Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
SKRIPSI
Oleh:
DWI ARYANTI NUR’UTAMI
F24070116
ABSTRACT
Keywords: real-time PCR, Salmonella Typhimurium, boiling method, QIAamp® DNA Blood Mini Kit,
milk
2
DWI ARYANTI NUR’UTAMI. F24070116. Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella
Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction).
Di bawah bimbingan C.C. Nurwitri, Winiati P. Rahayu, Riolina Ida L. Panggabean, dan
Suci Yuliangsih. 2011
RINGKASAN
Salmonella merupakan salah satu bakteri yang banyak menimbulkan keracunan pangan. Oleh
karena itu metode deteksi Salmonella terus mengalami perkembangan untuk melengkapi ataupun
mengatasi keterbatasan metode konvensional yang berbasiskan biokimia dan serologikal dimana
membutuhkan waktu analisis yang lebih lama. Metode cepat yang dalam dekade ini berkembang pesat
adalah metode deteksi berbasiskan DNA, salah satunya adalah metode dengan menggunakan real-time
PCR. Prinsip metode ini adalah hibridisasi antara DNA target dan fragmen oligonukleotida yang
komplementer terhadap DNA target (primer). Real-time PCR merupakan metode yang dapat
melakukan proses amplifikasi sekaligus dengan kuantifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk
(1) memperoleh metode analisis Salmonella Typhimurium yang lebih singkat dan sederhana,
(2) membandingkan metode isolasi DNA Salmonella Typhimurium menggunakan metode pendidihan
dengan metode menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit, (3) mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium pada susu UHT dengan menggunakan real-time PCR.
Tahap isolasi/ekstraksi DNA merupakan tahap kritis yang dapat mempengaruhi pengujian dengan
menggunakan real-time PCR. Metode pendidihan dan metode dengan menggunakan kit komersial
QIAamp® DNA Blood Mini Kit dapat digunakan untuk mengisolasi dan mengekstraksi DNA baik
dari kultur murni maupun dari sampel susu UHT spike. Isolat/template DNA hasil isolasi dengan
metode kit komersial lebih murni dibandingkan isolat/template DNA yang diperoleh dengan metode
pendidihan, namun kedua metode tersebut dapat diamplifikasi dan menghasilkan nilai Threshold cycle
(Ct) pada real-time PCR. Metode pendidihan tidak dapat menghasilkan efisiensi pengujian yang baik
jika dibandingkan dengan metode kit komersial karena metode pendidihan menghasilkan efisiensi
pengujian sebesar 386,8% sedangkan metode kit komersial menghasilkan efisiensi pengujian sebesar
100%.
Pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium dalam susu UHT menggunakan real-time PCR
menghasilkan konsentrasi yang berbeda satu log lebih besar dibandingkan dengan pengkuantifikasian
menggunakan metode konvensional pada media XLDA, namun pengkuantifikasian dengan real-time
PCR menghasilkan nilai konsentrasi yang sama dengan nilai konsentrasi Salmonella Typhimurium
yang ditambahkan ke dalam susu UHT yang dihitung secara mikroskopi dengan petroff-hausser.
Urutan sekuen oligonukleotida pada primer berpengaruh terhadap spesifisitas pengujian dengan
menggunakan real-time PCR. Reverse dan forward primer yang digunakan memiliki spesifisitas yang
baik terhadap Salmonella Typhimurium yang ditunjukkan dengan tidak teramplifikasinya Shigella
sonnei sebagai bakteri non-target dan tidak terbentuknya primer-dimer pada pengujian. Konsentrasi
primer yang sesuai pada pengujian ini adalah sebesar 0,125 µM baik untuk reverse primer maupun
forward primer.
3
METODE ANALISIS ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Salmonella
Typhimurium PADA SUSU DENGAN METODE REAL-TIME
PCR (Polymerase Chain Reaction)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
DWI ARYANTI NUR’UTAMI
F24070116
4
Judul Skripsi : Metode Analisis Isolasi dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu
dengan Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction)
Nama : Dwi Aryanti Nur’utami
NRP : F24070116
Menyetujui,
Mengetahui :
Plt Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Metode Analisis Isolasi
dan Identifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan Metode Real-Time PCR
(Polymerase Chain Reaction) adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari riset di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI tahun 2011 dengan arahan
dosen pembimbing akademik dan pembimbing lapang, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
6
BIODATA PENULIS
7
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridha-Nya skripsi
dengan judul “Metode Analisis Isolasi dan Indentifikasi Salmonella Typhimurium pada Susu dengan
Metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction)” yang merupakan hasil magang di Pusat Riset
Obat dan Makanan Badan POM RI yang dilakukan sejak bulan April 2011 hingga Juli 2011 telah
berhasil diselesaikan. Laporan hasil dan pembahasan di dalam skripsi ini merupakan hasil pengujian
dari penentuan konsentrasi dan spesifisitas primer, pengisolasian/pengekstraksian DNA dan
pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu UHT dengan metode pendidihan dan metode
kit komersial.
Program magang ini bertujuan untuk memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis
mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang keamanan pangan, Pusat Riset Obat
dan Makanan Badan POM RI. Program magang ini juga memberikan manfaat kepada penulis seperti
meningkatkan softskill dalam bekerja di dalam tim dan memberikan pengalaman tentang dunia kerja
sebagai peneliti di Pusat Riset Obat dan Makanan yang belum pernah penulis alami.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak H. Haryanto (Alm), Ibu Hj. Euis Rohayati yang selalu mendukung penulis baik moril
maupun materil juga doa yang tiada henti untuk penulis dan Kakak Anggi Bayu Aribowo yang
selalu menyediakan waktu bagi penulis untuk bertukar pikiran serta seluruh keluarga besar di
Bogor dan Purworejo yang selalu memberi dukungan kepada penulis selama perkuliahan.
2. Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA yang dengan sabar selalu membimbing penulis selama perkuliahan di
ITP dan selalu memberi dukungan juga semangat kepada penulis selama pengerjaan penelitian
sampai selesainya skripsi ini.
3. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu yang memberi kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dan atas kesediaan waktu dalam
memberikan saran, masukan, dan bantuan moril kepada penulis ketika mengalami kesulitan
dalam melaksanakan penelitian.
4. Ibu Dra. Riolina Ida L. Panggabean, M.Kes., Apt atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk
menjadi pembimbing lapang pertama.
5. Ibu Suci Yuliangsih, S.TP atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk menjadi penguji sidang dan
pembimbing lapang kedua selama penelitian berlangsung.
6. Ibu Eva Nikastri, S.TP, M.Si; Ibu Novi Pusparini S.Farm., Apt; Ibu Khusnul Khotimah S.Si; Ibu
Wiwi Hartuti S.Farm., Apt, dan seluruh staf Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI yang
menjadi pembimbing teknis juga teman berbagi cerita, suka, duka, dan pengalaman selama
penulis melakukan penelitian.
7. Seluruh Dosen dan tenaga kependidikan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bimbingan
dan ilmu yang berharga kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen ITP IPB.
8. Teman-teman ITP 44 tercinta yang bersama-sama dengan penulis menghabiskan hari-hari
bersama di ruang kuliah PAU dan sekitarnya juga di Laboratorium ITP, terutama: Aisyah, Okky,
Reni, Imel, Dhina, Ria, Ichang, Puji, Linda, Elvita dan kelompok P3B Yochan : Ulfa, Ale, Lia,
Desir, Michael, Lukman, Annisa Sita, Meiada, Ni Putu, Tiara, Rini, Chifar yang selalu berbagi
tawa disaat jenuhnya perkuliahan.
9. Staf Unit Pelayanan Terpadu Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang dengan sabar membantu
proses administrasi dan birokrasi penulis selama perkuliahan dan penyusunan tugas akhir.
viii
Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
x
DAFTAR TABEL
Halaman
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xiii
Halaman
Lampiran 15. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve)
(b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat DNA Salmonella Typhimurium
metode pendidihan dalam pembuatan kurva standar................................................ 61
Lampiran 16. Tabel kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan
dalam pembuatan kurva standar................................................................................ 62
Lampiran 17. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b) isolat/template
DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan
kurva standar............................................................................................................. 63
Lampiran 18. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt peak curve)
(b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/template DNA Salmonella
Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar...................... 64
Lampiran 19. Tabel kemurnian isolat DNA Salmonella Typhimurium
metode kit komersial dalam pembuatan kurva standar............................................ 65
xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu, karena di dalamnya terkandung
senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang
rusak, mengatur proses di dalam tubuh, dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai kegiatan
dalam kehidupan. Komposisi umum bahan pangan terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, vitamin
dan mineral. Bahan pangan dengan komposisi tersebut merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroba.
Populasi mikroba khususnya mikroba patogen dapat meningkat pada pangan yang dikonsumsi,
sehingga dapat menimbulkan berbagai permasalahan salah satunya adalah Kejadian Luar Biasa (KLB)
keracunan pangan (foodborne disease) yang tidak jarang dapat menimbulkan kematian (Supardi dan
Sukamto 1999). Salah satu penyebab KLB keracunan pangan adalah adanya cemaran biologis
mikroba patogen dari jenis Salmonella. Selama tiga tahun berturut-turut Salmonella dijumpai sebagai
penyebab keracunan pangan di Indonesia dan kemungkinan terjadinya berkisar antara 12,5 hingga
25,0% dari cemaran mikroba (Badan POM RI 2008, 2009, 2010).
Setiap individu berhak untuk memperoleh pangan yang senantiasa tersedia setiap waktu, bergizi,
dan aman untuk dikonsumsi. Pangan yang aman dikonsumsi merupakan pangan yang bebas (di bawah
toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemaran berbahaya seperti cemaran biologis, kimia,
dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz
1994). Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat cemaran suatu pangan, khususnya cemaran biologis
maka perlu dilakukan suatu pengujian baik kualitatif maupun kuantitatif, namun pengujian yang biasa
digunakan untuk mengidentifikasi mikroba patogen adalah dengan metode konvensional/tradisional
yang bergantung pada identifikasi bakteriologikal dan serologikal yang melelahkan dimana
membutuhkan waktu empat sampai tujuh hari untuk memperoleh uji yang positif yang bergantung
pada konfirmasi secara biokimia dan serologikal (Elizaquível et al. 2010).
Penggunaan metode uji yang lebih cepat menjadi hal yang menarik untuk dikembangkan dan
dipelajari khususnya untuk pengawasan keamanan pangan. Diantara banyak metode cepat yang
sedang dikembangkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi Salmonella dan mikroba patogen
lainnya, Polymerase Chain Reaction (PCR) telah sering dipelajari selama dekade terakhir karena
selain cepat dan mudah, metode ini juga sangat spesifik dan sensitif (Abubakar et al. 2007). Baru-baru
ini, metode real-time PCR banyak digunakan karena hasilnya dapat langsung dimonitor secara real-
time (diamati seketika) dan data yang dihasilkan dapat dianalisis secara kuantitatif (Chen et al. 2009).
Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) Badan POM RI sedang mengembangkan metode dengan
real-time PCR. Pengembangan metode ini penting dilakukan untuk memperoleh metode yang cocok
(efektif, spesifik, dan sensitif) bagi pangan yang memiliki komposisi beragam yang bisa menghambat
pengidentifikasian Salmonella Typhimurium. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bakteri uji
Salmonella Typhimurium sebagai kontrol positif dan Shigella sonnei sebagai kontrol negatif di dalam
sampel pangan susu UHT dengan gen target adalah InvA. Gen target InvA bertanggung jawab terhadap
proses invasi dari sel epitel dan lokus gen InvA diketahui terdistribusi luas pada berbagai strain
Salmonella (Bohaychuk et al. 2006).
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh metode analisis untuk Salmonella Typhimurium
yang lebih cepat dan sederhana, (2) membandingkan metode isolasi DNA Salmonella Typhimurium
menggunakan metode pendidihan dengan metode menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood
Mini Kit, (3) mengidentifikasi dan mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium pada susu UHT yang
berbasiskan amplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi awal mengenai metode cepat,
spesifik, dan efisien untuk mengidentifikasi Salmonella Typhimurium pada sampel pangan susu UHT
yang berbasiskan amplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR dengan gen target InvA
menggunakan metode isolasi pendidihan dan metode isolasi kit komersial.
2
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keracunan Pangan
Secara umum bahaya yang timbul dari pangan disebut foodborne disease atau sering disebut
keracunan pangan. Menurut World Health Organization (WHO), kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan (foodborne disease outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang
atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti
sebagai sumber penularan (Sparringa 2002). Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan
infeksi atau intoksikasi akibat mengkonsumsi makanan, minuman atau air yang telah terkontaminasi
(Sharp dan Reilly 2000).
Penyakit yang timbul bila seseorang mengkonsumsi suatu pangan dapat disebabkan oleh dua hal,
yaitu pertama pangan tersebut mungkin mengandung komponen beracun (komponen anorganik seperti
sianida, gosipol, dsb). Kedua, pangan mengandung mikroba dalam jumlah yang cukup untuk dapat
menimbulkan gejala sakit. Berdasarkan kedua hal tersebut, penyakit yang ditimbulkan oleh pangan
dapat digolongkan dalam dua kelompok besar menurut penyebabnya yaitu (1) keracunan, dan (2)
infeksi mikroba.
Istilah keracunan pangan digunakan secara umum untuk menyatakan semua gejala penyakit yang
ditimbulkan sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu pangan, baik penyakit tersebut disebabkan oleh
toksin maupun oleh mikroba penyebab infeksi yang terdapat dalam pangan tersebut. Selain itu,
keracunan pangan juga dapat terjadi karena tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-
sel mikroba tertentu. Gejala-gejala keracunan karena toksin tersebut diatas disebut intoksikasi.
Gambaran penyakit yang dapat disebarkan melalui pangan adalah sebagai berikut ini (Gambar 1.).
Keracunan Infeksi
Infeksi mikroba adalah tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian dapat
menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam tubuh. Dengan kata
3
lain infeksi merupakan proses ketika mikroba yang patogen memasuki tubuh inangnya, mengadakan
invasi, berkembang biak di dalam tubuh inang, dan menimbulkan penyakit. Dalam menghadapi
adanya infeksi mikroba dan hasil-hasil metabolitnya, tubuh mengadakan suatu reaksi perlawanan,
yang ditandai oleh adanya gejala-gejala demam yang dialami oleh penderita penyakit. Hal ini
merupakan salah satu gejala penyakit yang membedakan antara intoksikasi dengan infeksi mikroba,
dimana penderita intoksikasi biasanya tidak mengalami gejala demam.
Kemampuan suatu mikroba dalam menimbulkan penyakit biasanya dinyatakan dengan istilah
virulen. Mikroba yang terdapat dalam jumlah yang sedikit tetapi sudah dapat menimbulkan gejala
infeksi atau penyakit, dikatakan mempunyai daya virulensi yang tinggi. Sedangkan mikroba yang
menyebabkan gejala penyakit yang ringan, atau yang harus terdapat dalam jumlah yang banyak untuk
dapat memulai infeksi atau menimbulkan penyakit, dikatakan mempunyai daya virulensi yang rendah.
Sifat virulensi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan sifat patogenik suatu mikroba yang
merupakan perpaduan dari tiga sifat kemampuan mikroba yaitu: (1) daya infeksi atau kemampuannya
untuk memulai suatu infeksi di dalam tubuh inangnya, (2) daya invasif atau kemampuan suatu
mikroba untuk menembus ke jaringan-jaringan yang lebih dalam, (3) daya patogenik atau kemampuan
suatu mikroba untuk merusak sel-sel jaringan tubuh (Supardi dan Sukamto 1999).
Mikroba penyebab infeksi yang tumbuh pada pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu: (1) mikroba patogen yang pertumbuhannya tidak distimulir oleh pangan tempat mikroba
tersebut hidup, dalam hal ini pangan hanya sebagai perantara (pembawa). Misalnya mikroba patogen
yang menyebabkan hepatitis. (2) Mikroba patogen yang pertumbuhannya distimulir oleh pangan
tempat tumbuhnya sehingga jumlahnya akan bertambah banyak. Misalnya Salmonella sp., EPEC, dan
Vibrio parahaemolyticus.
Mikroba lain yang menyebabkan infeksi antara lain: Clostridium perfringens, Bacillus cereus,
Shigella sp., Yersinia enterocolica dan sebagainya. Clostridium perfringens dan Bacillus cereus
adalah mikroba yang juga dapat memproduksi enterotoksin (bersifat enterotoksigenik), sehingga
kadang-kadang digolongkan ke dalam kelompok mikroba penyebab intoksikasi. Clostridium
perfringens tipe A menghasilkan enterotoksin yang akan dilepaskan ke luar sel sewaktu terjadi
sporulasi di dalam saluran pencernaan atau di dalam pangan. Bacillus cereus juga menghasilkan
enterotoksin, tetapi toksin tersebut akan dilepaskan ke luar sel sewaktu mengalami lisis atau pecah di
dalam saluran pencernaan atau di dalam pangan.
Jika toksin dan kedua mikroba itu dilepaskan oleh sel di dalam pangan dan pangan tersebut
tertelan masuk ke dalam tubuh, gejala yang ditimbulkannya disebut sebagai gejala intoksikasi.
Meskipun demikian, menunjukkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh kedua mikroba tersebut baru
timbul jika mikroba yang masih hidup tertelan dalam jumlah cukup tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi yang terbaik bagi kedua mikroba tersebut untuk melepaskan toksinnya adalah di dalam
saluran pencernaan. Oleh karena itu, kedua mikroba tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok
mikroba penyebab infeksi.
Toksin mikroba dapat dibedakan menjadi dua kelompok diantaranya (1) eksotoksin yaitu toksin
yang disintesis di dalam sel mikroba, kemudian dikeluarkan ke substrat di sekelilingnya, dan (2)
endotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, dan baru bersifat toksik bila sel
mengalami lisis. Eksotoksin yang dihasilkan oleh mikroba biasanya bekerja secara spesifik terhadap
tenunan-tenunan atau sel-sel tertentu. Misalnya sel-sel saraf, otot, sel-sel pada saluran pencernaan, dan
sebagainya.
Tidak semua mikroba yang masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan penyakit. Untuk dapat
menimbulkan penyakit, suatu mikroba harus dapat melalui beberapa tahap penting yaitu: masuk ke
dalam tubuh (jalan masuk untuk setiap mikroba tidak sama), harus dapat berkembang biak, tahan
4
terhadap sistem pertahanan tubuh, dan melakukan invasi ke dalam tubuh inangnya, serta harus ada
jalan keluar penyebab penyakit.
Mikroba yang dapat menginfeksi dan dapat menimbulkan penyakit adalah mikroba yang
mempunyai daya patogenisitas yang tinggi, daya virulensi yang kuat, dan daya invasi yang tinggi,
sehingga dapat berkembang biak dan menyebar ke dalam tubuh inang yang peka, serta mempunyai
daya pertahanan dan daya hinder yang baik terhadap serangan sel-sel fagosit di dalam tubuh inang.
Proses yang terjadi di setiap tahap sangat kompleks dan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Suatu mikroba dapat kehilangan sifat patogeniknya jika salah satu dari faktor tersebut hilang. Substrat
dan lingkungan tempat pertumbuhan mikroba mempengaruhi hilangnya atau terbentuknya faktor
patogenik tersebut.
Mikroba patogen yang terdapat di dalam pangan biasanya masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pencernaan. Infeksi oleh mikroba tersebut dapat dimulai dari membran mukosa pada dinding saluran
pencernaan, terutama usus halus. Meskipun demikian, tidak semua mikroba patogen masuk melalui
saluran pencernaan dapat menyebabkan infeksi pada membran mukosa tersebut, karena sesungguhnya
dinding saluran pencernaan dilindungi oleh lapisan lendir saluran mukus, pergerakan isi saluran
pencernaan, dan mikroba komensal yang hidup berkembang biak tanpa merugikan di saluran
pencernaan.
Berdasarkan cara penyebarannya dan daya penetrasinya di dalam tubuh, mikroba patogen yang
dapat menyebabkan infeksi melalui saluran pencernaan dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu: (1)
mikroba yang berkembang biak pada permukaan dinding saluran pencernaan, dan tidak menembus
terlalu jauh ke dalam sel-sel mukosa, (2) mikroba yang menembus sel-sel mukosa dan berkembang
biak di dalam sel-sel tersebut tetapi tidak menyebar ke jaringan-jaringan yang lebih dalam, (3)
mikroba yang menyebar ke jaringan-jaringan yang lebih dalam baik dengan cara menembus sel-sel
mukosa atau diantara sel-sel mukosa misalnya Salmonella yang menyebabkan salmonellosis (Supardi
dan Sukamto 1999).
Enam mikroba patogen yang menjadi penyebab utama KLB keracunan pangan di Amerika
Serikat, yaitu Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, Escherichia coli O157:H7, Lysteria
monocytogenes, Salmonella, dan Staphylococcus aureus (Doores 1999). Mikroba lain yang banyak
menimbulkan KLB keracunan pangan di Indonesia adalah Escherichia coli, Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Salmonella, Vibrio cholera, dan Pseudomonas
cocovenenans (Badan POM RI 2002, 2003a, 2004). Gejala dan akibat yang ditimbulkan, jumlah yang
dapat menyebabkan keracunan pangan, dan pencegahan mikroba patogen tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1. berikut ini.
5
Mikroba Jumlah Akibat Gejala Pencegahan
E. coli Diare akut Pemasakan
6 9
EPEC 10 -10 sel sampai diare Diare berair, muntah, (<70oC;
berdarah dan demam 2 menit)
ETEC 108-109 sel Diare berair, kejang
perut, demam
EIEC 106 sel Diare basiler (berlendir,
berdarah)
EHEC 10-100 sel Diare berdarah
L. monocytogenes 103 sel Aborsi Demam, gangguan Pemasakan
gastroenteritis, gejala medium atau
mirip flu pada suhu
70oC
Salmonella sp. 105-107 sel Salmonelosis Pemanasan
Typhoid Demam enterik (demam 70-75oC
39-40oC, kejang perut, (3-7 menit);
sakit kepala, hilang nafsu 66oC
makan), konstipasi. (12 menit);
Non-typhoid Sakit perut, diare, 60oC
muntah dan demam (78-83 menit)
S. aureus 106 sel/ml Diare Mual, muntah, kejang Pendinginan
perut, diare (-10)-0oC
Pemanasan
66oC; 10 menit
Vibrio sp. 105-107 sel Kolera Diare, diare disertai Pemasakan
serpihan mukus (>70oC)
P. cocovenenans 2 mg/100g Keracunan Sakit perut, keringat pH < 5,5 atau
asam berlebihan, lelah mual penambahan
bongkrek; garam NaCl
toksoflavin (2,75-3,0%)
B. cereus 105 sel/g Diare Diare, kejang perut, Pendinginan
muntah (10oC),
pemanasan
(60oC)
Morganella sp. Keracunan Mual, muntah, diare, Pembekuan,
histamin kejang perut, sakit Pendinginan
kepala, rasa terbakar (1oC)
*Badan POM RI (2003b)
B. Salmonella Typhimurium
Salmonella merupakan salah satu genus dari famili Enterobacteriaceae. Taksonomi Salmonella
sangatlah kompleks. Berdasarkan skema Kauffman-white dalam Brenner et al. (2000) genus
Salmonella terdiri dari dua spesies diantaranya adalah Salmonella bongori (V) dan Salmonella
enterica. Spesies Salmonella enterica ini terdiri dari enam subspesies diantaranya adalah (1)
Salmonella enterica subsp. enterica (I), (2) Salmonella enterica subsp. salamae (II), (3) Salmonella
6
enterica subsp. arizonae (IIIa), (4) Salmonella enterica subsp. diarizonae (IIIb), (5) Salmonella
enterica subsp. houtenae (IV), dan (6) Salmonella enterica subsp. indica (VI). Salmonella enterica
subsp. enterica terdiri dari 1.454 serotype/serovar dan salah satunya adalah serovar Typhimurium.
Oleh karena itu, kata “Typhimurium” pada Salmonella Typhimurium atau biasa disingkat dengan
S. Typhimurim ditulis tidak dengan huruf miring dan juga ditulis dengan huruf kapital diawal katanya
(Brenner et al. 2000).
Salmonella Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, berbentuk batang,
tidak membentuk spora dan Salmonella Typhimurium juga memiliki flagella peritrikus sehingga
bersifat motil. Salmonella Typhimurium berdiameter 0,7 hingga 1,5 µm dan dengan panjang 2 hingga
5 µm. Suhu minimum untuk pertumbuhan Salmonella Typhimurium adalah 45oC, sedangkan suhu
pertumbuhan optimumnya adalah 35-37oC (D’Aoust 2000).
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi yang jika tertelan masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Penyakit yang
disebabkan oleh Salmonella dibagi menjadi dua grup besar yaitu nontyphoid salmonellosis
(gastroenteritis) dan typhoid salmonellosis (demam typhoid). Gastroenteritis disebabkan karena
infeksi Salmonella Typhimurium yang terbatas pada epithelium usus sedangkan demam typhoid
disebabkan karena infeksi yang terjadi pada keseluruhan sistem.
Typhoid salmonellosis (demam typhoid) memiliki gejala awal yang agak berbeda dan jauh lebih
lambat (24-48 jam setelah konsumsi) daripada nontyphoid salmonellosis (12 jam setelah konsumsi).
Demam typhoid akan mengalami peningkatan secara bertahap setiap harinya dan sering kali muncul
bintik merah pada kulit. Gejala yang timbul pada demam typhoid adalah demam dengan suhu
39-40oC, kejang perut, sakit kepala, hilang nafsu makan, dan konstipasi. Penderita mungkin
mengalami perforsi dan pendarahan usus dan koma. Penderita yang telah sembuh seringkali menjadi
asymptomic carriers dimana organisme ini tetap berada dalam kantong empedu dan usus. Sedangkan
gastroenteritis digejalai dengan mual, muntah, kejang perut, dan diare (Ziprin dan Hume 2001).
Pangan yang sering terkontaminasi Salmonella Typhimurium adalah telur dan hasil olahannya,
ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan hasil olahannya. Keracunan pangan oleh
Salmonella disebabkan karena pangan mengandung Salmonella dalam jumlah yang signifikan yaitu
107 sel (Jay et al. 2005).
7
Pada media Lactose Broth (LB), laktosa akan difermentasi oleh sebagian besar bakteri non-
Salmonella sehingga menyebabkan penurunan pH media. Penurunan pH media akan menghambat
pertumbuhan bakteri non-Salmonella, sementara bakteri Salmonella dapat tetap tumbuh. Pada tahap
ini inkubasi dilakukan pada suhu 37oC dan dianggap positif jika terjadi kekeruhan di media LB.
Metode pengayaan selektif Rappaport-Vassiliadis medium (RV) yang mengandung senyawa
selektif seperti malachite green dan magnesium klorida yang dikombinasikan pada pH rendah
(5,2 ± 2) akan menghambat pertumbuhan mikroba alami yang berasal dari saluran pencernaan selain
Salmonella. Media yang digunakan pada tahap isolasi terdiri dari tiga jenis agar selektif yaitu Hektoen
Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA), dan Bismuth Sulfite Agar (BSA).
Dari ketiga media yang berbeda ini akan ditemukan koloni spesifik yang diindikasikan Salmonella.
Pada media HEA dan XLDA yaitu ditandai dengan koloni dengan bintik hitam di tengah yang
menghasilkan H2S, sedangkan pada media BSA koloni Salmonella akan menghasilkan warna coklat
hingga hitam dengan kilau metalik (Difco dan BBL manual 2003).
Tahap akhir pada metode konvensional adalah tes biokimia, identifikasi, dan uji serologi. Salah
satu langkahnya adalah dengan melihat pertumbuhan Salmonella pada media TSIA (Triple Sugar Iron
Agar) dan LIA (Lysine Iron Agar). Pada media TSIA, jika hasil positif maka media akan berwarna
kuning dengan adanya indikator pH fenol merah karena terfermentasinya laktosa oleh Salmonella.
Sedangkan pada media LIA akan terbentuk warna gelap pada agar miring yang menunjukkan
terjadinya deaminasi lisin dan ammonia yang terbentuk akan bereaksi dengan ferric ammonium citrate
serta endapan hitam pada dasar tabung yang menunjukkan adanya produksi H2S (Difco dan BBL
manual 2003).
Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah pelaksanaan metode
konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier dan stomacher yang mempermudah
homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan petrifilm untuk enumerisasi dan deteksi; colony counter dan
kit uji untuk konfirmasi atau identifikasi (de Boer dan Beumer 1999). Meskipun demikian waktu
pendeteksian tidak berkurang secara signifikan.
8
Secara prinsip, baik real-time PCR maupun PCR konvensional merupakan proses yang dilakukan
berulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap utama (Pestana et al.
2010). Berikut adalah tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus, ketiga tahap utama dalam proses
amplifikasi tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Tahapan amplifikasi dalam PCR (Polymerase Chain Reaction) (Anonim 2009).
9
ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk
setiap 1000 bp.
Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan
berikut:
1. Pra-denaturasi
Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan
mengaktivasi DNA Polimerase (jenis hot-start/aktif jika dipanaskan terlebih dahulu).
2. Final Elongasi
Umumnya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC). Tahap ini dilakukan selama 5-15
menit untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara
sempurna. Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir.
Proses amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler yang dapat
menaikkan dan menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya
untuk melakukan proses tersebut digunakannya tiga penangas air (water bath) untuk melakukan
melting, annealing dan extention secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya
menggunakan tangan. Tetapi sekarang mesin thermal cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram
sesuai kebutuhan.
Secara teoritis, PCR dapat mengamplifikasi satu salinan DNA menjadi satu juta kali dalam waktu
kurang dari 2 jam (Gambar 3.) maka berpotensi untuk mengurangi bahkan menghilangkan kebutuhan
untuk pengayaan kultur, namun kehadiran inhibitor dalam pangan dan dalam berbagai media kultur
dapat mencegah terikatnya primer dan mengurangi efisiensi amplifikasi sehingga sangat sensitif
dicapai dengan PCR dan kultur murni sering berkurang bila menguji pangan. Oleh karena itu,
beberapa pengayaan kultur diperlukan sebelum dilakukannya analisis.
Gambar 3. Jumlah DNA yang dihasilkan dari proses amplifikasi (Anonim 2009)
Komponen lain yang dibutuhkan untuk pengujian ini selain template DNA yang akan digandakan
dan enzim DNA polimerase, diantaranya adalah:
1. Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi
sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. PCR hanya mampu
10
menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp, dan dengan teknik
tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan
template DNA, sehingga dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang diinginkan.
Langkah pertama dalam perancangan primer adalah mencari/membuat urutan DNA/gen yang
diinginkan, umumnya dapat menggunakan basis data umum seperti NCBI. Setelah urutan
DNA/gen yang diinginkan diperoleh, kemudian software untuk merancang primer digunakan
untuk mempermudah dan memaksimalkan keberhasilan dalam merancang primer. Langkah
berikutnya adalah mempertimbangkan dengan hati-hati daerah gen yang akan digunakan sebagai
template DNA. Gen yang memiliki struktur sekunder atau urutan nukleotida yang panjang harus
dihindari dalam perancangan primer (Pestana et al. 2010).
Besarnya konsentrasi dari primer yang digunakan merupakan hal yang menentukan
keberhasilan pengujian. Jika konsentrasi primer pada pengujian dengan real-time PCR yang
digunakan terlalu tinggi, maka akan meningkatkan kesempatan untuk terjadinya mispriming yang
artinya akan menghasilkan produk PCR yang tidak spesifik karena primer berikatan tidak hanya
dengan gen target, tetapi dengan gen-gen lainnya pada template DNA yang ditambahkan (Pestana
et al. 2010), namun jika konsentrasi primer yang digunakan terlalu rendah, maka akan dihasilkan
suatu metode pengujian yang tidak sensitif yang menyebabkan terjadinya false-negative dimana
sampel yang positif (mengandung gen target) akan terdeteksi negatif (Lee et al. 2006). Oleh
karena itu penentuan konsentrasi primer sangat dibutuhkan dalam pengujian dengan real-time
PCR.
3. Buffer PCR
Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar
berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polimerase.
4. Kofaktor
Kofaktor berfungsi untuk meningkatkan jumlah akhir dari reaksi. Kofaktor tersebut berupa Ion
logam bivalen, umumnya magnesium klorida (Mg2+), sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polimerase. Tanpa ion ini enzim DNA polimerase tidak dapat bekerja (Pestana et al. 2010).
Prinsip amplifikasi real-time PCR sama dengan PCR standar, hanya saja pada real-time PCR
ditambahkan label berfluoresensi (fluoresence dye) sehingga penggunaan teknik real-time PCR lebih
efisien dan efektif dibandingkan PCR standar (Edward et al. 2004). Terdapat dua jenis komponen
label berfluoresensi yang umum digunakan dalam proses real-time PCR, diantaranya adalah label
yang berikatan dengan DNA (DNA binding dyes) dan komponen kimia yang berbasiskan probe
(Probe-based chemistries).
Salah satu contoh label yang berikatan dengan DNA adalah SYBR® green I dimana label tersebut
merupakan label yang tidak spesifik dan akan berikatan dengan semua jenis DNA utas ganda.
Sedangkan contoh komponen kimia yang berbasiskan probe adalah TaqMan, Molecular Beacon, dan
Scorpion yang merupakan susunan/sekuen probe yang spesifik. Prinsip dari probe tersebut adalah
dengan menggunakan keberadaan dari transfer energi resonansi fluoresensi/Fluorescence Resonance
Energy Transfer (FRET) probe sebagai sistem pelaporan/pengukuran, dan aktivitas 5' exonuclease
11
dari DNA polimerase untuk mendeteksi proses amplifikasi yang terjadi di dalam real-time PCR
(Pestana et al. 2010).
1. DNA Binding Dyes, SYBR® green I
Keuntungan dari SYBR® green I adalah mengukur intensitas fluoresen secara proporsional
sesuai dengan produk PCR yang dihasilkan. Sedangkan kekurangannya adalah SYBR® green I
yang merupakan label fluoresen yang tidak spesifik sehingga dapat menghasilkan sinyal
pengujian false-positive karena terjadinya primer-dimer atau terbentuknya produk yang tidak
spesifik oleh karena itu setiap pengujian, penting dilakukannya penganalisisan formasi dari kurva
pelelehan (melting curve) (Pestana et al. 2010).
SYBR® green I merupakan label fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan
dengan komponen label kimia lainnya dan juga mudah digunakan. Penentuan konsentrasi primer
yang tepat/optimum dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan SYBR® green I sebagai
bahan fluoresen dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan
Molecular Beacon. Ketika SYBR® green I berada dalam kondisi bebas dalam larutan, maka akan
menunjukkan level fluoresen yang relatif rendah, tetapi ketika dsDNA ditambahkan, fluoresen
yang berpendar akan meningkat lebih dari 1000 kali lipat. Akumulasi dari amplikon/produk
amplifikasi PCR meningkat seiring dengan meningkatnya siklus reaksi, maka intensitas fluoresen
juga akan meningkat karena molekul SYBR® green I berikatan dengan DNA, dan kemudian
akumulasi dari produk yang dihasilkan dapat diukur dalam real-time PCR. SYBR® green I dapat
berikatan dengan DNA utas ganda pada suhu 55oC, namun pada suhu suhu 95oC SYBR® green I
akan terdisosiasi/terlepas dari DNA utas ganda. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. berikut
ini.
Gambar 4. DNA binding dyes dalam real-time PCR. Fluoresen secara dramatis meningkat
ketika molekul dye berikatan dengan DNA (Pestana et al. 2010)
12
2. Probe-Based Chemistry
Penggunaan berbasiskan probe merupakan pendeteksian yang lebih spesifik karena jenis
fluoresen tersebut menggunakan pemeriksaan/penyelidikan internal disamping penggunaan
sepasang primer yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu. Penggunaan probe lebih
mahal dan perlu dilakukannya perancangan sekuen nukleotida agar sekuen pada probe tersebut
sesuai dengan sekuen pada gen target. Oleh karena itu deteksi dengan menggunakan probe
nantinya dibutuhkan proses validasi dan optimasi yang terpisah khusus untuk probe, namun dapat
menghasilkan spesifisitas yang lebih tinggi jika menggunakan Molecular Beacon (Pestana et al.
2010).
Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan sebab akumulasi produk
spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang
masih mengandalkan elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Selain itu, hasil dari
elektroforesis gel agarosa dapat memperpanjang waktu deteksi dan timbulnya kontaminasi.
Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang
mengkuantitasi amplikon di akhir fase amplifikasi (fase plato) dan juga berdasarkan panjang basa atau
bobot molekul padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir
sama. Kuantitasi produk real-time PCR terdeteksi pertama kali di setiap siklus (fase eksponensial) dan
dihitung berdasarkan threshold cycle (Ct) yaitu waktu dimana intensitas fluoresen lebih besar dari
pada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise (background fluorescence). Noise dapat disebabkan oleh
penempelan larutan isolat DNA beserta pereaksi-pereaksi PCR pada dinding tabung microwell.
Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung
sehingga mengurangi resiko kontaminasi amplikon PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edward
et al. (2004), aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan
meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR.
Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap persisapan/pra-amplifikasi,
kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk real-time PCR. Tahap pra-amplifikasi
PCR standard dan real-time PCR tidak berbeda, meliputi persiapan sampel bakteri dan isolasi DNA
untuk memperoleh isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Protokol yang baik dalam
mempersiapkan isolat DNA adalah fokus pada tahap pengumpulan/pemanenan patogen, penghilangan
inhibitor yang terdapat pada pangan atau pada media kultur, dan pengisolasian DNA (Lee et al. 2006).
Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-
komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh
sebab itu, tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Terdapat enam tahap
dalam mengisolasi DNA, yaitu (1) preparasi sampel, (2) pelisisan sampel yang umumnya
menggunakan buffer yang mengandung Tris.HCl pH8,0; EDTA pH 8,0; CTAB, proteinase K, dan
SDS (sodium dodecylsulphate), (3) proteksi dan stabilisasi DNA dengan menggunakan buffer TE
yang mengandung Tris.HCl dan EDTA pH 8,0 dan juga ditambahkan NaCl, (4) pemisahan DNA dari
debris sel dilakukan dengan cara sentrifugasi dan juga ditambahkan dengan fenol, kloroform, dan
isoamil alkohol dengan perbandingan tertentu atau dengan dididihkan pada air suhu 100oC, (5)
presipitasi DNA dengan menambahkan etanol 96% atau isopropanol, sedangkan (6) pemekatan DNA
dilakukan dengan pencucian menggunakan etanol 70% dan ditambahkan dengan buffer TE (Tris.HCl
dan EDTA). Berdasarkan prinsip tersebut, banyak metode untuk mengisolasi/mengekstraksi DNA dari
sel mikroba salah satunya adalah metode pendidihan, dan dari berbagai metode tersebut, banyak
industri yang mengembangkan suatu kit untuk memudahkan pengisolasian/pengekstraksian DNA.
Metode pendidihan (boiling method) merupakan salah satu metode untuk mengisolasi/
mengekstraksi DNA dari sel mikroba. DNA yang berasal dari bakteri Gram negatif (contohnya:
13
Salmonella) dapat dengan mudah diisolasi/diekstraksi dengan menggunakan metode pendidihan/
mendidihkan sel bakteri di dalam air (Lee et al. 2006).
Tahap isolasi DNA dengan metode pendidihan dilakukan setelah tahap enrichment pada kultur
murni maupun pada sampel pangan. Tahap enrichment ini berfungsi untuk menyembuhkan sel
mikroba yang rusak maupun memperbanyak mikroba agar memberi keyakinan bahwa mikroba yang
diisolasi adalah mikroba hidup. Selain itu juga untuk mengencerkan komponen inhibitor PCR yang
terdapat pada matriks sampel (Rådström et al. 2004).
Bahan yang pertama kali digunakan pada metode pendidihan adalah buffer TE dimana
mengandung Tris HCl 1 M pH 8,0 dan EDTA 0,5 M yang dicampur dengan pelet yang dihasilkan
setelah sentrifugasi sampel. Proses sentrifugasi dan resuspensi pelet yang dihasilkan dengan buffer TE
secara berulang berfungsi untuk mencuci sampel (kultur murni/sampel spike) dari inhibitor-inhibitor
yang terkandung di dalamnya yang dapat mengganggu tahap amplifikasi DNA nantinya (Lee at al.
2006). Selain itu buffer TE juga berfungsi untuk menjaga kestabilan DNA agar tidak terdegradasi
ketika pelisisan sel terjadi.
Kemudian bahan berikutnya adalah penambahan lisozim ke dalam pelet bersamaan dengan
ditambahkannya buffer TE. Lisozim berfungsi untuk melisiskan dinding sel bakteri dimana lisozim
dapat merusak membran luar sel bakteri. Aktivitas lisozim efektif pada suhu ruang. Kemudian pada
metode pendidihan juga ditambahkan proteinase K. Proteinase K merupakan enzim proteolitik yang
digunakan untuk menghilangkan protein. Protein merupakan salah satu inhibitor dalam proses
amplifikasi DNA. Suhu optimum aktivitas enzim proteinase K adalah 55-60oC selama 1 jam. Semakin
lama inkubasi, maka daya recovery DNA semakin baik (Sambrook et al. 1989).
Pendidihan di dalam air yang bersuhu 100oC berfungsi untuk menginaktivasi enzim proteinase K
dan enzim nuklease atau DNAse dimana dapat mencerna asam nukleat dan menyebabkan penurunan
kualitas maupun kuantitas DNA selama penyimpanan. Pendidihan dengan pemanasan 100oC juga
dapat mempercepat lisis dinding sel bakteri sehingga DNA dapat diekstraksi sekaligus mempermudah
proses denaturasi rantai DNA ketika dilakukan amplifikasi dengan PCR. Selain itu pendidihan juga
dapat berfungsi mendenaturasi protein-protein inhibitor. Proses pendidihan tidak dapat mendenaturasi
DNA plasmid karena secara topologi intertwined (Sambrook et al. 1989), namun dapat mendenaturasi
DNA kromosomal.
Pendinginan segera dilakukan di dalam freezer setelah dilakukannya pendidihan agar DNA
kromosomal dapat terenaturasi. Proses pendinginan ini juga menyebabkan debris sel, protein-protein
inhibitor dan DNA plasmid mengendap. DNA kromosomal akan larut dalam supernatan sedangkan
debris sel, protein inhibitor, dan DNA plasmid akan terendapkan pada pelet setelah proses sentrifugasi
dimana dilakukan setelah proses pendinginan tadi. Dan supernatan yang dihasilkan tersebut diambil
sebagai isolat DNA yang akan digunakan pada tahap amplifikasi selanjutnya.
Setelah persiapan isolat DNA selesai, maka dilakukan tahap amplifikasi yang dijalankan dalam
thermal cycler dan dihasilkan/ditampilkan dalam bentuk grafik pada layar komputer dengan software
yang aplikabel terhadap thermal cycler, contohnya adalah software IQ-5 (Bio-Rad). Grafik-grafik
yang diperoleh berupa grafik amplifikasi, kurva standar, kurva pelelehan (melt curve) dan kurva
puncak pelelehan (melt peak curve). Grafik tersebut digunakan untuk mengevaluasi kinerja
amplifikasi real-time PCR.
1. Kurva Amplifikasi
Kurva amplifikasi terbentuk sejak proses amplifikasi dimulai. Kurva ini berfungsi untuk
menentukan apakah dalam thermal cycler terjadi amplifikasi atau tidak. Kurva amplifikasi dapat
dilihat pada Gambar 5. berikut ini.
14
Gambar 5. Grafik sigmoid proses amplifikasi dengan real-time PCR (Pestana et al. 2010)
15
Gambar 6. Kurva pelelehan/melt curve (kiri) dan kurva puncak pelelehan/melt peak curve
(kanan) (Hoffman et al. 2007)
Setelah proses amplifikasi, jika molekul PCR yang terbentuk memiliki panjang yang sama
maka akan terbentuk single curve (satu puncak dan satu nilai Tm), namun jika lebih dari satu
produk PCR yang dihasilkan yang tidak homogen, maka akan terbentuk/teramati beberapa
transisi termal (terbentuk lebih dari satu puncak/nilai Tm). Jika hal tersebut terjadi, perlu
dibuktikan dengan elektroforesis gel untuk meyakinkan bahwa terdapat adanya lebih dari satu
jenis DNA/produk PCR yang teramplifikasi (Gambar 7.).
Gambar 7. Analisis kurva pelelehan (melt curve), A. Dua jenis puncak yang dihasilkan
mengindikasikan nilai Tm dari dua jenis produk PCR, B. Analisis elektroforesis
gel pada produk PCR dari hasil yang terbentuk pada kurva A. Kedua jenis produk
PCR tersebut dibuktikan dengan terpisahnya/diperolehnya dua pita dalam satu
garis pada gel (Pestana et al. 2010).
16
II. METODOLOGI PENELITIAN
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sampel susu UHT, bakteri uji
Salmonella Typhimurium (ATCC 14028) dan bakteri kontrol negatif Shigella sonnei (ATCC 25931).
Media yang digunakan untuk menumbuhkan dan menghitung jumlah bakteri Salmonella
Typhimurium dan Shigella sonnei yaitu larutan pengencer NaCl 0,85%, Heart Infusion Broth (Oxoid),
dan Xylose Lysine Deoxycholate Agar (Oxoid). Bahan-bahan yang digunakan untuk mengisolasi DNA
bakteri dengan menggunakan metode pendidihan yaitu buffer TE yang mengandung Tris.HCl 1 M pH
8,0 dan EDTA 0,5 M; lisozim (USB), dan proteinase K (USB). Bahan yang digunakan untuk
mengisolasi DNA dengan menggunakan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen)
diantaranya adalah CTAB, Proteinase K, etanol 96%, buffer AL, buffer AW1, buffer AW2, dan buffer
AE.
Bahan-bahan yang digunakan untuk mengamplifikasi DNA dengan menggunakan real-time PCR
yaitu buffer TE pH 8,0; forward primer invA (5’-ATC AGT ACC AGT CGT CTT ATC TTG AT-3’),
reverse primer invA (5’-TCT GTT TAC CGG GCA TAC CAT-3’) (Shanmugasundaram et al. 2009),
template DNA yang diperoleh dari tahap isolasi DNA, SsoFastTM EvaGreen® Supermix yang di
dalamnya terdiri dari 2x reaction buffer dengan dNTPs, Sso7d-fusion polymerase, MgCl2, EvaGreen
dye (sama dengan SYBR® Green I), dan penstabil. Bahan yang digunakan untuk mengukur kemurnian
DNA dengan spektrofotometer uv-vis DNA adalah milliQ.
C. Alat
Alat-alat yang digunakan di dalam penelitian ini adalah cawan petri, mikropipet, tip mikropipet,
gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, batang lup inokulasi, rak tabung reaksi, vortex, neraca analitik,
erlenmeyer, hot plate, label, inkubator, bulp, bunsen, korek, petroff-hausser, mikroskop, masker dan
sarung tangan latex. Alat yang digunakan untuk isolasi DNA dan amplifikasi real-time PCR
diantaranya adalah IQTM5 real-time PCR (Bio Rad), plate 96 Well Reaction (BioRad), PCR Sealer TM
Microseal® ‘B’ Film (BioRad), Refrigerator, mikrosentrifus (Hettich), Water Bath, tabung
mikrosentrifus 2 ml, tip berfilter, MixMate PCR 96. Alat yang digunakan untuk mengukur kemurnian
isolat DNA adalah UV-VIS Spektrofotometer DNA (Shimadzu) dan kuvet.
D. Metode Penelitian
a. Tahapan Pra-penelitian
1. Persiapan Bahan Kimia
2. Persiapan Media Tumbuh Mikroba
b. Tahapan Penelitian
Metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini.
17
Kultur Murni
ST & SS
Pengecekan
Isolasi/Ekstraksi DNA
Isolat/Template Isolat/Template
DNA DNA
a. Tahapan Pra-penelitian
1. Persiapan Bahan Kimia
Bahan kimia yang disiapkan untuk penelitian ini diantaranya adalah larutan pengencer
NaCl 0,85%, lisozim, proteinase K, CTAB, dan buffer TE pH 8,0. Pembuatan NaCl 0,85%
dilakukan dengan melarutkan 4,25 gram kristal NaCl ke dalam 500 ml milliQ di dalam labu
ukur dan diaduk hingga homogen. Lisozim dibuat dengan melarutkan 10 mg/ml lisozim
dengan 25 ml larutan Tris.HCl 10 mM pH 8,0 dan dikocok sampai jernih. Pembuatan
proteinase K dilakukan dengan melarutkan 10 mg/ml proteinase K dengan 25 ml Tris.HCl
10 mM pH 8,0 dan diaduk sampai jernih.
Cetyl trimethilammonium bromide (CTAB) dibuat dengan melarutkan 10 gram CTAB,
41 gram NaCl, dan 7,87 gram HCl ke dalam 400 ml akuades. Kemudian larutan tersebut
ditambah dengan NaOH sampai larutan mencapai pH 8,0 dan ditambah dengan 20 ml EDTA
18
0,5 M pH 8,0. Larutan tersebut dituang ke dalam labu ukur 500 ml dan ditera dengan
akuades. Larutan dipindahkan ke dalam erlenmeyer, divortex sampai larut kemudian
dilakukan degasing (penghilangan gas dari larutan). Larutan tersebut selanjutnya disaring
dengan kertas saring dan disterilisasi dengan autoclave dan disimpan pada suhu ruang.
Bahan kimia lainnya yang disiapkan adalah buffer TE pH 8,0. Buffer TE pH 8,0 dibuat
dengan mencampurkan 5 ml Tris.HCl 1 M pH 8,0 dengan 1 ml EDTA 0,5 M ke dalam labu
ukur 500 ml dan ditambahkan milliQ sampai tanda tera. EDTA 0,5 M pH 8,0 diperoleh
dengan menimbang 18,6 gram EDTA (Titriplex®; C10H14Na2O8.2H2O) dan dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan dengan 80 ml milliQ sedikit demi sedikit.
Larutan tersebut ditambah dengan NaOH sampai larutan tersebut memiliki pH 8,0. Larutan
kemudian ditera dan disterilisasi dengan autoclave. Seluruh proses pembuatan tersebut dapat
dilihat pada Lampiran 1a, b, c, d, dan e.
b. Tahapan Penelitian
1. Pengecekan Kemurnian Salmonella Typhimurium dan Shigella
sonnei
Masing-masing bakteri Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei pada media Heart
Infusion Broth (HIB) yang disimpan dalam refrigerator diinokulasi sebanyak 1 ose ke dalam
HIB baru kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Jika HIB yang telah
diinkubasi tersebut menjadi keruh, selanjutnya HIB tersebut digores kuadran pada media
Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) yang berbeda, kemudian diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37oC. Satu koloni Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei spesifik yang
tumbuh pada XLDA diinokulasikan kembali ke dalam media HIB baru yang berbeda pula
dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
19
105 sel/ml maka dilakukan pengenceran pada suspensi tersebut dengan menggunakan larutan
pengencer NaCl 0,85% sampai didapatkan suspensi dengan konsentrasi 105 sel/ml.
Sebanyak 5 ml suspensi dengan konsentrasi 105 sel/ml tersebut dimasukkan ke dalam
5 ml susu UHT dan dikocok hingga homogen. Kemudian sampel susu UHT tersebut
diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Untuk mengetahui jumlah mikroba akhir
Salmonella Typhimurium yang terkandung pada susu UHT, maka sampel susu UHT
ditumbuhkan dan dihitung dengan metode konvensional pada media Xylose Lysine
Deoxycholate Agar (XLDA) yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Sebelumnya
untuk mengetahui jumlah mikroba (Salmonella Typhimurium) natural pada susu UHT, maka
dilakukan penghitungan jumlah mikroba awal dengan menginokulasi 1 ml susu pada media
XLDA dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
20
b) Isolasi DNA Salmonella Typhimurium dengan Kit Komersial
(Berdasarkan QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook dengan
modifikasi Bioteknologi PROM)
Tahapan proses dengan menggunakan kit komersial dilakukan sesuai dengan
anjuran dari produsen yang bersangkutan, salah satunya berdasarkan protokol/handbook
yang dikeluarkan oleh Qiagen untuk penggunaan QIAamp® DNA Blood Mini Kit dalam
mengisolasi/mengekstraksi DNA mikroba. Kit tersebut terdiri dari empat jenis buffer
(AW1, AW2, AE, dan AL), collection tube, dan kolom mini dimana di dalamnya
terdapat filter putih. Di bawah ini (Gambar 9.) merupakan gambar kit komersial yang
digunakan pada penelitian ini.
21
dihomogenkan dengan vortex kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu 65oC.
Setelah itu, ditambahkan buffer AL sebanyak 300 µl dan dihomogenkan dengan vortex.
Suspensi diinkubasi selama 10 menit di dalam water bath pada suhu 65oC. Setelah
itu, ditambahkan 500 µl etanol (96-100%), dihomogenkan dengan vortex dan disentrifus
selama 2 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Supernatan yang dihasilkan dipipet dan
dimasukkan ke dalam kolom mini yang sudah dipasang pada collection tube, kemudian
disentrifus 8000 rpm selama 1 menit. Sebanyak 500 µl buffer AW1 ditambahkan ke
dalam kolom mini yang masih terpasang pada collection tube dan disentrifus 8000 rpm
selama 1 menit.
Tahap selanjutnya adalah kolom mini dipindahkan ke dalam collection tube yang
baru dan ditambahkan dengan 500 µl buffer AW2 ke dalam kolom mini, kemudian
disentrifus 13000 rpm selama 3 menit. Kolom mini dipindahkan kembali ke dalam
collection tube dan disentrifus kembali selama 1 menit 13000 rpm. Kolom mini
dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus steril dan ditambahkan ke dalamnya
sebanyak 80 µl buffer AE yang kemudian disentrifus 8000 rpm selama 1 menit.
Supernatan yang diperoleh pada tabung mikrosentrifus merupakan isolat DNA yang
akan digunakan pada tahap selanjutnya dan isolat tersebut disimpan pada freezer dengan
sehu 20oC. Diagram alir proses ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian kemurnian
isolat DNA yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengukurnya pada
spektrofotometer. Gambar penggunaan kolom mini dan collection tube dapat dilihat
pada gambar berikut ini (Gambar 10.).
filter pada
kolom mini
(a) (b)
Gambar 10. Proses isolasi/ekstraksi DNA dengan menggunakan metode kit
komersial, (a) penambahan buffer AW1 ke dalam kolom mini, (b)
hasil sentrifugasi setelah penambahan AW1 dan supernatan yang
terdapat di bawah dibuang untuk selanjutnya filter dicuci kembali
dengan buffer AW2.
22
reverse dan forward primer InvA pada konsentrasi tertentu. Volume master mix
keseluruhan untuk pengujian satu jenis template DNA adalah 18 µl. Bahan-bahan untuk
membuat master mix tersebut dicampur dalam satu tabung mikrosentrifus 2 ml dan
dihomogenkan dengan vortex. Untuk melakukan pengujian beberapa jenis template
DNA, maka volume masing-masing bahan dikali dengan banyaknya jenis template DNA
yang akan diuji pada real-time PCR dan dicampur di dalam tabung mikrosentrifus.
Kemudian masing-masing 18 µl campuran master mix yang telah dibuat pada tabung
mikrosentrifus tersebut diambil dan dimasukkan kedalam setiap well yang kemudian
ditambahkan dengan 2 µl template DNA yang selanjutnya dihomogenkan pada MixMate
PCR 96 dan dimasukkan pada alat real-time PCR.
23
nilai Tm pada melt peak curve sedangkan Salmonella Typhimurium akan teramplifikasi dan
menghasilkan nilai Tm.
24
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
(a)
Shigella sonnei
Gambar 11. Isolasi bakteri (a) Salmonella Typhimurium dan (b) Shigella sonnei pada media
XLDA
Masing-masing satu koloni spesifik tersebut kemudian diisolasi dalam Heart Infusion Broth dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC sebagai kultur murni mikroba spesifik Salmonella
Typhimurium dan Shigella sonnei yang selanjutnya digunakan dalam proses isolasi/ekstraksi DNA
dan juga diinokulasi ke dalam sampel pangan susu UHT (sampel susu UHT spike). Penelitian yang
dilakukan Omiccioli et al. (2009) dan Hadjinicolaut et al. (2009) juga menggunakan XLDA dalam
tahap pengayaan mengkulturkan mikroba.
25
B. Inokulasi Susu dengan Kultur Murni Salmonella Typhimurium dan Shigella
sonnei (Sampel Susu UHT spike)
Hasil hitungan secara mikroskopi dengan menggunakan petroff-hausser terhadap suspensi
Salmonella Typhimurium pada larutan pengencer NaCl 0,85% yaitu sebesar 1,4 x 108 sel/ml
Salmonella Typhimurium untuk proses isolasi DNA dengan metode kit komersial dan 1,6 x 107 sel/ml
Salmonella Typhimurium untuk proses isolasi DNA dengan metode pendidihan, sedangkan
penghitungan terhadap Shigella sonnei yaitu sebesar 2,5 x 107 sel/ml. Ketiga penghitungan tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 5. Karena konsentrasi suspensi lebih besar dari 105 sel/ml maka
dilakukan pengenceran terhadap suspensi tersebut hingga diperoleh konsentrasi suspensi sekitar
105 sel/ml. Setelah dilakukan pengenceran, jumlah Salmonella Typhimurium pada susu UHT yang
akan diisolasi/diekstraksi dengan metode kit komersial yaitu sebanyak 7,0 x 104 atau 0,7 x 105 sel/ml,
pada susu UHT yang akan diisolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan sebanyak 8,0 x 104 atau
0,8 x 105 sel/ml Salmonella Typhimurium, dan jumlah Shigella sonnei pada susu UHT yang akan
diisolasi/diekstraksi dengan metode kit komersial sebanyak 1,2 x 105 sel/ml.
Hasil penghitungan konsentrasi akhir Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT spike dan
penghitungan awal mikroba natural pada susu UHT dengan metode konvensional dapat dilihat pada
Lampiran 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sampel susu UHT tidak mengandung mikroba
Salmonella Typhimurium dan ketika diinokulasi dengan Salmonella Typhimurium maka sampel susu
UHT spike tersebut mengandung 3,9 x 104 CFU/ml (penghitungan ke-1) dan 2,6 x 104 CFU/ml
(penghitungan ke-2) Salmonella Typhimurium yang tumbuh dan hidup di dalamnya. Penghitungan
ke-1 merupakan tahapan inokulasi Salmonella Typhimurium ke dalam susu yang akan disolasi/
diekstraksi dengan metode kit komersial dan penghitungan ke-2 merupakan tahapan inokulasi
Salmonella Typhimurium yang akan disolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan.
Konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terkandung di dalam sampel susu UHT spike
(10 CFU/ml) tidak sama dengan konsentrasi Salmonella Typhimurium yang ditambahkan dimana
4
diukur dengan menggunakan pengukuran mikroskopi pada petroff-hausser (105 sel/ml). Hal tersebut
dikarenakan penghitungan dengan petroff-hausser tidak dapat membedakan mikroba yang hidup dan
yang telah mati sehingga Salmonella Typhimurium yang telah mati juga ikut terhitung bersama
dengan sel yang hidup. Sedangkan metode konvensional pada media XLDA, Salmonella
Typhimurium yang terhitung adalah mikroba yang hidup saja. Sehingga hitungan konsentrasi
Salmonella Typhimurium yang ditambahkan lebih besar dibandingkan konsentrasi akhir pada sampel
susu UHT spike.
26
et al. 2007). Di bawah ini merupakan hasil pengukuran kemurnian isolat/template DNA yang
diperoleh dengan metode pendidihan (Tabel 2.).
27
A260/A280 pada UV-1700 spektrofotometer di dalam sampel pangan keju mozarela yang kaya
akan lemak dan kalsium sebagai inhibitor dimana inhibitor tersebut juga terkandung pada susu
UHT sebagai sampel pangan yang diuji pada penelitian ini. Penelitian Amagliani et al. (2006)
tersebut menunjukkan bahwa metode pendidihan menghasilkan kemurnian isolat DNA yang
kurang baik dimana nilai rasio A260/A280 lebih rendah dari 1,8.
Hal tersebut terbukti pada pengujian kuantifikasi Salmonella Typhimurium dengan real-time
PCR yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Walaupun terdapat inhibitor di dalam isolat
DNA yang diisolasi/diekstraksi dengan metode pendidihan, tetapi isolat tersebut masih dapat
teramplifikasi contohnya pada pengujian penentuan spesifisitas primer InvA yang digunakan dan
juga pada pengujian penentuan konsentrasi primer yang tepat dimana akan dibahas pada sub bab
selanjutnya.
Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa isolat DNA ketiga sampel yaitu kultur murni
Salmonella Typhimurium, kultur murni Shigella sonnei, dan sampel susu UHT spike Salmonella
Typhimurium memiliki nilai rasio yang diharapkan yaitu berada pada selang 1,8-2,0. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kemurnian ketiga isolat DNA sangat baik, namun pada sampel susu UHT
spike Salmonella Typhimurium, nilai rasio yang dihasilkan sedikit melebihi 2,0. Jika nilai rasio
yang dihasilkan melebihi 2,0 maka, hal tersebut mengindikasikan bahwa isolat DNA tidak
mengandung/terkontaminasi protein tetapi masih mengandung RNA di dalamnya (Anonoim
2007). Sedangkan kultur murni Salmonella Typhimurium dan kultur murni Shigella sonnei
menghasilkan nilai rasio tepat 2,0 dan konsentrasi protein yang dihasilkan pun sangat rendah jika
dibandingkan dengan isolat kultur murni Shigella sonnei yang diisolasi/diekstraksi dengan
metode pendidihan. Hal ini menunjukkan bahwa metode isolasi dengan menggunakan kit
komersial menghasilkan isolat DNA yang jauh lebih murni dibandingkan dengan metode
28
pendidihan yang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan metode kit komersial memiliki prinsip
metode dengan perlakuan proteinase K yang diikuti dengan pengikatan DNA pada membran gel
silika/filter sehingga kontaminan akan turun/terpisah ke dalam spin column/collection tube
(Dauphin et al. 2009).
Hasil isolasi/ekstraksi DNA pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Amagliani et al. (2006) yang membandingkan metode isolasi/ekstraksi DNA dengan cara
pendidihan dan dengan kit komersial DNeasy Tissue Kit (Qiagen). Penelitian Amagliani et al.
(2006) tersebut menunjukkan bahwa nilai rasio pada isolat DNA yang dihasilkan dengan DNeasy
Tissue Kit (Qiagen) dimana memiliki tingkat kemurnian yang kurang baik bahkan lebih jelek
dibanding dengan metode pendidihan, namun tidak pada penelitian yang dilakukan dimana
isolat/template DNA yang dihasilkan dengan kit komersial QIAamp® DNA Blood Mini Kit
(Qiagen) menghasilkan isolat/template DNA yang lebih murni dibanding dengan metode
pendidihan. Hal tersebut dapat dikarenakan pengaruh modifikasi metode kit komersial yang
dilakukan pada penelitian ini dari metode sesungguhnya yang berdasarkan petunjuk produser kit
terkait.
Penelitian Amagliani et al. (2006) juga menunjukkan konsentrasi/yield DNA yang dihasilkan
dengan metode pendidihan lebih besar dibandingkan dengan metode kit komersial. Hal tersebut
juga sesuai dengan penelitian ini dimana konsentrasi DNA kultur murni Salmonella Typhimurium
dan kultur murni Shigella sonnei yang diperoleh dengan metode pendidihan lebih besar
dibandingkan dengan metode kit komersial, namun tidak terjadi pada sampel susu UHT spike
dimana konsentrasi/yield DNA yang dihasilkan lebih besar dengan metode kit komersial
dibandingkan dengan metode pendidihan. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa DNA
Salmonella Typhimurium lebih mudah diisolasi/diekstraksi dari sampel susu UHT dengan
menggunakan metode kit komersial yang dimodifikasi.
Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Dauphin et al. (2009) dimana
membandingkan kemurnian isolat/template DNA yang dihasilkan dengan berbagai macam kit
salah satunya adalah QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen) dimana kit tersebut juga
digunakan pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Dauphin et al. (2009) menunjukkan
bahwa isolat/template DNA yang dihasilkan dengan kit QIAamp® DNA Blood Mini Kit (Qiagen)
memiliki kemurnian yang kurang baik dimana nilai rasio A260/A280 lebih kecil dari 1,8 sehingga
menandakan bahwa isolat DNA tersebut masih mengandung inhibitor/pengotor. Hal tersebut
tidak sesuai dengan kemurnian yang dihasilkan dari penelitian ini dimana menghasilkan
isolat/template DNA dengan kemurnian yang baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa modifikasi
dengan penambahan CTAB terhadap metode yang berasal dari produsen berkait memperbaiki
hasil kemurnian isolat DNA menjadi lebih baik.
29
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi primer terhadap nilai Threshold Cycle (Ct)
[Primer] awal [Primer] akhir
Template DNA Nilai Ct
(µM) (µM)
0,5 0,0125 19,17
Kultur Murni
1 0,0250 14,15
S. Typhimurium
5 0,1250 11,39
S. Typhimurium 1 0,0250 tidak teramplifikasi
103 sel/ml 5 0,1250 31,35
Sampel susu UHT spike 1 0,0250 27,79
S. Typhimurium 5 0,1250 24,29
Konsentrasi primer akhir yang dimaksud adalah konsentrasi primer awal yang telah dicampurkan
ke dalam master mix sehingga diperoleh master mix yang mengandung primer dengan konsentrasi
yang lebih rendah (konsentrasi primer akhir) karena terjadi pengenceran dengan bahan-bahan lainnya
seperti EvaGreen, isolat/template DNA, dan buffer TE pada master mix. Penentuan konsentrasi
primer untuk sampel kultur murni Salmonella Typhimurium yang diambil dari media HIB
menghasilkan nilai threshold cycle (Ct) yang berbeda pula jika diuji dengan menggunakan konsentrasi
primer yang berbeda. Begitu juga pada sampel Salmonella Typhimurium 103 sel/ml dan sampel susu
UHT spike Salmonella Typhimurium.
Berdasarkan Tabel 4. di atas, konsentrasi primer yang tepat untuk pengujian kultur murni
Salmonella Typhimurium adalah 0,125 µM dibandingkan jika menggunakan konsentrasi primer 0,025
dan 0,0125 µM. Hal tersebut dikarenakan nilai Ct yang dihasilkan pada konsentrasi primer 0,125 µM
paling rendah jika dibandingkan dengan nilai Ct pada konsentrasi primer lainnya.
Kemudian penentuan konsentrasi primer juga dilakukan pada suspensi kultur murni yang telah
diencerkan sehingga jumlahnya menjadi lebih rendah yaitu mengandung 103 sel/ml Salmonella
Typhimurium yang dihitung dengan hitungan mikroskopi pada petroff-hausser. Pengujian ini
berfungsi untuk mengetahui sensitifitas metode dengan menggunakan konsentrasi primer yang
berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi primer 0,025 µM gen target
InvA pada Salmonella Typhimurium tidak dapat teramplifikasi sedangkan konsentrasi primer
0,125 µM masih dapat mengamplifikasi Salmonella Typhimurium sejumlah 103 sel/ml.
Penentuan konsentrasi primer ini juga dilakukan pada sampel susu UHT spike. Hasil pengujian
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi primer 0,125 µM menghasilkan nilai Ct yang lebih rendah
dibandingkan dengan konsentrasi primer 0,025 µM. Dari pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penggunaan konsentrasi primer 0,125 µM cukup sesuai untuk pengujian Salmonella Typhimurium
sampai konsentrasi 103 sel/ml baik berupa suspensi dari kultur murni maupun yang berada pada
sampel pangan susu UHT.
Selain itu juga, indikator dalam penentuan konsentrasi primer yang tepat adalah berdasarkan melt
peak curve yang dihasilkan dimana harus mengandung satu puncak saja dan tidak menghasilkan
mispriming. Gambar melt peak curve dari pengujian kultur murni Salmonella Typhimurium, suspensi
103 sel/ml Salmonella Typhimurium, dan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium dengan
menggunakan konsentrasi primer 0,125 µM adalah sebagai berikut ini (Gambar 12.).
30
(a) (b)
(c)
Gambar 12. Kurva puncak pelelehan/melt peak curve dengan konsentrasi primer 0,125 µM.
(a) Sampel kultur murni Salmonella Typhimurium, (b) sampel 103 sel/ml
Salmonella Typhimurium, (c) Sampel susu UHT spike 105 sel/ml Salmonella
Typhimurium
Ketiga kurva tersebut menghasilkan hanya satu puncak yang tinggi dan satu suhu pelelehan (Tm)
yaitu sebesar 84,50 yang dapat dilihat pada tabel di Lampiran 8, 10, 12. Terbentuknya satu puncak dan
satu suhu pelelehan menandakan bahwa konsentrasi primer 0,125 µM cukup tepat untuk pengujian ini,
yang artinya tidak terlalu besar dimana dapat menyebabkan mispriming/primer-dimer (terbentuk lebih
dari satu puncak yang tinggi) dan tidak pula terlalu rendah dimana dapat menyebabkan false-negative,
namun pada kurva puncak pelelehan yang ditunjukkan pada Gambar 12c. untuk sampel susu UHT
spike terdapat/terbentuk satu puncak kecil di sebelah kiri puncak pelelehan utama yang memiliki nilai
Tm yang lebih rendah, hal tersebut menandakan adanya primer-dimer (sesama primer yang saling
berikatan), dimana terbentuk suatu DNA untai ganda yang sangat pendek. Terbentuknya primer-dimer
tersebut sangat minimal dimana penentuan konsentrasi 0,125 µM sebagai primer yang sesuai masih
memenuhi syarat dari Pestana et al. (2010).
Penelitian yang dilakukan Ahmed et al. (2010) yang melakukan optimasi konsentrasi primer
mulai dari konsentrasi 0,1 hingga 0,5 µM dengan menghasilkan konsentrasi optimum sebesar 0,3 µM.
Perbedaan hasil konsentrasi primer optimum yang diperoleh ini dikarenakan perbedaan label fluoresen
yang digunakan. Jika menggunakan SYBR® green I sebagai label fluoresen, maka konsentrasi primer
yang digunakan berada pada selang 0,05-0,3 µM sedangkan jika menggunakan TaqMan atau
Molecular Beacon sebagai label fluoresen maka konsentrasi primer yang digunakan berada pada
selang 0,05 hingga 0,6 µM (Pestana et al. 2010). Penelitian yang dilakukan Ahmed et al. (2010)
menggunakan SYBR® Green I sebagai label fluoresen sedangkan penelitian ini menggunakan
EvaGreen dye. Sehingga penggunaan konsentrasi primer yang tepat pada suatu penelitian bergantung
pada bahan lain yang digunakan salah satunya adalah label fluoresen, namun berdasarkan protokol
dalam kemasan EvaGreen, evagreen dye yang digunakan cara kerjanya sama dengan SYBR® Green I
31
dan konsentrasi primer yang tepat pada penelitian ini yaitu sebesar 0,125 µM dimana telah masuk
pada selang konsentrasi primer yang sesuai jika pengujian dengan real-time PCR menggunakan
SYBR® green I sebagai bahan pendar yaitu antara 0,05 hingga 0,3 µM (Pestana et al. 2010).
Penelitian Shanmugasundaram et al. (2009) dimana menggunakan reverse dan forward primer
dengan urutan nukleotida yang sama, menggunakan sebanyak 0,15 µM primer pada pengujian dengan
real-time PCR. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan konsentrasi primer yang digunakan pada
penelitian ini yaitu sebesar 0,125 µM.
Salmonella
Typhimurium
Shigella
sonnei
Ct
Shigella Salmonella
sonnei Typhimurium
Gambar 14. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) uji spesifisitas primer
32
Kurva amplifikasi yang dihasilkan oleh real-time PCR menunjukkan bahwa kontrol negatif tidak
teramplifikasi dan bakteri uji teramplifikasi dengan nilai Threshold Cycle (Ct) sebesar 12,37. Hal
tersebut menandakan bahwa primer yang digunakan spesifik untuk Salmonella. Proses amplifikasi
tersebut mencirikan bahwa forward dan reverse primer yang ditambahkan dapat berikatan dan
bereplikasi dengan sejumlah sekuen nukleotida di dalam gen target InvA yang hanya terdapat pada
Salmonella khususnya serovar Typhimurium.
Selain menganalisis kurva amplifikasi (amplification curve), pengujian spesifisitas primer juga
dilakukan dengan menganalisis kurva puncak pelelehan (melt peak curve) dengan melihat titik
puncak pelelehan (melt peak) dan nilai Tm (Melting Temperature) yang dihasilkan pada kurva
tersebut.
Kurva puncak pelelehan menunjukkan bahwa kontrol positif Salmonella Typhimurium hanya
menghasilkan satu puncak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pengujian tersebut tidak terjadi
mispriming yang artinya primer yang digunakan spesifik dan tidak mengamplifikasi gen lain selain
gen target. Nilai Tm yang dihasilkan sebesar 84,50oC. Nilai tersebut dapat menjadi ciri khusus bagi
Salmonella Typhimurium pada pengujian selanjutnya. Selain itu kurva tersebut juga menunjukkan
bahwa kultur murni Shigella sonnei tidak menghasilkan puncak dan nilai Tm yang menandakan
bahwa primer tidak dapat mendeteksi bakteri lain selain Salmonella khususnya serovar Typhimurium.
Shanmugasundaram et al. (2009) dalam penelitiannya dimana menggunakan reverse dan forward
primer InvA dengan urutan nukleotida yang sama menunjukkan hasil yang sama pula dengan
penelitian ini dimana primer InvA tersebut spesifik Salmonella. Hasil tersebut ditunjukkan dengan
dapat teramplifikasinya/menghasilkan uji positif pada berbagai subspesies dan serovar Salmonella
dengan strain yang berbeda tetapi tidak dapat mengamplifikasi/menghasilkan uji negatif pada jenis
mikroba selain Salmonella seperti Escherichia coli, Bacillus cereus, Yersinia intermedia, Yersinia
enterocolitica, Aeromonas hydrophila, dan Staphylococcus aureus.
33
Threshold Cycle
Nilai efisiensi pengujian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah urutan sekuen
yang diamplifikasi, urutan sekuen primer yang digunakan, panjang sekuen yang diamplifikasi,
dan kemurnian isolat DNA/inhibitor yang terdapat pada isolat (Siebert 1999). Kurva standar yang
dihasilkan dengan metode pendidihan ini memiliki efisiensi yang buruk, hal tersebut dikarenakan
tidak murninya isolat DNA yang digunakan/dihasilkan dari metode pendidihan.
Ketidakmurnian isolat DNA dapat dilihat dari hasil pengukuran dengan spektrofotometer
pada Lampiran 16. dimana nilai rasio tidak berada pada selang 1,8-2,0 dan nilai konsentrasi
protein yang begitu tinggi. Keberadaan inhibitor pada suatu reaksi real-time PCR dapat
ditunjukkan dengan meningkatnya nilai efisiensi yang dikarenakan meningkatnya nilai Ct dan
penurunan nilai absolut dari slope (Pestana et al. 2010).
Selain itu tingginya nilai persentase effisiensi yang diperoleh (>110%) menjadi indikator
terjadinya pippeting error ketika dilakukannya pengenceran, terjadinya amplifikasi pada produk
yang non-spesifik, dan keberadaan dari primer-dimer (Pestana et al. 2010). Primer-dimer
merupakan proses saling berikatannya primer (baik itu sesama reverse primer, sesama forward
primer, maupun antara reverse dan forward primer) yang teramplifikasi dan terkuantifikasi
sehingga dihasilkan pengujian yang false-positive (sampel yang negatif menghasilkan uji yang
positif) (Pestana et al. 2010).
Berdasarkan hasil tersebut perlu dilakukan pengembangan metode pendidihan lebih lanjut
untuk mengatasi inhibitor yang terbawa pada isolat DNA salah satunya adalah dengan
menambahkan Chelex-100 pada metode pendidihan seperti yang dilakukan oleh Kim et al. (2001)
pada penelitiannya mengenai pengujian S. aureus pada sampel susu mastitis dimana metode
pendidihan yang dilakukannya menghasilkan sensitivitas pengujian yang rendah. Chelex-100
merupakan resin pengkelat berupa kopolimer styrene divinilbenzene yang mengandung pasangan
ion-ion iminodiasetat. Chelex-100 efisien diregenerasi di dalam asam encer dan dapat digunakan
dalam kondisi basa, netral, dan asam lemah pada pH 4 atau lebih tinggi. Chelex-100 bertindak
sebagai penukar anion pada pH yang sangat rendah. Resin chelex-100 memiliki banyak kegunaan
diantaranya adalah menghilangkan logam dari reagen dan media kultur, mempurifikasi
dinukleotida, menghilangkan kalsium di dalam darah, dan ekstraksi DNA untuk PCR (Bio-Rad
Laboratories 2011). Kim et al. (2001) juga telah mengujikan metode pendidihan dengan
menambahkan PBS dan metanol untuk menghilangkan inhibitor pada susu, namun hasilnya isolat
DNA yang dihasilkan tetap mengandung inhibitor dimana mempengaruhi aktivitas Taq DNA
Polimerase yang digunakan.
34
Selain itu juga dapat menambahkan/menggantikan suatu komponen yang mengatasi inhibitor
pada saat pengujian sampel susu dengan real-time PCR. Salah satunya dengan mengganti Taq
DNA Polimerase dengan menggunakan Tth DNA Polimerase seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Kim et al. (2001). Menurutnya, Tth DNA Polimerase lebih sensitif daripada Taq
DNA Polimerase dalam pengujian sampel susu karena Taq DNA Polimerase diganggu/dihambat
oleh inhibitor yang terdapat pada susu. Selain itu, Tth DNA Polimerase dapat menghasilkan data
yang konsisten pada pengujian sebanyak tiga kali ulangan.
Kurva standar yang dihasilkan dari suspensi Salmonella Typhimurium dengan konsentrasi
10 hingga 108 sel/ml yang diperoleh dengan metode kit komersial memiliki nilai slope -3,3
5
dimana nilai tersebut termasuk ke dalam slope yang diharapkan. Oleh karena itu, nilai efisiensi
yang diperoleh sangat baik yaitu sebesar 100% dengan nilai R2 mencapai 0,972. Persamaan garis
dari kurva standar tersebut yaitu y = 40,564 - 3,322x dengan y adalah nilai Ct dan x adalah log
konsentrasi mikroba yang diuji. Nilai tersebut dapat dihasilkan karena isolat DNA yang
digunakan cukup murni dimana dapat dilihat pada Lampiran 19. Nilai efisiensi yang mendekati
dan mencapai 100% adalah indikator yang baik untuk pengujian yang reliable, reproducible, dan
robust (Pestana et al. 2010). Oleh karena itu, kurva standar ini dapat digunakan dalam proses
kuantifikasi Salmonella Typhimurium pada sampel susu UHT spike.
Susu yang telah mengandung 3,9 x 104 CFU/ml Salmonella Typhimurium tersebut masuk ke
dalam tahap isolasi/ekstraksi DNA dengan metode kit komersial dan diamplifikasi dengan real-
time PCR dengan menggunakan konsentrasi dan jenis primer yang telah optimum yang diperoleh
pada pengujian sebelumnya. Kurva amplifikasi dan kurva puncak pelelehan hasil pengukuran
sampel susu UHT spike dengan real-time PCR dapat dilihat pada Gambar 17. dan Gambar 18
berikut ini.
35
Ct
22,58
Gambar 17. Kurva amplifikasi sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium metode kit
komersial
Gambar 18. Kurva puncak pelelehan sampel susu UHT spike Salmonella Typhimurium
metode kit komersial
Kurva amplifikasi tersebut menunjukkan nilai Ct untuk sampel susu UHT spike yang
mengandung 3,9 x 104 CFU/ml Salmonella Typhimurium yaitu sebesar 22,58 dan spesifik
Salmonella Typhimurium karena memiliki nilai Tm yang sama dengan kultur murni mikroba
spesifik Salmonella Typhimurium yaitu sebesar 84,50. Nilai Ct tersebut dimasukkan ke dalam
persamaan garis yang telah diperoleh sebelumnya sehingga nilai log konsentrasi Salmonella
Typhimurium yang terkandung di dalam susu dengan real-time PCR dapat diketahui yaitu sebesar
5,4 atau menunjukkan jumlah konsentrasi Salmonella Typhimurium yang terdapat di dalam susu
UHT adalah sebesar 105,4 atau setara dengan 2,5 x 105 cetakan DNA/ml.
Hasil dari pengujian real-time PCR tersebut tidak sama dengan hasil dari pengujian metode
konvensional dengan menggunakan agar selektif XLDA yaitu sebesar 3,9 x 104 CFU/ml. Hal
tersebut juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Jung et al. (2005) dimana
pengkuantifikasian dengan real-time PCR menghasilkan nilai konsentrasi Salmonella
Typhimurium dalam susu satu log lebih besar dibandingkan dengan metode konvensional
36
hitungan cawan. Berdasarkan Jung et al. hal yang sama juga terjadi pada penelitian Mayer et al.
(2003) dan Hein et al. (2005) dimana hasil tersebut dapat dijelaskan karena beberapa
kemungkinan yaitu nilai konsentrasi yang diperoleh dengan metode konvensional hitungan cawan
bergantung pada distribusi mikroba dalam sampel, dan mikroba harus hidup dan dapat
dikulturkan sedangkan real-time PCR dengan mendeteksi DNA mikroba baik mikroba tersebut
hidup ataupun tidak. Selain itu, pengkuantifikasian dengan real-time PCR tergantung pada
keadaan fisiologis mikroba dan efisiensi metode dalam mengekstrak/mengisolasi DNA dari
dalam sel. Oleh karena itu, perbedaan hasil pengkuantifikasian yang terjadi antara real-time PCR
dengan metode konvensional kemungkinan besar karena kultur murni mikroba spesifik yang
diinokulasi ke dalam susu berada pada fase stasioner yang banyak mengandung sel yang telah
mati dan lisis (Jung et al. 2005) sehingga DNA yang berasal dari sel mati dapat terkuantifikasi
oleh real-time PCR.
Tahap pengayaan (enrichment) biasanya dilakukan sebelum pengujian dengan real-time PCR
untuk mencegah pengkuantifikasian sel yang sakit dan tidak dapat tumbuh/terhitung dengan
metode konvensional, namun tahap pengayaan tersebut hanya dapat menyembuhkan sel mikroba
yang rusak dan tidak dapat menghidupkan sel mikroba yang telah lisis/mati. Metode lain yang
dapat mencegah pengkuantifikasian sel mati adalah dengan penambahan DNAse sebelum
dilakukannya pelisisan sel pada tahap isolasi/ekstraksi DNA, sehingga suspensi yang
mengandung DNA di luar sel akibat lisisnya sel yang telah mati akan hancur oleh DNAse
(Maurer 2006).
37
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Metode pendidihan dan metode kit komersial yang dimodifikasi dapat digunakan untuk
mengisolasi/mengekstraksi DNA Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei baik berupa kultur
murni maupun yang berada di dalam sampel susu UHT. Selain itu, isolat/template DNA yang
dihasilkan dengan metode pendidihan tersebut dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi primer
yang tepat dalam pengujian yaitu sebesar 0,125 µM dan juga dapat digunakan untuk menentukan
spesifisitas primer InvA yang digunakan sehingga terbukti bahwa primer tersebut spesifik untuk
Salmonella Typhimurium, namun isolat/template DNA yang dihasilkan dengan metode pendidihan
tidak semurni isolat/template DNA yang dihasilkan dengan metode kit komersial, oleh karena itu
metode pendidihan tidak dapat menghasilkan kurva standar yang memiliki nilai efisiensi yang baik
dibandingkan dengan kit komersial.
Isolat/template DNA metode pendidihan menghasilkan kurva standar yang memiliki nilai
efisiensi sebesar 386,8% dan R2 sebesar 0,824 yang berarti bahwa metode pendidihan tidak dapat
mengkuantifikasi Salmonella Typhimurium di dalam sampel susu UHT. Sedangkan isolat DNA yang
dihasilkan dengan metode kit komersial menghasilkan kurva standar yang memiliki persamaan garis
y = 40,564 - 3,322x dengan nilai efisiensi sebesar 100% dan R2 sebesar 0,972 sehingga dapat
digunakan untuk pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu. Konsentrasi Salmonella
Typhimurium yang dihasilkan pada sampel susu UHT spike dengan real-time PCR
(105 cetakan DNA/ml) tidak sesuai dengan pengkuantifikasian menggunakan metode konvensional
(104 CFU/ml), namun sesuai dengan pengkuantifikasian secara mikroskopis dengan petroff-hausser
(105 sel/ml). Hal tersebut dikarenakan sel mati dapat terkuantifikasi dengan metode real-time PCR dan
petroff-hausser sedangkan dengan metode konvensional sel mati tersebut tidak dapat terkuantifikasi.
B. Saran
1. Dilakukan pengulangan penentuan konsentrasi primer, penentuan spesifisitas primer, dan
pengkuantifikasian Salmonella Typhimurium pada susu UHT setidaknya masing-masing dua
kali pengulangan pada setiap tahap pengujian agar didapat data yang lebih valid ketika masuk
ke tahap selanjutnya.
2. Dilakukan modifikasi untuk isolasi DNA dengan metode pendidihan agar menghasilkan
isolat/template DNA yang lebih murni bebas dari pengotor/inhibitor seperti penghilangan
kalsium dengan penambahan chelex-100, penghilangan protein dan lemak dengan
pengoptimasian penggunaan enzim proteinase K dan lipase sehingga dapat mengurangi biaya
pengujian jika dibandingkan dengan menggunakan kit komersial.
3. Dilakukan modifikasi pada tahap isolasi/ekstraksi DNA seperti dengan penambahan DNAse
baik itu terhadap metode kit komersial maupun terhadap metode pendidihan agar sel/mikroba
yang mati tidak dapat terkuantifikasi ketika pengujian dengan real-time PCR.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar L, Irvine L, Aldus CF, Wyatt GM, Fordham R, Schelenz S, Shepstone L, Howe A, Peck M,
Hunter PR. 2007. A systemic review of the clinical, public health and cost-effectiveness of rapid
diagnostic tests for the detection and identification of bacteria intestinal pathogen in faeces and
food. J Health Technol Assess 11:1-216.
Anonim. 2007. RNA quality control using the NanoDrop ND-1000. http://biomedicalgenomics.org/
RNA_quality_control.html [14 September 2011]
Badan POM RI. 2002. Laporan KLB Keracunan pangan Tahun 2002. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta
Badan POM RI. 2003a. Laporan KLB Keracunan pangan Tahun 2003. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta
Badan POM RI.2003b. Mikroba Patogen. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan keamanan Pangan-
Badan POM RI. Jakarta.
Badan POM RI. 2004. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2004. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta.
Badan POM RI. 2008. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2008. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta.
Badan POM RI. 2009. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2009. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta.
Badan POM RI. 2010. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2010. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI. Jakarta.
Bio-Rad Laboratories. 2011. Chelex® 100 and Chelex 20 Chelating Ion Exchange Resin Instruction
Manual. http://www.biorad.com/webmaster/pdfs/9184_Chelex.PDF. [30 September 2011]
Bohaychuk VM, Gensler GE, McFall ME, King RK, Renter DG. 2006. A real-time PCR assay for the
detection of Salmonella in a wide variety of food and food animal matrices. J Food Protection
70(5): 1080-1087.
39
Brenner FW, Villar RG, Angulo FJ, Tauxe R, Swaminathan B. 2000. Salmonella nomenclature. J
Clinical Microbiology: 2465-2467.
Chen J, Zhang L, Paoli GC, Shi C, Tu SI, Shi X. 2009. A real-time PCR method for the detection of
Salmonella enterica from food using a target sequence identified by comparative genomic
analysis. Int J Food Microbiology 137: 168-174.
Chen S.Yee A, Griffiths M, Larkin C, Yamashiro CT, Behari R, Paszkokolva C, Rahn K, De Grandis
SA. 1997. The evaluation of a fluorogenic polymerase chain reaction assay for the detection of
Salmonella species in food commodities. Int J Food Microbiology 35: 239-250.
D’Aoust, JY. 2000. Salmonella. In: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW (eds.). The
Microbiological Safety and Quality of Food Vol II. Maryland: Aspen Publisher Inc.
Dauphin LA, Hutchins RJ, Bost LA, Bowen MD. 2009. Evaluation of automated and manual
commercial DNA extraction methods for recovery of Brucella DNA from suspensions and
spiked swabs. J of Clinical Microbiology 47(12): 3920-3926.
de Boer E, Beumer RR. 1999. Methodology for detection and typing of foodborne microorganisms.
Int J Food Microbiology 50:119-130.
Difco dan BBL Manual. 2003. ICMSF, 1986. Microorganism in Foods, 2. Sampling for
Microbiological Analysis: Principles and Specific Applications. 2nd ed. Blackwell Scientific
Publications.
Doores S. 1999. Food Safety: Current Status and Future Needs. Washington D.C: American
Academy of Microbiologist.
Edwards KJ. 2004. Performing real-time PCR. In: Edwards K, Logan J, Saunders N (eds.). Real-Time
PCR An Essential Guide. UK: Horizon Bioscience.
Hadjinicolaou AV, Demetriou VL, Emmanuel MA, Kakoyiannis CK, Kostrikis LG. 2009. Molecular-
beacon based real-time PCR detection of primary isolates of Salmonella Typhimurium and
Salmonella Enteritidis in environmental and clinical samples. BMC Microbiology 2009(9): 97.
Health Protection Agency. 2007. Identification of Shigella Species. National Standard Method. BSOP
ID 20. Issue 2. http://www.hpa-standardmethods.org .uk/documents/bsopid/pdf/bsopid20.pdf
[8Agustus 2011]
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. 7th ed. USA: Springer Science
and Business Media Inc.
Jung, Je S, Kim HJ, Kim HY. 2005. Quantitative detection of Salmonella Typhimurium
contamination in milk, using real-time PCR. J Microbiol Biotechnol 15(6): 1353-1358
40
Kim CH, Khan M, Morin DE, Hurley WL, Triphathy DN, Kehrli Jr M, Olouch AO, Kakomat I. 2001.
Optimization of the PCR for detection of Staphylococcus aureus nuc gene in bovine milk.
J Dairy Sci 84:74-83.
Lee MD, Fairchild A. 2006. Sample Preparation for PCR. In: Maurer, J (ed.). Food Microbiology and
Food Safety: PCR Methods in Foods. USA: Springer.
Maurer JJ. 2006. The mythology of PCR: a warning to the wise. In: Maurer, J (ed.). Food
Microbiology and Food Safety: PCR Methods in Foods. USA: Springer.
Mayer Z, Bagnara A, Färber P, Geisen R. 2003. Quantification of the copy number of nor-1, a gene of
the aflatoxin biosynthetic pathway by real-time PCR, and its correlation to the cfu of Aspergillus
flavus in foods. Int J Food Microbiol 82(2): 143-151
Nolan T, Mueller R, Bustin S. 2007. QPCR: target preparation. In: Mackay IM (ed.). Real-Time PCR
in Microbiology From Diagnosis to Characterization. UK: Caister Academik Press
Omiccioli E, Amagliani G, Brandi G, Magnani M. 2009. A new platform for Real-Time PCR
detection of Salmonella spp., Listeria monocytogenes and Escherichia coli O157 in milk. J Food
Microbiology 26:615-622.
Patel PD, Williams DW. 1994. Evaluation of commercial kits and instrumen for the detection of
foodborne bacterial pathogens and toxins. In: Pitel PD (ed.). Rapid Analysis Techniques in Food
Microbiology. Scotland: Chapman & Hall.
Pestana EA, Belak S, Diallo A, Crowther JR, Viljoen GJ. 2010. Early, Rapid, and Sensitive
Veterinary Molecular Diagnostics Real-Time PCR Application. Dordrecht: Springer.
Rahayu WP, Panggabean RIL, Yuliangsih S, Pusparini N, Khotimah K. 2009. Comparison of three
extraction methods for identification Bacillus cereus and Staphylococcus aureus in fried rice.
Research Center for Drug and Food. National Agency of Drug and Food Control.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd ed. USA: CRC Press.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a Laboratory Manual. 1st ed. New
York: Cold Spring Harbour Laboratory Press.
Sharp JCM, Reilly WBJ. 2000. Surveillance of foodborne disease. In: Lund, Barbara M, Baird-Parker
TC, Gould GW (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Vol. II. Gaithersburg,
Maryland: Aspen Publisher, Inc.
Sparringa RA. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. In: Rahayu WP (ed). Surveilan
Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan-Badan POM RI.
Jakarta.
Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor: Bidang Zoologi, Pusat
Penelitian Biologi-LIPI
41
Siebert PD. 1999. Quantitative RT-PCR. In: Kochanowski B, Reischl U (eds.). Methods in Molecular
Medicine: Quantitative PCR Protocols. Totowa, New Jersey: Humana Press.
Supardi HI, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung:
Penerbit Alumni.
Vanderzant C, Splittstoesser DF. 1992. Compendium of methods for the microbiological examination
of foods. 3rd ed. Washington D.C: American Public Health Association.
Ziprin RL, Hume MH. 2001. Human salmonellosis: general medical aspects. In: Hui YH, Pierson
MD, Gorham JR (eds.). Foodborne Disease Handbook Revised and Expanded Vol I: Bacterial
Pathogens. 2nd ed. New York: Marcel Dekker, Inc.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1a. Proses pembuatan larutan pengencer NaCl 0,85%
43
Lampiran 1b. Proses pembuatan lisozim
Lisozim
Proteinase K
44
Lampiran 1d. Proses pembuatan CTAB
Disaring
CTAB
45
Lampiran 1e. Proses pembuatan buffer TE pH 8,0
Dihomogenkan
Buffer TE 1X
46
Lampiran 2a. Proses pembuatan media HIB
Dipipet 5 ml larutan
Media HIB
47
Lampiran 2b. Proses pembuatan media XLDA
Diaduk sesekali
Media XLDA
48
Lampiran 3. Proses isolasi/ekstraksi DNA metode pendidihan (Rahayu et al.
2009)
49
Lampiran 4. Proses isolasi/ekstraksi DNA metode kit komersial
(Berdasarkan QIAamp® DNA Blood Mini Kit Handbook
dengan modifikasi Bioteknologi PROM)
Ditambahkan 80 µl dapar AE ke
Dicampur hingga homogen dalam kolom mini
50
Lampiran 5. Jumlah bakteri Salmonella Typhimurium dan Shigella sonnei
dengan penghitungan petroff-hausser
Jumlah sel/mm2
Jumlah sel/mm2
Jumlah sel/cm3 (ml)
51
Lampiran 6. Jumlah koloni awal (a) dan akhir (b) Salmonella Typhimurium
pada sampel susu UHT dengan media XLDA
(a)
Jumlah Koloni
Pengenceran Sampel
Penghitungan ke-1 Penghitungan ke-2
Susu UHT
cawan 1 cawan 2 cawan 1 cawan 2
100 0 0 0 0
10-1 0 0 0 0
10-2 0 0 0 0
Ket: Penghitungan ke-1 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode kit komersial;
Penghitungan ke-2 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode pendidihan
(b)
Jumlah Koloni
Pengenceran
Penghitungan ke-1 Penghitungan ke-2
Sampel Susu UHT Spike
cawan 1 cawan 2 cawan 1 cawan 2
12 26
10-3 36 41
0 1
10-4 1 0
0 0
10-5 0 0
0 0
10-6 0 0
Ket: Penghitungan ke-1 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode kit komersial;
Penghitungan ke-2 adalah penghitungan mikroba untuk isolasi DNA menggunakan metode pendidihan
52
Lampiran 7. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b)
penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA kultur
murni Salmonella Typhimurium
0,025µM 0,0125µM
0,125µM (F) (G) (H)
(a)
(b)
53
Lampiran 8. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu
pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/
template DNA kultur murni Salmonella Typhimurium
(a)
(b)
54
Lampiran 9. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b)
penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA 103 sel/ml
Salmonella Typhimurium
0,125 µM (A)
0,025 µM (G)
(a)
(b)
55
Lampiran 10. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu
pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/
template DNA 103 sel/ml Salmonella Typhimurium
(a)
(b)
56
Lampiran 11. Kurva amplifikasi (a) dan kurva pelelehan (melt curve) (b)
penentuan konsentrasi primer isolat/template DNA sampel susu
UHT spike Salmonella Typhimurium
0,125 µM (F)
0,025 µM (H)
(a)
(b)
57
Lampiran 12. Kurva puncak pelelehan (melt peak curve) (a) dan tabel suhu
pelelehan (Tm) (b) penentuan konsentrasi primer isolat/
template DNA sampel susu UHT spike Salmonella
Typhimurium
(a)
(b)
58
Lampiran 13. Tabel hasil kesesuaian sekuen nukleotida primer dengan bakteri
lain (a) dan kesesuaian dengan gen InvA (b) pada Salmonella
Typhimurium strain 14028 Basic Local Alignment Search Tool
(BLAST)
(a)
(b)
59
Lampiran 14. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b)
isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode
pendidihan dalam pembuatan kurva standar
(a)
(b)
60
Lampiran 15. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt
peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/
template DNA Salmonella Typhimurium metode pendidihan
dalam pembuatan kurva standar
(a)
(b)
(c)
61
Lampiran 16. Tabel kemurnian isolat/template DNA Salmonella
Typhimurium metode pendidihan dalam pembuatan kurva
standar
62
Lampiran 17. Tabel nilai Threshold Cycle (Ct) (a) dan kurva amplifikasi (b)
isolat/template DNA Salmonella Typhimurium metode kit
komersial dalam pembuatan kurva standar
(a)
(b)
63
Lampiran 18. Kurva pelelehan (melt curve) (a), kurva puncak pelelehan (melt
peak curve) (b) dan tabel suhu pelelehan (Tm) (c) isolat/template
DNA Salmonella Typhimurium metode kit komersial dalam
pembuatan kurva standar
(a)
(b)
(c)
64
Lampiran 19. Tabel kemurnian isolat/template DNA Salmonella
Typhimurium metode kit komersial dalam pembuatan kurva
standar
65