Sie sind auf Seite 1von 14

A.

DEFINISI

Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang
vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5
buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem
otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas
vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila
terjadicedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al.
2000).

Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang mengenai servikal, vertebralis, dan
lumbalis dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang (Mutttaqin, 2008).

B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan
penyakit tulang atau melemahnya tulang.(Harsono, 2000).

C. PATOFISIOLOGI

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian,
cederaolahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari
ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang
bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang
sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak
tinggi. Menyelam yang dapat mengaibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical
(terutamapada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan
infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara
makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan
daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma
tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dandislokasi) Lesi transversa medulla spinalis
tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat
badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla
spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara
duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi
medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi
dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.
Pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yangterjadi
adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis
atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan
terputusnya arteriradikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatome dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis
anterial anterior spinal.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan
meningitis; lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik
kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa
ini umumnya berlangsung selama1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih,
triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat
hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsiotonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsikandung kemih dan gangguan defekasi
(Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat
kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan
posisitidak terganggu (Price &Wilson (1995). Cedera sumsum belakang sentral jarang
ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan
oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas
kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan
tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.Gambaran klinik berupa tetraparese
parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998). Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal
1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguanfungsi defekasi, miksi, impotensi serta
hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N,1998).

E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
c. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
d. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
e. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi(Tucker,Susan Martin .
1998)

H. PEMERIKSAAN MEDIS

Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum :


1. Fraktur Stabila. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)b. Burst frakturc.
Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing frakturFraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu
tulang belakang tegak.Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat
mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang
mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra

1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)


Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama
simplekompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan
operasi harusdalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
– Laminektomi mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis
spinalis, menghilangkan kompresimedulla dan radiks.
– fiksasi interna dengan kawat atau plate
– anterior fusion atau post spinal fusio
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder)
dan infranuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan
kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum
segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan
dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi

4) Perawatan dekubitus dalam perawatan

Komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis. Penderita dengan diagnose cervical
sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak
kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu.Selanjutnya sesudah 3-6
minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.

Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:

a. Dislokasi feset >50%


b. Loss of paralelisine dan feset.
c. Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
d. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
e. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm
pada foto APPada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot
leher. Harus diingat bahwareposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis
secepat mungkin untuk mencegahkerusakan spinal cord. Penanganan Cedera dengan Gangguan
Neorologis. Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan
terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera di
imobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang
24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena
dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa
pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

I. KOMPLIKASI

(Mansjoer, Arif, et al. 2000).

1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehinggaterjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union,
sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen
tulang, akhirnya ujung patahandapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu
dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan olehreduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama
dari prosespenyembuhan fraktur
5. tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena
adanyakontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin
pula disebabkanoleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
7. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke
otak, paru, ginjal, dan organ lain.
8. Sindrom KompartemenMasalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari
yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas klien :
Terdiri atas nama, No MR, umur, pekerjaan, agama, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS,
alasan masuk, cara masuk, penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang :

karna kecelakaan yang mengakibatkan trauma tulang belakang pasien mengalami gangguan
gangguan mobilitas fisik, nyeri dan komplikasi lain.

b. Riwayat kesehatan dahulu :

adanya riwayat Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering), Olahraga, Menyelam pada
air yang dangkal, Luka tembak atau luka tikam, Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera
medula spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran
sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis

c. Riwayat kesehatan keluarga :

biasanya trauma tulang belakang tidak ada factor herediter, tapi dikarenakan ada riwayat seperti
kecelakaan.

3. Pemeriksaan fisik

1. Kepala dan wajah : rambut hitam,tidak ada ketombe, tidak rontik, kulit kepala bersih, tidak
ada oedema.
2. Mata : sklera biasanya tidak ikhterik, reaksi pupil ptosi.
3. Kesadaran : kompos mentis
4. Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
5. Mulut dan faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi pendarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
6. Telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7. Leher : biasanya JVP dalam batas normal
8. Thorax/dada :
Inspeksi : biasanya simetris kiri kanan, tidak ada lesi, pernafasan Bradikardi.
Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan kiri.
Perkusi : tidak ada nyeri

Auskultasi : napas pendek,ada ronki, pernafasan bradikardi,


9. Abdomen :
Inspeksi : distensi abdomen
Auskultasi : peristaltic usus hilang
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : tidak ada nyeri
10. Genitalia : biasanya tidak ada edema
11. Ekstermitas : ekstermitas dingin atau pucat kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal. kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, Hilangnya sensasi dan
hilangnya tonus otot, hilangnya reflek.

4.Pola kebiasaan sehari-hari:


A. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus
hilang, melena emesis berwarna seperti kopi atau tanah/hemaetemesis.
B. Nutrisi : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang

C. Tidur/istirahat : terganggu yaitu kurang dari 7-8 jam perhari karna trauma
dan adanya kompresi syaraf
D. Aktivitas dan latihan : terganggu, karna terjadi kelumpuhan otot
(terjadi kelemahan selama syok spinal) pada atau dibawah lesi.

B. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma
2. Penurunan perfusi jaringan perifer b.d penekan syaraf dan pembuluh darah
3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan
4. Nyeri akut b.d adanya cedera
5. Konstipasi b.d gangguan persarafan pada usus dan rectum.

C. INTERVERENSI
1. Ketidak efektifan pola nafas
Defenisi: inspirasi dan/ekspirasi yang tidak member ventilasi
Batasan karakteristik:
• Perubahan kedalaman pernafasan
• Perubahan ekskurasi dada
• Mengambil posisi tiga titik
• Bradipneu
• Penurunan tekanan ekspirasi
• Penurunan ventilasi semenit
• Penurunan kapasitas vital
• Dipneu
• Peningkatan diameter anterior posterior
• Pernafasan cuping hidung
• Ortopneu
• Fase ekspirasi memanjang
• Pernafasan bibir
• Takipneu
• Penggunaan otot aksesorios untuk bernafas
Faktor yang berhubungan:
• Ansietas
• Posisi tubuh
• Deformitas dinding dada
• Keletihan
• Hiperventilasi
• Sindrom hipoventilasi
• Gangguan muskuloskleta
• Kerusakan neurologis
• Imaturitas neurologis
• Disfungsi neuromuscular
• Obesitas
• Nyeri
Resipiratory status: ventilation
Respiratory status : airway patency
Vital sign status
Kriteria hasil:
Mendemonstrasikan batuk efektif, suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis Dan dypsnu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah.)
Menunjukkan jalan nafas yang adekuat (klien tidak merasa tercekik, irama nafs, frekuensi
pernafasan dalam batas normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Tanda-tanda vital dalam rentang normal, (tekanan darah, nadi, pernafasan) Airway management
– Buka jalan nafas gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
– Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
– Identivikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
– Pasang mayo bial perlu
– Keluarkan secret dengan batuk atau suction
– Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
– Lakukan suction pada mayo
– Berikan bronkodilator bila perlu
– Berikan pelembab udara kassa basah Nacl lembab
– Atur intake untuk cairan mengobtimalkan keseimbangan
– Monitor respirasi dan status O2
– Bersihkan hidung, mulut, trakea dan secretcs.
– Pertahankan jalan nafas yang paten
– Atur peralatan oksigen
– Monitor aliran oksigen
– Pertahankan posisi pasien
– Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
– Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
– Vital sign monitoring
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
– Catat adanya flugtuasi tekanan darah
– Monitor VS saat pasien berbaring

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer


Definisi : Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan

Batasan Karakteristik :
 Tidak ada nadi
 Perubahan fungsi motorik
 Perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembapan, kuku, sensasi,
suhu)
 Indek ankle-brakhial <0,90
 Perubahan tekanan darah diekstremitas
 Waktu pengisian kapiler > 3 detik
 Klaudikasi
 Warna tidak kembali ketungkai saat tungkai diturunkan
 Kelambatan penyembuhan luka perifer
 Penurunan nadi
 Edema
 Nyeri ekstremitas
 Bruit femoral
 Pemendekan jarak total yang ditempuh dalam uji berjalan 6 menit
 Pemendekan jarak bebas nyeri yang ditempuh dalam uji berjalan 6 menit
 Perestesia
 Warna kulit pucat saat elevasi
NOC
 Circulation status
 Tissue Perfusion : cerebral

Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
 Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
 Tidak ada ortostatik hipertensi
 Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan, kemampuan kognitif yang ditandai dengan :
 Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
 Memproses informasi
 Membuat keputusan dengan benar
Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik tidak
ada gerakan gerakan involunter
NIC
Peripheral Sensation Management
(Manajemen sensasi perifer)
 Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
 Monitor adanya paretese
 lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
 Gunakan sarung tangan untuk proteksi
 Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
 Monitor kemampuan BAB
 Kolaborasi pemberian analgetik
 Monitor adanya tromboplebitis
 Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan:


• Gangguan metabolisme sel
• Keterlembatan perkembangan
• Pengobatan
• Kurang support lingkungan
• Keterbatasan ketahan kardiovaskuler
• Kehilangan integritas struktur tulang
• Terapi pembatasan gerak
• Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan fisik
• Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia
• Kerusakan persepsi sensori
• Tidak nyaman, nyeri
• Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
• Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
• Depresi mood atau cemas
• Kerusakan kognitif
• Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa
• Keengganan untuk memulai gerak
• Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan, deconditioning
• Malnutrisi selektif atau umum
• Penurunan waktu reaksi
• Kesulitan merubah posisi
• Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek)
• Keterbatasan motorik kasar dan halus
• Keterbatasan ROM
• Gerakan disertai nafas pendek atau tremor
• Ketidak stabilan posisi selama melakukan ADL
• Gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi
Joint Movement : Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
gangguan mobilitas fisik teratasi dengan
kriteria hasil:
• Klien meningkat dalam aktivitas fisik
• Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
• Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
• Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC :
Exercise therapy : ambulation
• Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
• Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
• Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
• Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
• Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
• Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
• Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
• Berikan alat Bantu jika klien memerlukan
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

4. Nyeri akut berhubungan dengan:


Agen injury (biologi, kimia, fisik psikologis) kerusakan jaringan

DS:
– Laporan secara perbal
DO:
– Posisi untuk menahan nyeri
– Tingkah laku berhati- hati
– Gangguan tidur/mata sayu,tanpak capek sulit atau gerakan kacau menyaringai
– Terfokus pada diri sendiri
– Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu kerusakan proses berfikir, penurunan interaksi
dengan orang dan lingkungan)
– Tingkah laku distraksi contoh: jalan-jalan menemui orang lain dan/ aktifitas, aktivitas berulang
ulang
– Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
– Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dari rentang lemah ke kaku)
– Tingkah laku ekspresisf
(contoh: gelisah, merintis, menangis waspada iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) perubahan
dalam nafsu makan dan minum

Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psiko social kronik (metastase,
kangker injury neurologi arthritis)
DS:
– Kelelahan
– Takut untuk injury ulang
DO:
– Atrropi otot
– Gangguan aktivitas
– Anoreksia
– Perubahan pola tidur
Respon simpatis (suhu dingin perubahan posisi tubuh hiper Pain levelsensistif perubahan berat
badan)
Pain control
Comfort level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria
hasil:
– Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik non farmakologi
untuk mengurangi nyeri mencari ban)tuan
– Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
– Mampu mengenali nyeri (sklala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri
– Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
– Tanda vital dalam rentang normal
– Tidak mengalami gangguan tidur

– Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, termasuk lokasi, karakteristik, lokasi, durasi
kwalitas dan faktor presipitasi
– Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
– Bantu pasien dan keluarga untuk mencapai dan menemukan dukungan
– kontrol lingkungan yang dapt mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan pencahayaan dan
kebisingan
– kurangi faktor presipitasi nyeri
– kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
– ajarkan tentang tekhnik non farmakologi napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/dingin.
– Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
– Tingkatkan istirahat
– Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebabnyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidak nyamanan dari prosedur
– Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

5. Konstipasi
Definisi: penurunan pada frekuensi normal defakasi yang disertai oleh kesulitan atau
pengeluaran tidak lengkap feses/pengeluaran fesesyang kering, keras dan banyak batasan
karakteristik
• Nyeri abdomen
• Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot
• Anoreksia
• Penampilan tidak khas pada lansia (mis: perubahan pada status mental, inkontinensia urunarius,
jatuh yang tidak penyebabnya, peningkatan suhu tubuh)
• Borbogirigmi
• Darah merah pada feses
• Perubahan pada pola defekasi
• Penurunan volume feses
• Distensi abdomen
• Rasa rectal penuh
• Rasa tekanan rectal
• Keletihan umum
• Feses keras dan berbentuk
• Sakit kepala
• Bising usus hiperaktif
• Bising usus hipoaktif
• Peningkatan tekanan abdomen
Bowel elimination• Tidak dapat makan, mual
Hydration
Kriteria hasil:
Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
Bebas dari ketidak nyamanan dan konstipasi
Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
Feses lunak dan berbentuk Constipation/impaction management
– Monitoring tanda dan gejala konstipasi
– Monitor bising usus
– Monitor feses: frekuensi, konstipasi Dan volume
– Konsultasi dengan docter tentang penurunan dan peningkatan bising usus
– Monitor tanda dan gejala rupture usus/peritonitis
– Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien
– Identivikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
– Dukung intake cairan
– Kolaborasi pemberian laksatif
– Pantau tanda-tanda dan gejala impaksi
– Memantau gerakan usus, termasuk konsistensi frekuensi, bentuk, volume dan warna
– Memantau bising usus
– Konsultasikan dengan dokter tentang penurunan/kenaikan frekuensi bising usus
– Pantau tanda-tanda dan gejala pecahnya usus dan/ peritonitis
– Jelaskan etiologi masalah dan pemikiran untuk tindakan untuk pasien
– Menyusun jadwal ketoilet
– Mendorong peningkatan asupan

Das könnte Ihnen auch gefallen