Sie sind auf Seite 1von 21

Preface

1
In 1968, The Population Bomb warned of impending disaster if the population
explosion was not brought under control. Then the fuse was burning; now the population bomb
has detonated. Since 1968, at least 200 million people -- mostly children -- have perished
needlessly of hunger and hunger-related diseases, despite "crash programs to 'stretch' the
carrying capacity of Earth by increasing food production."2 The population problem is no
longer primarily a threat for the future as it was when the Bomb was written and there were
only 3.5 billion human beings.
The size of the human population is now 5.3 billion, and still climbing. In the six
seconds it takes you to read this sentence, eighteen more people will be added.3 Each hour there
are 11,000 more mouths to feed; each year, more than 95 million. Yet the world has hundreds
of billions fewer tons of topsoil and hundreds of trillions fewer gallons of groundwater with
which to grow food crops than it had in 1968.
In 1988, for the first time at least since World War II, the United States consumed more
grain than it grew. About a third of the country's grain crop was lost to a severe drought --
roughly the fraction that is normally exported. Over a hundred nations depend on food imported
from North America, and only the presence of large carryover stocks prevented a serious food
crisis.
It is not clear how easy it will be to restore those stocks. World grain production peaked
in 1986 and then -- for the first time in forty years -- dropped for two consecutive years. In just
those two years, the world population rose by the equivalent of the combined citizenry of the
United Kingdom, France, and West Germany. Global food production per person peaked
earlier, in 1984, and has slid downward since then. In Africa south of the Sahara, production
per capita has been declining for more than twenty years and in Latin America since 1981. 4
And the prospects for unfavorable weather for agriculture may be rising as burgeoning
populations add more and more "greenhouse" gases to the atmosphere.
The Population Bomb tried to alert people to the connection of population growth to
such events. The book also warned about the greenhouse warming and other possible
consequences of "using the atmosphere as a garbage dump." It concluded: "In short, when we
pollute, we tamper with the energy balance of the Earth. The results in terms of global climate
and in terms of local weather could be catastrophic. Do we want to keep it up and find out what
will happen? What do we gain by playing 'environmental roulette'?"5
What indeed? We've played, and now we're starting to pay. The alarm has been sounded
repeatedly, but society has turned a deaf ear.6 Meanwhile, a largely prospective disaster has
turned into the real thing. A 1990s primer on population by necessity looks very different from
our original work. The Population Explosion is being written as ominous changes in the life-
support systems of civilization become more evident daily. It is being written in a world where
hunger is rife and the prospects of famine and plague ever more imminent; a world where U.S.
consumption is so profligate that the birth of an average American baby is hundreds of times
more of a disaster for Earth's life-support systems than the birth of a baby in a desperately poor
nation; and a world in which most people are unaware of the role that overpopulation plays in
many of the problems oppressing them.
Even people far removed from the pangs of hunger must suspect that something is
amiss, must feel a sense of foreboding for their own future well-being and that of their children.
Television shots of tropical forests afire, sewage-smeared beaches, and drought-stricken farm
fields cause unease. Pictures of starving Africans in desolate relief camps rend the heart.
In the United States, drivers in virtually every large metropolitan area now can
encounter gridlock at practically any hour of the day or night. Visitors to our nation's capital
find homeless people sleeping in the park opposite the White House, and drug abuse and crime
sprees fill the evening news. News about the AIDS epidemic seems to be everywhere, as is talk
of global warming, holes in the atmosphere's ozone layer, and acid rain.
These may seem to be isolated problems, but they are all tied together by common
threads -- threads that also link them to food-production statistics, to the prospect of a billion
or more deaths from starvation and disease, and to the possible dissolution of society as we
know it. Chief among the underlying causes of our planet's unease is the overgrowth of the
human population and its impacts on both ecosystems and human communities. Those impacts
are the threads linking all the seemingly unrelated problems mentioned above, and others
besides. The explosive growth of the human population, its meaning for you and your children
and grandchildren, and what you and your friends can do to make a better future are what this
book is all about.

Paul R. Ehrlich
Anne H. Ehrlich

Rocky Mountain Biological Laboratory


Gothic, Colorado
July 26, 1989
MENUJU BONUS DEMOGRAFI INDONESIA TAHUN 2020-2030
ABSTRAK
Bonus Demografi merupakan fenomena kependudukan yang menarik untuk terus dikaji.
Apalagi pada tahun 2020-2030 Indonesia akan dihadiahi oleh bonus demografi ini. Bonus
Demografi dapat memberikan berkah bagi Indonesia dan kesempatan besar untuk mengubah
masa depan Indonesia. Tulisan ini mencoba membahas fenomena demografi di Indonesia yang
akan mendatangkan keuntungan demografi pada tahun 2020 hingga 2030. Tulisan ini juga
menawarkan strategi jangka panjang untuk mempersiapkan diri dalam menghadapai bonus
demografi tersebut. Strategi tersebut meliputi empat aspek utama yaitu peningkatan kualitas
pendidikan, kualitas kesehatan, penyediaan lapangan kerja yang cukup, dan konsistensi
pemerintah dalam menekan angka fertilitas.
ABSTRACT
Demographic Bonus is an interesting demographic phenomenon to continue to be
studied. Especially in Indonesia 2020-2030 will be rewarded by this demographic bonus.
Demographic Bonus can provide a blessing for Indonesia and a great opportunity to change the
future of the nation. This report explores the demographic phenomenon in Indonesia, which
will be profitable demographic in 2020 until 2030. It will also offer a long-term strategy to
prepare themselves in the face of the demographic bonus. The strategy includes four main
aspects, namely improving the quality of education, quality health care, the provision of
sufficient employment, and the consistency of the government in reducing fertility rates.
I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2020 hingga 2030 Negara Indonesia akan dihadiahi Bonus Demografi. Bonus
Demografi yang dimaksud yaitu ketika negara Indonesia memiliki jumlah penduduk usia
Produktif dengan jumlah yang melimpah, yaitu sekitar 2/3 dari jumlah penduduk keseluruhan.
Bonus demografi dapat dilihat dengan parameter Dependency Ratio (angka beban
ketergantungan) yang cukup rendah, yaitu mencpai 44. Hal ini berarti bahwa dalam setiap 100
penduduk usia produktif (15-64 tahun) hanya menanggung sekitar 44 penduduk tidak
produktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) indonesia tahun 2010 menunjukkan Dependency
ratio Indonesia sebesar 50,5. Sementara pada tahun 2015 dependency ratio memiliki angka
lebih kecil yaitu 48,6. Angka dependency ratio ini akan semakin kecil lagi pada tahun 2020
hingga 2030, yang akan menciptakan bonus demografi untuk Indonesia.
Dengan bonus demografi yang akan diterima Indonesia tahun 2020-2030, maka peluang
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai. Namun untuk mewujutkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, hal yang perlu diperhatikan yaitu
bagaimana strategi negara dalam menyiapkan angkatan kerja yang berkualaitas?.
Keberhasilan dalam memanfaatkan bonus demografi dipengaruhi oleh kesiapan
pemerintah untuk menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas. Kualitas tersebut berkaitan
dengan peingkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kecukupan gizi. Untuk itu upaya
menciptakan angkatan kerja yang berkualitas, perlu dipersiapkan matang-matang. Data BPS
tahun 2014 menunjukkan bahwa dari segi Partisipasi Sekolah penduduk indonesia masih
rendah digolongan umur 19-24 tahun. Angka partisipasi sekolah kelompok umur 19-24 pada
tahun 2013 masih 20,14%. Walau angka ini telah mengalami peningkatan dari tahun-tahun
sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan Angka partisipasi sekolah kelompok umur
dibawahnya yang memiliki rata-rata mencapai diatas 60%, masih menunjukkan kesenjangan
yang besar.
Sementara Data tentang Human Development Index (HDI) yang disajikan United
Nations for Development Program (UNDP) menunjukkan angka HDI Indonesia masih
menempati urutan ke-111 dari 182 negara (Detiknews, 2014).
Jumlah angkatan kerja yang melimpah pada fase bonus demografi harus dimanfaatkan
secara baik oleh negara Indonesia. Kunci utamanya yaitu dengan mempersiapkan angkatan
kerja yang berkualitas. Hanya dengan angkatan kerja yang berkualitas maka bonus demografi
akan benar-benar memberikan dampak yang positif bagi Indonesia. Dengan angkatan kerja
yang berkualitas akan dapat merespon penawaran kerja dari negara-negara maju. Fenomena
yang terjadi saat ini adalah bahawa negara maju kekurangan penduduk muda, sebagai
kelompok angkatan kerja yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. Untuk itu peluang
tersebut bisa dimanfaatkan oleh negara-negara yang mendapatkan bonus demografi.
Namun Peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui bonus demografi
bisa saja menjadi boomerang bagi Indonesia sendiri. Ketika negara tidak siap dalam
menyongsong bonus demografi pada tahun 2020-2030, maka dapat menimbulkan
permasalahan baru yang tak kalah hebatnya. Ketika Indonesia tidak mampu menyiapkan
angkatan kerja berkualitas, tentu akibat yang terjadi yaitu akan menimbulkan pengangguran
dimana-mana. Pengangguran terjadi ketika angkatan kerja tidak mampu terserap kedalam
lapangan kerja yang sebenarnya tersedia karena tidak memenuhi kualifikasi yang di butuhkan
perusahaan. Dengan begitu, tentu bonus demografi hanya sebagai angin lalu yang tidak
memiliki dampak positif, dan bahkan malah menyebabkan angin ribut ketika tingkat
pengangguran semakin tinggi.
Aspek lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan yaitu bagaimana Negara Indonesia
bisa terus konsisten dalam menekan angka fertilitas (angka kelahiran). Hal ini menjadi aspek
penting karena jika tingkat fertilitas meningkat dan tidak terkendali pada fase bonus demografi,
maka akan menghambat upaya negara dalam mempersiapkan angkatan kerja yang berkualitas.
Dana untuk mempersiapkan angkatan kerja yang berkualitas dari segi kesehatan, pendidikan
dan kecukupan gizi, juga akan terbagi untuk mengurusi kebutuhan bayi-bayi yang lahir.
Dengan begitu upaya pemerintah untuk memaksimalkan bonus demografi juga akan terhambat.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu aspek yang mempengaruhi terjadinya
bonus demografi yaitu keberhasilan pemerintah dalam menekan angka kelahiran melalui
program keluarga berencanan (KB). Semakin rendahnya tingkat fertilitas berdampak pada
penduduk kelompok umur 0-15 terkendali dan tidak terjadi ledakan kelahiran. Sehingga sudah
pasti dapat diprediksikan pada tahun 2020-2030, struktur penduduk kelompok umur produktif
jauh lebih besar dibanding kelompok umur tidak produktif. Jika dilihat dari karakteristik
kependudukan melalui piramida penduduk maka piramida akan berbentuk gemuk dibagian
tengah, dengan dasar piramida lebih kecil. Bagian tengah piramida yang membesar
menunjukkan bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi jumlah kelahiran yang cukup besar,
tetapi tingkat kematian bayi menurun sehingga jumlah bayi yang lahir dan tetap hidup
mencapai usia dewasa lebih banyak dari jumlah sebelumnya.
Sesuai dengan paparan diatas maka dapat diambil beberpa rumusan masalah yang akan
dikaji dalam tulisan ini yaitu: Pertama, Bagaimana perubahan komposisi penduduk indonesia
akan menciptakan bonus demografi? Kedua, Bagaimanan strategi pemerintah untuk meyiapkan
diri dalam menyambut fase bonus demografi 2020-2030? Dalam menjawab rumusan masalah
tersebut, tulisan ini akan memberikan sajian data-data yang mendukung dan menganalisisnya.
Sehingga akan didapatkan suatu pembahasan yang komprehensif dan analitis berkaitan dengan
permasalahan demografi di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Penduduk Usia Produktif yang Melimpah sebagai Keuntungan Demografi
Bonus Demografi atau sering juga disebut keuntungan demografi merupakan fase
dimana jumlah penduduk produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan jumlah
penduduk tidak produktif (0-14 dan 65 tahun ke atas). Menurut Dr Sukamdi, MSc, seorang
peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada
(UGM), menyatakan bahwa bonus demografi yang akan diterima Indonesia tahun 2020 sangat
menguntungkan. Pada kondisi bonus demografi masyarakat akan memperoleh pendapatan
yang lebih tinggi dengan dana tabungan yang lebih banyak. Pada fase bonus demografi tingkat
ketergantungan (dependency ratio) penduduk tidak produktif kepada penduduk produktif
cenderung rendah (Kurniawan; dalam Detiknews [online], 2014).
Dependency Ratio Indonesia sejak tahun 1930 hingga tahun 2015 menunjukkan
kecenderungan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa dependency ratio yang kecil berarti
beban ketergantungan penduduk usia produktif kepada penduduk produktif semakin rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) indonesia tahun 2010 menunjukkan Dependency ratio
Indonesia sebesar 50,5. Sementara pada tahun 2015 dependency ratio memiliki angka lebih
kecil yaitu 48,6. Kecenderungan dependency ratio yang semakin kecil ini akan berlanjut hingga
tahun 2030, dan menciptakan bonus demografi bagi indonesia. Sementara itu diperkirakan
setelah tahun 2030 kecenderungan dependency ratio akan naik kembali karena jumlah lansia
meningkat.
Sementara itu, melimpahnya jumlah penduduk muda di berbagai wilayah provinsi
Indonesia telah mnciptakan bonus demografi. Bonus demografi dibeberapa provinsi di
Indonesia tersebut dapat dilihat dengan parameter Dependency Ratio yang cukup rendah, yaitu
mencapai dibawah 45. Yang berarti bahwa dalam setiap 100 penduduk usia produktif (15-64
tahun) hanya menanggung sekitar 45 penduduk tidak produktif (0-14 dan 65 tahun ke atas).
Perhatikan data dependency ratio menurut Provinsi di Indonesia pada tabel 1 berikut.
Tabel.1 Dependency Ratio menurut Provinsi, 2010-2035

Tahun
Provinsi
2010 2015 2020 2025 2030 2035

Aceh 56,3 54,8 53,6 50,8 47,9 45,8


Sumatera Utara 58,0 56,3 55,3 53,6 51,7 50,8

Sumatera Barat 57,7 55,8 54,8 53,6 51,7 50,6

Riau 54,1 51,5 49,7 48,4 47,1 46,6

Jambi 50,8 47,3 44,5 43,3 42,7 42,7

Sumatera Selatan 51,3 49,7 48,4 47,3 45,8 45,3

Bengkulu 51,3 47,9 46,2 44,9 44,3 44,5

Lampung 51,1 49,5 48,6 47,3 45,6 45,3

Kepulauan Bangka
Belitung 48,6 46,2 44,9 44,3 43,3 43,1

Kepulauan Riau 46,8 49,7 46,4 41,8 38,1 37,9

DKI Jakarta 37,4 39,9 42,0 42,2 40,1 39,5

Jawa Barat 49,9 47,7 46,4 46,4 46,2 46,6

Jawa Tengah 49,9 48,1 47,7 48,4 49,9 51,7

DI Yogyakarta 45,8 44,9 45,6 46,8 47,7 48,4

Jawa Timur 46,2 44,3 43,9 44,3 46,2 48,4

Banten 48,6 46,4 45,3 43,9 41,8 41,0

Bali 47,3 45,6 43,3 42,2 43,3 45,8

Nusa Tenggara
Barat 55,8 53,8 52,2 50,2 48,6 48,1

Nusa Tenggara
Timur 70,6 66,7 63,4 62,1 61,6 61,6

Kalimantan Barat 52,7 50,8 49,7 48,8 47,3 46,6

Kalimantan Tengah 50,4 46,2 43,3 41,4 40,3 39,9

Kalimantan Selatan 49,3 48,6 47,7 46,2 44,7 44,7


Kalimantan Timur 48,6 46,2 44,5 43,7 43,1 43,5

Sulawesi Utara 47,9 46,6 46,4 46,8 47,3 48,4

Sulawesi Tengah 52,7 50,6 49,7 49,5 48,6 48,6

Sulawesi Selatan 56,0 52,9 51,3 50,4 49,5 49,7

Sulawesi Tenggara 63,4 60,5 58,0 54,6 52,7 51,5

Gorontalo 51,7 48,6 47,5 47,7 47,7 47,9

Sulawesi Barat 60,5 56,0 53,8 52,7 51,5 51,1

Maluku 63,1 59,7 58,2 57,5 55,8 54,3

Maluku Utara 61,3 58,5 56,0 53,4 51,5 50,8

Papua Barat 53,6 49,9 47,1 45,3 44,3 43,7

Papua 53,8 47,5 43,7 42,0 41,6 42,2

INDONESIA 50,5 48,6 47,7 47,2 46,9 47,3

Sumber: BPS Indonesia

Bonus Demografi sebenarnya telah dialami oleh beberapa Provinsi di Indonesia sejak
tahun 2010. Beberapa provinsi itu seperti Jakarta, Yogyakarta, Jawatimur dan Kepulaun Riau.
Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa beban ketergantungan di empat provinsi telah
berada pada angka 46 dan 45. Beban ketergantungan yang cukup rendah ini telah menciptakan
jendela peluang untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi diwilayah yang bersangkutan.
Bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2020 hingga 2030 harus benar-benar di
manfaatkan oleh pemerintah. Kesiapan pemerintah dalam menghadapi bonus demografi tentu
akan mendatangkan keuntungan yang besar. Dengan Bonus demografi berarti Indonesia akan
mendapati kondisi dimana jumlah angkatan kerja yang melimpah-ruah. Angkatan kerja dengan
jumlah yang besar tersebut jika dapat dikelola dengan baik tentu akan mendorong kemajuan
dan pertumbuhan ekonomi negara. Kuncinya terletak pada peningkatan kualitas angkatan kerja
yang berdaya saing pada pasar tenaga kerja global.
Saat ini Indonesia memiliki 67 juta anak muda berumur 10-24 tahun. Mereka inilah yang
akan menjadi pemimpin dan penggerak pembangunan Indonesia pada fase bonus Demografi
tahun 2020-2030. Jumlah anak muda yang melimpah ini juga menjadi incaran tenaga produktif
negara-negara maju yang kekurangan anak muda. Sehingga bisa menjadi keuntungan yang
besar jika Indonesia mampu merespon permintaan pasar tenaga kerja global (Kompas 29
November 2014, hlm 13).
Jumlah anak muda yang besar telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang
akan mendapatkan keuntungan demografi selain India dan Thiongkok. Jumlah anak muda di
dunia diperkirakan mencapai 1,8 miliar. Dan dari angka tersebut Indonesia menempati posisi
ketiga setelah India yang memiliki jumlah anak muda 356 juta, dan Thiongkok yang memiliki
jumlah anak muda 269 juta. Jumlah anak muda ini akan sangat menguntungkan jika strategi
pembangunan yang memanfaatkan bonus demografi bisa dijalankan dengan benar. Dengan
investasi yang tepat dari pemerintah, maka jutaan anak muda akan benar-benar menjadikan
berkah demografi. Selain itu juataan anak muda ini jika mampu dikelola dengan baik tentu
akan bisa mengubah masa depan Indonesia menjadi lebih baik.
Bonus Demografi sebagai Jendela Peluang Pertumbuhan Ekonomi
Bonus demografi yang akan datang pada tahun 2020 hingga 2030, menjadi jendela
peluang (windows opportunity) untuk pertumbuhan ekonomi. Populasi penduduk produktif
yang besar akan bermanfaat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan
tersedianya penduduk produktif yang siap kerja dengan jumlah yang besar menjadi modal awal
dalam pembangunan ekonomi. Selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah Indonesia mampu
menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas dan lapangan kerja yang cukup untuk menampung
mereka.
Pemerintah perlu mempersiapkan angkatan kerja yang mampu merespon permintanaan
pasar tenaga kerja dalam kerangka bonus demografi. Dengan angkatan kerja yang terdidik dan
terampil maka berapapun jumlah angkatan kerja yang tersedia akan bisa terserap dalam pasar
tenaga kerja. Namun yang tak bisa dilupakan adalah bagaimanan pemerintah manambah
lapangan kerja untuk menampung mereka. Dengan tersedianya lapangan kerja yang cukup dan
sesuai dengan keahlian pencari kerja, maka populasi anak muda yang besar akan benar-benar
produktif dan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi negara.
Jaminan tersedianya lapangan kerja yang sesuai dengan kahlian pencari kerja, akan
memungkinkan anak-anak muda Indonesia mampu mengembangkan segala potensi yang
dimiliki. Dengan memperluas kesempatan kerja, akan memperluas usaha dan produksi yang
dihasilkan. Sehingga hal tersebut dapat mengerakkan ekonomi negara dan meningkatkan
Income.
Pengelolaan angkatan kerja yang tepat tentu juga akan menjawab permasalahan
pengangguran yang selama ini masing memiliki angka yang cukup tinggi. Tingkat
Pengangguran Terbuka di Indonesia bulan Agustus 2014 masih cukup tinggi yaitu 5,94%.
Angka tersebut lebih tinggi dari tingkat pengangguran terbuka bulan Februari 2014 yang hanya
5,70%. Untuk itu, dalam kerangka bonus demografi sangat diperlukan kesiapan dan strategi
yang tepat, sehingga jumlah anak muda yang melimpah mampu mendorong peningkatan
ekonomi. Dengan terserapnya jutaan anak muda dalam lapangan kerja selain mengurangi
angka penganguran juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Bonus demografi menjadi kondisi yang sangat baik bagi suatu negara untuk
meningkatkan pendapatan dan standar hidup masyarakatnya pada posisi yang sejahtera. Selain
itu dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan akan bisa mengakhiri kemiskinan yang
selama ini masih menjadi salah satu problem utama.
Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Pemanfaatan Bonus Demografi
Bonus demografi dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi Indonesia. Dengan
persiapan yang baik dan investasi yang tepat, bonus demografi bisa mengubah masa depan
Indonesia menjadi lebih sejahtera dan maju. Namun keberhasilan dalam memanfaatkan bonus
demografi sangat dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu kualitas pendidikan, kualitas
kesehatan, ketersediaan lapangan kerja, dan konsistensi penurunan angka kelahiran melalui
program KB.
Pada fase bonus demografi jumlah anak muda sangat besar sebagai kelompok produktif
yang telah memasuki usia kerja. Sehingga Pengelolaan ketenagakerjaan yang baik, menjadi
pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan ketenagakerjaan yang
baik dengan mempersiapkan angkatan kerja yang berkualitas, akan menentukan keberhasilan
pemanfaatan bonus demografi. Untuk itu dalam mempersiapkan angkatan kerja yang
berkualitas haruslah dilihat dari aspek kualitas pendidikan, kualitas kesehatan dan kecukupan
gizi.
1. Peningkatan KualitasPendidikan
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam fase bonus demografi yaitu
meningkatnya kebutuhan terhadap pendidikan. Meningkatnya jumlah anak muda pada tahun
2020 hingga 2030, akan berpengaruh pada meningkatnya kebutuhan akan fasilitas pendidikan.
Pendidikan telah menjadi kebutuhan mendasar bagi penduduk yang harus dipenuhi selain
kecukupan gizi dan kesehatan. Dengan kesempatan yang mudah untuk mengenyam
pendidikan, tentu akan dapat menciptakan penduduk yang berkualitas dan terampil.
Dalam usaha untuk meningkatkan kualitas anak muda sebagai penduduk produktif masa
mendatang, salah satu usaha yang tepat adalah dengan menyediakan kesempatan pendidikan
seluas-luasnya. Kemudahan akses pendidikan dan didukung oleh prasarana pendidikan yang
lengkap, serta tenaga pendidik yang berkualitas, akan menciptakan masyarakat yang
berkualitas pula. Dengan kesempatan mengenyam pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi,
tentu menjadi modal penting untuk menciptakan angkatan kerja yang berkualitas dan terampil.
Peningkatan kualitas pendidikan menjadi faktor utama keberhasilan perencanaan
ketenagakerjaan. Perencanaan tenaga kerja akan menjamin kebutuhan tenaga kerja, terutama
tenagakerja terdidik yang diperlukan dalam pembangunan (Sumarsono ,2003:25). Dalam
kerangka bonus demografi perencanaan ketenagakerjaan berhubungan eret dengan
pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas.
Pendidikan menjadi aspek penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM). Data tentang Human Development Index (HDI) yang disajikan United
Nations for Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa peringkat kualitas SDM
Indonesia cenderung mengalami penurunan dari tahun-ketahun. Pada tahun 1998 HDI
indonesia berada pada posisi 99, dan merosot pada tahun 1999 ke posisi 105. Sementara itu
Pada tahun 2000 HDI Indonesia kembali merosot ke posisi 109 (Irianto, 2001:1). Saat ini
kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih terbilang rendah, dengan angka Human
Development Index (HDI) Indonesia masih menempati urutan ke-111 dari 182 negara. Untuk
itu peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi upaya yang harus di prioritaskan untuk
menghadapi bonus demografi beberapa tahun mendatang.
Jika melihat Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan APS di masing-masing kelompok umur, sepanjang tahun 2003 hingga 2013
(Perhatikan Tabel.2). Kenaikan APS dimasing-masing kelompok umur ini bisa dipengaruhi
oleh peningkatan kebutuhan akan pendidikan ketika jumlah penduduk semakin besar.
Peningkatan angka APS ini menunjukkan sesuatu yang baik jika dilihat secara terpisah
dimasing-masing kelompok umur.
Tabel.2 Angka Partisipasi Sekolah ( A P S ) Tahun 2003-2013

Kelomp Tahun series


ok
Umur 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

96, 96, 97, 97, 97, 97, 97, 98, 97, 98, 98,
7-12
42 77 14 39 64 88 95 02 62 02 42

81, 83, 84, 84, 84, 84, 85, 86, 87, 89, 90,
13-15
01 49 02 08 65 89 47 24 99 76 81

50, 53, 53, 53, 55, 55, 55, 56, 57, 61, 63,
16-18
97 48 86 92 49 50 16 01 95 49 84

11, 12, 12, 11, 13, 13, 12, 13, 14, 16, 20,
19-24
71 07 23 38 08 29 72 77 82 05 14

Sumber: BPS Indonesia


Namun jika dilihat perbandingan Angka Pertisipasi Sekolah diantara kelompok umur
memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Dimana terlihat bahwa Angka Partisipasi
Sekolah cenderung semakin kecil pada kelompok umur yang tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa walaupun Angka Partisipasi Sekolah dimasing-masing kelompok umur meningkat dari
tahun ketahun, namun jika Angka Partisipasi Sekolah tersebut di bandingkan dinatara kelmpok
umur masih menunjukkan angka yang sangat timpang.
Kecenderungan Angka Partisipasi Sekolah yang semakin kecil pada kelompok umur
yang tinggi menjadi permasalahan yang cukup mengkhawatirkan. Semakin kecilnya Angka
Partisipasi Sekolah pada kelompok umur yang tinggi, berarti penduduk yang berhasil
menempuh pendidikan tinggi masih relatif kecil. Angka partisipasi sekolah yang relatif kecil
pada kelompok umur 19-24 tahun dipengaruhi beberapa faktor seperti: kemiskinan, biaya
pendidikan yang mahal, rendahnya motivasi sekolah di jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
dan lain sebagainya.
Pada fase bonus demografi angka partisipasi sekolah harus ditingkatkan, khususnya
Angka Partisipasi Sekolah pada kelompok umur 16-18 dan 19-24 tahun. Langkah yang bisa
dilakukan yaitu dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menempuh
pendidikan. Dengan pendidikan murah dan bantuan biaya pendidikan bagi golongan miskin
dapat memacu naiknya angka partisipasi sekolah. Angka partisipasi sekolah yang tinggi pada
kelompok umur 19-24 akan menciptakan angkatan kerja yang berkualitas dan terampil. Jenjang
pendidikan yang tinggi sebagai bekal utama menghadapai persaingan tenaga kerja.
Faktor utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan terletak pada tersedianya sarana
dan prasarana pendidikan yang lengkap dan memadai. Selain itu dengan jumlah tenaga
pendidik yang memadai dan berkualitas menjadi salah satu aspek penting yang tidak bisa
dilupakan. Pemerintah juga harus memperhatikan pengembangan dibidang sains dan teknologi
penunjang pendidikan. Hanya dengan peningkatan dan perbaikan diberbagi unsur penting
dalam pendidikan, akan menjadi kunci utama peningkatan kualitas pendidikan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan formal tidaklah menjadi satu-satunya
penentu keberhasilan untuk menciptakan angkatan kerja yang berkulaitas. Oleh karena itu,
pemerintah juga harus mengupayakan dan mengembangkan pendidikan non-ijazah yang
menekankan pada pengembangan ketrampilan. Dengan pengembangan ketrampilan melalui
pendidikan non-formal bisa menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan tenaga kerja yang
berkualitas. Pendidikan non-ijazah bisa menjadi solusi dari keterbatasan pendidikan formal,
dan tepat untuk mewadahi anak-anak muda yang tidak cocok dengan pendidikan formal.

2. Peningkatan Kualitas Kesehatan


Kealitas kesehatan menjadi aspek penting yang perlu ditingkatkan untuk menyambut
bonus demografi. Peningkatan kualitaas kesehatan akan menjadikan angkatan kerja
berkualitas selain berkualitas dalam segi pendidikan. Dengan menyediakan layanan kesehatan
yang baik dan bermutu menjadi kunci utama peningkatan kualitas kesehatan tersebut.
Penyediaan layanan kesehatan dalam kerangka bonus demografi diprioritaskan kepada
penduduk usia 0-18 tahun. Prioritas ini di pilih karena penduduk usia 0-18 tahun berada pada
usia perkembangan. Dengan peningkatan kesehatan yang diprioritaskan pada penduduk usia
emas tersebut, maka nantinya diharapkan akan menciptakan anak-anak muda yang berkualitas.
3. Konsistensi dalam Penurunan angka fertilitas
Konsistensi penurunan angka fertilitas yang baik akan membuat investasi pendidikan dan
kesehatan menjadi semakin optimal. Penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi anak-
anak, dan akan menjaga populasi anak-anak tetap pada angka yang kecil. Dengan begitu beban
ketergantungan dalam fase demografi akan tetap bisa ditekan. Konsistensi penurunan fertilitas
ini perlu dipertahankan hingga tahun 2030. Sehingga kesempatan emas pada fase demografi
akan benar-benar bisa dimanfaatkan dengan baik.
Konsisitensi penurunan angka fertilitas berarti akan semakin memudahkan pemerintah
untuk fokus dalam program peningkatan kualitas anak muda. Penurunan angka kelahiran akan
mengurangi anggaran untuk kesehatan dan kebutuhan gizi bayi-bayi yang lahir. Sehingga
anggaran yang dimiliki pemerintah sebagian besar bisa digunakan untuk investasi dalam
peningkatan kualitas anak muda.
Penuruanan angka fertilitas dalam kerangka bonus demografi memang tidak bisa
dilepaskan dari keberhasilan program keluarga berencana (KB). Meningkatnya partisipasi KB
telah berhasil menurunkan angka fertilitas secara signifikan. Data BPS nasional menunjukan
bahwa presentase perempuan usia 15-49 tahun yang telah menikah dan ikut KB memiliki
proporsi yang cukup besar. Data tahun 2000 hingga 2013 memperlihatkan partisipasi KB
menjacapi 50% lebih dimasisng masing tahun. Data tersebut juga menunjukkan kecenderungan
meningkat dari taun ketahun.
Tabel.4 Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin yang Sedang
Menggunakan/Memakai Alat KB Menurut & Angka Fertilitas Total 1971, 1980, 1985, 1990,
1991, 1994, 1997, 1998, 1999, 2000, 2002, 2007, 2010 dan 2012

Partisipasi KB Tahun Angka Fertilitas Total (AFT)


2000-2013 Tahun 1971-2012

Tahun % Tahun %

2000 54,35 1971 5,61

2001 52,54 1980 4,68

2002 54,19 1985 4,06

2003 54,54 1990 3,33

2004 56,71 1991 3,02

2005 57,89 1994 2,85

2006 57,91 1997 2,34

2007 57,43 1998 2,65

2008 56,62 1999 2,59

2009 60,63 2000 2,27

2010 60,94 2002

2011 61,34 2007 2,60


2012 62,43 2010 2,41

2013 62,50 2012 2,60

Sumber:BPS Nasional Indonesia


Meningkatnya Partisipasi KB hingga mencapai 62,43% pada tahun 2013 secara langsung
berdampak pada menurnnya angka fertilitas. Sejak tahun 1971 hingga 2012 Angka fertilitas
total/TFR (Total Fertility Rate) menunjukkan kecenderungan semakin menurun. Sampai tahun
2012 angka fertilitas total berada pada angka yang cukup kecil, yaitu 2.60. Bahkan pada tahun
2000 angka fertilitas total berada pada angka terkecil yang pernah dicapai Indonesia yaitu 2.27.
Keberhasilan program keluarga berencana dalam menekan angka kelahiran perlu
dipertahankan. Dengan konsisitensi menurunkan angka kelahiran melalui program KB, akan
menjadi salah satu faktor penting penentu keberhasilan pemanfaatan bonus demografi.
4. Ketersediaan Lapangan Kerja
Ketersediaan lapangan kerja yang cukup pada fase bonus demografi menjadi aspek
penting yang tak bisa diabaikan. Jaminan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan
keahlian angkatan kerja akan membuat anak-anak muda bisa mengembangkan potensinya, dan
menjadi sumbangangan tanaga yang produktif bagi pengembangan ekonomi negara. Dengan
tersedianya lapangan kerja yang besar akan mampu menampung jumlah angkatan kerja yang
besar, dan tidak akan menjadikan jutaan anak muda menganggur.
Tabel.3 Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986–
2013

Tingkat
Partisipas Tingkat
Angkata Penganggura i Penganggura
Bekerja
n Kerja n Angkatan n Terbuka -
Tahun Kerja - TPT
TPAK

(Juta (Juta
(Juta Orang) (%) (%)
Orang) Orang)

Februari 105,80 94,95 10,85 68,02 10,26


2005
Novembe
105,86 93,96 11,90 66,79 11,24
r

Februari 106,28 95,18 11,10 66,74 10,45


2006
Agustus 106,39 95,46 10,93 66,16 10,28
Februari 108,13 97,58 10,55 66,60 9,75
2007
Agustus 109,94 99,93 10,01 66,99 9,11

Februari 111,48 102,05 9,43 67,33 8,46


2008
Agustus 111,95 102,55 9,39 67,18 8,39

Februari 113,74 104,49 9,26 67,60 8,14


2009
Agustus 113,83 104,87 8,96 67,23 7,87

Februari 116,00 107,41 8,59 67,83 7,41


2010
Agustus 116,53 108,21 8,32 67,72 7,14

Februari 119,40 111,28 8,12 69,96 6,80


2011
Agustus 117,37 109,67 7,70 68,34 6,56

Februari 120,41 112,80 7,61 69,66 6,32


2012
Agustus 118,05 110,81 7,24 67,88 6,14

Februari 121,19 114,02 7,17 69,21 5,92


2013
Agustus 118,19 110,80 7,39 66,90 6,25

Max 94,85 88,82 6,03 67,22 6,36


1967-
1999
Min 67,20 65,38 1,82 65,60 2,55

Max 103,97 93,72 10,25 68,60 9,86


1999-
2004
Min 94,85 88,82 5,81 67,22 6,08

Max 121,19 114,02 11,90 69,96 11,24


2004-
2013
Min 103,97 93,72 7,17 66,16 5,92

Sumber: Sakernas, BPS


Jumlah angkatan kerja yang terus meningkat membutuhkan peningkatan lapangan kerja.
Peningkatan lapangan kerja akan memperluaas kesempatan kerja dan akan mengurangi
pengangguran. Perluasan kesempatan kerja harus dilihat berdasarkan keseimbangan distribusi
penyerapan kerja antar sektor perekonomian. Sehingga investasi yang dipilih untuk
memperluas kesempatan kerja diprioritaskan pada sektor yang belum berkembang. Dengan
penambahan lapangan kerja pada sektor tersebut akan meningkatkan produktifitas
perekonomian.
Penciptaan kesempatan kerja atau lapangan kerja menjadi aspek penting dalam
perencanaan tanaga kerja. Ketika perencanaan tenaga kerja telah diupayakan dengan baik
melalui peningkatan kualitas angkatan kerja, maka penciptaan kesempatan kerja juga harus
dilakukan untuk mendukungnya. Menurut Suroto (1992) perencanaan penciptaan kesempatan
kerja dan perencanaan persedian tenaga kerja merupakan dua aspek yang saling berkaitan satu
sama lain, dan menjadi satu pasang komponen yang harus cocok (Suroto, 1992:399). Dalam
kerangka bonus demografi, dua aspek perencanaan tenaga kerja tersebut sangat penting dalam
keberhasilan pembangunan bangsa.

Strategi pengelolaan bonus demografi


Berdasarkan dari paparan data dan analisis yang telah disajikan sebelumnya, maka dapat
disusun beberapa strategi untuk menghadapi bonus demografi tahun 2020-2030. Rancangan
strategi ini berupa suatu intervensi sosial melalui berbegai kebijakan pemerintah. Intervensi
sosial dalam bentuk kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk memperbaiki dan
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki, baik individu, kelompok maupun negara.
Intervensi yang dapat dilakukan setidaknya meliputi empat aspek penting yaitu disektor
pendidikan, sektor kesehatan, ketenagakerjaan dan program Keluarga Berencana.
Empat aspek penting yang terdiri dari kualitas pendidikan, kualitas kesehatan,
ketenagakerjaan dan program keluarga berencana tersebut menjadi kunci utama keberhasilan
pembangunan pada fase bonus demografi. Untuk itu, berbagai intervensi yang tepat pada empat
sektor ini menjadi prioritas utama dalam menghadapi dan menyambut bonus demografi tahun
2020 hingga 2030. Berikut ini beberapa strategi dalam bentuk kebijakan yang bisa dijalankan
pemerintah untuk menghadapi bonus demografi:
1. Strategi dibidang Pendidikan:
a. Peningkatan kualitas pendidikan melalui wajib belajar 12 tahun (sampai tingkat SMA/SMK).
b. Tidak hanya sampai tingkat SMA, dalam jangka panjang bisa ditingakatkan secara konsisten
kesempatan sekolah sampai jenjang perguruan tinggi.
c. Untuk mendukung keberhasilan wajib belajar 12 tahun, dan sampai jenjang perguruan tinggi,
maka diperlukan berbagai program bantuan biaya pendidikan (Beasiswa). Dengan beasiswa
prestasi dan beasiswa keluarga miskin dapat meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah sampai
tingkat SMA/SMK, dan juga sampai jenjang perguruan tinggi.
d. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan seperti fasilitas laboratorium yang lengkap,
fasilitas multimedia, gedung sekolah dan lain sebaginya. Dengan fasilitas yang lengkap tentu
akan mendukung kegiatan belajar siswa dan mamacu peningkatan prestasi.
e. Meningkatkan kualitas tenaga pengajar/Guru/Dosen.
f. Menambah alokasi dana untuk anggaran pendidikan
2. Strategi dibidang Kesehatan
a. Meningkatkan anggaran untuk Kesehatan
b. Meningkatkan kualitas tenaga medis seperti Dokter, Bidan, Perawat dsb.
c. Meningkatkan saranan dan prasaranan kesehatan seperti: pembangunan fasilitas kesehatan
di daerah yang belum memiliki, manambah kelengkapan fasilitas kesehatan, fasilitas Rawat
inap, penambahan Rumah sakit milik pemerintah sebagai pemberi layanan kesehatan gratis,
dan lain sebaginya.
d. Penyediaan layanan kesehatan dalam kerangka bonus demografi diperioritaskan kepada
penduduk usia 0-18 tahun (usia emas). Program riil bagi penduduk usia emas ini (usia
perkembangan) meliputi penggalakan program “asi eksklusif”, pemberian makanan bergizi,
imunisasi, dan lain sebagainya.
e. Selain ditujukan untuk penduduk usia 0-18, layanan kesehatan juga ditujukan kepada
penduduk usi 19-21 tahun, karena sebagi penduduk yang akan memasuki dunia kerja. Sehingga
kualitas keseatan penduduk usia ini perlu diperhatikan sebagi syarat kesiapan dalam memasuki
dunia kerja.
3. Strategi dibidang Ketenagakerjaan
a. Menekan angka pengangguran dengan memberikan kesempatan kerja yang luas melaui
penyediaan lapangan kerja yang banyak
b. Penyediaan dan penambahan lapangan kerja disesuaikan dengan kemampuan para pencari
kerja.
c. Pengembangan UMKM sebagai sektor informal yang lebih fleksibel dalam penyerapan
lapangan kerja
d. Menciptakan angkatan kerja yang berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan,
untuk bisa bersaing di dunia internasional.
4. Strategi dibidang Keluarga Berencana untuk menekan angka fertilitas
a. Meningkatkan aseptor KB
b. Mendorong dan meningkatkan Aseptor KB laki-laki.
c. Penyuluhan untuk kesehatan reproduksi dan pernikahan dini
d. Disusun UU mengenai batas usia minimum pernikahan
III. PENUTUP
Kesimpulan
Komposisi penduduk Indonesia yang memiliki Karekteristik Penduduk muda yang besar,
telah mendatangkan keuntungan demografi. Keuntungan demografi atau yang sering disebut
sebagai bonus demografi merupakan fase dimana jumlah penduduk usia produktif memiliki
proporsi yang besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Kecendurangan ini
terlihat dari angka dependency ratio yang terus menglami penurunan dari tahun-ketahun.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia sekarang ini menjadi tantangan besar untuk masa
depan dan perubahan Indonesia.
Bonus demografi yang menghampiri Indonesia bisa berdampak positif, ataupun
sebaliknya dapat menciptakan dampak negatif jika strategi pengelolaannya salah. Untuk
menjadikan bonus demografi menguntukngkan bagi Indonesia perlu strategi yang
tepat. Strategi tersebut meliputi empat aspek utama yaitu peningkatan kualitas pendidikan,
kualitas kesehatan, penyediaan lapangan kerja yang cukup, dan konsistensi pemerintah dalam
menekan angka fertilitas.
The Unrealized Horros of Population Explosion

The second half of the 1960s was a boom time for nightmarish visions of what lay ahead for
humankind. In 1966, for example, a writer named Harry Harrison came out with a science
fiction novel titled “Make Room! Make Room!” Sketching a dystopian world in which too
many people scrambled for too few resources, the book became the basis for a 1973 film
about a hellish future, “Soylent Green.” In 1969, the pop duo Zager and Evans reached the
top of the charts with a number called “In the Year 2525,” which postulated that humans
were on a clear path to doom.
No one was more influential — or more terrifying, some would say — than Paul R. Ehrlich, a
Stanford University biologist. His 1968 book, “The Population Bomb,” sold in the millions
with a jeremiad that humankind stood on the brink of apocalypse because there were simply
too many of us. Dr. Ehrlich’s opening statement was the verbal equivalent of a punch to the
gut: “The battle to feed all of humanity is over.” He later went on to forecast that hundreds of
millions would starve to death in the 1970s, that 65 million of them would be Americans, that
crowded India was essentially doomed, that odds were fair “England will not exist in the year
2000.” Dr. Ehrlich was so sure of himself that he warned in 1970 that “sometime in the next
15 years, the end will come.” By “the end,” he meant “an utter breakdown of the capacity of
the planet to support humanity.”
As you may have noticed, England is still with us. So is India. Hundreds of millions did not
die of starvation in the ’70s. Humanity has managed to hang on, even though the planet’s
population now exceeds seven billion, double what it was when “The Population Bomb”
became a best-seller and its author a frequent guest of Johnny Carson’s on “The Tonight
Show.” How the apocalyptic predictions fell as flat as ancient theories about the shape of the
Earth is the focus of this installment of Retro Report, a series of video documentaries
examining significant news stories of the past and their aftermath.
After the passage of 47 years, Dr. Ehrlich offers little in the way of a mea culpa. Quite the
contrary. Timetables for disaster like those he once offered have no significance, he told
Retro Report, because to someone in his field they mean something “very, very different”
from what they do to the average person. The end is still nigh, he asserted, and he stood
unflinchingly by his 1960s insistence that population control was required, preferably through
voluntary methods. But if need be, he said, he would endorse “various forms of coercion”
like eliminating “tax benefits for having additional children.” Allowing women to have as
many babies as they wanted, he said, is akin to letting everyone “throw as much of their
garbage into their neighbor’s backyard as they want.”
ADVERTISEMENT
Dr. Ehrlich’s ominous declarations cause head-shaking among some who were once his
allies, people who four decades ago shared his fears about overpopulation. One of them is
Stewart Brand, founding editor of the Whole Earth Catalog. On this topic, Mr. Brand may be
deemed a Keynesian, in the sense of an observation often attributed to John Maynard Keynes:
“When the facts change, I change my mind, sir. What do you do?” Mr. Brand’s formulation
for Retro Report was to ask, “How many years do you have to not have the world end” to
reach a conclusion that “maybe it didn’t end because that reason was wrong?”
One thing that happened on the road to doom was that the world figured out how to feed itself
despite its rising numbers. No small measure of thanks belonged to Norman E. Borlaug, an
American plant scientist whose breeding of high-yielding, disease-resistant crops led to the
agricultural savior known as the Green Revolution. While shortages persisted in some
regions, they were often more a function of government incompetence, corruption or civil
strife than of an absolute lack of food.
Some preternaturally optimistic analysts concluded that humans would always find their way
out of tough spots. Among them was Julian L. Simon, an economist who established himself
as the anti-Ehrlich, arguing that “humanity’s condition will improve in just about every
material way.” In 1997, a year before he died, Mr. Simon told Wired magazine that
“whatever the rate of population growth is, historically it has been that the food supply
increases at least as fast, if not faster.”
Somewhere on the spectrum between Dr. Ehrlich the doomsayer and Mr. Simon the
doomslayer (as Wired called him) lies Fred Pearce, a British writer who specializes in global
population. His concern is not that the world has too many people. In fact, birthrates are now
below long-term replacement levels, or nearly so, across much of Earth, not just in the
industrialized West and Japan but also in India, China, much of Southeast Asia, Latin
America — just about everywhere except Africa, although even there the continentwide rates
are declining. “Girls that are never born cannot have babies,” Mr. Pearce wrote in a 2010
book, “The Coming Population Crash and Our Planet’s Surprising Future” (Beacon Press).
Because of improved health standards, birthing many children is not the survival imperative
for families that it once was. In cramped cities, large families are not the blessing they were
in the agricultural past. And women in many societies are ever more independent, socially
and economically; they no longer accept that their fate is to be endlessly pregnant. If
anything, the worry in many countries is that their populations are aging and that national
vitality is ebbing.
Still, enough people are already around to ensure that the world’s population will keep rising.
But for how long? That is a devilishly difficult question. One frequently cited demographic
model by the United Nations envisions a peak of about nine billion around 2050. Other
forecasts are for continued growth into the next century. Still others say the population will
begin to drop before the middle of this century. The trickiness of numbers is underscored by a
look at population density. It is generally assumed that having too many people crammed into
a small territory is a recipe for poverty and other social ills. Yet according to the United
Nations, the three places with the highest density are Monaco, Macao and Singapore. Not one
of them remotely qualifies as a desperate case.
In Mr. Pearce’s view, the villain is not overpopulation but, rather, overconsumption. “We can
survive massive demographic change,” he said in 2011. But he is less sanguine about the
overuse of available resources and its effects on climate change (although worries about the
planet’s well-being could be a motivator for finding solutions, much as demographic fears
may have helped defuse the population bomb).

“Rising consumption today far outstrips the rising head count as a threat to the planet,” Mr.
Pearce wrote in Prospect, a British magazine, in 2010. “And most of the extra consumption
has been in rich countries that have long since given up adding substantial numbers to their
population, while most of the remaining population growth is in countries with a very small
impact on the planet.”

“Let’s look at carbon dioxide emissions, the biggest current concern because of climate
change,” he continued. “The world’s richest half billion people — that’s about 7 percent of
the global population — are responsible for half of the world’s carbon dioxide emissions.
Meanwhile, the poorest 50 percent of the population are responsible for just 7 percent of
emissions.”

To some extent, worrying about an overcrowded planet has fallen off the international
agenda. It is overshadowed, as Mr. Pearce suggests, by climate change and related concerns.
The phrase “zero population growth,” once a movement battle cry, is not frequently heard
these days; it has, for instance, appeared in only three articles in this newspaper over the last
seven years.

But Dr. Ehrlich, now 83, is not retreating from his bleak prophesies. He would not echo
everything that he once wrote, he says. But his intention back then was to raise awareness of
a menacing situation, he says, and he accomplished that. He remains convinced that doom
lurks around the corner, not some distant prospect for the year 2525 and beyond. What he
wrote in the 1960s was comparatively mild, he suggested, telling Retro Report: “My
language would be even more apocalyptic today.”

Das könnte Ihnen auch gefallen