Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
KEJADIAN PENYAKIT DISTEMPER DAN PARVO PADA
ANJING MELALUI PENDEKATAN KLINIS, STUDI DI
RUMAH SAKIT HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MUDITA NATANIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kejadian Penyakit
Distemper dan Parvo pada Anjing melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah
Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Mudita Natania
B04080099
ABSTRACT
MUDITA NATANIA. Dog’s Distemper and Parvo Diseases through Clinical
Approachment, Study at Animal Hospital of Bogor Agricultural University.
Under direction of ABDULGANI AMRI SIREGAR and RETNO WULANSARI.
Dog’s viral diseases, such as Distemper and Parvo have a high morbidity and
mortality rate. There is no cure, the treatment is only based on the clinical signs
which veterinarian could see. Vaccination is the only way to prevent these viral
diseases. Based on Animal Hospital Bogor Agricultural University’s data, in
Parvo case, pure breed dogs have a higher incidence rate than local and mix
breed dogs. Then the age of infected dogs under 1 year with the highest incidence
rate at age 3-6 months, whereas the male gender has a higher incidence rate than
female. For the case of Distemper, mix breed dogs have a higher incidence rate
compared with pure breed dogs. Age of Distemper infected dogs are varied
between 2 months to 1 year and there is no gender specific has the higher-level
events.
Study which is conducted at Animal Hospital Bogor Agricultural University to
obtain secondary data of the Distemper and Parvo suspects, as comparison to
another secondary data of Bogor’s climate. Changes of rainfall amount as one of
weather elements can indirectly affect the incidence of disease Parvo and
Distemper, but has no specific pattern. This is seen in both Parvo and Distemper
cases, but the number of Parvo cases more than Distemper because CPV is more
resistant due to the environment and easily mutate.
Keyword: Canine Parvovirus, Canine Distemper Virus, rainfall
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEJADIAN PENYAKIT DISTEMPER DAN PARVO PADA
ANJING MELALUI PENDEKATAN KLINIS, STUDI DI
RUMAH SAKIT HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MUDITA NATANIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kejadian Penyakit Distemper dan Parvo pada Anjing Melalui
Pendekatan Klinis, Studi di Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian
Bogor
Nama : Mudita Natania
NRP : B04080099
Program Studi : Kedokteran Hewan
Disetujui,
drh. H. Abdul Gani A. S., M.Si Dr. drh. Retno Wulansari, MS
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui,
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah
ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Kejadian Penyakit
Distemper dan Parvo pada Anjing melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah
Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor. Anjing tidak hanya dianggap sebagai
hewan peliharaan, namun sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu, kesehatan
anjing menjadi prioritas utama pemiliknya. Penyakit Distemper dan Parvo
memiliki tingkat mortalitas yang tinggi pada anjing sehingga perlu diketahui lebih
banyak akan kejadian penyakit viral tersebut beserta keterkaitannya dengan
keadaan cuaca. Skripsi ini juga ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk meraih
gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Orang tua penulis, drh. Porindra Henrata Arief dan drh. Wiana Teravani atas
cinta kasih, doa, dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini,
khususnya selama proses penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapakan kepada kakak tersayang, Irma Nirmala, SE. dan Khema Vimala,
SE., atas dukungan moril dan materilnya yang senantiasa diberikan.
2. Drh. H. Abdulgani Amri Siregar, MS. dan Dr. drh. Retno Wulansari, MS.
selaku dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan, arahan, ilmu yang
diberikan kepada penulis serta selalu menyediakan waktu bagi penulis
selama proses penulisan skripsi ini.
3. Drh. Mokhamad Fahrudin, Ph.D selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik, masukan, dan ilmu untuk menyempurnakan penulisan
skripsi ini.
4. Pihak Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor dan Stasiun Klimatologi
Baranangsiang Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB atas
kesediaannya memberikan data sekunder untuk penulisan skripsi ini.
5. Sahabat selama di FKH IPB, M. Suryaputra, Dama Ayu Rani, Alvi Nur
Mayliana, Fatma Dewi P., Yayuk Sri P., dan Bachtiari Hary P., atas
persahabatan selama berjuang bersama meraih cita-cita di FKH.
6. Teman-teman Keluara Cemara, Shanty Nathalia M, SE., Kristian Edo
Zulfamy, Fahrul Irianto, Inessya Feronica, S.Pt., Susi Handayani, S.Kom.,
Hafiz Furqonul A, S.KH., Misran, S.TP., Virza M, S.TP., Ivan Taufik, Ivan
Daniel, Ryanda Rahmat, dan Anggi Maniur Hutasoit, S.Si. atas semangat
dan canda yang diberikan kepada penulis.
7. Teman bermain, Wisnu Febry P, Anang Fachri A, Hendra Gustra, Adi
Suseno, I. Adly, Irwan dan Dian atas canda tawa dan kebersamaan yang
diberikan kepada penulis.
8. Lunie Isamulia, ST., Kezia Miliani P, Bsc Acc Fin., Jane Santoso, B.SN dan
Julia atas kebersamaannya sejak sekolah dasar sampai sekarang.
9. Teman-teman Avenzoar 45 atas kebersamaannya selama berada di FKH 45.
10. Setiap pihak yang turut membantu penulis dalam proses penulisan skripsi
dan selama masa perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2012
Mudita Natania
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Mudita Natania, dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 15 Desember 1989. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari
pasangan drh. Porindra Henrata Arief dan drh. Wiana Teravani. Penulis memulai
pendidikan formal di SD Kristen IV BPK Penabur Jakarta pada tahun 1996,
kemudian dilanjutkan di SMP Kristen V BPK Penabur Jakarta pada tahun 2002.
Pendidikan SMA penulis diselesaikan di SMA Kristen III BPK Penabur
Jakarta dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian
Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut
Pertanian Bogor. Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa
Panahan IPB, Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa
Akuatik FKH IPB, dan Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB Departemen
Komunikasi dan Informasi Kabinet Katalis dan Kabinet Adrenaline.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………...……….................... xii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv
PENDAHULUAN ……………………………………………………............... 1
Latar Belakang …………………………………...……………................. 1
Tujuan ……………………………………………...………….................. 3
Manfaat …………………………………………………………............... 3
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………................. 4
Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor .............................................4
Virus ............................................................................................................4
Canine Distemper Virus (CDV) .................................................................. 5
Etiologi ............................................................................................... 5
Patogenesa .......................................................................................... 7
Gejala Klinis dan Diagnosa ................................................................ 7
Perubahan Patologis ............................................................................ 9
Terapi dan Pencegahan ....................................................................... 11
Canine Parvovirus (CPV) ............................................................................ 11
Etiologi ............................................................................................... 11
Patogenesa .......................................................................................... 12
Gejala Klinis dan Diagnosa ................................................................ 13
Perubahan Patologis ............................................................................ 15
Terapi dan Pencegahan ....................................................................... 16
Cuaca ..........................................................................................................17
BAHAN DAN METODE …………………………………...... ……................. 18
Waktu dan Tempat .......................................................................................18
Metode ..........................................................................................................18
x
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………......... …......... 19
Kasus Distemper ...........................................................................................20
Kasus Parvo ..................................................................................................22
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………......... ……....... 26
Simpulan ......................................................................................................26
Saran ............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................27
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah Kejadian Kasus Parvo dan Distemper serta Curah Hujan selama
Juli 2009 hingga Juni 2011 .......................................................................19
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur Virion dari Morbilivirus …………...........................................6
2 Canine Distemper Virus ………………..................................................6
3 Ulas Darah Badan Inklusi CDV ……...................................................9
4 Pneumonia akibat Infeksi CDV .............................................................10
5 Histopatologi Badan Inklusi CDV pada Organ ....................................10
6 Canine Parvovirus .................................................................................12
7 Patologi Anatomi CPV ………………………………......................... 15
8 Histopatologi Organ akibat CPV ...........................................................16
9 Diagram Ras Anjing yang Terinfeksi CDV ..........................................20
10 Diagram Umur Anjing yang Terinfeksi CDV ......................................21
11 Diagram Jenis Kelamin Anjing yang Terinfeksi CDV .........................21
12 Grafik Kejadian Kasus Distemper dan Curah Hujan ............................22
13 Diagram Ras Anjing yang Terinfeksi CPV ..........................................23
14 Diagram Umur Anjing yang Terinfeksi CPV .......................................23
15 Diagram Jenis Kelamin Anjing yang Terinfeksi CPV .........................24
16 Grafik Kejadian Kasus Parvo dan Curah Hujan ………….................. 24
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data Pasien Suspect Distemper dan Parvo RSH-IPB
..................................................................................................................... 31
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gaya hidup masyarakat yang semakin modern dan individualis membuat
manusia mencari “teman” yang dapat disayangi dan menemaninya, maka dari itu
memelihara hewan dapat dikatakan sebagai trend terutama masyarakat perkotaan.
Survey pada tahun 2008 di Amerika memperoleh hasil bahwa 45 juta keluarga yang
memelihara anjing, sehingga anjing menepati posisi kedua hewan peliharaan di dunia.
Menurut data kepemilikan anjing pada tahun 2006, menunjukkan bahwa 171 juta
anjing dipelihara di seluruh dunia. Anjing sebagai “teman”, penjaga, pekerja, dan
dapat membantu walaupun dapat menjadi sumber alergi (Hayes 2010).
Menurut Anderson et al. (1992) dan Serpell (1991), pemilik hewan peliharaan
memiliki tingkat resiko yang lebih rendah mengalami penyakit jantung koroner serta
gangguan fisik yang bersifat minor (batuk, pusing, dan demam) dibandingkan yang
tidak memiliki hewan (Wells 2011). Selain keuntungan fisik yang dapat diperoleh
pemilik hewan, keberadaan hewan peliharaan juga dapat membuat pemilik terhindar
dari stress. Hewan peliharaan yang sudah termasuk kedalam anggota keluarga
tersebut kesehatannya menjadi perhatian utama keluarga. Maka dari itu, profesi
dokter hewan sangat dibutuhkan.
Klinik dokter hewan dan Rumah Sakit Hewan (RSH) menjadi tujuan dari
pemilik untuk menangani dan memperoleh pengetahuan akan penyakit yang diderita
peliharaan tersebut. Salah satu RSH yang terdapat di Bogor adalah Rumah Sakit
Hewan Institut Pertanian Bogor yang merupakan salah satu Unit Penunjang
Akademik. RSH-IPB ini didirikan pada tanggal 9 Mei 2000. Secara struktural berada
langsung dibawah Rektor IPB. Fungsi dari RSH-IPB adalah menunjang pendidikan
kedokteran hewan, serta memberikan pelayanan kesehatan kepada hewan selaku
pasien, masyarakat pemilik hewan, dan lingkungan. RSH-IPB terdiri dari RSH
Darmaga dan Klinik Hewan Taman Kencana (RSH-IPB 2000).
2
Penentuan diagnosa dilakukan melalui sinyalemen, anamnesa, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan ditambah dengan uji laboratorium bila diperlukan.
Pemeriksaan penyakit viral dapat didiagnosa melalui gejala penyakit yang khas,
namun terkadang diperlukan uji laboratorium baik darah maupun rapid test kit yang
spesifik menguji penyakit tertentu. Banyak pemilik yang sudah mengerti perlunya
dilakukan vaksinasi dalam pemeliharaan hewannya, namun sebagian kecil masih
tidak menghiraukan pentingnya vaksinasi tersebut. Pentingnya vaksinasi salah
satunya adalah mencegah infeksi virus karena belum ditemukan obat yang benar-
benar menyembuhkan.
Derajat keparahan penyakit viral dan jaringan yang terinfeksi virus sangat
bervariasi tergantung jenis virus yang menginfeksi dan imunitas tubuh inang. Contoh
penyakit viral dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi pada anjing adalah
distemper dan parvo. Distemper disebabkan oleh Canine Distemper Virus (CDV)
yang menyerang saluran respirasi, pencernaan, dan urogenital. Canine Distemper
Virus bereplikasi pada saluran tersebut 60-90 hari pasca infeksi. Replikasi virus dapat
terjadi pada organ limfoid dan sistem saraf pusat (Nelson & Couto 1998). Kejadian
penyakit ini jarang ditemukan di Bogor, namun dapat terjadi pada bulan tertentu.
Penyakit lainnya adalah parvo, ada dua tipe dari Parvovirus yang menginfeksi
anjing, yaitu Canine Parvovirus-1 (CPV-1) dan Canine Parvovirus-2 (CPV-2).
Canine Parvovirus-1 dikenal sebagai “minute virus of canine”, yang bersifat
nonpatogen namun terkadang dapat menyebabkan penyakit pada anak anjing. Canine
Parvovirus-2 adalah virus yang menyebabkan parvoviral enteritis umum yang muncul
5-12 hari pasca infeksi via anal-oral (Nelson & Couto 1998). Dibandingkan dengan
penyakit Distemper, penyakit ini lebih sering terjadi di sepanjang tahun namun juga
pada beberapa bulan tertentu.
Menurut Forman et al. (2008), kesehatan hewan dapat dipengaruhi oleh
keadaan iklim melalui empat cara, yaitu penyakit yang berhubungan dengan panas
dan stress, keadaan cuaca yang ekstrem, adaptasi sistem produksi hewan terhadap
lingkungan yang baru, dan munculnya atau muncul kembalinya penyakit infeksius.
Iklim dinyatakan sebagai rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup
3
lama (Sudrajat 2009). Menurut Lakitan dalam Sudrajat 2009, hujan merupakan unsur
fisik lingkungan yang paling beragam sesuai waktu dan tempat sehingga klasifikasi
iklim untuk wilayah Indonesia dikembangkan dengan menggunakan curah hujan
sebagai kriteria utama.
1.2 Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kejadian penyakit yang disebabkan oleh
virus Distemper dan Parvo pada anjing selama tahun 2009 hingga 2011 yang
dikaitkan dengan cuaca pada saat terjadinya.
1.3 Manfaat penelitian
Melalui hasil studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai
korelasi keadaan cuaca dengan kejadian penyakit viral. Informasi ini akan berguna
sebagai landasan untuk studi serupa dengan penyakit viral lainnya maupun unsur lain
dari keadaan iklim.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor
Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) didirikan pada
tanggal 9 Mei 2000 berdasarkan SK Rektor IPB No. 052/K13.12.1/KP/2000 yang
dikelola oleh Tim Manajemen Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH-IPB. Secara
operasional diresmikan oleh Presiden RI Abdurahman Wahid pada tanggal 11
Oktober 2000. Tugas dari RSH-IPB adalah menunjang pendidikan kedokteran hewan,
serta memberikan pelayanan kesehatan kepada hewan selaku pasien, masyarakat
pemilik hewan, dan lingkungan (RSH-IPB 2000).
Visi dari RSH-IPB adalah menjadi Rumah Sakit Hewan rujukan spesialis
terpilih di Indonesia. Misi RSH-IPB adalah menunjang pendidikan kedokteran hewan
dan menyiapkan pendidikan dokter hewan spesialis bersamaan dengan pemberian
pelayanan kesehatan kepada hewan selaku pasien dan masyarakat pemilik hewan.
2.2 Virus
Virus bukan sel dan bukan mikroorganisme karena tidak memiliki organel
fungsional dan bergantung sepenuhnya pada inang untuk memproduksi energi dan
sintesis makromolekulnya. Virus hanya memiliki satu tipe asam nukleat fungsional
antara DNA atau RNA, tidak pernah keduanya, dan dibedakan dari mikroorganisme
lain karena memiliki dua fase yang sangat berbeda selama siklus hidupnya. Fase
hidup virus di luar sel inang merupakan fase untuk ditransmisikan dan virus tidak
melakukan metabolisme. Di dalam sel inang, merupakan fase untuk bermetabolisme
aktif dan membentuk bagian-bagian virus tersebut (Murphy et al. 1999).
Tujuan virus hidup bukan untuk menyebabkan penyakit pada manusia, hewan,
tumbuhan ataupun organisme lain, namun virus terseleksi oleh alam untuk
meningkatkan virulensi yang merupakan proses dimana ekologi dan evolusi biologis
memainkan peranan penting sehingga kemunculan virus dan penyakitnya tidak
terlepas dari dinamika ini. Selama 50 tahun belakangan ini dalam penelitian virus
5
memperjelas banyak rincian infeksi virus mengenai biologi sel dan molekulnya,
imunologi, morfogenesis virus, dan topik lainnya. Penyebab dan proses munculnya
penyakit viral perlu dipelajari secara genetis dan ekologis dimana beberapa faktor
berhubungan dengan ekologi dan evolusi biologis dari agen patogen, inang, dan
hubungan antara patogen dengan inang yang tidak dapat dihindarkan (Lunet 2012).
Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi infektivitas virus karena mempengaruhi
protein permukaan yang akan terdenaturasi dalam waktu beberapa menit pada suhu
55 hingga 60oC. Denaturasi ini mengakibatkan virion tidak mampu melakukan
penempelan pada sel, penetrasi, dan/atau uncoating (Murphy et al. 1999).
Banyak penyakit yang disebabkan oleh virus pada anjing, diantaranya adalah
Parvo dan Distemper. Salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit viral, diantaranya
dengan melakukan pemeriksaan terbentuk atau tidaknya badan inklusi virus tersebut.
Badan inklusi merupakan akumulasi dari komponen struktur viral (Sharma &
Adlakha 2009). Menurut Murphy et al. (1999), badan inklusi virus yang terbentuk
pada sel yang terinfeksi terdapat secara intrasitoplasma seperti penyakit Rabies dan
Pox, serta intranuklear seperti penyakit Herpes dan Parvo. Beberapa virus seperti
Canine Distemper Virus dan Porcine cytomegalovirus, membentuk baik badan inklusi
intranuklear maupun intrasitoplasmik pada sel yang sama. Pencegahan yang
dilakukan hanya pemberian vaksin secara berkelanjutan, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya infeksi.
2.3 Canine Distemper Virus (CDV)
2.3.1 Etiologi
Pada tahun 1809, Edward Jenner adalah orang pertama yang menjelaskan
penyebab dan gejala klinis dari CDV namun etiologi virus didemonstrasikan oleh
Carré (MacLachlan & Edward 2011). Henri Carré dianggap sebagai penemu Canine
Distemper Virus pada tahun 1905 (Murphy 2008). Pada tahun 1988, virus yang
berbeda namun mirip dengan CDV, yaitu Phocine Distemper Virus (PDV), diisolasi
dari sejumlah besar anjing laut yang mati di sepanjang pantai utara Eropa dan
6
menunjukkan gejala klinis yang serupa dengan distemper pada anjing (Mahy & Marc
2010).
Taksonomi CDV berdasarkan International Committee on Taxonomy of
Viruses (ICTV) pada tahun 2009 adalah
Ordo : Mononegavirales
Famili : Paramyxoviridae
Subfamili : Paramyxovirinae
Genus : Morbilivirus
Spesies : Canine distemper virus
Diameter dari virionnya adalah 150-350 nm dan memiliki nukleokapsid yang
dikelilingi oleh amplop dari lipid. Virion sangat sensitif terhadap dehidrasi, panas,
deterjen, pelarut lemak, formaldehida, dan agen oksidasi (Mahy & Marc 2010).
Gambar 1 Struktur virion dari Morbilivirus (Mahy & Marc 2010).
Gambar 2 Canine Distemper Virus (Auburn University 2009).
7
Strain CDV tertentu sangat virulen dan neurotropik, seperti “Snyder Hill”
strain yang menyebabkan polioencephalomyelitis dan strain A75/17 dan R252 yang
menyebabkan demyelinasi sistem saraf pusat (Côté 2011). Virus ini menyerang
hewan yang termasuk famili Canidae (anjing, dingo, serigala, rubah), Mustelidae
(musang, cerpelai, sigung, berang-berang), Procyonidae (rakun, panda), beberapa
Viveridae (binturong), sejumlah besar Felidae (singa, macan, cheetah), dan Tayassu
tajacu (MacLachlan & Edward 2011).
2.3.2 Patogenesa
Penyakit ini mudah menyebar selama masa infeksi terutama melalui rute
aerosol, namun tidak zoonosis (Côté 2011). Saluran respirasi adalah saluran utama
tempat masuknya virus dan juga menginfeksi via saluran pencernaan melalui
kontaminasi pakan dan air. Eksudat dari hidung mengandung virus dapat menyebar di
udara melalui bersin, lalu virus tersebut masuk ke dalam saluran hidung anjing lain
yang dapat diinfeksi untuk bereplikasi serta menyebar di dalam tubuh (Legendre
2005). Anjing yang umumnya terinfeksi adalah anjing yang tidak divaksinasi, tidak
memperoleh kolostrum dari induk yang sudah memiliki imunitas, pemberian
vaksinasi yang tidak tepat, imunosuppresi, dan sejarah interaksi dengan hewan yang
terinfeksi (Nelson & Couto 1998).
Anjing dengan umur 3 sampai 6 bulan yang paling umum terinfeksi, anjing
mengalami demam seminggu pasca infeksi virus namun biasanya tidak teramati. Dua
minggu pasca infeksi, virus menyebabkan kerusakan ringan pada sel-sel saluran
pernapasan, mata, paru-paru, dan saluran pencernaan (Legendre 2005). Virus
bereplikasi pada makrofag epitel saluran pernapasan atas lalu terbawa melalui
jaringan limfatik lokal menuju limfonodus pada tonsil, retrofaringeal, dan bronchial
(Côté 2011). Cell-associated viremia berakibat infeksi pada seluruh jaringan limfatik
yang disertai dengan infeksi pada saluran respirasi, pencernaan, epitel urogenitalia,
sistem saraf pusat, dan saraf mata. Penyakit menyebar seiring dengan replikasi virus
pada jaringan. Derajat keparahan viremia dan menyebarnya virus ke jaringan lainnya
8
tergantung pada tingkat imunitas tubuh yang spesifik selama periode infeksi (Kahn
2005).
2.3.3 Gejala Klinis dan Diagnosa
Gejala umum yang teramati oleh pemilik antara lain depresi, kelemahan,
eksudat dari mata dan hidung, batuk, muntah, atau diare, namun pada infeksi yang
sudah parah dapat teramati gangguan saraf seperti kejang atau ataksia (Côté 2011).
Gejala tersebut merupakan infeksi kombinasi antara virus dan bakteri. Virus
distemper yang bersifat subklinis dan dalam jangka waktu yang lama juga dapat
menginfeksi kulit, sehingga telapak kaki anjing menjadi keras dan menebal, dan
disebut sebagai penyakit “hard pad”. Selain itu, virus juga menyerang sistem
kekebalan tubuh sehingga merusak kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
(Legendre 2005).
Temuan pemeriksaan fisik dapat berupa suara napas yang keras saat dilakukan
auskultasi, kaheksia, dehidrasi, dan peradangan pada mata (anterior uveitis, optik
neuritis, degenerasi retina, atau keratokonjungtivitis) jika infeksi CDV bersifat
sistemik (Côté 2011). Setengah dari total anjing yang terinfeksi CDV mengalami
kerusakan saraf karena CDV tertarik dan bereplikasi cepat pada jaringan saraf
(Legendre 2005). Kerusakan pada saraf mengakibatkan kejang yang disebut sebagai
“chewing-gum” seizures karena membuka dan menutup mulut dengan keras secara
berulang-ulang. Gejala lain yang menunjukkan infeksi CDV adalah mioklonus
kepala, leher, atau tungkai (Côté 2011). Mioklonus adalah kontraksi ritmik yang
sangat kuat pada otot rangka (Widodo et al. 2011). Kerusakan pada sumsum tulang
dapat mengakibatkan kelemahan dan paralisis, namun kerusakan pada saraf juga
dapat menyebabkan gerakan tidak terkoordinasi dari kaki (Legendre 2005). Pada
anjing yang pulih dari infeksi CDV dimungkinkan mengalami anosmia persisten atau
kehilangan daya penciuman (Côté 2011).
Salah satu kasus yang dipaparkan oleh Richards et al. (2011) ditemukan pada
9 tahun anjing jenis Jack Russell Terrier betina sudah steril dan divaksinasi di
Ontario Veterinary College Veterinary Teaching Hospital (OVC VTH) dengan gejala
9
kerusakan saraf termasuk kebutaan selama 1 minggu. Tidak ada gejala batuk, eksudat
pada mata atau hidung, maupun suara abnormal paru-paru seperti yang umumnya
dilaporkan oleh dokter hewan. Pemeriksaan postmortem menghasilkan diagnosa
bahwa anjing tersebut terjangkit Canine Distemper (CD). Neuritis pada mata yang
didiagnosa sebelumnya bukanlah temuan yang menunjukan infeksi CDV karena
hanya terdapat gejala gangguan saraf.
Anamnesa pemilik, sejarah penyakit, gejala klinis yang teramati, dan
pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan diagnosa tetapi alat bantu diagnosa
juga dapat digunakan. Alat bantu tersebut antara lain radiografi thoraks, uji serum
antibodi, uji protein cairan serebrospinal, atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
untuk CDV pada darah, serum, atau cairan serebrospinal (Côté 2011). Menurut
Rosenfeld dan Sharon (2010) CDV sangat jarang dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan darah dan hanya bisa ditemukan pada anjing dengan infeksi sangat akut.
Pada infeksi akut tersebut, badan inklusi sangat jelas tampak menggunakan
pewarnaan Diff-Quik ataupun Romanowsky (Gambar 3) dan terlihat sebagai inklusi
homogen berwarna merah keunguan yang pekat. Pada pewarnaan Wright-Giemsa,
badan inklusi sulit terlihat jelas karena berwarna ungu muda yang menyerupai
pewarnaan sitoplasma neutrofil dan eritrosit.
a
b
10
Gambar 3 Ulas darah badan inklusi CDV (a) dari sumsum tulang di intrasitoplasma
sel darah putih bersifat eosinofilik (b) pada neutrofil dan limfosit dengan
pewarnaan Romanowsky (VDIC; Kapil et al. 2008).
2.3.4 Perubahan Patologis
Kerusakan jaringan terjadi karena infeksi sekunder oleh bakteri. Kelainan
patologis baik secara anatomi maupun histologi pada anjing yang mati akibat
terinfeksi CDV dapat ditemukan terutama pada organ pernapasan (Gambar 4).
Gambar 4 Pneumonia akibat infeksi CDV (King 2010).
b
a
d
c
11
Gambar 5 Histopatologi badan inklusi CDV pada organ (a) sitoplasma epitel vesica
urinaria (b) nukleus sel glial otak (c) intrasitoplasmik dan intranuklear sel
Sertoli (d) intrasitoplasmik epitel saluran empedu (King 2010).
Canine Distemper Virus akan membentuk badan inklusi intrasitoplasmik dan
intranuklear pada sel (Murphy et al. 1999). Badan inklusi tersebut terutama
ditemukan dalam sitoplasma sel epitel pada saluran respirasi dan urinaria (Aiello
1998), namun juga dapat ditemukan pada sel otak, sel Sertoli, dan epitel saluran
empedu (Gambar 5).
2.3.5 Terapi dan Pencegahan
Infeksi sekunder oleh bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik
berspektrum luas, sedangkan untuk gejala diare dan muntah dapat diberikan antidiare,
antiemetik, infus cairan elektrolit untuk mengatasi dehidrasi (Côté 2011). Anjing akan
terlihat normal selama 2 sampai 3 minggu dengan pemberian antibiotik hingga
munculnya penyakit pada otak dan sumsum tulang belakang jika mengalami
kerusakan saraf. Pemberian antikonvulsan dapat dilakukan untuk mengurangi kejang.
Perawatan, pemberian pakan yang berkualitas baik dan disukai, serta lingkungan
yang bebas stress akan membantu meningkatkan selera makan dan menjadi sehat.
Penanganan yang dapat dilakukan sangat terbatas, sehingga vaksinasi merupakan cara
yang dapat dilakukan untuk mencegah. Vaksin untuk mencegah Distemper mulai
diberikan saat anak anjing disapih. Jika induknya sudah divaksinasi atau sembuh dari
Distemper, maka antibodi terhadap Distemper akan diberikan kepada anaknya di
dalam susu (Legendre 2005).
12
2.4 Canine Parvovirus (CPV)
2.4.1 Etiologi
Pada tahun 1928, Verge dan Christoforoni menemukan Feline Panleukopenia
Virus yang merupakan Parvovirus pertama, sedangkan Canine Parvovirus baru
ditemukan pada tahun 1978 oleh Carmichael, Appel, dan Parish yang merupakan
Canine Parvovirus-2 (Murphy 2008). Merupakan virus DNA yang tidak beramplop
sehingga tahan di lingkungan (Gambar 6) (Steiner 2008). Taksonomi CPV
berdasarkan International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) pada tahun
2009 adalah
Famili : Parvoviridae
Subfamili : Parvovirinae
Genus : Parvovirus
Spesies : Canine Parvovirus
Gambar 6 Canine Parvovirus (Brooks 2001).
Virus ini dapat bertahan di lingkungan selama 6 bulan karena sulit untuk
membunuh virus dari tanah yang sudah terkontaminasi tanpa membunuh semua
vegetasi yang ada (Legendre 2005). Virus akan lebih tahan lama di lingkungan pada
musim dingin dan sudah resisten terhadap desinfektan (Côté 2011). Ada dua tipe dari
Parvovirus yang menginfeksi anjing, yaitu Canine Parvovirus-1 (CPV-1) dan Canine
Parvovirus-2 (CPV-2). Canine Parvovirus-1 dikenal sebagai “minute virus of
canine”, yang bersifat nonpatogen namun terkadang dapat menyebabkan penyakit
pada anak anjing (Nelson & Couto 1998). Canine Parvovirus-2 menyebabkan
13
gastroenteritis hemoragi yang parah pada anjing karena hanya bereplikasi pada
anjing.
Selama beberapa tahun, CPV-2 menunjukkan laju mutasi yang tinggi sehingga
muncul varian CPV-2a dan CPV-2b serta dapat memperluas range inangnya ke
kucing (Battilani et al. 2007). Anjing ras Doberman Pinschers, Rottweilers, Labrador
Retrievers, American Ctaffordshire Terriers, German Shepherd, dan Alaskan
Malamute lebih rentan terinfeksi CPV dan menunjukkan gejala yang lebih parah
daripada ras lainnya (Legendre 2005; Steiner 2008). Sedangkan ras Toy Poodle dan
Cocker Spaniels lebih tahan terhadap infeksi CPV (Côté 2011). Faktor resiko
terinfeksi Parvo menurut Tilley & Smith (1997) adalah anjing di bawah umur 3 bulan,
copatogen (parasit, virus, dan bakteri), CPV-2 yang diikuti Canine coronavirus, dan
kepadatan serta sanitasi yang buruk sehingga menurunkan keberhasilan vaksinasi.
2.4.2 Patogenesa
Canine Parvovirus adalah virus yang mudah menyebar yang menyebabkan
gastroenteritis dan miokarditis pada anjing. Karakteristik infeksinya bersifat akut
sehingga gejala akan muncul dalam waktu yang singkat setelah virus masuk (Zeng et
al. 2008). Virus ini umum ditemukan di lingkungan sehingga sebagian besar anjing
dewasa sudah memperoleh kekebalan melalui vaksinasi atau infeksi sebelumnya.
Infeksi pada anjing melalui jaringan limfoid oronasal dan menebar melalui sistem
limfoid ke organ lainnya yang pembelahan selnya cepat, seperti kripta epitel usus dan
sumsum tulang (Steiner 2008). Kerusakan jaringan pada usus menyebabkan
hilangnya cairan tubuh serta kerusakan sel epitel usus memungkinkan bakteri masuk
ke tubuh melalui aliran darah (Legendre 2005). Kerusakan struktur permukaan
mukosa usus akan berdampak pada penurunan laju absorpsi yang akan menuju pada
disfungsi usus (Steiner 2008).
Virus ini dapat menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang, leukopenia,
neutropenia, dan limfopenia. Virus memiliki daya tarik terhadap sel yang aktif
bermitosis walaupun belum diketahui secara pasti bahwa replikasi virus sebagai
penyebab reduksi dan membunuh sel-sel sumsum tulang atau efek lainnya (Weiss &
14
Wardrop 2010). Disfungsi kekebalan tubuh sebagai dampak rusaknya sumsum tulang
dan sel darah putih dapat menyebabkan kematian selain akibat gejala klinis yang
timbul (Legendre 2005).
2.4.3 Gejala Klinis dan Diagnosa
Parvo yang menginfeksi saluran pencernaan menyebabkan muntah, diare,
demam, dan penurunan kemampuan untuk melawan infeksi terutama pada anak
anjing yang terinfeksi parah. Anak anjing umumnya terinfeksi akibat tanah yang
terkontaminasi CPV dan gejala akan terlihat antara 4 hingga 14 hari dari terinfeksi.
Gejala yang paling awal terlihat adalah depresi, menurunnya nafsu makan, dan
demam lalu diikuti dengan muntah dan diare berdarah pada 1 atau 2 hari kemudian
(Legendre 2005). Darah yang terdapat pada feses seringkali berwarna gelap atau
melena. Gejala demam berhubungan erat dengan infeksi sekunder bakteri sebagai
akibat terjadinya leukopenia dan menurunnya pertahanan usus (Steiner 2008).
Semua gejala yang timbul akan cepat menyebabkan dehidrasi dan kematian
pada infeksi yang parah. Anak anjing umur 6 hingga 8 minggu memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi jika dibandingkan dengan anjing dewasa karena tingkat
kekebalannya berbeda (Legendre 2005). Miokarditis dapat teramati pada anak anjing
yang sudah terinfeksi selama di dalam uterus induk hingga 8 minggu setelah lahir
(Steiner 2008). Anamnesa pemilik, sejarah penyakit, gejala klinis yang teramati, dan
pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan diagnosa tetapi alat bantu diagnosa
juga dapat digunakan.
Alat bantu tersebut antara lain CPV antigen test kit, pemeriksaan darah
(complete blood count), ELISA, dan PCR. Untuk uji antigen digunakan feses atau
serum anjing suspect untuk mendeteksi virus dan memperoleh hasil yang cepat.
Pemeriksaan CBC dilakukan jika anjing depresi dan dehidrasi, infeksi CPV akan
memberikan gambaran leukopenia (Côté 2011). Uji feses menggunakan ELISA untuk
menunjukkan saat virus shedding, namun bisa menunjukkan hasil positif palsu jika
anjing divaksinasi menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan. Sedangkan, PCR
15
hanya digunakan untuk membedakan antara infeksi CPV dengan vaksin karena akan
mendeteksi DNA virus pada feses (Steiner 2008).
Blood Urea Nitrogen (BUN) dihasilkan di hati lalu masuk ke aliran darah
untuk diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Penyakit yang mengakibatkan
pendarahan pada usus, seperti infeksi Parvovirus, dapat menjadi penyebab sekunder
meningkatnya kadar BUN dalam darah. Penyakit ini jelas dapat mengakibatkan
hipokalemia akibat dari hilangnya cairan tubuh yang signifikan melalui muntah dan
diare (Rosenfeld & Sharon 2010). Dehidrasi dapat terlihat dari membran mukosa
mulut yang kering. Palpasi abdominal akan menunjukkan usus yang penuh berisi
cairan dan memicu gerakan kontraksi muntah (Côté 2011).
2.4.4 Perubahan Patologis
Perubahan patologis terutama akan terlihat pada usus, berupa kongesti,
dilatasi, dan titik-titik hemoragi (Gambar 7). Pada CPV yang menyebabkan
miokarditis, akan terlihat pucat pada miokardium. Secara histopatologi, dapat terlihat
kerusakan kripta usus berupa dilatasi, hilangnya epitel usus, nekrosa epitel usus, serta
badan inklusi intranuklear pada epitel usus (Gambar 8).
b
a
16
d
c
Gambar 7 Patologi anatomi CPV (a) kongesti pada usus yang disertai dengan
perubahan warna Daun Peyer (b) segmental enteritis ditandai dengan
kongesti dan dilatasi (c) titik hemoragi pada mukosa duodenum (d)
miokardium pucat terutama pada ventrikel (King 2010).
c
b
a
e
d
17
Gambar 8 Histopatologi organ akibat CPV (a) dilatasi kripta usus (b) hilangnya epitel
kripta dan sel debris di kripta (c) nekrosa epitel dengan debris merah muda
di lumen kelenjar dan epitel pleomorfisme serta dilatasi kripta (d) badan
inklusi pada usus halus anak anjing (e) miokarditis akut (Aburto 2009;
King 2010).
2.4.3 Terapi dan Pencegahan
Terapi cairan secara intravena diperlukan untuk mengatasi dehidrasi karena
anjing tidak dapat memperoleh asupan cairan serta kekurangan cairan dalam jumlah
besar akibat diare dan muntah. Selain itu, terapi antibiotik diperlukan untuk
membunuh bakteri yang berada di aliran darah. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mencegah penyakit ini adalah dengan vaksinasi. Anak anjing divaksinasi pada umur 6
minggu dan mengurangi paparan terhadap lingkungan yang terinfeksi sampai
divaksinasi lengkap. Induk anjing yang sudah divaksinasi atau pernah terinfeksi CPV
akan memberikan antibodi kepada anaknya melalui susu, namun antibodi maternal
akan melindungi kurang lebih selama 3 bulan tergantung jumlah antibodi yang
diberikan (Legendre 2005).
2.5 Cuaca
Iklim dinyatakan sebagai rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang
cukup lama (Sudrajat 2009). Menurut Kartasapoetra dalam Sudrajat (2009), unsur-
unsur cuaca dan iklim antara lainnya radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara,
awan dan presipitasi (hujan), evaporasi (penguapan), tekanan udara, dan angin.
Unsur-unsur tersebut menunjukkan pola keragaman sebagai dasar untuk melakukan
18
klasifikasi iklim, namun unsur yang sering digunakan adalah suhu dan curah hujan.
Menurut Lakitan dalam Sudrajat 2009, hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang
paling beragam sesuai waktu dan tempat sehingga klasifikasi iklim untuk wilayah
Indonesia dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama.
Salah satu sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang digunakan di
Indonesia adalah sistem Oldeman. Sistem klasifikasi ini disesuaikan dengan bidang
pertanian, maka menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila
mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering
apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (Handoko 1994).
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Studi kasus ini berlangsung mulai 19 Juli 2011 sampai 30 Januari 2012 yang
dilakukan melalui pengambilan data di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran
19
Hewan Institut Pertanian Bogor dan Klinik Taman Kencana, selaku rumah sakit
rujukan bagi para dokter hewan praktik di Bogor. Pengambilan data juga dilakukan di
Stasiun Klimatologi Baranangsiang Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Metode
Studi ini dilakukan dengan cara mengambil data rekam medik pasien anjing
yang diduga terinfeksi Distemper dan Parvo selama bulan Juli 2009 hingga Juni 2011
dari Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor (RSH IPB) dan Klinik Taman
Kencana. Data lain yang digunakan untuk menganalisa kejadian penyakit adalah data
iklim stasiun klimatologi Baranangsiang Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor selama bulan Juli 2009 hingga Juni 2011. Data yang
diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan statistika deskriptif sehingga
dapat diketahui hubungan cuaca dengan kejadian penyakit Distemper dan Parvo.
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
Data sekunder yang diperoleh dari RSH-IPB selama bulan Juli 2009 hingga
Juni 2011 menunjukkan bahwa terdapat 39 anjing suspect Parvo dan Distemper.
Berdasarkan hasil diagnosa dokter hewan yang diteguhkan menggunakan alat bantu
rapid test kit, diperoleh 10 anjing yang terinfeksi Parvo dan 6 anjing yang terinfeksi
Distemper dari 39 suspect. Seluruh suspect dipelihara di kota Bogor sehingga data
cuaca yang digunakan sebagai pembanding adalah data curah hujan kota Bogor.
Tabel 1 Jumlah kejadian kasus Parvo dan Distemper serta curah hujan selama Juli
2009 hingga Juni 2011
Bulan Parvo Distemper Curah Hujan
Juli 2009 0 0 335
Agustus 2009 1 0 63
September 2009 0 0 356
Oktober 2009 2 0 500
Nopember 2009 0 0 387
Desember 2009 0 0 286
Januari 2010 0 1 414
Pebruari 2010 0 0 814
Maret 2010 0 1 576
April 2010 1 1 163
Mei 2010 1 0 339
Juni 2010 0 0 371
Juli 2010 1 1 307
Agustus 2010 1 2 615
September 2010 0 0 583
Oktober 2010 0 0 484
Nopember 2010 0 0 291
Desember 2010 1 0 295
Januari 2011 0 0 187
Pebruari 2011 0 0 129
Maret 2011 0 0 146
April 2011 0 0 228
Mei 2011 0 0 296
Juni 2011 2 0 296
Tabel 1 menunjukkan bahwa kasus Parvo terjadi pada bulan Agustus dan Oktober
2009, April, Mei, Juli, Agustus, dan Desember 2010, serta Juni 2011 dengan jumlah
kasus tertinggi sebanyak 2 kasus pada bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Pada kasus
Distemper, terjadi pada tahun 2010 di bulan Januari, Maret, April, Juli, dan Agustus
dengan kejadian kasus tertinggi sebanyak 2 kasus pada bulan Agustus.
21
Kejadian kedua penyakit ini tidak terjadi sepanjang tahun sehingga perlu
dicari faktor yang mempengaruhi waktu terjadinya. Faktor yang dapat mempengaruhi
baik virus maupun anjing tersebut adalah perubahan cuaca. Curah hujan adalah salah
satu unsur cuaca yang digunakan sebagai penentuan keadaan cuaca dan musim di
Indonesia, namun curah hujan di Bogor rata-rata tinggi sehingga tidak dapat
diklasifikasikan sesuai musim berdasarkan sistem klasifikasi Oldeman. Oleh sebab
itu, jumlah curah hujan bulanan digunakan sebagai pembanding dari kejadian kasus
Parvo dan Distemper.
4.1 Kasus Distemper
Berdasarkan data pasien yang terinfeksi Distemper dari RSH-IPB, terlihat
bahwa tingkat infeksi CDV lebih tinggi pada anjing mix breed jika dibandingkan pada
anjing pure breed (Gambar 9).
Gambar 9 Diagram ras anjing yang terinfeksi CDV.
Berdasarkan umur yang terinfeksi, terlihat bahwa umur yang terinfeksi adalah anjing
yang di bawah 1 tahun. Tidak ada anjing dengan umur tertentu yang tingkat
kejadiannya yang lebih tinggi daripada umur lainnya (Gambar 10). Sedangkan
menurut Legendre (2005), anjing dengan umur yang paling umum terinfeksi adalah 3
sampai 6 bulan namun hal ini tidak terjadi pada pasien di RSH-IPB. Beberapa pasien
anjing yang terinfeksi Distemper di RSH-IPB ada yang tidak diketahui umurnya
sehingga tidak terlihat umur anjing yang tingkat infeksinya lebih tinggi.
Gambar 10 Diagram umur anjing yang terinfeksi CDV.
Untuk jenis kelamin, CDV menginfeksi 50% betina dan 50% jantan. Tingkat kejadian
antara hewan jantan dan betina terhadap infeksi CDV adalah sama.
Gambar 11 Diagram jenis kelamin anjing yang terinfeksi CDV.
22
Menurut data pasien RSH-IPB, anjing yang terinfeksi CDV hanya terjadi pada
5 bulan selama tahun 2010 (Tabel 1). Jumlah curah hujan yang beragam tiap
bulannya diduga dapat secara tidak langsung mempengaruhi kejadian infeksi CDV
karena menurut La Rocque et al. (2008), terdapat hubungan yang kuat antara
dinamika penyakit dengan perubahan iklim.
Gambar 12 Grafik kejadian kasus Distemper dan curah hujan.
Faktor perubahan cuaca merupakan hal yang dilihat polanya terhadap kejadian
infeksi CDV. Tidak terdapat pola tertentu yang pasti antara jumlah curah hujan
dengan kejadian kasus (Gambar 12). Namun dapat terlihat bahwa saat terjadi
perubahan jumlah curah hujan, baik meningkat maupun menurun, kasus Distemper
akan muncul walaupun tidak sesering infeksi Parvo. Jika peningkatan atau penurunan
curah hujan terjadi secara bertahap, maka pada tahap awal akan terjadi infeksi CDV
sedangkan pada tahap berikutnya anjing sudah dapat beradaptasi dengan tinggi atau
rendahnya curah hujan tersebut.
4.2 Kasus Parvo
Berdasarkan data pasien RSH-IPB, 6 dari antara 10 anjing yang terinfeksi
CPV adalah anjing pure breed, sedangkan 2 diantara 10 anjing adalah anjing lokal
dan 2 diantaranya lagi adalah anjing mix breed (Gambar 13). Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat infeksi Parvo pada anjing pure breed lebih tinggi dibandingkan anjing
lokal dan mix breed. Infeksi Parvo yang terjadi paling tinggi terjadi pada ras
Rottweiler yang merupakan salah satu ras predisposisi terinfeksi CPV menurut
Legendre (2005) dan Steiner (2008)
Gambar 13 Diagram ras anjing yang terinfeksi CPV.
23
Gambar 14 Diagram umur anjing yang terinfeksi CPV.
Pada Gambar 14 terlihat bahwa anjing yang paling banyak terinfeksi CPV
adalah saat berumur diantara 3 hingga 6 bulan, hal ini kurang sesuai dengan Tilley &
Smith (1997) yang mengatakan bahwa anjing di bawah umur 3 bulan paling tinggi
resiko terinfeksinya. Secara keseluruhan anjing yang mengalami infeksi CPV adalah
anjing dengan umur di bawah 1 tahun. Sedangkan jika ditinjau dari jenis kelamin,
anjing jantan lebih tinggi tingkat terinfeksi CPV dibandingkan dengan betina
(Gambar 15).
Gambar 15 Diagram jenis kelamin anjing yang terinfeksi CPV.
Menurut data dari RSH-IPB, anjing yang terinfeksi CPV terjadi pada 8 bulan
diantara 24 bulan selama Juli 2009 hingga Juni 2011. Jumlah curah hujan yang
beragam pada tiap bulannya sehingga diduga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi terjadinya infeksi CPV.
Gambar 16 Grafik kejadian kasus Parvo dan curah hujan.
Faktor perubahan cuaca merupakan hal yang dilihat polanya terhadap kejadian CPV.
Tidak terdapat pola tertentu yang pasti antara jumlah curah hujan dengan kejadian
kasus. Namun dapat terlihat bahwa saat terjadi perubahan jumlah curah hujan, baik
meningkat maupun menurun, kasus Parvo akan muncul. Jika peningkatan atau
penurunan curah hujan terjadi secara bertahap, maka pada tahap awal akan terjadi
infeksi CPV sedangkan pada tahap berikutnya anjing sudah dapat beradaptasi dengan
tinggi atau rendahnya curah hujan tersebut.
Menurut Côté (2011), Parvo terjadi di seluruh dunia sepanjang tahun tetapi
umumnya pada cuaca yang hangat namun lembab atau basah. Perbedaan keadaan
24
pada belahan dunia subtropis dengan tropis sehingga terdapat perbedaan jumlah
musim akan mengakibatkan perbedaan munculnya kejadian penyakit.
25
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Perubahan jumlah curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca dapat secara
tidak langsung mempengaruhi kejadian penyakit Parvo dan Distemper, namun
tidak memiliki pola khusus.
2. Pada kasus Parvo, anjing dengan ras pure breed lebih tinggi tingkat
kejadiannya daripada anjing lokal dan mix breed. Umur anjing yang terinfeksi
di bawah 1 tahun dengan tingkat kejadian tertinggi pada umur 3-6 bulan,
sedangkan jenis kelamin jantan lebih tinggi tingkat kejadiannya dibandingkan
dengan betina.
3. Pada kasus Distemper, anjing dengan ras mix breed lebih tinggi tingkat
kejadiannya jika dibandingkan dengan pure breed. Umur anjing yang
terinfeksi CDV beragam antara 2 bulan hingga 1 tahun dan tidak ada
perbedaan tingkat infeksi terhadap jenis kelamin tertentu.
5.2 Saran
Perlu dilakukan studi secara menyeluruh mengenai kejadian kasus Parvo dan
Distemper baik dari segi manajemen perawatan, vaksinasi, sejarah penyakit anjing,
maupun keadaan cuaca dari berbagai unsur. Kurang lengkapnya data RSH-IPB
sebagai data sekunder perlu diperbaiki, terutama sejarah vaksinasi, umur, dan ras
anjing.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aburto EM. 2009. Pathology of the alimentary system and peritoneum.
http://dc429.4shared.com/doc/vzuzHLRj/preview.html [2 Agustus 2012]
Aiello SE, editor. 1998. The Merck Veterinary Manual Eight Edition. USA: Merck &
Co., Inc.
Auburn University. 2009. Canine distemper virus. http://www.vetmed.auburn.edu/
canine_distemper_virus3 [5 Juli 2012].
Battilani M, L Gallina, F Vaccari, and L Morganti. 2007. Co-infection with multiple
variants of canine parvovirus type 2 (CPV-2). Veterinary Research
Communications 2007:31(Suppl. 1):209-212.
Brooks WC. 2001. Basic virology in general. http://www.veterinarypartner.com/
Content.plx?P=A&C=189&A=578&SourceID= [5 Juli 2012].
Côté E, editor. 2011. Clinical Veterinary Advisor: Dogs and Cats 2nd Edition. USA:
Mosby, Inc.
Forman S, Hungerford N, Yamakawa M, Yanase T, Tsai HJ, Joo YS, Yang DK, dan
Nha JJ. 2008. Climate change impacts and risks for animal health in Asia. Rev Sci
Tech 2008:27(2):581-97.
Handoko, editor. 1994. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer
dan Unsur-unsur Iklim. Bogor: Pustaka Jaya.
Hayes S. 2010. What are the most popular pets around the world?
http://www.petquestions.com/12502/what-are-the-most-popular-pets-around-the-
world/ [22 Januari 2012].
[ICTV] International Committee on Taxonomy of Viruses. 2009. Virus taxonomy:
2009 release. http://ictvonline.org/virusTaxonomy.asp?version=2009 [22 Januari
2012].
Kahn CM, editor. 2005. The Merck Veterinary Manual 9th Edition. New Jersey: Merck
& Co., Inc.
Kapil S, Robin WA, Larry J, Brandy LM, Steven H, Jim M, and Bill J. 2008. Canine
distemper virus stains circulating among north american dogs. Clin Vaccine
Immunol 2008:15:707-712.
King JM. 2010. Cornell veterinary medicine dr. John M. King’s necropsy show and
tell. http://w3.vet.cornell.edu/nst/nst.asp?Fun=Home [7 Februari 2012].
La Rocque SD, Rioux JA, dan Slingenbergh J. 2008. Climate change: effects on
animal disease systems and implications for surveillance and control. Rev Sci Tech
2008:27(2):339-54.
27
Legendre AM. 2005. Ettinger and Feldman Textbook of Veterinary Internal
Medicine. London: Elsevier Inc.
Lunet N, editor. 2012. Epidemiology – Current Perspectives on Research and
Practice. Croasia: InTech.
MacLachlan NJ and Edward JD, editor. 2011. Fenner’s Veterinary Virology Fourth
Edition. London: Elsevier Inc.
Mahy BWJ and Marc HVVR, editor. 2010. Desk Encyclopedia of Animal and
Bacterial Virology. Oxford: Elsevier Ltd.
Murphy FA, E Paul JG, Manan CH, and Michael JS. 1999. Veterinary Virology Third
Edition. USA: Academic Press.
Murphy FA. 2008. The Foundations of Medical and Veterinary Virology: Discoverers
and Discoveries, Inventors and Inventions, Developers and Technologies.
Galveston: University of Texas Medical Branch.
Nelson RW and Couto CG. 1998. Small Animal Internal Medicine Second Edition.
Philadelphia: Mosby Aharcourt Health Sciences Company.
Richards TR, Nick CW, Chantale LP, Fernanda CA, and Katheryn CW. 2011. Optic
neuritis caused by canine distemper virus in a Jack Russell terrier. Can Vet J
2011:52:398-402.
Rosenfeld AJ and Sharon MD. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary Team.
Iowa: Blackwell Publishing Ltd.
[RSH-IPB] Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor. 2000. Rumah Sakit Hewan
Pendidikan Institut Pertanian Bogor dan Program Pendidikan Profesi Dokter
Hewan. Bogor: Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor.
Sharma SN and SC Adlakha. 2009. Textbook of Veterinary Virology. Lucknow:
International Book Distributing Co.
Steiner JM, editor. 2008. Small Animal Gastroenterology. Hannover: Schlütersche.
Sudrajat A. 2009. Pemetaan klasifikasi iklim Oldeman dan Schmidth-Fergusson
sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya iklim dalam pengelolaan sumberdaya
alam di sumatera utara. [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
28
Tilley LP and Smith FWK. 1997. The Five Minute Veterinary Consult Canine and
Feline. Baltimore: Williams & Wilkins.
VDIC. Online cytology image database-canine distemper virus infection.
http://www.vdic.com/scripts/iax.exe/casesdb/cytodata?kw=&si=0&mi=969&type=
1&item=708 [5 Februari 2012].
Weiss DJ and KJ Wardrop, editor. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth
Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd.
Wells D. 2011. The value of pets for human health. British Journal of Health
Psychology 2011:24(3):172-176.
Widodo S, Dondin S, Chusnul C, Agus W, Retno W, and Rp Agus L. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.
Zeng F, Waisess Y, Yongjun L, Zhaorong L, Junyi L, Fuan L, Hailong Z, Hongjie Z,
Chen Z, and Xihong L. 2008. Expression, purification, and characterization of VP2
capsid protein of canine parvovirus in Escherichia coli. World J Microbiol
Biotechnol 2008:24:457-463.
29
LAMPIRAN
Data pasien suspect Distemper dan Parvo RSH-IPB