Sie sind auf Seite 1von 21

MODUL UTAMA

OTOLOGI

MODUL I.X
INJEKSI KORTIKOSTEROID
INTRATIMPANIK PADA SSNHL

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 4
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 4
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 5
I. EVALUASI .......................................................................................... 5
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 6
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 6
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 9
M. MATERI BAKU .................................................................................... 10

1
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

A. WAKTU

Mengembangkan kompetensi Hari :


Sesi di dalam Kelas 2 X 60 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 2 X 60 menit (coaching session)
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4 x 60 menit (fasilitation and
assessment)

B. PERSIAPAN SESI

• Materi presentasi: : injeksi kortikosteroid intra timpani


o LCD 1 : definisi dan kekerapan SSNHL
o LCD 2 : anatomi telinga dan organ koklea
o LCD 3 : etiologi SSNHL
o LCD 4 : Patogenesis SSNHL
o LCD 5 : diagnosis dan penatalaksanaan SSNHL secara umum
o LCD 6 : Penatalaksanaan SSNHL dg injeksi kortikosteroid intra timpani
o LCD 7 : follow up pasca injeksi
o LCD 8 : prognosis

• Kasus : pasien SSNHL


• Sarana dan Alat Bantu Latih :
o pasien
o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): poliklinik THT.

C. REFERENSI

1. Hashiaki. Sudden Sensory Hearing Loss in Bailey’s: Otolaryngology Head


and Neck Surgery. 4th edition. Philadelphia. Lippincott Williams and
Wilkins;2006: p.2231-5.
2. Art H.A. Sudden Sensorineural Hearing Loss in Cummings, Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th edition. Philadelphia. Mosby
Inc;2005: p. 409-13.

2
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

3. Stachler, Chandrasekhar, Archer, Rosenfeld, Scwartz. Clinical Practice


Guideline: Sudden Hearing Loss. America Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Sage Publication;2012: p.1-36.
4. Ng Hui Jia, Ho Man Chun. Intratympanic Steroid As a Salvage Treatment
for Sudden Sensorineural Hearing Loss? A Meta-analysis. Singapore.
European of Archives Oto-Rhino-Laryngology;2014: p.22-34.
5. Wei PC Benjamin, D Stathopoulus. Steroids for Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss (Review). Cochrane Ear, Nose and Throat
Disorders Group. John Wiley and Sons;2013: p.1-45.
6. HJ Lim, YT Kim, SJ Choi, Lee JB. Efficacy of 3 different steroid
treatments for sudden sensorineural hearing loss: a prospective,
randomized trial. Korea. Otolaryngol Head Neck Surg;2013: p.121-7.

7. Penido, Cruz, Zanoni, Inoue. Classification and Hearing Evolution of


Patients With Sudden Sensorineural Hearing Loss. Brazil. Brazilian
Journal of Medical and Biological Research;2009: p.712-16
8. Enache, Sarafoleanu. Prognostic in Factors in Sudden Hearing Loss.
Romania. Journal Medical and Life;2008: p.343-7.
9. Wilson WR, Byl, Laird. The Efficacy of Steroids in The Treatment of
Idiopathic Sudden Hearing Loss. A double-blind clinical study. Arch
Otolaryngol;1980: p.772–6.
10. Alexander TH, Weisman MH, Derebery JM, Et Al. Safety Of High-Dose
Corticosteroids For The Treatment Of Autoimmune Inner Ear Disease.
Otol Neurotol;2009: p.443-8.
11. Parnes, Sun, Freeman Dj. Corticosteroid Pharmacokinetics In The Inner
Ear Fluids: An Animal Study Followed By Clinical Application.
Laryngoscope; 1999: p.1–17.
12. Zernotti. Intratympanic Dexamethasone as Therapeutic Option in Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Acta Otorinolaringol Esp:2008: p.99-103.
13. Raymundo. Intratympanic Methylprednisolone Rescue Therapy in Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Brazillian Journal of
Otorhinolaryngology;2010: p.499-509.
14. Suzuki Hideaki. Hashida K. Efficacy of Intratympanic Steroid
Administration on Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss in

3
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

D. KOMPETENSI

Memahami cara kerja kortikosteroid lokal intratimpani, indikasi, manfaat, saat


paling tepat untuk melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani, prosedur dan
tehnik melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani, berapa kali dilakukan, risiko
serta efek samping injeksi kortikosteroid intra timpani. Mampu melakukan
injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan cara kerja kortikosteroid lokal intra timpani pada kasus SSNHL
2. Menjelaskan indikasi injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL
3. Menjelaskan manfaat injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL
4. Menjelaskan saat yang paling tepat untuk melakukan injeksi kortikosteroid
intratimpani
5. Menjelaskan prosedur dan tehnik injeksi kortikosteroid intra timpani
6. Menjelaskan berapa kali dilakukan injeksi kortikosteroid intra timpani pada
kasus SSNHL
7. Menjelaskan risiko dan efek samping injeksi kortikosteroid intra timpani pada
kasus SSNHL
8. Melakukan injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL

E. GAMBARAN UMUM

Tuli sensorineural mendadak atau sudden sensorineural hearing loss


(SSNHL) adalah tuli sensorineural yang terjadi mendadak bersifat progresif.
Sebagian besar terjadi unilateral namun juga bisa bilateral. Berdasarkan data
survei Nasional kesehatan indera pendengaran (1994-1996) menunjukkan
prevalensi SSNHL adalah 0,2 %. Sebagian besar penyebabnya adalah idiopatik
sehingga penatalaksanaanan SSNHL dilakukan secara empiris. Sampai saat ini
belum ada protokol terapi baku untuk penatalaksanaan SSNHL. Biasanya
dipakai kortikosteroid oral sbg pilihan pengobatan SSNHL. Penggunaan
kortikosteroid intra timpani dapat sebagai alternartif khususnya pada kasus
dimana terapi sistemik gagal atau untuk menghindari efek samping pengguanaaan
kortkosteroid sistemik seperti pada pasien diabetes dan hipertensi yang tidak
terkontrol. Berdasarkan pertimbangan tsb diatas diharapkan para dokter THT
4
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

mengetahui pengertian tentang indikasi, manfaat, saat paling tepat untuk


melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani, prosedur dan teknik melakukan
injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL, mengetahui jumlah
melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL, mengetahui
risiko serta efek samping injeksi kortikosteroid intratimpani dan mampu
melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL.

F. CONTOH KASUS

Seorang perempuan usia 51 th mengeluh penurunan pendengaran pada telinga


kiri sejak 5 hari yang lalu mendadak. Selain itu juga disertai telinga mendenging
dan rasa pusing berputar ringan Riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis
disangkal. Penderita sudah mendapatkan terapi medikamentosa dan hiperbarik
tapi tidak ada perubahan sehingga diputuskan untuk dilakukan injeksi
kortikosteroid intra timpani

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
keterampilan yang diperlukan dalam melakukan injeksi kortikosteroid intra
timpani pada kasus SSNHL
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Interactive lecture
• Small group discussion.
• Peer assisted learning (PAL).
• Mengetahui cara kerja kortikosteroid lokal intratimpani pada kasus SSNHL
• Mengetahui pengertian tentang indikasi, manfaat, saat paling tepat untuk
melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani
• Mengetahui prosedur dan teknik melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani
pada kasus SSNHL
• Mengetahui berapa kali melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada
kasus SSNHL
• Mengetahui risiko serta efek samping injeksi kortikosteroid intratimpani
• Mampu melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL
5
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

• Mampu melakukan follow up pasca injeksi kortikosteroid intra timpani

H. METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1 : Menjelaskan cara kerja kortikosteroid lokal intra timpani


• Interactive lecture
• Journal reading and review.
• Task based medical education.

Tujuan 2. Mampu menjelaskan indikasi, manfaat, saat paling tepat


melakukan injeksi kortikosteroid intra timpani, berapa kali
dilakukan, risiko serta efek samping
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut
ini:
• Interactive lecture
• Journal reading and review.
• Peer assisted learning (PAL).
• Task based medical education.

Tujuan 3. Mampu melakukan sesuai prosedur dan tehnik melakukan


injeksi kortikosteroid intra timpani pada SSNHL
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut
ini:
• Bed side teaching
• Direct observational procedure(DOPS).

Tujuan 4. Mampu menjelaskan bagaimana melakukan follow up pasca


tindakan
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut
ini:
• Interactive lecture
• Journal reading and review.
• Bedside teaching
• Direct observational procedure (DOPS)

6
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosa
- Teknik tindakan
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator
untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal
yang berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh
pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk “role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada
SP (Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang
oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation)
setelah dianggap memadai, melalui metode bedside teaching dibawah
pengawasan fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun belajar
kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan
diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada
saat pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung (direct
observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
1. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar.
7
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

2. Pendidik/ fasilitas :
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form
(terlampir)
- Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
3. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
4. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh
kolegium I. THT
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.bedah lanjut oleh kolegium ilmu THT.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh
kolegium ilmu THT.

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

Kuesioner meliputi :

1. Sebelum pembelajaran
Soal :
Jawaban :
2. Tengah pembelajaran
Soal :
Jawaban :

3. Akhir pembelajaran
Soal :
Jawaban :

8
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRA TIMPANIK

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF


• Nama
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN ALAT DAN BAHAN SEBELUM TINDAKAN
- Alat : mikroskop otologi, kupet seril berisikan pisau parasintesa, needle
G25, aligator, spekulum telinga ukuran besar dan sedang, wing needle,
bola-bola kapas kecil, pinset telinga, spuite 1 ml, kanul suction mikro
untuk telinga ,handschoen steril 1 pasang, gaas steril, doek steril
- Bahan : dexametason injeksi 1 ampul 5mg/ml, lidokain-adrenalin
1:200.000(pehacain inj amp), alkohol 70 %
III. PERSIAPAN PASIEN
- Pasien tidur di bed dg posisi kepala menoleh ke arah telinga yg sehat
sebesar 45 derajat, supinasi dipertahankan selama 30 menit

9
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

KEGIATAN KASUS
- Posisikan mikroskop serta magnifikasinya sehingga dapat mengevaluasi
membran timpani dg baik
IV. PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRA TIMPANI
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Dapat melihat membran timpani dengan baik dg menggunakan
mikroskop
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas aplikator dan alkohol
70 %
- Bola kapas kecil diberi larutan pehacain kemudian ditempelkan di
permukaan luar membran timpani, didiamkan selama 15 menit
selanjutkan bola kapas di angkat
- Insisi membran timpani di kuadran antero inferior sbg lubang ventilasi
- Needle G 25 di sambungkan dg wing needle
- Obat injeksi Deksametason(10 mg/ml) atau methylprednisolon(30
mg/ml) sebanyak 0,4-0,8 ml disedot dg spuite 1 ml kemudian
disambungkan dg wing needle yg sudah tersambung dg needle G 25
- Selanjutnya dengan aligator telinga, needle G 25 dipegang di bagian
tengah dan di tusukkan pada kuadran postero inferior dan cairan obat
diinjeksikan ke kavum timpani.
- Pasien tetap dalam posisi supinasi dan kepala fleksi 30-45 derajat selamat
15 sd 30 menit
- Selanjutnya dipasang tampon steril kecil di liang telinga dg gaas steril yg
bisa dilepas sendiri oleh pasien di rumah
- Tindakan selesai

PASCA injeksi
- Instruksi pasca tindakan
a. pemberian pentoksifilin 2x400 mg
b. pemberian mecobalamin 3x500 mcq
c. pemberian analgetik kalau perlu
d. rencana injeksi 2 hari sekali sebanyak 7 kali selanjutnya di
audiometri ulang

10
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

L. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

DAFTAR TILIK
PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRATIMPANIK

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang


diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur,
dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak
diperagakan oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: ..........................

KEGIATAN KASUS

I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF


II. PERSIAPAN ALAT DAN BAHAN SEBELUM TINDAKAN
- Alat : mikroskop otologi, kupet seril berisikan pisau parasintesa, needle
G25, aligator, spekulum telinga ukuran besar dan sedang, wing needle,
bola-bola kapas kecil, pinset telinga, spuite 1 ml, kanul suction mikro
untuk telinga ,handschoen steril 1 pasang, gaas steril, doek steril
- Bahan : dexametason injeksi 1 ampul 5mg/ml, lidokain-adrenalin
1:200.000(pehacain inj amp), alkohol 70 %
III. PERSIAPAN PASIEN
- Pasien tidur di bed dg posisi kepala menoleh ke arah telinga yg sehat
sebesar 45 derajat, supinasi dipertahankan selama 30 menit
- Posisikan mikroskop serta magnifikasinya sehingga dapat mengevaluasi
membran timpani dg baik
IV. PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRA TIMPANI
- Tindakan a dan antiseptik
- Anestesi liang telinga

11
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

KEGIATAN KASUS
- Insisi membran timpani di kuadran antero inferior sbg lubang ventilasi
- Needle G 25 di sambungkan dg wing needle
- Penyuntikan obat
- Pasien tetap dalam posisi supinasi dan kepala fleksi 30-45 derajat selamat
15 sd 30 menit
- Selanjutnya dipasang tampon steril kecil di liang telinga dg gaas steril yg
bisa dilepas sendiri oleh pasien di rumah
- Tindakan selesai
V. FOLLOW UP PASCA TINDAKAN

M. MATERI BAKU

Definisi dan Kekerapan

Istilah tuli sensorineural mendadak pertama kali dikemukakan oleh De Klevn


pada tahun 1944. De Klevn memberi definisi tuli sensorineural mendadak
sebagai tuli sensorineural minimal 30 dB yang terjadi secara mendadak dalam
waktu kurang dari 72 jam, minimal terjadi pada tiga frekuensi yang berurutan.
Gangguan pendengaran yang terjadi bervariasi dalam intensitas dan frekuensi.
Tuli sensorineural mendadak merupakan suatu gejala dan biasanya terjadi
unilateral. Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat permanen.1-4,5,9

Insiden tuli sensorineural mendadak 5-20 kasus per 100.000 orang per tahun
Di Amerika setiap tahunnya terdapat 4.000 kasus baru tuli sensorineural
mendadak. Berdasarkan survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran
yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1994-1996 menunjukkan, bahwa
prevalensi tuli sensorineural mendadak sebesar 0,2%. RSUD dr. Soetomo,
Surabaya didapatkan 127 kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun
2005 hingga tahun 2009. Sedangkan di RSAL dr. Ramelan Surabaya terdapat
179 kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun 2005 hingga tahun
2009. Di RSUP Sanglah didapatkan 45 kasus tuli sensorineural mendadak
selama 5 periode Maret 2008 – Maret 2012. Tuli sensorineural mendadak terjadi
pada usia puncak 50-60 tahun dengan distribusi jenis kelamin yang sama antara
12
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

laki-laki dan perempuan. Gejala vestibuler yang sering menyertai adalah tinitus
sebesar 85% dan vertigo tipe vesibuler perifer sebesar 30%.3,5,6

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi tuli sensorineural mendadak sangat bervariasi karena sistem auditori


merupakan sistem yang kompleks dan bergantung pada fungsi yang normal dari
telinga tengah, koklea dan saraf pusat. Selain itu pendengaran juga dipengaruhi
oleh sistem metabolisme, vaskular dan sistem endokrin. Beberapa penyebab tuli
sensorineural mendadak diantaranya adalah infeksi virus seperti labirinitis
kokleovestibularis, meningoensefalitis virus; neoplasma seperti pada neuroma
akustik; ruptur membran koklea yang dapat terjadi karena trauma kepala, paska
stapekdektomi; oklusi vaskular yang terjadi karena trombus atau emboli pada
arteri labirin atau koklea; autoimun dan idiopatik. Penyebab pasti tuli
sensorineural mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus, sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui.5,8,10,11

Patogenesis terjadinya tuli sensorineural mendadak didasarkan pada empat


teori, yaitu: teori ruptur membran koklea, teori infeksi virus, teori oklusi vaskular,
teori autoimun. Teori ruptur membran koklea mengatakan bahwa mekanisme
gangguan fungsi koklea terjadi sebagai akibat adanya distorsi mekanik membran
koklea dan tercampurnya cairan intrakoklea yang akan menyebabkan kerusakan
jaringan dan penurunan potensial endokoklea. Ruptur ini dapat terjadi melalui
jalur eksplosif dan jalur implosif. Sedangkan teori vaskular mengemukakan
bahwa penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak adalah iskemia organ
ujung. Koklea merupakan organ yang sangat sensitif terhadap anoksia, bila terjadi
anoksia selama 60 detik sudah terjadi perubahan potensial listrik endokoklear dan
hilangnya cochlear microphonic. Teori infeksi virus dikemukakan para ahli
karena diduga tuli sensorineural mendadak terjadi karena adanya invasi virus pada
cairan dan atau pada mukosa koklea atau invasi terhadap persarafan koklea
Diasumsikan bahwa virus mencapai telinga dalam melalui peredaran darah.
Selain 6 itu karena reaktivasi virus yang dorman pada jaringan telinga dalam.
Dan terakhir adalah teori autoimun, beberapa penelitian menyebutkan bahwa tuli
senosrineural mendadak pada pasien systemic lupus erythematous atau SLE
menunjukkan adanya fibrosis di koklea, atropi organ Corti dan stria vaskularis
serta degenerasi serabut saraf retrokoklea.1,3,4,5,9,10,12.
13
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

Diagnosis

Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan pada


anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT, audiometri nada murni, pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada anamnesis didapatkan keluhan pasien penurunan
pendengaran secara tiba-tiba, dalam beberapa jam-hari, biasanya unilateral.
Selain itu juga disertai dengan keluhan tinitus dan vertigo tipe vestibuler perifer.
Riwayat penyakit terdahulu perlu ditanyakan terutama penyakit yang dapat
bertindak sebagai faktor resiko serta riwayat penggunaan obat-obatan yang
bersifat ototoksik perlu diketahui.1-3 .

Pada pemeriksaan fisik dan THT untuk kasus tuli sensorineural mendadak
tidak didapatkan kelainan pada kanalis akustikus eksterna dan membran timpani.
Melalui pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi
ke arah telinga yang sehat dan Swabach memendek. Pada pemeriksaan
audiometri nada murni didapatkan kelainan tuli sensorineural derajat ringan
sampai berat baik pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau pada seluruh
frekuensi.

Pemeriksaan penunjang perlu dikerjakan untuk dapat menyingkirkan setiap


kemungkinan penyebab tuli sensorineural mendadak. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan kecurigaan diagnosis seperti
contohnya pemeriksaan darah lengkap, gula darah, profil lipid, faal hemostasis,
Rontgen dada, EKG atau elektrokardiografi. Pemeriksaan penunjang seperti
Gadolinium-enhanced magnetic resonance imaging pada tulang temporal dan
otak dapat dikerjakan pada tuli sensorineural mendadak untuk mendeteksi
kelainan retrokoklea.3 7

Penatalaksanaan
Pengobatan tuli sensorineural mendadak seharusnya diberikan berdasarkan
penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural
mendadak idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.
Kortikosteroid sistemik sering digunakan dalam terapi tuli sensorineural
mendadak dan sering digunakan sebagai terapi awal. Aksi spesifik dari steroid
belum diketahui secara pasti namun bermanfaat pada kasus-kasus infeksi,
14
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

inflamasi dan reaksi imunologik. Pemberian kortikosteroid sistemik disarankan


diberikan segera setelah diagnosis tuli sensorineural mendadak. Periode jendela
pemberian kortikosteroid adalah 2 minggu setelah munculnya keluhan.
Kortikosteroid yang dapat digunakan adalah prednison dengan dosis 1
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 60 mg/hari atau metilprednisolon dengan dosis 48
mg/hari atau deksametason dengan dosis 10 mg/hari. Kortikosteroid diberikan
selama 7-14 hari kemudian dilakukan tappering-off dengan jangka waktu yang
sama. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perbaikan pendengaran akan
nampak hingga 6 minggu setelah onset tuli sensorineural mendadak.3

Wilson dkk13 pada tahun 1980 dalam penelitiannya mengamati dua kelompok
penderita tuli sensoerineural mendadak yang diberikan steroid dan plasebo.
Didapatkan hasil dari pengukuran audiometri pada minggu ke-4 dan bulan ke-3
setelah onset, jumlah penderita yang mengalami perbaikan pendengaran pada
kelompok yang mendapatkan steroid lebih banyak dibandingkan kelompok yang
hanya mendapat plasebo atau 61% berbanding dengan 32%. Efek samping dari
pemberian kortikosteroid sistemik ini adalah peningkatan gula darah,peningkatan
tekanan darah, peningkatan berat badan, insomnia, nyeri ulu hati. Oleh karena
efek samping ini maka pemberian kortikosteroid sistemik ini tidak dapat diberikan
pada penderita diabetes yang tidak terkontrol atau penderita diabetes tergantung
insulin, penderita hipertensi yang tidak stabil, penderita ulkus peptik, penderita
tuberkulosis. Alexander dkk14, 2009 mengemukakan bahwa dosis tinggi steroid,
prednison 30 mg/hari dapat diberikan hingga 22 minggu pada tuli sensorineural
mendadak karena autoimun. 8

Selain kortikosteroid sistemik juga digunakan obat antivirus karena salah satu
penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga karena infeksi virus.
Oleh karena obat ini cenderung tidak memiliki efek samping yang merugikan,
banyak praktisi secara rutin mengobati pasien tuli sensorineural mendadak dengan
obat antivirus. Nechama dkk12, 2003 menyimpulkan bahwa penggunaan asiklovir
sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural mendadak tidak memberikan
dampak pada perbaikan pendengaran. Tucci dkk15, 2000 juga menyimpulkan
bahwa pemberian valsiklovir sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural
mendadak juga tidak didapatkan perbedaan perbaikan pendengaran signifikan.
Conlin dan Parnes16, 2007 dalam meta-analisanya menyimpulkan bahwa tidak

15
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

didapatkan perbedaan signifikan pada penggunaan obat antivirus sebagai terapi


tambahan pada tuli sensorineural mendadak.

Penggunaan karbogen disebutkan juga sebagai salah terapi tuli sensorineural


mendadak. Fisch dkk17 memperlihatkan bahwa pada penderita tuli sensorineural
mendadak terdapat penurunan tekanan oksigen perilimfe sebesar 30% dan dengan
penggunaan carbogen dapat meningkatkan tekanan oksigen perilimfe hingga
175%. Selain karbogen juga terdapat prostaglandin E1 yang berperan dalam
vasodilatasi dan sebagai inhibitor agregasi platelet. Ekstrak ginkgo biloba yang
mengandung flavones dan terpenes berfungsi sebagai anti oksidan. Dan juga
pentoksifilin yang berfungsi meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit,
menurunkan viskositas darah terutama pada kapiler dan memberikan efek anti-
edema, anti-hipoksia. Demikian pula dengan penggunaan dekstran yang mampu
memperbaiki mikrosirkulasi dengan efek anti-trombotiknya. Para ahli juga
menganjurkan untuk tirah baring sempurna selama 2 minggu untuk mengurangi
stres, diit rendah garam dan rendah kolesterol.1,3

Selain terapi medikamentosa juga dikenal terapi oksigen hiperbarik. Terapi


oksigen hiperbarik pada kasus tuli sensorineural mendadak pertama kali
digunakan pada pekerja-pekerja di Jerman dan Perancis pada tahun 1960. Sejak
saat itu banyak studi dilakukan untuk mengamati kegunaan terapi oksigen
hiperbarik pada kasus tuli sensorineural mendadak. Plafki dkk18, 2010 melaporkan
bahwa sebanyak 45% pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik mengalami
keluhan penyesuaian tekanan atau ekualisasi. Stachler dkk3, 2012 melaporkan
bahwa terdapat 91 studi yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik.
Disimpulkan bahwa sekitar 50% penderita mengalami perbaikan yang signifikan
melalui terapi oksigen hiperbarik, rata-rata penderita mendapatkan 5-10 sesi terapi
oksigen hiperbarik. Dan perbaikan pendengaran akan lebih baik bila terapi
oksigen hiperbarik dimulai sebelum 2 minggu setelah onset. Tetapi penggunaaan
terapi oksigen hiperbarik juga memiliki efek samping dan kekurangan, yakni
gangguan pada telinga, sinus paranasal, paru-paru akibat perubahan tekanan,
klaustrofobia, besarnya biaya setiap sesi terapi, waktu yang lama yang dibutuhkan
setiap sesi dan ketersediaan fasilitas oksigen hiperbarik di setiap pusat
kesehatan.3,16

16
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

Kortikosteroid intratimpani
Penggunaan kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli sensorineural
mendadak pertama kali dilakukan oleh Silverstein, 1996. Silverstein melakukan
injeksi kortikosteroid intratimpani pada 8 pasien dengan deksametason sebanyak
3 kali per minggu selama 4 minggu. Dan menyimpulkan terdapat perbaikan
pendengaran rata-rata > 10 dB. Ide dasar penggunaan steroid intratimpani yakni
memberi obat dengan konsentrasi tinggi langsung menuju pada organ target
dengan mengurangi paparan secara sistemik. Penggunaan steroid intratimpani
sebagai terapi primer tanpa steroid sistemik mulanya digunakan pada pasien yang
tidak dapat menggunakan steroid sistemik seperti pasien hipertensi dan diabetes
melitus tidak terkontrol atau tergantung insulin. AAO-HNS 2012 memberikan
rekomendasi pemberian kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli sensorineural
mendadak sebagai terapi awalan maupun sebagai terapi penyelamatan atau
salvage therapy setelah terapi awalan gagal atau terdapat perbaikan pendengaran
yang tidak utuh setelah terapi awalan diberikan.2,3

Penelitian yang dilakukan Parnes dkk20, 1999 menunjukkan kadar steroid di


telinga dalam lebih tinggi pada pemberian dengan jalur intratimpani dibandingkan
pemberian kortikosteroid melalui jalur sistemik. Diperkirakan mekanisme kerja
kortikosteroid pada telinga dalam yaitu meningkatkan 10 mikrovaskularisasi
koklea dan menghalangi respon inflamasi di telinga dalam. Zernotti dkk 21, 2008
melakukan studi kasus retrospektif pada 18 orang pasien dimana semuanya
diberikan terapi injeksi deksametason intratimpani sebanyak 1 ml atau 4 mg/ml
setiap minggu selama tiga minggu. Diperoleh hasil pemulihan pendengaran yang
memuaskan pada 13 pasien atau sebesar 72 % dengan rerata perbaikan sebesar 25
dB. Raymundo dkk 22, 2010 melakukan studi prospektif pada 14 pasien yang
diberikan injeksi metilprednisolon intratimpani setelah gagal diterapi dengan
steroid sistemik. Sebelumnya telah diberikan steroid per oral pada 64 pasien
dengan metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari selama sepuluh hari dan dilanjutkan
tappering-off. Namun pada 14 pasien tidak mengalami perbaikan. Kemudian
dilanjutkan dengan pemberian injeksi metilprednisolon intratimpani 40 mg/ml
sebanyak 0,3 hingga 0,5 ml. Dan didapatkan perbaikan pendengaran pada 10
pasien atau sebesar 71,4% dengan rerata perbaikan pendengaran sebesar 20 dB.3,20

Halpin dkk19, 2012 melakukan studi prospektif yang membandingkan


pemberian prednison oral sebesar 60 mg/hari selama dua minggu dengan
17
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

tappering off pada hari kelima pada 121 pasien dengan pemberian
metilprednisolon secara intratimpani sebesar 40 mg/ml selama selama dua minggu
pada 129 pasien. Setelah dua bulan terapi, perbaikan pendengaran pada frekuensi
rendah diperoleh pada kedua kelompok. Berdasarkan panduan AAO-HNS 20123
terdapat beberapa pilihan kortikosteroid yang dapat digunakan dalam injeksi
intratimpani yakni deksametason 10 mg/ml atau metilprednisolon 30mg/ml.
Dengan dosis 0,4-0,8ml setiap 3 hingga 7 hari sebanyak 3-4 kali sesi injeksi.
Membran timpani kuadran anterosuperior dilakukan parasintesa sebagai ventilasi
dan injeksi kortikosteroid dilakukan pada kuadran posteroinferior. Penderita
diminta tetap berada dalam posisi supinasi 30-45º selama 15-30 menit paska
injeksi kortikosteroid. Spears dkk, 2011 menyimpulkan bahwa injeksi
kortikosteroid intratimpani sebagai terapi primer pada tuli sensorineural
mendadak memiliki efek yang sama seperti pada pemberian kortikosteroid oral
dosis tinggi. Lim Jin dkk, 2012 dalam studi mereka melaporkan bahwa tidak
didapatkan perbedaan signifikan pada pemberian kortikosteroid sistemik tunggal,
kortikosteroid intratimpani maupun gabungan keduanya. Ng dkk4 pada September
2014 melaporkan hasil meta-analisis mereka setelah menganalisa 184 studi
diperoleh kesimpulan terdapat perbaikan pendengaran yang signifikan melalui
injeksi kortikosteroid intratimpani dan penggunaan deksametason memiliki
keluaran atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan metil prednisolon.

Terdapat beberapa keuntungan menggunakan steroid intratimpani yaitu dapat


dilakukan pada pasien rawat jalan, prosedur dapat ditoleransi dengan baik dan
relatif mudah untuk dilakukan, menggunakan anastesi lokal, relatif tidak nyeri,
dapat digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap pemberian
kortikosteroid seperti pada penderita diabetes, supresi imun, TBC dan pemberian
kortikosteroid intratimpani mampu mencapai konsentrasi tinggi pada telinga yang
sakit dan efek sampingnya jarang. Meskipun komplikasi jarang ditemukan, namun
dapat terjadi perforasi membran timpani, nyeri, otitis media, vertigo temporer dan
kehilan gan pendengaran. Suzuki dkk23, 2012 dalam penelitiannya
membandingkan efikasi antara terapi oksigen hiperbarik dan injeksi kortikosteroid
intratimpani pada pasien tuli sensorineural mendadak melaporkan bahwa injeksi
kortikosteroid intratimpani memiliki tingkat pemulihan pendengaran yang lebih
tinggi dibanding terapi oksigen hiperbarik, 79,4% berbanding 68,4%. Di mana
pada kelompok yang mendapat terapi injeksi kortikosteroid intratimpani jumlah
pasien yang memperoleh pemulihan tingkat pendengaran lebih besar, 81/102
18
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

pasien dibandingkan pada kelompok yang mendapat terapi oksigen hiperbarik,


119/174 pasien.

Suzuki dkk23, 2012 dalam penelitiannya membuat kriteria pemulihan


pendengaran dan telah disetujui oleh dewan Universitas Kesehatan Lingkungan
dan Kerja Jepang. Suzuki membagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok yang
mengalami pemulihan komplit atau total dimana tingkat pendengaran kembali
kembali pada 20 dB di 250, 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz, atau setara dengan
telinga kontralateral yang tidak terpengaruh, kelompok berikutnya adalah
kelompok dengan pemulihan baik dimana peningkatan tingkat pendengaran ≥ 30
dB, kelompok pemulihan sedang dimana peningkatan tingkat pendengaran antara
10 dB hingga 30 dB dan kelompok yang tidak ada perubahan atau memburuk :
peningkatan tingkat pendengaran < 10 dB. Sedangkan Kallinen dkk 25, 1997
menyarankan evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama satu
bulan. Kallinen dkk membagi pemulihan pendengaran dalam 4 kategori dimana
kategori sangat baik terdapat perbaikan pendengaran > 30 dB pada 5 frekuensi,
kategori sembuh apabila perbaikan ambang pendengaran < 30 dB pada 4
frekuensi (250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz) dan < 25 dB pada frekuensi 4000
Hz, kategori baik dimana didapatkan rerata perbaikan pendengaran 10-30 dB pada
5 frekuensi dan kategori tidak ada perbaikan dimana didapatkan perbaikan
pendengaran <10 dB pada 5 frekuensi.

Prognosis
Perbaikan pendengaran pada tuli sensorineural mendadak bergantung pada
beberapa faktor diantaranya tingkat keparahan kehilangan pendengaran, usia,
kecepatan pemberian obat, ada atau tidaknya keluhan vertigo, serta penyakit yang
menyertai. Byl dkk 13 melaporkan pasien tuli sensorineural mendadak dengan
derajat sangat berat memiliki tingkat perbaikan pendengaran yang rendah. Enache
dan Sarafolenau, 2008 melaporkan pasien tulisensorineural mendadak dengan
angka penurunan pendengaran lebih dari 50-60 dB memiliki tingkat pemulihan
yang rendah yakni kurang dari 20 dB. Mereka menyimpulkan bahwa makin berat
tingkat penurunan pendengaran maka makin buruk prognosisnya karena sifatnya
yang ireversibel. 3

Tiong 24, 2007 melaporkan pasien dengan kelompok umur kurang dari 60
tahun memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan kelompok pasien yang
19
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik

berumur lebih dari 60 tahun. Tingkat pemulihan pendengaran juga bergantung


pada kecepatan pemberian obat. Semakin cepat pengobatan yang diberikan, 7
hari pertama setelah onset gejala akan memberikan prognosis yang lebih baik
bahkan diharapkan pendengarannya dapat kembali menjadi normal. Tuli
sensorineural mendadak dengan disertai vertigo mempunyai prognosis yang buruk
karena vertigo menandakan terdapat kerusakan pada jalur vestibulokoklear.

20

Das könnte Ihnen auch gefallen