Sie sind auf Seite 1von 47

1

CASE SCENARIO

You are a medical student observing one evening in the emergency room of Hasan Sadikin
General Hospital when TAUFIQ, a 6-month-old boy was brought to the pediatric emergency
room with pallor as chief complaint.
He looked quite pale, weak, and her skin had a slight yellow tinge. No history of bleeding.

You proceed with obtaining further history.

The baby was born from G2P2A0 mother. He was born spontaneously, without asphyxia.
Term infant with birth weight 3 kilogram. The parent noticed that the child looked pale
especially since 1 month ago and the pallor was developed. His appetite was not too good.
His 3-year-old brother is fine. The history of the same complaint in the family was not
known.

On the physical examination, you noted that his pulse rate was 104 beats perminute, blood
pressure was 90/60 mmHg, respiratory rate was 50 times perminute, and normal body
temperature. Body weight : 5.5 Kg. Body height: 58 cm. No characteristic appearance.
The baby appeared weak. Both skin and mucous membrane were pale, slight jaundice and
systolic murmur was heard all over the precardium.
On examination of abdomen the liver edge was palpable 4 cm below the right costal margin,
the organ being firm in consistency with a smooth surface. The tip of the spleen was felt 5
cm below the left costal margin (Schuffner III). No lymphadenopathy.

Laboratory finding:

RBC 2.4 x 1012/L 2% eosinophils


Hb 4.6 g/dL 3% monocytes
HCT 13.6 %
MCV 58 fL Total bilirubin 32 mg/L
MCH 22 pg Indirect 27 mg/L (unconjugated
MCHC 27g/dL bilirubin)
RDW 15% Urinalysis : within normal limits.
PLT 215 x 109/L
Reticulocytes 3.2 %
WBC 7.8 x 109/L

Differential 49% segmented neutrophils


45% lymphocytes
1% basophils

2
A peripheral blood smear is seen below:

RBC morphology : hypochrom, microcytic, anisocytosis and poikilocytosis. Target


cells, tear drops, basophilic stippling and normoblast were found.
WBC and PLT morphology within normal limits.

You review the results with the chief resident who reports that this patient’s red cells shows
hypochrom and a marked degree of anisocytosis. Many of red cells are microcytic, some are
target cells and tear drops cells. There is an increased number of poikilocytes, basophilic
stippling and normoblast were found.

The results of further tests done are as follows:

Hb electrophoresis results :
Hb A 2.5 %
HbF 96.0 %
Hb A2 1.5 %

Ferritin 625 ng/ml (50-200 ng/ml)

You perform discussion with the resident about the interpretation of the results.

Following an informed concent with his parents, you recommended that he needed red blood
cell transfusion. He had to control regularly for blood transfusion and other medication.

Epilogue:
TAUFIQ needed regular red blood cell transfusion. After transfusion he looked well.
He will need it throughout his life and he should be monitored

3
4
5
Prognosis:

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : ad malam

*ROS = Reactive Oxygen Species


RPI = Reticulocye Production Index

6
NARASI FCM
Pasien pada kasus ini adalah seorang anak laki-laki berusia 6 bulan berinisial T.
Pasien ini mengalami mutasi pada gen β globin di kromosomnya. Hal ini didukung dengan
faktor risiko berupa mutasi yang bersifat herediter. Akibat mutasi pada gen β globin di
kromosom tersebut, pasien mengalami kekurangan sintesis β globin, sehingga pasien berada
pada kondisi β Thalassemia Major. Pada keadaan tersebut, produksi HbA yang seharusnya
terdiri dari globin rantai α dan β menurun karena kurannya sintesis rantai β. Rantai α yang
diproduksi berlebih akan beragregasi menyebabkan terbentuknya inklusi dan Reactive
Oxygen Species. Kedua hal tersebut memicu kerusakan membran sel darah merah.
Deformabilitas sel darah merah menjadi menurun, sehingga ketika sel darah merah
melewati saluran mikrovaskulatur akan terjepit dan morfologinya akan menjadi teardrop cells
karena sel darah merah kehilangan kemampuan untuk kembali ke bentuk naturalnya. Sel
darah merah akan dieliminasi melalui liver dan spleen (limpa). Proses ini disebut dengan
hemolisis dan dominan terjadi secara ekstravaskular. Karena sel darah merah yang
mengalami kerusakan karena penurunan deformabilitas akan dieliminasi melalui proses
hemolysis, akan banyak sel darah merah yang mengalami hemolisis sehingga sel darah merah
dalam tubuh akan berkurang.
Meningkatnya sel darah merah yang dieliminasi menyebabkan meningkatnya pula
perombakan hemoglobin. Hemoglobin akan dipecah menjadi globin yang selanjutnya akan
dirombak menjadi asam amino, dan heme. Heme akan dipecah menjadi komponen
penyusunnya. Pertama ada protoporphyrin. Protoporpyhrin akan menjadi biliverdin yang
selanjutnya akan menjadi unconjugated bilirubin (UCB). Karena perombakan hemoglobin
meningkat, UCB pun meningkat, sehingga albumin yang tersedia dalam plasma tidak
mencukupi untuk mengkonjugasi UCB. UCB mengalir dalam pembuluh darah secara bebas
dan akan berikatan dengan komponen lipid pada membrane sel. Hal ini akan menyebabkan
kulit berwarna kekuningan (jaundice).
Komponen heme yang kedua adalah Fe2+. Fe2+ akan berikatan dengan transferrin.
TIBC dalam plasma akan tersaturasi, dan kadar ferritin dalam darah akan meningkat. Kadar
sel darah merah normal yang berkurang menyebabkan asupan oksigen ke jaringan yang
berkurang akan menyebabkan hypoxia sehingga kadar ATP berkurang sehingga akan timbul
gejala fatigue dan physical weakness. Kulit pun akan terlihat pucat karena asupan sel darah
merah ke perifer berkurang. Selain itu akan ada manifestasi kardiovaskular yang terjadi
secara langsung yaitu meningkatnya aliran darah.

7
Keadaan hypoxia juga memicu kompensasi sistem pulmonari. Kurangnya asupan
oksigen ke jaringan menyebabkan tubuh berusaha menambah asupan oksigen dengan cara
menaikkan frekuensi pernapasan, sehingga napas akan menjadi pendek dan cepat (shortness
of breath). Darah akan dipompa lebih cepat dan menimbulkan palpitasi dan ditandai dengan
naiknya denyut nadi. Manifestasi kardiovaskular berupa meningkatnya aliran darah dan
shortness of breath menyebabkan meningkatnya turbulensi, sehingga akan terdengar systolic
murmur. Keadaan shortness of breath pun menyebabkan kerja pompa dan volume jantung
meningkat. Otot jantung akan mengalami hipertropi, sehingga akan tampak kardiomegali dan
ictus (denyutan dinding thorax karena pukulan ventrikel kiri pada dinding thorax) akan
hiperaktif.
Kembali ke berkurangnya sintesis rantai β, rantai α akan berikatan dengan rantai γ,
sehingga hemoglobin yang akan terbentuk adalah HbF (α2ɣ2). HbF tidak memiliki afinitas
terhadap oksigen sebaik HbA. Hal ini menyebabkan distribusi O2 akan terganggu. Ginjal
akan merespon dengan mensekresi erythropoietin yang akan memicu terjadinya
erythropoiesis. Karena kebutuhan tubuh akan oksigen meningkat begitu hebat, erythropoiesis
di sumsum tulang pun tidak cukup, sehingga akan terjadi erythropoiesis secara extramedullar.
Erythropoiesis tersebut terjadi di spleen dan liver. Kerja spleen dan liver akan menjadi lebih
keras lagi karena di saat yang bersamaan macrophage pada kedua organ tersebut
berproliferasi dan bekerja untuk proses hemolysis. Keadaan meningkatnya kerja spleen dan
liver tersebut menyebabkan terjadinya hepatomegali dan splenomegali.
Proses erythropoiesis dalam sumsum tulang meningkat. Namun karena permintaan
produksi sel darah merah meningkat, sel darah merah yang belum matang akan keluar lebih
cepat, sehingga akan terjadi reticulocytosis. Reticulocytosis ini terjadi karena produksi sel
darah meningkat sebagai kompensasi dari meningkatnya laju hemolysis, sehingga
Reticulocyte Production Index dalam kasus ini >3%. Pada pemeriksaan sediaan apus darah
tepi, akan ditemukan polychromasia. Selain itu, karena ada sel-sel belum matang yang terlalu
dini dikeluarkan, akan ditemukan sisa-sisa bahan genetik berupa basophilic stippling.
Selain itu, jumlah zat besi di darah akan tidak mencukupi untuk sintesis Hb. Terjadi
berlebihnya membrane kolesterol pada sel darah merah. Membran sel darah merah akan
menebal di bagian pusatnya, sehingga akan tampak menjadi target cells. Kekurangan
komponen-komponen esensial dalam pembentukan sel darah merah menyebabkan
pembelahan sel yang eksesif sehingga sel darah yang dihasilkan ke perifer akan berukuran
kecil. Keadaan di mana ukuran sel darah merah yang ada bermacam-macam disebut sebagai
anisocytosis. Keadaan tersebut merupakan penafsiran dari temuan laboratorium berupa

8
tingginya RDW dan rendahnya MCV. Hemoglobin yang kurang jumlahnya menyebabkan sel
darah merah berwarna lebih pucat, yang merupakan penafsiran dari hasil laboratorium berupa
rendahnya MCHC dan MCH.

LEARNING OBJECTIVES
1. Structure and development of Hb throughout human life
2. Anatomy and histology of spleen and liver as hematologic organs
3. Explain mechanism of normal erythrocyte lifespan and destruction
4. Outline the definition of hemolytic anemia
5. Outline the abnormality of globin and its genetic relationship
6. Outline the classification of hemolytic anemia
7. Outline the symptoms and physical signs of hemolytic anemia and its patophysiology
8. Explain and interpret lab findings of hemolytic anemia
9. Outline the DD of hemolytic anemia
10. Outline the definition of anemia and Hbpathy
11. Outline the etiology and classification of thalassemia syndrome
12. Outline the pathogenesis and patophysiology of thalassemia syndrome
13. Diagnostic criteria of thalassemia
14. Outline the management of thalassemia syndrome, especially beta thalassemia
major
15. Outline the course and prognosis of thalassemia, especially beta thalassemia major
(including complication)

9
STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN
HEMOGLOBIN SELAMA HIDUP
MANUSIA
A. Struktur

Protein Globin Heme Protoporfirin III Besi (dalam bentuk Fe2+)

 Hemoglobin: Protein globular, mengandung heme, pigmen yang memberikan warna


merah pada darah ketika berikatan dengan oksigen.
 Molecular mass= 64,4 kilodalton (kD)
 Merupakan 95% dari RBC dry weight, atau 33% dari volume RBC
 65% sintesis dari hemoglobin terjadi pada saat nucleated stage dari pembentukan
RBC, 35% terjadi pada tahap retikulosit.
 Molekul hemoglobin berbentuk spherical , dan terdiri ata 2 komponen utama, yaitu 4
heme (cincin protoporfirin dengan Fe2+) dan globin (tetramer dengan dua pasang
rantai polipeptida).
 Fungsi: membawa oksige dari paru-paru ke jaringan
 Setiap heme mengikat satu molekul oksigen

10
Hemoglobin terdiri dari empat protein globin (setiap globin merupakan struktur tersier) lalu
setiap globin terdapat satu gugus prostetik yaitu heme. Heme pun gabungan dari protoporfirin
III dan besi.

Pada manusia normal dari masa embrio hingga menjadi dewasa, setiap hemoglobin pasti
terdiri dari dua jenis protein globin. Protein-protein yang ditemukan pada manusia ada 6 dari
masa embrio hingga masa dewasa. yaitu zeta, alfa, epsilon, gama, beta, delta globin
(penyebutan sesuai urutan di tabel bawah).

Perkembangan Hb

 HbF adalah Hb utama saat di dalam kandungan karena afinitasnya terhadap O2 yang
lebih tinggi daripada HbA, sehingga bisa menarik (mencuri) oksigen yang sudah
berikatan dengan HbA ibu. (karena bayi bernafas melalui oksigen dari darah ibu)
 Ketika lahir, HbF diganti dengan HbA karena afinitas tinggi yang dimiliki HbF
membuatnya mengikat oksigen terlalu kuat sehingga sulit dilepaskan untuk
disebarkan ke jaringan.

11
Ketika berusia 2 tahun, Hb F menyusun kurang dari 2% total hemoglobin. Produksi rantai β
meningkat secara bertahap sebelum lahir dan mencapai persentase dewasa antara 3 sampai 6
bulan setelah kelahiran. Seluruh hemoglobin dewasa yang normal terbentuk sebagai tetramer
yang terdiri dari 2 rantai α ditambah 2 rantai globin non-α. Eritrosit dewasa yang normal
terdiri dari jenis-jenis hemoglobin berikut:

Hemoglobin Dewasa Di sitoplasma, setiap rantai


globin yang telah disintesis berikatan
3%1%
dengan heme (ferroprotoporphyrin IX)
untuk membentuk hemoglobin, yang
terdiri dari dua rantai α, dua rantai β,
dan empat gugus heme.

96%

HbA HbA2 HbF

Hematopoiesis Prenatal & Postnatal

12
Sintesis hemoglobin dapat terbagi menjadi 2 fase.

1. Sintesis protoporphyrin sebagai prekursor dari heme


2. Sintesis globin

Sintesis protoporphyrin dimulai di mitokondria dengan dibentuknya senyawa δ-


aminolevulinic acid (δ-ALA) dari asam amino, glisin dan suksinil ko-A. δ-ALA synthase,
enzim mitokondrial yang memperantarai reaksi tersebut, dipengaruhi oleh hormone
erythropoietin dan memerlukan keberadaan kofaktor pyridoxal phosphate (vitamin B6).

Porphyrinogen merupakan bentuk intermediet dari sintesis heme. Porphyrinogen adalah


senyawa tetrapyrroles yang tidak stabil, dan siap untuk dioksidasi menjadi porphyrin melalui
suatu reaksi yang ireversibel. Sebaliknya, porphyrin merupakan molekul yang sangat stabil,
biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit di dalam urin sebagai produk dari katabolisme
normal sel darah merah.

13
Sintesis globin terjadi pada RBC-specific cytoplasmic ribosomes, yang diinisiasi dari
penurunan berbagai gen struktural yang bervariasi. Setiap gen menghasilkan pembentukan
sebuah rantai polipeptida yang spesifik. Setiap sel-sel somatis diploid, termasuk eritrosit,
mengandung empat alpha (α), dua zeta (δ), dua beta (β), dua delta (δ), dua epsilon (ε), dan
empat gamma (γ). Gen α dan δ terletak pada kromosom 16, sementara gen β, δ, ε, dan γ
terletak pada kromosom 11. Produk yang dihasilkan oleh gen-gen tersebut, secara berurutan
disebut rantai α, δ, β, δ, ε, dan γ.

ERITROPOIESIS
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darah merah. Proses ini terjadi di
sumsum tulang dan bertujuan untuk menjaga jumlah eritosit di jaringan.

Proses Maturasi

Erythroid progenitos

Secara morfologis prekursor


eritrosit berkembang dari
progenitor BFU-E (burst-
forming unit-erythroid) dan
CFU-E (colony-forming unit-
erythroid). Estimasi waktu
yang diperlukan untuk setiap
tingkat perkembangan adalah
sekitar satu minggu untuk

14
BFU-E menjadi CFU-E dan satu minggu lagi untuk CFU-E menjadi pronormoblast, yang
merupakan awal prekursor RBC.

Erythroid precursor

Pronormoblast dapat membagi menjadi basophilic normoblast. Tiap basophilic


normoblast dapat membagi menjadi plychromatic normoblast. Tiap polychromatic
normoblast dapat membagi dan matang menjadi orthochromatic normoblast.

Tahapan dari pematangan dapat diketahui dari nukleus dan sitoplasma. Kualitas yang
dapat dijadikan indikator dalam pengidentifikasian proses pematangan adalah pola
kromatin di nukleus (teksur, densitas, homogenisitas), diameter nukleus, rasio
nukelus:sitoplasma (N:C).

Ciri ciri:

1. Secara keseluruhan diameter sel berkurang


2. Diameter nukleus berkurang dan menjadi lebih padat. Sehingga menghasilkan N:C ratio
berkurang.

3. Pola kromatin menjadi kasar, menggumpal, dan


memadat.
4. Nukleolus menghilang. Pada saat eritrosit matang
nucleoli menghilang, yang mana sebagai awal dari
berhentinya sintesis protein.
5. Sitoplasma berubah dari biru ke abu-abuan, biru, lalu
pink. Kebiruan menunjukkan basophilia. Derajat dari
cytoplasmic basophilia berhubungan dengan jumlah ribosomal RNA. Organel ini menurun
selama perkembangan eritrosit, sehingga jumlah rRNA semakin sedikit. Kemerah mudaan
menunjukkan eosinophilia yang berhubungan dengan akumulasi dari hemoglobin.

15
Penuaan dan Perombakan Eritrosit (Senesensia)

RBC, melakukan perjalanan sekitar 200 sampai 300 mil selama 120 hari masa hidup. Selama
perjalanannya RBC melakukan proses senescence atau penuaan. Berbagai macam perubahan
fisik dan metabolik berhubungan dengan proses penuaan dari RBC.

Perubahan yang terjadi

Peningkatan Penurunan

 IgG membran  Beberapa aktivitas


 Density enzim
 Bentuk sferoid  Asam sialat
 MCHC  Deformabilitas
 Viskositas  MCV
 Penggumpalan  Fosfolipid
 Na+  Kolesterol
 Methemoglobin  K+
 Afinitas oksigen  Protoporphyrin

Setiap hari 1 % RBC yang sudah tua diambil oleh sistem perombakan makrofag yang dikenal
sebagai reticuloendothelial system (RES) atau mononuclear phagocytic system (MPS). RBC

16
ini digantikan setiap hari oleh 1% reticulosit dari storage pool di sumsum tulang. Penuaan sel
juga menurunkan kerja enzim glikolitik yang menghasilkan penurunan produksi energi dan
menghilangkan deformabilitas. Sel RES terdapat di berbagai organ, contohnya di dalam lien
yang disebut dengan littoral cell yang merupakan detektor RBC abnormal yang paling
sensitif.

Extravascular hemolysis

90% penghancuran dari RBC tua terjadi pada proses extravascular hemolysis. Pada proses
ini, RBC yang tua atau rusak difagosit oleh sel sel di RES dan dicerna dengan enzim dari
lisosom. Molekul hemoglobin dibongkar dan dihancurkan menjadi berbagai komponennya.
Besi dikembalikan oleh protein karier plasma (transferrin) yang mentransport besi tersebut ke
prekursor eritroid di sumsum tulang untuk disintesis menjadi hemoglobin yang baru.

Globin dihancurkan menjadi asam amino dan dikembalikan ke gudang/penyimpanan asam


amino. Terakhir, protoporphyrin ring dari heme dihancurkan dan α karbonnya dikeluarkan
dalam bentuk karbon monoksida. Biliverdin, dikonversikan menjadi bilirubin dan dibawa
oleh plasma protein albumin ke hepar. Di dalam hepar, bilirubin dikonjugasi dengan
glucuronide dan diekskresikan bersamaan empedu ke usus halus. Di sana, conjugated
bilirubin dikonversikan lebih lanjut degan bantuan bakteri, mejadi urobilinogen
(stercobilinogen) dan diekskresikan di dalam feses. Beberapa persen urobilinogen diabsorbsi
melalui sirkulasi enterohepatik, disaring oleh ginjal, dan diekskresikan dalam jumlah sedikit
dalam urin. Unconjugated (prehepatic) dan conjugated (posthepatic) bilirubin dapat diukur di
dalam plasma sebagai indirect dan direct bilirubin, dan dapat digunakan untuk mengamati
tingkat hemolisis yang terjadi.

Intravascular hemolysis

Hanya 5%-10% dari perombakan RBC normal


terjadi melalui proses intravascular hemolysis.
Selama proses ini, penghancuran RBC terjadi
di dalam lumen dari pembuluh darah. RBC
yang pecah mengeluarkan hemoglobin
langsung ke peredaran darah. Molekul
hemoglobin yang pecah mengeluarkan dimer
αβ dan dibawa bersama haptoglobin sebagai

17
karier proteinnya. Haptoglobin-hemoglobin complex mencegah ginjal untuk mengekskresi
hemoglobin dan membawa dimer tersebut ke sel hepar untuk katabolisme lebih lanjut. Level
haptoglobin turun di dalam plasma karena haptoglobin hilang seiring dengan pembentukan
kompleks hemoglobin-haptoglobin. Pada saat haptoglobin turun, unbound hemoglobin dimers
muncul di plasma (hemoglobinemia) dan disaring melalui ginjal dan direabsorbsi oleh sel sel
tubular ginjal. Kapasitas serap tubular ginjal sekitar 5 g per hari dari hemoglobin yang
disaring. Pada level ini, free hemoglobin terdapat di urin (hemoglobuniria).

Hemoglobinuria selalu terkait dengan hemoglobinemia. Dua pigmen hemoglobin,


yaitu oxyhemoglobin dan methemoglobin diproduksi oleh oksidasi dari hemoglobin di dalam
saluran kemih ketika urin bernuansa asam. Oxyhemoglobin bewarna merah cerah, dan
methemoglobin coklat tua. Warna dari urin tergantung dari jumlah hemolysis dan konsentrasi
dan perbandingan dari kedua pigmen. Oxyhematoglobin mendominasi di dalam urin alkaline,
dan methomoglobin mendominasi pada urin yang asam.

Hemoglobin yang tidak diproses oleh ginjal atau berikatan dengan haptoglobin
dioksidasi menjadi methemoglobin yang nantinya diproses menjadi kelompok metheme yang
dikeluarkan dan globin yang digredasikan. Free metheme secara cepat berikatan dengan
protein transport lain, hemopexin, dan dibawa menuju sel hepar untuk dikatabolisme.
Kapasitas heme-binding dari hemopexin sekitar 50-100 mg/dL; ketika metheme melebihi,
kelompok metheme bergabung dengan albumin mebentuk methemalbumin. Albumin tidak
dapat mentransfer metheme melewati membran dari hepatosit. Sehingga menghasilkan
methemalbumin yang bersirkulasi sampai hemopexin tambahan dibentuk oleh hepar.

18
ANATOMI LIVER DAN LIMPA
1. Hepar
a) Topografi

Hepar atau hati adalah organ terbesar yang


terletak di region hipokondrium kanan (right
hypochondrium) dan epigastrik (epigastric).
Sebagian dari hepar berada di region
hipokondrium kiri (left hypochondrium) atau
di kuadran kanan atas dan memanjang
sampai kuadran kiri atas.

Anterior : dinding abdomen (abdominal


wall) dan tulang rusuk (thoracic cage)
Posterior : esofagus, lambung, kolon
transversum (transverse colon), duodenum
Superior : diafragma
Inferior : lambung

b) Fungsi Hepar
1) Sintesis protein plasma (fibrinogen, albumin, apolipoprotein, transferrin, dll)
2) Mengubah asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis)
3) Detoksifikasi racun dan obat-obatan
4) Tempat terjadinya deaminasi asam amino yang menghasilkan urea
5) Menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen
6) Menyimpan vitamin A dan vitamin larut lemak lainnya
7) Merusak eristrosit rusak dan tua (dilakukan oleh makrofag bernama sel
Kupffer)
8) Menyimpan zat besi dalam bentuk ferritin

19
c) Histologi Hepar
Hepar memiliki unit
fungsional dasar yang
disebut sebagai lobul
hepatis (hepatic lobules),
yaitu kumpulan
hepatosit yang tersusun
melingkari/mengitari
vena sentral (central
vein). Di ujung/perifer
lobul hepatis terdapat
portal triad, yaitu portal
area (“gerbang masuk”)
yang terdiri dari cabang arteri hepatikus, cabang vena porta hepatika, dan cabang
saluran empedu. Cabang arteri hepatikus dan vena portal menjalar menuju vena
sentral yang disebut sinusoid (dengan kata lain, cabang pembuluh darah yang berada
diantara hepatosit).
d) Vaskularisasi
Hepar menerima oksigen dari arteri hepatikus dan menerima nutrisi dari vena porta
yang berasal dari lambung, limpa, dan ileum. Hepar menerima darah dari arteri
hepatikus lebih sedikit daripada dari vena porta. Jalur vaskularisasi hepar : Aorta –
trunkus coeliacus (celiac trunk) – arteri hepatikus (O2) + vena porta (nutrisi + CO2) –
liver – vena hepatikus –vena cava inferior.
e) Hepatomegali
Hepatomegali merupakan pembesaran hepar hingga ukuran diatas batas normal.
Pada neonatus atau bayi baru lahir, batas normal panjang hepar adalah 3,5 cm
dibawah margin kostal kanan (right costal margin). Pada anak-anak, batas normal
panjangnya adalah 2 cm dibawah margin kostal kanan.
2. Limpa
a) Topografi
Limpa terletak di superolateral pada kuadran kiri atas atau hipokondrium kiri.
Organ ini rentan mengalami kerusakan akibat trauma. Namun, untungnya, limpa

20
dilindungi oleh tulang rusuk dan diafragma. Limpa terletak di tulang rusuk ke 9 –
11. Volume normal limpa adalah 12x7x3 cm3.
Anterior : lambung
Posterior : bagian kiri diafragma
Inferior : left colic flexure (lekukan kolon)
Medial : ginjal kiri

b) Fungsi
1) Memfagosit eritorit yang sudah tua dan rusak
2) Menyimpan 1/3 platelet dalam tubuh untuk mengatur jumlah platelet dalam
sirkulasi
3) Mendaur ulang besi dan globin
4) Produksi antibodi dan aktivasi limfosit

c) Histologi
Limpa terdiri dari dua macam sel,
yaitu pulpa putih (white cell) dan
pulpa merah (red cell). Pulpa putih
hanya menyusun 20% bagian limpa,
sedangkan pulpa merah menyusun
80% bagian limpa.

Pulpa putih tersusun atas


periarteriolar lymphoid sheaths
(PALS), zona marginal, dan folikel

21
limfoid. PALS mengandung banyak makrofag dan sel T, zona marginal
mengandung banyak makrofag khusus bernama methalophilic macrophage, dan
folikel mengandung banyak sel B. Pulpa putih berfungsi dalam produksi antibodi.

Pulpa merah tersusun atas sinusoid (venous sinus) dan korda splenika (splenic
cords atau bilroth cords). Billroth cords merupakan suatu daerah pertemuan antara
arteri terminalis (terminal artery) dan venous sinus yang memiliki banyak makrofag
untuk memfagosit sel-sel darah merah yang tua dan abnormal.

d) Vaskularisasi
Limpa menerima oksigen dari arteri limpa (splenic artery) dan mengeluarkan
karbondioksida melalui vena limpa (splenic vein). Arteri limpa bercabang di limpa
menjadi arteri sentral yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri terminalis.
Ujung arteri ini tidak memiliki dinding, akibatnya sel darah merah menuju ke
jaringan secara langsung. Daerah di sekitar ujung arteri ini disebut korda splenika
yang memiliki banyak makrofag dan sinusoid. Ujung venous sinus pada korda
memiliki sel-sel endotelium yang jaraknya berjauhan (split) membentuk celah-celah
sehingga sel eritrosit normal dapat masuk ke venous vein. Sinusoid ini menjadi
selektor yang memisahkan sel eritrosit normal dan abnormal. Eritrosit abnormal
tidak akan mampu memasuki sinusoid sehingga terperangkap di billroth dan
difagosit oleh makrofag. Kemudian darah menuju vena pengumpul (collecting vein)
yang diteruskan ke vena limpa. Vena limpa akan bergabung dengan vena

22
mesenterika membentuk vena porta. Jalur vaskularisasi limpa : Aorta – trunkus
coeliacus – arteri limpa – arteri sentral – arteri terminalis – korda splenika – venous
sinus – vena pengumpul – vena limpa – vena porta – vena hepar – vena cava
inferior.

3. Penyebab hepatosplenomegali
1) Hepatitis
2) Demam tifoid
3) Leukimia
4) Limfoma
5) Anemia Pernisiosa (Pernisious
anemia)
6) Anemia Sel Sabit (Sickle cell
anemia)
7) Thalassemia
8) Penyakit Mieloproliferatif
(Myeloproliferative disease)
9) Myelofibrosis

23
HEMOLITIK ANEMIA
A. Definisi
Hemolitik anemia adalah anemia karena penghancuran RBC yang premature sehingga
meningkatkan kapasitas sumsum tulang untuk memproduksi RBC.

B. Klasifikasi dan Etiologi


1. Seluler, akibat dari kelainan intrinsic membrane, enzim atau hemogoblin.
Kebanyakan kelainan seluler diwariskan (contohnya hemoglobinuria nocturnal
paroksimal).
a. Herediter
- Defek membran
- Defek enzim
- Hemoglobinopati
- Talasemia
b. Acquired (Didapatkan)
- Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
2. Ekstraseluler, akibat dari antibodi, faktor mekanik atau faktor plasma. Kebanyakan
kelainan ekstraseluler akuisita/didapatkan.
a. Imunitas
b. Infeksi
c. Paparan zat kimia, benturan fisik
d. Hypersplenism
e. Kelainan sistemik lainnya.

24
Diagnosis Defek Uji Laboratorium Terapi

Defek Selular

Defek Membran

SFEROSITOSIS 1. Defek protein 1. Sferositosis pada 1. Jka Hb>10 g/dL


HEREDITER sitoskeleton preparat apus darah dan retik. Jika
2. Sering melibatkan 2. Fragilitas osmotik <10% - tidak perlu
interaksi vertikal terinkubasi 2. Jika anemia berat,
spektrin ankirin, meeningkat pertumbuhan
protein 3 3. Uji Coombs negatif lambat, krisis
4. Analisis protein aplastik dan umur
sitoskeleton abnormal < 2 tahun -
transfusi.
3. Jka Hb<10 g/dL
dan retik >10%
atau Splenomegali
masif -
splenektomi, lebih
dipilih pada usia 6
tahun tetapi lebih
cepat bila perlu
4. Asam folat 1 mg
per hari
ELIPTOSITOSIS 1. Defek protein 1. Eliptositosis pada 1. Bentuk ringan -
HEREDITER sitoskeleton preparat apus darah tidak ada terapi
2. Sering melibatkan 2. Eritrosit sensitif 2. Hemolisis kronis –
interaksi horizontal ringan terhadap panas transfusi dan
spektrin, protein 3. Analisis protein splenektomi seperti
4.1, glikoforin C sitoskeletal normal direkomendasikan
diatas
3. Asam folat 1 mg
per hari

25
PIROPOIKILO- 1. Defek protein 1. Variasi berat ukuran 1. Transfusi dan
sitoskeleton dan bentuk eritrosit splenektomi
SITOSIS
2. Abnormalitas pada preparat apus direkomendasikan
HEREDITER
homozigot atau darah untuk sferositosis
heterozigot ganda 2. Sensitifitas terhadap 2. Asam folat 1 mg
pada interaksi panas – fragmentasi per hari
horizontal spektrin pada 450C selama 15
A menit

STOMATOSITO- 1. Defek protein 1. Stomatosit pada 1. Respon terhadap


sitoskeleton preparat apus darah splenektomi
SIS HEREDITER
2. Penurunan protein bervariasi
7.2 b (1 set) 2. Asam folat 1 mg
3. Kandungan kation per hari
dan air pada
eritrosit yg
abnormal
HEMOGLOBIN- 1. Kelainan sumsum 1. Uji Ham, uji lisis 1. Asam folat 1 mg
akuisita primer sukrosa per hari
URIA
2. Eritrosit biasanya 2. Aspirasi sum sum dan 2. Sitopenia ringan -
NOKTURNAL
sensitif terhadap biopsi untuknmenilai tidak ada terapi
PAROKSIMAL
lisis yaang selularitas 3. Hemolisis kronis
diperantarai 3. Penurunan faktor dan sitopenia lain –
komplemen percepatan Prednison 60 mg
pembusukan (decay perhari pada
acceleration factor) mulanya,
kemudian menurun
jika mungkin;
kronis 15-40 mg
per hari
4. Besi untuk
defisiensi besi
sekunder
5. Androgen-

26
Halotestin 10-30
mg per hari
6. Cangkok sum sum
tulang untuk
pansitopenia

Defisiensi Enzim

DEFISIENSI 1. Enzim abnormal 1. Assay PK-penurunan 1. Jika anemia berat


PIRUVAT atau menurun Vmaks atau jarang dengan keluhan
KINASE varian Km tinggi pertumbuhan
terhambat-transfusi
2. Asam folat 1 mg
per hari
3. Splenektomi umur
>6 tahun tetapi
lebih awal bila
perlu
DEFISIENSI 1. Tipe A: enzim labil 1. Assay G6PD 1. Hindari stres
G6PD tergantung umur oksidan terhadap
2. Tipe Mediteranian : eritrosit
tidak ada aktifitas 2. Tranfusi jika
enzim dalam anemia akut
eritrosit yang bergejala
bersikulasi
ABNORMALI-

TAS
HEMOGLOBIN
(HEMOGLOBIN
OPATHY)

27
Defek Ekstraselular

Autoimun

ANTIBODI Perubahan pada 1. Sferosit pada preparat 1. Jika Hb >10 g/dl +


"HANGAT" antigen permukaan apus darah. retikulosit <10 %
membran (RH) atau 2. Uji Coombs direct tidak perlu
respons abnormal positif untuk antibodi melakukan terapi.
Iimfosit-B, yang IgG "hangat" langsung 2. Apabila terjadi
menyebabkan terhadap eritrosit. anemia berat
pembentukan antibodi 3. Uji Coombs indirect mungkin
positif dan antibodi memerlukan
dapat dideteksi dalam transfusi
plasma. 3. Prednison
4. Amplitudo suhu 35- 2mg/kg/24 jam.
40oC. 4. ICIV
5. Beberapa komplemen 5. Danazol
(C3b) dapat dideteksi 6. Splenektomi
pada eritrosit. 7. Lmunosupresif
6. Uji untuk penyakit 8. Asam folat I mg/24
yang mendasari. jam jika kronis

ANTIBODI Autoantibodi "dingin'' 1. Aglutinasi atau 1. Jika Hb >10 g/L =


“DINGIN” atau IgM diarahkan rouleaux pada preparat retikulosit <10%
terhadap sistem antigen apus darah. tidak perlu
I/i 2. Uji Coombs direct transfusi,
positif terhadap 2. jika anemia berat
komplemen (C3b). mungkin
3. Uji untuk penyakir memerlukan
yang mendasari. transfusi.
4. Serologi untuk 3. Hindari pajanan
mononukleosis terhadap dingin.
infeksiosa; terdapat 4. Jika berat: tanggap
anti-i. imun yang lemah

28
5. Serologi untuk dan plasmaferesis
Mycoplasma 5. Prednison kurang
pneumoniae ; terdapat efektif.
anti-l. 6. Splenektomi tidak
bermanfaat.
7. Asam folat I mg/24
jam jika kronis.
Fragmentasi

-DISSEMINATED Kerusakan langsun Fragmen pada preparat 1. Terapi penyakit


INTRAVASCU- Fragmen pada preparar apus darah. yang mendasari.
apus darah g pada 2. Transfusi : tetapi
LAR COAGULA-
membran eritroiit. sel yang
TION (DIC) ditransfusikan juga

- THROMBOTIC akan berumur

THROMBOCY- pendek.

TOPENIC
PURPURA (TTP)

- HEMOLYTIC
UREMIC
SYNDROME
(HUS)

OKSIGENASI Kerusakan langsung Fragmen pada preparat 1. Suportif Transfusi


MEMBRAN pada membran apus darah. sampai ECMO
EKSTRAKORPO- eritrosit. (Extracorporeal
membrane
REAL
oxygenation)
dihentikan
KATUP Kerusakan langsung Fragmen pada preparat 1. Asam folat I
JANTUNG pada membran apus darah. mg/24jam jika
PROSTESIS eritrosit. kronis.
2. Besi untuk
defisiensi besi

29
sekunder.

LUKA BAKAR- Kerusakan langsung Sferosit pada preparat Suportif Transfusi


CEDERA SUHU. Fragmen pada preparar apus darah.
apus darah g pada
membran eritrosit.

HIPERSPLENIS- Efek sekuestrasi, pH Trombositopenia dan 1. Terapi penyakit


menurun, lipase dan neutropenia. yang mendasari
ME
enzim lainnya. Dan sitopenia biasanya
makrofag pada ringan.
eritrosit. 2. Splenektomi jika
komplikasi dengan
anemia lain,
misalnya
thilassemia mayor.
3. Asam folat 1
mg/24 jam.
Faktor Plasma

PENYAKIT HATI Perubahan kolesterol 1. Sel target atau eritrosit 3. Terapi penyakit
dan fosfolipid plasma. berduri pada preparat yang mendasari.
apus darah. 4. Transfusi, tetapi
2. Uji fungsi hati sel yang
abnormal. ditransfusikan juga
akan mempunyai
umur pendek.
5. Asam folat 1
mg/24jam.
ABETALIPOPRO Tidak ada 1. Akansitosis pada 3. Vitamin E (A, K,
TEINEMIA apoipoprotein B (beta). preparat apus darah. dan D)
Defisiensi vit. E dan 2. Tidak ada 4. Asam folat I mg/24
peningkatan kilomikron,VLDL dan jam Restriksi diet

30
sensitivitas terhadap LDL. trigliserida.
kerusakan oksidatif.

INFEKSI Efek toksik pada 1. Gejala dan tanda yang Artibiotika


eritrosit. terkait.
Suportif.
2. Biakan.
PENYAKIT Pengaruh tembaga 1. Sferositosis pada 1. Pinisilamin
WILSON pada membran preparat apus darah. 2. Suportif Transfusi
eritrosit, biasanya 2. Tembaga, jika anemia akut
sembuh sendiri (self seruloplasmin bergejala.
limited). 3. Tantangan penisilamin
dan ekskresi tembaga
urin.

Source : Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2, hal 1695-1698


C. Proses Hemolisis
a. Extravaskuler
Darah yang sudah tua atau rusak akan dibawa melalui hati dan lien. Ketika
melewati organ tersebut, sel-sel darah yang tidak normal akan terperangkap dan
tidak dapat mengalir dengan baik sehingga akan dikenali sebagai zat asing yang
kemudian dihancurkan oleh makrofag. Zat sisa yang tidak terpakai akan dibuang
(salah satunya Hb), yang masih bisa dipakai akan di daur ulang untuk
pembentukan RBC yang baru (salah satunya Fe)
b. Intravaskuler
Sel darah yang masih berada dalam pembuluhnya secara tiba-tiba pecah
atau lisis yang menyebabkan keluarnya komponen-komponen darah yang beracun
bagi tubuh. Hal ini diantisipasi dengan datangnya substansi dalam tubuh untuk
menetralkan itu semua (Hb akan diikat oleh Haptoglobin). Komponen yang tidak
terpakai akan langsung difagosit oleh makrofag, namun jika masih bisa digunakan
akan di alirkan ke tempat yang membutuhkan.

31
D. Tanda dan Gejala
Gejala anemia secara umum muncul pada kondisi anemia hemolitik, namun
sebagai ciri khas adalah ditemukannya jaundice atau kekuningan pada kulitnya dan
scleranya.
E. Hasil Laboratorium
a. Darah Rutin
- Hb turun
- Ht turun
- RBC turun
b. Tes darah lain
- Bilirubin meningkat
- Haptoglobin menurun
- RPI (Reticulocyte Production Index) meningkat
c. Tes urin, terdapat hemoglobinuria
d. Sumsum tulang

Pada penderita anemia hemolitik (bagian kanan) ditemukannya hiperplasia eritroid


yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel-sel prekursor eritrosit (yang berwarna ungu
kebiruan), normalnya, perbandingan antara jumlah myeloid dan eritroid adalah 3-5:1, akan
tetapi pada penderita anemia hemolitik mencapai 1:4. Gambar sebelah kanan juga
menunjukkan hal yang sama, bahwa hasil biopsi sumsum tulang menunjukkan adanya
dominansi prekursor sel darah merah.
Sumber :
Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas 14th Edition pg. 286, 335-340, &343
Moore Clinically Oriented Anatomy 7th Edition pg 263 & 268
Guyton & Hall Textbook of Medical Physiology 13th Edition pg. 881
https://www.youtube.com/watch?v=RezL2xWFCe8
https://www.youtube.com/watch?v=a1vgszd5_yM&t=197s

32
HEMOGLOBIN ABNORMAL DAN
HEMOGLOBINOPATI

Hemoglobinopathies adalah adanya sintesis hemoglobin yang abnormal secara kualitas


atau kuantitas. (Harmening;5th Edition; Halaman 208).

Hemoglobinopathies ini diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Hemoglobin yang abnormal tanpa signifikansi klinis

2. Hemoglobin yang saling menumpuk dan menyatu (aggregasi)

Klasifikasi ini adalah hemoglobinopathies yang paling sering terjadi. Contohnya adalah
penyakit sickle cell anemia. Dimana pada sickle cell anemia, terjadi subtitusi asam amino
dari asam glutamat menjadi valin pada posisi asam amino keenam dari ujung gugus
amina di rantai β. Sehingga yang terproduksi adalah HbS. HbS akan bekerja normal jika
teroksigenasi dengan baik, namun ketika oksigen turun asam amino yang men-subtitusi
(valin) akan terpolimerisasi menyebabkan bentuk sel berubah menjadi bentuk sickle.
(Harmening; 5th Edition;Halaman 209-210)

3. Ketidakseimbangan sintesis haemoglobin

Contoh dari klasifikasi ini adalah thalassemia. Thalassemia merupakan penyakit genetik
yang disebabkan karena berkurangnya sintesis dari rantai globin pada haemoglobin. (
Harmening; 5th Edition; Halaman 231)

4. Ketidakstabilan Hemoglobin

Ketidakstabilan haemoglobin disebabkan karena adanya substitusi dan delesi asam amino.
Sehingga melemahkan ikatan rantai globin, lalu menyebabkan rantai globin tidak mampu
menjaga struktur molekulnya. Ketidakstabilan ini akan mengakibatkan haemoglobin
terdenaturasi dan terpresipitasi (mengendap) menjadi Heinz Bodies. Adanya Heinz
bodies akan menyebabkan eritrosit memiliki bentuk abnormal. Bentuk yang abnormal ini
akan menyebabkan eritrosit di hemolysis sehingga terjadi anemia. (Harmening; 5th
Edition; Halaman 223)

33
5. Hemoglobin dengan fungsi heme yang abnormal

Contoh klasisfikasi ini adalah Methemoglobinemia. Methemoglobinemia adalah kondisi


klinis dimana kadar methemoglobin lebih dari 1% dari total haemoglobin.
Methemoglobin ini mengandung bentuk besi yang teroksidasi yaitu Fe3+. Dengan kondisi
ini maka heme tidak dapat menjalankan fungsinya yaitu mengikat oksigen (akibat
overload to oxidant stress) sehingga menyebabkan cyanosis. (Harmening;5th
Edition;Halaman 225)

Contoh lain:

a. Carboxyhemoglobinemia (toxic level 5.0 g %)

Hal ini terjadi ketika oksigen yang seharusnya berikatan dengan heme tergantikan
oleh karbon monoksida (CO). Proses pergantian ini terbilang lambat dan bergantung
pada konsentrasi karbon monoksida dalam darah. Tetapi, ikatan antara karbon
monoksida dan heme dalam hemoglobin molekul 200 kali lebih kuat daripada ikatan
antara heme dan oksigen. Konsentrasi karbon monoksida dapat meningkat seiring
dengan beberapa kondisi, salah satunya dalam kondisi seorang perokok berat (yang
kronis). (Harmening;5th Edition;Halaman 74)

b. Sulfhemoglobinemia (toxic level 0.5 g %)

Kadar sulfhemoglobin yang tinggi dalam darah dapat terjadi ketika seseorang
mengonsumsi obat yang mengandung sulfur atau ketika seseorang menderita penyakit
konstipasi kronis. Sulfhemoglobin tidak dapat membawa oksigen dan menyebabkan
perubahan irreversible pada eritrosit. Kondisi ini akan tetap terjadi sampai eritrosit
yang mengandung sufhemoglobin tidak ada lagi di sirkulasi. (Harmening;5th
Edition;Halaman 75)

Abnormalitas Hb yang ada dalam kasus thalassemia beta globin:

Pada thalassemia, terdapat mutasi genetik yang mengganggu proses transkripsi gen
pembentuk rantai globin. Hasil dari mutasi ini adalah berkurangnya atau bahkan tidak
terproduksinya salah satu rantai globin. Menyebabkan ketidakseimbangan dalam sintesis
hemoglobin.

34
THALASSEMIA

Thalassemia adalah penyakit darah keturunan yang menyebabkan rantai globin abnormal
sehingga berakibat pada peningkatan destruksi sel darah merah dan pada akhirnya membuat
penderita tersebut mengalami anemia.

Tipe Thalassemia :

1. Beta thalassemia
- Dikarenakan rantai beta globin yang abnormal. Mengalami penurunan sintesis
rantai beta ataupun tidak sama sekali memproduksi rantai beta.
- Terjadi mutasi pada kromosom 11.
- Tidak muncul gejala pada janin (fetus). Karena saat berwujud fetus hemoglobin
yang dominan dimiliki adalah Hemoglobin F (α2γ2) kemudian barulah
Hemoglobin A (α2β2) menjadi dominan saat bayi telah dilahirkan dan berumur 3
bulan kemudian sempurna pada umur 6 bulan.
- Tipe gen :
 thalassmia haplotypes : sama sekali tidak memproduksi rantai beta.
 thalassemia haplotypes : hanya memproduksi sedikit rantai beta.
- Jenis beta thalassemia :
 Silent carrier :
 Tidak ada bukti anemia pada tes laboratorium
 Tidak menunjukan adanya mutasi klinis (tidak adanya peningkatan
pada HB A2)
 Gen pada beta globinnya berupa , yang menunjukan sangat
sedikit rantai beta yang berkurang.
 thalassemia minor :
 Dikarenakan mutasi gen beta secara heterogen
 ( ) atau ( )
 Asymptomatic hemolytic anemia kecuali apabila penderita
mengalami tekanan seperti infeksi, defisiensi asam folat, maupun
sedang masa kehamilan.
 Anemia hypochromic microcytic yang ringan dapat ditemukan
melalui screening. Hb (10.5-13.9 g/dL)

35
 Secara normal tidak diperlukan treatment apabila kondisi nutrisi
baik.
 thalassemia intermedia :
 Sangat relatif antara mayor thalassemia dengan minor thalassemia.
 Banyak variasi gejala seperti anemia, jaundice, hepatomegaly dan
splenomegaly.
 Mengalami peningkatan kadar bilirubin.
 Dapat semakin parah pabila terjadi infeksi dan defisiensi asam folat
 Hb 9-10g/dL
 Pasien tidak bergantung pada transfusi darah (not transfusion
dependent) tetapi memungkinkan dilakukan transfusi apabila sakit,
contohnya ketika ada infeksi.
 thalassemia mayor :
 Dikarenakan mutasi gen secara homogen atau
dan heterogen
 Terdapat microcytic hypochromic parah, poikilocytosis
 Pada bayi dapat mengakibatkan gagal berkembang, pallor,
abnormal blood smear, pembesaran perut, dan
hepatosplenomegaly.
 Diagnosis dapat dikonfirmasi apabila ditemukan adanya anemia,
abnormalitas pada blood smear (umumnya ditemukan nucleated
red cell, badan Howell-Jolly di dalam mikrosit hipokromik, sel
target, basophilic stippling, dan adanya anisositosis serta
poikilositosis), peningkatan Hb F, dan adanya riwayat keturunan
thalassemia beta.
 Hb 4-8 g/dL.
 Terjadi anemia parah yang menyebabkan perluasan pada sumsum
tulang sehingga meningkatkan proses eritropoiesis dan merubah
struktur tulang yang ditandai dengan facies cooley. Biasanya
ditandai dengan hipertropi pada maxilla sehingga gigi bagian atas
akan lebih maju ke depan, hidung yang relatif cekung ke arah
dalam, jarak antar mata yang melebar, dan tulang pipi yang
menonjol.

36
 Penurunan produksi rantai beta-globin sangat parah akan
memerlukan transfusi darah (transfusion dependent clinical
disease).

2. Alpha Thalassemia
- Penurunan atau tidak adanya produksi rantai alpha akibat delesi pada kromosom
16, dan secara relative meningkatnya rantai gamma γ4 (Bart’s) dan beta (H).
- Bisa terjadi pada masa janin didalam uterus atau saat dilahirkan.
- Pergantian dari Hb embryo menjadi Hb fetus yang terjadi sekitar 6-8 minggu dari
gestasi.
- Stabil dalam formasi tetramer : dan dapat dideteksi melalui elektroforesis
- Rantai tetramer yang tidak berguna dapat mengendap pada RBC tua, membentuk
badan inklusi, mengganggu membran, menurunkan daya tahan hidup RBC, dan
menyebabkan hemolisis.
- Karena setiap kromosom 16 membawa 2 gen alpha-globin, maka total normal
komplemen dari gen tersebut adalah 4 buah. Maka pada alpha-thalassemia
jenisnya lebih beragam, tergantung pada jumlah mutasinya.
- Jenis alpha thalassemia :
 Silent carrier :
 Delesi pada satu gen rantai alpha (
 Asymptomatic
 Tidak ada keabnormalan pada RBC

37
 Terdapat sedikit kelebihan rantai yang berbentuk Hb Bart (1-
2%)
 Bisa dideteksi melalui pemeriksaan DNA
 Thalassemia Trait ( thalassemia minor)
 Delesi pada dua gen rantai alpha ( atau (
 Asymptomatic, seminimalnya anemia
 Ditemukan RBC mikrositik dan hipokromik pada apusan darah tepi
 Hemoglobin H Disease
 Penyakit alpha thalassemia yang paling parah kedua
 Delesi pada 3 gen rantai alpha
 75% produksi rantai alpha berkurang
 Hanya 25% sintesis rantai alpha dari Hb F, Hb A, Hb A2
 Severe anemia, abnormal pada RBC
 Microcytic, hypocromic, poikilocytosis (ada sel target, bizzare
shapes), ada badan inklusi di RBC hasil pengendapan hemoglobin.
 Dideteksi dengan adanya akumulasi kelebihan rantai Beta yang
tidak berpasangan yang membentuk Hb H pada orang dewasa.
Pada newborn, Hb Bart yang mendominasi (10-40%) sisanya Hb F
dan Hb A.
 Menyebabkan anemia hemolitik dengan kadar Hb 7-10 g/dL,
retikulosit 5-10%, spleen biasanya membesar.
 Tidak memerlukan transfusi darah secara reguler, kecuali pada
keadaan tertentu (infeksi, kehamilan, paparan obat oksidatif)
 Bart’s Hydrops Fetalis
 Alpha thalassemia paling parah. Incompatible with life, biasanya
menyebabkan keguguran atau meninggal tidak lama setelah
dilahirkan.
 Rantai alpha tidak ada yang berfungsi (
 Didominasi oleh Hb Bart, yang memiliki afinitas tinggi terhadap
oksigen, saking tingginya sampai oksigen itu sendiri tidak dilepas
ke jaringan. Sisanya ada Hb Portland, dan sedikit Hb H.

38
 Hingga trimester ketiga pada kehamilan, bayi akan bertahan hidup
dengan menggunakan Hb Portland, namun setelah itu Hb tersebut
tidak lagi dapat menyokong pertumbuhan fetus.
 Bayi yang lahir (prematur) dengan hydrops fetalis akan mengalami
edema, gagal jantung, ascites yang dikarenakan akumulasi cairan
serosa didalam jaringan fetus atau pada peritoneal cavity yang
menyebabkan anemia (Hb 3-8 gm/dL).
 Ditemukan severe mikrositik, hipokromik, dan banyak RBC yang
bernukleus (belum matang).
 Sumsum tulang membesar, ditandai pula dengan adanya erythroid
hyperplasia dan extramedullary erythropoiesis.
 Hepatosplenomegaly dan cardiomegaly.

39
Sumber:
Harmening Clinical Hematology and Fundamental of Hemostasis 5th Ed pg. 231-239
Rodaks’ Hematology 5th Ed pg. 454 - 466

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


THALASSEMIA
Patogenesis

Sindrom thalassemia disebabkan oleh mutasi yang diwariskan dan menyebabkan menurunnya
sintesis rantai globin α, yang dikode pada kromosom nomor 11 atapun rantai globin β, yang
dikode pada kromosom nomor 16. Karena tidak terjadi keseimbangan rantai globin, sindrom
ini menyebabkan anemia dan hemolisis. Mutasi yang menyebabkan thalassemia dapat terjadi
saat ekspresi gen rantai globin, seperti pada saat transkripsi, pemrosesan mRNA, translasi,
ataupun posttranslasi. Mutasi yang umum terjadi adalah saat splicing mRNA yang belum
matang sehingga menyebabkan terhentinya translasi.

Patofisiologi Thalassemia (Bagaimana defisiensi polipeptida menyebabkan hemolisis)

Apabila sintesis rantai globin β menurun ataupun berhenti, rantai globin α akan terproduksi
berlebih namun tidak memiliki pasangan. Rantai globin α tidak dapat membentuk
hemoglobin tetramer yang layak sehingga rantai tersebut akan diendapkan di dalam prekursor
eritroblast. Hal ini akan menyebabkan terbentuknya inklusi yang insoluble. Inklusi ini akan
berefek yang tidak diinginkan, tetapi kerusakan membran adalah penyebab awal yang
membuat eritrosit menjadi bersifat patologis. Degradasi rantai globin α bebas, heme, hemin,
dan besi bebas juga dapat menyebabkan rusaknya membran eritrosit. Rantai globin yang
berlebih akan berikatan dengan protein membran dan mengubah struktur dan fungsinya. Besi
yang berlebih akan merusak komponen membrane sel darah merah dan organel
intraselulernya dengan membuat oxygen free radicals. Heme dan produknya mengkatalisis
pembentukan oxygen free radicals yang merusak membrane sel. Perubahan ini akan
menyebabkan meningkatnya laju apoptosis dari prekursor sel darah merah (ineffective
erythropoiesis) Ada juga sel yang dapat lolos tetap memiliki inklusi dan kerusakan membran,
namun sel akan rentan dihancurkan oleh limpa.

40
TREATMENT AND PREVENTION
Treatment

1. Transfusi Darah

Pasien biasanya diberikan darah tranfusi sebanyak 12-15 ml/kg selama 3-4 minggu
untuk menjaga konsentrasi hemoglobinnya sebanyak 10 g/dl. Dosis ini juga harus
diperhatikan ketika pasien menunjukkan gejala pembesaran limpa atau adanya rasa
tidak nyaman di daerah limpa. Jika dosis yang diberikan di atas 250-300 ml/kg per
tahunnya, pembengkakan limpa rawan terjadi.

Secara umum, anak-anak dengan thalassemia major dengan Hb kurang dari 6-7 g/dl
harus menerima hypertransfusion (transfusi yang menjaga level haemoglobin diatas
9-10 g/dl). Transfusi harus dilakukan sesegera mungkin sebelum anak tersebut
mengalami splenomegali dan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.

Dalam melakukan transfusi pada kasus thalassemia ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Salah satunya adalah adanya kemungkinan penimbunan zat besi (iron
overload). Hal ini dapat ditangani dengan memberikan pasien iron chelation therapy.

Source: Hematology in Clinical Practice 5th Edition page 75-76

Grey: Wintrobe’s Clinical Hematology 13th Edition page 881

2. Iron Chelation Therapy

Penyerapan zat besi pada pasien thalassemia mengalami peningkatan yang signifikan
bahkan tanpa adanya transfusi darah. Hal ini disebabkan karena eritropoiesis yang
tidak efektif pada kondisi thalassemia akan menurunkan level hepcidin dalam tubuh.
Hepcidin sendiri berfungsi untuk menjaga penyerapan zat besi dalam batas normal.
Penurunan level hepcidin ini terjadi akibat dari banyaknya sel progenitor erythoid
yang mengalami kerusakan sehingga melepaskan growth factor 15 yang menghambat
produksi hepcidin.

Oleh karena itu, salah satu pengobatan yang harus diberikan ke pasien thalassemia
adalah iron chelation therapy. Terapi ini biasanya diberikan bersamaan dengan
transfusi darah secepatnya atau ketika terdapat kelebihan zat besi sebanyak 7 g untuk
mencegah terjadinya kerusakan organ dari penimbunan zat besi pada hati, pankreas,

41
dan kelenjar endokrin. Tujuan akhir dari terapi ini adalah menjaga konsentrasi zat besi
hepatik di antara 3-7 mg/g. Terapi ini biasanya dimulai ketika level ferritin melebihi
1000 µg/L.
Keberlangsungan hidup pasien dalam terapi ini dihubungkan dengan level hepcidin
atau level ferritin pasien. Jika level ferritin jatuh dibawah 2500 µg/L, anak-anak dapat
dipastikan bertahan hidup ( >90% chance) dengan normal hingga umur 15 tahun
namun jika dibawah, maka hanya sekitar 20% dari anak-anak tersebut yang dapat
hidup hingga umur 15 tahun tanpa adanya penyakit jantung.

Iron Chelator

a) Deferasirox
Rute administrasi: Oral
Dosis yang diberikan adalah 20-30 mg/kg/hari.
Efek samping dari senyawa ini adalah rasa sakit pada abdomen, mual dan
muntah-muntah, diare, ruam, dan adanya peningkatan serum kreatinin dalam
tubuh.
Tidak digunakan untuk pasien yang harus ditransfusi darah dalam jumlah
besar (hypertransfusion)
b) Deferoxamine

Tipe: Trihydroxamic acid dihasilkan oleh Streptomyces pilosus

Rute administrasi: Subkutan (karena ukuran molekulnya yang besar)


Dosis: 20-60 mg/kg setiap 8-12 jam sekali
40-100 mg/kg/hari berturut-turut selama 24 jam melalui kateter
intravenous pada vena yang besar untuk pasien dengan penimbunan zat
besi yang parah atau untuk pasien dengan penyait jantung.
Efek samping: kemerahan dan rasa sakit di daerah lokal, pengurangan
penglihatan(terutama warna), serta gangguan retina dan optik. Biasanya terjadi
pada pasien dengan dosis lebih dari 50 mg/kg/hari.
Biopsi hepar dapat dilakukan untuk anak-anak yang menggunakan
deferoxamine untuk melihat keefektifan dari terapi mereka.

42
Source: Hematology in Clinical Practice 5th Edition page 76-77; Wintrobe’s Clinical
Hematology 13th Edition page 888-889

3. Splenektomi

Prosedur ini biasanya dilakukan tidak lama setelah pengobatan lainnya karena limpa
akan cepat mencapai ukuran yang amat besar (hypersplenism). Selain itu, prosedur
splenektomi juga mengurangi risiko transfuse hingga kira-kira 150 ml/kg/hari, dengan
variasi dari pasien satu hingga lainnya.

Hal yang harus diperhatikan dari prosedur splenektomi adalah adanya peningkatan
suseptibilitas terhadap infeksi mikroorganisme terkapsul (encapsulated
microorganism) dan intraerythrocytic parasite karena makrofag di limpa bertugas
untuk menyerang mikroorganisme ini. Infeksi ini biasanya bersifat fatal. Gejala yang
ditimbulkan biasanya adalah sepsis, pneumonia, abses kulit dan hepar, dan infeksi
saluran kemih. Risiko terjadinya sepsis ini dapat diperkecil dengan diberikannya
antibiotic seperti penicillin, amoxicillin, dan erythromycin selama dua tahun setelah
dilakukannya prosedur atau hingga mencapai usia 16 tahun jika dilakukan pada anak-
anak.

Wintrobe’s Clinical Hematology 13th Edition page 892

Prevention

1. Screening untuk mendeteksi karrier pembawa gen heterozigot. Screening dapat dilakukan
dengan melakukan automated blood count untuk RBC indices dan elektroforesis hemoglobin
untuk mengestimasi level HbF dan HbA2. Pasien dengan MCV < 78 fL dan MCH < 27 pg
biasanya merupakan pasien yang diduga terkena thalassemia dan harus ditelusuri ulang.

Source: Harmening’s Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis page 247

Hemoglobin electrophoresis

Proses elektroforesis hemoglobin memainkan peranan penting dalam mendiagnosis


Thalassemia dengan cara mendeteksi peningkatan level HbA2 dan HbF dan juga mendeteksi
adanya kemunculan hemoglobin abnormal lainnya seperti Hemoglobin H, Hemoglobin
Bart’s, Hemoglobin Lepore , Hemoglobin Constant Spring atau jenis hemoglobin abnormal
lainnya yang berhubungan dengan penyakit thalassemia.

43
Proses elektroforesis hemoglobin dilakukan pada pH alkaline sekitar pH 8.4 dengan
menggunakan medium selulosa asetat, pati, atau agarose. Pada keadaan ini hemoglobin akan
bermigrasi dari area katoda menuju area anoda dengan urutan sebagai berikut

1. Hb Constant Spring
2. HbA2, Hb C, dan Hb E
3. Hb S dan Hb Lepore
4. Hb F
5. Hb A
6. Hb Portland
7. Hb Bart’s
8. HbF

Source: Harmening’s Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis page 244-


245

2. Melakukan konseling dengan pasien yang mempunyai gen Thalassemia setelah menerima
hasil laboratorium untuk memastikan pemahaman pasien terhadap kondisinya. Contohnya
seperti pada pasangan yang masing-masing membawa mutasi gen β-globin yang sebaiknya
berkonsul terlebih dahulu kepada dokter untuk mengetahui risiko keturunan yang mungkin
akan terkena thalassemia.

Source: Harmening’s Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis page 247

3. Prenatal diagnosis menggunakan DNA yang didapatkan dari chorionic vili yang akan
membuat dokter dapat membuat diagnosis adanya kemungkinan Thalassemia pada
kandungan pada masa trimester pertama kehamilan.

Source: Harmening’s Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis page 247

44
PREVALENSI THALASSEMIA
Di dunia , thalasemmia mempengaruhi 4.4 dari 10000 kelahiran bayi. Hal tersebut
dikarenakan mutasi gen dan turunan dari orang tua – ayah dan ibu. Sekitar 5% dari populasi
dunia memiliki variasi bagian alpha dan beta dari molekul hemoglobin meskipun tidak
semuanya symptomatic dan beberapa dikenali sebagai sillent carriers. Pada faktanya hanya
1.7% dari populasi dunia yang memiliki tanda – tanda hasil mutasi gen yang dikenal sebagai
ciri khas dari thalasemmia.
Alpha Thalasemmia
Pada populasi daerah Asia tenggara penyakit ini rata – rata menurun dan angka pembawa
terbesar adalah di daerah Sub-Saharan Afrika dan Pasifik Barat.
Daerah Populasi Thalasemmia Gen Pembawa
Amerika 0-5% 40%
Mediterania Barat 0-2% 60%
Eropa 1-2% 12%
Asia Tenggara 1-30% 40%

Beta Thalasemmia
Sangat umum di populasi Mediterania, Afrika dan Asia Selatan.
Daerah Populasi Thalasemmia – Pengaruh Genetik
Amerika 0-3%
Mediterania Timur 2-18%
Eropa 0-19%
Asia Tenggara 0-11%
Sub-Saharan Afrika 0-12%
Pasifik Barat 0-13%

Populasi Beresiko
Dari kedua thalasemmia lebih tinggi prevalensinya di daerah tropis dan subtropis, pada
khususnya di daerah endemic malaria. Meskipun alasan tersebut belum bisa dijelaskan secara
rinci, dianggak karena pembawa mutasi gen memiliki tingkat proteksi terhadap malaria

45
Mortalitas
Semua tipe thalasemmia dapat menyebabkan hal fatal di beberapa kasus, khususnya yang
mendapatkan karier ganda yang mempengaruhi produksi rantai globin. Tahun 2013, 25000
meninggal karena thalasemmia, namun hal tersebut mengalami perubahan dari tahun 1990
yang mengakibatkan 36000 kematian.
Prevalensi di Indonesia
World Heatlh Organization (WHO) menyatakan, insiden pembawa sifat thalassemia
di Indonesia berkisar 6-10%, artinya dari setiap 100 orang, 6-10 orang adalah pembawa sifat
thalassemia. Karena penyakit ini merupakan penyaki yang diturunkan, maka penderita
penyakit ini telah bisa terdeteksi sejak masih bayi. Persentase penurunan penyakit
thalassemia dari anak sangat tinggi. Jika pasangan suami isteri yang memiliki gen/pembawa
sifat thalassemia, maka kemungkinan anaknya menderita thalassemia 25 %, pembawa sifat
50%, dan normal 25%. Pembawa sifat disini maksudnya, orang tersebut secara fisik tetap
sehat, namun memiliki gen dan dapat menurunkannya kepada anaknya.
Data dari klinik thalasemia menyatakan, di RSHS, pada 2013 tercatat 600-700
penderita thalassemia yang menjalani transfuse darah, dan sekira 450 dari pasien tersebut
adalah anak. Angka ini merupakan angka yang besar mengingat data penderita Thalassemi di
seluruh Jawa Barat mencapai sekira 2000 orang. jika persentase thalasemia mencapai 5
persen, dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Jika
diakumulasi di dunia akan ada sekitar 300.000 anak dengan thalasemia akan dilahirkan dan
sekitar 60-70 ribu, di antaranya adalah penderita jenis beta-thalasemia mayor, yang
memerlukan transfusi darah sepanjang hidupnya.

46
47

Das könnte Ihnen auch gefallen