Sie sind auf Seite 1von 7

Nama : Jenni Desebrina Gultom

NPM / No. Presensi : 1806157036 / 6

Mata Kuliah : Transaksi Berjamin

Kelas : Hukum Ekonomi Pagi

Analisis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia)
lahir untuk memenuhi kebutuhan hukum dan menjamin kepastian hukum, serta untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang yang berkepentingan. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia
sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha.1

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.2 Dalam fidusia, benda yang difidusiakan tetap dalam penguasaan yang
memberikan fidusia, atau lazimnya disebut Pemberi Fidusia. Sementara itu, definisi Jaminan
Fidusia dapat ditemukan dalam Pasal 1 butir 2 UU Jaminan Fidusia, yang mana Jaminan Fidusia
adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditor lainnya.3

Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai
benda yang dijaminkan untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan
1
Lihat Penjelasan umum butir ke tiga Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2
Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, LN No. 168 Tahun 1999, TLN No.
3889, Pasal 1 butir 1.
3
Ibid, Pasal 1 butir 2.
menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya,benda yang menjadi objek jaminan fidusia terbatas
pada benda bergerak, khususnya peralatan. Namun dalam perkembangannya, benda yang dapat
dijadikan jaminan fidusia dapat pula berupa kekayaan benda bergerak yang tak berwujud,
maupun benda tak bergerak.

Dalam prakteknya, fidusia sudah dilakukan jauh sebelum Undang-Undangnya


diberlakukan. Rakyat Indonesia sudah melakukan kegiatan usaha, khususnya utang-piutang sejak
zaman penjajahan Belanda, dengan menggunakan fidusia sebagai jaminan. UU Jaminan Fidusia
dibuat demi memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan jaminan fidusia ini..

Mesipun Undang-Undang ini hadir sebagai penjawab atas kebutuhan masyarakat akan
kepastian hukum dalam menggunakan Jaminan Fidusia. Namun, dalam prakteknya selama dua
puluh tahun sejak Undang-Undang ini dilahirkan masih terdapat kelemahan-kelemahan pada
pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang ini yang sekiranya memerlukan revisi agar
dapat sesuai dengan kebutuhan yang semakin hari semakin berkembang.

Analisis Beberapa Pasal dalam UU Jaminan Fidusia

Pasal 1 angka 2

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap Kreditor lainnya.

dan Pasal 1 angka 4


Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang
tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

Benda bergerak yang disebutkan dalam pasal ini tidak memiliki tanda kepemilikan yang
kuat, seperti benda tidak bergerak yang kepemilikannya harus dibuktikan dengan sertifikat
kepemilikan.4 Adanya perbedaan mengenai kepemilikan ini, mengakibatkan konsekuensi yang
berbeda pula. Benda bergerak akan mudah dipindahtangankan atau dialihkan karena tidak
adanya bukti kepemilikan seperti sertifikat. Sementara itu, untuk pengalihan atau pemindahan
benda tidak bergerak akan lebih sulit lagi, karena setiap orang akan mengacu pada sertifikat
kepemilikan atass benda tidak bergerak tersebut.

Ketidakjelasan mengenai kepemilikan objek fidusia, khususnya benda bergerak yang


diajdikan objek fidusia, akan mengakibatkan rumitnya proses eksekusi objek fidusia oleh
kreditor. Padahal, dokumen yang mendasari perjanjian kebendaan baik bergerak maupun tidak
bergerak bersifat eksekutorial atau setara dengan kekuatan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.5

Pasal 14 ayat (3)

Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia
dalam Buku Daftar Fidusia.

Ketentuan dalam Pasal ini menyebutkan bahwa hak jaminan fidusia baru ada setelah
Jaminan Fidusia tersebut dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Selagi Jaminan Fidusia tersebut
belum dicatatkan, maka kreditor belum memiliki hak jaminan fidusia, termasuk hak untuk
melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan. Selain itu, dalam Pasal 13 ayat (1)
UU yang sama disebutkan bahwa pihak yang harus mendaftarkan Jaminan Fidusia ini adalah
Penerima Fidusia,dalam hal ini adalah Kreditor.

Ketentuan Pasal 14 ayat (3) ini dinilai tidak dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap hak Kreditor atas Jaminan Fidusia tersebut. Dimana Hak atas Jaminan Fidusia baru

4
Lihat Pasal 616 KUH Perdata.

5
Lihat Pasal 224 HIR (Herzien Inlandsch Reglement).
lahir setelah dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Pencatatan ini baru dilakukan oleh Kantor
Pendaftaran Fidusia setelah Jaminan Fidusia didaftarkan oleh Kreditor selaku Penerima Fidusia.
Ketentuan dalam Pasal ini dapat memberi celah bagi Debitor untuk melakukan
Kecurangan,dimana debitor bisa saja menjaminkan kembali benda yang difidusiakan tersebut
selama belum didaftarkan oleh Kreditor kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan tanpa
meminta persetujuan Kreditor.Yang mana Kreditor belum memiliki hak atas Jaminan Fidusia
tersebut, karena belum didaftarkannya Jaminan Fidusia tersebut pada Kantor Pendaftaran
Fidusia, sementara perjanjian pendahulunya (utang-piutang) sudah berjalan; dalam hal jaminan
fidusia ini diberikan sebagai jaminan atas perjanjian utang piutang.

Kemudian, ketentuan Pasal 14 ayat (3) ini juga mengandung kelemahan lainnya, yaitu
dalam hal eksekutorial. Dimana, selama Kreditor belum mendaftarkan Jaminan Fidusia tersebut
di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka hak-hak Kreditor tidak dapat dilaksanakan. Begitupun hak
Kreditor dalam hal eksekutorial karena Jaminan Fidusia tersebut belum dicatatkan. Maka apabila
terjadi cidera janji oleh Debitor atas janji yang disepakati bersama. Kreditor selaku Penerima
Fidusia tidak dapat mengeksekusi barang yang dibebankan atas jaminan fidusia, karena dia
belum memiliki hak tersebut terkait Jaminan Fidusia belum dicatatkan. Hal ini tentu dapat
merugikan Kreditor, kepentingan Kreditor disini tidak terlindungi dengan baik.

Padahal, kewenangan untuk melakukan eksekusi dapat dilakukan Kreditor sepanjang


Debitor telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian. Hal ini merujuk pada Pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mana Pasal tersebut menyatakan,
“Debitor dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan Debitor harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Seharusnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1238
KUH Perdata tersebut, Kreditor berhak melakukan eksekusi terhadap benda yang dibebankan
jaminan dalam hal Debitor melakukan wanprestasi atas perikatan di antara mereka. Namun,
dengan adanya ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, hak Kreditor untuk
mengeksekusi dapat dihalangi atas dasar Kreditor belum mendaftarkan Jaminan Fidusia tersebut,
hingga Jaminan Fidusia belum dicatatkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Karenanya, Kreditor
belum memiliki hak untuk melakukan eksekusi.

Pasal 28
Apabila atas Benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia yang lebih dari 1 (satu)
perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran
Fidusia.

Pasal ini secara implisit menyatakan bahwa atas satu benda dapat dijaminkan lebih dari
satu Jaminan Fidusia, dengan kata lain benda tersebut dapat dijaminkan berkali-kali. Pasal ini
menyebutkan bahwa hak didahulukan akan diberikan kepada Kreditor yang lebih dahulu
mendaftarkan perjanjian Jaminan Fidusianya atas benda yang sama. Sementara untuk dapat dapat
menjaminkan satu benda yang sama, perlu persetujuan Kreditor yang pertama mendaftarkan
Jaminan Fidusia atas benda tersebut.

Pasal ini juga menyiratkan kelemahan. Dimana hak didahulukan ditujukan pada Kreditor
yang lebih dahulu mendaftarkan Jaminan Fidusia nya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, tanpa
memperhatikan perjanjian Jaminan Fidusia mana yang lebih dahulu dibuat oleh Debitur dengan
Kreditor-Kreditornya. Dalam hal ini terjadi kepada Kreditor yang lebih dahulu membuat
perjanjian Jaminan Fidusia tapi ia belum mendaftarkan Jaminan Fidusianya, atau terlambat
mendaftarkan dibanding Kreditor lain walapun ia yang dahulu membuat pernjanjian Jaminan
Fidusia bersama Debitor, maka Kreditor tersebut tidak akan mendapatkan hak untuk didahulukan
seperti yang diamanatkan dalam pasal 27 untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia.

Tidak Ada Upaya Paksa dalam UU Jaminan Fidusia

Pengaturan mengenai eksekusi,diatur dalam Pasal 29 UU Jaminan Fidusia. Pasal tersebut


menyatakan:

(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia;
b. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para
pihak.
(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah
lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan Penerima
Fidusia kepada pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua)
surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada Kreditor untuk melakukan
upaya paksa dalam hal mengambil benda yang menjadi objek jaminan dari penguasaan debitur.
Yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia adalah kewenangan untuk mengeksekusi jaminan fidusia
atas kekuasaan Kreditor dalam hal debitor melakukan wanprestasi atas perikatan di antara
mereka. Hal tersebut tidak termasuk ke dalam kategori upaya paksa apabila debitor tidak mau
menyerahkan benda yang dibebankan dengan jaminan fidusia yang berada dalam penguasaan
debitor.
Padahal, upaya paksa sewaktu-waktu akan diperlukan dalam hal debitor tidak mau
mneyerahkan objek jaminan fidusia atau dalam kondisi-kondisi lain yang memerlukan upaya
paksa dalam melakukan eksekusi atas benda yang dibebankan jaminan fidusia. Selain itu UU
Jaminan Fidusia juga memberikan larangan bagi Kreditur untuk memiliki benda yang menjadi
objek jaminan fidusia.6
Ketentuan ini berlaku, meskipun dalam kondisi debitor melakkukan wanprestasi. Yang
dapat dilakukan oleh Kreditor apabila Debitor melakukan wanprestasi adalah dengan melakukan
eksekusi dengan jalan menjual objek jaminan melalui pelelangan umum atau menjualnya dengan
penjualan di bawah tangan, namun tidak diperkenankan untuk Kreditor memiliki benda yang
menjadi objek jaminan tersebut. Selanjutnya, hasil penjualan benda yang menjadi objek jaminan
tersebut akan diperuntukkan guna melunasi kewajiban debitor. Jika setelah pelunasan masih
terdapat sisa hasil eksekusi objek jaminan, maka sisa hasil eksekusi tersebut wajib dikembalikan
kepada Debitor.

Saran

6
Lihat ketentuan Pasal 33 UU Jaminan Fidusia: “Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia
(kreditur) untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi
hukum.”
Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas ketersediaan
dana, perlu diimbangi dengan adanya regulasi yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai
lembaga jaminan. Jaminan Fidusia adalah salah satu lembaga penjamin yang diatur melalui
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Keberadaan UU Jaminan
Fidusia ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-
pihak yang berkepentingan. Namun dengan adanya beberapa kelemahan dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam batang tubuh undang-undang ini,menjadikan penerapan undang-undang ini
kurang maksimal.
Pemerintah diharapkan dapat memperhatikan celah-celah yang menjadi kelemahan dalam
UU Jaminan Fidusia, dan menyediakan solusi atas hal tersebut, sehingga kepentingan debitor dan
kreditor dapat tetap terlindungi. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat
pula melakukan revisi terhadap undang-undang ini agar dapat menampung dan memenuhi
kebutuhan akan hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman dan teknologi yang
semakin maju.

Das könnte Ihnen auch gefallen