Sie sind auf Seite 1von 53

KAPANG PELAPUK PUTIH Trametes versicolor

UNTUK PROSES BIODELIGNIFIKASI


LIMBAH TANAMAN JAGUNG

SKRIPSI

RIZKA ARDHIYANA
F34062282

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
WHITE ROT-FUNGI Trametes versicolor FOR
BIODELIGNIFICATION PROCESS OF CORN STOVER

Ani Suryani, Djumali Mangunwidjaja and Rizka Ardhiyana


Department of Agriculture Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
e-mail: rizka_ard88@yahoo.com

ABSTRACT

In the conversion process of lignocellulosic biomass become ethanol, there are some step
that have to do. Because of the composition, that come from lignin, hemicelullose, and cellulose, so
from this substance must be separated so that the penetration process of enzymatic hydrolyze can be
easily work, produce the high sucrose content of sugar cane crop with the result that the high
production of ethanol. This separated process can do as physical, chemical, biology, and combination
from the third process that usualy named pretreatment process in the modification process of biomass
become ethanol. The main problem from this separated process is the complicated lignin separation
process from the material because relantionship of lignin and the other component in the
lignocellulosic biomass is very strong. One of biological separation process of lignin or
biodelignification is used white rot fungi. The using of white rot fungi have a purpose to tear down
cellulosic become plain sugar and then fermentated become ethanol. One of white rot fungi is
Trametes versicolor that produce some of enzyme that can tear down the lignin, such as laccase,
manganese peroxidase, and lignin peroxidase.
Biodelignification processs with white rot-fungi Trametes versicolor, there are in 7 days
incubation, temperature 45.28 ºC and concentration of fungi 5. Ml during 25 days. in this condition,
the ekstractive content in the corn stover is 0.171 gram (ekstractive reduction 57.94%), the lignin
content 1.853 gram (lignin reduction 3.97 %), hemicellulose content 2.165 gram (hemicellulose
reduction 21.69%), and alphacellulose content 3.132 gram (reduction alphacellulose 6.05 %). In the
beginning weight of 10 gram dry corn stover.

Keyword: corn stover, biodelignification, Trametes versicolor


Rizka Ardhiyana. F34062282. Kapang Pelapuk Putih Trametes versicolor untuk Proses
Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung. Dibawah Bimbingan Ani Suryani dan Djumali
Mangunwidjaja. 2010

RINGKASAN

Dalam proses konversi biomassa berligniselulosa menjadi etanol, ada beberapa tahapan yang
harus dilalui. Karena komposisinya yang terdiri dari lignin, hemiselulosa dan selulosa, maka ketiga
bahan ini harus dipisahkan lebih dulu supaya penetrasi enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa
menjadi lebih mudah, rendemen gula yang dihasilkan tinggi sehingga rendemen etanol dari fermentasi
gula juga tinggi. Proses pemisahan ini dapat dilakukan secara fisis, kimia, biologis, maupun
kombinasi ketiganya yang biasa disebut perlakuan pendahuluan dalam pengubahan biomassa menjadi
etanol. Masalah utama yang dihadapi dalam proses pemisahan ini adalah sulitnya memisahkan lignin
dari bahan yng disebabkan oleh ikatan lignin dengan komponen lain dalam biomassa berlignoselulosa
sangat kuat
Salah satu proses biologis biomassa berlignoselulosa dalam pemisahan lignin dari bahan
adalah dengan menggunakan jamur pelapuk putih (white-rot fungi). Penggunaan jamur pelapuk putih
bertujuan untuk merombak kadar lignin bahan berlignoselulosa sehingga memudahkan perombakan
selulosa menjadi gula sederhana yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol. Salah satu jamur
pelapuk putih adalah Trametes versicolor yang menghasilkan beberapa enzim perombak lignin, yaitu
laccase, manganese peroxidase, dan lignin peroxidase (Hossain dan Anantharaman 2006).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimal biodelignifikasi limbah
tanaman jagung sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dengan metode RSM. Parameter yang akan
diuji adalah: kadar air, kadar bahan ekstraktif, kadar lignin (klakson lignin), kadar holoselulosa, dan
kadar alfaselulosa. Perlakuan yang diberikan berupa suhu (21.72, 30, 50, 70, 78.28ºC) dan volume
inokulum (0.95, 2.5, 6.25, 10, 11.55 ml).
Pada penelitian proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung menggunakan kapang pelapuk
putih Trametes versicolor menunjukkan bahwa faktor suhu inkubasi (x1) adalah faktor yang
bepengaruh nyata pada kadar bahan ekstraktif, kadar alfaselulosa, dan kadar hemiselulosa. Sedangkan
faktor volume inokulum (x2) hanya berpengaruh nyata pada kadar lignin. Dari pengolahan data
didapatkan kondisi terbaik dalam proses biodelignifikasi waktu inkubasi selama 7 hari yaitu pada suhu
45.80 ºC dan volume inokulum sebanyak 5.42 ml. Pada kondisi tersebut kandungan bahan ekstraktif
pada LTJ yang telah didelignifikasi sebesar 0.2228 gram (penurunan bahan ekstraktif 45.2%),
kandungan lignin sebesar 1.823 gram (penurunan lignin 3.68%), kandungan hemiselulosa sebesar
2.1569 gram (penurunan hemiselulosa 21.98%), dan kandungan alfa selulosa sebesar 3.2338 gram
(penurunan alfa selulosa 2.99%). Dengan berat awal LTJ yang belum didelignifikasi adalah 10 gram
kering.
KAPANG PELAPUK PUTIH Trametes versicolor
UNTUK PROSES BIODELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN
JAGUNG

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Rizka Ardhiyana
F34062282

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul :Kapang Pelapuk Putih Trametes versicolor untuk Proses
Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung
Nama : Rizka Ardhiyana
NIM : F34062282

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA) (Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA)
NIP : 19581026 198303 2 003 NIP: 19500720 198103 1 003

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Prof.Dr.Ir. Nastiti Siswi Indrasti)


NIP : 19621009 198903 2 001

Tanggal Lulus : 6 September 2010


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kapang Pelapuk
Putih Trametes versicolor untuk Proses Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2010


Yang membuat pernyataan,

Rizka Ardhiyana
F34062282
© Hak cipta milik Rizka Ardhiyana, tahun 2010
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS

Penulis adalah putri kedua dari pasangan Bapak Harminto dan Ibu
Ninik Yuniarsi yang dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1988. Penulis
mengawali belajar secara formal di TK Yayasan Islam, kota Merauke,
Papua. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SDN Bantarsoka I,
Purwokerto pada tahun 1994 hingga 2000. Setelah selesai dari sekolah dasar
penulis melanjutkan belajar ke SLTPN I Purwokerto dari tahun 2000-2003.
Kemudian di tahun 2003-2006, penulis belajar di SMAN I Purwokerto.
Penulis masuk ke IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006
dan pada tahun 2007 menempuh pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian). Selama
berkuliah penulis aktif berorganisasi di kelembagaan mahasiswa seperti BEM dan Lembaga Dakwah
Kampus Al Hurriyyah IPB. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum Analisis
Bahan Agroindustri (2008 dan 2010), asisten praktikum Bioproses (2009), asisten praktikum
Teknologi Minyak dan Lemak (2010) dan asisten Mata Kuliah Pengantar Agama Islam (2008-2010).
Pada tahun 2009, penulis melaksanakan praktek lapangan dengan tema “Teknologi Proses
Produksi” di PT Takasago Indonesia, Purwokerto. Pada tahun 2010, penulis membuat tugas akhir
dengan judul “Kapang Pelapuk Putih Trametes versicolor untuk Proses Biodelignifikasi Susbstrat
Limbah Tanaman Jagung”.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini
berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kapang Pelapuk Putih Trametes versicolor untuk Pros-
es Biodelignifikasi Susbstrat Limbah Tanaman Jagung dilaksanakan di Laboratorium Departemen
Teknologi Industri Pertanian IPB sejak bulan Maret sampai Agustus 2010.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampai-
kan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibunda dan Ayahanda, atas kasih sayang dan pengorbanan Beliau berdua kepada penulis dan
sebagai motivator utama penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA atas bimbingan Beliau dalam penyelesaian pendidikan
sarjana yang ditempuh oleh penulis, dan atas kesabaran Beliau dalam membimbing.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku dosen pembimbing II atas kese-
diaan Beliau membantu penulis dalam penyelesain pendidikan sarjana yang ditempuh penu-
lis.
4. Bapak Wagiman, STP, M.Si atas ijin Beliau kepada penulis untuk membantu proyek yang
Beliau tangani, dan mengijinkan topik ini dipakai sebagai tugas akhir serta memberikan
arahan dan bantuan ketika penulis melakukan penelitian ini.
5. Bapak Drs. Purwoko, M.Si selaku dosen penguji dalam ujian skripsi yang telah memberikan
masukan yang membangun bagi penulis.
6. Laboran TIN-IPB yang bersedia membantu penulis selama melaksanakan penelitian.
7. Teman-teman Laboratorium Bioindustri, Laboratorium Wastu, Laboratorium LDIT, dan La-
boratorium Teknik Kimia atas kesediaan mereka dalam berbagi ilmu yang bermanfaat dan
menghibur penulis selama masa penelitian.
8. Sahabat-sahabat SDM X LDK Al Hurriyyah IPB, Salam ISC 2008, dan rekan-rekan seper-
juangan di Fateta atas kerjasama, pengorbanan, teladan dan ukhuwah yang tak akan terlupa-
kan.
9. Saudari-saudari di NJ Houz, Babakan Tengah, atas bantuan dan pengertian mereka dalam
keseharian penulis selama melaksanakan penelitian.
10. Semua teman-teman TIN 43, atas bantuan dan motivasi mereka kepada penulis yang untuk
segera menyelesaikan tugas akhir.
Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan pula.
Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi salah satu pintu dari pintu-pintu kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, khususnya di bidang pemanfaatan
biomassa untuk industri.

Bogor, Oktober 2010

Rizka Ardhiyana

viii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG........................................................................................... 1
1.2. TUJUAN .............................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
2.1. TANAMAN JAGUNG......................................................................................... 3
2.2. LIGNOSELULOSA ............................................................................................. 4
2.3. BIODELIGNIFIKASI .......................................................................................... 7
III. METODE PENELITIAN............................................................................................. 11
3.1. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................... 11
3.2. METODE PENELITIAN...................................................................................... 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 18
4.1. KARAKTERISTIK LIMBAH TANAMAN JAGUNG ......................................... 18
4.2. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR BAHAN ESTRAKTIF ................ 18
4.3. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR LIGNIN ...................................... 20
4.4. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR ALFA SELULOSA ..................... 22
4.5. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR HEMISELULOSA ....................... 24
4.6. KONDISI TERBAIK PROSES DELIGNIFIKASI ................................................ 25
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 27
5.1 KESIMPULAN ..................................................................................................... 27
5.2 SARAN ................................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 28
LAMPIRAN…………………………………………………………………………….. 31

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kandungan lignoselulosa limbah tanaman jagung awal .................................. 18
Tabel 2. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap
kadar bahan ekstraktif .................................................................................... 20
Tabel 3. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap
kadar lignin……………………………….......................................................... 22
Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap
kadar alfaselulosa ......................................................................................... 24
Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap
kadar hemiselulosa…………………………................................................... 25
Tabel 6. Perkiraan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi ................................... 25

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Tanaman Jagung ................................................................................... 3
Gambar 2. Konfigurasi dinding sel tanaman ........................................................... 5
Gambar 3. Struktur selulosa ................................................................................... 6
Gambar 4. Beberapa gula penyusun hemiselulosa ................................................... 7
Gambar 5. Diagram alir persiapan inokulum………………………………………... 13
Gambar 6. Diagram alir proses biodelignifikasi.……………….................................. 15
Gambar 7. Diagram alir proses pemanenan. ............................................................ 16
Gambar 8. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume
inokulum (ml/g LTJ) terhadap kadar bahan ekstraktif… ......................... 20
Gambar 9. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume
inokulum (ml/g LTJ) terhadap kadar lignin.. .......................................... 22
Gambar 10. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume
inokulum (ml/g LTJ) terhadap kadar alfa selulosa…………..................... 23
Gambar 11. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume
inokulum (ml/g LTJ) terhadap kadar hemiselulosa.................................. 25

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisa ........................................................................................ 31
Lampiran 2. Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor ..................................................... 33
Lampiran 3. Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (Lanjutan) ..................................... 34
Lampiran 4. Data Hasil Biodelignifikasi ........................................................................ 35
Lampiran 5. Analisis Ragam Kandungan Bahan Ekstraktif ............................................ 36
Lampiran 6. Analisis Ragam Kandungan Lignin ............................................................ 37
Lampiran 7. Analisis Ragam Kandungan Alfaselulosa ................................................... 38
Lampiran 8. Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa...………………........................... 39
Lampiran 9. Kondisi Optimum Proses Biodelignifikasi………………………………….. 40

xii
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Limbah lignoselulosa dengan jumlah yang melimpah dihasilkan langsung dari industri kertas
dan pulp dari kehutanan dan pertanian, industri kayu dan banyak agroindustri yang dapat mencemari
lingkungan. Sayangnya, limbah lignoselulosa yang banyak ini sering ditangani dengan cara dibakar
dan terbatas penanganannya (Levine 1996).
Jumlah yang besar dari residu biomasa tanaman termasuk yang disebut limbah memiliki
potensi untuk dikonversi menjadi berbagai produk berdaya tambah lebih termasuk bahan bakar nabati,
bahan kimia, sumber energy murah bersumber dari fermentasi, meningkatkan nutrisi pakan ternak dan
pangan manusia.
Lignoselulosa merupakan komponen mayor dari tanaman berkayu dan tanaman bukan
berkayu seperti rumput dan bentuk lain dari sumber mayor bahan organik terbarukan. Lignoselulosa
terdiri dari lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Sifat kimia dari komponen lignoselulosa membuat
bahan menjadi substrat yang bernilai bioteknologi sangat besar (Dellweg 1983).
Pemanfaatan bahan lignoselulosa sebagai bahan bakar alternatif diharapkan dapat menjadi
salah satu cara mengatasi krisis energi yang diakibatkan terbatasnya ketersedian bahan bakar dari
minyak bumi (Fitria 2001). Peran yang diharapkan dari bahan ini sangat penting. Salah satu
contohnya adalah pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol. Pada tahun 2006
pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan pemanfaatan bahan bakar alternatif, diantaranya
adalah gasohol E10 (Alwin 2007). Apabila kebijakan tersebut dilaksanakan, maka gasohol yang
diperlukan mencapai 17 juta kilo liter/tahun untuk sektor transportasi dan 35 ribu kilo liter/tahun
untuk sektor industri, terdapat potensi sekitar 1.7 juta kilo liter/tahun bioetanol yang diperlukan untuk
sektor transportasi dan 3.5 ribu kl/tahun bioetanol untuk sektor industri. Saat ini, pasar yang sebanyak
ini hanya mampu dipenuhi sebanyak 38 ribu ton/tahun (sekitar 48 ribu kilo liter/tahun) oleh beberapa
pemasok, yang sebenarnya mereka memiliki potensi untuk memenuhi 212 ribu ton/tahun (sekitar
268.3 ribu kilo liter/tahun) (Alwin 2007). Masih terdapat selisih yang sangat besar antara kebutuhan
dengan penawaran, sehingga menjadi potensi untuk pengembangan industri bioetanol baru bagi
masyarakat.
Limbah tanaman jagung merupakan bahan berlignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan
bioetanol karena jumlahnya yang cukup melimpah di Indonesia. Produksi jagung dari Indonesia
diperkirakan akan naik 3,4% dari 17,5 juta ton tahun 2009 menjadi 18,1 juta ton pada tahun 2010
(Deptan 2010). Jumlah produksi ini tentu saja berkorelasi dengan jumlah limbah atau biomassa yang
tidak terpakai karena untuk sekarang ini pemanfaatan tanaman jagung baru pada bijinya sebagai bahan
penyedia pangan. Bahan sisanya seperti batang, daun, klobot, dan komponen minor hanya sebatas
dijadikan pakan ternak.
Dalam proses konversi biomassa berligniselulosa menjadi etanol, ada beberapa tahapan yang
harus dilalui. Karena komposisinya yang terdiri dari lignin, hemiselulosa dan selulosa, maka ketiga
bahan ini harus dipisahkan lebih dulu supaya penetrasi enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa
menjadi lebih mudah, rendemen glukosa yang dihasilkan tinggi sehingga rendemen etanol dari
fermentasi gula juga tinggi. Proses pemisahan ini dapat dilakukan secara fisis, kimia, biologis,
maupun kombinasi ketiganya yang biasa disebut perlakuan pendahuluan dalam pengubahan biomassa
menjadi etanol. Masalah utama yang dihadapi dalam proses pemisahan ini adalah sulitnya

1
memisahkan lignin dari bahan yang disebabkan oleh ikatan lignin dengan komponen lain dalam
biomassa berlignoselulosa sangat kuat.
Proses delignifikasi membutuhkan energi tinggi dan reaktor yang tahan terhadap tekanan
tinggi dan tahan korosi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa delignifikasi dengan kapang
berpotensi mengurangi kebutuhan yang tinggi terhadap asam, suhu, dan waktu. Pengurangan ini juga
dduga mengurangi degradasi biomassa dan akibatnya mengurangi konsentrasi penghambat
dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan termokimia konvensional. Lebih jauh lagi keuntungan
potensial dari perlakuan pendahuluan dengan kapang pada residu pertanian adalah pada
keefektifannya dalam meningkatkan derajat cerna selulosa pada serat dan limbah pertanian (Keller et
al. 2003)
Dengan demikian proses biologis terlihat cukup menjanjikan dibandingkan proses lainnya
karena dapat dilakukan dalam kondisi proses lebih mudah dan murah. Salah satu proses biologis
biomassa berlignoselulosa dalam pemisahan lignin dari bahan adalah dengan menggunkan kapang
pelapuk putih (white-rot fungi). Penggunaan kapang pelapuk putih bertujuan untuk merombak kadar
lignin bahan berlignoselulosa sehingga memudahkan perombakan selulosa menjadi gula sederhana
yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol. Salah satu kapang pelapuk putih adalah Trametes
versicolor yang menghasilkan beberapa enzim perombak lignin, yaitu laccase, manganese peroxidase,
dan lignin peroxidase (Hossain dan Anantharaman 2006)

1.2 TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimal menggunakan metode
RSM (response surface methodology) dengan faktor suhu dan volume inokulum dalam proses
delignifikasi pada bahan berlignoselulosa sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol dengan
menggunakan metode biologis dengan kapang Trametes versicolor.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TANAMAN JAGUNG


Produksi jagung Indonesia diperkirakan akan naik 3.4% dari 17.5 juta ton tahun 2009
menjadi 18.1 juta ton pada tahun 2010. Peningkatan produksi ini wajar mengingat lahan untuk
penanaman jagung juga diperluas dari 4.1 juta hektar menjadi 4.2 juta hektar. Sampai pertengahan
tahun 2010 ini jumlah produksi jagung nasional mencapai 6-8 juta ton (Deptan 2010).
Tanaman jagung termasuk dalam family rumput-rumputan (Gramineae) dan genus zea yang
hanya memiliki satu spesies yaitu Zea mays. Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim
(annual). Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), jagung merupakan tanaman berumah satu
(monoecioes) dan termasuk famili rumput-rumputan (Gineae). Jagung (Zea mays) adalah tanaman
yang berasal dari daratan Amerika Serikat kemudian menyebar ke daerah subtropik dan tropik
termasuk Indonesia.

Gambar 1. Tanaman jagung

Klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L)


Divisi : Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Graminales
Suku : Graminaeae
Marga : Zea
Jenis : Zea mays l.
(Effendi dan Sulistiati 1991).
Tanaman jagung berakar serabut, menyebar ke samping dan ke bawah sepanjang 25 cm.
Sistem perakaran berfungsi sebagai alat untuk mengisap air serta garam-garam yang terdapat dalam
tanah, mengeluarkan zat organik serta senyawa yang tidak diperlukan dan sebagian alat pernapasan.
Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung
umumnya tidak bercabang kecuali pada jagung manis sering tumbuh bervariasi (Effendi dan Sulistiati
1991).
Jagung lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung, dan rambut. Kelobot
merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung.
Jumlah kelobot dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung
semakin kering kelobotnya (Effendi dan Sulistiati 1991). Sedangkan komposisi tanaman jagung terdiri

3
dari tongkol 4.49%, kelobot 4.72%, batang 83.28%, daun 7.02%, dan komponen minor (seperti bunga,
rambut jagung, dan akar) 0.49%.
Tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat
pembentukan lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak dan
hasil-hasil lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol bervariasi antara 8-
42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung sekitar 300-1000 biji jagung (Effendi dan
Sulistiati 1991).
Biji jagung melekat pada tongkol jagung dan berbentuk bulat. Susunan biji jagung pada
tongkol jagung berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau
deret biji selalu genap. Biji jagung berbentuk bulat-bulat atau gigi kuda tergantung varietasnya. Warna
biji jagung juga bervariasi dari putih sampai kuning. Jagung putih lebih disukai dalam industri pangan,
sedangkan jagung kuning banyak dipakai untuk pakan.
Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar ke ujung kelobot melalui
sela-sela biji. Rambut mempunyai cabang-cabang yang halus sehingga dapat menangkap tepung sari
pada saat pembuahan (Effendi dan Sulistiati 1991).

2.2 LIGNOSELULOSA

Limbah lignoselulosik merupakan bahan yang secara umum mengandung lignin,


hemiselulosa dan selulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel tanaman satu dengan lainnya dan
sebagai pengisi sel dinding sel sehingga dinding sel tanaman menjadi keras, teguh dan kaku (Dellweg
1983). Ingram dan Doram (1995) menyatakan bahwa selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dikonversi
secara langsung karena berasosiasi dengan lignin.
Material berbasis lignoselulosa merupakan substrat yang cukup kompleks karena di
dalamnya terkandung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik yang lainnya. Bagian
terpenting dan terbanyak dari lignoselulosik material adalah polisakarida khususnya selulosa yang
terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas
atau jerami menjadi bioetanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida itu
yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa, dan lain-lain
sebelum dikonversi menjadi etanol (Samsuri 2007).

2.2.1 BAHAN EKSTRAKTIF

Istilah ekstraktif kayu meliputi sejumah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi
dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti yang sempit bahan ekstraktif
merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik dan dalam pengertian ini nama
ekstraktif digunakan dalam analisis kayu. Tetapi senyawa-senyawa karbohidrat dan anorganik yang
larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraksi.
Bagian yang larut dalam pelarut organik jumlahnya hanya beberapa persen dalam kayu
pohon yang berasal dari daerah sedang, tetapi konsentrasinya dapat menjadi jauh lebih tinggi dalam
bagian tertentu, misal dalam pangkal batang, kayu teras, akar, bagian luka. Jumlah bahan ekstraktif
yang relatif tinggi diperoleh dalam kayu tropika dan subtropika tertentu.
Sejumlah kayu atau bahan baku berlignoselulosa mengandung senyawa yang dapat
diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Bahan ekstraktf lain dapat
memberikan warna dan bau pada kayu. Meskipun ada karakteristik-karakteristik ini, Sandermann
(1966) dalam Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa kebanyakan bahan ekstraktif

4
merupakan senyawa-senyawa yang tidak berperan atau merupakan hasil sel yang kecil yang tidak
begitu penting.
Salah satu bahan ekstraktif disebut resin, suatu nama yang tidak menunjukkan senyawa kimia
tertentu tetapi suatu kondisi fisik. Resin dipandang sebagai campuran senyawa-senyawa yang berbeda
yang bersifat mencegah terjadinya kristalisasi (Fengel dan Wegener 1995). Meskipun demikian,
senyawa-senyawa berikut dapat bersifat sebagai komponen resin adalah terpena, lignin, stilbena,
flavanoid dan aromatik lain. Di samping senyawa-senyawa tersebut, senyawa organik lain yang
terdapat dalam bahan ekstraktif adalah lemak, lilin, asam lemak, steroid dan hidrokarbon tinggi.

2.2.2. LIGNIN

Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit
penilpropan (Sjorberg 2003) yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang
berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen
yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30% tanaman
tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga
dan pathogen (Orth et al. 1993). Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin
juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi
mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa.

Gambar 2. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al. 2002)

Lignin terutama terkonsentrasi pada lamella tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk
selama proses lignifikasi jaringan tanaman (Chahal dan Chahal 1998). Lignin tidak hanya
mengeraskan mikrofibril selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Selama
perkembangan sel, lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir di dalam dinding sel, menembus di
antara fibril-fibril sehingga memperkuat dinding sel (Fengel dan Wegener 1995).
Lignin terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi derivat dari sinamil alkohol terutama ρ-
kumaril, coniferil dan sinafil alkohol (Perez et al. 2002) dengan bobot molekul mencapai 11,000.
Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan
ikatan eter.
Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding sel terhenti.
Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding sekunder. Faktor lignin dalam
membatasi permeabilitas dinding sel tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek
kimia yaitu hubungan lignin-karbohidrat dan asetilasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus

5
mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan
antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Chahal dan
Chahal 1998).
Dalam pembentukkan lignin, makromolekul-makromolekul tidak dibentuk menurut
mekanisme biasa yang bersifat genetis, tetapi berdasarkan penggabungan acak lignol menjadi polimer
non linier. Karena itu bentuk akhir lignin terutama ditentukan oleh reaktivitas dan frekuensi unit-unit
pembentuk yang terlibat dalam polimerisasi. Dari segi morfologi, molekul-molekul lignin yang
sedang tumbuh didorong untuk mengisi ruangan antara unsure-unsur fibriler polisakarida dinding sel.
Penggabungan lignin hidrofobik menyebabkan penyusutan dinding sel (Fengel dan Wegener 1995).

2.2.3. SELULOSA

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa
pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002).
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar
selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara
bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der waals (Perez et al. 2002). Rumus struktur selulosa
sebagai berikut.

Gambar 3. Struktur selulosa


(http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html)

Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa yang tidak bercabang. Bentuk polime ini
kemungkinkan selulosa saling menumpuk atau terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang
molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit glucan dalam polimer, disebut dengan derajat
polimerisasi. Derajat polimerase selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran
2,000-27,000 unit glucan. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam
atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasikan menjadi etanol.

2.2.4 HEMISELULOSA

Disamping selulosa dalam bahan berlignoselulosa maupun dalam jaringan tanaman yang lain
terdapat sejumlah polisakarida yang disebut poliosa atau hemiselulosa, hemiselulosa diartikan sebagai
selulosa molekul rendah (Fengel dan Wegener 1995). Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena
komposisi berbagai unit gula, karena rantai molekul yang lebih pendek dan karena percabangan rantai
molekul. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kelompok
seperti pentosa, heksosa, asam heksosuronat dan deoksi heksosa. Rantai utama hemiselulosa dapat
terdiri hanya atas satu unit atau lebih (heteropolimer) misal glukomannan. (Fengel dan Wegener
1995). Gambar 4 menunjukkan gula-gula penyusun hemiselulosa.

6
Gambar 4. Beberapa gula penyusun hemiselulosa

Hemiselulosa umumnya dilaporkan berasosiassi secara kimia atau terikat silang dengan
polisakarida, protein, atau lignin. Xylan kemungkinan sebagai wilayah ikatan utama antara lignin dan
karbohidrat lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat diisolasi dari kayu
dengan ekstraksi. Rata-rata derajat polimerisasi (DP) dari hemiselulosa bervariasi antara 70-200
tergantung pada jenis kayunya (Fengel dan Wegener, 1995).

2.3 BIODELIGNIFIKASI

Proses delignifikasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku sehingga


mempermudah pelepasan hemiselulosa. Proses ini berfungsi untuk membersihkan lignin (Fridia
1989). Berbagai perlakuan pendahuluan atau delignifikasi dapat dilakukan seperti fisik (penggilingan,
pemansan dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan kimia (pelarut, larutan
pengembang, gas SO2). Foody et al. (1991) menyatakan bahwa perlakuan pendahuluan dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan antara perlakuan fisik dan kimia. Perlakuan fisik seperti
penggilingan, tekanan, pengepresan dan sebagainya sedangkan kimia seperti penggunaan panas,
pelarut dan asam.
Menurut Fengel dan Wegener (1995) bahan yang telah dikenai proses delignifikasi selain
mengalami penyusutan kandungan ligninnya, juga mengalami penyusutan kandungan selulosa dan
hemiselulosa.
Istilah biodelignifikasi merupakan proses perombakan lignin untuk membebaskan serat-serat
dari ikatannya dengan menggunakan mikroorganisme seperti kapang, bakteri atau enzim (Singh dan
Roymoulik 1993). Mekanisme umum proses biodelignifikasi dalam sel kayu dalah perombakan atau
penghancuran senyawa lignin yang berupa polimer menjadi fragmen-fragmen kecil oleh enzim
ekstraseluler yang dihasilkan kapang dan kemudian fragmen-fragmen tersebut diserap oleh hifa dan
selanjutnya dicernakan (Kirk 1987). Menurut Pasaribu (1998), aktivitas enzim tersebut mampu
mendepolimerisasikan lignin hingga terbentuk senyawa fenol yang kemudian oleh enzim fenol-
oksidase sebagai katalisator.
Kapang pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kapang pelapuk
putih (KPP) dan fungi pelapuk coklat. kapang pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa,
maupun selulosa. Kayu yang didegradasi oleh KPP akan menjadi putih/keputih-putihan, lunak, tetapi

7
tidak menyusut. Sedangkan fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan selulosa,
tetapi tidak dapat mendegradasi lignin. Kayu yang didegradasi oleh fungi pelapuk coklat akan
berwarna merah kecoklatan dan hancur (Lyon 1991). Di alam presentase fungi pelapuk coklat lebih
sedikit daripada fungi pelapuk putih.
Kapang pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu: Aphlyllophorales,
Agaricales, Auriculariales, Tremellales, dan Dacrymycetales. Fungi pelapuk putih lebih banyak
dijumpai pada kayu Angiospermae (Nakasone 1993).
Kapang Trametes versicolor termasuk ke dalam golongan kapang pelapuk putih (white rot).
Family Polyporaceae dan kelas Basidiomycetes (Eaton et al. 1993), yang biasa dikenal dengan
polyporus, coriolus dan polysticus. Penyebarannya terutama di negara-negara beriklim sedang dan
sering menyerang kayu daun lebar, namun kadang-kadang menyerang kayu daun jarum.
Klasifikasi Kapang
Kingdom : Fungi
Divisio : Basidiomicota
Kelas : Agaricomycetes
Sub Kelas : Porinae
Ordo : Poriales
Keluarga : Poriceae
Genus : Trametes
Spesies : Trametes versicolor
(Wikipedia.com)
Kapang ini menyerang hemiseluosa sebelum atau berbarengan dengan lignin. Akhtar et al.
(1997) menyatakan bahwa urutan pendegradasian kayu oleh kapang putih ini adalah hemiselulosa,
lignin, dan kemudian selulosa.
Fengel dan Wegener (1995) menjelaskan mekanisme pelapukan kayu oleh kapang. Pada
tahap pertama kapang mendegradasi kayu, hifa kapang menembus jaringan kayu melalui noktah pada
dinding sel. Noktah kayu berukuran 0.5-2 m sedangkan hifa berukuran 2-15 m (Eaton et al. 1993).
Hifa yang berukuran lebih besar dari noktah akan mendegradasi noktah sampai hifa dapat masuk ke
dalam rongga sel. Hifa cenderung tumbuh dari jari-jari floem masuk ke dalam jari-jari kayu dan
kemudian ke arah lateral masuk ke dalam trakeid di dekatnya. Hifa yang memiliki kekuatan
eksoenzim tumbuh dari permukaan dinding sebelah dalam dan mendegradasi dinding sel dan
menghasilkan zona lisis di sekitarnya. Serangan yang berlangsung menyebabkan dinding sel semakin
lama semakin keropos dan menghasilkan struktur sarang lebah. Selulosa menjadi tidak terlindungi dan
akhirnya dinding sel semakin menipis dan rusak.
Tingkat dan laju pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara
spesies white rot fungi (Adaskaveg 1995). Kapang ini ada yng mampu mendegradasi lignin secara
selektif dan ada pula yang non selektif. Trametes versicolor termasuk kapang non selektif, dimana
kapang ini mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama (Hatakka 2001).
Enzim lignoselulolitik terdari sekumpulan enzim yang terbagi dalam dua kategori yaitu
hidrolitik dan oksidatif. Enzim hidrolitik mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dan setiap enzim
bekerja terhadap substrat yang spesifik. Enzim oksidatif merupakan enzim non spesifik dan bekerja
melalui mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin. Enzim pendegradasi lignin ini
secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan perokidase (Perez et al. 2002)
yang terdiri dari lignin peroxidase (LiP) dan manganese peroxidase (MnP) (Chahal dan Chahal 1998).
Ketiga enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan
produk dengan berat molekul rendah pada kapang pelapuk putih (Akhtar 1997). Tidak semua kapang

8
pelapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. Trametes versicolor dan P. chrysosporium
hanya menghasilkan LiP dan MnP. Namun menurut Hossain dan Anantharaman (2006), salah satu
jamur pelapuk putih adalah Trametes versicolor yang menghasilkan beberapa enzim perombak lignin,
yaitu laccase, manganese peroxidase, dan lignin peroxidase.
LiP merupakan enzim lignolitik pertama yang berhasil ditemukan (Hammel 1997) yang
diisolasi dari beberapa kapang pelapuk putih dari kelas Basidiomycetes seperti P. chryssporium,
Phlebia radiata dan Trametes versicolor (Dodson 1987). LiP mengoksidasi inti aromatik (fenolik dan
non fenolik) melalui pelepasan satu electron menghasilkan radikal kation dan fenoksi (Akhtar 1997).
LiP adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung
pada H2O2, mempunyai potensial redoks yang luar biasa besar dan pH optimum yang rendah (Gold
dan Alic 1993).
MnP hanya dihaslkan pada sejumlah kapang basidiomycetes (Steffen 2003). MnP merupakan
heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya (Steffen,
2003). MnP mengoksidasei Mn2+ menjadi Mn3+, yang kemudian mengoksidasi struktur fenolik
menjadi radikal fenoksil. Mn3+ yang terbentuk sangat reaktif dan membentuk kompleks dengan
chelator, ion Mn3+ distabilkan dan dapat menembus ke dalam jaringan substrat (Steffen, 2003).
Potensi redoks system MnP-Mn lebih rendah daripada redoks LiP dan lebih banyak mengoksidasi
substrat fenolik. Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang pada akhirnya
melepaskan CO2. MnP merupakan salah satu peroksida pendegradasi lignin yang dihaslkan oleh
beberapa kapang pelapuk kayu dan pengurai serasah (Hofrichter 2002).
Laccase merupakan fenol oksidasi yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan
H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston 1994). Enzim ini juga ditemukan pada jamur,
khamir dan bakteri. Laccase mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu
elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada
reaksi MnP (Kersten 1990). Laccase mampu mengoksidasi senyawa non fenolik tertentu dan veratryl
alcohol (Bourbonnais dan Paice 1990)
Menurut Zabel dan Morell (1992), umumnya sebagian polimer selulosa dan hemiselulosa
diserang oleh beberapa enzim hidrolitik yang spesifik. Pertama-tama kompleks polimer
selulosa/hemiselulosa. Ketika polimer terbongkar, enzim yang dikenal dengan exohydrolase
menyerang ujung rantai selulosa/hemiselulosa dengan melepaskan monomer. Terdapat pula enzim
lain yang dikenal dengan endohydrolase yang secara acak menyerang rantai selulosa/hemiselulosa dan
mengakibatkan rantai putus. Rantai yang putus diambil/diserang oleh enzim exohydrolase untuk
mempercepat proses dekomposisi.
Penelitian Ermawar (2005) menyebutkan bahwa kapang Trametes versicolor merupakan
kapang yang paling optimal mendegradasi lignin pada jerami padi dibandingkan empat jenis kapang
white-rot lainnya dengan waktu inkubasi 4 minggu. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, maka
dilakukan penelitian pengguanaan kapang pelapuk putih Trametes versicolor pada bagasse dengan
inokulum cair dan masa inkubasi 4 dan 6 minggu. Perbedaan volume inokulum dilakukan karena
setiap kapang memiliki kemampuan berbeda-beda untuk hidup secara optimal dalam jumlah tertentu
yang tidak selalu ditentukan dengan semakin banyaknya jumlah inokulum yang diberikan.

9
III. METODE PENELITIAN

3.1 BAHAN DAN ALAT

Limbah tanaman jagung (LTJ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bisi 2 yang
komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun berasal dari Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta dan dikecilkan ukurannya sekitar 40 mesh, PDA (Potatoes Dextrose Agar), PDB
(Potatoes Dextrose Broth), benzene, etanol, aceton, NAOH 17,5%, asam asetat glasial, asam sulfat
72%, akuades dan media kultur (glukosa, KH2PO4, MgSO4.7H2O, CaCl2.H2O, FeCl3.6H2O,
ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O)
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator, pompa vakum, jarum ose, oven, gelas
filter 1G3, tabung reaksi, cawan petri, labu ukur, erlenmeyer, waterbath, aluminium foil, desikator,
labu didih, sokhlet, tanur, kertas saring, spatula, penjepit, labu ukur, erlenmeyer vakum, erlenmeyer
asa, mini magnetic stirrer, gelas kimia, pipet, pipet mohr dan pengaduk kaca.

3.2 METODE PENELITIAN

3.2.1 Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung

Limbah tanaman jagung (LTJ) terdiri dari bagian-bagian: tongkol 4,49%, klobot 4,72%,
batang 83,28%, daun 7,02%, dan komponen minor 0,49%, dihaluskan kurang lebih 40 mesh.
Ada lima karakteristik LTJ yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu kadar air, kadar bahan
ekstraktif, kadar lignin, kadar holoselulosa, dan kadar alfa selulosa. Hasil dari pengujian kadar
air digunakan untuk menghitung bobot kering LTJ. Bobot kering tersebut akan digunakan dalam
perhitungan kadar lignin basis kering.
Setelah diketahui kadar air LTJ, bobot kering LTJ dapat diketahui dengan persamaan :

MDO = MBO - WO……………………………………….(1)

Notasi MD0 menunjukkan bobot kering LTJ (dalam g), MB0 menunjukkan bobot basah
LTJ (dalam g), dan W0 menunjukkan kadar air LTJ (dalam g).
Setelah diketahui bobot kering LTJ, sebanyak 3 g LTJ diekstrak dengan pelarut yang
berupa campuran benzena dan alkohol dengan komposisi 2 : 1. Ekstraksi dilakukan untuk
menghilangkan bahan ekstraktif pada LTJ. Dengan proses ekstraksi akan diketahui kandungan
bahan ekstraktif dalam LTJ (YE, dalam g).
Hasil ekstraksi yang berupa padatan diambil sebanyak 0.5 g (sudah diketahui bobot
keringnya) untuk analisis kandungan lignin. Prosedur analisis lignin dapat dilihat pada Lampiran
1. Kandungan lignin pada LTJ (YL, dalam g) digunakan untuk menghitung kadar lignin.
Hasil ekstraksi yang berupa padatan diambil sebanyak 1.5 g (sudah diketahui bobot
keringnya) untuk analisis kandungan holoselulosanya. Prosedur analisis holoselulosa dapat
dilihat pada lampiran 1. Kandungan holoselulosa pada LTJ (H0, dalam g) digunakan untuk

10
menghitung kadar holoselulosa yang selanjutnya untuk menghitung kandungan alfa selulosa dan
hemiselulosa.
Hasil holoselulosa berupa padatan diambil sebanyak 0.5 g (sesudah diketahui bobot
keringnya) untuk analisis kandungan alfa selulosanya. Prosedur analisis alfa selulosa dapat
dilihat pada lampiran 1. Kandungan alfa selulosa pada LTJ (YA, dalam g) digunakan untuk
menghitung kadar alfa selulosa.

3.2.2 Persiapan Inokulum

Biakan fungi Trametes versicolor yang didapat dari Puslit Kimia, LIPI, Serpong dikultur
pada medium PDA-JIS (dalam 200 ml aquades ditambahkan 0.6 gram KH2PO4, 0,4 gram
MgSO4.7H2O, 25 gram glukosa, 5 gram pepton, dan 10 gram malt extract), selanjutnya kultur
diinokulasi ke dalam PDA diinkubasi selama 7 hari dalam kondisi stasioner. Kemudian dipindah
ke media PDB diinkubasi selam 7 hari dalam keadaan terus digoyang (menggunakan mesin
shaker). Setelah itu miselium dipisahkan dari PDB. Air steril dan nutrient ( (NH4)2SO4,
MgSO4.7H2O, KH2PO4, yeast extract, glukosa) ditambahkan sehingga diperoleh 100 ml
inokulum. Inokulum dihomogenkan dengan waring blender dengan kecepatan tinggi 5,000 rpm
selama 2 menit. Diagram alir persiapan inokulum dapat dilihat pada gambar 5.

11
Gambar 5. Diagram alir persiapan inokulum

12
3.2.3 Biodelignifikasi

Delignifikasi dilakukan terhadap LTJ (10 g/sampel) ukuran 40 mesh yang dicampur dengan
akuades dengan perbandingan LTJ : akuades = 1:5, kemuadian dimasak menggunakan magic com
dengan suhu 100°C dalam waktu 1 jam. LTJ yang telah dimasak diperas airnya dan ditimbang
sebanyak 30 g/sampel untuk dimasukkan ke dalam jar 200 ml, disterilisasi menggunakan autoclave
selama 20 menit. Proses delignifikasi dilakukan di dalam jar selai ukuran 200 ml yang ditutup dengan
kain dan diikat dengan karet dan dibungkus dengan plastik untuk mencegah adanya kontaminasi dari
mikroorganisme yang lain. Ke dalam jar tersebut sebelumnya telah ditambahkan nutrient untuk
pertumbuhan kapang. Jar disimpan dalam inkubator yang telah diset suhunya dan dalam waktu yang
sesuai dengan rancangan percobaan.
LTJ yang telah didelignifikasi kemudian di timbang dan dipindahkan ke aluminum foil untuk
dikeringkan dalam oven 50 °C selama 48 jam. Untuk diagram alir proses biodelignifikasi dapat dilihat
pada gambar 6.

13
10 gram bahan
(limbah tanaman
jagung)

Air 50 ml
Pencampuran
(air:bahan 5:1)

Pemasakan
(suhu 100°C, 1
jam)

Pemerasan Air sisa perasan

Pemasukkan
bahan ke dalam
jar (30 gram)

Sterilisasi (121°C,
20 menit)

Inokulasi jamur dalam


bahan (sesuai
perlakuan: 2,5 ml,
6,25 ml, 10 ml)

Perlakuan suhu dalam


rentang waktu
pertumbuhan 7 hari

Masa tumbuh
jamur dalam
bahan
(biodelignifikasi)

Gambar 6. Diagram alir proses biodelignifikasi

Setelah proses delignifikasi dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah proses pemanenan
yang digunakan untuk proses awalan pegujian analisis pada bahan yang LTJ yang telah
didelignifikasi. Diagram alir proses pemanenan dapat dilihat pada gambar 7.

14
Gambar 7. Diagram alir proses pemanenan

3.2.4 Analisis Hasil Delignifikasi

LTJ yang telah didelignifikasi dianalisis seperti pada analisis karakter LTJ. Hasil analisis
akan menghasilkan kadar air LTJ yang telah didelignifikasi (WT, dalam g), kadar bahan ekstraktif (YE,
dalam g), kadar lignin (YL dalam g), kadar hemiselulosa (YH dalam g), kadar alfa selulosa (YA dalam
g). Prosedur analisis dapat dillihat pada lampiran 1.

3.2.5 Pengolahan Data


3.2.5.1 Rancangan Percobaan
Penelitian ini melibatkan tiga faktor, yaitu suhu inkubasi (T : 30 – 70oC) dan volume
inokulum (V : 2.5 – 10 ml). Penetapan rentang dalam rancangan percobaan didasarkan pada
penelitian Fadhilah 2008. Suhu inkubasi ditetapkan pada nilai antara 40oC (Fadilah et al. 2008)
dan volume inokulum antara 5 ml (Fadilah et al. 2008). Sedangkan waktu untuk masa inkubasi
tidak menjadi perlakuan melainkan ditetapkan 7 hari.
Percobaan yang dilakukan menggunakan central composite design (CCD) dengan dua
faktor. Rancangan ini menghasilkan 13 kombinasi yang harus dilakukan dan 5 center point
(Lampiran 2). Dengan rancangan ini dihasilkan persamaan respon yang berbentuk:

15
YE = β0 + β1x1 + β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x12 …….. (2)
YL = β0 + β1x1 + β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x12 …….. (3)
YA = β0 + β1x1 + β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x12 …….. (4)
YH = β0 + β1x1 + β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x12 …….. (5)

Notasi YE menunjukkan kadar bahan ekstraktif proses delignifikasi (g/g LTJ), Notasi YL
menunjukkan kadar lignin proses delignifikasi (g/g LTJ), Notasi YA menunjukkan kadar alfa
selulosa proses delignifikasi (g/g LTJ), Notasi YH menunjukkan kadar hemiselulosa proses
delignifikasi (g/g LTJ), dengan nilai faktor tertentu, x1 adalah suhu inkubasi (oC), x2 adalah
volume inokulum (ml/g LTJ), sedangkan β adalah koefisien. Metode untuk pembentukan
persamaan, teori-teori yang berkaitan dengan CCD, dan beberapa analisis statistika yang dapat
dilakukan pada rancangan tersebut.

3.2.5.1 Analisis Statistika


Analisis statistik dan penentuan kondisi terbaik pada proses delignifikasi dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data
berupa grafik permukaan respon, analisis ragam, persamaan, dan kondisi terbaik pada proses
yang diamati.

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISTIK LIMBAH TANAMAN JAGUNG

Analisis yang dilakukan terhadap LTJ awal adalah kadar air, kadar bahan ekstraktif, kadar
lignin, kadar hemiselulosa, dan kadar alfa selulosa. Hasil yang didapat adalah:

Tabel 1. Kandungan lignoselulosa limbah tanaman jagung awal


Kadar Air Bahan Lignin (% Alfa selulosa Hemiselulosa (%
Bahan (% bk) Ekstraktif bk) (% bk) bk)
(% bk)
LTJ 14.207 4.74 23.16 40.79 (3.3335) 33.83 (2.7647)
awal (1.4207) (0.4066) (1.8927)
* angka di dalam ( ) menunjukkan g/10 g LTJ basah

Analisis terhadap LTJ awal menunjukkan bahwa kadar lignin LTJ yang digunakan lebih
tinggi dari pada kadar lignin limbah tanaman jagung yang ditunjukkan oleh Dermibas (2005) yakni
sekitar 15-21%. Akan tetapi, masih berada pada rentang 10–25% yang disebutkan oleh Knauf dan
Moniruzzaman (2004). Demikian pula dengan kadar bahan ekstraktif, masih masuk ke dalam rentang
yang disebutkan oleh Demirbas (2005), yaitu 1–7%. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat disebabkan
karena perbedaan varietas tanaman, tempat tumbuh, dan umur tanaman yang digunakan (Dermibas
2005).
Untuk kandungan alfa selulosa dan hemiselulosa, jika LTJ termasuk dalam Softwood maka
kandungan selulosanya 45% dan hemiselulosanya 25% (Sun dan Cheng 2002). Untuk tongkol jagung
sendiri mengandung 45% selulosa dan 35% hemiselulosa (Sun dan Cheng 2002). Jika dibandingkan
literatur ini maka hasil penelitian terhadap bahan awal LTJ masih dalam rentang yang sama dengan
Sun dan Cheng (2002).

4.2 PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR BAHAN EKSTRAKTIF

Bahan ekstraktif merupakan bagian yang larut dalam pelarut organik yang jumlahnya hanya
beberapa persen dalam kayu pohon atau bahan berlignoselulosa, namun konsentrasinya bisa berbeda
pada setiap bagian tanaman. Kandungan bahan ekstraktif ini juga berbeda disebabkan variasi tapak
geografi dan musim. Komposisi bahan ekstraktif juga berubah selama proses pengeringan terutama
senyawa-senyawa tak jenuh, lemak dan asam lemak yang terdegradasi (Fengel dan Wegener 1995).
Bahan ekstraktif mencakup sejumlah senyawa kimia yang luas, meskipun terdapat dalam
kayu atau bahan berlignoselulosa biasanya dalam jumlah yang kecil. Bahan ekstraktif sampel kayu
yang telah diisolasi dapat digunakan untuk menentukan struktur dan komposisi komponen-komponen
penyusunnya. Dalam analisis kayu secara umum, hanya kuantitasnya yang ditentukan setelah isolasi.
Dengan cara ini diperoleh bahan bebas ekstraktif yang dapat digunakan sebagai bahan awal untuk
mengisolasi dan menganalisis komponen dinding sel makromolekul.
Isolasi bahan ekstraktif dapat dilakukan dengan cara ekstraksi dengan menggunakan
campuran pelarut netral atau dengan pelarut tunggal secara berurutan. Fraksi senyawa mudah

17
menguap, misal terpena dalam kayu lunak diisolasi dengan cara distilasi uap. Ekstraksi dengan pelarut
dapat dilakukan dengan pelarut yang berbeda seperti eter, aseton, benzene, etanol, diklorometana atau
campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tannin dan senyawa berwarna
merupakan senyawa-senyawa yang paling penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut. Komponen
utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-gram
anorganik (Fengel dan Wegener 1995).
Hasil pengolahan data kadar bahan ekstraktif pada berbagai perlakuan menghasilkan
persamaan kadar bahan ekstraktif untuk proses biodelignifikasi yang diamati sebagai berikut.
YE = 0.247 + 0.063 x1…………………..…(6)
Dimana notasi YE adalah kadar bahan ekstraktif (g/g LTJ), x1 adalah suhu inkubasi (oC).
Nilai p > F untuk lack of fiti 0.1133 (analisis ragam terlampir pada Lampian 5) yang berarti
tidak nyata terhadap YE. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk
menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Sedangkan Nilai p > Fii pada model faktor suhu
menunjukkan angka 0.0074 yang berarti berpengaruh nyata terhadap YE yang artinya nilai faktor
kurang dari nilai α (α= 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor suhu secara berpengaruh
nyata terhadap YE.

4.2.1 Suhu Inkubasi

Suhu inkubasi (x1) merupakan faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kadar bahan
ekstraktif pada proses yang diamati. Hal ini menunjukkan respon kadar bahan ekstraktif akibat
perbedaan suhu inkubasi. Hasil ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 5) yang
menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh suhu inkubasi bernilai 0.0074, yang berarti
berpengaruh nyata terhadap YE.

4.2.2 Volume Inokulum

Volume Inokulum (x2) merupakan faktor yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar
bahan ekstraktif pada proses yang diamati. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 5)
yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum bernilai 0.6814, yang
berarti tidak nyata terhadap YE.

i
Variasi data pada model. Variasi yang nyata tidak diharapkan.
ii
Peluang untuk mendapatkan nilai F (F-hitung) dimana hipotesis nol diterima (tidak ada pengaruh nyata).
Peluang yang kecil mengakibatkan penolakan hipotesis nol (faktor berpengaruh nyata). Peluang nilai p > F
lebih kecil dari 0.05 menunjukkan bahwa faktor memiliki pengaruh nyata.

18
Gambar 8. Permukaan respon interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume inokulum (ml/g LTJ)
terhadap kadar bahan ekstraktif

Pada pengaruh interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum yang diamati menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata. Hal tersebut tampak dari permukaan respon (gambar 8) yang cenderung
berubah pada berbagai kombinasi perlakukan. Hal ini dikuatkan dengan nilai p > F yang menunjukkan
nilai 0.1372. Sehingga dalam kadar bahan ekstraktif faktor satu-satunya yang berpengaruh adalah
suhu inkubasi.

Tabel 2. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap kadar
bahan ekstraktif
Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan
x1- x2 0.1372 Tidak nyata
*Notasi “x1- x2” berarti interaksi waktu dengan suhu

Dalam kondisi suhu yang terbaik, kapang akan tumbuh dengan baik dan ikut mendegradasi
bahan ekstraktif. Karena dalam pertumbuhan, kapang membutuhkan nutrisi sedangkan nutrisi untuk
hidup ini bisa diperoleh dari bahan ekstraktif yang komponennya tersusun dari lemak, asam lemak,
dan steroid yang bisa dijadikan sumber nutrisi. Dengan berkurangnya jumlah bahan ekstraktif
mengindikasikan pertumbuhan kapang yang baik.

4.3 PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR LIGNIN

Delignifikasi yang ideal adalah penghilangan total lignin tanpa serangan bahan kimia
terhadap polisakarida, namun tidak ada prosedur delignifikasi yang dapat memenuhi persyaratan
tersebut. Holoselulosa merupakan produk yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu atau
bahan berlignoselulosa. Tiga kriteria penting dapat digunakan untuk mendefinisikan holoselulosa:
1. Kandungan sisa lignin rendah.
2. Hilangnya polisakarida minimal.
3. Degradasi oksidatif dan hidrolitik selulosa minimal (Fengel dan Wegener 1995).

19
Oleh karena sifat-sifat lignin yang dihasilkan dari struktur-struktur molekulnya dan
terdapatnya di dalam dinding sel, maka isolasi lignin dalam bentuk yang tidak berubah dan
penentuannya secara pasti hingga sekarang belum dimungkinkan. Semua metode isolasi mempunyai
kerugian yaitu mengubah struktur alami lignin secara mendasar atau hanya melepaskan sebagian
lignin yang relatif tidak berubah. Metode isolasi lignin pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:
1. Metode yang menghasilkan lignin sebagai sisa.
2. Metode yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi atau
dengan pembentukkan turunan yang larut.
Sebelum isolasi lignin, bahan ekstraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk mencegah
pembentukkan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses isolasi. Dengan alasan yang sama,
terutama jika asam mineral kuat digunakan dalam isolasi, pelarut seperti alkohol dan aseton harus
dihilangkan secara sempurna dari bahan yang diekstraksi. Metode isolasi kelompok pertama
menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida, campuran asam-asam
tersebut atau asam mineral lain. Dalam hal ini lignin asam sulfat konsentrasi asam yang digunakan
untuk tahap hidrolisis pertama setara antara 68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan
dengan tahap pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan asam
dengan kosentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan mereaksikan kayu dengan asam
klorida lewat jenuh dikatakan kurang terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat.
Semua lignin diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama karena
reaksi kondensasi. Di samping itu lignin asam sulfat dan asam klorida masing-masing mengandung
belerang dan klor yang cukup banyak. Karena itu sediaan tersebut tidak dapat digunakan untuk
penentuan struktur tetapi terutama digunakan untuk memperkirakan kandungan lignin (Fengel dan
Wegener 1995)
Hasil pengolahan data kadar lignin yang diperoleh dari reaksi klakson lignin (proses isolasi
asam sulfat) pada berbagai perlakuan menghasilkan persamaan kadar lignin untuk proses
biodelignifikasi yang diamati sebagai berikut.
YL = 1.851 - 0.116 x1 x2………………………(7)
Dimana notasi YL adalah kadar lignin (g/g LTJ), x1 adalah suhu inkubasi (oC), x2 adalah
volume inokulum.
Nilai p > F untuk lack of fit 0.1601 (analisis ragam terlampir pada Lampiran 6) yang berarti
tidak berpengaruh nyata terhadap YL. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan (3) yang terdiri dari x1
dan x2 cukup untuk menggambarkan proses delignifikasi yang diamati. Bila dilakukan pengolahan
data dengan mengganti nilai α menjadi 95% maka didapat nilai P > F pada model menunjukkan angka
0.0419 yang berarti nyata terhadap YL namun hanya dalam respon interaksi pengaruh suhu dengan
volume inokulum.

4.3.1 Suhu Inkubasi

Suhu inkubasi (x1) merupakan faktor yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar
lignin pada proses yang diamati. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) yang menunjukkan pengaruh
kuadratik faktor ini tidak berpengaruh nyata dengan peluang nilai p > F 0.8611. Hal ini menunjukkan
suhu inkubasi tidak berpengaruh nyata pada proses pendegredasian lignin oleh kapang.

20
4.3.2 Volume Inokulum

Volume Inokulum (x2) merupakan faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kadar
lignin pada proses yang diamati. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 6) yang
menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum bernilai 0.0716, yang berarti
nyata terhadap YL. Sehingga faktor volume inokulum mempengarusi respon permukaan kadar lignin.

Gambar 9. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume inokulum (ml/g
LTJ) terhadap kadar lignin

Pengaruh interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum pada proses yang diamati
menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal tersebut tampak dari permukaan respon (Gambar 9) yang
cenderung berubah pada berbagai kombinasi perlakukan, dan dikuatkan dengan hasil analisis ragam
dengan nilai peluang nilai p > F 0.0419 yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut nyata (Tabel
3).

Tabel 3. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap kadar
lignin
Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan
x1- x2 0.0419 Nyata
*Notasi “x1- x2” berarti interaksi waktu dengan suhu

Dalam degradasi lignin pertumbuhan kapang dipengaruhi oleh interaksi antara suhu inkubasi
dengan volume inokulum.

4.4 PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR ALFA SELULOSA

Terdapat tiga tipe metode utama untuk isolasi atau penentuan selulosa:
1. Pemisahan bagian utama poliosa-poliosa dan sisa lignin dari holoselulosa.
2. Isolasi langsung selulosa dari kayu, termasuk prosedur pemurnian.

21
3. Penentuan kandungan selulosa dengan cara hidrolisis total kayu, holoselulosa atau alfa selulosa,
diikuti dengan penentuan gula yang dihasilkan.
Dalam setiap metode isolasi, selulosa tidak dapat diperoleh dalam keadaan murni, namun
hanya diperoleh sebagai hasil yang kurang urni yang biasanya disebut alfa selulosa. Istilah ini
dinyatakan oleh Cross dan Bevan (1912) untuk selulosa kayu yang tidak larut dalam larutan natrium
hidroksida kuat. Bagian yang larut dalam media alkali tetapi dapat mengendap dalam larutan yang
dinetralkan disebut betaselulosa. Gammaselulosa adalah nama untuk bagian yang tetap larut meskipun
dalam larutan yang dinetralkan (Fengel dan Wegener 1995).
Hasil pengolahan data kadar alfa selulosa pada berbagai perlakuan menghasilkan persamaan
kadar alfa selulosa untuk proses biodelignifikasi yang diamati sebagai berikut.

YA = 3.346 + 0.063 x1 + 0.0315 x2 – 0.0829 x1 x2 – 0.413 x12 – 0.174 x2…………..…(8)

Dimana notasi YA adalah kadar Alfa selulosa (g/g LTJ), x1 adalah suhu inkubasi (oC) dan x2
adalah volume inokulum (ml).
Seluruh faktor (suhu dan volume inokulum) berpengaruh nyata terhadap kadar alfa selulosa
dapat dilihat dari nilai P > F pada model yang menunjukkan angka 0.0324 yang berarti nyata terhadap
YA. Nilai p > F untuk lack of fit 0.2873 (analisis ragam terlampir pada Lampiran 7) yang berarti tidak
nyata terhadap YA. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk
menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor
secara keseluruhan nyata terhadap YA.

4.4.1 Suhu Inkubasi

Suhu inkubasi (x1) merupakan faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kadar alfa
selulosa pada proses yang diamati. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) yang menunjukkan pengaruh
kuadratik faktor ini berpengaruh nyata dengan peluang nilai p > F 0.0014. Tampak dari permukaan
respon (gambar 10) yang cenderung berubah pada berbagai kombinasi perlakukan.

4.4.2 Volume Inokulum

Volume Inokulum (x2) merupakan faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kadar
lignin pada proses yang diamati. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 7) yang
menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum bernilai 0.0324, yang berarti
nyata terhadap YA. Tampak dari permukaan respon (Gambar 10) yang cenderung berubah pada
berbagai kombinasi perlakukan.

22
Gambar 10. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume inokulum (ml/g
LTJ) terhadap kadar alfa selulosa

Namun pada permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (x1) dengan volume
inokulum (x2) pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Jadi tidak ada
hubungan yang nyata antara faktor suhu (x1) dan volume inokulum (x2). Hal ini dikuatkan dengan
hasil analisis ragam dengan nilai peluang nilai p > F yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut
tidak nyata (Tabel 4) dan pada gambar 10, meskipun tiap-tiap faktor x1 dan x2 berpengaruh nyata
terhadap respon kadar alfa selulosa.

Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap kadar
alfa selulosa
Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan
x1- x2 0.4998 Tidak nyata
*Notasi “x1- x2” berarti interaksi suhu dengan volume inokulum

Volume inokulum yang bepengaruh nyata merupakan konsentrasi kapang (gram/ml). Kapang
yang dihomogenkan bersama nutrient dan air steril, disaring untuk menegathui berat kering kapang
(gram)/ 10 ml larutan (nutrient dan air steril). Kosentrasi pembebanan kapang yang dihasilkan
adalah 0.0174 g/10 ml (untuk suhu inkubasi 30°C), 0.0189 g/10 ml (untuk suhu inkubasi 50°C), dan
0.0482 g/10 ml.

4.5 PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR HEMISELULOSA

Kadar hemiselulosa dapat dihitung dengan cara mengurangkan jumlah holoselulosa dengan
jumlah alfa selulosa yang didapatkan dari hasil uji langsung. Karena alfa selulosa (selulosa) dan
hemiselulosa merupakan komponen utama penyusun holoselulosa. Pada hasil pengolahan data kadar
hemiselulosa untuk berbagai perlakuan menghasilkan persamaan kadar hemiselulosa untuk proses
delignifikasi yang diamati sebagai berikut.
YH = 2.134 + 0.155 x1 ……………………….(9)
Dari persamaan dapat diketahui faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan kapang dalam
mendegradasi hemiselulosa adalah suhu (x1), sedangkan volume inokulum (x2) sama sekali tidak
berpengaruh.

23
Dari data awal nilai p > F untuk lack of fit 0.6260 (analisis ragam terlampir pada Lampiran 8)
yang berarti tidak nyata terhadap YH. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh tidak
menggambarkan proses delignifikasi yang diamati. Sedangkan Nilai p > F pada model menunjukkan
angka 0.0980 yang didefinisikan tidak nyata terhadap YH. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
faktor secara keseluruhan tidak nyata terhadap YH. Maka bila dilakukan pengolahan data selanjutnya
yaitu dengan mengganti nilai α menjadi 95% didapatkan nilai p > F pada model yang nyata dengan
dengan nilai 0.0056 dan faktor yang berpengaruh nyata tersebut adalah suhu inkubasi (x2).

4.5.1 Suhu Inkubasi

Suhu inkubasi (x1) adalah faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa
pada proses yang diamati. Gambar 11 menunjukkan respon kadar hemiselulosa akibat perbedaan suhu
inkubasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 8) yang menunjukkan nilai peluang
nilai p > F untuk pengaruh suhu inkubasi bernilai 0.0091, yang berarti berpengaruh nyata terhadap
YH.

4.5.2 Volume Inokulum

Volume Inokulum (x2) merupakan faktor yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar
lignin pada proses yang diamati. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 8) yang
menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum bernilai 0.8272, yang berarti
tidak nyata terhadap YH.

Gambar 11. Permukaan respon pengaruh interaksi suhu inkubasi (oC) dengan volume inokulum (ml/g
LTJ) terhadap kadar hemiselulosa

Pengaruh interaksi suhu inkubasi (x1) dengan volume inokulum (x2) pada proses yang diamati
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Hal tersebut tampak dari permukaan respon (gambar 11)
yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi perlakuan dan dikuatkan dengan hasil analisis
ragam dengan nilai peluang nilai p > F yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak nyata
(Tabel 5).

24
Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum terhadap kadar
hemiselulosa
Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan
x1- x2 0.3457 Tidak nyata
*Notasi “x1- x2” berarti interaksi waktu dengan suhu.

4.6 KONDISI TERBAIK BIODELIGNIFIKASI

Kondisi terbaik proses biodelignifikasi yang diamati dapat diperkirakan menggunakan


persamaan kadar bahan ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa, dan kadar alfa selulosa), akan
tetapi pada persamaan tersebut terdapat faktor-faktor yang tidak berpengaruh. Persamaan yang
diperoleh yang menyertakan peubah yang berpengaruh nyata. Suhu inkubasi menjadi peubah yang
berpengaruh pada setiap respon yang dicari, persamaan yang didapat sebagai berikut.

YE = 0.247 + 0.063 x1
YL = 1.851 - 0.116 x1 x2
YA = 3.346 + 0.063 x1 + 0.0315 x2 – 0.0829 x1 x2 – 0.413 x12 – 0.174 x22
YH = 2.134 + 0.155 x1

Notasi YE menunjukkan kandungan bahan ekstraktif pada LTJ yang telah didelignifikasi
(gram), YL menunjukkan kandungan lignin pada LTJ yang telah didelignifikasi (gram), YH
menunjukkan kandungan hemiselulosa pada LTJ yang telah didelignifikasi (gram), YA menunjukkan
kandungan alfa selulosa pada LTJ yang telah didelignifikasi, x1 menunjukkan suhu inkubasi (oC) dan
x2 menunjukkan volume inokulum (ml).
Perkiraan kondisi optimum dengan menggunakan persamaan yang telah diubah mendapatkan
kondisi delignifikasi seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkiraan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi


Perlakuan*
x1 x2
45.80 5.42
x1 : Suhu inkubasi (oC); x2 : Volume inokulum (ml)

Pada kondisi waktu inkubasi selama 7 hari, kandungan bahan ekstraktif pada LTJ yang telah
didelignifikasi sebesar 0.2228 gram (penurunan bahan ekstraktif 45.2%), kandungan lignin sebesar
1.823 gram (penurunan lignin 3.68%), kandungan hemiselulosa sebesar 2.1569 gram (penurunan
hemiselulosa 21.98%), dan kandungan alfa selulosa sebesar 3.2338 gram (penurunan alfa selulosa
2.99%). Dengan berat awal LTJ yang belum didelignifikasi adalah 10 gram kering.
Penurunan kadar lignin (3.68%) yang terlihat tidak terlalu besar dibandingkan dengan
penurunan hemiselulosa (21.98%), hal ini disebabkan karena kapang pelapuk putih Trametes
versicolor mendegradasi seluruh komponen lignoselulosa (bersifat non selektif). Kapang ini
menyerang hemiseluosa sebelum atau berbarengan dengan lignin. Akhtar et al. (1997) dalam Zabel
dan Morell (1992) menyatakan bahwa urutan pendegradasian kayu oleh kapang putih ini adalah
hemiselulosa, lignin, dan kemudian selulosa. Hal inilah yang membuat penurunan kadar hemiselulosa
lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan kadar lignin.

25
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fadilah (2008) kapang pelapuk putih untuk
jenis Phanerochaete chrysosporium dapat tumbuh pada suhu 30 – 50 oC. Menurut Fadilah (2008),
kapang pelapuk putih jenis Phanerochaete chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan optimum
40oC. Karena masih dalam satu divisi basidomycetes, maka jika Trametes versicolor dapat tumbuh
pada suhu 45.80 °C adalah masih dalam kondisi yang relevan. Dalam kondisi suhu ini enzim-enzim
perombak lignin teraktivasi dan melakukan kerjanya dalam pendegradasian lignin.

26
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pada penelitian proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung menggunakan kapang pelapuk
putih Trametes versicolor menunjukkan bahwa faktor suhu inkubasi (x1) adalah faktor yang
bepengaruh nyata pada kadar bahan ekstraktif, kadar alfaselulosa, dan kadar hemiselulosa. Sedangkan
faktor volume inokulum (x2) hanya berpengaruh nyata pada kadar lignin.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data didapatkan kondisi terbaik dalam proses
biodelignifikasi waktu inkubasi selama 7 hari yaitu pada suhu 45.80 ºC dan volume inokulum
sebanyak 5.42 ml. Pada kondisi tersebut kandungan bahan ekstraktif pada LTJ yang telah
didelignifikasi sebesar 0.2228 gram (penurunan bahan ekstraktif 45.2%), kandungan lignin sebesar
1.823 gram (penurunan lignin 3.68%), kandungan hemiselulosa sebesar 2.1569 gram (penurunan
hemiselulosa 21.98%), dan kandungan alfa selulosa sebesar 3.2338 gram (penurunan alfa selulosa
2.99%). Dengan berat awal LTJ yang belum didelignifikasi adalah 10 gram kering.

B. SARAN
Penentuan keadaan terbaik pertumbuhan kapang pelapuk putih Trametes versicolor dalam
proses biodelignifikasi ini belum mencapai nilai yang sempurna karena kemungkinan keadaan terbaik
terdapat di luar nilai rentang yang telah ditentukan, sehingga rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya dengan menggunakan rentang penentuan penelitian yang berbeda terutama dalam volume
inokulum dan juga penggunaan waktu inkubasi yang disamakan untuk tiap perlakuannya. Karena
kapang pelapuk putih Trametes versicolor ini bersifat aerobik maka perlu diperhatikan ketersediaan
oksigen saat inkubasi, karena oksigen juga berpengaruh dalam aktivasi enzim pendegradasi lignin.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adaskaveg JE, Gilbertson RL and Dunlap MR. 1995. Effects of incubation time and temperature on in
vitro selective delignification of silver leaf oak by Ganoderma colosum. Appl. Enviro.
Microbiol. 61: 138-144.
Akhtar M, Blanchette RA and Kirk TK. 1997. Fungal delignification and biomechanical pulping of
wood. Advances in Biochemical Engineering Biotechnology. 57:159-195.
Alwin, E. 2007. Expansion of biofuels retail market in indonesia. In: International Biofuel
Conference on Februari 2007, Tokyo.
Bourbonnais R and Paice MG. 1990. Oxidation of nonphenolic subtrates: an expanded role for laccase
in lignin biodegradation. FEBS Letters. 267:99-102.
Brandberg T, Franze, Gustafsson. 2004. The fermentation performance of nine strains of
Saccharomyces cerevisiae in batch and fed-batch cultures in dilute-acid wood hydrolysate.
Journal of Bioscience and Bioengineering 98(2), 122–125.
Casey JP. 1952. Pulp and Paper. Chemistry and Chemical Technology. Interscience Publisher.
London.
Chahal, P.S. and D.S Chahal. 1998. Lignoselulosic waste: biological conversion. In: Martin, AM.
[ed]. Bioconversion of Waste Materials to Industrial Products. Ed ke-2. London: Blackie
Academic & Pofessional. pp. 376-422.
Dodson PJ, Evans, Harvey PJ and Palmer JM. 1987. Production and properties of an extracullular
peroxidase from coriolus versicolor which catalyzes calpha c-beta cleavage in a lignin model
compound. FEMS Microbiol. Lett. 42:17-22.
Dellweg, H. 1983. Biomass, Microorganism for special Application Microbial Products I, energy
from Renewable Resources. Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie. Florida.
Deptan. 2009. Produksi Jagung Nasional 2009. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/tan/. [20 Mei
2010].
Eaton RA, and Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Chapman & Hall, London-
New York-Toronto-Melbourne-Madras.
Effendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV Yasaguna, Jakarta.
Fengel D dan Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Gadjah Mada Universty
Press: Yogyakarta.
Fitria, Dede Heri YT, Riksfardini AE, dan Euis Hermiati. Pengaruh perlakuan pendahuluan dengan
jamur pelapuk putih (Trametes versicolor dan Pleorotus ostreatus) terhadap kadar lignin dan
selulosa bagasse. UPT BPP Biomaterial LIPI: Jakarta.
Foody B, Tolan JS, dan Bernstein JD. 1999. Pretreatment process for conversion of cellulose to fuel
ethanol. U.S pat. No. 6.090.595.
Fridia T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap Sakarifikasi Limbah Lignoselulosik. Skripsi.
Fateta IPB. Bogor.
Hammel KE. 1997. Fungal degradation of lignin. In: Cadisch G, Giller KE Dryven By Nature: Plant
Litter Quality and Decmposition. London: CAB Intrnational. Hal. 33-45.
Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbuchel A. [ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin,
Humic Substances and Coal. Germany: Wiley VCH. Pp. 129-180.
Hofrichter M. 2002. Review: lignin conversion by manganese peroxidase (mnp). Enzyme Microbiol.
Technol. 30: 454-466.

28
Ingram LO dan Doran JB. 1995. Coversion of sellulosic material to ethanol. FEMS Microbiology
Reviews 16:235-241.
Kirk TK and Farrell TK. 1987. Enzymatic “combustion”: the microbial degradation of lignin. Ann
Rev. Microbiol. 41: 465-505.
Levine JS. 1996. Biomass burning and global change. In: Levine JS (eds) (vol. 1) Remote sensing and
inventory development and biomass burning in Africa. The MIT Press, Cambridge,
Massachusetts, USA, pp 35.
Lynd LR, Weimer PJ, van Zyl WH and Pretorius IS. 2002. Microbial cellulose utilization:
fundamentals and biotechnology. Microbiol Mol Biol Rev. 66(3): 506-577.
Lyon WF. 1991. Wood rot. Ohio State University, USA. http://www.ohioline.osu.edu. [4 Feb 2004].
Nakasone KK. 1993. Biodiversity and coarse wind debris in southern forests. In: McWim JW,
Crossley DA (Eds). Proceeding of The Workshop on Coarse Woody Debris in Southern Forests:
Effect on Biodiversity. p. 35-42. Athens, GA, 18-20 Oktober 1993.
Nicholas DD. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan Perlakuan dan
Pengawetan. Terjemahan. Jilid I. Degradasi dan Proteksi Kayu. Airlangga University Press,
Surabaya.
Orth AB, Royse DJ, Tien M. 1993. Ubiquity of lignin degrading peroxidases among various wood
degrading fungi. Appl Envirin Microbiol 59:4017-4023.
Pasaribu RA, Komariyati, dan Suprapti. 1998. Studi biodelignifikasi campuran limbah kayu
pembaakan sebagai bahan baku pulp. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 15(7): 433-447, Bogor.
Perez J, Munoz D, de la Rubia T dan Martinez T. 2002. Biodegradation and biological treatments of
cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int Microbiol. 5:53-63.
Samsuri M. dkk. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi ethanol melalui sakarifikasi dan
fermentasi serentak dengan enzim xylanase. LIPI, Cibinong Bogor .
Sellulose Structure [Homepage of Chemistry Structures], [Online]. 2000.
www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html. [20 Mei 2010].
Singh SP dan Roymoulik SK. 1993. Role of biotechnology in the pulp and paper industry. A Revie.
Part 1: Biopulping. J. IPPTA. 4(4): 53-56.
Sjostrom. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Terjemahan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Sun Y. and Cheng J. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: A Review’,
Bioresource Technology 83(1), 1–11.

29
LAMPIRAN

30
Lampiran 1. Prosedur Analisa

1. Kadar Air
Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven selama sehari atau .inimal 3
jam sebelum pengujian. Cawan kosong tersebut dimasukkan ke dalam desikator sekitar 30
menit. kemudian ditimbang. Bahan ditimbang masing-masing ± 2 gram ke dalam cawan.
Cawan yang telah diisi bahan dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 16-24 jam. Cawan
dipindahkan ke desikator menggunakan penjepit untuk didinnginkan selama 30 menit.
Kemudian cawan yang berisi bahan tersebut ditimbang.

Kadar air (% BK) = (Berat sampel awal-berat sampel akhir) x 100


Berat sampel akhir

2. Kadar Ekatraktif
Labu didih ukuran 250 ml disiapkan di dalam oven selama sehari (105oC) atau
minimal 3 jam sebelum pengujian. Labu kosong tersebut dimasukkan ke dalam desikator
selama 30 menit kemudian ditimbang. Kran air dicek apakah menyala atau tidak sebagai
pendingin sokhlet. Bahan masing-masing sebanyak 3 gram (berat kering oven) dimasukkan
ke dalam kertas saring segi empat (sebagai kokon). ditutup dengan kapas dan diikat dengan
tali. Kemudian kode sampel dituliskan pada kokon menggunakan pensil. Kokon dipasangkan
pemberat yaitu mini magnetic stirrer. Kokon dimasukkan pada perangkat sokhlet dan
dituangkan pelarut alkohol-benzene (1;2) sebanyak sekitar 2/3 isi labu didih ke dalamnya.
Kokon diekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 90oC (set angka 50 pada hot plate). Kokon
dikeluarkan dari sokhlet dan dimasukkan ke dalam oven 105oC semalam. Pelarut dimasukkan
kembali ke dalam wadahnya. sementara labu yang berisi hanya zat ekstraktif di dalam oven
105oC dikeringkan semalam. Labu yang berisi zat ekstraktif dimasukkan ke desikator selama
30 menit. kemudian ditimbang. Sampel yang telah bebas ekstraktif disiapkan untuk uji
klakson lignin dan holoselulosa.
3. Klakson Lignin
Gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil disiapkan dalam oven selama sehari
atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Gelas IG3 kosong dan cawan tersebut dimasukkan ke
dalam desikator selama 30 menit. Gelas IG3 kosong tersebut ditimbang. sedangkan cawan
digunakan untuk mengukur kadar air bahan bebas ekstraktif (prosedur seperti pengukuran
kadar air. tetapi berat bagas diganti menjadi 0.5 gram). Bahan bebas ekstraktif sebanyak 0.5
gram kering dimasukkan ke dalam beaker glass ukuran 50 ml, selanjutnya dimasukkan 7.5
ml H2SO4 72%. H2SO4 72% dibuat dengan cara menuangkan 37.89 ml H2SO4 95% ke dalam
labu takar 50 ml. kemudian cara perlahan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diaduk
sesekali (dapat dilakukan dengan memasukkan mini magnetic stirrer dan dipasang angka 10
pada stirrer plate) selama 4 jam pada suhu kamar (dilakukan dengan menuangkan air sebelum
pengadukan di sekitar beaker glass yang telah disangga cawan petri). Bagas yang telah
diaduk selama 4 tersebut dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 300 ml. kemudian
ditambahkan masing-masing 280 ml akuades ke dalam Erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup
dengan aluminium foil rangkap dua dan di autoklaf 121oC selama 15 menit (pada autoklaf
dipasang timer 15 menit). Kemudian langsung disaring dengan gelas filter IG3 dan dicuci
dengan air panas masing-masing 100 ml. Gelas IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105oC

31
selama 16-24 jam dikeringkan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit
kemudian ditimbang.

4. Holoselulosa
Gelas filter IG3 kosong disiapkan dalam oven selama sehari atau minimal 3 jam
sebelum pengujian. Selanjutnya. gelas IG3 kosong dimasukkan ke dalam desikator selama 30
menit dan ditimbang. Bagas bebas ekstraktif sebanyak 1.5 gram kering dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 100 ml. Kemudian dimasukkan masing-masing 90 ml akuades. 2.4 ml NaClO2
25% dan 0.12 ml asam asetat glasial 100%. Erlenmeyer ditutup dengan plastik tahan panas
kemudian aluminium foil rangkap dan dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam. Kemudian
tanpa menunggu dingin. ditambahkan masing-masing 2.4 ml NaClO2 25% dan 0.12 ml asam
asetat glasial 100% berulang-ulang setiap jam sampai serbuk bagas berwarna putih. Serbuk
bagas yang telah menjadi putih segera dimasukkan ke dalam gelas filter IG3 sambil divakum.
Setiap bagas dicuci dengan air dingin 250 ml dan dibilas dengan aseton. Gelas filter IG3 yang
telah berisi filter dikeringkan pada suhu 105oC selama 16-24 jam dan didinginkan dalam
desikator selama 30 menit kemudian ditimbang.

5. Alfaselulosa
Gelas filter IG3 kosong disiapkan dalam oven selama sehari atau minimal 3 jam
sebelum pengujian. Selanjutnya. gelas IG3 kosong dimasukkan ke dalam desikator selama 30
menit dan ditimbang. Bagas hasil uji holoselulosa sebanyak 0.5 gram kering dimasukkan ke
dalam beaker glass ukuran 50 ml dan ditambahkan masing-masing 12.5 ml NaOH 17.5%.
NaOH 17.5% dibuat dengan melarutkan 17.5 gram NaOH pure pellets ke dalam labu takar
100 ml dengan akuades sampai tanda tera. Beaker glass diletakkan di atas cawan penyangga
yang telah dituang air di stirrer plate yang dipasang pada angka 10 selama 30 menit.
Selanjutnya ditambahkan masing-masing 12.5 ml akuades dan dibiarkan selama 5 menit.
Bagas disaring menggunakan gelas filter IG3 dan dicuci dengan akuades selama sekitar 3
menit dan dengan 20 ml asam asetat glasial 10%. Asam asetat glasial 10% dibuat dengan
melarutkan 10 ml asam asetat glasial 100% ke dalam labu takar 100 ml dengan akuades
sampai tanda tera. Masing-masing dicuci dengan 500 ml air panas. Gelas filter IG3 yang
telah berisi filter dikeringkan pada suhu 105oC selama 16-24 jam dan didinginkan dalam
desikator selama 30 menit kemudian ditimbang.

32
Lampiran 2. Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor

Jumlah faktor : 2
Jumlah Run : 22 + 2(2) + 5 = 13
Nilai ekstrim (α) : 22/4 = 1.414

a) Tabel nilai faktor yang diamati

Faktor Perlakuan
Suhu (oC) 21.72 30 50 70 78.28
Volume Inokulum (ml) 0.95 2.5 6.25 10 11.55
Kode -α =-1.414 -1 0 +1 +α =1.414

33
Lampiran 3. Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (Lanjutan)

b) Tabel Kombinasi Perlakuan Percobaan


Perlakuan
No. Baku
Kode Aktual
x1 x2 x1 (°C) x2 (ml)
1 -1 -1 30 2.5
2 -1 -1 30 2.5
3 1 -1 70 2.5
4 1 -1 70 2.5
5 -1 1 30 10
6 -1 1 30 10
7 1 1 70 10
8 1 1 70 10
9 -1.414 0 21.72 6.25
10 -1.414 0 21.72 6.25
11 1.414 0 78.28 6.25
12 1.414 0 78.28 6.25
13 0 0 50 0.95
14 0 0 50 0.95
15 0 1.414 50 11.55
16 0 1.414 50 11.55
17 0 0 50 6.25
18 0 0 50 6.25
19 0 0 50 6.25
20 0 0 50 6.25
21 0 0 50 6.25

34
Lampiran 4. Data Hasil Biodelignifikasi

Kadar
Volume
No. Suhu Kadar Bahan Alfaselulosa Hemiselulosa
Inokulum Lignin (g)
Baku (oC) Air (g) Ekstraktif (g) (g)
(ml)
(g)
1 30 2.5 25.2093 0.1345 1.8414 3.2345 2.1962
2 30 2.5 25.9390 0.1345 1.5864 2.3595 2.0097
3 70 2.5 6.5269 0.3040 2.0568 3.2969 2.4990
4 70 2.5 9.4055 0.3396 1.3642 2.3031 1.7610
5 30 10 32.5511 0.2908 1.6730 2.7540 1.9425
6 30 10 35.3494 0.3375 1.8180 2.9608 1.9978
7 70 10 0.5222 0.2903 1.6869 2.6973 2.2535
8 70 10 0.6818 0.3296 1.5603 2.3604 2.3105
9 18 6.25 26.1046 0.1790 2.0152 2.1128 1.6993
10 18 6.25 26.1046 0.0631 1.9524 2.3630 1.7878
11 82 6.25 0.3528 0.3794 1.7899 2.8367 2.3209
12 82 6.25 0.4563 0.3085 1.7929 2.8133 2.4388
13 50 6.25 27.3627 0.3873 2.0424 2.8607 1.9044
14 50 6.25 24.2005 0.2233 1.7622 2.8300 2.2706
15 50 12.9 18.4255 0.1468 1.7523 2.9720 1.8098
16 50 12.9 21.5442 0.1244 1.8333 3.3733 2.1389
17 50 6.25 15.9913 0.2199 1.9216 3.2461 2.1245
18 50 6.25 15.7347 0.2997 1.7904 3.3572 2.2059
19 50 6.25 17.3322 0.2847 1.7671 3.1333 2.0153
20 50 6.25 14.9650 0.3198 1.9993 3.2651 2.2069
21 50 6.25 16.4203 0.0975 2.1732 3.7266 2.5887

35
Lampiran 5. Analisis Ragam Kandungan Bahan Ekstraktif

a) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.082 5 0.016 2.208 0.1077 tidak nyata
x1-suhu 0.062 1 0.062 8.350 0.0112
x2-volume inokulum 0.001 1 0.001 0.175 0.6814
x1 x2 0.018 1 0.018 2.466 0.1372
x12 0.000 1 0.000 0.035 0.8548
x22 0.000 1 0.000 0.001 0.9699
Residual 0.112 15 0.007
Lack of Fit 0.054 3 0.018 3.695 0.0430 nyata
Pure Error 0.058 12 0.005
Cor Total 0.194 20

b) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik (α = 0.05)


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.062 1 0.062 8.969 0.0074 nyata
x1-suhu 0.062 1 0.062 8.969 0.0074
Residual 0.132 19 0.007
Lack of Fit 0.074 7 0.011 2.175 0.1133 tidak nyata
Pure Error 0.058 12 0.005
Cor Total 0.194 20

36
Lampiran 6. Analisis Ragam Kandungan Lignin

a) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.231 5 0.046 2.239 0.1040 tidak nyata
x1-suhu 0.001 1 0.001 0.032 0.8611
x2-volume inokulum 0.077 1 0.077 3.759 0.0716
x1 x2 0.108 1 0.108 5.245 0.0369
x12 0.018 1 0.018 0.885 0.3618
x22 0.040 1 0.040 1.929 0.1851
Residual 0.309 15 0.021
Lack of Fit 0.103 3 0.034 2.010 0.1663 tidak nyata
Pure Error 0.206 12 0.017
Cor Total 0.539 20

b) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik (α = 0.05)


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.108 1 0.108 4.757 0.0419 Nyata
x1 x2 0.108 1 0.108 4.757 0.0419
Residual 0.431 19 0.023
Lack of Fit 0.226 7 0.032 1.883 0.1601 Tidak nyata
Pure Error 0.206 12 0.017
Cor Total 0.539 20

37
Lampiran 7. Analisis Ragam Kandungan Alfa selulosa

a) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 1.906 5 0.381 3.317 0.0324 nyata
x1-suhu 0.064 1 0.064 0.554 0.4681
x2-volume inokulum 0.016 1 0.016 0.138 0.7152
x1 x2 0.055 1 0.055 0.478 0.4998
x12 1.762 1 1.762 15.336 0.0014
x22 0.314 1 0.314 2.733 0.1191
Residual 1.724 15 0.115
Lack of Fit 0.450 3 0.150 1.412 0.2873 tidak nyata
Pure Error 1.274 12 0.106
Cor Total 3.630 20

38
Lampiran 8. Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa

a) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.490 5 0.098 2.291 0.0980 tidak nyata
x1-suhu 0.384 1 0.384 8.967 0.0091
x2-volume inokulum 0.002 1 0.002 0.049 0.8272
x1 x2 0.041 1 0.041 0.948 0.3457
x12 0.058 1 0.058 1.351 0.2633
x22 0.025 1 0.025 0.581 0.4577
Residual 0.642 15 0.043
Lack of Fit 0.084 3 0.028 0.602 0.6260 tidak nyata
Pure Error 0.558 12 0.046
Cor Total 1.132 20

b) Analisis Ragam untuk Respon Kuadratik (α = 0.05)


Peluang
Jumlah derajat Kuadrat
Sumber F hitung nilai p > Ket
Kuadrat bebas Tengah
F
Model 0.384 1 0.384 9.742 0.0056 nyata
x1-suhu 0.384 1 0.384 9.742 0.0056
Residual 0.748 19 0.039
Lack of Fit 0.190 7 0.027 0.585 0.7562 tidak nyata
Pure Error 0.558 12 0.046
Cor Total 1.132 20

39
Lampiran 9. Kondisi Optimum Proses Biodelignifikasi

volume Kadar
No Suhu Kadar Bahan Kadar Kadar
inokulum Hemiselulosa
Baku (oC) Ekstraktif (g) Lignin (g) Alfaselulosa (g)
(ml) (g)

1 42.12 5.42 0.2228 1.8408 2.1569 3.2338

40

Das könnte Ihnen auch gefallen