Sie sind auf Seite 1von 15

M.

Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon


HUMANIORA
VOLUME 25 No. 3 Oktober 2013 Halaman 281-295

BUDAYA HIBRIDA MASYARAKAT CIREBON


M. Alie Humaedi *

ABSTRACT
Cirebonis is one of the major of economic distribution network in the archipelago. This city has
created a network of its own culture, so many social transformations and their cultural phenomena
often appear in different forms with centers of cultural mainstream, both culture (and language)
Sundanese or Javanese. The research question is how hybrid’s culture formed according to the city
growth?. How cultural hybridity practice is a process of cross-cultural as genealogical heritage
of community? Studies using ethnographic approach through in-depth interviews and direct
observation was about to explain how Cirebon community articulate their views on the city and the
mapping of the ethnic relationship, which is between the Sundanese as owner of the mainstream
culture with Wong Java (Java Koek) as the holder of marginal culture. This study found that the
cross-cultural process have resulted in cultural hybridityis never clearly demarcated. It could even
give birth to new cultural patterns that are more inclined to the mainstream culture, oral so the
marginal culture, as seen in the case of cross-cultural marriage that gave to the language selection,
the Sunda Koek or Jawa Koek, different with each cultural center.

Keywords: cross-culture, hybrid’s culture, Java Koek, mainstream and marginal culture, Sunda
Koek

ABSTRAK
Cirebon dikenal salah satu simpul utama jejaring distribusi ekonomi di Nusantara. Kota ini juga
telah menciptakan jejaring kebudayaannya sendiri sehingga berbagai fenomena kebudayaan
beserta transformasi sosialnya seringkali muncul dalam bentuk yang berbeda dengan pusat-pusat
kebudayaan mainstream, baik kebudayaan (dan bahasa) Sunda ataupun Jawa. Pertanyaannya,
bagaimana jejaring kebudayaan hibrida terbentuk seturut pertumbuhan kota? Bagaimana hibriditas
kebudayaan dipraktikkan masyarakat ketika terjadi proses silang budaya sebagai warisan
genealogis kebudayaannya?. Studi yang menggunakan pendekatan etnografis melalui wawancara
mendalam dan pengamatan langsung ini hendak menjelaskan bagaimana masyarakat Cirebon
mengartikulasikan pandangan mereka tentang kotanya dan memetakan hubungan entitas etnik
di antara mereka, yaitu antara orang Sunda sebagai pemilik kebudayaan mainstream dan orang
Jawa Cirebon (wong Jawa Cerbonan-Jawa Koek) sebagai pemegang kebudayaan marjinal dalam
membangun ruang kehidupannya. Penelitian menemukan bahwa proses pertemuan silang budaya
telah menghasilkan hibriditas kebudayaan yang tidak pernah jelas batas-batasnya. Bahkan, dapat
melahirkan pola kebudayaan baru yang sifatnya lebih condong kepada kebudayaan mainstream,
atau juga pada kebudayaan marginal sebagaimana terlihat pada kasus perkawinan silang budaya
yang melahirkan pilihan penggunaan bahasa, yaitu Sunda Koek atau Jawa Koek yang berbeda
dengan pusat kebudayaannya masing-masing.

Kata Kunci: budaya hibrida, Jawa Koek, kebudayaan mainstream dan marginal, lintas budaya,
Sunda Koek

* Kajian Budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

281
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

PENGANTAR Kotamadya, misalnya, hanya menumbuhkan


Urip ning kene, kaya kari sedepa pembangunan di pusat kota, dari garis Jalan
segara wis dadi comberan banyumata Tuparev sampai pelabuhan atau dari Jalan
sawah dirubung wereng geseng, mrenganga Gunungsari sampai Jalan Graksan. Seperti skema
sedalan-dalan papan reklame gawe nelangsa pembangunan Jawa Barat yang memprioritaskan
lenga lantung, bensin lan solar nyumpeli dada. para agen pembangunan dari wilayah tengah
A.S. Alwy dalam Susub Landep, 2005 dan selatan, pembangunan di Kotamadya dan
Banyak cara seorang budayawan Kabupaten Cirebon pun diisi orang “dropan”
menyampaikan kegelisahan dan kritikannya provinsi. Sebagai agen pembangunan, seperti
untuk membela rakyat kecil. Dalam konteks teori land use Harvey (1973), yang kepemilikan
Cirebon, peran itu sedikit banyak dimainkan tanahnya sepenuhnya ditentukan oleh kedekatan
oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy. Kutipan salah dengan kekuasaan, mereka pun dapat bermukim
satu bait puisi dari anatomi puisi Susub Landep di wilayah strategis atau wilayah perbatasan
di atas telah menggambarkan itu. Alwy sendiri yang mendapatkan fasilitas lebih dari skema
dilahirkan di Bendungan Cirebon, sebuah wilayah pembangunan daerah. Rupanya, pembangunan
pesisir kering kerontang, tempat petambak garam yang tidak merata juga dapat disebabkan oleh
mempertaruhkan nasibnya demi kenyamanan perbedaan identitas etnis, termasuk akibat yang
hidup para tengkulak, barangkali dapat menjadi akan muncul dari ketimpangan ini pun juga akan
4
citra gambar dari kebiasaan wong Cerbon saat mengarah pada gesekan antar etnis.
mengungkapkan perasaan atas ragam kondisi Walaupun tidak dinyatakan secara langsung
keterhimpitannya.1 Pengalaman ia hidup dan oleh Alwy dalam berbagai puisinya, tetapi secara
dihidupi oleh kebudayaan yang selama ini dianggap intertekstualitas, Alwy telah melihat ketimpangan
marginal telah ikut membentuk pribadinya pembangunan di Cirebon lebih dikarenakan adanya
yang memiliki kecenderungan “pinggiran”. gesekan identitas dan kepentingan kelompok
Dalam konteks puisi Alwy, Pemerintah Provinsi komunitas tertentu. Di satu sisi, Alwy melihat
Jawa Barat dan Cirebon adalah sasaran kritik. kekaburan identitas “wong Cerbon” yang terseret
Terlebih ketika Jawa Barat terus memprioritaskan tetapi tidak mengerti di mana ia harus berposisi
pembangunan wilayah tengah dan selatan sehingga dalam arus besar kepentingan ekonomi politik
melupakan wilayah utaranya, seperti Cirebon, “pembangunan” dan kepentingan etnik mainstream
Indramayu, dan Subang, termasuk pula dalam Jawa Barat. Di sisi lain, “wong Cerbon” sendiri
soal pengadaan aparatur pemerintah yang juga tidak mau atau tidak sanggup merevitalisasi
2
kebanyakan berasal dari dua wilayah ini. identitas kebudayaannya. Kondisi pahit dari dua
Secara umum, derap pembangunan “nasional” sisi yang nyata dialami masyarakat Cirebon itulah
belum begitu dirasakan oleh masyarakat di wilayah yang menjadi ruh utama penceritaan puisi-puisi
utara seperti Cirebon dan Indramayu. Walaupun Alwy sehingga maknanya sangat terasa hidup dan
dua wilayah terakhir ini kerap dinyatakan tumbuh, mewakili keluh kesah nasib buruk kaum jelata
tetapi pertumbuhannya semata didasarkan “wong Cirebon”.
pada perilaku ekonomi masyarakat dan swasta. Tulisan ini telah diantarkan dengan puisi
Padahal, dua wilayah ini penyumbang terbesar Alwy beserta intertekstualitasnya. Serangkaian
3
pendapatan Provinsi Jawa Barat. Dalam skop makna memperlihatkan hubungan pertumbuhan
kewilayahan lebih sempit, prioritas pengembangan ekonomi dengan pembentukan jejaring kebudayaan
wilayah di Cirebon, baik dalam skala kabupaten atau sebaliknya, sebagaimana terjadi di Cirebon.
maupun kotamadya hanya tertuju di wilayah Ada dasar argumentasi yang dapat diajukan oleh
pusat pemerintahan dan perdagangan. Pemerintah tulisan ini, yaitu terjadi hibriditas budaya antara

282
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

”kebudayaan mainstream” yang ditempati oleh pertemuan silang budaya yang menghasilkan
Kebudayaan Sunda (dalam konteks kewilayahan suatu ambang kebudayaan yang tidak pernah jelas
Jawa Barat) dengan ”kebudayaan marginal” batasnya. Karena keseluruhan proses itulah, hidup
yang dilekatkan kepada entitas kebudayaan Jawa dan dihidupi dalam kepadatan lalu lintas jejaring
Koek, Jawa Reang, atau Wong Jawa Cirebonan. kebudayaan yang saling melengkapi. Ambang
Kebudayaan terakhir ini pun sebenarnya menjadi kebudayaan seperti inilah, dari apa yang dimaksud
marginal bila dihadapkan dengan kebudayaan Boudrialliard (1983), Bourdieu (1993), dan Hasan
Jawa dalam lingkup konsentris Jawa Tengahan dan Hanafi (2000) tentang makna hibrida, kesadaran
Yogyakarta. kebudayaan diri (the self atau al-ana) larut marut
Hibriditas budaya di atas terjadi pada dalam kebudayaan lain (the other atau al-ākhar).
praktik kebudayaan masyarakat, seperti bahasa, Demikian pula sebaliknya bahwa al-ākhar sangat
upacara siklus kehidupan, dan pandangan hidup. sulit merepresentasikan secara utuh jejaring
Selain melalui hubungan sosial, proses hibriditas kebudayaannya karena harus dan terus-menerus
budaya paling efektif terjadi pada perkawinan berhadapan dengan kesadaran al-anānī yang
silang budaya. Tulisan ini berusaha melihat lain. Belum lagi ditambah tuntutan menentukan
kebudayaan dari studi lintas budaya dan proses posisi yang skematis dari kesadaran kebudayaan
pertemuan berbagai entitas kebudayaan (etnik) diri (al-anānī) itu ketika berada di tengah entitas
yang ada, baik kebudayaan mainstream maupun kebudayaaan lain (hum, hiya, they) sebagai elemen
marginal yang menghasilkan praktik kebudayaan pemengaruh yang kehadirannya tidak kalah penting
tertentu. Dengan demikian, pertanyaannya adalah dengan al-ākhar itu sendiri.
bagaimana jejaring kebudayaan hibrida itu Menurut Hanafi (2000), pembentukan
terbentuk seturut pertumbuhan kota?. Bagaimana kesadaran yang memperhadapkan budaya al-ana
hibriditas kebudayaan dipraktikkan masyarakat dan al-ākhar berlangsung dalam proses historis
ketika terjadi proses silang budaya sebagai warisan masyarakat pelaku. Kesadaran ini mengingatkan
genealogis kebudayaannya?. Pembahasan lintas gagasan Sartre tentang kebebasan absolut, yaitu
budaya dan pertemuan entitas kebudayaan ini suatu bentuk peniadaan diri terhadap definisi diri
menjadi penting karena selain Cirebon dikenal orang lain. Sartre menyimpulkan dalam hubungan
sebagai salah satu simpul utama jejaring distribusi antara “saya” dan “orang lain”, my original fall
ekonomi di Nusantara yang dapat menciptakan is the existence of the other. Dengan demikian,
jejaring kebudayaannya (cradle of culture) sendiri, al-ana (the self) beraktualisasi diri karena kehadiran
hibriditas budaya ini juga telah menentukan huwa-hiya (dia) dan hum (mereka). Dalam hal ini,
fenomena transformasi sosial yang unik dalam kebudayaan mainstream dan marginal sebenarnya
lintas kesejarahan Cirebon. dapat diposisikan sebagai huwa-hiya dan hum, atau
sebaliknya, dapat juga sebagai al-ana (the self).
Hubungan ini dapat berimbang atau lebih berat
PRAKTIK HIBRIDA DIRI DAN LIYAN: PILIHAN pada posisinya masing-masing. Sifat posisional
BAHASA DALAM PERKAWINAN SILANG semacam ini dapat mengganggu objektivitas,
BUDAYA bahkan dapat terjerumus pada colonial discourse,
5

Pertanyaan di atas berpijak pada kerangka baik dari sisi kelompok kebudayaan yang
berpikir bahwa kebudayaan tidaklah selalu bersifat dianggap mainstream ataupun pada sisi kelompok
statis atau menjadi suatu keniscayaan produk kebudayaan yang dianggap marginal.
saja, tetapi dapat jadi merupakan suatu proses Sejarah mengenalkan kepada kita, bagaimana
yang tumbuh kembang bersama rasionalitas lain. Cirebon menjadi salah satu kota sentral yang
Sebuah atau serangkaian “keniscayaan yang berperan utama dalam memajukan pembangunan
menjadi itu” merupakan keseluruhan proses Jawa. Peran itu diperoleh dari titik strategis yang

283
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

dimiliki kota ini yang berada di garis pantai dibentuk jejaring kebudayaan komunitas itu
walaupun peran itu mengalami pasang surut sendiri masih tetap ada. Namun demikian,
seturut pertumbuhan kota pelabuhan lain, atau pembahasan ini hanya akan membatasi pada
seturut alternatif transportasi lain yang ditawarkan dua aspek produk kebudayaan saja, yaitu aspek
pemerintah dan swasta. Surutnya pelabuhan bukan kebudayaan tutur (bahasa) dan perkawinan. Dua
berarti menyurutkan jejaring kebudayaan yang hal ini penting karena merupakan bentuk langsung
sebelumnya telah hadir dan dibentuk bersama pengejewantahan dari keseluruhan sistem makna
dengan pertumbuhan ekonomi pelabuhan. Banyak kebudayaan komunitas dalam konteks kewilayahan
produk kebudayaan beserta aspeknya tetap dimiliki tertentu. Bahasa dan perkawinan, bagi Julian
dan diakui masyarakat. Proses ini yang disebut Steward dalam artikel “cultural ecology” untuk
sebagai cradle of culture, jejaring kebudayaan, Encyclopedia of the Social Sciences (1968) adalah
seperti dikemukakan Broeze (1979). Bahkan, produk budaya yang berhubungan erat dengan
di Cirebon, isu kebudayaan ini, selain persoalan adaptasi individu atau sekelompok individu dengan
7
ketidakmerataan akses ekonomi politik seperti lingkungan yang ada. Bahasa dan perkawinan
tersirat dalam puisi Alwy, juga merupakan salah merupakan bukti otentik dari bekerjanya suatu
satu elemen penting yang melahirkan semangat kebudayaan, sekaligus bukti bahwa warga budaya
berpisah dari Provinsi Jawa Barat, dan mendirikan itu telah berhasil baik dalam melakukan semacam
provinsi baru Cirebon. Dalam lingkup kebudayaan, adaptasi terhadap lingkungannya. Seandainya tidak
“Provinsi Cirebon Raya” didukung oleh wilayah demikian, dua tanda budaya itu niscaya sudah
yang memiliki karakter sama dengan kebudayaan lenyap dan kalaupun ada peninggalan, itu hanya
Cirebon, seperti Subang dan Indramayu. Hal berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan
ini sedikit berbeda dengan usulan pembentukan budaya dan pelaku budaya itu beradaptasi.
“Provinsi Cirebon Raya” secara administratif Dengan demikian, bila ada dua atau lebih
yang memasukkan Kuningan dan Majalengka kebudayaan dalam suatu lingkungan yang sama
berdasarkan perjalanan politis sebelumnya, yaitu dan menemukan bahwa satu budaya melebarkan
Cherbon Gementee dan wilayah III Cirebon. sayap dengan “merugikan” budaya lain, hal
Padahal, dua daerah terakhir disebut masih itu harus dilihat dalam bingkai bahwa budaya
terikat kuat dengan entitas kebudayaan mainstream pertama telah melakukan “proses adaptasi lebih
walaupun keduanya kerap juga dianggap wilayah baik” terhadap lingkungan dalam bandingannya
kebudayaan berkarakter marginal dari mainstream- dengan adaptasi yang dilakukan budaya dan pelaku
nya sehingga disebut wilayah “urang Sunda Koek budaya yang digusurnya itu. Proses adaptasi
(orang sunda mati).” Karena posisi dilematis yang berkesinambungan ini melahirkan posisi
kebudayaan setiap kabupaten pendukung seperti strategis sebagai kebudayaan mainstream pada saat
ini, maka pembentukan “Provinsi Cirebon Raya”, kemudian. Petunjuk atau buktinya justru diambil
6
menurut Ali, tidak begitu mengedepankan prinsip dari kenyataan ekspansi yang terjadi itu, atau
kebudayaan marginal dalam penghadapannya kadang-kadang dinyatakan bahwa suatu budaya
dengan kebudayaan mainstream Sunda. Dalam arti (suatu tipe struktural) “membuktikan adaptasi
ini, politik kebudayaan bukan menjadi basis utama menyeluruh” dengan melebarluaskan dalam
pembentukan “Provinsi Cirebon Raya”, tetapi lebih zona lingkungan atau niche’ ekologis yang luas
pada persoalan politik ekonomi yang berhubungan lingkupnya (Kaplan, 1999:114).
dengan tuntutan pemenuhan hak, partisipasi, dan Bahasa menjadi salah satu pembeda
administrasi saja. utama sebuah wilayah kebudayaan. Di dalam
Terlepas dari pembahasan wacana pergulatannya akan semakin terbukti bahwa
pembentukan ”Provinsi Cirebon Raya” berdasarkan bahasa sebagai identitas verbal komunitas tidak
kebudayaan, aspek produk kebudayaan yang terbantahkan merupakan citra diri sekaligus

284
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

afirmasi eksistensi diri, dan pada berbagai sisi, yang berada pada sebuah jejaring genealogis
mempertautkan sistem sosial yang berlangsung perkawinan. Dapat dikatakan bahwa perkawinan
di dalamnya. Bahasa juga memberikan ruang barangkali menjadi satu simpul utama sejarah
interaktif dan kreatif tersendiri. Terlebih lagi, pembentukan hibriditas kebudayaan yang khas.
”bahasa ibu” atau bahasa daerah yang sejak mula Entitas kebudayaan Wong Cerbon ataupun Jawa
hendak diperankan menjadi bagian dari reproduksi Reang, misalnya, akan diwariskan dan ditiru
pergaulan yang membentuk sejumlah gagasan kepada dan oleh generasi berikutnya melalui jalan
budaya. Makna yang terbangun dalam bahasa perkawinan yang bukan silang budaya. Kalaupun
memungkinkan proses pencitraan tiap budaya terjadi perkawinan silang budaya, pertaruhannya
semakin menumbuhkan diskursus mengenai adalah apakah kebudayaan marginal itu dapat
identitas keseluruhan atau sekelompok etnik di memenangkan “kompetisi berkebudayaan”
8
dalam masyarakat. melawan kebudayaan mainstream yang ada atau
9
Dapat jadi, kegigihan suatu masyarakat dalam entitas kebudayaan lain. Karena pentingnya proses
memahami dan menggunakan bahasa daerah pembentukan kebudayaan itulah, paparan dua
sebagai subsistem bahasa ibu dalam berbagai aspek utama kebudayaan (bahasa dan perkawinan)
komunikasi verbalnya akan membuka pemahaman digabung dalam sebuah penceritaan kasuistik dari
serta diskursus lokalitas tersendiri, juga dalam peristiwa yang terjadi di masyarakat Cirebon.
konteks budaya, ke ruang lingkup pembahasan Untuk maksud itu, penelitian ini telah memilih
yang meneguhkan semarak kehidupan hubungan wilayah Harjamukti di Cirebon sebagai asal sejarah
berbangsa antara etnik. Seperti halnya penurunan penceritaannya.
tradisi apapun, secara umum bahasa khas lokalitas
dapat dan mampu bertahan bila ia ada pada proses HARJAMUKTI CIREBON: WILAYAH RAMAI
perkawinan yang bukan silang budaya. Sebaliknya, SESAK PEMBAURAN
perkawinan yang silang budaya berpretensi
Secara geokultural, wilayah kebudayaan
menghasilkan pembauran bahasa yang dapat saja 10
Cirebon membentang pada dua sisi berbeda. Sisi
menjadi unik atau malah memilih bahasa yang
utara berhadapan dengan laut, orientasi kehidupan
berada dan hidup dalam kebudayaan mainstream,
masyarakatnya berpusat pada segara; dan sisi
ataupun mencari pilihan lain yang bukan bahasa
selatan umumnya memiliki orientasi ke darat.
kedua pasangan perkawinan silang budaya,
Barat dan timur dapat diposisikan sebagai wilayah
misalnya, yaitu bahasa Indonesia. geografis yang memiliki dua kecenderungan
Perkawinan merupakan media utama sebuah orientasi yang sama dengan utara dan selatan. Dua
proses produksi budaya bersifat peniruan yang orientasi ini melahirkan dua basis kebudayaan
repetitif atau memungkinkan proses hibriditas berbeda: Cirebon Larang (pesisir) dan Cirebon
11
budaya semakin mengental. Proses ini sangat Girang (pedalaman). Kedua wilayah kebudayaan
wajar karena dalam dunia kebudayaan sifat tiru- ini telah melahirkan ragam budaya, yaitu kesenian
meniru bukanlah hal yang tidak mungkin, tetapi dan fenomena sosial, juga termasuk karakter khusus
memang merupakan sifat dari masyarakat di dalam soal keagamaan, sosial politik, dan ekonomi.
manapun juga. Alfred Vierkandt, seorang sosiolog Dalam konteks kewilayahan, Cirebon
terkenal berkata: “Die Nachamung ist eine der larangan kemudian dipetakan berdasarkan letak
Wichtigsten Grundslagen fiir die Erhaltung der wilayah yang berada di garis pantai, yaitu seluruh
Kultur” (Peniruan adalah salah satu dari sendi daerah pesisir Cirebon, dari Losari, Gebang,
yang penting dalam perkembangan kebudayaan), Patrol, hingga pantai Pisangan di Kerawang.
sebagaimana yang dikutip oleh Sheldon (1967). Cirebon larang menjadi kota pelabuhan,
Dengan demikian, pola berbahasa pada lingkup perdagangan dan pusat kekuasaan. Sayangnya,
lokalitas dapat saja ditiru oleh generasi berikutnya sejak diberlakukannya cultuurstelsel, kehidupan

285
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

Cirebon semakin jauh dari orientasi kehidupan di hingga Panarukan (Jayadiningrat dalam Sujatmoko
bidang kelautan sehingga terjadi proses feodalisasi 1965:74-85), sebagai salah satu strategi pendukung
terhadap kerajaan pesisir ini. Akibatnya, Cirebon, kebijakan kolonialnya, bukan melewati jalur
menurut Fernando (1982:28), menjadi replika- pedalaman Parahyangan, yang saat itu dikenal
nya Mataram. Sementara itu, Ciledug, Kuningan, tidak aman karena banyak bandit. Sebagai bandar
Subang, Majalengka, Indramayu, dan Kerawang internasional, Cirebon mempunyai jaringan
dikategorikan pedalaman (hinterland). Wilayah transportasi dengan daerah pedalaman untuk
ini menjadi sumber penghasil perdagangan, seperti mengangkut produksi perkebunan. Cirebon-Losari-
beras, gula, dan kayu, sekaligus tempat suplai Slawi dihubungkan “Jalan Daendels” yang dibuat
barang ke luar. Wilayah ini kemudian diakui (secara tahun 1808. Selanjutnya, kereta api jalur Semarang,
de facto) sebagai bagian wilayah III Cirebon; atau Tegal, Cirebon, dan Batavia telah dibuka di tahun
bagian gemeente (Keresidenan) Cirebon yang 1894 yang keseluruhannya selesai di tahun 1906
dirintis Belanda sejak tahun 1906. Adapun wilayah (Akhyat, 2006). Jalan penghubung antardistrik
Subang dan Kerawang di zaman kolonial sebelum ini dapat dikatakan sebagai jalur kebudayaan
tahun itu, berada pada Keresidenan Batavia. atau cradle of culture. Melalui jalur ini, berbagai
Dalam perkembangannya, Cirebon mengalami kebudayaan yang tadinya berpusat di kraton
dikotomi kehidupan kota: ceremonial town kerajaan memancarkan pengaruhnya ke segala
(pusat seremonial), yaitu kota Cirebon lama yang penjuru. Sejak zaman prakolonial, tempat tersebut
berpusat di istana Cirebon, seperti Kesepuhan, telah menjadi pusat kebudayaan Hindu-Budha. Saat
Kanoman, Keprabonan, dan Kecirebonan; dan Islam masuk ke pedalaman, ia ikut memperkaya
commercial town (pusat bisnis) yang mengacu pengaruh yang telah ada sehingga akulturasi
pada munculnya suburb baru sebagai daerah kebudayaan pun terjadi (Geertz, 1960).
bisnis di sekitar pelabuhan dengan pusat benteng Pada kasus Cirebon, tanah baru yang dibuka
dan pasar. Kekuatan agraris sendiri sedikit demi dan dikuasai untuk maksud pengembangan
sedikit berkembang ke wilayah pinggir sehingga ekonomi, permukiman dan kekuasaan baru itulah
melahirkan cavaleiros (bangsawan) Pasundan yang sekarang salah satunya berada di Desa Kebon
yang mendapatkan hak untuk memiliki tanah di Pelok dan Argasunya Kecamatan Harjamukti.
12
Cirebon. Berdasarkan itu, semua usaha yang Sebelumnya, wilayah ini berbentuk padang rumput
berhubungan dengan pemanfaatan kekayaan dan hutan. Penguasaan dan pembukaan tanah di
sektor produksi yang dimiliki, yaitu tanah (ladang, bagian utara tidak mungkin lagi dilakukan karena
sawah, rawa, dan kebun daerah hinterland dan wilayah ini telah padat dan dikuasai pedagang
pesisir) dan tenaga kerja harus digalakkan. Apalagi pribumi, Cina, dan Arab. Babakan baru harus
wilayah Cirebon telah dianggap wilayah yang dapat dibuka. Pembukaan ini dipegang perannya oleh
memenuhi kedua faktor produksi itu sehingga naniek nameuh tanah Pasundan mantan keturunan
mendorong penguasa, terlebih di masa kekuasaan genealogis Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Saat
Belanda, untuk mengganti tanaman tradisional berikutnya, mereka menjadi penguasa baru di
(traditional crops) dengan tanaman komersial wilayah baru itu.
(commercial crops), seperti kopi, tembakau, tebu, Penguasa Kraton Cirebon sangat terlambat
dan teh. untuk memulai pembukaan dan penguasaan tanah
Kecenderungan ini secara langsung mendorong di wilayah baru. Apa yang dinyatakan Lombard
pembukaan wilayah baru di pedalaman dan pesisir (2000:23) tentang “pembabatan hutan untuk
Jawa Barat, termasuk Cirebon, bagi lalu lintas membuka pusat kekuasaan dan permukiman,” yang
perdagangan dunia. Wajar bila Daendels (1808- melahirkan berbagai kebudayaan dan norma baru
1811) berusaha membuka jalur tercepat dan bagi masyarakat terbukti dalam kasus Harjamukti
teraman melewati Cirebon ketika membangun sektor Kebon Pelok Argasunya. Tidak hanya itu,
dan melaksanakan mega proyek jalan dari Anyer pembukaan permukiman baru semakin menegaskan

286
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

perbedaan kebudayaan konsentrisnya. Kraton ke pusat baru konsentris Sunda di Harjamukti


Cirebon yang merupakan replika Mataram seolah berjalan secara alami saja. Komunikasi efektif
hendak mencitrakan dirinya sebagai bagian produk dan perkawinan silang budaya antara anggota
budaya Jawa. Jejaring kebudayaan dikembangkan masyarakat kedua entitas itu hadir seturut
bersamaan dengan jejaring kekuasaan dan secara perkembangan permukiman yang semakin padat
kebetulan jejaring itu hampir semua atau sebagian dan menuntut pengembangan lebih lanjut dengan
besar berada di garis utara atau berorientasi ke sistem gurita ke wilayah luar kota. Orang Cirebon
segoro. Sebut saja misalnya jejaring Raden Sutajaya yang berbahasa Jawa atau biasa dikenal Jawa Koek,
di Gebang, seorang Raden di Mundu, Ki Ageng Jawa Reang ataupun para pendatang yang berasal
Cangkring di Celancang, dan jejaring kekuasaan dari kebudayaan Jawa murni “Jawa Asli” kemudian
politik dan spiritual bangsawan di Plered dan memilih bergabung ke kantong konsentris
13
Trusmi. Sebaliknya, para naniek nameuh yang kebudayaan Sunda Cirebon. Mereka membeli
ada di wilayah baru itu, walaupun tetap memiliki rumah di Harjamukti, dan bahkan tidak jarang
akses kekuasaan terhadap Kraton Cirebon, lebih di antara mereka pun banyak yang melakukan
merepresentasikan dirinya dengan kebudayaan pernikahan silang budaya, yang sebenarnya
konsentris Sunda dan memiliki jaringan membuat identitas kebudayaan Cirebon akhirnya
kepemimpinan literer (spiritual) khusus yang berada sulit dilepaskan dari entitas kebudayaan Jawa dan
14
di wilayah Benda Kerep. Sunda.
Pada awal perkembangan wilayah, kebudayaan Istilah wong Cerbon atau biasa juga disebut
Sunda masih dipegang dan dipraktikkan orang lain dengan sebutan Jawa Koek dan Jawa
masyarakat. Naniek nameuh yang memiliki Reang mendapatkan banyak tentangan. Istilah ini
kekuasaan (legitimasi) ekonomi politik, dan berarti ejekan orang Sunda kepada orang berbahasa
legitimasi sosial budaya telah memungkinkan Cirebon. Namun, setelah itu, ada kebanggaan
produk kebudayaan Sunda dapat disebarkan tersendiri bagi orang yang berada dalam sebutan itu,
dan diserap oleh jejaring klientalnya. Apalagi, bahwa mereka adalah orang yang memiliki leluhur
kebudayaan Sunda saat itu telah menjadi para pemberani. Pemaknaan ini dihubungkan
kebudayaan mainstream di wilayah bekas Kerajaan dengan peristiwa penyerbuan Sultan Agung
Pasundan, seperti Galuh dan Pajajaran. Tanda- Mataram (1613-1646) ke Batavia pada tahun 1628
tanda budaya konsentris Sunda sampai sekarang dan 1629 (Ricklefs, 1981:31). Banyak pasukan
masih tampak kuat walaupun telah ada infiltrasi tercecer dan menempati daerah sepanjang jalur
dari kebudayaan marginal yang dalam hal ini adalah Daendels (sekarang) karena suplai dan lumbung
Jawa. makanan waktu itu telah banyak dihancurkan
Fenomena di atas terlihat dari sistem sosial, Belanda sebagai salah satu strategi perangnya.
kepemimpinan, dan praktik kebudayaan yang Keberadaan bekas pasukan ini tidaklah dianggap
berkembang di wilayah baru itu. Semua praktik ringan dalam pembentukan wacana masyarakat dan
kebudayaan mengikuti model Ciamis dan terjadinya fenomena perbanditan sosial di daerah
15
Sumedang. Rumah yang dibangun pada awalnya partikelir Belanda pada masa-masa berikutnya.
harus dikelilingi sawah dan kebon luas, gotong Dalam sejarahnya, sebutan Jawa Koek atau
royong dipraktikkan penuh antusias dengan Jawa Reang berasal dari bangsawan dan nanik
ketetapan waktu bersama, hubungan patron-client nameuh Pasundan yang ditujukan kepada sisa
antara nanik nameuh dan penggarap dijaga dengan pasukan Sultan Agung Mataram yang tercecer
ketat, ajengan (ulama) menjadi orang terhormat itu. Untuk mempertahankan hidup, baik dari rasa
setelah nanik nameuh, model upacara perkawinan, lapar ataupun dari penyergapan pasukan Belanda,
ditambah bahasa Sunda yang dipraktikkan dari anak mereka meminta-minta makanan dan perlindungan
kecil sampai orangtua. dari penduduk lokal dan bersembunyi di wilayah
Sebaliknya, infiltrasi kebudayaan Jawa pantai yang jauh dari loji dan benteng Belanda.

287
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

Tidak jarang, untuk memenuhi kebutuhan itu silang budaya. Di dalam aspek ini, semua praktik
mereka harus berbuat “jahat” terhadap penduduk kebudayaan fisik dan nonfisik akan terpapar. Sejak
lokal. Mereka hidup terlunta-lunta di wilayah pemilihan dan pertimbangan yang dipakai untuk
orang. Kondisi inilah yang kemudian diasumsikan menentukan pasangan sampai kehidupan rumah
bahwa orang Jawa Mataram itu hampir mati tangga, termasuk bahasa verbal yang digunakan
(Jawa Koek). Pada dekade terakhir ini, wilayah akan memunculkan berbagai keunikan. Kasus
Harjamukti kemudian dikembangkan sebagai perkawinan Jangi dan Yeni sengaja diulas untuk
pusat bisnis baru, perluasan bandara Penggung, merepresentasikan pertemuan entitas kebudayaan
16
perluasan terminal Harjamukti, pembuatan terusan beserta proses hibriditasnya.
jalan tol, dan tempat permukiman baru masyarakat Jangi adalah seorang pria kebanyakan
Cirebon. Dengan demikian, Kebon Pelok- yang mengidentikkan dirinya sebagai wong asli
Argasunya di Harjamukti dapat dinyatakan sebagai Cerbon. Bukti identitas itu dinyatakan bahwa
wilayah pengembangan baru untuk mengurangi ia dapat berbahasa Jawa Cirebonan, Jawa Koek
kepadatan yang terjadi di pusat kota Cirebon sendiri atau Jawa Reang, dan juga lahir dari kantong
(Pekalipan dan Kejaksan).
konsentris kebudayaan Cirebon, yaitu wilayah
Bila semua masterplan di atas berjalan baik, kota (Pekalipan), dari seorang ibu yang lahir dan
pembangunan di kota Cirebon akan bertambah dibesarkan di wilayah itu juga. Demikian juga
semarak. Pertemuan entitas kebudayaan yang ayahnya. Tuturan genealogis ke-Cirebon-an tidak
selama ini telah terjadi karena posisi strategis hilang meskipun dia sempat meninggalkan Cirebon
Cirebon sebagai cradle of culture akan semakin dan menetap di pusat wilayah Jawa, yaitu Solo
berintensitas lebih tinggi. Akhirnya, dua dan Yogyakarta selama 7 tahun. Sementara itu, si
fenomena besar hibriditas kebudayaan: bahasa istri, Yeni, seorang perempuan kebanyakan yang
dan perkawinan yang ada di Cirebon berpijak mengaku diri sebagai ‘urang Sunda. Kesundaannya
pada akar genealogis kesejarahan sebagai wilayah didapatkan dari akar genealogis keluarga yang telah
yang dibuka bersama dan berkembang menjadi menetap di Argasunya Harjamukti selama tiga
jalur pengembangan wilayah yang menggurita. generasi berturut-turut. Dari kisah keluarganya,
Posisi Harjamukti yang strategis telah menjadi leluhur si ibu adalah orang Sunda Cirebon dari
simpul utama baru penghubung ke Jakarta dan
pasukan kerajaan Galuh, sedangkan garis leluhur
kota lain di wilayah timur Cirebon. Dengan
ayahnya berasal dari orang Sunda Kuningan yang
melihat perkembangan berikutnya, perbedaan dua
merantau ke Cirebon. Sebagai mantan pasukan,
konsentris geografis kebudayaan tersebut tidak
leluhurnya mendapat kesempatan mengambil
akan lagi begitu jelas batas-batasnya sehingga tidak
bagian tanah perdikan-babakan yang dibuka
dapat dinyatakan secara umum bahwa daerah pantai
sewaktu kraton Cirebon mengalami perubahan
(larangan) yang ada di Cirebon dapat dikatakan
orientasi ke agraris. Menurut cerita, proses
berkebudayaan Jawa atau, sebaliknya, wilayah
mendapatkan tanah itu sangat lama karena hak
yang ada di daerah hinterland (girang) Cirebon itu
kepemilikannya telah jatuh ke tangan para nanik
berkebudayaan Sunda. Sederhananya, tidak dapat
nameuh Pasundan yang berasal dari Sumedang dan
dinyatakan bahwa jalur pantura Deandles menjadi
Bandung.
petanda garis demarkasi antara masyarakat Jawa
Walaupun sama-sama berkebudayaan Sunda,
dan masyarakat Sunda di Cirebon.
namun dalam persoalan tanah tentu ada aturannya
sendiri. Nanik nameuh tidak akan memberikan atau
PILIHAN BAHASA DALAM PERKAWINAN menjual tanah yang dikuasainya kepada sembarang
SILANG BUDAYA TARIK MENARIK orang, sebelum ia melalui sistem nyantrik. Nyantrik,
KEBUDAYAAN MAINSTREAM DAN MARGINAL seperti hubungan buruh dan majikan selalu
Wujud dari proses hibriditas kebudayaan berorientasi pada kepentingan ekonomi majikan.
yang paling mudah dipahami adalah perkawinan Mereka bekerja mengurusi sawah, ladang, dan

288
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

ternak majikan dengan model pembayaran yang dengan orang lain atau penutupan diri dari semua
sifatnya hadiah di waktu berikutnya. Mereka hal yang bukan berasal dari kebudayaan dirinya.
hanya mendapatkan kecukupan kebutuhan harian Namun, apa yang ditanamkan keluarga tentang
berupa makanan, minuman, dan pakaian yang orang Jawa Koek Cirebon beserta kebudayaannya
disediakan keluarga majikan. Barangkali bahasa dapat ditentang olehnya, bahkan dia kemudian
tepat antropologinya adalah sistem patron-client, ikut mengalami dan menikmati bersama di dalam
sebagaimana yang diulas oleh Scott (1997:33-38). kebudayaan yang dianggap secara umum oleh
pandangan mainstream-nya sebagai Koek itu. Ia
Puluhan tahun leluhur Yeni mengabdi, apalagi
dapat menjalani kehidupan berumah tangga dengan
dengan keruntuhan kerajaan Galuh yang tidak lagi
Jangi setelah diri dan keluarganya mau menerima
memungkinkan leluhurnya yang menjadi pasukan lamaran pemuda Jawa Koek itu. Proses pernikahan
rendah pulang kembali ke wilayah Galuh. Mereka
pun berjalan normal, bukan akibat tragedi “hamil
lebih memilih menetap dan bekerja nyantrik di
duluan”, atau bukan pula akibat guna-guna berupa
Argasunya Cirebon. Setelah mendapatkan restu pelet jaran guyang dan kemat semer mesem yang
untuk lepas dari nyantrik dengan imbalan sejumlah
selama ini dituduhkan kepada Jangi oleh anggota
tanah, leluhurnya membuka sawah dan membangun
masyarakat lain.
rumah di Argasunya, Harjamukti. Dalam sejarah Secara ekonomi, Jangi pun tidaklah begitu
hidupnya, keluarga Yeni dibesarkan dengan
istimewa karena ia hanya seorang yang bekerja
menggunakan kebiasaan masyarakat Sunda, dari
serabutan, kadang menjadi sopir, buruh bangunan
menu makanan, mengurus badan, mengurus rumah, atau kerja pabrikan; dan tidak pula mewarisi banyak
upacara siklus kehidupan, sampai bahasa sehari-
harta orangtuanya. Secara sosial pun, diri dan
hari yang digunakan. Ia dikenalkan bahwa Sunda
keluarganya adalah orang yang amat biasa, tidak
menjadi bagian terpenting hidupnya dan telah memiliki status sosial lebih baik karena jabatan
ditanamkan pandangan bahwa Cirebon adalah
atau karena legitimasi spiritualitas (kepemimpinan
berkebudayaan Sunda. Di luar dari kebiasaan itu
17 literar). Tidak hanya itu, secara fisik, Jangi pun
disebut Jawa Koek’. Pembiasaan pandangan dan biasa-biasa saja, tidak begitu jelek, juga tidak begitu
tradisi yang terus-menerus dilakukan keluarga Yeni
ganteng. Hal ini untuk membantah asumsi bahwa
di atas meskipun wajar dalam arti penurunan tradisi
Yeni telah jatuh cinta kepada Jangi karena fisiknya.
leluhur sebenarnya merupakan satu tahap penting Orang kampung di RW 3 Argasunya menyatakan
dalam proses hegemoni kebudayaan mainstrem
kalau mau orang seperti Jangi, ada puluhan bujang
saat itu. Tanpa ikatan kuat dengan tradisi, hegemoni
Sunda yang tinggal di sini. Mereka juga relatif kaya,
kebudayaan tidak dapat dilakukan. Hegemoni memiliki pekerjaan tetap, dan berasal dari keluarga
kebudayaan ada akibat masuknya pengaruh jejaring
yang baik dan terhormat.
kebudayaan Sunda yang dipegang oleh kerajaan
Pada awal pacaran Yeni dengan Jangi,
Pasundan, seperti Galuh dan Pajajaran sebelumnya. keluarganya sangat menentang kehadiran Jangi,’
Bagi orang seperti Yeni, kebudayaan diri (self)
dengan argumentasi bahwa Jangi ‘Jawa Koek, yang
adalah yang tertinggi dibandingkan kebudayaan lain
tidak mutu’. Yeni pun menuruti nasihat keluarganya
(other). untuk menjauhi Jangi, apalagi pandangan mengenai
Hal di atas sebenarnya sangat berbahaya Jawa Koek itu telah ada di dalam dirinya. Namun,
bagi kehidupan sosial yang di dalamnya penuh apa yang pernah didengar tentang Jawa Koek,
dengan keragaman entitas budaya dari berbagai seperti perilaku urakan, galak, dan tanpa basa-
kelompok pelaku kebudayaan. Dapat jadi Yeni basi, sebenarnya tidak pernah terbukti pada sosok
akan menganggap kebudayaan Sunda sebagai Jangi. Saat Yeni hendak mundur satu langkah,
“harga mati” yang harus dijaganya. Keyakinan Jangi maju dua langkah. Semangat Jangi untuk
itu dapat diwujudkan dengan perilaku pemilihan mendapatkan Yeni yang mojang Sunda itu patut
jodoh, cara berkomunikasi atau jenis bahasa diberi apresiasi. Di awal perkenalannya dengan

289
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

Jangi, Yeni dan keluarganya sangat berhati-hati Artinya, dalam hal bahasa dan tradisi, Jangi
dan mengambil jarak. Bahasa Jawa Cerbonan yang telah ikut dalam tradisi kebudayaan mainstream,
kerap dituturkan Jangi pada awalnya tidak begitu yaitu Sunda. Kesejatian Jawa Koek-nya disimpan
dimengerti Yeni dan keluarganya, bahkan terasa dalam satu ruang tersendiri dalam kesadaran
aneh dan lucu. Dialek bahasa Jawa Cerbonan individunya. Walaupun simpanan ini dinyatakan
memang berbeda dengan dialek Jawa pada atau direpresentasikan saat Jangi bertemu dan
umumnya. Masalah bahasa dapat diatasi, ketika berkomunikasi dengan orang yang berada dalam
Jangi seringkali menggunakan bahasa Sunda. jejaring kebudayaan Jawa Koek-nya, tetapi
Tidak hanya itu, Jangi pun sepenuhnya dia adalah pelaku kebudayaan yang kalah atau
mengikuti tradisi kebudayaan mainstrem Sunda saat menyesuaikan diri dengan kebudayaan mainstream.
melakukan proses lamaran dan pernikahan. Hampir Kekalahan identitas orang semacam Jangi hampir
dikatakan bahwa dalam prosesi perkawinannya semuanya terjadi pada kasus pernikahan yang
tidak ada unsur Jawa Cirebon, baik cara berpakaian, mengambil tipe laki-laki Jawa Koek dengan
pesta, maupun menu makanan, yang masuk ke perempuan Sunda. Fenomena ini menjadi terbalik
prosesi pernikahan. Saat mengarungi bahtera bila perempuannya berasal dari kelompok entitas
rumah tangga, komunikasi efektif verbalnya kebudayaan Jawa Koek Cirebon dan laki-lakinya
menggunakan bahasa Sunda. Demikian juga adalah Sunda.
dalam soal pembentukan tradisi keluarga, dari Walaupun tidak melakukan generalisasi dari
model pengasuhan anak, upacara siklus kehidupan, kasus pernikahan di atas, berdasarkan jejaring
pengelolaan keuangan, hobi, menu makanan, kebudayaannya masing-masing muncul beberapa
interior dan tata ruang rumah, dan beberapa diferensiasi pandangan orang mengenai tipe
pandangan hidup (world views) pun mengikuti pernikahan yang berkembang di masyarakat Jawa
tradisi ktebudayaan Sunda. dan Sunda Cirebon.
Tabel 1
Diferensiasi Pandangan Orang Cirebon terhadap Tipe Perkawinan Lintas Budaya
Fenomena Diferensiasi Pandangan Orang Keterangan/ penggunaan
Sunda Jawa bahasa
Perempuan (Sunda) Khawatir Lebih baik jangan dilakukan Kasus Jangi’ sepertinya anomali
menikah dgn laki-laki
(Jawa) Cirebon
Alasan: Jawa Koek dianggap Perempuan Sunda dianggap Bahasa Sunda umumnya
urakan, berbahasa kasar; akan lebih menguasai; laki- digunakan pasca menikah,
perempuan harus mendapat laki Jawa akan selalu tunduk; dan anak pun terbiasa dengan
perlindungan dan perlakuan kepentingan keluarga laki-laki bahasa Sunda
yang lemah lembut tidak terakomodasi
Perempuan (Jawa Hati-hati → sedikit baik Baik Kasus banyak
Cirebon) menikahi pria
(Sunda)
Alasan: Memungkinkan, tetapi harus Laki-laki Sunda dianggap ulet, Bahasa Cirebon, atau Jawa
sangat hati-hati, bila cocok dan perempuan Jawa Cirebon Koek umumnya digunakan
menjadi pasangan baik dianggap pekerja keras pasca menikah, dan anak pun
terbiasa dengan bahasa Jawa itu
Pernikahan sama Baik Baik Umumnya
entitas kebudayaan
Telah ada kesepahaman Telah ada kesepahaman Sunda atau Jawa Koek
bersama tergantung pada asal entitas dua
pasangan

290
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa marginal yang hidup di sekitarnya. Posisi ini yang
dalam proses produksi kebudayaan hibrida di menempatkan kebudayaan mainstream menjadi
Cirebon, perempuan menjadi faktor utama dalam pemenangnya. Bagi kebudayaan marjinal sendiri,
menjaga tradisi kebudayaan yang ada, terlebih pada salah satu cara untuk mengeliminir “kekalahannya”,
perempuan yang hidup dalam dan dihidupi oleh para pelakunya mengambil kebudayaan nasional
kebudayaan mainstream utamanya. Perempuan khususnya dalam soal penggunaan bahasa
Sunda akan membawa paham dan bahasa dari Indonesia sebagai bagian tidak terpisahkan dari
jejaring kebudayaannya masuk ke dalam setiap praktik kebudayaannya.
perilaku anggota keluarga (suami dan anak-anak)
sehingga akan membentuk tradisi keluarga baru SIMPULAN
sesuai entitas kebudayaan perempuan.
Jangi telah menyimpan jejaring kebudayaan
Demikian juga, perempuan Jawa Koek sangat marginal “Jawa Koek”-nya ke dalam suatu tempat
berpotensi membakukan entitas kebudayaannya tersendiri. Ia hanya akan merepresentasikan
dalam pembentukan tradisi keluarga barunya, kembali jejaring kebudayaannya ketika berada
termasuk penggunaan bahasa harian keluarga. dan bertemu dengan para pelaku di wilayah-
Dalam arti ini, kebudayaan mainstrem Sunda dapat wilayah di mana kebudayaan asalnya itu hidup.
dikatakan mampu memaksa pasangan yang berbeda Sebaliknya, Yeni sebagai perempuan yang terlahir
entitas kebudayaan dengannya untuk ikut masuk dari kebudayaan mainstream mampu menurunkan
dalam jejaring kebudayaan mereka. Dari sosok tradisi kebudayaan asalnya, terlebih kebudayaan
Jangi, ia dapat dikatakan “kalah”, tetapi dapat juga tutur (bahasa Sunda) kepada anak-anaknya. Dalam
dikatakan melakukan pembauran atau adaptasi hal ini dapat dinyatakan bahwa perempuan yang
identitas kebudayaan, antara Jawa dengan Sunda. berada dalam kebudayaan mainstream Jawa Barat
Perhatikan skema prodtuksi kebudayaannya di merupakan faktor utama dalam menjaga tradisi
bawah ini: kebudayaan dan bahasa daerah yang ada. Genealogi
Skema 1 kebudayaannya dapat dimanfaatkan untuk
Produksi Kebudayaan Cirebon
yang Melahirkan Hibriditas Kebudayaan
menurunkan kembali jejaring kebudayaannya.
Elemen Pemengaruh Elemen Pemengaruh Kesimpulan di atas sebenarnya tidak
dapat dilakukan secara hitam putih saja, tetapi
Jawa harus dirunut dan diperhadapkan dalam proses
Repelika Mataram Cina-Arab
produksi kebudayaan yang bersifat dinamis.
Dengan demikian, adalah sebuah keniscayaan
bahwa semua proses pertemuan silang budaya
Jejaring Kebudayaan
Sunda Genealogis Kebudayaan
di atas menghasilkan hibriditas kebudayaan
Mainstream yang membentuk yang tidak pernah jelas batas-batasnya. Karena
identitas Cirebon
keseluruhan proses itu, hidup dan dihidupi dalam
kepadatan lalu lintas jejaring kebudayaan yang
Entitas Kebudayaan
saling melengkapi. Adaptasi dapat menghasilkan
Entitas Kebudayaan
Jejaring Cirebon Girang Jejaring Cirebon Larang pola pertemuan secara sinergis dari berbagai
kebudayaan sebagaimana syarat dari pembentukan
Jejaring Kebudayaan
Jawa Koek atau Jawa Reang
karakter kebudayaan hibrida. Namun, dapat juga
Anomali Kebudayaan Mainstream = melahirkan pola kebudayaan baru yang sifatnya
Kebudayaan Marginal lebih condong kepada kebudayaan mainstream atau
Berdasarkan kasus di atas, sepertinya juga pada kebudayaan marginal sesuai kemampuan
kebudayaan Sunda sebagai kebudayaan mainstream lingkungan untuk mempengaruhi para pelaku
lebih mampu menghegemoni kebudayaan budaya di dalamnya. Adaptasi kebudayaan inilah

291
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

yang mempengaruhi gerak transformasi sosial di dua daerah ini berusaha mendirikan Provinsi
berbagai wilayah yang memiliki intensitas tinggi Cirebon.
dalam lalu lintas kebudayaan etnik. 4. Pernyataan ini bukan common sense, kasus
Pada akhirnya, menentukan gerak transformasi Tau Taa Wana dengan orang SP di Dataran
sosial, terlebih dalam persoalan studi lintas budaya Tinggi Bulang juga membuktikan rasionalisasi
pada komunitas perkotaan seperti Cirebon, sama sebab-akibat semacam ini (Humaedi, 2008).
sulitnya dengan menentukan jejaring entitas 5. Colonial discourse membicarakan, meneliti,
kebudayaan beserta berbagai penghadapan yang dan merepresentasikan kebudayaan orang atau
ada dan dilakukan antara kebudayaan marginal identitas diri orang lokal secara sewenang-
dengan kebudayaan mainstream atau sebaliknya. wenang. Meskipun ada kesan hanya sebatas
Kesulitan akan terlihat nyata pada saat merunut soal identitas, namun ada potensi untuk
akar genealogis dan rasionalitas-rasionalitas yang memainkan “produk kultural kolonialisme”
terdapat dari lalu lintas fenomena silang budaya pelaku kebudayaan lain.
itu sendiri, termasuk penggunaan bahasa daerah di
6. Wawancara dengan Abdullah Ali, salah
dalam perkawinan silang budaya itu.
satu pengusul Provinsi Cirebon (17 Juli
2010). Beliau mengemukakan alasan yang
Catatan: melatarbelakangi keinginan warga Cirebon
1. Peran itu salah satunya dikomunikasikan membentuk Provinsi Cirebon.
melalui puisi-puisi yang diterbitkan pada 7. Untuk menjelaskan hubungan budaya dengan
surat kabar Pikiran Rakyat dan beberapa lingkungan, diperlukan upaya yang bersifat
buku ontologi. Dalam keseluruhan karyanya tautologis dengan mempersoalkan adaptasi
terlihat jelas kemampuan Alwy mengemas secara sirkular. Kelestarian hidup tidak hanya
realitas. Ada getaran makna dalam gaya diukur dengan keberhasilan reproduksi,
balaghah (susunan kalimat), ia tidak pula tetapi juga bagaimana individu itu dapat
melupakan ‘peribahasa jalanan’ khas Cirebon, mengkomunikasikan maksudnya. Ini adalah
yang dapat membuat telinga orang yang bukti petunjuk adaptasi. Kepunahan, baik
dikritiknya menjadi panas. dalam bahasa verbal maupun generasi
2. Secara geokultural, wilayah tengah dan selatan merupakan bukti mengenai kegagalan
adalah wilayah orang yang berkebudayaan beradaptasi. Label adaptasi digunakan sebagai
Sunda, sebagai kebudayaan mainstream Jawa deskriptif yang menyatakan suatu proses yang
Barat. Sebaliknya, wilayah utara dan timur telah terjadi dari waktu ke waktu, tidak timbul
selalu dianggap sebagai wilayah kebudayaan masalah apapun. Akan tetapi, begitu orang
Jawa walaupun kerap dilekatkan identitas mencoba menggunakan konsep adaptasi
“bukan Jawa, dan juga bukan Sunda”, dan sebagai piranti untuk menjelaskan proses
selalu disebut sebagai kebudayaan marginal kemunculan itu sendiri atau proses historisnya
Jawa Barat. dalam bahasa Sartre, penjelasannya bersifat
3. Dari sektor migas, setiap tahun Indramayu tautologis. Ini karena pengertian pelestarian
dan Cirebon menyumbang sebesar 35% hidup sudah tersirat dalam istilah adaptasi,
pendapatan provinsi. Jumlah ini belum seperti pengertian ”tidak menikah” dalam
ditambah sektor kelautan yang menyumbang istilah lajang atau gadis.
sekitar 10-12%, dan sektor jasa sebesar 15 8. Bahasa dalam budaya, sebagaimana seni
% (BPS, sensus ekonomi 2006). Sumbangan dalam tradisi, pada sebuah komunitas etnik
pendapatan yang besar itu tidak diiringi manapun, diakui atau tidak, menandai
imbal jasa pembangunan, menjadi pemicu eksistensi kehidupan sosial yang bermuara

292
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

pada kreativitas, baik dalam skala makro sebagai Adipati Cirebon dengan gelar
ataupun mikro. Semuanya mengarah pada Cakrabumi. Pangeran ini mendirikan Kerajaan
medan pergulatan ide sehingga simbol Cirebon. Salah satu caranya adalah dengan
mutakhir yang muncul semakin menegaskan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh.
identitas itu. Hal ini berlaku juga bagi Karena hal itu, Raja Galuh mengirimkan bala
keragaman bahasa daerah yang tidak dapat tentara ke Cirebon untuk menumbangkan
dielakkan telah menguatkan eksistensi Adipati Cirebon. Bagi Raja Galuh, Adipati
bahasa Indonesia sebagai basis bahasa dan Cirebon terlalu kuat sehingga tidak
titik-tolak spirit nasionalisme. Di dalamnya melanjutkan peperangan. Setelah terlepas dari
menguraikan semiotika, simbol, kreasi, kerajaan Galuh, Walang Sungsang mengganti
impresi, dan ekspresi dalam perspektif gelarnya dengan Cakrabuana. Secara
kebudayaan (culture) maupun peradaban langsung, kerajaan Cirebon merupakan tanda
(civilization) yang dibangun masyarakat awal berdirinya kerajaan Islam Cirebon.
paling mendasar. Kerajaan ini memiliki Pelabuhan Muara Jati
9. Kebutuhan terhadap strategi kebudayaan yang aktivitasnya menjangkau Asia Tenggara
kemudian penting karena ia laten dalam 11. Kata pesisir biasanya ditambah sufik -an,
kepentingan mempertahankan kebudayaan lebih terkenal baik secara tekstual literatur
itu. Strategi ini dapat muncul dan diolah Belanda dan babad, menunjuk arti daerah yang
dengan baik, bila ia tahu dan mengerti pada berpasir laut. Denys Lombard, Reflexions
kesejarahan kebudayaan di mana ia hidup sur le Concept de Pasisir et sur son Utilite
di dalamnya. Seperti pernyataan Boas Pour l. Etude des Litteratures, dalam C.D.
(dalam Kaplan & Manners 1999), bahwa Grijns and S.O. Robson, Cultural Contact
untuk menjelaskan fenomena kebudayaan, and Textual Interpretation, (Holland:Foris
hendaknya menunjuk kembali pada lingkaran Publication, 1986), hlm. 19-24. Dapat dilihat
yang telah terjadi sebelumnya, seperti juga dalam Nusa Jawa Silang Budaya yang
sesuatu yang terjadi berulang menjadi basis memungkinkan Lombard melihat aspek
yang sangat ditekankan dalam ilmu sejarah, pengistilahan dan mitos pesisir sebagai akar
walaupun tidak selalu dianggap berlaku hubungan dan pembeda pola kemasyarakatan
umum oleh para ahli antropologi. dan keagamaan masyarakat Jawa. Seperti
10. Menurut manuskrip Purwaka Caruban halnya Geertz, ia mengukur kesantrian berasal
Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa dari pesisir laut Jawa dengan menunjuk pada
ada sebuah desa nelayan kecil bernama perkembangan ajaran para wali songo.
Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak 12. Masyarakat Sunda mengenalnya dengan nanik
kapal asing yang datang untuk berniaga nameuh. Dampak terakhir dalam kehidupan
dengan penduduk setempat. Pengurus politik, melahirkan “pemberontakan Cerbon”
pelabuhan adalah Ki Gede Alang-Alang yang dari masyarakat Jawa terhadap komunitas
ditunjuk oleh Penguasa Kerajaan Galuh. Di Cina, priyayi Sunda, dan kolonial Belanda di
pelabuhan ini juga terlihat aktivitas agama tahun 1818. van Der Kemp, De Cheribonsche
Islam semakin berkembang. Ki Gede Alang- onlusten van 1818, hlm. 34
Alang memindahkan tempat permukiman ke 13. Wawancara dengan Sutanto dan Arief di
tempat baru di Lemahwungkuk, 5 kilometer Arga Sunya dan Kebon Pelok (19 Juli
arah selatan mendekati kaki bukit menuju 2009). Dengan rinci keduanya memberikan
Kerajaan Galuh, sebagai kepala permukiman gambaran sejarah kampung di tanah Cirebon.
baru tersebut. Ia kemudian bergelar Kuwu Walaupun kebanyakan bersifat mistis dan
Cirebon. Pada perkembangannya, Pangeran fiksi, namun itu menjadi gambaran umum
Walang Sungsang, putra Siliwangi ditunjuk bahwa Cirebon tidak mampu membuktikan

293
Humaniora, Vol. 25, No. 3 Oktober 2013: 281-295

kehadiran dirinya dengan bukti otentik. dan lun, lihat Peter BR. Carey, Babad
Hal seperti ini terjadi juga pada konsepsi Dipanegoro, (Kuala Lumpur: Art Printing
mengenai lima unsur kebudayaan Cirebon Works, 1981), hlm. 243-244, dan 290.
(Cina, India, Arab, Eropa, dan Sunda) yang 16. Wawancara dengan Jangi’ (37 tahun), Yeni
masih diperdebatkan karena kurangnya bukti (33 tahun), Ibu Fat (62 tahun, ibu Yeni),
otentik. Encip (67 tahun, ayah Yeni), Darti (60 tahun,
14. Melihat Benda Kerep, harus dilihat secara ibu Jangi), Buang (42 tahun, kakak Jangi),
keseluruhan jejaring spiritulitas di tanah Cirebon (15-19 Juli 2009).
Cirebon. Pesantren Ayip Muh di Jagasatru,
17. Istilah Jawa Koek atau Jawa Mati sebenarnya
wakil dari kota; pesantren Buntet dan
adalah bentuk ejekan komunitas Sunda
Gedongan mewakili wilayah Cirebon Timur,
Cirebon kepada komunitas berbahasa Jawa
Kempek mewakili Cirebon Barat, dan Benda
Cirebon akibat dari kondisi sosial politik
Kerep mewakili Cirebon Selatan. Semua
sebelumnya.
pesantren ini berbeda sistem pengajaran
dan kepemimpinan literarnya. Demikian
juga pola komunikasi yang dikembangkan DAFTAR RUJUKAN
oleh komunitas. Dalam hal ini Benda Kerep Akhyat, Arief. (2006). “The Ideology of Kampung:
memiliki kesamaan dengan pesantren a Prelimenary Research on Coastal City
gedongan, yaitu setengah Jawa dan setengah Semarang”. Jurnal Humaniora, Vol. 18, No.
lagi Sunda. Dibandingkan dengan pesantren 1. Diunduh dari http://journal.ugm.ac.id/index.
lain, maka Benda Kerep lebih dipilih oleh php/jurnal-humaniora/article/view/859.
komunitas Sunda Cirebon sebagai salah satu Ali, Abdullah. (2007). Tradisi Kliwonan Gunung
pusat rujukan keagamaannya. Jati: Model Wisata Religi Kabupaten Cirebon.
15. Jika diamati perbanditan sosial berawal dari Cirebon: Pemkab. Cirebon dan Cakrawala.
masuknya perkebunan partikelir ke pedalaman Alwy, Ahmad Syubbanuddin. (2007). Susub
Jawa, menurut istilah Burger berupa Landep. Cirebon: Festival Puisi Cirebon.
pembukaan pedalaman Jawa bagi lalu lintas
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field of Cultural
dunia. Artinya Jawa dibuka dan dijadikan
Production: Essays on Art and Literature
lahan bagi penanaman modal kapitalisme
Pierre Bourdieu, Randal Johnson [ed].
agraris yang kemudian menjadi sarana
Columbia: Columbia University Press.
perubahan sosial ekonomi penduduk. Sudah
tentu terusiknya pedalaman mengganggu Broeze, Frank (ed). (1989). Brides of the Sea: Port
ketenangan penduduk mendorong timbulnya Cities of Asia from the 16th-20th Centuries.
perbanditan sosial pedesaan. Lihat D.H. Kensington: New South Wales University
Burger, De Ontsluiting van Java’s Binnenland Press.
voor het Weredverkeer, (Wageningen: Casta, Made. (1994). Pasir Pesisir: Kempalan
Venman en Zoonen, 1939), juga D.H. Burger, Cerkak Cerbonan. Cirebon: DKC.
Sociologische Geschiedenis van Indonesia, Fernando, M.R. (1982). Peasant and Plantation
2 Jilid. (Amsterdam: KIT, 1975), lihat juga Economy: The Social Impacts of European
Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Plantation Economy in Cirebon Residency
Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Aditya, from The Cultivation System to The End of
1995), hlm. 1. Di masyarakat Jawa dikenal First of The Tentieth Century. Phd Tesis
istilah brandhal yang mempunyai pengertian Monash University.
sama dengan bandit. Mereka dianggap Grijns, C.D. and S.O. Robson. (1986). Cultural
perusuh dan sering digunakan untuk istilah Contact and Textual Interpretation. Holland:
pemberontak. Mereka disebut juga durjana Foris Publication.

294
M. Alie Humaedi - Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon

Hanafi, Hassan. (2000). Oksidentalisme: Sikap Cornell University Press.


Kita terhadap Tradisi Barat, Pengantar
Kaplan, David dan Albert Manners. (1999). Teori
Oksidentalisme. Jakarta: Paramadina.
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harvey, David W. (1973). Social Justice in the City.
Kemp, F.H. van Der. (1979). De Cheribonsche
London: Edward Arnold.
onlusten van 1818, “Pemberontakan Cirebon
Humaedi, M. Alie. (2008). Mencari Kebijakan
tahun 1818”. Jakarta: Idayu.
di Tengah Hutan pada Masyarakat Tau Taa
Lombard, Deny’s. (2000). Nusa Jawa Silang
Wana: Etnisitas dan Pandangan Hidup.
Jakarta: LIPI Press. Budaya. Jakarta: Gramedia.
---------. (2010). Jejaring Kebudayaan Masyarakat Ricklefs, M.C. (1981). A History of Modern
Pantai Utara Jawa: Cirebon dan Gresik. Indonesia. London: MacMillan.
Laporan Penelitian Insentif Peningkatan Scott, James C. (1994). Moral Ekonomi Petani.
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Jakarta: LP3ES.
Kementerian Riset dan Teknologi-LIPI, 2010 Suhartono. (1995). Bandit-Bandit Pedesaan di
Jayadiningrat, Husein. (1965). “Local Traditions Jawa: Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta:
and The Study of Indonesian History” dalam Aditya.
Sujatmoko, dkk (ed), An Introduction to Tjirebon, Pemerintah. (1957). Peringatan 50 Tahun
Indonesian Historiography. Ithaca New York: Kota Besar Tjirebon 1906-1956.

295

Das könnte Ihnen auch gefallen