Sie sind auf Seite 1von 4

NAMA : RIDWAN SATRYO H

NIM : F0316088

Audit Dana Kampanye

Dana kampanye merupakan salah satu poin penting yang diatur dalam UU No 10/2016
tentang Pilkada. KPU juga telah mengeluarkan peraturan teknis mengenai dana kampanye
dalam Peraturan KPU No 5/2017.

Pengaturan dana kampanye ini setidaknya bertujuan untuk menciptakan lapangan kontestasi
yang setara antar-kandidat, mencegah potensi korupsi akibat tingginya biaya pemenangan
pemilihan kepala daerah (pilkada), dan menjaga integritas pilkada dari segi pendanaan.

Dibanding pada pilkada sebelumnya, pengaturan dana kampanye pilkada saat ini cenderung
lebih “ketat”. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengaturan baru, seperti subsidi negara
melalui APBD pada beberapa pos kampanye, adanya pembatasan maksimal pengeluaran
dana kampanye, dan adanya ketentuan pembatalan sebagai pasangan calon apabila laporan
akhir dana kampanye terlambat dilaporkan.

Dari berbagai informasi dan hasil penelitian pada Pilkada Serentak 2015, permasalahan yang
cukup mendasar adalah audit dana kampanye. Melalui audit akan dapat diukur tingkat
kepatuhan dan kewajaran serta transparansi pasangan calon dalam menerima dan
menggunakan dana kampanye sesuai dengan UU dan peraturan penyelenggaraan pilkada
serentak ini.

Tak ada perbaikan aturan


Namun, pengaturan dana kampanye tersebut tidak disertai perbaikan aturan mengenai audit
dana kampanye. Hal tersebut akan berimplikasi pada tidak terwujudnya tujuan pengaturan
dana kampanye. Padahal, audit dana kampanye merupakan salah satu penyangga dipatuhi
atau tidaknya pengaturan dana kampanye.

Beberapa hal yang masih jadi permasalahan dalam pengaturan dana kampanye di antaranya,
pertama, tujuan audit dana kampanye tidak menjawab/mendukung tujuan pengaturan dana
kampanye. Audit dana kampanye tak hanya dilakukan dalam rangka mewujudkan terciptanya
transparansi dan akuntabilitas publik atas pencatatan, pengelolaan, dan pelaporan dana
kampanye kandidat. Lebih dari itu, audit dana kampanye diharapkan menjaga integritas
kampanye.

Namun, dalam PKPU terkait dana kampanye dan Keputusan KPU No 121/2015 tentang
Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye disebutkan bahwa bentuk perikatan audit dana
kampanye dalam pilkada sebatas audit kepatuhan. Tujuannya hanya untuk menilai kesesuaian
pelaporan dana kampanye dengan peraturan perundang-undangan dana kampanye. Maka,
audit kepatuhan pada pilkada tidak akan memberikan gambaran utuh atas realitas penerimaan
dan pengeluaran dana kampanye.

Dua isu krusial


Kedua, tahapan pemilihan atau penunjukan kantor akuntan Publik (KAP). Pada tahapan ini
terdapat dua isu krusial, yakni, pertama, proses penunjukan langsung tertutup. Seleksi KAP
dilakukan oleh KPUD. Proses seleksi tersebut mengacu pada proses seleksi konsultan dalam
UU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Dengan mengacu pengaturan tersebut, mayoritas KAP
akan dipilih melalui penunjukan langsung.

Sebab, anggaran audit dana kampanye umumnya kurang dari Rp 50 juta. Proses penunjukan
KAP secara langsung ini berpotensi adanya “transaksi terlarang” antara oknum KPUD dan
KAP. Seharusnya, hal ini dapat diantisipasi dengan proses pemilihan yang terbuka.

Namun proses pemilihan KAP sejauh ini cenderung tertutup dan bahkan tidak diketahui
dengan jelas oleh asosiasi profesi akuntan publik. Padahal, KPUD tentu akan memperoleh
banyak input mengenai rekam jejak dan kompetensi KAP yang akan ditunjuk.

Isu krusial berikutnya, yakni audit potensial tidak dilakukan oleh akuntan KAP yang ditunjuk
oleh KPUD melainkan oleh tenaga lepas atau bahkan disubkontrakkan pada pihak lain yang
tidak kompeten. PKPU tentang dana kampanye mengatur bahwa setiap KAP hanya bisa
mengaudit dana kampanye satu pasangan calon di daerah bersangkutan.

Namun, KAP dapat melakukan audit dana kampanye pasangan calon di daerah lain. Tidak
ada batasan berapa banyak pasangan calon yang dana kampanyenya dapat diaudit oleh satu
KAP.
Dampaknya, satu KAP dapat mengaudit banyak pasangan calon di berbagai daerah melebihi
kemampuan akuntan publik (AP) yang dimilikinya. Peluang audit tidak dilaksanakan oleh
akuntan publiknya atau bahkan disubkontrakkan kepada pihak lain. Dihawatirkan yang
terjadi adalah proses “audit-auditan”.

Selain itu, pengaturan ini tidak berangkat dari tujuan yang jelas. Proses audit dana kampanye
dikhawatirkan tidak efektif dan efisien. Proses audit dana kampanye akan lebih efektif dan
adil apabila dilakukan oleh satu KAP di satu daerah pilkada (satu KAP mengaudit semua
pasangan calon di satu daerah).

Ketiga, audit dana kampanye tidak disertai anggaran yang wajar/memadai. Dilihat dari
besarannya, anggaran audit dana kampanye sangat tidak wajar atau sangat rendah. Persoalan
ini memunculkan kekhawatiran kualitas hasil audit dana kampanye jauh di bawah standar dan
tidak profesional. Di beberapa daerah bahkan diketahui anggaran auditnya di bawah Rp 10
juta.

Padahal, audit dana kampanye memerlukan banyak prosedur audit, seperti verikasi fisik
beberapa penyumbang. Proses tersebut rawan dilewati dengan alasan keterbatasan biaya.

Keempat, audit dana kampanye tak disertai proses audit yang komprehensif. KAP hanya
melakukan audit laporan dana kampanye yang disampaikan oleh pasangan calon. Padahal,
umumnya tak semua penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dilaporkan.

Apabila ingin dicapai kualitas audit dana kampanye yang maksimal, maka auditor harus
difasilitasi dapat menjangkau penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye, baik yang
dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan.

Untuk itu, pemilihan/penunjukan KAP sebaiknya dilakukan sebelum masa kampanye


dimulai. AP yang ditunjuk harus melakukan tugas di lapangan selama masa kampanye
berlangsung dengan melakukan sampling atas seluruh aktivitas kampanye yang dilakukan
oleh pasangan calon.

Sebagai alternatif, KAP seharusnya bersinergi dengan pengawas pemilu yang juga telah
dimandatkan memantau potensi adanya pengeluaran kampanye yang tak dilaporkan dalam
laporan dana kampanye.
Tak ada kontrol
Kelima, tidak adanya kontrol audit dana kampanye. Hingga saat ini belum diatur adanya
kontrol atas pelaksanaan audit dana kampanye yang dilakukan oleh KAP. Selama ini, kontrol
terhadap para KAP di seluruh Indonesia dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Institut Akuntan Publik Indonesia
(IAPI) selaku satu-satunya asosiasi profesi yang menaungi para akuntan publik Indonesia.

Namun, kenyataannya, belum ada mekanisme kontrol atas pelaksanaan audit dana kampanye
khususnya pada pelaksanaan pilkada.

Keenam, potensial berujung pada dampak buruk. Dampak itu, baik terhadap profesi akuntan
publik dan KAP maupun terhadap akuntabilitas hasil audit dana kampanye. Selain berpotensi
menyuburkan KAP dan akuntan publik yang belum berkompeten dalam mengaudit dana
kampanye, hasil audit juga dikhawatirkan tidak memenuhi standar dan tidak dilakukan
dengan profesional.

Hasil audit dana kampanye pun kemudian hanya sebagai “syarat” dana kampanye disebut
transparan dan akuntabel tetapi mengabaikan hal-hal substansial di dalamnya.

Permasalahan dana kampanye seperti dipaparkan di atas, tentu merupakan bagian yang harus
menjadi fokus pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia, dengan
berbagai tingkat kompleksitas dan kerumitan yang harus dihadapi.

Hal tersebut lebih didsebabkan karena soal seputar dana kampanye merupakan permasalahan
yang klasik karena selalu muncul dalam setiap momentum politik, baik pada pemilu legislatif
maupun pada pemilu presiden dan wakil presiden, tidak terkecuali pada pemilu gubernur dan
wakil gubermur, bupati dan wakil bupati serta pemilu wali kota dan wakil wali kota.

Das könnte Ihnen auch gefallen