Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
Sepsis oleh karena infeksi bakteri merupakan komplikasi utama yang meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas pada anak dengan leukemia yang mendapat kemoterapi
terutama pada fase induksi. Meskipun kelangsungan hidup jangka panjang telah meningkat
secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, namun beberapa obat kemoterapi terutama
golongan antrasiklin dan analog purin terbukti mempunyai efek samping netropenia berat dan
berkepanjangan setelah siklus kemoterapi intensif. Hal ini berkaitan dengan risiko tinggi
terjadinya infeksi bakteri dan jamur. Pada studi yang dilakukan pada anak dengan AML, infeksi
menjadi penyebab utama kematian terkait pengobatan kemoterapi fase induksi sebesar 5%,
dan 15% pasien dilaporkan meninggal karena komplikasi infeksi. (Heidrun B, et al, 2017)
Pasien dengan keganasan sangat rentan terjadi infeksi oleh karena beberapa faktor,
diantaranya rusaknya barrier kulit dan mukosa, sumbatan yang berhubungan dengan tumor itu
sendiri, perubahan pertahanan pejamu akibat infiltrasi sumsum tulang, penurunan atau
perubahan imunoglobulin atau produksi sitokin, atau neutropenia yang berhubungan dengan
kemoterapi Pemberian antibiotik berdasarkan data empiris pada kondisi ini telah menjadi
manajemen standart. Strategi profilaksis untuk pencegahan infeksi di bidang onkologi pediatri
yang mendapat kemoterapi selama fase induksi dapat menurunkan risiko infeksi dan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Leukemia atau kanker darah merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal
dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya
sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada kanker darah ada gangguan dalam pengaturan sel
leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan
fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel
darah normal juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.
(Rasjidi, 2007).
Pada masa kanak-kanak kanker yang paling banyak dijumpai adalah kanker darah atau
leukemia (25-30%), Kejadian leukemia pada anak (0-19 tahun) menurut CDC pada tahun 2014
adalah sebesar 8.4 per 100.000 ditemukan pada kelompok usia 1-4 tahun dan tingkat kematian
akibat leukemia sebesar 0.8 per 100.000 anak ditemukan pada kelompok usia 15-19 tahun.
Menurut data tahun 2007, di Indonesia setiap tahunnya ditemukan sekitar 4.100 pasien kanker
kesembuhan mencapai 80%. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa kemoterapi juga memiliki efek
samping dan dari hasil penelitian tim medis di st.Louis: USA (2012) kemoterapi diketahui dapat
2
merusak Deoxyribonucleic Acid (DNA) baik pada sel kanker maupun sel yang sehat (Ariawati,
2007).
Kemoterapi terdiri dari beberapa fase, salah satunya yaitu fase induksi , dalam tahap
awal ini merupakan tahap yang penting. Karena menjadi pengalaman pertama pasien terhadap
pengobatan, yang akan mempengaruhi pemikiran-pemikiran pikologis yang timbul salah satu
nya oleh efek farmakologi. Selain hal itu juga karena pada fase ini sitostatika diberikan dengan
tujuan memusnahkan semua atau sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi, terjadi
penurunan jumlah sel-sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium
(limfoblas sumsum tulang < 5%) yang ditandai dengan hilangnya gejala klinis dari penyakit
serta gambaran darah tepi menjadi normal. Tahap induksi menggunakan kortikosteroid
Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar 6 minggu dengan angka remisi rata-
rata 97%. Remisi pada fase induksi memegang peranan penting terhadap prognosis LLA.
(Ariawati, 2007).
Mekanisme kerja kemoterapi yang bersifat tidak selektif dan terapi kombinasi
menyebabkan toksisitas obat meningkat. Toksisitas kemoterapi secara umum dapat dibagi dua
yaitu bersifat akut dan jangka panjang. Toksisitas akut terjadi segera setelah pemberian
kemoterapi (dalam jam sampai dengan minggu) dan bersifat sementara, sedangkan toksisitas
jangka panjang bersifat permanen. Toksisitas akut antara lain depresi sumsum tulang, mual,
muntah, alopesia, mukositis orointestinal, alergi, kelainan fungsi hati dan ginjal. Beberapa obat
kemoterapi bersifat unik oleh karena toksisitas obat bersifat spesifik terhadap organ atau
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami efek
kemoterapi berat pada fase induksi. Mielosupresi menjadi efek samping yang paling sering
3
dialami pasien, dan mual muntah menjadi urutan kedua setelahnya. Hal ini sejalan dengan
Hockbenberry (2005), bahwa obat-obatan utama kemoterapi fase induksi ALL yaitu
normal. Pada fase induksi penggunaan obat kemoterapi relatif lebih tinggi dosisnya, hal ini yang
kemoterapi di organ gastrointestinal yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama iritasi
mukosa lambung dan duodenum yang merangsang pusat muntah di medula SSP melalui vas
aferens nervus vagus. Faktor lain adalah aktivasi SSP akibat obstruksi, keterlambatan
pengosongan lambung, reaksi inflamasi yang semua faktor tersebut disebabkan oleh
kemoterapi. Beberapa obat kemoterapi dapat mengakibatkan efek mual dan muntah seperti
MTX dengan dosis >1g/m2 yang dapat menyebabkan gejala mual dan muntah pada 60% –
90% pasien, sedangkan obat DNR, VCR hanya 30% -60%. Dari beberapa penelitian didapatkan
gejala mual dan muntah terbanyak terjadi setelah pemberian MTX dosis 1 g/m2 kemudian
setelah pemberian MTX intratekal; DNR dan VCR sesuai dengan teori yang ada. Stomatitis
merupakan proses inflamasi dan rasa nyeri dalam mulut setelah pemberian kemoterapi
mengakibatkan perdarahan, ulserasi dan infeksi. Diare terjadi akibat kerusakan sel mukosa
beberapa obat kemoterapi seperti MTX, DNR, dan bleomycin, sedangkan kemoterapi yang
jarang menyebabkan stomatitis adalah 6-MP, VCR, vinblastin. Kemoterapi yang menyebabkan
diare adalah MTX, hydroxyurea, dactinomycin. Pada penelitian ini juga didapatkan keluhan
berupa stomatitis dan diare, banyak didapatkan setelah pemberian MTX dosis 1 g/m2.
(Ariawati, 2007).
4
Selama fase induksi, pasien akan mudah mengalami infeksi. Hal ini terjadi oleh karena
pasien sering mengalami neutropenia dan penurunan daya tahan tubuh. Otitis eksterna
nekrotikans atau otitis eksterna maligna merupakan infeksi berat pada kanal telinga dengan
paling sering sebagai penyebab, namun dapat pula dijumpai Streptococcus faecalis, dan
Staphylococcus aureus.
Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh toksisitas hampir setiap jenis
kemoterapi, yaitu penurunan kadar hemoglobin, leukosit, ANC, serta trombosit. Berdasarkan
nilai ANC, neutropenia untuk anak diatas 1 tahun dapat dibagi menjadi:
hemoglobin terendah terjadi setelah pemberian kemoterapi pertama (fase induksi) dan setelah
pemberian MTX 1 g intravena ketiga (fase profilaksis). Penurunan kadar leukosit terutama
granulosit (ANC) dengan jumlah ANC kurang atau sama dengan 1000 mempunyai risiko untuk
terjadinya infeksi. Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh sel blast dalam sumsum
tulang atau metastasis tumor padat ke sumsum tulang. Dalam keadaan ragu pemeriksaan
sumsum tulang perlu dilakukan. Toksisitas kemoterapi pada hati dapat disebabkan oleh
ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan uji faal hati antara lain pemeriksaan kadar
SGOT/SGPT dan bilirubin. Ahli hematologi lain mengemukakan bahwa kadang-kadang hasil
pemeriksaan uji faal hati tidak seiring dengan derajat kerusakan jaringan hati. Kadar tertinggi
5
2.3 Antibiotik profilaksis pada pasien anak yang mendapat kemoterapi fase induksi
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan bagi pasien yang belum terkena
infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena
infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Pemberian antibiotik profilaksis pada
pasien neutropenia akibat efek samping kemoterapi fase induksi bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi akibat bakteri dan menurunkan angka kematian pasien neutropenia yang
Beberapa studi sejak tahun 1980an telah mengevaluasi manfaat pemberian terapi agen
antibakterial profilaksis, dimana hasil menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya episode demam
dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik selama periode awal afebril. Antibiotik oral non
intravena (ceftriakson, vankomisin) telah lama dievaluasi. Pada awal studi trial, obat antibiotik
oral telah ditinggalkan dikarenakan toleransi yang rendah dan komplians pasien yang rendah.
Studi menunjukkan penggunaan TMP-SMZ menurunkan angka kejadian infeksi dibanding obat
plasebo akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal menurunkan
angka kematian.
sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang
fungsional dan akhirnya mikroba tidak mendapat asupan asam folat yang cukup untuk
kelangsungan hidupnya.
6
b) Menghambat sintesis dinding sel mikroba
proses sintesis dinding sel bakteri menyebabkan kerusakan dinding sel kuman yang
berujung pada proses lisis dan hal ini merupakan dasar bakterisidal pada kuman yang
peka.
kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein akibatnya
Contohnya rifampisin dan kuinolon. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase
pada kuman yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk
spiral sehingga bisa masuk ke dalam sel kuman yang kecil (Gunawan, 2008)
Hampir semua uji klinis pada anak dengan AML menunjukkan komplikasi infeksi yang
cukup besar. Sebagai contoh, dari 901 pasien AML, sebanyak 63 anak (6,9%) meninggal
karena infeksi. Mayoritas infeksi disebabkan oleh bakteri gram positif (termasuk kelompok
Streptococcus viridans), isolat Gram negatif (Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella spp), dan
infeksi polimikrobial. Dalam sebuah penelitian terhadap 492 anak-anak dengan AML yang
terdaftar dalam protokol Children's Cancer Group (CCG) 2961, 39-50% dan 18-28% pasien
terinfeksi bakteri gram positif dan gram negatif, selama tiga fase terapi . Dari 58 pasien yang
7
meninggal akibat infeksi, sekitar 40% dikaitkan dengan infeksi bakteri, 15,5% akibat infeksi
Streptococcus viridans.
Tabel 2.1 Kuman penyebab infeksi tersering pasien yang medapat kemoterapi
Antibiotik profilaksis yang dapat diberikan pada pasien anak dengan leukemia yang
1. Kuinolon
khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram negatif (E.coli, Klebsiella, Enterobacter,
Proteus, H.influenzae). Daya antibakterinya terhadap kuman Gram positif relatif lemah.
8
2. Trimetophrim-Sulfamethozaxole
3 Aminoglikosida
Aktivitas antibakteri terutama tertuju pada basil Gram negatif yang aerobic. Aktivitas
terhadap mikroorganisme anaerob atau bakteri fakultatif dalam kondisi anaerob rendah sekali
Tabel 2.2 Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis pada pasien anak dengan leukemia yang
mendapat kemoterapi
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) High risk (current or expected prolonged severe
neutropenia [<100/mL {0.1 _ 109/L} for >7 days]):
Bacterial: Levofloxacin*
• >6 mo to £4 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 12 h
(maximum daily dose 500 mg).
• ‡5 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 24 h (maximum
daily dose 750 mg).
• Continue until ANC >200 /mL (0.2 _ 109/L) and rising
following nadir.
• Levofloxacin should be discontinued if patient requires
broad-spectrum antimicrobials for fever/neutropenia.
Fungal:
• Fluconazole 6 mg/kg (maximum 400 mg) IV/PO every
24 h. All ALL patients:
Viral:
• HSV seropositive or previous HSV infection: acyclovir*
250 mg/m2 per dose IV every 8-12 h or
valacyclovir* 15-20 mg/kg per dose (maximum 500
mg/dose) PO every 12 h.
• VZV: Postexposure prophylaxis with VZIG or acyclovir
500 mg/m2 per dose IV every 8 h*. Ensure family is
immunized.
• Influenza: Children and household members older than
6 mo should receive trivalent inactivated
influenza vaccine. If close contact to individual is known
to have influenza, provide postexposure
chemoprophylaxis with oseltamivir* for no more than 10
days.
9
• RSV: Infants (November-March): palivizumab 15
mg/kg per dose IM once monthly
• Hepatitis B infection: Age-dependent treatment
regimen. Contact pediatric infectious diseases or
gastroenterology specialist.
Pneumocystis:
• Trimethoprim-sulfamethoxazole*# at a dose of
trimethoprim 5 mg/kg per day divided BID 2-3
consecutive days per week.x
• Initiate after completion of induction and continue until
3-6 months after therapy completion.
Parasitic:
• If patient has lived or travelled to an endemic region
(tropics, Southeast Asia), obtain serology to rule out
Strongyloides PRIOR to initiating chemotherapy.
• Measure Toxoplasma gondii IgG to determine latent
infection. Treat with trimethoprimsulfamethoxazole
if positive (should be administered already to prevent
PCP).
Mycobacterial:
• If patient has risk factor for Mycobacterium tuberculosis
exposure, before initiating chemotherapy, place
PPD in children <5 y and perform IGRA in children ‡5 y.
If positive, obtain pediatric infectious disease or
pulmonology consultation.
Clostridium difficile
• Patients with prior C difficile infection should be offered
oral vancomycin 10 mg/kg (maximum 125 mg)
every 12 h when placed on antibiotics.
IgG levels may be monitored throughout treatment. If
IgG values are less than normal for age, IVIg at 400
mg/kg may be administered.
10
• VZV: Postexposure prophylaxis with VZIG or
acyclovir*. Ensure family is immunized.
• Influenza: Children and household members older
than 6 mo should receive trivalent inactivated
influenza vaccine. If close contact to individual is
known to have influenza, provide postexposure
chemoprophylaxis with oseltamivir* for no more
than 10 days.
• RSV: Infants (November-March): palivizumab 15
mg/kg per dose IM once monthly.
• Hepatitis B infection: Age-dependent treatment
regimen. Contact pediatric infectious diseases or
gastroenterology specialist.
Pneumocystis:
• Trimethoprim-sulfamethoxazole*# at a dose of
trimethoprim 5mg/kg per day divided BID 3
consecutive days per week.x
• Initiate with induction and continue until 3-6 mo
after therapy completion.
Parasitic:
• If patient has lived or travelled to an endemic
region (tropics, Southeast Asia), obtain serology to
rule out
Strongyloides PRIOR to initiating chemotherapy.
• Measure T gondii IgG to determine latent
infection. Treatment with trimethoprim
sulfamethoxazole if positive (should be given
already to prevent PCP).
Mycobacterial:
• If patient has risk factor for M tuberculosis
exposure, prior to initiating chemotherapy, place
PPD in
children <5 y and perform IGRA in children ‡5 y. If
positive, obtain pediatric infectious diseases or
pulmonology consultation.
Clostridium difficile
• Patients with prior C difficile infection should be
offered oral vancomycin 10 mg/kg (maximum 125
mg)
every 12 h when receiving antibiotics.
In children with Down syndrome (trisomy 21): IgG
levels should be monitored throughout treatment. If
IgG values are less than normal for age, IVIg at
400 mg/kg per dose may be administered.
11
2.5 Dosis dan Lama Pemberian Antibiotik Profilaksis
Umumnya dosis antibiotik yang dibutuhkan untuk profilaksis sama dengan dosis terapi.
Dosis tunggal antibiotik pada konsentrasi terapi cukup untuk profilaksis pada hampir semua
Lama pemberian antibiotik profilaksis yaitu diberikan sampai dengan pulihnya absolute
netrophyl count (ANC). Penelitian yang dilakukan oleh Ting-Chi Yeh et al, pemberian antibiotik
profilaksis diberikan selama kemoterapi fase induksi pada anak-anak dengan AML dan ALL
dengan antibiotik ciprofloxacin (dengan dosis 300 mg/ m2/ 12jam) sampai dengan 7 hari bebas
netropenia. Pengobatan profilaksis dihentikan sampai terjadi recovery dari ANC. (Ting-Chi Yeh,
2014).
Penelitian lain oleh Hiroto Inaba et al antibiotik profilaksis diberikan pada pasien rawat
jalan setelah terapi mielosupresif dengan kriteria pasien ANC awal <500, tidak ada demam.
Profilaksis dihentikan ketika ANC >1000. Antibiotik yang diberikan adalah golongan sefalosforin,
2.6 Peran Antibiotik Profilaksis Pada Anak Dengan Leukemia yang Mendapat
Penyelidikan penggunaan antibiotik profilaksis pada anak-anak terbatas pada saat ini.
menunjukkan manfaat yang signifikan dan terhambat oleh kondisi pasien yang buruk dan
kesulitan dengan kepatuhan pasien. Sebuah studi baru pemberian profilaksis ciprofloxacin pada
pasien anak yang mendapat kemoterapi fase induksi menunjukkan penurunan yang signifikan
pada jumlah hari rawat inap, lama perawatan intensif dan bakteremia dibandingkan dengan
kontrol.
Sampai saat ini data untuk mendukung penggunaan rutin profilaksis sesuai dengan
organisme patogen khusus masih tetap kurang. Studi retrospektif tunggal kecil pasien anak-
12
anak dengan AML yang mendapatkan antibiotik profilaksis dengan cefixime atau kombinasi
vankomisin dan ciprofloxacin oral atau sefalosporin, dibandingkan dengan kelompok kontrol
menggambarkan penurunan angka kejadian sepsis yang signifikan. Selain itu juga terjadi
penurunan morbiditas dari semua infeksi bakteri dan lama hari perawatan di rumah sakit.
Penggunaan penisilin oral untuk pencegahan bakteremia Streptococcal juga telah digunakan
pada minoritas pasien pada penelitian AML, namun bukti keberhasilan strategi ini dalam
Sebuah studi Onkologi pada kelompok anak baru-baru ini mengevaluasi pemberian
kemoterapi intensif pada anak-anak dengan kasus relaps, didapatkan hasil kejadian infeksi
yang terdiagnosis secara mikrobiologi adalah 79,4% per blok terapi. Ada 5 kematian pada 124
pasien (4%), yang kesemuanya dikaitkan dengan sepsis akibat infeksi bakteri. Studi
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien onkologi dewasa dengan netropenia yang
mengurangi kejadian demam dan infeksi bakteri yang terdiagnosis secara mikrobiologis, namun
secara individual penelitian tersebut gagal menunjukkan efek pada kelangsungan hidup secara
keseluruhan. Dua penelitian prospektif besar, double blind, acak, terkontrol plasebo terhadap
2.325 pasien onkologi dewasa yang menerima kemoterapi yang bersifat mielosupresif
infeksi dan rawat inap namun tidak menunjukkan dampak pada mortalitas (Fisher, 2017).
Sebuah penelitian meta-analisis tahun 2005 terhadap 95 uji coba profilaksis acak
terkontrol untuk pasien onkologi neutropeni afebris menunjukkan penurunan risiko kematian
secara bermakna pada pasien yang menerima profilaksis.Manfaatnya paling penting dalam
mortalitas terkait infeksi, demam, dan memperbaiki kondisi klinis dan mikrobiologis.
trial yang membandingkan pemberian profilaksis siprofloksasin dibanding plasebo pada pasien
13
anak dengan leukemia akut. Subyek penelitian mencakup 95 pasien anak berusia 18 tahun
dengan leukemia limfoblastik akut atau limfoma yang telah terjadwal untuk menjalani
siprofloksasin per oral 20mg /kgbb /hari atau plasebo di awal fase kemoterapi. Evaluasi kultur
dari swab feses diambil beberapa kali yakni sebelum intervensi dan satu atau dua minggu
setelah intervensi dimulai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 71 pasien yang mengalami
neutropenia, proporsi anak yang berkembang menjadi demam neutropenia pada kelompok
siprofloksasin signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok plasebo (50% vs
73%, CI 95%, p= 0,046). Penelitian ini juga menyebutkan bahwa pada kedua kelompok
intervensi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari segi efek samping yang ditimbulkan.
tindakan pengobatan dan rendahnya angka remisi masih sering dijumpai. Hal ini dapat
disebabkan beberapa hal seperti maraknya kemiskinan, kondisi malnutrisi, klinis pasien yang
buruk serta sulitnya akses terhadap terapi suportif di negara berpendapatan menengah ke
bawah jika dibandingkan dengan negara maju. Penelitian di RS dr.Sardjito Jogjakarta yang
dilakukan oleh Widjajanto pada tahun 2013 bertujuan utuk menilai efek pemberian monoterapi
siprofloksasin sebagai profilaksis terjadinya kejadian sepsis dan kematian selama menjalani
terapi induksi dari protokol ALL anak yang diterapkan di Indonesia. Pemberian profilaksis
dilakukan secara acak pada 110 pasien anak dengan ALL, dimana dari awal pelaksanaan
kemoterapi setiap anak mendapatkan tablet oral yang diminum dua kali sehari. Pembagian
dosis disesuaikan dengan berat badan pasien. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kelompok
siprofloksasin menunjukkan angka kegagalan pada fase induksi yang lebih besar dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat plasebo (31% vs 25%, 95% CI, p=0,48), meningkatnya
angka kejadian demam (50% vs 32,7%. 95% CI, p=0,07), kejadian sepsis (50% vs 38,5%, 95%
14
CI, p=0,22) dan angka kematian terkait terapi (18,9% vs 5,8%, 95% CI, p=005) (Gvili et al.,
2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulis et al antara tahun 2012 sampai
dengan 2015, terhadap 230 pasien ALL yang baru terdiagnosis (usia 1-21) dan mendapatkan
kemoterapi fase induksi, pada pasien ALL tanpa demam (afebrile) diberikan antibiotik profilaksis
2.7 Efek samping pemberian antibiotik profilaksis pada pasien anak yang mendapat
kemoterapi
Yang menjadi perhatian utama dalam hal pemberian profilaksis antimikroba pada pasien
yang mendapat kemoterapi adalah kemungkinan untuk berkembangnya bakteri patogen yang
resisten, sehingga menyebabkan pasien lebih berisiko terhadap infeksi bakteri yang resisten.
Perubahan dari kondisi non-kolonisasi ke kolonisasi dengan organisme resisten pada satu
pasien dimungkinkan melalui sejumlah mekanisme, yaitu: pemilihan antibiotik yang tidak tepat
dimana bakteri tersebut telah resisten sebelumnya; transmisi patogen pasien-ke-pasien; atau
Schimpff dkk. menunjukkan bahwa dari 43 episode bakteriemia pada pasien dengan
leukemia akut, 39 di antaranya sebelumnya telah dilakukan kultur dari berbagai lokasi
menghasilkan organisme penyebab yang sama. Tancrede dan Andremont memiliki hasil yang
sama, hal ini menunjukkan kolonisasi tinja mendahului bakteriemia dengan Enterobacteraciae
yang sama pada 31/38 kasus dan 13/16 pasien dengan bakteri P. aeruginosa. Hal ini
menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan frekuensi kolonisasi dengan organisme yang
resisten, maka akan terjadi peningkatan frekuensi infeksi invasif dari organisme yang sama
((Ganti, 2016)..
15
Hasil dari studi orang dewasa tentang dampak profilaksis fluoroquinolone pada profil
resistensi bakteri patogen dari kultur steril pada pasien onkologi dan HCT telah menghasilkan
hasil yang bertentangan. Seperti yang bisa diduga, beberapa pusat onkologi yang
mendeteksi patogen yang relevan secara klinis, namun ada juga yang menyarankan bahwa
16