
posterior mandibula kiri di distal gigi 48 dan pada regio kondilus mandibula kiri (tanda panah)

Tata laksana Kasus 1


Pasien dengan fraktur angulus mandibula kiri dan fraktur kondilus mandibular kiri ditangani
dengan prosedur terapi closed reduction, diawali dengan informed consent, asepsis intra oral dan
ekstra oral dilanjutkan anastesi mandibular block kanan dan kiri . Pemasangan archbar dilakukan
pada rahang atas dari gigi 16 hingga 26 dan rahang bawah dari gigi 37 hingga 46. Karet ligature
dipasang dengan orientasi tarikan sedemikian rupa sehingga mereposisi dan stabilisasi fragmen
tulang dan mengembalikan oklusi sentris dengan fiksasi maksilomandibular. Setelah tindakan
diberikan antibiotik oral amoxiclav tablet 625 mg dan analgesik Asam mefenamat tablet 500 mg
selama 5 hari. Hasil pemasangan archbar dan karet ligature dengan traksi dan fiksasi
maksilomandibular ditunjukkan oleh gambar 3.

Gambar 3. Klinis intra oral setelah dilakukan pemasangan archbar dan karet ligature dengan traksi dan fiksasi
maksilomandibular

Pasien datang kontrol hari ke – 3 paska pemasangan archbar dengan kondisi asimetri wajah
sudah terkoreksi, namun masih didapatkan nyeri tekan pada regio angulus dan condyle
mandibular. Pemeriksaan intra oral didapatkan archbar yang tetap rapat namun masih ada gigitan
terbuka (open bite) pada gigi anterior pasien, tidak didapati stepoff pada regio angulus mandibula.
Karet ligature dirubah arahnya dari kanan ke kiri dengan tujuan lebih menstabilkan dan
immobilisasi tulang yang telah tereposisi . Hari ke -4 pasien datang kontrol kembali dengan kondisi
yang masih sama untuk penggantian karet ligature yang lurus untuk fiksasi kembali maksila
mandibula pasien.

Hari ke- 10 pasca pemasangan archbar dan ligature karet, didapatkan kondisi gigitan
terbuka (open bite) telah terkoreksi dengan baik, pasien mengatakan bahwa giginya sudah terasa
saling bersentuhan. Pasien juga mengeluhkan adanya beberapa karet ligature yang lepas.
Pengantian karet ligature dilkukan untuk menjaga agar rahang tetap terfiksasi dan menjaga
immobilitas dari rahang. Hari ke -17 (minggu ke 3) pasca pemasangan archbar pasien datang
dengan kondisi oklusi sentris sudah kembali dengan baik. Pengantian karet ligature yang telah
longgar dilakukan kembali untuk menjaga fiksasi dari rahang.

Pasien datang kontrol kembali hari ke -28 (minggu ke 4) pasca pemasangan archbar dengan
keluhan beberapa karet ligature telah lepas. Pemeriksaan intra oral sudah tidak didapatkan adanya
stepoff dan krepitasi baik di regio angulus dan condyle mandibula. Karet ligature dilepas semua
dan pasien diberi instruksi untuk mulai latihan membuka tutup mulut.

Pasien datang kontrol hari ke -45 (minggu ke 6) pasca pemasangan archbar dengan kondisi
tidak ada keluhan nyeri dan pasien sudah bisa membuka tutup mulut dan mengunyah dengan baik.
Pemeriksaan klinis ekstra oral dan intra oral juga tsudah tidak didapati kelainan (gambar 4).
Archbar pada pasien dilepas dan dilanjutkan dengan evaluasi pasca perawatan dengan foto
panoramik (gambar 5).

a b c
Gambar 4 . Klinis intra oral setelah pelepasan arch bar mingu ke 8, a. tampak depan menunjukkan oklusi normal dan
tidak ada open bite anterior, b. tampak samping kanan menunjukkan tidak ada open bite posterior, c. tampak
samping kiri menunjukkan tidak ada open bite posterior.

Gambar 5. Radiologis panoramik evaluasi setelah perawatan, tampak garis fraktur angulus mandibular telah
menyatu, tidak tampak stepoff dan tampak garis fraktur kondilus mandibular menyatu

Kasus 2 : Seorang pasien laki-laki usia 41 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut
FKG Universitas Airlangga dengan keluhan tidak bisa menutup mulut dan luka pada gusi akibat
dipukul dagu dan pipinya oleh orang tak dikenal. Hasil pemeriksaan klinis ektsra oral, inspeksi
didapatkan asimetri pada wajah, pembengkakan pada regio parasimfisis kiri dan ramus mandibula
kiri dengan deviasi mandibula arah kanan, serta dari palpasi didapati teraba stepoff pada regio
parasimfisis dan pada regio ramus mandibular kiri disertai dengan nyeri tekan (gambar 6).
Pemeriksaan klinis intra oral, dari inspeksi tampak pasien hanya bisa membuka mulut selebar 1
jari (trismus), tampak vulnus pada mukosa gingiva hingga labial anterior mandibula, maloklusi,
open bite anterior dan posterior, fraktur dengan pergeseran pada regio 31 dan 33 dan stepoff
sejauh ± 3 mm ke arah caudal, serta dari palpasi maksila tidak didapati adanya floating maksila
namun didapati adanya unstable mandibula pada regio posterior mandibular dan stepoff pada regio
ramus ascenden mandibula. (gambar 7.a). Pemeriksaan radiologis panoramik menunjukan adanya
garis fraktur pada regio parasimfisis mandibula kiri di distal gigi 33 dan pada regio ramus ascenden
mandibula kiri hinga ke prosesus koronoid mandibula kiri. Hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
menunjukkan bahwa pasien didiagnosa mengalami fraktur parasimfisis mandibula kiri dan fraktur
ramus ascenden mandibular kiri (gambar 7.b).

M
M M M M M a
a a a a a n
n n n n n a
a a a a a j
j j j j j e
e a. e e b. e e c.
m submental
Gambar 6. Foto m ekstra oral tampak
m klinis m menunjukkan
m depan masimetri wajah, a. tampak dari regio
menunjukkan pembengkakan daerah bukal e kiri dan sedikit
e e e kirieb. tampak pembengkakan
e
minimal pada regio bukal
kiri dibadingkan dari tampak foto kanan (c.) n
n n n n n C
C C C C C l
l l l l l o
o o o o o s
s s s s s e
e e e e e d
d d d d d R
R R R R R e
e e e e e d
d d d d d u
u u u u u c
c a.c c c c
b.
Gambar 7.a Tampak vulnus pada mukosa gingiva anterior mandibula, t dan posterior,
maloklusi, open bite anterior
t t pada regio 31 dan
fraktur dengan pergeseran t 33tdan stepoff sejauht ± 3 mm ke arah kaudal (tandaipanah). b. Gambar
i pada regio parasimfisis
adanya garisi fraktur i i mandibula kiri idi distal gigi 33 dan pada regio ramus ascenden
o
o
o mandibula o
kiri hingaoke prosesus koronoidomandibula kiri (tanda panah)
n
n n n n n p
p kasus
Tata laksana p 2 p p p a
a
Pasien dengan a fraktur parasimfisis
a a mandibula kiri a dan fraktur ramus ascenden d mandibular
d d d d d
kiri juga ditangani dengan prosedur terapi closed reduction, diawali dengan informed consent,
a
a a a a a
asepsis intra oral dan ekstra oral dilanjutkan anastesi mandibular block kanan F dan kiri .
F F F F F
debridement rdan rpenjahitan vulnus r
r rdilakukan sebelum r
pemasangan archbar Dilakukan
pemasangan archbar a 37 hingga 47.
a a rahang atas dari a gigia 17 hingga 27 a
dan rahang bawah dari gigi
k
Karet ligaturekdipasang k dengan orientasi k ktarikan kearah k kanan sehingga mereposisi dan stabilisasi
t
t t t t
fragmen tulang dengan fiksasi maksilomandibular. tSetelah tindakan diberikanu antibiotik oral
amoxicilin tabletu 500 u mg dan analgesik u u Asam mefenamat tablet 500 mg selama
u r 5 hari. Hasil
r r r r r
pemasangan archbar dan karet ligature dengan traksi dan fiksasi maksilomandibular M ditunjukkan
M M M M M
oleh gambar 8. a
a a a a a n
n n n n n d
d d d d d i
i i i i i b
b b b b b u
u u u u u l
l l l l l a
a a a a a A
Gambar 8. Klinis intra oral setelah dilakukan debridement, penjahitan vulnus dan pemasangan archbar dan karet
ligature dengan traksi dan fiksasi maksilomandibular

Pasien datang kontrol minggu ke 1 paska pemasangan archbar dengan kondisi asimetri
wajah sudah terkoreksi, namun masih tampak pembengkakan di regio buccal kiri dan didapatkan
nyeri tekan pada regio parasimfisis dan ramus mandibula. Pemeriksaan intra oral didapatkan
archbar yang tetap rapat. Ligature wire yang telah longer diganti untuk mereposisi mandibular
kearah yang diinginkan, sekaligus menjaga oklusi sentris fiksasi maksilomandibular.

Minggu ke 4 pasca pemasangan archbar dan karet ligature, didapatkan kondisi gigitan open
bite anterior dan posterior telah terkoreksi dengan baik. Pasien mengatakan tidak ada keluhan gigi
dan mulut. Setelah reposisi dan fiksasi dilanjutkan immobilisasi menggunakan wire di regio
anterior, regio posterior kanan dan regio posterior kiri yang dipertahankan selama 4 minggu. Diet
lunak dan cair diberikan pada pasien selama masa perawatan ini.

Pasien datang kontrol kembali 8 minggu pasca pemasangan archbar untuk melepas ligature
wire dan diberi instruksi untuk mulai latihan membuka tutup mulut selama 4 minggu. Minggu ke
12 pasien datang untuk pelepasan arcbar. Pasien mengatakan sudah tidak ada lagi keluhan pada
gigi dan mulut pasien. Klinis ekstra oral dari inspeksi tampak tidak ada kelainan dan kemampuan
membuka dan menutup mulut normal (gambar 9). Pemeriksaan foto panoramic dilakukan untuk
evaluasi perawatan dan tidak didapati kelainan dan garis fraktur telah menyatu dengan baik
(gambar 10) dan archbar di lepas.

a b c
Gambar 9 . Klinis intra oral setelah pelepasan arch bar mingu ke 12, a. tampak depan menunjukkan oklusi normal
dan tidak ada open bite anterior dan tidak di dapati stepoff pada regio 33, b. tampak samping kanan menunjukkan
tidak ada open bite posterior, c. tampak samping kiri menunjukkan tidak ada open bite posterior.
Gambar 10. Radiologis panoramik evaluasi setelah perawatan, tampak parasimfisis mandibular telah menyatu, tidak
tampak stepoff dan garis ftaktur pada ramus ascenden mandibular kiri menyatu

Diskusi

Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita dengan kecurigaan fraktur mandibula harus
mengikuti kaidah ATLS (Advandce Trauma Live Suport), dimana terdiri dari pemeriksaan awal
atau primary survey yang meliputi pemeriksaan Airway, Breathing, Circulation dan Disability.
Pada penderita trauma dengan fraktur mandibula harus diperhatikan adanya kemungkinan
obstruksi jalan nafas yang bisa diakibatkan karena fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat
perdarahan intraoral yang menyebabkan aspirasi darah. (Lincoln, 2004) . Kedua kasus yang
disajikan, primary survei tetap dilakukan secara langsung ketika pasien datang ke RSGM dan
didapati pasien dalam kondisi stabil tanpa ada kondisi yang mengancam nyawa.
Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dapat dilanjutkan dengan
Pemeriksaan secondary survey meliputi: Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibular dicurigai dari
adanya nyeri, pembengkakan oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis,
pembengkakan, memar, perdarahan dari soket gigi,gigi yang fraktur atau tanggal, trismus,
ketidakmampuan mengunyah. Selain itu keluhan biasanya disertai riwayat trauma seperti
kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit
patologis. kedua pasien diatas juga diperiksa secara menyeluruh. Anamnesa pada pasien
menunjukkan keduanya korban dari tindakan kekerasan. Kekerasan merupakan penyebab kedua
terbesar dari trauma maksilo fasial terutama fraktur mandibular. Literatur menyebutkan bahwa
43% fraktur mandibula disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor, 34% disebabkan oleh
kekerasan, 7% disebabkan oleh kecelakaan kerja, 7% disebabkan oleh jatuh, 4% disebabkan oleh
kecelakaan olahraga, dan sisanya disebabkan oleh penyebab lainnya (Ochs dan Tucker, 2003)

Pemeriksaan fisik pasien meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh dan pemeriksaan lokal
mandibula baik ekstra dan Intra oral. Pemeriksaan Fisik mandibular dari inspeksi dilihat ada
tidaknya deformitas, luka terbuka dan evaluasi susunan / konfigurasi gigi saat menutup dan
membuka mulut, menilai ada/tidaknya maloklusi. Dilihat juga ada/tidaknya gigi yang hilang atau
fraktur. Pada palpasi dievaluasi daerah TMJ dengan jari pada daerah TMJ dan penderita disuruh
buka-tutup mulut, menilai ada tidaknya nyeri, deformitas atau dislokasi. Untuk memeriksa apakah
ada fraktur mandibula dengan palpasi dilakukan evaluasi false movement dengan kedua ibujari di
intraoral, korpus mandibula kanan dan kiri dipegang kemudian digerakkan keatas dan kebawah
secara berlawanan sambil diperhatikan disela gigi dan gusi yang dicurigai ada frakturnya. Bila ada
pergerakan yang tidak sinkron antara kanan dan kiri maka ada false movement , apalagi dijumpai
perdarahan disela gusi (Wijayahadi, et al, 2000)

Pederson(1999) mengatakan, evaluasi radiografis dibutuhkan untuk mempertegas bukti dan


memberikan data yang lebih akurat. Adapun pemeriksaan radiologist yang dapat dilakukan yaitu :
a. Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan
ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang
memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.,b. Pemeriksaan
radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula, PA, oblik lateral., c. CT Scan baik untuk
fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panorex (Prater, 2004). Kedua pasien menjalani
pemeriksaan penunjang pemeriksaan radiografi foto panoramic di RSGM Unair untuk membantu
menegakkan diagnosa dari Fraktur mandibular dan merencanakan terapi yang akan dilakukan.

Diagnosis fraktur mandibula ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan mandibula


dengan memperhatikan gejala-gejala berikut : 1. Pembengkakan, ekimosis, ataupun laserasi pada
kulit yang meliputi mandibula, 2. Parastesi yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris
inferior., 3. Maloklusi., 4. Gangguan mobilitas atau adanya Krepitasi., 5. Malfungsi berupa
trismus, rasa sakit waktu mangunyah., 6. Ganguan jalan nafas., 7. Kerusakan hebat pada
mandibular dapat menyebabkan perubahan posisi mandibular, trismus, hematoma dan edema pada
jaringan lunak (Adam K, 1996).

Cooch dan Sangkaran (1988) menyatakan jika pasien datang dengan persangkaan fraktur
mandibula, hal yang terpenting adalah mempertahankan jalan napas yang tetap bebas. Karenanya
pasien harus dirawat dengan posisi terbaring pada satu sisi atau dalam posisi duduk dengan kepala
menengadah, selain itu perlu pemberian antibiotic dan toksoid tetanus.

Kedua pasien diterapi dengan teknik closed reduction. Terapi idealnya pada kasus seperti
ini dilakukan dengan metode terbuka menggunakan open reduction internal fixation (ORIF) untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Pasien dan keluarga telah diberikan konseling, instruksi dan
edukasi mengenai terapi metode terbuka, tetapi keluarga pasien menolak terapi tersebut karena
keterbatasan biaya sehingga metode tertutup menjadi alternatif pilihan.

Keuntungan dari perawatan fraktur dengan Closed reduction adalah minimal invasif
sehingga tidak menimbulkan jaringan parut, tidak ada resiko kerusakan struktur tubuh yang
penting (saraf dan pembuluh darah), dan biaya perawatan yang relatif murah. Kerugian dari
perawatan fraktur tertutup adalah kadang-kadang hasil reposisi yang diperoleh tidak maksimal
karena reposisi dilakukan secara “blind” dengan berpatokan pada oklusi saja, kemungkinan relaps
lebih besar akibat tekanan otot pengunyahan, waktu perawatan lama, kerusakan jaringan
periodontal karena sulit menjaga kebersihan rongga mulut dan kerjasama pasien sangat
diperlukan.. Keuntungan perawatan fraktur dengan metode Open reduction adalah didapatkan
hasil terapi yang optimal karena reduksi dapat dilakukan secara langsung, waktu terapi relatif
singkat, tidak mengganggu aktifitas (bicara, makan) dari pasien. Kerugian perawatan ini adalah
resiko rusaknya struktur penting (saraf dan pembuluh darah), memerlukan peralatan dan teknik
khusus sehingga biaya relatif mahal (Setiawan, et al, 2010).

Pada metode Closed reduction dilakukan prosedur reduksi dan reposisi metode tertutup
menggunakan prinsip reposisi gradual bertahap dengan traksi elastis intraoral dengan
menempatkan Ligatue karet elastik hingga mencapai oklusi dan posisi yang stabil. Setelah oklusi
yang tepat tercapai, elastik diganti dengan wire untuk melaksanakan fiksasi dan immobilisasi
dengan Inter Maxillary Fixation (IMF).

Penyembuhan fraktur yang memuasakan tergantung pada reduksi (pengaturan kembali


fragmen-fragmen) yang adekuat dan immobilisasi. Apabila frakmen fraknmen di stabilisasi pada
posisi yang benar, penyembuhan akan diawali dengan hematom. Hematom di tandai dengan
proliferasi pembuluh darah, misalnya pada tahap vascular. Kemudian aktifitas fibroblast akan
menyebabkan terbentuknya kalus fibrus yang diganti dalam 10-30 hari dengan kalus primer dari
tulang muda. Akhirnya kalus sekurnder dari tulang yang usdah matang berkembdang dan
menunjang penyatuan kembali fragmen-fragmen secara mekanis. Pada fraktur orofasial,
pembentukan kalus sekunder tersebut terjadi pada minggu ke lima atau ke enam pasca fraktur
(Pedersen, 1999.)

Idelanya immobilisasi menggunakan arch bar dan kawat, diikuti dengan mempertahankan
fiksasi maksila dan mandibula selama 2 sampai 4 minggu. Pada pasien immobilisasi dengan
Maksila - Mandibula fiksasi dilakukakan selama 6 sampai 8 minggu dikarenakan fraktur yang
terjadi pada pasien melibatkan 2 lokasi atau lebih dari fraktur untuk penyatuan dan kestabilan
tulang yang lebih sempurna.

Setelah mencapai penyatuan dan kestabilan pada lokasi fraktur, kawat untuk fiksasi
intermaksilaris dilepas. Kemudian, oklusi normal dilatih setelah fiksasi menggunakan karet, dan
diet lunak dipertahankan selama 2 minggu. Terapi fungsional yang terdiri dari latihan gerakan
mandibula pasif dan latihan membuka mulut dilakukan dan kemudian hasil klinis diamati. Fiksasi
intermaksila jangka panjang memiliki kerugian dari cedera jaringan periodontal dan mukosa bukal,
kebersihan mulut yang buruk, gangguan pengucapan, nutrisi yang tidak seimbang, gangguan
pembukaan mulut, dan gangguan pernapasan. (Choi, 2012)

Kedua pasien merupakan pasien korban tindakan kekerasan fisik yang bisa menjadi kasus
hukum namun belum melaporkan tindakan kekerasanya kepada pihak berwenang. Pasien
disarankan untuk melapor pada pihak berwenang terlebih dahulu untuk proses hukum dan
permintaan visum namu pasien menolak. Setiap tindakan pada pasien, baik itu pencacatan
identitas, pemeriksaan dan terapi telah dicacat dalam rekam medis RSGM Unair sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Dokter gigi disini memiliki peranan dalam tugas dan kewajiban profesi
sesuai yang telah disebutkan dalam Permenkes RI no 269/MENKES/PER/III/2008 bahwa setiap
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
Penulisan Rekam Medis yang lengkap dan sesuai aturan diharapkan dapat menjadi alat bantu
apabila diperlukan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah hukum.

Evaluasi pada kedua pasien menunjukan hasil yang baik. Pemeriksaan klinis pada pasien
saat kontrol bulan ke dua dan pelepasan Archbar dan Wire tidak menunjukkan adanya keluhan
atau kelainan yang tampak dari segi klinis dan fungsional. Dari pemeriksaan radiologis juga
didapatkan hasil yang baik dengan ditunjukkan garis fraktur yang telah menyatu.

Kesimpulan
Fraktur mandibular akibat kekerasan, jarang dijumpai dalam praktik sehari – hari namun
menjadi jumlah terbanyak kedua setelah kecelakaan dari etiologinya. Manajement Closed
reduction pada fraktur mandibula akibat tindak kekerasan dapat dilakukan oleh dokter gigi yang
merupakan tenaga medis yang biasanya dihubungi pasien pertama kali apabila terjadi trauma
rongga mulut, sebagai pilihan terapi untuk mengembalikan oklusi dan fungsi pengunyahan yang
normal. Kondisi pasien dapat menjadi pertimbangan dasar pemilihan perawatan setelah
dilakukakn pemeriksaan dan penetapan diagnosa. Perawatan Closed reduction pada fraktur
mandibula merupakakan rangkaian dari tindakan reduksi dan reposisi dengan Arcbar dan ligature
karet , yang dilanjutkan dengan immobilisasi dengan fiksasi Maksila-mandibula dengan wire,
dilanjutkan dengan terapi fungsional. Pembuatan rekam medis yang benar oleh dokter gigi yang
merawat, selain diwajibkan, dapat dijadikan alat bantu hukum apabila diperlukan.

Daftar Pustaka
Adam K, 1996, ‘Penatalaksanaan fraktur mandibular mengguanakan 3-D plate (laporan kasus)’
Majalah Pabmi edisi Agustus, pp. 11
Andi Setiawan B, 2010, Masykur Rahma, Trauma Oral & Maksilofasial, Jakarta, EGC, pp 33-115
Banks Peter, 1992, Fraktur Pada Mandibula Menurut Killey, Alih Bahasa Wahyono, Edisi Ketiga,
Gajah Mada University Press, , 1-79

Cinderasari C, 2011,’Prevalensi Pasien Fraktur Mandibula Yang Dirawat di RSUD Dr. Saiful
Anwar Pada Tahun 2005-2010’ Skripsi, Jember, Universitas Jember, pp.27

Cooc,John, Sankaran, Balu, 1988, Penatalaksanaan Bedah Umum Di Rumah Sakit, Alih Bahasa
Harjanto Effendi, Jakarta, EGC, pp.68-71.
Choi KY, Yang JD, Chung HY, Cho BC,2012, Current Concepts in the Mandibular Condyle
Fracture Management Part II: Open Reduction Versus Closed Reduction. Arch Plast Surg,
Vol 39(4) pp.301-8.
Hermund, Niels & Hillerup, Søren & Kofod, Thomas & Schwartz, Ole & Andreasen, Jens, 2008,
Effect of early or delayed treatment upon healing of mandibular fractures: A systematic
literature review. Dental traumatology, vol 24, pp.22-26

Pederson, GW, 1999, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Alih Bahasa : Purwanto, Basoeseno,
Jakarta, EGC, Pp.175-180.

Prater, Michael, Mandibular Fractures, Retrieved September 28, 2018, from


https://www.utmb.edu/otoref/grnds/Mandibular-fx-961127/Mandibular-fx-961127.ppt

Robert E, Lincoln, 2004, ‘Pratical Diagnosis and Management of Mandibular and Dentoalveolar
Fracture, in Robert W. Dolan (ed) ,Facial Plastic, Reconstructive and Trauma Surgery, New
York, Marcel Dekker, pp.597-627Ochs MW, Tucker MR, 2003, ‘Management of facial
fractures’. In: Peterson LJ, Ellis E, Hupp JR, Tucker MR (Eds). Contemporary Oral and
Maxillofacial Surgery. USA: Mosby, pp. 527–58.

Samman M, Ahmed SW, Beshir H, Almohammadi T, Patil SR, 2018, ‘Incidence and Pattern of
Mandible Fractures in the Madinah Region: A Retrospective Study’. Journal of Natural
Science, Biology, and Medicine.Vol 9(1), pp.59-64

Wijayahadi,R.Yoga, Murtedjo. Urip, et all, 2000, Trauma Maksilofasial Diagnosis dan


Penatalaksanaannya, Surabaya, Divisi Ilmu Bedah Kepala & Leher SMF/Lab Ilmu Bedah
RSDS/FK Unair Surabaya, pp.6:25-26, 58-63, 71-71, 89-95, 98,100,125-13

Das könnte Ihnen auch gefallen