Sie sind auf Seite 1von 16

GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA

DEDY DJAMALUDDIN MALIK


Email: dedy_malik@yahoo.com
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom), Bandung

ABSTRACT
This article depicts globalization and its influences according to each schoolarly
worldview.There is close relationship between globalization and communication.
Globalization then bring about media or cultural imperialism. The concept of media
imperialism came from many schools of thought: ( free flow of information gap, dependency,
world system, and electronic colonialism) as a response and criticism to Western media
dominationand its culture. But there are many critics on its assumptions and validities that
are mentioned here. Eventhough there are some weaknesses on its asumptions and its
research methodologies, media or cultural imperialism has been still important to be studied
by international communication researchers.Finally, the writer discusses the effects and
influences of media imperialism in Indonesia.In the Old Order rezim cultural imperialism
existed but was not prominent; in New Order rezim, cultural imperialism was dominant and
in Reformation rezim, its significantly dominant. Fortunately, there are consciousness in
political elites to bring back political identity of nation by strenghtening nationalism and
Trisakti doctrine in facing cultural imperialism. The writer hopes that this article will
inspire many scholars to conduct research on this subject in the near future.

Keyword: globalization, cultural imperialism, political identity, Trisakti doctrine

ABSTRAK

Artikel ini ini menggambarkan globalisasi dengan cara pandangnya masing-masing.


Globalisasi berkaitan erat dengan komunikasi dan komunikasi global melahirkan
imperialisme budaya atau imperialisme media. Kedua konsep itu datang dari banyak mazhab
pemikiran (arus informasi bebas yang senjang, dependensi, sistem dunia, dan kolonialisme
elektronik) sebagai respons dan kritik terhadap dominasi budaya dan media Barat. Dengan
memakai metoda kepustakaan, digambarkan sejarah, pengertian dan asumsi-asumsi sekaligus
kritikan terhadap konsep imperialisme budaya. Berikutnya, penulis menggambarkan
pengaruh imperialisme budaya di Indonesia. Pada era Orla, imperialisme budaya ada namun
terkendali akibat politik kebudayaan rezim Soekarno yang “menasionalisasi budaya”.
Sementara pada era rezim Soeharto, imperialisme budaya lebih menonjol karena politik
kebudayaan pintu terbuka (open sky policy) dan pada era reformasi, imperialisme budaya
semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik.
Dan wajah imperialisme budaya semakin beragam tidak hanya datang dari Barat, melainkan
juga dari non-Barat, termasuk Asia. Makin menguatnya imperialisme budaya dewasa ini,
telah menimbulkan kesadaran kaum elit sehingga dalam Pilpres 2014 gagasan nasionalisme,
kemandirian dan doktrin Trisakti menjadi materi kampanye politik para capres dan cawapres.

Konsep kunci: globalisasi, imperialisme budaya, doktrin Trisakti

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 1


PENDAHULUAN homogeni atau heterogen, konvergen
atau divergen melainkan sebuah proses
“Globalization” dipandang dialektis yang menimbulkan baik
Tomlinson (1999:2), sebagai: integrasi atau fragmentasi sekaligus.
“complex connectivity referring to the Dalam konteks mazhab inilah
rapidly developing and ever more kemudian, komunikasi menjadi bagian
complex network of interconnections yang tidak terpisahkan dari
and interdependencies that pembicaraan globalisasi. Bahkan
characterize modern social life”. McLuhan melihat globalisasi dan
Interkoneksi dan interdependensi yang komunikasi sebagai konsep yang
demikian cepat dalam globalisasi deeply interwined, ketika ia
terjadi akibat perkembangan teknologi mengetengahkan “medium is the
informasi yang dewasa ini semakin message” dan “global village”.
konvergen. Karena globalisasi Menurut Rentenan, 2005:4) “Secara
merupakan bagian dari concern semua praktis tidak mungkin ada globalisasi
negara, maka banyak peneliti tertarik tanpa media dan komunikasi”.
dengannya. Dengan menunjukkan eratnya
Para analisis globalisasi kaitan komunikasi dengan globalisasi,
menurut Held and McGrew (1999) maka Rentenan mendefinisikan
terbagi ke dalam tiga mazhab globalisasi sebagai : ”process in which
pemikiran (school of thought): worldwide economic, political, cultural
hyperglobalist, skeptics dan And social relations have become
transformationalist. Pertama, increasingly mediated across time and
kelompok yang melihat globalisasi space”(p.8). Peranan media dan
sebagai ancaman bagi satu negara komunikasi dalam proses globalisasi
karena ia akan mengurangi kekuasaan menjadi sangat strategis dan penting.
negara dan digantikan kemudian oleh Pertama, berbagai perusahaan media
datangnya pasar global. Mazhab ini mogul dewasa ini semakin beroperasi
melihat faktor ekonomi sebagai secara global. Kedua, banyak
determinan globalisasi yang akan infrastruktur komunikasi global
mendenasionalisasi ekonomi satu memfasilitasi arus informasi global.
negara dan akan menyebabkan Ketiga, media global berperan penting
hilangnya kedaulatan negara. Kedua, dalam memandang berbagai peristiwa
mazhab skeptic menyatakan bahwa lintas dunia untuk membangun sistem
globalisasi adalah sebuah mitos makna bersama.
seberapa yang dimaksud dengan Tulisan ini ingin
globalisasi dalam perspektif ekonomi menggambarkan: (1) bagaimana
sebagaimana dinyatakan kaum imperialisme media memandang
hyperglobalist bukanlah fakta yang globalisasi dan relasi antarnegara
universal. Interdependensi ekonomi dalam konteks posisi dan peran media;
hanyalah terbatas pada OECD. (2) dapatkah konsep imperialisme
Ketiga, mazhab media menggambarkan dan
transformasionalis yang menganggap membuktikan dampak media secara
globalisasi punya konsekuensi utuh dan menyeluruh atas terbentuknya
struktural dan merupakan kekuatan homogenisasi budaya di negara-negara
pendorong perubahan masyarakat berkembang, sehingga penjajahan
lewat pengaruh ekonomi, politik dan budaya dari Barat nyata terbukti; dan
sosial dengan jalan proses dialektis. (3) bagaimana reaksi dan kritik yang
Jadi globalisasi bukan sekedar selama ini berkembang dari para
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 2
peneliti komunikasi terhadap konsep Komunikasi Internasional yang
imperialisme media?; dan (4) adakah dipimpin Lasswell, Ithiel de Sola
imperialisme media di Indonesia?. Pool, Karl Dutsch, Daniel Lerner,
Tulisan ini akan diawali dengan Schramm, dan Lucian Pye. Riset
mendeskripsikan konsep imperialime mereka didanai Ford Foundation.
budaya dan imperialisme media serta Keterlibatan Amerika dalam
pengaruh tradisi intelektual di PD II dengan Soviet, membuat para
belakangnya. Kedua, akan peneliti terperangkap dalam bias Barat
menunjukkan berbagai teori yang karena strategi KI dirancang agar pro-
melandasi munculnya konsep Barat dan anti-komunis. Paradigma KI
imperialisme media. Ketiga, yang menjual doktrin free flow dan the
menyajikan kritikan terhadap konsep ideal to lead better world kemudian
imperialisme media. Dan keempat, dilegitimasi oleh metoda riset
mendiskusikan ada tidaknya komunikasi yang berpusat pada efek
imperialisme media di Indonesia. empiris media yang diprakarsai
Analisis didasarkan atas studi literatur Lasswell, Lazarsfeld dan Hovland.
(library research) dan analisis kritis Lahirnya paradigma pembangunan
terhadap gejala media dan budaya modernisasi yang di dalamnya
imperialisme yang berkembang di menempatkan media sebagai magic
Indonesia. Penggunaan konsep multiplyer effects pembangunan, telah
imperialisme media atau imperialisme dijadikan sarana untuk mencapai cita-
budaya disini tidak dimaksudkan cita perubahan masyarakat dari
sebagai dua konsep yang terpilah tegas tradisonal menuju modern.
(mutually exclusive), tetapi Namun sejalan dengan
mengandung satu pengertian ibarat dua perkembangan teknologi komunikasi,
sisi dalam satu mata uang logam. agensi-agensi kantor berita Barat
seperti Reuters atau French Press
KERANGKA PEMIKIRAN Agency dan Associated Press (AP)
Sejarah Imperialisme Media telah mengonstruksi realitas dunia
Sehabis Perang Dunia II, terjadi menurut persepsi Barat. Kala itu, Barat
Perang Dingin (Cold War) antara Blok lebih banyak memberitakan berbagai
Barat yang dipimpin Amerika dengan peristiwa negatif negara-negara Dunia
Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Ketiga seperti Amerika Latin, Afrika
Perang ini berlangsung dari 1945 dan Asia. Mereka digambarkan sebagai
hingga 1989 saat tembok Berlin negara yang penuh bencana, kudeta,
runtuh. Amerika mewakili ideologi revolusi dan berita-berita negatif
kapitalis dan Soviet mewakili ideologi lainnya. Di tengah kondisi demikian,
sosialis. Dalam konteks pergulatan datang tawaran pinjaman utang luar
komunikasi internasional, Amerika negeri, alih teknologi dan resep budaya
memperjuangkan laissez-faire dan free agar negara-negara Dunia Ketiga
flow of information sebagai bagian dari mengikuti jalan modernisasi Barat dan
freedom of the press. Belakangan sebagian negara Amerika Latin, Afrika
Unesco juga menuntut free flow across dan Asia pun mengikuti jalan tersebut.
border to lead better world yang Di tengah hiruk-pikuk
didukung para peneliti program riset modernisasi, pada 1960-an diam-diam
komunikasi internasional (KI)yang muncul para sarjana komunikasi Eropa
tergabung dalam MIT Center for yang tergabung dalam
International Studies. MIT ini lalu InternationalAssociation
membentuk Program Riset dalam Communication Research (IAMCR).
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 3
Kelompok ini berasal dari Association (1969) dan Communication and
for Education in Journalism and mass Cultural Domination (1976). Tokoh-
Communication (AEJMC) yng tokoh lain yang menyumbang penting
memiliki tradisi riset kritis. Dengan adalah Armand Mattelart, Cess J.
bantuan Unesco, mereka membentuk Hamelink, McChasney, Nordenstreng,
Education and Research in Noam Chomsky, dan banyak lagi.
International Communication. Dalam Dalam konteks tradisi
riset-riset mereka, ditemukan betapa keilmuan, teori komunikasi massa
program-program berita dan hiburan Amerika mewakili mazhab dominan
Barat mendominasi media Amerika positivisme. Paradigma ini mengacu
Latin, Afrika dan Asia. Karena itu, pada empirisme kuantitatif dan
mereka melihat adanya imperialisme administratif dengan dukungan riset
baru yang dilakukan bukan secara psikologi-sosial, sosiologi struktur-
hard poweryakni penggunaan kekuatan fungsional yang percaya akan
militer untuk menguasai satu negara, keteraturan (order) dan konsensus.
melainkan melalui soft power Sementara itu, dari sudut riset
(diplomasi) yang disebutnya sebagai komunikasi, positivisme dipengaruhi
imperialisme budaya dan media. oleh persuasi dan propaganda dan
Wacana imperialisme media, determinisme teknologi informasi yang
semakin menggema pada 1970-an menempatkan komunikasi massa
terutama di Amerika Latin lewat para sebagai agen perubahan sosial.
pemikir seperti Antonio Pasquali Sedangkan imperialisme media datang
(1963), Luis Ramiro Beltran (1976), dengan sebuah tradisi riset baru yakni
Mario Kaplun (1973), F. Rayyes Matta paradigma kritis yang banyak
(1977). Sementara dari Inggris, muncul dipengaruhi ilmuwan Eropa. Tradisi ini
mazhab Frankfurt yang membawa dipengaruhi neo-Marxis yang
tradisi kritis terhadap ilmu sosial, memandang realitas sosial dalam poros
termasuk bidang komunikasi. konflik dan pengaruh teori ekonomi-
Munculnya Andre Gunnar Frank yang politik serta masyarakat massa yang
mengecam modernisasi lewat memandang media sebagai alat
paradigma dependensia telah kekuasaan kelompok hegemonik dan
memperkaya analisis media terhadap dominan di masyarakat sehingga
dinamika global komunikasi. media menimbulkan kesadaran palsu
Philip Elliot dan Peter Golding (false-conciousness) terhadap
lewat Center of Mass Communication masyarakat (McQuail, 2005:96-133).
Research pada Universitas Leicester,
Inggris mempublikasikan sebuah studi Pengertian Imperialisme Media
yang mengambarkan dominasi Barat Menurut Livingston A. White,
atas arus pemberitaan internasional, imperialisme budaya punya ragam
khususnya antara Inggris dengan istilah yang banyak. Boyd-Barret
negara-negara Afrika (Martin dan (1977) menyebutnya “imperialisme
Heibert, 1990:288). Sarjana Inggris media”, Link 1984 dan Muhammadi,
yang lain Oliver Boyd Barret (1977), (1995) menyebutnya, “dominasi dan
telah memperkenalkan konsep dependensi budaya”, McPhail (1987)
“imperialisme media” dan dianggap menyebutnya,”kolonialisme
sebagai pemuka teori ini. Tampaknya elektronik”, Hamelink (1983)
tokoh yang paling menonjol adalah menyebutnya, “sinkronisasi budaya”,
Herbert Schiller yang menulis Mass Galtung (1979) menyebutnya,
Commucation and American Empire “imperialisme struktural”, Mattelart
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 4
(1994) menyebutnya, “imperialisme media in any one country are, single or
ideologis” dan imperialisme ekonomi. together, subject to substantial
Namun istilah yang paling populer external pressures from the media
dipakai adalah “imperialisme budaya” interests of any other country or
atau “imperialisme media”. countries, without proportionate
Asumsinya, lanjut A. White, karena reciprocation of influences by the
media menempati posisi sentral dalam country so effected”. Dalam konteks
penciptaan budaya. Karena itu, dua bingkai imperialisme media, media
istilah ini sering saling bertukar sering diidentikkan sebagai
(interchangeble), ibarat dua anak “ideological state apparatuses” yang
kembar. membawa kepentingan negara maju,
“Imperialisme budaya”, kata khususnya Amerika.
Salwen (1991:30) adalah istilah yang Dengan merujuk pada definisi
bermuatan ideologis yang sering imperialisme budaya dan media
berkaitan dengan penggambaran efek sebagaimana dikemukakan di atas,
atau pengaruh media massa Barat dapatlah tergambarkan, bagaimana
terhadap khalayak luar negeri. Para globalisasi dipahami oleh kelompok
peneliti imperialism budaya (IM) ini. Bagi mereka, globalisasi
sepakat sebagaimana digambarkan ditafsirkan, sebagaimana yang
Berltran, (1978b:184) bahwa : didefinisikan Anthony Gidden
”cultural imperialism is a verifiable yakni:”Globalization as the spread of
process of social influence by which a modernity, which he defines as the
nation imposes on other countries its extention of the nation-state system,
set of beliefs, values, knowledge, and the world capitalist economy, the
behavioral norms as well as its world military order and the
overall style of life”. Sementara international devision of
Schiller (1979) mendefinisikan labor”(Giddens dalam Thussu,
imperialisme budaya:…”Sum of the 2006:63). Dari perspektif teori
processes by which a society is globalisasi, kaum imperialis media,
brought into the modern world system dapat dimasukkan ke dalam kubu
and how its dominating stratum is hyperglobalist yang memandang
attracted, pressured, forced, and globalisasi sebagai ancaman ekonomi
sometimes bribed into shaping social global dan militer dari negara-negara
institution to correspond to, or even maju terhadap negara-negara
promote, the value and structures of berkembang dan belum berkembang
the dominating center of the system”. (Tomlinson dalam Muhammadi,
Cess Hamelink (1983:2-3) 1997:74).
secara deskriptif menggambarkan Menurut Barret, teori
hilangnya identitas lokal berupa adat- imperialisme budaya terbagi ke dalam
istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan dua model. Pertama, model Schiller
gaya hidup setempat yang digantikan yang lebih ideologis dan yang kedua
oleh semua yang serba Amerika akibat adalah model yang generik atau
serbuan media mereka. Konsep lain bersifat umum. Masing-masing
dari imperialisme budaya adalah,apa kelompok ini membangun tradisi
yang disebut imperialisme media program riset dengan jalan yang
(media imperialism). Menurut Boyd- berbeda. Model pertama dibangun oleh
Barrett, “media imperialism refers to kelompok pendekatan ekonomi-politik
the process whereby, the ownership, yang didasarkan pada tradisi neo-
structure, distribution or content of the Marxis. Paradigma dependensia
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 5
misalnya, banyak mewarnai sering digunakan oleh mazhab neo-
pendekatan awal program riset Marxist.
imperialisme budaya.Sedangkan Dalam usaha menunjukkan hasil
kelompok yang kedua, datang dari para survei tentang ada tidaknya gejala
ilmuwan mazhab behavioristik yang imperialisme budaya di Indonesia, penulis
menyodorkan program riset menggunakan metoda kronologis ysitu
komunikasi dengan penekanan pada dengan memetakan penggambaran gejala
efek media ,studi analisis isi dan studi imperialisme budaya pada masa rezim
arus berita. Orde Lama, rezim Orde Baru dan rezim
Orde Reformasi.
METODE PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Tulisan ini akan diawali dengan Teori dan Asumsi Imperialisme Media
mendeskripsikan konsep imperialime Imperialisme media
budaya dan imperialisme media serta dikonstruksikan oleh empat teori:
pengaruh tradisi intelektual di ketimpangan arus informasi (flow of
belakangnya. Kedua, akan menunjukkan information gap) dependensia, world
berbagai teori yang melandasi munculnya system theory (WST), dan electronic
konsep imperialisme media. Ketiga, colonialism (ECT). Dunia mengalami
menyajikan kritikan terhadap konsep kesenjangan informasi antara negara
imperialisme media. Dan keempat, Pusat(core) dengan negara Pinggiran
mendiskusikan ada tidaknya imperialisme (periphery). Kaum dependenista
media di Indonesia. menganggap bahwa pembangunan
Pendekatan metodologis yang telah melahirkan keterbelakangan
dipakai dalam kajian ini, menggunakan negara-negara dunia ketiga. Sementara
pendekatan kualitatif. Sedangkan metoda itgu, teori sistem dunia melihat
pengumpulan data didasarkan atas studi terjadinya eksploitasi dan hubungan
literatur (library research) atau analisis asimetris antara “negara pusat” kepada
dokumen dan analisis kritis terhadap gejala “negara pinggiran” dan “semi
media dan budaya imperialisme yang pinggiran”. Kolonialisme elektronik
berkembang di Indonesia. Riset memandang relasi sepihak yang
kepustakaan atau analisis dokumen adalah dibentuk oleh importasi hardware dan
sebuah cara untuk menggali data dari sofware beserta unsur pendukungnya
sumber yang berbentuk buku, jurnal, untuk mengubah masyarakat setempat.
majalah, surat kabar, undang-undang, Teori kolonialisme elektronik
website dan data tertulis lainnya yang (Electronic Colonialism Theory)
relevan dengan topik bahasan. merupakan bagian dari teori makro
Penggunaan konsep imperialisme (Phail,2010:16) yang tradisi risetnya
media atau imperialisme budaya disini datang dari Innis, McLuhan, Mattelart,
tidak dimaksudkan sebagai dua konsep Ellul, Bagdikian, dan Barnett. Teori
yang terpilah tegas (mutually exclusive), ECTini kata Phail, menekankan
tetapi mengandung satu pengertian ibarat pada:”posits that foreign produced,
dua sisi dalam satu mata uang logam. created, or manufactured cultural
Namun, apabila harus dikonstruksi melalui products have the ability to influence,
polarisasi mazhab pemikiran (school of or possible displace, indigenous
thought), penulis condong memilih konsep cultural productions, artifacts, and
imperialisme budaya (cultural media to the detriment of recieving
imperialism), sebuah konsep yang yang nations (hal.320). Informasi dari luar
menurut teori ini bisa menyebabkan
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 6
penolakan, perubahan, pengasingan Keempat, ketidakseimbangan
terhadap kebiasaan otentik setempat, informasi (imbalance flow of
pesan-pesan domestik dan sejarah information). Hampir 80% informasi
kulturalnya. Sementara kultur dunia dikuasai oleh Utara. Sedangkan
konsumerisme akan merajalela Selatan hanya menguasai kurang lebih
mendominasi realitas media karena 20% informasi. Studi Tapio Varis pada
makin berkuasanya perusahaan- 1980-an tentang arus pesan televisi
perusahaan multinasional yang datang dunia yang didukung Unesco
ke negara-negara berkembang. menyimpulkan seriusnya pertukaran
Kedua, teori sistem dunia informasi yang tidak seimbang antara
(WST) yang dikembangkan oleh Utara dan Selatan. “Most countries”,
Immanuel Wellernstein. Menurut teori kata Varis, “are passive recipients of
ini, relasi negara-bangsa (nation-state) information disseminated by a view
terbagi ke dalam tiga zona: core, semi other countries” (Roach,1997:47). Hal
peripheral dan peripheral zone. ini terjadi karena teknologi informasi
Diasumsikan bahwa relasi satu wilayah dan komunikasi - hard-ware maupun
dengan wilayah lain menunjukkan software- konglomerasi media, dan
ketidaksamaan dan ketidakmerataan kekuatan ekonomi dan politik dikuasai
dalam hubungan ekonomi. Wilayah negara-negara Utara. “Dominasi
pusat (core zona) mendominasi dan Barat”, kata Stevenson, “mencakup
mengontrol dua wilayah lainnya yakni seluruh aspek komunikasi global,
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah berita, budaya pop, bahasa Inggris
pusat berusaha mengontrol dan sebagai bahasa global, dan teknologi
merumuskan sifat dan lingkup komunikasi” (Stevenson dalam Salwen
interaksinya dengan kedua wilayah and Stacks, 1996:188). Kegiatan
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah negara-negara superpower kala itu
pusat juga menyediakan teknologi dalam melakukan propaganda,
peringkat keras, lunak, modal, melibatkan organisasi-organisasi
pengetahuan, barang dan jasa kepada intelegens-nya seperti CIA, KGB,
dua wilayah yang berfungsi sebagai Mossad, MI-5, dan RAW, telah
pasar dan konsumen sekaligus. menimbulkan dominasi komunikasi
Ketiga, teori dependensi. dan informasi negara-negara maju
Program riset imperialisme budaya terhadap negara-negara berkembang.
kaum dependenista menganggap Para sarjana Amerika Latin
bahwa realitas dunia terbagi kedalam misalnya, memakai kacamata teori
dua kategori: Negara maju (core) dan dependensia untuk mengkaji
Negara pinggiran (periphery). Negara- perusahaan media massa yang
negara pinggiran sangat bergantung berkembang di negeri itu pada1970
pada media yang dimiliki Negara dan 1980-an. Empatdari lima
maju. Dalam konteks ini imperialisme perusahaan jaringan televisi swasta
budaya dilihat sebagai alat Negara besar yang ada Amerika Latin
maju untuk memelihara dominasi (sepertiGlobo TV di Brasil dan
setelah mereka meninggalkan Televisa di Mexico), ternyata tidak
penjajahannya dalam bentuk menunjukkan watak kepemilikan
penguasaan militer. Pandangan sebagaimana yang lazim ada di Negara
ekonomi-politik kaum dipendenista Ketiga (Third World). Menurut kaum
melihat imperialisme budaya sebagai dependista, media dan rakyat Amerika
produk ekonomi-politik kaum Latin terus bergantung pada negara-
imperialis. negara maju, terkait dengan berita dan
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 7
kebutuhan kulturalnya. Herbert melandasinya. Pertama, bahwa
Schiller (1969) dalam Mass imperialisme media berasumsi bahwa
Communication and American Empire dominasi dan hegemoni budaya dan
mampu menunjukkan keterlibatan media terjadi disebabkan karena faktor
pemerintahan Amerika dan eksternal, seperti faktor ekonomi dan
perusahaan-perusahaan bisnisnya yang politik yang mempengaruhi operasi
mencengkram sistem media Dunia media. Sementara itu, paradigma
Ketiga. Dorfman dan Matterlart (1975) modernisasi melihat keterbelakangan
dalam How to Read Donald Duck, masyarakat terjadi karena “cacat
misalnya, mampu melacak jejak-jejak mental” yang dialami oleh masyarakat
ideologis kaum imperialis dalam yang belum maju. Kedua, studi dan
komik Walt Disney yang riset media menekankan pada efek
didistribusikan secara luas ke Amerika media dengan menggunakan teori
Latin. hypodermic needle (teori jarum
Dari berbagai studi yang hipodermik) yang mengandaikan
dilakukan kaum imperialis media, bahwa media memiliki pengaruh
paradigma dominan Barat mengenai langsung terhadap khalayaknya.
komunikasi dan teknologi informasi, Ketiga,relasi antarnegara dalam
menurut Gudykunst dan Mody komunikasi internasional dan
(2002:9), dikritik tajam sebagai globalisasi telah melahirkan
berikut: homogenisasi budaya dan media di
1. Teknologi komunikasi dan negara-negara berkembang. Keempat,
informasi yang disebarluaskan khalayak dianggap sebagai entitas
Barat, dianggap sebagai nilai yang yang pasif dalam menerima informasi
mengandung muatan paternalistik dan komunikasi dari luar. Kelima,
dan etnosentrisBarat. teori-teori imperiliasme media pada
2. Metodologi riset komunikasi umumnya menggunakan teori-teori
internasional Barat yang berpusat makro komunikasi yang menekankan
pada efek media telah pada arus informasi satu arah (one way
mengabaikan konteks ideologi, flow of information) atau “top down
ekonomi, politik, dan budaya transmission system from dominant
negara-negara Dunia Ketiga. country to dominated
3. Model Lasswell yang mengacu country”.Keenam, imperialisme
pada: who, say what, in which budaya percaya bahwa media
channel and with what effect harus memainkan peran penting dalam
digantikan dengan pertanyaan riset pembentukan kebudayaan.
yang baru: “who owns and Dari perspektif paradigmatik,
controls the distribution of teori kritis imperialisme budaya atau
communication and for what dependensi dapat dibedakan dari teori
purpose and intents? free flow dan free market yang
4. Media merupakan bagian integral berparadigma positivisme-modernisasi.
dari “ideological state Menurut Daniel Biltereyst, kedua
apparatuses” yakni bagian dari alat mazhab ini menunjukan perbedaan
negara yang menanamkan nilai- signifikan dalam memandang realitas
nilai ideologis kepada publik. dunia komunikasi. Pertama, paradigma
dependensi berada pada posisi
Dari sebagian besar teori dan paradigma kritis, penganut kaum kiri-
riset imperialisme media, terdapat progresif dan bermazhab imperialisme
beberapa asumsi pemikiran yang budaya. Sedangkan paradigma free
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 8
market menganut paradigma determinan lain yang juga
administratif, berposisi sebagai kaum mempengaruhi khalayak seperti faktor
konservatif dan penganut mazhab free industri (fesyen, turisme, arsitek dll)
flow of information. Kedua, kaum dan warisan pendidikan kolonial. Lagi
dependensi melihat dominasi Amerika pula, kata yang lain, konsep
sebagai wujud konspirasi hukum pasar imperialisme media kurang memiliki
kapitalis yang tertanam dalam nilai- ketepatan definisi yang jelas. Hampir
nilai, norma dan ideologi kapitalis semua pengagas teori ini, memiliki
Amerika dengan nilai yang sudah defenisi yang sangat beragam.
distandarisasi. Sui Nam Lee (1988) misalnya,
Sedangkan pada free market, mengeritik konsep ini sebagai istilah
merujuk pada hukum free market yang yang tidak spesifik. Namun, ketika ia
percaya pada seleksi alamiah yang menawarkan imperialisme media
bebas di ruang publik dan memandang digantikan dengan istilah
budaya sebagai nilai universal yang ”imperialisme komunikasi”, juga
bisa diterima siapapun. Ketiga, pada menimbulkan perdebatan. Selain itu,
dependensi konsep khalayak dilihat data ekonomi dari imperialisme media
sebagai entitas yang pasif dan mungkin dapat diukur lewat statistik,
dianggap sebagai komoditas. tapi mengukur data budaya, lebih sulit
Sedangkan pada free market, khalayak untuk diukur. Di sini kata Golding dan
dipandang sebagai entitas yang terbuka Harris (1997:5) media imperialisme
dan menunjukan kebutuhan dan telah mencampuradukkan efek
permintaan yang kooperatif. Keempat, ekonomi dan budaya secara arbitrer
dari sudut pengaruh budaya, kaum (semena-mena).
dependensi melihat pengaruh media Kritikus lain menyatakan
Barat menimbulkan ketergantungan bahwa konseptualisasi tentang
bangsa-bangsa bukan-Barat, polarisasi kekuatan dunia ke dalam tiga
menciptakan homogenisasi dan kategori: firsth world, second world,
sinkronisasi budaya serta menciptakan dan third world, dewasa ini sudah tidak
kesadaran dan kebutuhan palsu (false relevan lagi mengingat jatuhnya
needs and consciousness). Dan bisa benteng Jerman Timur sebagai babak
ditambahkan disini sebagai faktor baru dalam sejarah dunia yang ditandai
kelima bahwa teori dependensi dengan makin banyak dan
menggunakan teori-teori makro. kompfleksnya realitas komunikasi
Sedangkan free market menggunakan internasional dewasa ini. “US is not the
teori-teori mikro. only dominant player in term of media
production”, kata Thussu (2007: 11-28
PEMBAHASAN ). Dalam Media on the Move, Thussu
Kritik terhadap Teori Imperialisme menunjukkan gejala industri baru di
Media sebelah Selatan yang mulai melakukan
Menurut para pengeritik counter-cultureterhadap produksi
imperialisme media, Sriberny- Hollywood. Tumbuhnya industri
Muhammadi (2001) misalnya, hiburan Bollywood, telenovela di
imperialisme media mengandung Amerika Latin, Cina, Korea dan
problematik baik secara teoretis sejumlah negara Timur Tengah seperti
maupun secara empiris. Media, Iran, Mesir dan Turki yang selalu
tambahnya, bukanlah faktor tunggal mendapat perhatian di festival
dan menentukan yang mempengaruhi perfilman dunia. Karena itu, ia
khalayak. Terdapat determinan- kemudian membagi arus informasi
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 9
dunia ke dalam tiga kategori: global, informasi pun sudah demikian drastis
transnasional dan geo-cultural. berubah. Munculnya media baru telah
Imperialisme media pun telah mengeliminasi struktur dan
mengabaikan peranan khalayak yang, sebaran isi pesan asimetrik yang
menurut banyak penelitian, kemudian digantikan oleh pesan yang
menunjukkan resistensi terhadap bersifat interaktik dan simetrik. Pola
kepemilikan dan isi pesan dari hubungan subyek-obyek sudah
berbagai media asing. Straubhaar ditengarai oleh konsep yang disebut
(2000) misalnya, meperkenalkan Computer-mediated communication
konsep cultural proximity yang (CMC) sehingga melahirkan pola
menunjukkan bahwa khalayak lebih hubungan yang intersubyektivitas
memilih program siaran yang lebih dalam ruang maya network society
dekat dengan ikatan kulturnya daripada yang bersifat egaliter dan demokratis.
siaran budaya asing. Dalam keseharian Efek kultural dari media global
kita misalnya, meskipun Indovision pun tidak lah dengan sederhana
banyak menawarkan seperti stasiun menimbulkan homogenisasi budaya,
berita CNN, al-Jazeera atau berbagai tetapi globalisasi budaya telah
sumber hiburan lainnya, ternyata yang melahirkan cultural hybridization
lebih banyak ditonton adalah berita- yakni saling bercampur, berfusi,
berita dan hiburan dari stasiun televisi berbaur dan saling menyatu antara satu
nasional sendiri. Selain hambatan kebudayaan dengan kebudayaan
bahasa, faktor lainnya adalah karena lainnya. Bahkan yang lain menyatakan
alasan cultural proximity itu. bahwa efek globalisasi dalam
Dari temuan-temuan riset kebudayaan telah melahirkan
tentang khalayak yang menggunakan glocalization yakni hasil sintesis antara
teori reception misalnya, menunjukkan homogenisasi budaya dengan
bahwa pesan yang diterima khalayak heterogenisasi budaya, sehingga
ternyata menimbulkan pesan polisemic menimbulkan jalan tengah glokalisasi.
yakni pesan yang tidak tunggal tetapi Sementara menurut yang lain efek
beragam dan mengundang banyak globalisasi dalam kebudayaan telah
tafsir dari tiap khalayak. Ternyata, melahirkan heterogenisasi budaya
menurut riset reception, khalayak itu sehingga realitas masyarakat semakin
bersifat aktif ketika mendapat pesan plural. Kasus jilbab kaum muslimat di
dari luar. Menurut Fiske dan de berbagai negara Eropa misalnya,
Certeau, khalayak dinilai sebagai bukannya “jiwa Eropa” menghilangkan
“active producers of meaning, not identitas khas mereka, justru
consumers of media meaning”. Studi- sebaliknya yang terlihat adalah
studi kualitatif dan etnografik oleh Ien menguatkan penegakan dan perluasan
Ang dalam Watching Dallas (1985), hak-hak mereka di tengah dominasi
Janice Radway (1987) tentang Reading masyarakat yang menafikannya.
the Romance, David Morley (1986) Selain itu, teori imperialisme
tentang Family Television, media tidak bisa diterapkan dalam
membuktikan bahwa khalayak punya semua situasi, terutama terhadap
persepsi yang berbeda-beda atas isi situasi kekinian yang telah
pesan yang diterimanya. menunjukkan berbagai pergeseran
Kritik lainnya yang tertuju aktor negara (state-actors), non-state
pada imperialisme media misalnya, actors, konvergensi teknologi
selain karena peta politik dunia yang informasi dan komunikasi, ideologi
sudah berubah, penemuan teknologi dan sistem politik dunia yang semakin
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 10
terbuka, plural, dan saling media, sudah cukup marak. Waktu itu,
mempengaruhi satu sama lain. Dari Perang Dingin antara Amerika dengan
sudut worldviews teori, temuan riset Uni Soviet demikian kuat sehingga
empiris dan peta dunia, relevan untuk Indonesia berada di antara dua
mengkonstruksi relasi negara dalam pengaruh negara adikuasa tersebut.
dinamika komunikasi internasional Namun politik kebudayaan era
pada 1970-an. Belakangan, setelah Soekarno pada saat itu lebih condong
banyak kritik dan tanggapan serta riset pada semangat anti-imperialisme.
baru, pandangan dunia (worldviews) Karena itu, melalui ajaran Trisaksinya:
imperialisme media perlu mendapat (yakni daulat politik, daulat ekonomi
berbagai revisi. dan daulat kebudayaan), rezim Orla
Hal lain yang juga membuat melarang segala bentuk kebudayaan
bias teori imperialisme media, pop dari Barat.
memakai pendekatan ekonomi-politik Para personil Koes Ploes
dengan menganalisis hubungan media misalnya, yang terpengaruh Beatless
dengan kebijakan luar negeri Amerika. dan Rock and Roll, sempat
Imperialisme media juga kurang dipenjarakan. Para seniman Lekra yang
memperhatikan elit nasional di negara “dekat” dengan PKI, dan pengaruh
berkembang yang didukung elit politiknya cukup besar pada waktu itu,
dominan dalam komunikasi “segera menjadi pelopor bagi gerakan
internasional untuk memelihara dan budaya yang ikut dalam arus
menjaga struktur ekonomi-politik elit penentangan terhadap imperialisme
nasional atau lokal sendiri. kebudayaan”(Chisaan, 2008:58).
Konsentrasinya pada dampak bisnis Mereka demikian rajin mengeritik
transnasional dan peran kekuatan pemerintah agar lebih tegas menolak
eksternal terhadap perkembangan kebudayaan Nekolim. Zaman
ekonomi dan sosial, namun Demokrasi Terpimpin model
imperialisme media mengabaikan kelas Soekarno, ingin membangun politik
di tingkat nasional dan lokal, gender, kebudayan dengan cara melakukan
etnik dan relasi keuasaan antarpara “nasionalisasi kebudayaan”(Kleden,
aktor (Thussu, 2007:52). 1987:233). Caranya, dengan
menghidupkan kembali seni-seni
Imperialisme Budaya di Indonesia tradisi rakyat yang tumbuh di kalangan
Adakah imperialisme budaya di komunitas dan etnis yang ada di
Indonesia? Jawabannya, secara Indonesia.
hipotetis ada. Masalahnya seberapa Berbeda dengan Orde Baru,
jauh derajat kualitas dan kuantitasnya, rezim Soeharto menganut politik
membutuhkan satu riset. Faktor waktu, kebudayaan sebaliknya. Ia lebih
faktor politik kebudayaan yang dianut terbuka bahkan sangat lunak dengan
rezim, dan dinamika masyarakat, “imperialisme budaya” Barat. Soeharto
merupakan beberapa variabel yang melakukan politik kebudayaan dengan
penting diperhatikan. Bila mengacu cara: “internationalization of
pada kurun waktu zaman Orde Lama culture”(Haryadi and Shodiq,
misalnya, gejala imperialisme budaya 2014:331). Semua bentuk kebudayaan
Barat melalui budaya pop seperti Barat: ilmu, teknologi dan budaya pop
musik rock and roll atau Beatless dibuka dengan massif. Strategi
misalnya, cukup digemari publik. pembangunan ekonomi misalnya,
Demikian juga gejala pornografis sangat dipengaruhi oleh ekonomi
dalam poster, iklan, dan ilustrasi model kapitalis. “Mafia Berkeley”
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 11
misalnya, adalah para perancang variety shows dan sinetron yang
strategi pembangunan di era Soeharto banyak berasal dari impor Barat. Pada
yang “dekat” dengan mazhab ekonomi 1990-an misalnya, ANTV bermitra
liberal Barat. Dalam komunitas dengan MTV yang memiliki jaringan
keilmuan saat itu, hanya ISEI yang dengan berbagai televisi dunia. Global
cukup menonjol karena para TV bermitra dengan MTV yang porsi
anggotanya banyak yang saat itu hiburannya lebih mengangkat
tengah menjadi birokrat. Sementara kebudayaan pop Korea. SCTV
peran ilmu-ilmu sosial lain, kata bermitra dengan Entertaiment and
Haditz dan Dhakidae (2005:2): ”were Sport Programme Network (ESPN).
pressed to adhere to the developmental Sementara Indosiar bermitra dengan
reference points provided, which Home Box Office (HBO) yang banyak
mainly stressed growth, stability, and menayangkan film-film laga layar
the non-desruption of the social lebar. Dominasi iklan, sinetron, dan
order”. Ilmu-ilmu sosial waktu itu film-film asing di berbagai televisi
diperankan sebagai bagian dari narasi nasional, demikian massif terutama
besar paradigma positivisme yang sebelum terjadinya krisis ekonomi
mendasari gerak modernisasi di 1998. Namun gejalanya mulai
Indonesia, sehingga strategi berkurang setelah rezim Orba
pembangunan meniru (copy paste) mengalami krisis ekonomi yang
model strategi pembangunan berakibat kemudian pada pergantian
modernisasi Barat. rezim berikutnya.
Keterikatan rezim Orba dengan Dalam hal iklan misalnmya, studi
Bank Dunia, IMF dan WTO adalah Ginting menyimpulkan bahwa : ”Dari
bagian dari ekonomi global yang sulit 20 yang diamati terdapat nilai-nilai
dihindari untuk tidak dikatakan sebagai budaya asing yang menonjol yaitu
bagian dari wujud imperialisme perubahan pola interaksi personal
budaya Barat. Di berbagai universitas individu, seksualitas (personal
mulai dibuka jurusan studi intimacy), kecantikan (beauty), pola
pembangunan. Adanya mata kuliah hidup konsumtif, dan tingginya
“wiraswasta” misalnya di Fekon atau penggunaan istilah asing pada iklan”
jurnalistik pembangunan di Fikom (hal.2, tanpa tahun). Demikian juga
misalnya, adalah kasus-kasus yang dalam hal mode, media massa sangat
menunjukkan jejak-jejak imperialisme menonjol dalam menyosialisasikan
budaya yang dibawa “ideologi” gaya hidup dan mode Barat. Hasil studi
modernisasi, merembes dan Yohana (2009:98) pada Majalah
“mensubversi” komunitas ilmuwan Gogirl misalnya, menunjukkan bahwa
kita. Deregulasi, privatisasi, dan rubrik fashen Hollitrend banyak
liberalisasi ekonomi model neoliberal, mengangkat produk Barat seperti:
telah menumpulkan peran ilmu sosial harem, jumpsuit, vintage dress, bubbly
di sudut “pinggiran”. skirt, legging, ripped jeans, vest dan
Demikian juga dengan bomber jacket.
kebudayaan pop Barat. Ketika rezim Yang menarik dicatat dalam
Orba meluncurkan Satelit Palapa kaitannya dengan politik kebudayan
sebagai bagian dari “open sky policy”, pada rezim Orba, kebijakannya,
industri televisi demikian pesat bersifat “dual policy” (Hariyadi and
berkembang. Di samping TVRI, Shodiq, 2014:332). Di satu pihak,
muncul pula banyak stasiun TV Swasta membuka pintu lebar-lebar bagi
yang menyuguhkan musik, iklan, film, kebudayaan Barat, namun di pihak
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 12
lain, melakukan “tekanan” terhadap banyak film kekerasan produk
kaum intelektual dan politisi atau Amerika. Jaringan bioskop seperti
kekuatan civil yang akan berpotensi Blitz dan XXI di tiap pusat kota
menggangu stabilitas nasional. misalnya, dikuasai oleh film impor
Demokrasi politik yang dibangun Amerika. Artis-artis Hollywood sudah
bersifat “semu” dalam pengertian, cukup dikenal masyarakat kita.
meskipun media massa sebagai bagian Demikian pula dalam industri musik,
dari “pilar keempat” demokrasi, namun lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian
fungsi pengawasannya (watchdog dari “makanan” keseharian anak-anak
function) , hampir tidak diberi ruang dan remaja kita.
gerak yang leluasa. Demikian juga Era Reformasi, politik
dengan partai politik. Meskipun kebudayaan semakin terbuka lebar.
terdapat tiga partai politik dengan Negara seakan mengalami “stateless”
Golkar sebagai “the rulling party”, dan dalam kaitannya dengan gerak
PPP dengan PDI sebagai “oposisi”, imperialisme budaya. Globalisasi yang
setidak-tidaknya “bukan partai semakin intensif dan mendatangkan
pemerintah”, namun kedua partai perkembangan teknologi informasi
tersebut dapat “dikendalikan” rezim yang bersifat interaktif, maka sumber
Orba. Demikian halnya dengan pengetahuan tidak saja datang dari
kekuatan “civil society”, kelompok media konvensional, tetapi juga dari
Islam yang sering “mengganggu” inkonvensional ketika masyarakat
pemerintah, kemudian diwadahi dalam semakin gandrung memanfaatkan
ICMI, meskipun sebagaian elit Islam media sosial yang di era reformasi ini
seperti Gus Dur misalnya, sempat semakin massif. Dalam pada itu, rezim
mendirikan “forum demokrasi” sebagai reformasi bukan saja akrab dan terbuka
upaya membangun proses dengan imperialisme budaya Barat dan
demokratisasi dari bawah. Kala itu, non-Barat, melainkan telah membuka
semua gagasan ekonomi, budaya dan “kotak pendora” bagi liberalisasi
sosial diperbolehkan “bebas tanpa politik yang selama ini “disandra”
syarat”, kecuali liberalisasi dan rezim Orba sehingga melahirkan
demokrasi politik. kembali sistem multipartai dan
Dibandingkan dengan rezim pemilihan langsung presiden, gubernur
Orla, gejala imperialisme budaya Barat dan walikota-bupati. Di era multimedia
pada masa Orba, tampak jauh lebih sekarang, para pejabat publik dan
menonjol. Cara pandang neo-liberal politisi, ibarat selebriti yang main
dalam ekonomi yang dianut para elite sinetron penuh “dramatik” di televisi
atau, cara berpakaian dan penggunaan dan media sosial yang kemudian
merk yang “branded” dari Barat, menjadi bgagian dari kebudayaan pop.
perilaku pejabat publik dan Baju kota-kotak ala Jokowi misalnya,
keluarganya yang sering berbelanja ke telah menjadi bagian dari kebudayaan
luar negeri, semakin tingginya anggota pop masyarakat.
masyarakat mengonsumsi jenis Pemanfaatan media sosial, bukan
makanan KFC, McDonald, AW dan saja telah meningkatkan partisipasi
minuman Cola Cola misalnya, sudah politik warga dalam pilkada atau
lumrah menjadi kebiasaan santapan pilpres, melainkan juga hak untuk
masyarakat kita. Sementara itu di memilih produk kebudayaan pop yang
bidang industri film dan musik datang dari tiap penjuru dunia.
misalnya, hampir setiap hari televisi Kegandrungan remaja kota terhadap
yang ada di Indonesia, menyuguhkan K-Pop yang membuat boyband dan
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 13
girlband asal Korea menjadi kita, termasuk beberapa jenis musik
trendsetter, menurut hasil riset S2 seperti angklung dan tarian daerah
komunikasi UI, itu akibat akses yang dipakai untuk menyambut para
internet (Astuti, 2012:102). Demikian tamu negara dan dijadikan “alat”
juga dengan kebudayaan pop dari diplomasi publik dalam pertemuan
Jepang, Peranc is, Inggris, Spanyol, antarbudaya di mancanegara. Gejala
Timur Tengah seperti musik nasyid busana muslimah yang tradisinya
misalnya, dengan mudah diakes sudah mendunia dan semakin menjadi
melalui internet. Jadi, media massa “trendi” sekarang, merupakan bagian
maupun media sosial dewasa ini telah dari counter-culture dari kaum
menjadi sumber utama bagi akselerasi muslimat dunia terhadap cara
dan sosialisdasi budaya pop dunia. berbusana Barat.
Akibatnya, imperialisme budaya Barat Menonjolnya imperialisme
dan non-Barat semakin deras merasuki budaya di semua sektor kerhidupan
kalangan masyarakat Indonesia. dewasa ini, telah melahirkan kesadaran
Imperialisme budaya di era politik dari elite politik sehingga
reformasi, tampak semakin menonjol muncul wacana baru tentang
dibandingkan era rezim Orba. Sebab pentingnya kedaulatan ekonomi,
kualitas dan intensitasnya, frekuensi politik dan budaya sebagai materi
dan bobotnya, semakin lebar, luas dan utama kampanye politik pada kedua
merasuk segala sendi-sendi kehidupan calon Capres dan Cawapres Prabowo-
ekonomi, politik dan budaya. Hatta dan Jokowi-JK saat Pilpres 2014
Imperialisme yang datang sekarang, kemarin. Apalagi ketika pilres
bukan hanya dari Barat melainkan juga dimenangkan pasangan Jokowi-JK,
dari non-Barat. Sudah lama orang kita maka semangat menghadirkan kembali
juga mengenal dan mengapresiasi film semangat Trisakti, akan menjadi basis
dan musik India, Cina, Jepang dan legitimasi yang kokoh bagi perjalanan
sekarang yang cukup digandrungi pemerintahan atau rezim baru
adalah musik Korea. Musik dan film mendatang. Sayangnya, dukungan
dari Timur Tengah pun dewasa ini partai-partai koalisi pemerintah di
sudah mulai diapresiasi. Festival- parlemen hasil Pemilu 2014 lalu, tidak
festival film di Barat misalnya, banyak memberi topangan cukup kuat
juga dimenangkan oleh Iran, termasuk dibandingkan koalisi partai yang kalah
Indonesia. Makanan Cina, Jepang bertarung pada pilpres lalu, membuat
termasuk makanan Timur Tengah efektivitas kabinet Jokowi-JK, berada
seperti kebab dan nasi kebuli, bukanlah dalam situasi yang spekulatif.
makanan asing lagi bagi warga Kemenangan partai non-
Indonesia. pemerintah dalam mengembalikan
Hal yang menarik, akibat pilkada langsung menjadi tidak
“desakan” imperialisme budaya yang langsung, MD3 dan pemilihan
datang dari segala arah, muncul juga pimpinan DPR, apakah merupakan
gerakan counter-culture (perlawanan) isyarat sebagai langkah taktis untuk
budaya untuk menguatkan indigeneous menopang strategi menguatkan
culture (budaya asli) kita. Pemerintah identitas politik kebudayan nasional,
daerah di sebagian kota dan propinsi, atau sekedar “balas dendam” jangka
telah mewajibkan penggunaan bahasa pendek agar rezim Jokowi-JK menjadi
daerah dan pakaian khas subkulturnya tidak efektif dan akhirnya tidak
masing-masing. Busana batik pun memberi kontribusi bagi ikhtiar
sudah lama dijadikan pakaian nasional melemahkan imperialisme budaya
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 14
yang dewasa ini semakin menggurita?. 4. Kuat dan lemahnya efek imperialisme
Di atas permaianan politik jangka budaya bergantung pada politik
pendek dan situasional ini, yakin kebudayaan dan kebijakan komunikasi
bahwa dil ubuk hati terdalam para satu negara, ketahanan ekonomi dan
elite, sudah terbentuk kesadaran budayanya, termasuk kesadaran literasi
bersama akan mimpi sebuah bangsa individu dalam menerima berbagai
yang “dibayangkan”: kuat dalam informasi dan hiburan yang datang dari
ekonomi, politik dan kebudayaan!. luar. Bangsa Jepang misalnya,
meskipun mampu mengadopsi
modernisasi Barat dalam teknologi dan
KESIMPULAN ekonomi, namun watak kultural
1. Globalisasi adalah proses kompleks “Ketimuran”-nya tidak lantas terkikis.
yang membawa dunia menjadi semakin 5. Gejala imperialisme budaya dilihat dari
“menyatu” melalui intensitas dan kurun waktu rezim berkuasa dan politik
ekstensi komunikasi dengan segala kebudayaannya, menunjukkan bahwa
bentuk salurannya. Isi komunikasi pada era rezim Orla, imperialisme
mengandung bias kepentingan baik atas budaya tumbuh namun tidak massif
nama individu, kelompok, bisnis akibat politik kebudayaan “pintu
korporasi dan negara baik secara tertutup” bagi budaya Barat. Sedangkan
ideologis, ekonomi, dan kultural. era Orba, imperialisme budaya lebih
Karena itu, globalisasi tak lain adalah terbuka dan massif kecuali liberalisasi
imperialisme budaya yang datang ke politik Barat. Dan era reformasi,
Indonesia. imperialisme budaya semakin massif
2. Teori imperialisme budaya/media dan semakin terbuka akibat politik
merupakan bagian dari teori kebudayaan rezimnya dan tumbuhnya
komunikasi internasional yang mampu media sosial yang menumbuhkan
menggambarkan dominasi dan partisipasi warga di segala sektor
hegemoni media Barat yang isinya kehidupan.
mengandung kepentingan politik, 6. Dibutuhkan strategi kebudayaan bagi
ekonomi dan budaya sebagai bagian satu bangsa, termasuk Indonesia untuk
dari diplomasi publik untuk terbuka mengambil nilai-nilai universal
mengkonstruksi sudut pandang dunia dalam semua bidang baik ilmu,
(worldview) Barat terhadap negara- teknologi, ekonomi dan budaya tanpa
negara Dunia Ketiga atau yang non kehilangan “jati diri” sebagai sebuah
Barat. bangsa yang berdaulat dan bermartabat
3. Validitas dan realibitas teori di tengah bangsa-bangsa lain.
imperialisme budaya menimbulkan Membangun branding nation yang
banyak kritik karena tidak mampu positif dan berkarakter adalah pekerjaan
menggambarkan dominasi dan rumah kita ke depan.
hegemoni media dan budaya untuk 7. Semangat Trisakti yakni berdaulat
setiap bangsa. Dalam pada itu, counter- dalam ekonomi, berdaulat dalam politik
hegemony melalui industri film dan berdaulat dalam kebudayaan,
Bollywood misalnya, atau film-film merupakan wacana baru yang tengah
Cina yang juga dominan, termasuk menjadi kesadaran politik para elit
pemberitaan Aljazeera, telah membuka politik untuk membangun bangsa yang
pintu realitas dunia menjadi “diimpikan” ke depan. Kesadaran akan
multiperspektif. Imperialisme budaya pentingnya doktrin Trisaksi di kalangan
dewasa ini bersifat multipolar. elit akan mampu mereduksi

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 15


imperialisme budaya yang semakin kuat - Roach, Collean (1997). Cultural
sekarang. Imperialism and Resistance in Media
Theory and Literary Theory. Media,
DAFTAR PUSTAKA Culture and Society, 19, 47-66.
- Salwen, Michael B., Lin, Carolyn A
- Astuti (2012). Imperialisme Budaya and Anokwa, Kwadwo (2003).
Industri Dunia Hiburan Korea di International Communication:
Jakarta: Studi terhadap Remaja- Concept and Case. Belmond USA:
Remaja Jakarta yang menggemari Pop Thomson & Wadsworth.
Korea. Jakarta: Tesis S2 Universitas - Salwen, Michael B and Stacks, Don
Indonesia. W (1996). An Integrated Approach to
- Chisaan, Choirotun (2008). Lesbumi Communication Theory. New Jersey:
Strategi Politik Kebudayaan. Lawrence Erlbaum Associates.
Yogyakarta. LkiS. - Salwen, Michael (1991) Cultural
- Gudykunst, William B and Mody, Imperialism: A Media Effects
Bella (2002). International and Approach. Critical Studies in Mass
Intercultural Communication. London Communication, 8, 29-59.
and New delhi: Sage Publication. - Straubhaar/LaRose (2002). Media
- Hadiz, Vedi R and Dhakidae, Daniel, Now: Communications Media in the
eds (2005). Social Science and Power Information Age. Belmond USA:
in Indonesia. Jakarta-Singapore: Wadsworth.
Equinox Publishing and Institute of - Thussu, Daya Kishan (2006).
Southeast Asian Studies. International Communication:
- Hamelink, Cess J. (1983). Cultural Continuity and Change. New York:
Autonomy in Global Communication. Hodder Arnold.
New York and London: Longman. - __________________ed. (2007).
- Haryadi and Shodiq, Dalhar (2014). Media on the Move: Global Flow and
“Managing Popular Culture: Contro Flow. London and New York:
Comp;aring Old Order, New Order, Routledge.
and Reform Periods” in International - Yohana, Patrecia (2009). Imperialisme
Integration Regional Public Budaya pada Rubrik Fasyen: Studi
Management Journal. America: Analisis Semiotika Imperialisme
Atlantis Press Budaya pada Rubrik Fashion di
- Kleden, Ignas. (1987). Sikap Ilmiah Majalah Gogirl. Medan: Skripsi
dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: Jurusan Fikom Fisip, Unsut
LP3ES.
- McQuail, Dennis (2005). McQuail
Mass Communication Theory.
London: Sage Publication (Fifth
Edition).
- McPhail, Thomas (2006). Global
Communication. USA: Blackwell
Publishing.
- Muhammadi, Ali ed.(1997).
International Communication and
Globalization. London: sage
Publication.
- Muhammadi-Sreberni,
Annebela;Winseck, Dwyne;
McKrnna, Jim and Boyd-Barret,
Oliver (1997). Media in Global
Context: A Reader. London, New
York, Sidney and Auckland: Arnold.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 16

Das könnte Ihnen auch gefallen