Sie sind auf Seite 1von 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sepsis oleh karena infeksi bakteri merupakan komplikasi utama yang meningkatkan

angka morbiditas dan mortalitas pada anak dengan leukemia yang mendapat kemoterapi

terutama pada fase induksi. Meskipun kelangsungan hidup jangka panjang telah meningkat

secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, namun beberapa obat kemoterapi terutama

golongan antrasiklin dan analog purin terbukti mempunyai efek samping netropenia berat dan

berkepanjangan setelah siklus kemoterapi intensif. Hal ini berkaitan dengan risiko tinggi

terjadinya infeksi bakteri dan jamur. Pada studi yang dilakukan pada anak dengan AML, infeksi

menjadi penyebab utama kematian terkait pengobatan kemoterapi fase induksi sebesar 5%,

dan 15% pasien dilaporkan meninggal karena komplikasi infeksi. (Heidrun B, et al, 2017)

Pasien dengan keganasan sangat rentan terjadi infeksi oleh karena beberapa faktor,

diantaranya rusaknya barrier kulit dan mukosa, sumbatan yang berhubungan dengan tumor itu

sendiri, perubahan pertahanan pejamu akibat infiltrasi sumsum tulang, penurunan atau

perubahan imunoglobulin atau produksi sitokin, atau neutropenia yang berhubungan dengan

kemoterapi Pemberian antibiotik berdasarkan data empiris pada kondisi ini telah menjadi

manajemen standart. Strategi profilaksis untuk pencegahan infeksi di bidang onkologi pediatri

masih belum rutin diberikan (Sulis et al, 2017).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada anak

yang mendapat kemoterapi selama fase induksi dapat menurunkan risiko infeksi dan

memperpendek hari perawatan di rumah sakit.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Leukemia (Kanker darah)

Leukemia atau kanker darah merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal

dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya

sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada kanker darah ada gangguan dalam pengaturan sel

leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan

fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel

darah normal juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.

(Rasjidi, 2007).

Pada masa kanak-kanak kanker yang paling banyak dijumpai adalah kanker darah atau

leukemia (25-30%), Kejadian leukemia pada anak (0-19 tahun) menurut CDC pada tahun 2014

adalah sebesar 8.4 per 100.000 ditemukan pada kelompok usia 1-4 tahun dan tingkat kematian

akibat leukemia sebesar 0.8 per 100.000 anak ditemukan pada kelompok usia 15-19 tahun.

Menurut data tahun 2007, di Indonesia setiap tahunnya ditemukan sekitar 4.100 pasien kanker

anak yang baru (Rasjidi, 2007).

2.2 Kemoterapi pada pasien anak dengan leukemia

Kemoterapi merupakan pengobatan utama dalam menjadikan kanker sampai ke tahap

remisi pada pasien leukemia. Dengan menggunakan pengobatan kemoterapi angka

kesembuhan mencapai 80%. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa kemoterapi juga memiliki efek

samping dan dari hasil penelitian tim medis di st.Louis: USA (2012) kemoterapi diketahui dapat

2
merusak Deoxyribonucleic Acid (DNA) baik pada sel kanker maupun sel yang sehat (Ariawati,

2007).

Kemoterapi terdiri dari beberapa fase, salah satunya yaitu fase induksi , dalam tahap

awal ini merupakan tahap yang penting. Karena menjadi pengalaman pertama pasien terhadap

pengobatan, yang akan mempengaruhi pemikiran-pemikiran pikologis yang timbul salah satu

nya oleh efek farmakologi. Selain hal itu juga karena pada fase ini sitostatika diberikan dengan

tujuan memusnahkan semua atau sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi, terjadi

penurunan jumlah sel-sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium

(limfoblas sumsum tulang < 5%) yang ditandai dengan hilangnya gejala klinis dari penyakit

serta gambaran darah tepi menjadi normal. Tahap induksi menggunakan kortikosteroid

(prednison atau deksametason), vinkristin, L-Asparaginase, Daunorobisin, Methotrexate.

Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar 6 minggu dengan angka remisi rata-

rata 97%. Remisi pada fase induksi memegang peranan penting terhadap prognosis LLA.

(Ariawati, 2007).

Mekanisme kerja kemoterapi yang bersifat tidak selektif dan terapi kombinasi

menyebabkan toksisitas obat meningkat. Toksisitas kemoterapi secara umum dapat dibagi dua

yaitu bersifat akut dan jangka panjang. Toksisitas akut terjadi segera setelah pemberian

kemoterapi (dalam jam sampai dengan minggu) dan bersifat sementara, sedangkan toksisitas

jangka panjang bersifat permanen. Toksisitas akut antara lain depresi sumsum tulang, mual,

muntah, alopesia, mukositis orointestinal, alergi, kelainan fungsi hati dan ginjal. Beberapa obat

kemoterapi bersifat unik oleh karena toksisitas obat bersifat spesifik terhadap organ atau

jaringan tertentu (Ting-Chi Yeh, 2014).

Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami efek

kemoterapi berat pada fase induksi. Mielosupresi menjadi efek samping yang paling sering

3
dialami pasien, dan mual muntah menjadi urutan kedua setelahnya. Hal ini sejalan dengan

Hockbenberry (2005), bahwa obat-obatan utama kemoterapi fase induksi ALL yaitu

kortikosteroid (terutama prednisone), vinkristin dan L- Asparaginase, dengan atau tanpa

doksorubisin dapat menyebabkan mielosupresi atau penekanan unsur-unsur darah yang

normal. Pada fase induksi penggunaan obat kemoterapi relatif lebih tinggi dosisnya, hal ini yang

mengakibatkan mielosupresi (Ariawati, 2007).

Keluhan mual, muntah setelah pemberian kemoterapi merupakan manifestasi toksisitas

kemoterapi di organ gastrointestinal yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama iritasi

mukosa lambung dan duodenum yang merangsang pusat muntah di medula SSP melalui vas

aferens nervus vagus. Faktor lain adalah aktivasi SSP akibat obstruksi, keterlambatan

pengosongan lambung, reaksi inflamasi yang semua faktor tersebut disebabkan oleh

kemoterapi. Beberapa obat kemoterapi dapat mengakibatkan efek mual dan muntah seperti

MTX dengan dosis >1g/m2 yang dapat menyebabkan gejala mual dan muntah pada 60% –

90% pasien, sedangkan obat DNR, VCR hanya 30% -60%. Dari beberapa penelitian didapatkan

gejala mual dan muntah terbanyak terjadi setelah pemberian MTX dosis 1 g/m2 kemudian

setelah pemberian MTX intratekal; DNR dan VCR sesuai dengan teori yang ada. Stomatitis

merupakan proses inflamasi dan rasa nyeri dalam mulut setelah pemberian kemoterapi

mengakibatkan perdarahan, ulserasi dan infeksi. Diare terjadi akibat kerusakan sel mukosa

gastrointestinal yang disebabkan oleh kemoterapi. Umumnya stomatitis disebabkan oleh

beberapa obat kemoterapi seperti MTX, DNR, dan bleomycin, sedangkan kemoterapi yang

jarang menyebabkan stomatitis adalah 6-MP, VCR, vinblastin. Kemoterapi yang menyebabkan

diare adalah MTX, hydroxyurea, dactinomycin. Pada penelitian ini juga didapatkan keluhan

berupa stomatitis dan diare, banyak didapatkan setelah pemberian MTX dosis 1 g/m2.

(Ariawati, 2007).

4
Selama fase induksi, pasien akan mudah mengalami infeksi. Hal ini terjadi oleh karena

pasien sering mengalami neutropenia dan penurunan daya tahan tubuh. Otitis eksterna

nekrotikans atau otitis eksterna maligna merupakan infeksi berat pada kanal telinga dengan

invasi ke dalam jaringan periaurikular. Pseudomonas sp merupakan mikroorganisme yang

paling sering sebagai penyebab, namun dapat pula dijumpai Streptococcus faecalis, dan

Staphylococcus aureus.

Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh toksisitas hampir setiap jenis

kemoterapi, yaitu penurunan kadar hemoglobin, leukosit, ANC, serta trombosit. Berdasarkan

nilai ANC, neutropenia untuk anak diatas 1 tahun dapat dibagi menjadi:

- Neutropenia ringan : ANC antara 1000 – 1500 sel/μl

- Neutropenia sedang : ANC antara 500 – 1000 sel/μl

- Neutropenia berat : ANC kurang dari 500 sel/μl (Kelly, 2013)

Penurunan kadar hemoglobin akibat kemoterapi bersifat sementara. Penurunan kadar

hemoglobin terendah terjadi setelah pemberian kemoterapi pertama (fase induksi) dan setelah

pemberian MTX 1 g intravena ketiga (fase profilaksis). Penurunan kadar leukosit terutama

granulosit (ANC) dengan jumlah ANC kurang atau sama dengan 1000 mempunyai risiko untuk

terjadinya infeksi. Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh sel blast dalam sumsum

tulang atau metastasis tumor padat ke sumsum tulang. Dalam keadaan ragu pemeriksaan

sumsum tulang perlu dilakukan. Toksisitas kemoterapi pada hati dapat disebabkan oleh

pemberian MTX, cytosin arabinose, L-asparaginase, vinkristin. Pemantauan terhadap keadaan

ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan uji faal hati antara lain pemeriksaan kadar

SGOT/SGPT dan bilirubin. Ahli hematologi lain mengemukakan bahwa kadang-kadang hasil

pemeriksaan uji faal hati tidak seiring dengan derajat kerusakan jaringan hati. Kadar tertinggi

SGOT/SGPT terjadi setelah pemberian kemoterapi fase induksi ((Ariawati, , 2007).

5
2.3 Antibiotik profilaksis pada pasien anak yang mendapat kemoterapi fase induksi

Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan bagi pasien yang belum terkena

infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena

infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Pemberian antibiotik profilaksis pada

pasien neutropenia akibat efek samping kemoterapi fase induksi bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi akibat bakteri dan menurunkan angka kematian pasien neutropenia yang

diakibatkan oleh infeksi bakteri (Gafter-Gvili, 2012).

Beberapa studi sejak tahun 1980an telah mengevaluasi manfaat pemberian terapi agen

antibakterial profilaksis, dimana hasil menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya episode demam

dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik selama periode awal afebril. Antibiotik oral non

absorbable (polymisin, neomisin, trimethoprim sulfamethoxazole (TMP-SMZ) dan juga antibiotik

intravena (ceftriakson, vankomisin) telah lama dievaluasi. Pada awal studi trial, obat antibiotik

oral telah ditinggalkan dikarenakan toleransi yang rendah dan komplians pasien yang rendah.

Studi menunjukkan penggunaan TMP-SMZ menurunkan angka kejadian infeksi dibanding obat

plasebo akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal menurunkan

angka kematian.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat dibagi menjadi 5 kelompok besar :

a) Menghambat metabolisme sel mikroba

Contohnya antibiotik golongan trimethoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase

sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang

fungsional dan akhirnya mikroba tidak mendapat asupan asam folat yang cukup untuk

kelangsungan hidupnya.

6
b) Menghambat sintesis dinding sel mikroba

Contohnya antibiotik golongan penisilin, vankomisin. Dengan terhambatnya rangkaian

proses sintesis dinding sel bakteri menyebabkan kerusakan dinding sel kuman yang

berujung pada proses lisis dan hal ini merupakan dasar bakterisidal pada kuman yang

peka.

c) Mengganggu keutuhan membran sel mikroba

Contohnya golongan polimiksin.

d) Menghambat sintesis protein sel mikroba

Contohnya golongan aminoglikosid, makrolid, kloramfenikol. Aminoglikosid seperti

gentamisin, neomisin berikatan dengan komponen ribososm 3OS dan menyebabkan

kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein akibatnya

terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba.

e) Menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Contohnya rifampisin dan kuinolon. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase

pada kuman yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk

spiral sehingga bisa masuk ke dalam sel kuman yang kecil (Gunawan, 2008)

2.4 Jenis Antibiotik Profilaksis

Hampir semua uji klinis pada anak dengan AML menunjukkan komplikasi infeksi yang

cukup besar. Sebagai contoh, dari 901 pasien AML, sebanyak 63 anak (6,9%) meninggal

karena infeksi. Mayoritas infeksi disebabkan oleh bakteri gram positif (termasuk kelompok

Streptococcus viridans), isolat Gram negatif (Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella spp), dan

infeksi polimikrobial. Dalam sebuah penelitian terhadap 492 anak-anak dengan AML yang

terdaftar dalam protokol Children's Cancer Group (CCG) 2961, 39-50% dan 18-28% pasien

terinfeksi bakteri gram positif dan gram negatif, selama tiga fase terapi . Dari 58 pasien yang

7
meninggal akibat infeksi, sekitar 40% dikaitkan dengan infeksi bakteri, 15,5% akibat infeksi

Streptococcus viridans.

Tabel 2.1 Kuman penyebab infeksi tersering pasien yang medapat kemoterapi

Antibiotik profilaksis yang dapat diberikan pada pasien anak dengan leukemia yang

mendapat kemoterapi antara lain:

1. Kuinolon

Golongan ini dibagi 2: kuinolon dan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin,

levofloksasin). Golongan fluorokuinolon dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi berat

khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram negatif (E.coli, Klebsiella, Enterobacter,

Proteus, H.influenzae). Daya antibakterinya terhadap kuman Gram positif relatif lemah.

8
2. Trimetophrim-Sulfamethozaxole

Mikroba yang peka terhadap kombinasi antibiotik golongan ini : S.pneumoniae,

C.diphteriae, N.meningitis, S.aureus, Salmonella, Shigella.

3 Aminoglikosida

Aktivitas antibakteri terutama tertuju pada basil Gram negatif yang aerobic. Aktivitas

terhadap mikroorganisme anaerob atau bakteri fakultatif dalam kondisi anaerob rendah sekali

Contoh obat golongan ini: Gentamisin, Neomisin, Amikasin. (Gunawan, 2008).

Tabel 2.2 Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis pada pasien anak dengan leukemia yang
mendapat kemoterapi

Standard chemotherapy for solid tumors Bacterial: None.


(anticipated neutropenia <7 days) Fungal: None.
Viral: HSV seropositive or previous HSV infection:
acyclovir* 250 mg/m2 per dose IV every 8-12 h or
valacyclovir* 15-20 mg/kg per dose (maximum 500
mg/dose) PO every12 h. Continue for duration of
neutropenia.
Pneumocystis: None.

Acute lymphoblastic leukemia (ALL) High risk (current or expected prolonged severe
neutropenia [<100/mL {0.1 _ 109/L} for >7 days]):
Bacterial: Levofloxacin*
• >6 mo to £4 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 12 h
(maximum daily dose 500 mg).
• ‡5 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 24 h (maximum
daily dose 750 mg).
• Continue until ANC >200 /mL (0.2 _ 109/L) and rising
following nadir.
• Levofloxacin should be discontinued if patient requires
broad-spectrum antimicrobials for fever/neutropenia.
Fungal:
• Fluconazole 6 mg/kg (maximum 400 mg) IV/PO every
24 h. All ALL patients:
Viral:
• HSV seropositive or previous HSV infection: acyclovir*
250 mg/m2 per dose IV every 8-12 h or
valacyclovir* 15-20 mg/kg per dose (maximum 500
mg/dose) PO every 12 h.
• VZV: Postexposure prophylaxis with VZIG or acyclovir
500 mg/m2 per dose IV every 8 h*. Ensure family is
immunized.
• Influenza: Children and household members older than
6 mo should receive trivalent inactivated
influenza vaccine. If close contact to individual is known
to have influenza, provide postexposure
chemoprophylaxis with oseltamivir* for no more than 10
days.

9
• RSV: Infants (November-March): palivizumab 15
mg/kg per dose IM once monthly
• Hepatitis B infection: Age-dependent treatment
regimen. Contact pediatric infectious diseases or
gastroenterology specialist.
Pneumocystis:
• Trimethoprim-sulfamethoxazole*# at a dose of
trimethoprim 5 mg/kg per day divided BID 2-3
consecutive days per week.x
• Initiate after completion of induction and continue until
3-6 months after therapy completion.
Parasitic:
• If patient has lived or travelled to an endemic region
(tropics, Southeast Asia), obtain serology to rule out
Strongyloides PRIOR to initiating chemotherapy.
• Measure Toxoplasma gondii IgG to determine latent
infection. Treat with trimethoprimsulfamethoxazole
if positive (should be administered already to prevent
PCP).
Mycobacterial:
• If patient has risk factor for Mycobacterium tuberculosis
exposure, before initiating chemotherapy, place
PPD in children <5 y and perform IGRA in children ‡5 y.
If positive, obtain pediatric infectious disease or
pulmonology consultation.
Clostridium difficile
• Patients with prior C difficile infection should be offered
oral vancomycin 10 mg/kg (maximum 125 mg)
every 12 h when placed on antibiotics.
IgG levels may be monitored throughout treatment. If
IgG values are less than normal for age, IVIg at 400
mg/kg may be administered.

Acute Myeloid Leukemia Bacterial: Levofloxacin*


• >6 mo to £4 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 12
h (maximum daily dose 500 mg).
• ‡5 y: 10 mg/kg per dose IV/PO every 24 h
(maximum daily dose 750 mg).
• Continue until ANC >200 /mL (0.2 _ 109/L) and
rising following nadir or day 60 if ANC >200/mL
(0.2 _
109/L) is not reached.
• Levofloxacin should be discontinued if patient
requires broad-spectrum antimicrobials for
fever/neutropenia.
Fungal:
• Fluconazole 6 mg/kg (maximum 400 mg) IV/PO
every 24 h.
Viral:
• HSV seropositive or prior HSV infection:
acyclovir* 250 mg/m2 per dose IV every 8-12 h or
valacyclovir*
15-20 mg/kg per dose (maximum 500 mg/dose) PO
every 12 h.

10
• VZV: Postexposure prophylaxis with VZIG or
acyclovir*. Ensure family is immunized.
• Influenza: Children and household members older
than 6 mo should receive trivalent inactivated
influenza vaccine. If close contact to individual is
known to have influenza, provide postexposure
chemoprophylaxis with oseltamivir* for no more
than 10 days.
• RSV: Infants (November-March): palivizumab 15
mg/kg per dose IM once monthly.
• Hepatitis B infection: Age-dependent treatment
regimen. Contact pediatric infectious diseases or
gastroenterology specialist.
Pneumocystis:
• Trimethoprim-sulfamethoxazole*# at a dose of
trimethoprim 5mg/kg per day divided BID 3
consecutive days per week.x
• Initiate with induction and continue until 3-6 mo
after therapy completion.
Parasitic:
• If patient has lived or travelled to an endemic
region (tropics, Southeast Asia), obtain serology to
rule out
Strongyloides PRIOR to initiating chemotherapy.
• Measure T gondii IgG to determine latent
infection. Treatment with trimethoprim
sulfamethoxazole if positive (should be given
already to prevent PCP).
Mycobacterial:
• If patient has risk factor for M tuberculosis
exposure, prior to initiating chemotherapy, place
PPD in
children <5 y and perform IGRA in children ‡5 y. If
positive, obtain pediatric infectious diseases or
pulmonology consultation.
Clostridium difficile
• Patients with prior C difficile infection should be
offered oral vancomycin 10 mg/kg (maximum 125
mg)
every 12 h when receiving antibiotics.
In children with Down syndrome (trisomy 21): IgG
levels should be monitored throughout treatment. If
IgG values are less than normal for age, IVIg at
400 mg/kg per dose may be administered.

Sumber: Fisher, 2017

11
2.5 Dosis dan Lama Pemberian Antibiotik Profilaksis

Umumnya dosis antibiotik yang dibutuhkan untuk profilaksis sama dengan dosis terapi.

Dosis tunggal antibiotik pada konsentrasi terapi cukup untuk profilaksis pada hampir semua

kondisi dan penambahan dosis dapat diberikan.

Lama pemberian antibiotik profilaksis yaitu diberikan sampai dengan pulihnya absolute

netrophyl count (ANC). Penelitian yang dilakukan oleh Ting-Chi Yeh et al, pemberian antibiotik

profilaksis diberikan selama kemoterapi fase induksi pada anak-anak dengan AML dan ALL

dengan antibiotik ciprofloxacin (dengan dosis 300 mg/ m2/ 12jam) sampai dengan 7 hari bebas

netropenia. Pengobatan profilaksis dihentikan sampai terjadi recovery dari ANC. (Ting-Chi Yeh,

2014).

Penelitian lain oleh Hiroto Inaba et al antibiotik profilaksis diberikan pada pasien rawat

jalan setelah terapi mielosupresif dengan kriteria pasien ANC awal <500, tidak ada demam.

Profilaksis dihentikan ketika ANC >1000. Antibiotik yang diberikan adalah golongan sefalosforin,

cefepime dan ciprofloxacin (Hiroto Inaba et al, 2014).

2.6 Peran Antibiotik Profilaksis Pada Anak Dengan Leukemia yang Mendapat

Kemoterapi Fase Induksi

Penyelidikan penggunaan antibiotik profilaksis pada anak-anak terbatas pada saat ini.

Studi awal trimethoprim sulfamethoxazole, eritromisin, dan amoxicillin clavulanate gagal

menunjukkan manfaat yang signifikan dan terhambat oleh kondisi pasien yang buruk dan

kesulitan dengan kepatuhan pasien. Sebuah studi baru pemberian profilaksis ciprofloxacin pada

pasien anak yang mendapat kemoterapi fase induksi menunjukkan penurunan yang signifikan

pada jumlah hari rawat inap, lama perawatan intensif dan bakteremia dibandingkan dengan

kontrol.

Sampai saat ini data untuk mendukung penggunaan rutin profilaksis sesuai dengan

organisme patogen khusus masih tetap kurang. Studi retrospektif tunggal kecil pasien anak-

12
anak dengan AML yang mendapatkan antibiotik profilaksis dengan cefixime atau kombinasi

vankomisin dan ciprofloxacin oral atau sefalosporin, dibandingkan dengan kelompok kontrol

menggambarkan penurunan angka kejadian sepsis yang signifikan. Selain itu juga terjadi

penurunan morbiditas dari semua infeksi bakteri dan lama hari perawatan di rumah sakit.

Penggunaan penisilin oral untuk pencegahan bakteremia Streptococcal juga telah digunakan

pada minoritas pasien pada penelitian AML, namun bukti keberhasilan strategi ini dalam

kelompok pasien ini tidak tersedia.

Sebuah studi Onkologi pada kelompok anak baru-baru ini mengevaluasi pemberian

kemoterapi intensif pada anak-anak dengan kasus relaps, didapatkan hasil kejadian infeksi

yang terdiagnosis secara mikrobiologi adalah 79,4% per blok terapi. Ada 5 kematian pada 124

pasien (4%), yang kesemuanya dikaitkan dengan sepsis akibat infeksi bakteri. Studi

penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien onkologi dewasa dengan netropenia yang

dilakukan selama 30 tahun terakhir secara konsisten menunjukkan kemajuan dalam

mengurangi kejadian demam dan infeksi bakteri yang terdiagnosis secara mikrobiologis, namun

secara individual penelitian tersebut gagal menunjukkan efek pada kelangsungan hidup secara

keseluruhan. Dua penelitian prospektif besar, double blind, acak, terkontrol plasebo terhadap

2.325 pasien onkologi dewasa yang menerima kemoterapi yang bersifat mielosupresif

menunjukkan bahwa profilaksis levofloksasin menurunkan kejadian demam, kemungkinan

infeksi dan rawat inap namun tidak menunjukkan dampak pada mortalitas (Fisher, 2017).

Sebuah penelitian meta-analisis tahun 2005 terhadap 95 uji coba profilaksis acak

terkontrol untuk pasien onkologi neutropeni afebris menunjukkan penurunan risiko kematian

secara bermakna pada pasien yang menerima profilaksis.Manfaatnya paling penting dalam

penelitian tersebut menggunakan profilaksis fluorokuinolon dapat menurunkan mortalitas total,

mortalitas terkait infeksi, demam, dan memperbaiki kondisi klinis dan mikrobiologis.

Laoprasopwattana dkk pada tahun 2013 melakukan penelitian randomized controlled

trial yang membandingkan pemberian profilaksis siprofloksasin dibanding plasebo pada pasien

13
anak dengan leukemia akut. Subyek penelitian mencakup 95 pasien anak berusia 18 tahun

dengan leukemia limfoblastik akut atau limfoma yang telah terjadwal untuk menjalani

kemoterapi dimana kemudian masing-masing pasien diacak untuk mendapatkan terapi

siprofloksasin per oral 20mg /kgbb /hari atau plasebo di awal fase kemoterapi. Evaluasi kultur

dari swab feses diambil beberapa kali yakni sebelum intervensi dan satu atau dua minggu

setelah intervensi dimulai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 71 pasien yang mengalami

neutropenia, proporsi anak yang berkembang menjadi demam neutropenia pada kelompok

siprofloksasin signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok plasebo (50% vs

73%, CI 95%, p= 0,046). Penelitian ini juga menyebutkan bahwa pada kedua kelompok

intervensi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari segi efek samping yang ditimbulkan.

Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, tingginya insiden kematian terkait

tindakan pengobatan dan rendahnya angka remisi masih sering dijumpai. Hal ini dapat

disebabkan beberapa hal seperti maraknya kemiskinan, kondisi malnutrisi, klinis pasien yang

buruk serta sulitnya akses terhadap terapi suportif di negara berpendapatan menengah ke

bawah jika dibandingkan dengan negara maju. Penelitian di RS dr.Sardjito Jogjakarta yang

dilakukan oleh Widjajanto pada tahun 2013 bertujuan utuk menilai efek pemberian monoterapi

siprofloksasin sebagai profilaksis terjadinya kejadian sepsis dan kematian selama menjalani

terapi induksi dari protokol ALL anak yang diterapkan di Indonesia. Pemberian profilaksis

dilakukan secara acak pada 110 pasien anak dengan ALL, dimana dari awal pelaksanaan

kemoterapi setiap anak mendapatkan tablet oral yang diminum dua kali sehari. Pembagian

dosis disesuaikan dengan berat badan pasien. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kelompok

siprofloksasin menunjukkan angka kegagalan pada fase induksi yang lebih besar dibandingkan

dengan kelompok yang mendapat plasebo (31% vs 25%, 95% CI, p=0,48), meningkatnya

angka kejadian demam (50% vs 32,7%. 95% CI, p=0,07), kejadian sepsis (50% vs 38,5%, 95%

14
CI, p=0,22) dan angka kematian terkait terapi (18,9% vs 5,8%, 95% CI, p=005) (Gvili et al.,

2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulis et al antara tahun 2012 sampai

dengan 2015, terhadap 230 pasien ALL yang baru terdiagnosis (usia 1-21) dan mendapatkan

kemoterapi fase induksi, pada pasien ALL tanpa demam (afebrile) diberikan antibiotik profilaksis

golongan fluoroquinolone (levofloxacin atau moxifloxacin), terbukti dapat menurunkan kejadian

bakteremia selama kemoterapi fase induksi (Sulis et al, 2018).

2.7 Efek samping pemberian antibiotik profilaksis pada pasien anak yang mendapat

kemoterapi

Yang menjadi perhatian utama dalam hal pemberian profilaksis antimikroba pada pasien

yang mendapat kemoterapi adalah kemungkinan untuk berkembangnya bakteri patogen yang

resisten, sehingga menyebabkan pasien lebih berisiko terhadap infeksi bakteri yang resisten.

Perubahan dari kondisi non-kolonisasi ke kolonisasi dengan organisme resisten pada satu

pasien dimungkinkan melalui sejumlah mekanisme, yaitu: pemilihan antibiotik yang tidak tepat

dimana bakteri tersebut telah resisten sebelumnya; transmisi patogen pasien-ke-pasien; atau

oleh bakteri yang sebelumnya rentan.

Schimpff dkk. menunjukkan bahwa dari 43 episode bakteriemia pada pasien dengan

leukemia akut, 39 di antaranya sebelumnya telah dilakukan kultur dari berbagai lokasi

menghasilkan organisme penyebab yang sama. Tancrede dan Andremont memiliki hasil yang

sama, hal ini menunjukkan kolonisasi tinja mendahului bakteriemia dengan Enterobacteraciae

yang sama pada 31/38 kasus dan 13/16 pasien dengan bakteri P. aeruginosa. Hal ini

menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan frekuensi kolonisasi dengan organisme yang

resisten, maka akan terjadi peningkatan frekuensi infeksi invasif dari organisme yang sama

((Ganti, 2016)..

15
Hasil dari studi orang dewasa tentang dampak profilaksis fluoroquinolone pada profil

resistensi bakteri patogen dari kultur steril pada pasien onkologi dan HCT telah menghasilkan

hasil yang bertentangan. Seperti yang bisa diduga, beberapa pusat onkologi yang

menggunakan profilaksis levofloxacin memiliki peningkatan yang dapat diukur dalam

mendeteksi patogen yang relevan secara klinis, namun ada juga yang menyarankan bahwa

profilaksis fluoroquinolone terus memberikan manfaat meskipun terjadi peningkatan resistensi

terhadap antimikroba (Ganti, 2016).

16

Das könnte Ihnen auch gefallen