Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
AVON
Diajukan untuk Memenuhi Ulangan Akhir Semester Mata Kuliah
“Manajemen Logistik”
Dosen Pengampu:
Indro Kirono, S.E, M.M
Oleh:
Akhmad Aries Shofiyono
(G03217007)
The history of Avon can be traced back to 1885 when it was founded by David H. McConnell
(McConnell), a traveling book salesman. In 1886, while going from house to house with his
books, he found that his customers, especially women, were more interested in the free
perfume samples he offered than the books he was selling.
He also recognized that many women had the potential to become good salespeople. He took
up the perfume business more seriously and became a perfume entrepreneur. He incorporated
California Perfume Company (CPC) and P.F.E Albee (Albee) was the first representative of
the company. She travelled by horse, buggy, or even train to sell perfumes door-to-door.She
also appointed other women as representatives. This method of selling directly to the
customers went on to become the hallmark of Avon’s business model. Albee was called the
‘Mother of the California Perfume Company’. McConnell developed corporate principles
which became the guidelines for Avon
Avon, being an international manufacturer and distributor of beauty, household, and personal
care products, had believed in direct selling since its inception. It offered a wide range of
beauty products, including skin care products, cosmetics, perfumes, spa treatments, make up,
and everyday cosmetics & toiletries like shampoos,...
deodorants, and body lotions. Its product line included many recognizable names such as
Anew, Avon Color, Skin-So-Soft, and Advance Techniques. Avon Color was one of the
leading cosmetic brands in the world. The products were mainly targeted at women in the age
group of 25 to 50 years. The products were of high quality, were priced affordably, and
positioned as products that provided value. .....
Evolution Of The Direct Selling Model
Broadly, Avon’s distribution channel could be divided into three major categories: Direct
Selling, Limited Retailers, and Online. Of these, direct selling was its primary channel while
the other two were secondary channels of distribution. The direct selling channel was Avon’s
core channel, one which the company had relied on since 1886 when its founder himself used
to undertake door-to-door selling. ..........
The representatives were independent contractors and not employees of Avon. Once a person
signed up to become an Avon Rep, the district manager, who was an employee of Avon,
called on him/her to explain the process of selling the products. The new reps were required
to remit a sign-up fee of $ 10 . They were given 20 brochures, sample products, sales books,
order forms, etc. .........
Retail
In the early 1980s, retail outlets were gaining a strong hold on the market. Almost 80% of all
beauty products were sold through retail stores and this market had become difficult to
ignore. However, for Avon, selling its products through retail stores was difficult as it knew
the move could alienate its sales representatives. In order to enter into department and
specialty stores, Avon entered into a joint venture with Liz Claiborne (designer) and created
fragrances and cosmetics line and made these products available in 2,000 stores.
Online
In 1997, Avon became the first cosmetic company to sell its products directly online. There
was a dedicated Avon representative website which also informed consumers about new
products in the industry. Though it was started in 1997, the electronic commerce strategy was
not taken very seriously till 1999.........
Channel Conflict?
Jung’s ventures to establish a retail channel and an online presence made customers and
representatives alike feel that Avon was no longer a direct sales company, and that it was
turning into a packaged goods company. Jung tried to position some products as premium
cosmetics, but that plan did not work out, as the premium products were hard to sell through
direct marketers. Similarly, restructuring efforts under her direction also prove unsuccessful.
SOAL
Berikan analisis anda tentang kasus AVON diatas!
ANALISIS
PT. AVON berdiri secara resmi di Indonesia pada bulan Juni 1989, kini AVON
telah berkembang menjadi perusahaan Direct Selling kosmetika nomor 1 (satu) dan
telah menjadi merek yang sangat dikenal dan dipakai oleh berjuta-juta pelanggan di
Indonesia. AVON memiliki cabang dan lebih dari 40 GaLA (Grha Layanan AVON-
gerai AVON yang dikelola oleh mitra), yang terbesar diberbagai pulau di Indonesia.
Pada Tahun 1989 merupakan pengelolaan dari AVON masih bermodel DEPO
yaitu merupakan sub cabang yang dikoordinasikan di Yogyakarta. Sistem
pembelanjaan masih bersifat tradisional yaitu pemesanan barang terlebih dahulu
kemudian pelayanan diberikan oleh staff counter tersebut. Kualitas dari produk
kosmetik AVON sangat bagus dengan harga yang relatif murah dan mudah dijangkau
oleh konsumen.
Sasaran pelanggan yang dituju oleh perusahaan ini ialah wanita karena produk
yang dihasilkan sangat diminati oleh kaum wanita. Sasaran produk-produk AVON
ialah pada wanita dalam kelompok usia 25 hingga 50 tahun. Dengan kulitas yang
tinggi dan harga jual yang terjangkau menjadikan produk AVON mendapatkan posisi
dikalangan wanita usia 25 hingga 50 tahun.
Saluran distribusi AVON terbagi mejadi tiga, namun yang utama ialah
penjualan langsung (direct selling) yang menjadi andalan bagi perusahaan
tersebut., sedangkan saluran distribusi yang lain yaitu pengecer terbatas dan secara
online. Dimana yang menjadi pegawainya adalah wanita. Dikarenakan sistem
distribusi yang digunakan adalah direct selling hal tersebut menjadikan sebuah ciri
dari perusahaan AVON. Melalui mitra perusahaan yang direkrut dan ditetapkan
menjadi AVON Dealer (AD) yang berhubungan dengan end usser atau konsumen
terakhir. Secara hirarkis AVON Dealer (AD) berkoordinasi dengan struktur atasnya
yaitu AVON Group Coordinator (AGC) yang memiliki rekening pembelanjaan pada
kantor AVON tersebut.
Usaha–usaha Andrea Jung selaku CEO AVON Product, Inc dalam melakukan
pemasaran melalui saluran ritel dan online, pada akhirnya membuat pelanggan dan
perwalian penjualan produk AVON merasa bahwa perusahaan ini tidak lagi menjadi
sebuah perusahaan yang menjual barangnya secara langsung dan berubah menjadi
pemasaran melalui saluran ritel. Andrea Jung juga berusaha untuk memposisikan
beberapa produk kosmetik yang premium dan dinilai prestis yang dijual melalui
pemasaran secara langsung, namun udaha tersebut gagal karena pihak perwalian yang
melakukan penjualan produk AVON merasa kesulitan menjual produk kelas
premium.
Meski produk kosmetik ini memiliki kualitas bagus, namun harganya relatit
murah. Sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh kecil. Apalagi pemasarannya
menggunakan sistem direct selling yang seharusnya harganya bisa lebih tinggi. Pada
tahun 2006 PT.AVON Indonesia tidak lagi beredar dipasar. PT. AVON Indonesia
tutup Pabriknya di Indonesia Pihak Avon Indonesia menjelaskan, keputusan itu
ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Pabrik Avon yang
terletak di Cilandak, Jakarta Selatan akan ditutup. Seluruh distribusi produk akan
dihentikan dan kegiatan operasional akan dihentikan. Hal ini juga ditegaskan oleh
direktur Marketing PT. AVON Indonesia Denis Loypatty. Menurutnya, Avon
Products, Inc yang merupakan induk dari PT. AVON Indonesia sudah mengambil
keputusan untuk totally out dari Indonesia. Denis menjelaskan, “setidaknya ada dua
alasan yang mendasari Avon untuk menutup operasionalnya diIndonesia yakni
pertama, merupakan bagian dari restrukturisasi secara global. Kedua, PT. AVON
Indonesia memiliki performa keuangan yang kurang bagus”.
Faktor lain dari gulung tikar-nya dari PT. AVON Indonesia yaitu Sejak awal,
sistem operasi Avon Indonesia memang berbeda dengan Avon di negara-negara Asia
lainnya, kecuali sistem operasi Avon di Phihpma yang memang dijadikan rujukan di
simi. Avon menggunakan sistem cabang, di mana dalam setiap kantor cabang, Avon
harus membangun kantor sendiri, merekrut karyawan, dan tentu saja membiayai
operasionalnya. Semakin besar perkembangan Avon, semakin banyak pula cabang
yang harus didikan, sehingga makin besar pula biaya operasionalnya. Agaknya, hal
dasar milah yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi profitabilitas
perusahaan. Dari sini dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan dari pihak manajemen
dalam hal efisiensi tenaga kerja. Maneger terlalu banyak merekrut tenaga kerja dan
kurang mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai karyawan.
Kemudian, kebangkrutan perusaahn Avon ini juga dipicu oleh harga produk
yang relatif murah sehingga tidak sebanding dengan biaya-biaya produksi yang
dikeluarkan. Dengan alasan persaingan dengan produk kosmetik lain, manajer kurang
mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh sehinga ia terlalu fokus terhadap satu
tujuan (produk laku di pasaran) namun tidak memperhatikan dampak yang akan
dialami oleh perusahaan, sehinga perusahaan bangkrut dan akhir gulung tikar.
Secara garis besar disini dapat ditarik kesimpulan mengenai permasalahan-permasalahan yang
dihadapi Avon Products Inc (AVP) dan PT Avon Indonesia diantaranya :
1. Kesalahan dari awal mengenai strategi yang diterapkan dalam proses operasionalnya
sehingga kegiatan tak berjalan sempurna dan berani mengambil resiko yang
berdampak pada proses produk tersebut dipasarkan.
2. Ketidakmampuannya bertahan dari banyaknya kompetititor baru yang hadir di pasaran
dengan segala keunggulan yang seharusnya ditawarkan dari produknya sehingga tidak
mungkin terjadinya Lost sales dan kalahnya dari strategi marketing perusahaan
AVON sendiri.
3. Untuk sistem pemasaran online yang tidak dikembangkan dengan baik dan efesien
meskipun pada tahun1997, Avon menjadi perusahaan kosmetik pertama yang
menjual produk secara online secara langsung. Meskipun pada zaman tersebut
AVON sudah menggunakan website akan tetapi tidak digunakan secara
semaksimal mungkin dan tidak up to date dengan kondisi dari Era 1990an ke
Era 2000an.
4. Tidak mengikuti Trending dari masyarakat Indonesia yang di ikuti generasi
Milenial dan Tidak mengikuti era perkembangan industri 4.0 yang merupakan
dasar pikir pola dari masyarakat Indonesia.
5. Kesalahan dari sistem manajemen dalam hal efisiensi tenaga kerja yang
dimana pihak manajer terlalu banyak merekrut tenaga kerja dan kurang
mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk kompensasi karyawan.