Sie sind auf Seite 1von 25

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI

KAJIAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PADA IBU HAMIL

Dosen Pendamping : Ibu Lia Kurniasari, S.KM., M.Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 1 (Epidemiologi)

Dessy Amelia Mulyana (17111024130165)

M. Fatur Rahim (17111024130200)

Nina Oktavia (17111024130212)

Nurhayati (17111024130219)

Nurul Mukhlisa (17111024130220)

Parizkia Anggri Wahyuni (17111024130221)

Silvia Faronika Alimasita (17111024130246)

Sri Ayuningsih (17111024130250)


PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

TAHUN AJARAN 2018-2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas karunia,
rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan makalah ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada kedua orangtua kami, dosen pendamping dan teman-teman yang
telah mendukung dalam penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dalam mengkaji pencegahan HIV dan IMS pada wanita
hamil. .Penulisan makalah ini merupakan salah satu untuk melengkapi tugas
mata kuliah Epidemiologi Kesehatan Reproduksi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat memberi
manfaat kepada semua orang.
Samarinda, 18 Mei 2019

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang......................................................................................................................

B. Rumusan Masalah ...............................................................................................................

C. Tujuan ......................................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................

A. Definisi HIV ............................................................................................................................

B. Etiologi HIV............................................................................................................................

C. Faktor Risiko HIV ................................................................................................................

D. Manifestasi Klinis HIV .......................................................................................................

E. Dampak AIDS dalam Kehamilan................................................................................. 5

F. Epidemiologi HIV ............................................................................................................. 6

G. Patogenesis HIV ................................................................................................................ 7

H. Pencegahan HIV ................................................................................................................ 8


I. Kajian Program HIV......................................................................................................... 8

J. Definisi IMS......................................................................................................................... 9

K. Etiologi IMS......................................................................................................................... 9

L. Tanda dan Gejala IMS ................................................................................................... 10

M. Epidemiologi IMS ........................................................................................................... 11

N. Patogenesis IMS

O. Pencegahan IMS

P. Kajian Program IMS

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................................ 1

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibu hamil merupakan kelompok berisiko tertular HIV. Jumlah ibu


hamil yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat,
seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan
seks yang tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan
seksualnya yang akan berdampak pada bayi yang dikandung ibu hamil
sebab penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai
penularan HIV, HIV yang ditularkan dari ibu ke anaknya disebut "Mother
to Child HIV Transmission (MTCT)". Penularan HIV dari ibu ke bayi
mencapai hingga 90% kasus (WHO and USAIDS, 2011).

Laporan Epidemi HIV (Human Immunodeficency Virus) Global


UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) 2012 menunjukkan
bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak
50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang
dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta
orang dengan HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom).
Menurut Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional SEARO (2011) sekitar
1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV.

Di Indonesia HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada kasus bayi


tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada tahun 1996 di
Jakarta dari seorang ibu dengan HIV yang mendapat pendampingan dari
Yayasan Pelita Ilmu (YPI) dan melahirkan anaknya di Rumah Sakit (RS)
Cipto Mangukusumo, Jakarta (Yayasan Pelita Ilmu, 2009). Penularan HIV
dari ibu ke bayi saat ini bertambah terus seiring meningkatnya
perempuan terinfeksi HIV. Laporan Triwulan Direktorat Jenderal
Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PP dan
PL) Kemenkees RI bulan Juni 2011 menunjukkan jumlah kasus Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan faktor resiko transmisi
perinatal (dari ibu dengan HIV ke bayinya) sebanyak 742 kasus
(Kemenkes RI, 2011). Angka ini menunjukkan peningkatan dua kali lipat
lebih tinggi dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang hanya 351 kasus.
Kenaikan kasus HIV pada bayi ini terjadi seiring dengan kenaikan kasus
AIDS pada perempuan, yakni dari 20% pada tahun 2007, 25% pada
tahun 2008, menjadi 27% pada tahun 2011 dan 58% pada tahun 2014
(Kemenkes RI, 2014) Meningkatnya proporsi kasus AIDS pada
perempuan ini menunjukkan epidemi di Indonesia makin meningkat dan
dipastikan akan meningkatkan jumlah bayi terinfeksi HIV di masyarakat.
Sedangkan Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit-penyakit yang
timbul atau ditularkan atau melalui hubungan seksual dengan
manifestasi klinis berupa timbulnya kelainan-kelainan terutama pada
alat kelamin. Kegagalan deteksi dini IMS dapat menimbulkan berbagai
komplikasi misalnya kehamilan di luar kandungan, kanker anogenital,
infeksi pada bayi yang baru lahir atau infeksi pada kehamilan. Pada
prakteknya banyak IMS yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik),
sehingga mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini.

Infeksi menular seksual merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang menonjol di sebagian besar wilayah dunia. Penyakit IMS
merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara
berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap
infeksi HIV. Cara penularan penyakit IMS yaitu melalui hubungan seksual
dan diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko
mencapai HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual
dan tidak konsisten menggunakan kondom (Badan Narkotika Nasional,
2004).

Program penanggulangan IMS, Human Imunodeficiency Virus


(HIV) dan Acquired Imuno Deficiency Syndrome (AIDS) telah berjalan di
Indonesia kurang lebih selama 20 tahun sejak ditemukannya kasus AIDS
yang pertama pada 1987. Hingga kini program penanggulangan telah
berkembang pesat meliputi pencegahan hingga pengobatan, perawatan
dan dukungan. Perkembangan program ini menunjukkan pula
pemahaman yang lebih baik para penyelenggara dan pelaksana program
terhadap persoalan IMS, HIV dan AIDS serta berkembangnya ragam,
besaran dan percepatan respon untuk mengatasinya (Depkes RI, 2009).

World Health Organisation (WHO) memperkirakan setiap tahun


terdapat 350 juta penderita baru penyakit IMS di negara berkembang
seperti Afrika, Asia, Asia Tenggara, Amerika Latin. Di negara industry
prevalensinya sudah dapat diturunkan, namun di negara berkembang
prevalensinya masih tinggi. 3 Indonesia adalah salah satu negara
berkembang dengan prevalensi penderita IMS masih sangat tinggi yaitu
berkisar antara 7,4% - 50% (Yuwono, 2007).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi HIV dan IMS ?

2. Apakah Penyebab HIV dan IMS ?

3. Tanda dan Gejala

4. Epidemiologi

5. Patogenesis

6. Pencegahan

7. Kajian Program

8. Definisi IMS

9. Etiologi

10. Tanda dan Gejala

11. Epidemiologi

12. Patogenesis

13. Pencegahan

14. Kajian Program

C. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan


RNA yang spesifik menyerang sistem imun atau kekebalan tubuh
manusia. Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi
HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan
timbulnya AIDS. Sedangkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
adalah sekumpulan gejala atau tanda klinis pada pengidap HIV akibat
infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan sistem imun.
Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat
disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat
menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran cerna atau usus,
paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin terjadi.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi


AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV).
Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung
pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan
demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe yaitu : rapid progressor
berlangsung 2-5 tahun, average progressor berlangsung 7-15 tahun, dan
slow progressor lebih dari 15 tahun.

B. Etiologi HIV

1. Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks


(pelecehan seksual).

2. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.

3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian


memakai alat suntik.

4. Individu yang terkena cairan semen atau cairan vagian sewaktu


berhubungan kelamin dengan orang yang terinfeksi HIV.

5. Orang yang melakukan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi


HIV (WHO, 2003).

C. Faktor Risiko HIV

Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan


HIV dari ibu ke bayi:

1. Faktor ibu dan bayi

a) Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di
darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV
di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau
dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan
cepat sekali bertambah di tubuh seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar
HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Status
kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai
risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4
kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama
kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko
terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika
ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi
lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan
bertambah jika terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta
adanya masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka di puting
payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan menjadi
meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui
bayinya.
b) Faktor bayi antara lain:
1) bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir
rendah,
2) melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama
bayi, dan
3) bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.
2. Faktor Cara Penularan
a. Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan
darah bayi.
b. Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.
c. Persalinan yang berlangsung lama.
d. Ketuban pecah lebih dari 4 jam.
e. Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum
atau forceps, dan tindakan episiotomi
f. Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran
daripada ASI.

Masa kehamilan Masa persalinan Masa menyusui

Ibu baru terifeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV

Ibu memiliki infeksi Ibu mengalami pecah Ibu memberikan ASI


virus, bakteri, parasit. ketuban lebih dari 4 jam dalam periode yang lama.
sebelum persalinan.

Ibu memiliki infeksi Terdapat tindakan medis Ibu memberikan


menular seksual. yang dapat meningkatkan makanan campuran
kontak dengan darah ibu (mixed feeding) untuk
atau cairan tubuh ibu bayi.
(seperti penggunaan
elektroda pada kepala
janin, penggunaan vakum
atau forceps, dan
episiotomi.

Ibu menderita Bayi merupakan janin Ibu memiliki masalah


kekurangan gizi. pertama dari suatu pada payudara, seperti
kehamilan ganda (karena mastitis, abses, luka di
lebih dekat dengan leher puting payudara.
rahim/serviks)

Ibu memiliki Bayi memiliki luka di


korioamniositis (dan IMS mulut.
yang tak diobati atau
infeksi lainnya).

D. Manifestasi Klinis HIV

1. Gejala Konstitusi

Sering disebut sebagai AIDS related complex, dimana


penderita mengalami paling sedikit 2 gejala klinis yang menetap
yaitu:
a) Demam terus menerus >37,5°C.
b) Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c) Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar
getah bening di luar daerah inguinal.
d) Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e) Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus.

2. Gejala Neurologis
Gejala neurologis yang beranekaragam seperti kelemahan
otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,
halusinasi, mudah lupa, psikosis, dan sampai koma.

3. Gejala infeksi oportunistik


Gejala infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya
tahan tubuh penderita sudah sangat lemah sehingga tidak mampu
melawan infeksi bahkan terhadap patogen yang normal pada tubuh
manusia. Infeksi yang paling sering ditemukan, yaitu Pneumocystic
carinii pneumonia (PCP), Tuberkulosis, Toksoplasmosis, infeksi
mukokutan (seperti herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasis
adalah yang paling sering ditemukan).
4. Gejala tumor, yang paling sering ditemukan adalah Sarcoma kaposis
dan Limfoma maligna non-Hodgkin.
E. Dampak AIDS dalam Kehamilan HIV

1. Efek Kehamilan Pada AIDS

Kadar plasma HIV dan sel CD4 merupakan penanda beratnya


penyakit. Kadar rata-rata CD4 pada orang dewasa sehat 00-1.500
sel/ìL Pada semua wanita hamil kadar CD4 menurun 543±169 sel/ìL
tetapi tidak menggambarkan terinfeksi atau tidaknya wanita tersebut
oleh HIV. Kehamilan tidak dihubungkan dengan beratnya AIDS.

2. Efek AIDS Pada Kehamilan

Infeksi HIV meningkatkan insidensi gangguan pertumbuhan


janin dan persalinan prematur pada wanita dengan penurunan kadar
CD4 dan penyakit yang lanjut. Tidak ditemukan hubungan kelainan
kongenital dengan infeksi HIV

F. Epidemiologi HIV

G. Patogenesis HIV

H. Pencegahan HIV

I. Kajian Program HIV

1. Program Pengobatan dengan Antiretrovirus / Highly Active


Antiretroviral Therapy (HAART)

Program ini diharapkan mampu menghambat progresivitas


infeksi HIV menjadi AIDS dan penularannya terhadap orang lain serta
janin pada wanita hamil. HAART menunjukkan adanya penurunan
jumlah pendeerita HIV yang dirawat, penurunan angka kematian,
penurunan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup
penderita. HAART dapat memperbaiki fungsi imunitas tetapi
tidak dapat kembali normal.

Sedangkan penggunaan HAART untuk wanita hamil


adalah dengan menggunakan AZT (aziditomidin) atau ZDV
(zidovudin). Penggunaan regimen AZT pada wanita hamil dibagi
atas 3 bagian yaitu wanita hamil dengan HIV positif, dengan
pengobatan pada usia kehamilan 14-34 minggu dengan dosis 100 mg,
5x sehari atau 200 mg 3x sehari atau 300 mg 2 x sehari pada saat
persalinan. AZT diberikan secara intravena dosis inisial 2 mg/kgBB
dalam 1 jam dan dilanjutkan 1 mg/kgBB per jam sampai partus,
terhadapa bayi diberikan AZT dengan dosis 2 mg/kgBB per oral atau
1,5 mg/kgBB secara IV tiap 6 jam sampai usianya 4 minggu.
Penggunaan AZT berdasarkan pada beberapa kondisi yaitu :

a. Jenis Persalinan

Wanita hamil dengan viral load < 50 kopi/mL saat


pemberian HAART pada usia kehamilan 36 minggu dianjurkan
melahirkan pervaginam.

Keadaan ini tidak dianjurkan pada riwayat operasi


dinding rahim, adanya kontraindikasi melahirkan pervaginam,
infeksi genitalia berulang, dan diprediksi persalinannya akan
berlangsung lama.
E. Definisi IMS

IMS (Infeksi Menular Seksual) merupakan infeksi yang ditularkan


melalui hubungan seksual yang lebih dikenal dengan penyakit kelamin.
Semua tekhnik hubungan seks lewat vagina, dubur atau mulut dapat
menjadi tempat penularan penyakit kelamin tersebut.
IMS (Infeksi Menular Seksual) adalah suatu penyakit infeksi yang
kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual (oral, anal, atau lewat
vagina), selain itu juga dapat ditularkan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat
berupa jamur, virus dan parasite (Widyastuti, 2009).
IMS (Infeksi Menular Seksual) dapat menimbulkan dampak yang
serius pada kehamilan berupa kehamilan ektopik, aborsi spontan,
kematian janin dalam rahim, prematuritas, infeksi kongenital dan
perinatal serta infeksi puerperal pada ibu.

F. Etiologi IMS

IMS (Infeksi Menular Seksual) disebabkan oleh lebih dari 30


bakteri, virus, parasit, jamur yang berbeda-beda, dimana dapat
disebarkan melalui kontak seksual dan kebanyakan infeksi ini bersifat
asimtomatik atau tidak menunjukkan gejalanya sama sekali.

Penyebab IMS (Infeksi Menular Seksual) diantaranya adalah


bakteri (misalnya gonore dan sifilis), jamur, virus (misalnya herpes dan
HIV) atau parasit (misalnya kutu), penyakit ini dapat menyerang pria
maupun wanita (UNESCO, 2012).

Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kejadian IMS


(Infeksi Menular Seksual) antara lain dari faktor internal yang meliputi
umur, pendidikan, pengetahuan tentang IMS (Infeksi Menular Seksual),
status pernikahan, pekerjaan sebagai pekerja seks komersial, individu
yang berisiko tinggi adalah individu yang sering berganti pasangan
seksual dan tidak melakukan hubungan seksual dengan kondom
(Najmah, 2016).

Perempuan hamil lebih rentan menderita IMS (Infeksi Menular


Seksual) akibat perubahan-perubahan yang terjadi selama kehamilan,
baik perubahan dalam respon imun, hormonal maupun anatomis yang
dapat mengubah manifestasi klinis IMS (Infeksi Menular Seksual) serta
menimbulkan masalah tersendiri dalam diagnosis dan
penatalaksanaannya.
Berdasarkan pedoman Nasional penanganan Infeksi Menular
Seksual 20011, ada 5 jenis IMS yang ditimbulkan berdasarkan patogen
penyebabnya, yaitu:

1. Infeksi bakteri
a. Gonore
1) Penyebab : Neisseria gonorrhoeae
2) Patogenesis : setelah melekat, berpenetrasi ke dalam sel
epitel dan melalui jaringan subepitel dimana gonokokus ini
terpajan ke sistem imun (serum, komplemen, imunoglobulin
A(IgA),dll), dan di fagositosis oleh neutrofil. Virulensi
bergantung pada apakah gonokokus mudah melekat dan
berpenetrasi ke dalam sel penjamu, begitu pula resistensi
terhadap serum, fagositosis, dan pemusnahan intraseluler
oleh polimorfonukleosit. Faktor yang mendukug virulensi ini
adalah pili, protein membran bagian luar,lipopolisakarida,
dan protease IgA.
3) Manifestasi Klinis : gejala infeksi muncul 1 sampai 14 hari
setelah terpapar, meskipun ada kemungkinan terinfeksi
gonore namun tidak memiliki gejala. Diperkirakan hampir
setengah wanita yang terinnfeksi gonore tidak merasakan
gejala, atau memiliki gejala non spesifik (Irianto, 2014).
Pada pria misalnya rasa panas selama buang air kemih
dan keluarnya nanah dari penis (uretra). Sedangkan pada
wanita misalnya cairan putih keluar dari vagina, rasa nyeri di
bagian perut, namun pada wanita gonore seringkali tidak
menampilkan gejala-gejala.
4) Pemeriksaan diagnostik : diagnosis ditegakkan melalui
identifikasi organisme. Pewarnaan Gram sekret uretra positif
pada 95% pria dan pewarnaan Gram sekret endoserviks
positif pada 60% wanita. Kultur penting pada wanita
termasuk kultur rektal dan orofaring. Konfirmasi identitas
dapat dibuat dengan fermentasi gula atau perangkat deteksi
antigen spesifik N. Gonorrhoeae. Tes hibridisasi atau
amplifikasi asam nukleat merupakan tes nonkultur yang
berguna untuk screening.
5) Terapi : terapi dosis tunggal dengan siprofloksasin oral atau
seftriakson IM, atau amoksisilin oral (dosis tinggi 3 g) pada
daerah dengan resistensi penisilin rendah atau pada
kehamilan.

b. Klamidia
1) Penyebab : Chlamydia trachomatis
2) Patogenesis : dibagi menjadi 2 fase yaitu fase I dan II. Pada
fase I (fase noninfeksiosa) ini terjadi keadaan laten yang
dapat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada
fase ini kuman bersifat intraselular dan berada di dalam
vakuol yang letaknya melekat pada inti sel hospes (badan
inklusi). Selanjutnya pada fase II (fase penularan) jika vakuol
pecah, kuman menyebar keluar dalam bentuk badan
elementer yang dapat menmbulkan infeksi pada sel hospes
yang baru.
3) Manifestasi klinis : gejala dimulai dalam waktu 5 sampai 10
hari setelah paparan infeksi. Gejala pada wanita seperti sakit
perut, keputihan abnormal, perdarahan diluar menstruasi,
demam ringan, hubungan sek menyakitkan, nyeri dan rasa
terbakar saat kencing, pembengkakan di dalam vagina atau di
sekitar anus, ingin buang air kecil melebihi biasanya,
perdarahan vagina setelah berhubungan, keluarnya cairan
kekuningan dari leher rahim yang mungkin memiliki bau
yang kuat. Sedangkan gejala pada pria seperti nyeri atau rasa
terbakar saat kencing, cairan bernanah atau susu dari penis,
testis bengkak atau lembek, pembengkakan di sekitar anus.
Selain gejala diatas, klamidia yang menginfeksi mata dapat
menimbulkan kemerahan, gatal dan tahi mata. Sedangkan
klamidia yang menginfeksi tenggorokan dapat menyebabkan
rasa sakit.
4) Pemeriksaan diagnostik : PCR swab genital (vagina, serviks,
atau anus) atau urin
5) Terapi : doksisiklin selama 7 hari atau azitromisin dosis
tunggal.
c. Limfogranuloma Venereum
1) Penyebab : Chlamydia trachomatis (galur L1-L3)
2) Patogenesis : Chlamydia trachomatis tidak dapat menembus
kulit atau selaput lendir yang utuh, tetapi memperoleh akses
melalui abrasi atau laserasi minor. Lesi primer adalah ulkus
atau vesikel herpetiformis kecil yang tidak nyeri, biasanya di
dinding vagina posterior. Lesi menetap hanya beberapa hari
dan sembuh tanpa jaringan parut. Infeksi kemudian menjalar
melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional.
Kelenjar tersebut membesar dan membentuk massa yang
sangat nyeri kemudian menjadi abses. Kemudian cairan abses
keluar melalui kulit dan dapat terbentuk saluran-saluran
sinus. Infeksi ini berlangsung beberapa minggu sampai
berbulan-bulan dan dapat cukup parah sehingga
menyebabkan obstruksi saluran limfe dan edema kronik.
3) Manifestasi klinis : lesi primer di dinding vagina posterior,
limfadenopati inguinalis unilateral yang nyeri, proktokolitis,
peradangan pada jaringan limfe perirektum, fistula dan
struktur.
4) Pemeriksaan diagnostik : tes frei dan tes ikatan komplemen.
5) Terapi : sulfametoksazol 2 x 400 mg dan trimetroprim 2 x 80
mg, kurang lebih selama 1-5 minggu tergantung berat ringan
penyakit dengan dosis sehari 2x. Selain itu sulfa dengan dosis
3 x 1 gr sehari atau tetrasiklin 3 x 500 mg sehari.

G. Tanda dan Gejala IMS

Pada laki-laki dikenal sebagai kencing nanah, dengan gejala


keluar cairan kental berwarna kekuningan dari alat kelamin, nyeri di
perut bagian bawah.
Pada perempuan sering tanpa gejala. Komplikasi yang mungkin
terjadi diantaranya radang panggul pada perempuan, kemungkinan
terjadi kemandulan baik pada perempuan atau laki-laki, infeksi mata
pada bayi baru lahir yang dapat menyebabkan kebutaan, kehamilan
ektopik (di luar kandungan) dan memudahkan penularan infeksi HIV
(Dailli, 2009),

H. Epidemiologi IMS

Prevalensi IMS (Infeksi Menular Seksual) di negara sedang


berkembang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju. Di
Indonesia sendiri angka kejadian IMS pada perempuan hamil sangat
terbatas. Pada perempuan hamil pengunjung Puskesmas Merak Jawa
Barat 1994, sebanyak 58% menderita ISR. Sebanyak 29,5% adalah infeksi
genital nonspesifik, kemudian 10,2% vaginosis bacterial, kandidosis
vaginalis 9,1%, gonore bersama trikomoniasis sebanyak 1,1% (Sarwono,
2012).
Kasus IMS (Infeksi Menular Seksual) meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini ditunjukkan oleh data WHO (2013) bahwa telah terjadi
penularan IMS lebih dari satu juta orang setiap harinya, dan diperkirakan
sekitar 500 juta orang per tahun telah terinfeksi IMS (Infeksi Menular
Seksual) seperti sifilis, gonore, klamidia dan trichomoniasis.
Di Indonesia jumlah kasus IMS (Infeksi Menular Seksual)
terbanyak berupa cairan vagina abnormal (klinis) 20.962 jiwa dan
servicitis (lab) 33.025 jiwa. IMS (Infeksi Menular Seksual) merupakan
salah satu pintu ,asil atau tanda-tanda adanya HIV (Kemenkes, 2013).

I. Patogenesis IMS

J. Pencegahan IMS

Pencegahan IMS (Infeksi Menular Seksual) terdiri dari dua


bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan
primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan
penggunan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan
menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah
terinfeksi oleh IMS (Infeksi Menular Seksual). Pencegahan sekunder bisa
dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk IMS
(Infeksi Menular Seksual), pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien
serta pemberian dukungan dan koseling tentang IMS dan HIV (WHO,
2006).

K. Kajian Program IMS

Kementrian Kesehatan melakukan pemantauan dan upayah


penanggulangan penyakit melalu kegiatan surveilans. Hal tersebut,
tertuang dalam kepmenkes No1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang
pedoman penyelenggaraan sistem surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Surveilans epidemiologi meliputi penyakit menular dan tidak menular
termasuk di dalam surveilans penyakit menular seksual. Surveilans IMS
merupakan pemantauan melalui pengumpulan data secara terus
menerus dan sistematis unntuk memberikan gambaran epidemiologi
penyakit IMS dan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
penyakit tersebut. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis
untuk menghasilkan informasi epidemiologi yang digunakan untuk
kegiatan penanggulangan masalah IMS(Hargono & dkk, 2012).
Tujuan surveilans IMS pada dasarnya adalah surveilans pada
kelompok berisiko, namun perlu juga dikembangkan pada kelompok
yang rentan (ibu rumah tangga). Salah satu variabel yang dapat
meningkatkan risiko penularan HIV dan AIDS adalah kejadian IMS.
Infeksi menularr seksual atau IMS memerlukan pengamatan atau deteksi
dini yang terus-menerus karena merupakan ssalah satu pintu yang
memudahkan terjadinya penularan HIV. Namun hingga kini data IMS
pada kelompok risiko rendah atau ibu rumah tangga belum tersedia.
(Hargono & dkk, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Krismi, Arum dkk. 2015. Infeksi Menular Seksual Multipel pada Perempuan
Hamil Trimester Kedua (Laporan Kasus). Berkala Ilmiah Kedokteran
Duta Wacana. Vol. 1, No. 1. Hal: 42-49,

Ningsih, Inka Kartika, Sari Hastuti. 2018. Kajian pencegahan penularan hiv
dari ibu ke anak pada antenatal care oleh bidan praktik mandiri di
yogyakarta. Jurnal administrasi kesehatan indonesia volume 6 nomor 1
januari-juni

Puspita, Linda. 2017. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Infeksi Menular Seksual pada Wanita Pekerja Seksual. Jurnal Ilmu
Kesehatan. Vol. 2, No.1. Hal: 31-44.
Tuntun, Maria. 2018. Faktor Risiko Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS).
Jurnal Kesehatan. Vol. 9, No. 3. Hal: 419-426.

Das könnte Ihnen auch gefallen