Sie sind auf Seite 1von 8

‫‪Khutbah I‬‬

‫َ‬
‫لق‬‫ََ‬‫ِى خ‬ ‫ََّلذ‬‫َ‪ ،‬ا‬ ‫ِيْن‬ ‫الع َ‬
‫َالم‬ ‫َبِ ْ‬ ‫د هللِ ر‬‫مُ‬
‫ِ‬ ‫َْ‬‫َْلح‬‫ا‬
‫ِى‬ ‫ض و َّ‬
‫َالذ‬ ‫ِْ‬‫ْألَر‬
‫ِي ا‬ ‫ً ف‬ ‫َة‬‫ِيْف‬‫َل‬‫َ خ‬ ‫نسَان‬ ‫ِْ‬‫ْإل‬
‫ا‬
‫َ‬
‫ِيْن‬ ‫َّق‬‫ُت‬‫لم‬‫لْ‬‫ًا ِ‬ ‫ِبَار‬ ‫ْت‬ ‫ِع‬‫َّ شَيْئٍ إ‬ ‫ُل‬‫َ ك‬ ‫َل‬‫َع‬‫ج‬
‫ً‬
‫َة‬ ‫هج‬‫بْ‬ ‫َ َ‬ ‫ِيْن‬‫ِم‬‫ُسْل‬‫الم‬‫ْبِ ْ‬ ‫لو‬‫ِى ُقُ‬ ‫َ ف‬ ‫َل‬‫َع‬‫َج‬‫و‬
‫ِالَّ هللاُ‬
‫َ إ‬ ‫َِله‬‫ْ الَ إ‬ ‫َن‬
‫د أ‬ ‫هُ‬‫َشَْ‬‫ًا‪ .‬أ‬ ‫ْر‬‫ُو‬‫َّسُر‬
‫و‬
‫ه‬ ‫ُ وَ‬
‫َلُ‬ ‫لك‬ ‫مْ‬ ‫ه ْ‬
‫الُ‬ ‫ُ‪َ ،‬لُ‬ ‫ْكَ َله‬ ‫ِي‬‫ه الَ شَر‬ ‫دُ‬‫َْ‬‫َح‬‫و‬
‫ُل‬
‫ِ‬ ‫لى ك‬ ‫ََ‬‫َع‬‫هو‬‫َُ‬‫ُ و‬ ‫ِيْت‬‫يم‬ ‫َُ‬‫ْيِى و‬ ‫يح‬‫د ُ‬ ‫مُ‬‫َْ‬ ‫ْ‬
‫الح‬
‫ْر‬‫ِي‬‫ٍ َقد‬ ‫ه ‪.‬شَيْئ‬ ‫دُ‬‫َبُْ‬ ‫داع‬ ‫مً‬‫ََّ‬
‫مح‬‫َّ ُ‬‫َن‬‫د أ‬ ‫هُ‬‫َشَْ‬‫َأ‬‫و‬
‫ه‬
‫دُ‬‫َْ‬ ‫بع‬‫نبِيَّ َ‬ ‫ه الََ‬‫ْلُ‬‫َسُوُ‬ ‫َر‬‫ِ ‪.‬و‬ ‫َل‬‫َّ ص‬‫ُم‬ ‫َ َّ‬
‫لله‬ ‫ا‬
‫َ‬
‫ِيْن‬‫ْسَل‬ ‫مر‬ ‫ِ ْ‬
‫الُ‬ ‫ٍ سَيِد‬ ‫َّد‬
‫َمـ‬ ‫مح‬‫نا ُ‬ ‫َِ‬‫لى سَيِد‬ ‫ََ‬‫ع‬
‫ِ‬
‫له‬‫لى آِ‬ ‫ََ‬‫َع‬ ‫ء و‬ ‫نبِيَاِ‬ ‫ْألَْ‬
‫ِ ا‬ ‫ْضل‬ ‫َف‬‫َأ‬‫و‬
‫د‪،‬‬‫ُْ‬‫بع‬‫ما َ‬ ‫ََّ‬
‫َ أ‬ ‫ِيْن‬ ‫مع‬‫َْ‬‫َج‬‫ِبه أ‬ ‫َا‬‫ْح‬‫َص‬‫َأ‬‫و‬
‫َّ‬
‫َق‬ ‫ْهللا ح‬‫َُ‬
‫و‬ ‫َ‪ ،‬اَّ‬
‫ِتق‬ ‫ْن‬ ‫ُِ‬
‫مو‬ ‫ُسْل‬ ‫َا ْ‬
‫الم‬ ‫يه‬‫َُّ‬
‫َيَاأ‬ ‫ف‬
‫ُم‬
‫ْ‬ ‫ْت‬‫َنـ‬ ‫َأ‬‫ِالَّ و‬‫َّ إ‬‫تن‬‫ُْ‬‫مو‬‫تُ‬‫َالََ‬
‫ِه و‬ ‫َات‬ ‫تق‬‫ُ‬
‫ِي‬‫َالىَ ف‬ ‫تع‬ ‫د َقال‬
‫َ هللاُ َ‬ ‫َْ‬‫َق‬‫َ ف‬ ‫ْن‬‫مو‬‫ُِ‬‫ُسْل‬‫م‬
‫َ‬
‫ُون‬ ‫ِر‬‫ْث‬‫تؤ‬‫ْ ُ‬ ‫بل‬ ‫ِ‪َ :‬‬ ‫يم‬‫ِْ‬ ‫ِ ْ‬
‫الكَر‬ ‫ِه‬‫َاب‬ ‫ِت‬‫ك‬
‫َيْر‬ ‫ة خ‬ ‫َُ‬ ‫نيَا ‪ .‬و ْ‬
‫َاْلخِر‬ ‫الدْ‬
‫ُّ‬ ‫َي َ‬
‫َاة‬ ‫ْ‬
‫الح‬
‫َى‬‫ْق‬‫َب‬‫َأ‬‫و‬
‫‪Jamaah shalat Jum’at yang semoga dirahmati Allah,‬‬

‫‪Kaum Muslimin patut bangga memiliki ajaran yang begitu memuliakan‬‬


‫‪manusia. Islam lahir dari latar sejarah bangsa Arab yang melanggar‬‬
moralitas perikemanusiaan: fanatisme kesukuan yang parah, pelecehan
terhadap perempuan, perang saudara, perampasan hak milik orang
lain, perjudian, dan lain sebagainya. Dalam ajarannya pun, komitmen
tersebut juga sangat jelas. Allah berfirman, wa laqad karramnâ banî
âdam (sungguh telah Kami telah muliakan manusia). Islam juga
menjamin kehidupan yang berkeadilan, aman secara jasmani dan
ruhani, serta merdeka dari belenggu penindasan. Dalam tradisi ushul
fiqih, kita mengenal prinsip-prinsip yang haram dilanggar, yakni hak
hidup (hifdhun nafs), terjaganya kehidupan agama (hifdhud din),
jaminan mendayagunakan akal (hifdhul 'aql), jaminan kepemilikan harta
(hifdhul mâl), dan terjaganya kesucian keluarga (hifdhun nasl).
Beberapa hal pokok inilah yang lazim disebut maqâshidus syarî‘ah .

Umat Islam, juga seluruh umat manusia lainnya, masing-masing


memiliki hak untuk hidup yang wajar. Sebagai implementasi dari nilai-
nilai utama tadi, mereka seyogianya mendapat keleluasaan dalam
mencari ilmu, beribadah, mengekspresikan pikiran, berkarya, dan
sejenisnya. Jaminan tersebut wajib ada selama dilaksanakan dalam
kerangka kemasyarakatan yang bertanggung jawab. Apabila kebebasan
tersebut dirampas secara zalim maka sangatlah wajar sebuah
perlawanan dan pembelaan kemudian mengemuka.

‫ُوا‬ ‫ُل‬
‫ِم‬ ‫ْ ظ‬
‫هم‬ ََّ
ُ‫ن‬ ‫ِأ‬‫َ ب‬ ُ‫ت‬
‫لون‬ َ‫َا‬ ‫ُق‬‫َ ي‬
‫ِين‬ َّ‫َ ل‬
‫ِلذ‬ ‫أُذ‬
‫ِن‬
َ
‫ِين‬‫الذ‬ َّ .‫ِير‬ ‫َد‬
‫ْ َلق‬
‫ِم‬‫ِه‬‫ْر‬ ‫نص‬َ ٰ
‫لى‬ََ َّ َّ
‫اَّللَ ع‬ ‫ِن‬‫َإ‬
‫و‬
‫َن‬
ْ ‫َِّال أ‬
‫ٍ إ‬
‫َق‬‫ِ ح‬‫َيْر‬
‫ِغ‬ ‫ِم‬
‫ْب‬ ‫ِه‬‫َار‬ ‫ِي‬‫ْ د‬‫ِن‬‫ُوا م‬ ‫ْر‬
‫ِج‬ ‫ُخ‬
‫أ‬
َّ ‫َا‬
ُ‫اَّلل‬ ُّ‫ولوا ر‬
‫َبن‬ ُ‫ي‬
ُ ‫َق‬
Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yang teraniaya itu
adalah) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata "Tuhan kami
hanyalah Allah".

Jika kita perhatikan secara seksama, Surat Al-Hajj ayat 39-40 ini
menegaskan bahwa tiap orang memiliki hak atas kampung halaman,
rumah, tempat tinggal, tanah air yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut
diyârihim (berasal dari kata dâr, rumah). Sebab itu, tatkala mereka
diusir atau dirampas hak-haknya, Allah memberi kewenangan mereka
untuk membela diri. Mengapa demikian? Karena kampung halaman
atau tanah air adalah tempat berpijak untuk melaksanakan kehidupan
secara wajar dan aman sebagai manusia yang dimuliakan di buka bumi.
Tanah air adalah tempat untuk mencari nafkah, makan, berkeluarga,
menunaikan kewajiban agama, bermasyarakat, mengembangkan
pendidikan, dan seterusnya.

Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh,

Begitu pula yang diteladankan Rasulullah. Nabi Muhammad shallallâhu


‘alaihi wasallam bersama para sahabat berjuang keras melindungi hak-
hak mereka. Mereka berperang bukan semata hanya untuk menyerang.
Mereka berperang karena sedang diserang dan melawan kezaliman
kaum Musyrik Quraisy yang merenggut kebebasan kaum Muslim dalam
bertauhid dan hidup tanpa gangguan siapa pun. Artinya, umat Islam
berperang justru karena tak menginginkan perang itu terjadi sama
sekali di muka bumi.

Semangat serupa juga dikobarkan para ulama-ulama kita era pra-


kemerdekaan Indonesia. Selama proses penjajahan Jepang dan
Belanda, penduduk pribumi tak aman dan tak nyaman di tanah air
sendiri. Mereka tersingkir dari kehidupan yang layak: susah belajar,
susah makan, susah bekerja, dan susah beribadah. Berbagai kekejaman
dan kezaliman inilah mendorong para ulama bersama umat Muslim,
dan para pahlawan lain untuk mengusir kaum kolonial. Kalau kita
pernah mendengar “Resolusi Jihad” maka itu adalah salah satu
cerminan nyata dari semangat tersebut. Resolusi Jihad adalah deklarasi
perang kemerdekaan sebagai “jihad suci” yang digelorakan para kiai di
Indonesia pada 22 Oktober 1945 guna menghadang pasukan Inggris
(NICA) yang hendak menjajah Indonesia. Berkat perjuangan yang gigih,
gelora keislaman yang tinggi, serta riyadlah dan doa para ulama,
serangan NICA dapat digagalkan dan bangsa Indonesia tetap merdeka
hingga kini sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sebagian ulama tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi


juga aktif bergerilya, menyusun strategi, bahkan perang fisik secara
langsung dengan pasukan musuh. Umat Islam sadar bahwa membela
tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang
nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat
Resolusi Jihad dikumandangkan, Indonesia adalah negara yang baru
dua bulan berdiri.

Para ulama dan cendekia Muslim sadar betul, bahwa sebagai makhluk
sosial kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan, baik secara
syar’i maupun ‘aqli, karena banyak ajaran syariat yang tak mungkin
dilaksanakan tanpa kehadiran negara. Oleh karena itu, al-Imam Hujjatul
Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:
‫ْل‬‫َص‬
‫ُ أ‬‫ين‬ ِ َ
ْ‫الد‬ ‫َم‬
‫َانِ ف‬‫ْأ‬‫تو‬َ ُ ِْ
‫ين‬ ‫َالد‬ ‫ُ و‬ ‫لك‬ْ‫م‬ ُ‫ال‬
ُ‫َ َل‬
‫ه‬ ‫َص‬
‫ْل‬ ‫َا َال أ‬
‫َم‬‫ِس و‬
‫َار‬‫ُ ح‬ ‫لطَان‬ُّْ‫َالس‬ ‫و‬
َ‫ِس‬
‫َار‬‫َا َال ح‬‫َم‬
‫ْم و‬‫دو‬ُ‫ه‬
ْ‫م‬ََ
‫ف‬Kekuasaan (negara) dan agama
merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan
kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh.
Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”

Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh,

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini kita diami adalah
hasil kesepakatan bangsa (mu’ahadah wathaniyyah), dengan Pancasila
sebagai dasar negara. Ia dibangun atas janji bersama, termasuk di
dalamnya mayoritas umat Islam. Bahkan, sebagian perumus Pancasila
adalah para tokoh dan ulama Muslim. Karena itu, sebagai penganut
agama yang sangat menghormati janji, seluruh umat Islam wajib
menaati dasar tersebut, apalagi kita tahu nilai-nilai di dalamnya selaras
dengan substansi ajaran Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
bersabda:

ُ ‫لى‬
‫ش ُر ْو ِط ِه ْم‬ َ ‫ال ُم ْس ِل ُم ْونَ َع‬

Artinya: “Kaum Muslimin itu berdasar pada syarat-syarat (kesepakatan)


mereka.” (HR Al-Baihaqi dari Abi Hurairah)

Indonesia memang bukan Negara Islam (dawlah Islamiyyah), akan


tetapi sah menurut pandangan Islam. Demikian pula Pancasila sebagai
dasar negara, walaupun bukan selevel syari’at/agama, namun ia tidak
bertentangan, bahkan selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai
konsekuensi sahnya NKRI, maka segenap elemen bangsa wajib
mempertahankan dan membela kedaulatannya. Pemerintah dan rakyat
memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban utama
pemerintah ialah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya secara berkeadilan dan berketuhanan. Sedangkan kewajiban
rakyat ialah taat kepada pemimpin sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.

Jamaah shalat Jum’at rahimakumullâh,

Kita patut bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, cukup aman


dibanding sebagian negara di belahan lain dunia. Umat Islam di sini
dapat menjalankan ibadah dan menuntut ilmu agama dengan tenang
kendatipun berbeda-beda madzhab dan kelompok. Kita juga relatif
bebas dari kekangan di Tanah Air dalam menjalankan hidup sehari-hari.
Udara kemerdekaan ini adalah karunia besar dari Allah subhanahu
wata’ala. Jangan sampai kita baru menyadari dan
merasakan kenikmatan luar biasa ini setelah rudal-rudal berjatuhan di
sekeliling kita, tank-tank perang berseliweran, tempat ibadah hancur
karena bom, atau konflik berdarah antara-saudara sesama bangsa.
Na’ûdzubillâhi min dzâlik.

Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan hamdalah, sujud syukur, dan
mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif. Kita mungkin tak lagi
sedang berperang secara fisik sebagaimana ulama-ulama dan pahlawan
kita terdahulu, tapi kita masih punya cukup banyak masalah
‫‪kemiskinan, kebodohan, korupsi, kekerasan, narkoba, dan lain-lain yang‬‬
‫‪juga wajib kita perangi.‬‬

‫ُ َلُ‬
‫ه‬ ‫َالشُّكْر‬ ‫ِ و‬‫ِه‬‫ْسَان‬ ‫ِح‬
‫َلىَ ا‬ ‫د هللِ ع‬ ‫مُ‬
‫َْ‬‫َْلح‬
‫ا‬
‫َن‬
‫ْ‬ ‫د أ‬‫هُ‬‫َشَْ‬‫َأ‬‫ِ‪ .‬و‬ ‫َان‬
‫ِه‬ ‫ِن‬‫مت‬‫ِْ‬
‫َا‬ ‫ِ و‬ ‫ِه‬ ‫ِيْق‬ ‫ْف‬‫تو‬‫َلىَ َ‬‫ع‬
‫ْكَ َلُ‬
‫ه‬ ‫ِي‬‫ه الَ شَر‬‫دُ‬‫َْ‬‫َح‬ ‫ِالَّ هللاُ و‬
‫َهللاُ و‬ ‫َ إ‬ ‫الَ اَ‬
‫ِله‬
‫ه‬
‫دُ‬‫َبُْ‬‫دا ع‬ ‫مً‬
‫ََّ‬
‫مح‬‫نا ُ‬ ‫دَ‬ ‫َّ سَيَِ‬ ‫د أن‬ ‫َشَْ‬
‫هُ‬ ‫َأ‬‫و‬
‫ِ‪.‬‬‫ِه‬‫َان‬ ‫ْو‬‫ِض‬‫ِى إلىَ ر‬ ‫َّ‬
‫الداع‬ ‫ه‬ ‫َسُوُ‬
‫ْلُ‬ ‫َر‬‫و‬
‫لى‬‫ََ‬
‫ِع‬‫ٍ و‬ ‫مد‬‫ََّ‬
‫مح‬‫نا ُ‬ ‫َِ‬‫لى سَيِد‬ ‫ََ‬‫ِ ع‬ ‫َل‬ ‫َّ ص‬
‫ُم‬‫الله‬
‫ًا‬‫ِثيْر‬‫ًا ك‬ ‫ِيْم‬ ‫ْ َ‬
‫تسْل‬ ‫ِم‬ ‫ِ و‬
‫َسَل‬ ‫ِه‬‫َاب‬ ‫ْح‬ ‫َص‬ ‫ِ و‬
‫َا‬ ‫َِ‬
‫له‬ ‫ا‬

‫َاتِ‬‫ِن‬ ‫ْم‬
‫مؤ‬‫ْلُ‬ ‫َا‬‫َ و‬ ‫ِيْن‬ ‫ْم‬
‫ِن‬ ‫مؤ‬
‫لُ‬‫لْ‬
‫ْ ِ‬‫ِر‬‫ْف‬‫َّ اغ‬ ‫ُم‬‫َلله‬ ‫ا‬
‫ء‬
‫ْيآُ‬ ‫َالَح‬
‫َاتِ ا‬ ‫ِم‬ ‫ْلم‬
‫ُسْل‬ ‫َا‬‫َ و‬‫ِيْن‬‫ِم‬‫ُسْل‬‫ْلم‬ ‫َا‬
‫و‬
‫ِسْالَم‬
‫َ‬ ‫َّ ا‬
‫ْإل‬ ‫ِز‬‫َع‬‫َّ أ‬‫ُم‬ ‫َاتِ الله‬ ‫مو‬‫ْالَْ‬
‫َا‬‫ْ و‬ ‫هم‬ ‫ُْ‬‫ِن‬
‫م‬
‫َ‬‫ْك‬‫ِر‬‫َّ الش‬ ‫ِل‬‫َذ‬
‫َأ‬‫َ و‬‫ِيْن‬‫ِم‬‫ُسْل‬‫ْلم‬ ‫َا‬
‫و‬
‫َ‬
‫َك‬‫ِبَاد‬ ‫ْ ع‬‫ُر‬
‫نص‬‫َاْ‬‫َ و‬‫ِيْن‬‫ِك‬‫ُشْر‬‫ْلم‬ ‫َا‬
‫و‬
‫َ‬
‫ين‬ ‫ِْ‬
‫َ الد‬ ‫َر‬‫نص‬‫ْ َ‬ ‫من‬
‫ْ َ‬‫ُر‬ ‫َاْ‬
‫نص‬ ‫َ و‬ ‫َحِدَّ‬
‫ِية‬ ‫مو‬ ‫ْلُ‬‫ا‬
‫ِر‬
‫ْ‬ ‫َم‬
‫َ د‬ ‫َ و‬ ‫ِيْن‬‫ِم‬‫ُسْل‬‫ْلم‬‫َ ا‬‫َل‬ ‫ْ خ‬
‫َذ‬ ‫من‬‫ْ َ‬ ‫ذل‬‫ُْ‬ ‫َاخ‬‫و‬
‫َِلى‬
‫ِكَ إ‬ ‫َات‬ ‫ِم‬‫َل‬ ‫ِ ك‬‫ْل‬
‫َاع‬‫ْنِ و‬‫ِي‬‫ءالد‬ ‫داَ‬ ‫َْ‬‫َع‬
‫أ‬
‫َّا‬
‫َن‬‫ْ ع‬ ‫َع‬‫ْف‬‫َّ اد‬ ‫ُم‬‫ْنِ‪ .‬الله‬ ‫ِي‬‫َ الد‬ ‫ْم‬ ‫َ‬
‫يو‬
‫َ‬
‫َن‬‫ِح‬ ‫ْلم‬‫َا‬‫َ و‬ ‫ِل‬‫َّالَز‬
‫َالز‬ ‫ء و‬‫َاَ‬ ‫ْلو‬
‫َب‬ ‫َا‬‫ء و‬ ‫ْلبَالََ‬‫ا‬
‫َ‬
‫هر‬‫َا ظََ‬ ‫َ م‬ ‫َن‬ ‫ْلم‬
‫ِح‬ ‫َا‬‫ِ و‬‫َة‬
‫ْن‬‫ِت‬‫ْلف‬ ‫ء ا‬ ‫َْ‬ ‫َسُو‬
‫و‬
‫نا‬‫َِ‬ ‫بَ‬
‫لد‬ ‫ْ َ‬‫َن‬ ‫َ ع‬ ‫َطَن‬
‫َا ب‬ ‫َم‬‫َا و‬ ‫ْه‬‫ِن‬‫م‬
‫دانِ‬ ‫لَ‬‫ُْ‬‫ْلب‬ ‫ِ ا‬ ‫ِر‬ ‫ً و‬
‫َسَائ‬ ‫ِيَّا خآص‬
‫َّة‬ ‫ِيْس‬
‫دون‬ ‫نُ‬‫ِْ‬‫ا‬
‫َ‪.‬‬‫ِيْن‬ ‫ْلع َ‬
‫َالم‬ ‫َّ ا‬‫َب‬
‫َا ر‬ ‫ً ي‬ ‫َّ‬
‫عآمة‬ ‫َ‬
‫ِيْن‬‫ِم‬
‫ُسْل‬‫ْلم‬ ‫ا‬
‫ِى‬‫َف‬‫ً و‬ ‫َة‬‫َسَن‬ ‫نيَا ح‬ ‫الدْ‬
‫ُّ‬ ‫ِى‬‫َ ف‬‫ِنا‬ ‫َا آت‬ ‫رَّ‬
‫َبن‬
‫ِ‪.‬‬‫َّار‬‫َ الن‬ ‫َاب‬‫َذ‬‫َا ع‬ ‫ِن‬‫َق‬‫ً و‬‫َة‬‫َسَن‬‫ِ ح‬‫َة‬‫ْْلخِر‬‫ا‬
‫ِر‬
‫ْ‬ ‫ْف‬‫تغ‬‫ْ َ‬ ‫ْ َلم‬ ‫ِن‬ ‫َاو‬
‫َا‬ ‫ُسَن‬ ‫نف‬‫َْ‬‫َا ا‬ ‫من‬‫لْ‬‫َا ظََ‬ ‫رَّ‬
‫َبن‬
‫َ‬
‫ِن‬‫َّ م‬
‫نن‬‫َْ‬
‫ُو‬‫َك‬ ‫َا َلن‬ ‫من‬‫َْ‬‫ْح‬‫تر‬‫ََ‬
‫َا و‬ ‫َلن‬
‫َّ هللاَ‬
‫ِن‬‫َهللاِ ! إ‬
‫ِبَاد‬ ‫َ‪ .‬ع‬ ‫ين‬‫ِْ‬ ‫َاس‬
‫ِر‬ ‫ْلخ‬ ‫ا‬
‫دل‬
‫ِ‬ ‫َْ‬‫ْلع‬ ‫ِا‬‫ُن ب‬ ‫مر‬‫ُْ‬‫َأ‬
‫ناي‬‫َُ‬‫مر‬ ‫ُْ‬‫نيَأ‬‫َُ‬
‫مر‬‫ُْ‬‫َأ‬‫ناي‬‫َُ‬‫مر‬‫ُْ‬‫َأ‬‫ي‬
‫ْبىَ‬ ‫ُر‬ ‫ْلق‬ ‫ِي ا‬‫ء ذ‬ ‫ْتآِ‬ ‫ِي‬
‫َإ‬‫ْسَانِ و‬ ‫ِح‬‫ْإل‬
‫َا‬‫و‬
‫ِ‬‫ْكَر‬‫من‬ ‫ْلُ‬ ‫َا‬
‫ء و‬‫ْشآِ‬ ‫َح‬‫ْلف‬‫َنِ ا‬ ‫َى ع‬ ‫ْه‬‫ين‬‫ََ‬‫و‬
‫َ‬
‫ْن‬‫ُو‬ ‫َك‬
‫َّر‬ ‫تذ‬‫ْ َ‬‫ُم‬ ‫ْ َلعَّ‬
‫َلك‬ ‫ُم‬‫ُك‬
‫ِظ‬‫يع‬‫ْي َ‬ ‫ْلبَغ‬ ‫َا‬‫و‬
‫ه‬
‫ُْ‬‫ُو‬‫ُر‬‫َاشْك‬ ‫ْ و‬ ‫ُم‬‫ْك‬ ‫ْك‬
‫ُر‬ ‫َذ‬
‫َ ي‬ ‫ِيْم‬‫َظ‬‫ْلع‬ ‫ُرَ‬
‫ُوهللا ا‬ ‫ْك‬‫َاذ‬ ‫و‬
‫ْبَر‬
‫ْ‬ ‫َك‬‫ُ هللاِ أ‬ ‫ْر‬‫ِك‬ ‫ْ وَ‬
‫َلذ‬ ‫ُم‬‫ْك‬‫ِد‬ ‫ِ َ‬
‫يز‬ ‫ِه‬‫َم‬‫ِع‬
‫َلىَ ن‬ ‫ع‬

Das könnte Ihnen auch gefallen