Sie sind auf Seite 1von 73

Vol. 01, No.

2, Juli 2019 ISSN 2655-254X (Cetak)


ISSN 2654-9239 (Online)

Idrak
Journal of Islamic Education

Dewan Redaksi
Ketua Penyunting
Radinal Mukhtar Harahap

Penyunting Pelaksana:
Tarikh Al Hafizh Hasibuan
Ahmad Fauzi Ilyas

Penyunting Ahli:
Rasyidin
Mukhlis Mubarrok Dalimunthe
Fakhrurrazi Ismail
Supriadi
Hamdan Noor
Abdullah Sani

Administrasi
Hesty Asnita Lubis
Ihdina Khairunnisa

Alamat Redaksi
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan
Jl. Setia Budi, Simpang Selayang, Medan Tuntungan
Medan-Sumatera Utara-Indonesia
20135
http://jurnal.stit-rh/index.php/idrak
Vol. 01, No. 2, Juli 2019 ISSN 2655-254X (Cetak)
ISSN 2654-9239 (Online)

Idrak
Journal of Islamic Education

Daftar Isi
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji
Kitab al-Minah al-Saniyah Karangan
Syaikh Abd. Al-Wahab al-Sya’rani 85
Fikriansyah

Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran 103


Ahmad Zaki Muntafi

Konseling Islami dan Kultur Pesantren 115


M. Syukri Azwar Lubis

Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren 123


Ibnu Hajar Ansori

Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 133


Muhammad Toguan
MATERI PENDIDIKAN AKHLAK TERPUJI
KITAB AL-MINAH AL-SANIYYAH KARANGAN
SYAIKH ABD. AL-WAHHAB AL-SYA’RANI
Fikriansyah
Fikri4602@gmail.com
Pascasarjana FITK UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Abstrak

Noble character is a mirror of someone's personality, besides that noble character will be
able to deliver someone to high dignity. One of the attention of the Messenger of All āh
Muhammad sawis to make his peopleto have good personality. A noble character can be
trained by individuals so that they become characters in themselves, one of the place
which can train individual to doing good morality is by education. Islamic boarding
school education is an educational institution that highly upholds the morals of its
students.Islamic boarding school education in perpetuating moral teaching always comes
from classic books, one of which is the book is Al-Minah al-Saniyyah written by Abd al-
Wahhab al-Sya'rani which is a direct description of the Prophet Muhammad, who was
directly nuked by author of his hadiths. Some types of akhak in it are repentance,
sincerity, resignation, dzikrullah, generous and honest.

Keywords: Character Education, Abd. al-Wahhab al-Sya’rani, al-Minah al-Saniyyah

A. Pendahuluan

P
ersoalan akhlak menjadi persoalan yang pokok dalam perjalanan kehidupan umat
manusia. Sebabnya adalah akhlak selalu berhubungan dengan tingkah laku
manusia dalam rangka pembentukan peradaban. Tingkah laku manusia menjadi
tolak ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan ini
selalu dikaitkan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, karena ia menjadi simbol
peradaban suatu kelompok manusia.1 Bangsa-bangsa di dunia, yang kini sedang
memasuki era global tanpa sekat-sekat wilayah negara, bahkan ditandai dengan ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi. Arus globalisasi tersebut berdampak pada
penyusupan budaya-budaya (buruk) negara maju terhadap negara-negara sedang
berkembang, khususnya negara-negara Islam. Tak terkecuali bangsa Indonesia serta
bangsa-bangsa lain yang penduduknya didominasi oleh umat Islam. Hal itu semakin
menyingkirkan nilai-nilai moral (akhlak) yang baik dan agama oleh budaya-budaya asing
yang bermental materialis, kapitalis dan hedonis.

1
Zainuddin, Pendidikan Akhlak Generasi Muda, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2013), h.85.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


86 | Fikriansyah

Dampak negatif itu bukan hanya memengaruhi manusia beragama, makhluk


individual dan sosial sekalipun juga dipengaruhi.2 Terpaan nilai-nilai budaya negatif ini,
selanjutnya, menjangkiti kepribadian bangsa dengan timbuhnya mental-mental
individualistik dan kecintaan yang berlebihan terhadap harta, kekuasaan atau apapun yang
bersifat materi sebagai simbol kemegahan, kehormatan dan kesuksesan. Akibatnya,
seseorang akan terdorong untuk melakukan segala cara dalam mewujudkan ambisi dan
keinginannya, tanpa memperdulikan norma-norma dan kepentingan orang lain.

Dalam sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan dalam Alquran seperti kaum „Ad,
Samud, Madyan dan Saba‟, gambaran kaumnya adalah sekelompok orang yang memiliki
serendah-rendahnya akhlak. Ditemukan juga pernyataan dalam buku-buku sejarah yang
menunjukkan bahwa “suatu bangsa yang kokoh akan runtuh apabila akhlaknya rusak”.3
Kerusakan akhlak ini yang yang dijelakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai latar
belakang pengutusannya. Dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Baihaqi dia bersabda:
“sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Keterangan di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa akhlak yang buruk
dapat diubah menjadi baik. Dengan cara-cara yang umum digunakan yaitu melalui
nasihat-nasihat yang didapatkan melalui pendidikan baik formal, non formal atau
informal. Selain alasan di atas, kecenderungan setiap manusia untuk selalu mengarah
kepada yang baik menjadi faktor pendukung untuk bisa diubahnya akhlak. Imam al-
Ghazali mengatakan ”Seandainya akhlak tidak bisa diubah, maka pasti tidak ada
manfaatnya memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat dan didikan”.4

Terkait itu, di antara kitab yang menyinggung masalah akhlak ialah kitab al-Minah
al-Saniyyah yang ditulis oleh Abd al-Wahhab al-Sya‟rani seorang sufi kenamaan asal
Mesir. Kitab ini yang menjadi bahasan pokok tulisan ini.

B. Biografi Abd. al-Wahhab al-Sya’rani

Nama lengkapnya adalah Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Muhammad ibn Zawfan ibn Syaikh
Musa. Imam al-Sya‟rani adalah seorang sufi asal Mesir yang juga ahli fikih
Syafi‟i.5 Keterangan lain menjelaskan ia adalah seorang ahli fikih perbandingan hanafi.6
Penjelasan lainnya mengatakan bahwa ia menganut Asy‟ariyah dalam teologi dan
Syafi‟iyyah7 dalam fikih. Ia banyak menulis buku-buku tentang fikih dan tasawuf
sebagaimana akan disebutkan di akhir bagian tulisan ini.

2
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009), h.43.
3
Susiwo, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, (Disertasi), (Jakarta: Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995), h.1.
4
Al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûmiddîn, Juz III, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th), h.54.
5
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, (Bandung: Prangkasa, 2008), h.31.
6
Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Aqidah Ahlusunah Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta,
Serambi), h.169.
7
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.31.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 87

Lahir di perkampungan Qalaqsyandah, Mesir, 27 Ramadhan 898 H/ 1493 M dan


meninggal dunia di Kairo, Mesir, 973 H/ 1565 M. Dalam silsilah keturunan, al-Sya‟rani
masuk dalam keturunan Ali bin Abi Thalib melalui jalur keturunan anaknya, Muhammad
ibn al-Hanafiyyah. Ia generasi kesembilan belas setelah Ali bin Abi Thalib. Pada usia
empat puluh kelahirannya, ia dipindahkan oleh orang tuanya ke kampung ayahnya,
Saqiyah Abi Sya‟rah, dalam wilayah Manufiyah. Dengan demikian, sebutan al-Sya‟rani
berasal dari nama kampung ayahnya, Sya‟rah, sebuah desa di wilayah Mesir.8

Kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur sepuluh tahun. Oleh sebab itu,
tanggung jawab beralih pada kakaknya, Syaikh Abd al-Qadir. Sebagai seorang terpelajar,
sang kakak membimbingnya dalam suasana keilmuan, kendati hanya beberapa tahun.
Bimbingan orang tua dan kakak al-Sya‟rani meninggalkan pengaruh yang demikian
mendalam dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan keluarga dalam suasana kesufian yang
sederhana ternyata telah membangkitkan semangat belajar dan keuletan hidup yang luar
biasa pada diri al-Sya‟rani. Sejak umur 8 tahun ia telah menghafal Alquran9. Ia juga
menghafal Matn Abi Syuja‟, kitab permulaan pelajaran fikih, dan Matn al-Ajrumiyyah,
kitab permulaan tata bahasa arab. Kedua kitab itu dipelajarinya dari kakaknya sendiri,
Abd al-Qadir ibn Ahmad, yang menggantikan ayahnya mengajar di Zawiyah.

Al-Sya‟rani pindah ke Madrasah Umm Khund setelah umur tujuh belas tahun. Di
sana, kepiawaian dan kecerdasannya semakin terlihat. Pengetahuan yang luas telah
membawa keharuman namannya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, sehingga ia
dikenal sebagai seorang ulama yang didatangi oleh para siswa untuk menimba ilmu.

Sri Mulyati mendata bahwa al-Sya‟rani memiliki jumlah guru kurang lebih 50
syaikh. Guru-gurunya tersebut adalah mereka yang selalu mengkombinasikan ilmu dan
amal. Walaupun Sya‟rani tidak pernah sekolah dan tinggal (mujawir) di al-Azhar,
beberapa orang gurunya mempunyai kedudukan sebagai dosen, mufti, dan da‟i di
lembaga pendidikan tersebut. Diantara guru-gurunya adalah Amin al-Din (w. 1523),
pendidik pertamanya di Kairo, murid dari Ibn Hajar al-„Asqalani (w. 1449). Gurunya
yang lain yaitu Hakim Madzhab Syafi‟i (Syaikh al-Islam), Zain al-Din Zakariyya al-
Anshari, murid Muhammad al-Ghamri dan penulis komentar Risalah al-Qusyairiyah.
Beliau juga seorang sufi yang telah membai‟at Sya‟rani menjadi muridnya. 10

Khusus mengenai tarekat, perjalanan ruhani al-Sya‟rani tidak dapat dipisahkan dari
tradisi Syadziliyah dikarenakan Ali al-Khawwas adalah pembimbing ruhaninya yang
merupakan penganut tarekat tersebut. Ia banyak mendapatkan bimbingan ruhani, selain
juga dari Muhammad al-Syinnawi. Selain itu al-Sya‟rani menerima inisiasi (pengajaran)

8
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.31.
9
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.95
10
Sri Mulyati.dkk, Hasil Penelitian Kolektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta), h. 33

Vol.1, No.2, Juli, 2019


88 | Fikriansyah

tarekat-tarekat Suhrawardiyah. Dia menjelaskan silsilah tarekat yang diterimanya ini


secara detail dalam karyanya al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma‟rifat Qawa‟id al-Sufiyyah. 11

Berikut ini adalah beberapa karya al-Sya‟rani selain yang telah disebutkan di atas:
Al-Jawâhir wa al-Dirar al-Kubrâ, Al-Yawâqit wa al-Jawâhir fi Aqâ‟id al-Akâbir, Al-
Anwar al-Qudsuiyyah fî ma‟rifat qawâ‟id al-Sûfiyyah, Lawâqih al-Anwâr al-Qudsiyah fi
bayân al-„Uhûd al-Muhammadiyah, Al-Kibrit al-Ahmar fî Uluww al-Syaikh al-Akbar, Al-
Qawâ‟id al-Kasfiyyah fî al-Ilâhiyyah, Masyâriq al-Anwâr al-Qudsiyah fî bayân al-„Uhûd
al-Muhammadiyah, Madârik al-Sâfilin Ilâ Rusûm Tarîq al-„Ârifin, Lathâ‟if al-Minan
(kelembutan-kelembutan karuni) dan Mîzân al-Kubrâ.

C. Akhlak dan Pembagiannya

Akhlak diambil dari bahasa arab yang asal katanya khalaqa– yakhluqu – ikhlaq yang bisa
diartikan al-Sajiyyah (perangai/tabiat/pembawaan/karakter), al-„adat (kebiasaan/
kelaziman), al-murû‟ah (perdaban yang baik).12 Pada pendapat lain akhlak adalah bentuk
jamak dari khulūq yang berarti perbuatan atau penciptaan. Dalam konteks agama, akhlak
bermakna perangai, budi, tabiat, adab atau tingkah laku.13 Kata ini digunakan dalam
Alquran ketika Allah menyatakan keagungan budi pekerti Rasullullah Saw, yaitu dalam
firmannya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS. Al-
Qolam: 4). Ayat di atas mendukung pendapat yang menyatakan akhlak berasal dari kata
khuluq, yang diartikan sebagai budi pekerti.

Sedangkan secara istilah, para ahli merumuskan definisinya berbeda-beda namun


saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Tinjauan yang mereka kemukakan,
antara lain adalah sebagai berikut:

Ibn maskawaih mengatakan :


َ َْ َ ْ َ َ َ ‫َ ْ ُ ُ ُ َ ٌل َّن ْ َ ٌل‬
. ‫اا َ َ ِا ا َ ِ َ ِ ْ ْ ِ ٍر َ َ ِ َ ٍر‬
ِ ِ ‫ ا ِ لل‬: ‫الخلق‬
“Akhlak ialah keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat, tanpa
memikirkan lebih lama.14

Dengan pengertian ini, dapat dipahami bahwa Ibn Maskawaih melihat bahwa
perbuatan dapat dikatakan akhlak ketika ia berasal dari hati/jiwa seseorang dan
melakukannya tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Menurut Al-Qurtuby, akhlak adalah:


َ ْ َ ُُ َْ َ ْ ْ ُ ُ ْ َ
‫ ِ َّنن ُه َي ِ ُ ِ َ ال ِخلق ِ ِ ِه‬, ‫ُه َو َيأخذ ِب ِه ِْلان َس ُن ن ْ ُس ُه ِ َ ْلا َ ِب ُي َس َّنمى خل ًق‬

11
Sri Mulyati.dkk, Hasil Penelitian Kolektif, h.34
12
Beni Ahmad Saebani, Ilmu akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.13
13
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2013), h.115
14
Muhammad Yusuf Musa, Falsafatul Akhlâk Fî Al-Islâm, (Kairo: Muassasah Khanji, 1936 M),
h.81.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 89

“Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab-kesopanannya disebut


akhlaq, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya”.15

Al-Qurthuby menyatakan pengertian akhlak lebih pada adab, dan adab dapat
diartikan sebagai kebiasaan. Maka akhlak dalam pandangan Al-Qurthuby dimaknai
dengan tindakan-tindakan yang sudah menjadi hal yang sudah biasa dilakukan oleh
seseorang.

Selanjutnya dalam kitab Dairat al-Ma‟arif, secara singkat akhlak diartikan sebagai
berikut:
ُ ََ ْ ْ َ
‫ِ ُا ِْلان َس ِن ْلا ِب‬
“Sifat –sifat manusia yang terdidik”.16

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah


sifat/perbuatan manusia yang terdidik yang dilakukan oleh seseorang yang bersumber dari
dalam dirinya berupa adab (kebiasaan) kesopanannya. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa
melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini bisa berasal dari tabiat aslinya.
Adapula yang didapatkan dari kebiasaan yang berulang-ulang. Selanjutnya, dapat
dicermati bahwasanya nilai akhlak merupakan suatu hal yang disenangi dan diinginkan
oleh manusia berupa kesopanan yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya.

Akhlak secara umum terdiri atas dua macam, yaitu akhlak terpuji atau akhlak mulia
(al-akhlaq al-mahmudah/al-akhlaq al-karimah), dan akhlak tercela atau akhlak dibenci
(al-akhlaq al-mazmumah).17 Penggunaan istilah baik dan buruk di atas didukung oleh
pendapat Barmawy yang menyatakan ada dua jenis akhlak dalam Islam, yaitu akhlâqul
karîmah (akhlak terpuji) ialah yang baik menurut syariat Islam, dan akhlâqul madzmûmah
(akhlak tercela) ialah yang tidak baik dan tidak benar menurut Islam.18 Mahjuddin
menambahkan di dalam bukunya Akhlak Tasawuf. Menurutnya, akhlak dilakukan kepada
Tuhan dan manusia serta makhluk tuhan lainnya seperti hewan, tumbuhan dan alam
semesta.19

Agama Islam memiliki sumber-seumber hukum yang digunakan menjadi pedoman


hidup bagi umatnya, tak terkecuali dalam memahami akhlak manusia. Secara umum
sumber akhlak dalam Islam ialah Alquran yang merupakan wahyu Allah swt, dan al-
Sunnah sebagai keterangan dari Nabi Muhammad saw. Ini sejalan dengan yang
diungkapkan M. Ali Hasan dan Yunahar Ilyas yang mengatakan bahwa dalam ajaran

15
Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Juz VIII, (Kairo: Dal al-Sya‟bi, 1913 M), h.6706.
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996),h.4
17
Beni Ahmad Saebani, Ilmu akhlak, h.199
18
Barmawi Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1993), h.196
19
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulis, 2009), h.10

Vol.1, No.2, Juli, 2019


90 | Fikriansyah

Islam, dasar atau alat ukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk
adalah Alquran dan al-Sunnah.20

Ahmad Saebani sedikit berbeda dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa landasan
normatif akhlak manusia selain Alquran dan al-Sunnah, adalah adat kebiasaan atau norma
budaya, dan pandangan-pandangan filsafat dan landasan hukum perundang-undangan
yang berlaku di sebuah negara.21 Dikenal beberapa aliran dalam menentukan baik dan
buruk seperti yang ditulis oleh Abuddin Nata, beberapa aliran yang bisa digunakan dalam
menilai baik atau buruknya suatu perilaku, yaitu; Adat-Istiadat (Sosialisme), Hedonisme,
Intuisisme (Humanisme) Utilitarianisme, Vitalisme, Religiosisme, Evolusi (Evolution).22
Rosihan Anwar menuliskan beberapa aliran untuk menentukan baik dan buruk antara lain:
Naturalisme, Hedonisme, Eudaemonisme, Pragmatisme, Vitalisme, Idealisme,
Eksistensialisme, Utilitarisme, Deontologi, Teologis.23

Kedua pendapat diatas secara umum digunakan oleh seluruh umat Islam, karena
tidak bisa di pungkiri, Islam sebagai agama yang inklusif sangat menghargai hasil daya
pikir manusia dan mengakui adanya pengaruh sosial-budaya dari setiap masyarakat.

Selanjutnya, akhlak dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi seperti yang


diungkapkan oleh Muhammad „Abdullah Draz dalam bukunya Dustûr al-Akhlâq fî al-
Islâm, yang membagi ruang lingkup akhlak kepada lima bagian: a. Akhlak Pribadi (ai-
akhlâqal-fardiyah) yang terdiri dari: (1) yang diperintahkan, (2) yang dilarang, (3) yang
dibolehkan dan (4) dalam keadaan darurat. b. Akhlak berkeluarga (al-akhlâq al-
Usrawiyyah) yang terdiri dari: (1) kewajiban timbal balik orangtua dan anak, (2)
kewajiban suami istri dan (3) kewajiban karib kerabat. c. Akhlak bermasyarakat (al-
akhlâq al-ijtimâ‟iyyah) yang terdiri dari: (1) yang dilarang, (2) yang diperintahkan, d.
Akhlak bernegara (al-akhlâq ad-dauli) terdiri atas: (1) hubungan antara pemimpin dan
rakyat dan (2) hubungan luar negeri. e. Akhlak beragama (al-akhlâq ad-dîniyyah) yaitu
kewajiban kepada Allah Swt.24

Uraian Muhammad „Abdullah Draz tersebut menggambarkan bahwa cakupan


akhlak cukup luas. Ia mencakup seluruh aspek kehidupan, baik kepada Allah maupun
kepada sesama makhluk-Nya. Pernyataan di atas dapat diklasifisakasikan bahwa ruang
lingkup akhlak terdiri atas: Akhlak kepada Allah swt., akhlak kepada Rasulullah saw.,
akhlak pribadi, akhlak kepada keluarga, akhlak bermasyarakat dan akhlak bernegara.

20
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.11.
21
Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.35.
22
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h.90-98
23
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, h.72-79
24
Muhammad Abdullah Draz, Dustur al-Akhlāq fīal-Qur‟an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah Kuwait,
1973), h.687-771.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 91

Hal serupa dikemukakan oleh Zainuddin mengatakan dalam bukunya Al-Islam


dengan mengatakan bahwa akhlak dibagi berdasarkan sifat dan objeknya. Berdasarkan
sifatnya, akhlak dibagi menjadi dua, pertama al-akhlâq al-mahmûdah (akhlak terpuji),
kedua al-akhlâq al-madzhmûmah (akhlak tercela). Sedangkan berdasarkan objeknya,
akhlak dibagi menjadi dua; pertama akhlak kepada khâlik dan akhlak kepada makhluk.
Untuk yang terakhir, ia dibagi menjadi akhlak kepada Rasulullah, keluarga, diri sendiri,
sesama dan lingkungan alam.25

D. Materi Pendidikan Akhlak

Kitab al-Minah al-Saniyyah merupakan kitab nasihat yang tergolong kitab hadis dan
berisikan wasiat atau pesan Nabi Muhammad saw kepada sayyidina Ali. Wasiat yang
dimaksud di dalam kitab ini mencakup beberapa dimensi, mulai dari dimensi tauhid,
ibadah akhlak hingga dzikir dan doa-doa yang baik untuk diamalkan. Berikut adalah
uraian isi kitab yang memiliki dimensi akhlak ialah sebagai berikut:

1. Akhlak Terpuji kepada Allah

a. Bertaubat

Imam Nawawi berpendapat bahwa taubat adalah meninggalkan sesuatu yang tercela
menurut syara‟ menuju sesuatu yang terpuji dan mengetahui bahwa dosa-dosa dan
maksiat menimbulkan kebinasaan dan menjauhkan dari Allah swt dan surga-Nya.26A
Hasan Rahimahullah mengatakan bahwa taubat itu terdiri dari empat tonggak, yaitu
istighfar dengan lisan, menyesal di dalam hati, meninggalkan perbuatan dosa dan tekad
anggota tubuh untuk tidak kembali berbuat dosa.27

Pesan Rasulullah dalam kitab al-Minah al-Saniyyah dalam pembahasan ini adalah:
َ ‫َّن‬ ْ ْ ْ َ ََ
‫َي َا ٍر ُ ْو َ ِ َّنلل ِا ِ َ َّن ى َي ُس ُ َب َل ُه ِ َ ال َ َ ِاا ِب ِّ ِ ْس ِ ِه‬
“Hai Ali, tidak ada taubat bagi orang yang bertaubat, hingga ia bisa membersihkan
perutnya dari barang haram dengan mata pencahariannya yang baik”.28

Pada wasiat ini, Rasulullah mengqiyaskan taubat dengan cara meninggalkan


mencari penghasilan dari pekerjaan yang haram. Jika diperhatikan, memakan dan
memiliki pekerjaan yang haram merupakan suatu kemaksiatan secara syara‟ dan pada
keterangan di atas mengharuskan untuk membersihkan badan dari hal-hal haram tersebut
yang berarti kita harus bertaubat kepada Allah swt, yaitu dengan membersihkan diri dari
kemaksiatan dengan perbuatan-perbuatan baik yang diridhai Allah swt.

25
A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), h.73.
26
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Syarah Tanqihul Qoul, (Semarang: Alawiyah, t.th)
h.38.
27
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Syarah Tanqihul Qoul, h.40
28
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, (Majalengka: Dar al-Ihya, t.th), h.11.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


92 | Fikriansyah

b. Sabar
Makna kata sabar adalah al-man‟u yang berarti menahan dan al-habsu berarti
mencegah.29 Jadi, sabar adalah menahan dan mencegah dari perbuatan yang mengarah
kepada keburukan dalam keadaan sempit. Menurut Syeikh Ibn Qoyyim Al-Jauziyah,
bahwa sabar merupakan budi pekerti yang bisa dibentuk oleh seseorang. Ia menahan
nafsu, menahan sedih, menahan jiwa dari kemarahan, menahan lidah dari rintihan sakit
dan juga menahan anggota badan dari melakukan hal-hal yang tidak pantas.30

Dalam pembahasan sabar terdapat wasiat Rasulullah Saw., kepada Sayyidina Ali
Ibn Thalib, yaitu:
َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ‫ي َ َا ُّ َ ل َّن ُ ْو َث َال ُث َا َال َ ا ا َّن ْب ُ َا َ َط َا هللا َت‬
ِ ‫ا َّن ب ُ ا اْل ِ ي ِ ا َّن ب ُ ا قض ِء‬
‫هللا‬ ِ ِ ‫ٍر‬ ِ ِ ِ
“Hai Ali, untuk orang-orang yang sabar itu ada tiga tanda, yaitu bersabar
menjalani ketaatan kepada Alah Swt., bersabar menghadapi musibah dan
berrsabar atas takdir Allah”.31

Menurut Imam al-Qusyairi, sabar itu terbagi kepada beberapa macam: sabar di atas
upaya sebagai hamba dan sabar terhadap sesuatu di luar upaya hamba. Adapun sabar yang
dapat diupayakan yaitu dalam rangka taat menjalankan perintah Allah maupun menjauhi
larangan-Nya. Sementara sabar terhadap sesuatu yang di luar upaya hamba, seperti
kesulitan dalam menggapai hal-hal yang berhubungan dengan hukum-hukum Allah swt.32

c. Ikhlas

Ikhlas menurut KH. Ahmad Difa‟I didefinisikan sebagai berikut: ikhlasmenurut


bahasa berarti bersih sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju
kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju kepada selain
Allah Swt.33Pedapat diatas juga didukung oleh Abu „Utsman rahimahullah yang
mengatakan,Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan
bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.34Maka dapat dipahami bahwa ikhlas
menunjukkan kesucian hati untuk menuju kepada Allah Swt., semata. Dalam beribadah,
hati tidak boleh menuju keada selain allah karena Allah tidak akan menerima ibadah
seorang hamba kecuali dengan niat ikhlas karena Allah semata dan perbuatan ibadah itu
harus sah dan benar menurut syara‟.

29
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), h.280.
30
Akhmad Sagir, “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati” dalam Studia Insania, Vol.2, No.1,
2014, h.20.
31
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.16.
32
Akhmad Sagir, “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati”, h.22.
33
Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/Tasawwuf, (Yogyakarta, UIN Sunan kalijaga 2005), h.20.
34
Hasyim Asy‟ari, Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim, terjemahan Tim Dosen Mahad Aly Tebuireng
(Jawa Timur, Pustaka Tebuireng, 2016), h.8.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 93

Dalam kitab al-Minah al-Saniyyah, ditemukan pesan nabi bahwa wajib bagi setiap
hamba melakukan suatu amal perbuatan dengan ikhlas dan meniatkan perbuatan yang
dilakukan hanya demi mengharap ridha Allah swt:
َ َ َ َ َ َ
‫ي َا ِ ُّ ِ ْا َ ْ خأ ِ ً ِ ِله َّنن اَ َي ْق َ ُ َ ْ َن خ ِ ً ِ َو ْ ِ ِه‬
“Hai Ali, beramal-lah dengan ikhlas karena Allah, karena Allah tidak akan
menerima, kecuali hanya orang yang (amalnya) ikhlas karena Zat-nya”.35

Ikhlas merupakan ruh suatu amal, dan amal kebajikan yang diamalkan seseorang
tanpa adanya niat ikhlas, maka amal yang demikian tidak memiliki ruh dan ditolak oleh
Allah Swt.36 Ketika amal kebaikan yang dilakukan tidak terdapat ruhnya serta tertolak
amal tersebut maka seorang hamba hanya akan mendapat lelah tanpa adanya ganjaran
yang ia terima, sesuai dengan hadits qudsi Rasulullah yang berasal dari Abu Hurairah
yang artinya: “Allah Swt,. berfirman: Aku tidak membutuhkan sekutu ataupun amal syirik
kepada-Ku, barang siapa melakukannya, maka terlepaslah dariku.”

d. Tawakkal

Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah swt serta
membersihkan dari ikhtiar yang keliru dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan
ketentuan.37 Bertawakkal tidak sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah swt. Namun,
harus ada usaha terlebih dahulu oleh orang yang bertawakkal tersebut. Orang yang
bertawakkal harus menyerahkan segala bentuk hasil dari urusannya dan apa yang telah ia
usahakan kepada keputusan Allah swt. Baik atau buruk baginya harus diterima dengan
ikhlas karena pada hakikatnya apa yang ia usahakan masih keliru. Allah swt. berfirman:
ّ ُ ‫ۡم‬ ‫َّن‬ ‫َّن‬ َ َ ‫َ َ َ َ ۡم َ َ َ َ َّن ۡم‬
‫ل ِه ِ َّنن ل َه ُي ِ ُّ ْل َل َو ِ ِل َن‬ ‫لو ا‬ ‫ِ اا‬
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”(QS.
Ali Imran [3]:159).

Dalam potongan hadis yang dinukil pengarang kitab al-Minah al-Saniyyah adalah
sebagai berikut;
َ ‫َ ل َّن لح َث َال ُث َا َال َ ٍرا َي ْ ُل ُح َب ْ َن هللا َ َ ْي َل ُه ب ْ َ َ ا َّن لح َ َي ْ ُل ُح ْي َل ُه ب ْ َ َ َ َي ْ َض ى َّنلل س‬
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ي ْ َض ى ِ َل ْ ِس ِه‬
“Orang yang sholih itu ada tiga tanda, yaitu memperbaiki(hubungan) antara
dirinya dengan Allah dengan senantiasa melakukan amal shalih, selalu

35
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.8.
36
Ibnu Athaillah, Mempertajam Mata Hati, (Lamongan, Bintang Pelajar, 1990), h.45.
37
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, h.93.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


94 | Fikriansyah

memperbaiki agama dengan beramal, dan dia selalu rela kepada orang lain
terhadap yang ia sendiri rela kepada dirinya.”38

Yusuf al-Qaradhawi berkata “Tawakkal adalah bagian dari ibadah hati yang paling
afdhal. Ia juga merupakan akhlak yang paling agung dari sekian akhlak keimanan lainnya.
Tawakkal adalah memohon pertolongan, sedangkan penyerahan diri secara totalitas
adalah salah satu bentuk ibadah”.39 Seorang hamba hendaknya senantiasa berserah diri
(tawakkal) kepada Allah swt., setelah berikhtiar dengan maksimal. Meminta pertolongan
kepada Allah merupakan satu tanda yang menunjukkan bahwa seorang hamba seorang
yang shalih dan satu bentuk ibadah yang disenangi oleh-Nya. Selanjutnya, tawakkal
merupakan hal yang dianjurkan sejak sebelum masa kenabian Nabi Muhammad saw.
Tawakkal hati dapat menjadi tenang tanpa ada ketakutan karena sesuatu sudah
sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.

e. Zikrullah (Berzikir Kepada Allah)

Menurut Bastaman zikir adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya,


yang meliputi hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan seperti tasbih, tahmid, shalat,
membaca Alquran, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari
kejahatan.40 Berdzikir pada umumnya dapat diartikan sebagai ibadah lisan atau perbuatan
yang dilakukan manusia untuk mengingat kebesaran, ke-Esaan serta keagungan Allah
swt.

Dalam kaitannya tentang berdzikir, wasiat Nabi di dalam kitab al-Minah al-
Saniyyah ialah:

‫ُ َ ْ ُ َ ّ َ ُ َّن‬ َ َ ْ َ ْ ُ ُ َ ْ ‫هللا َق ْ َ ا ْ َ ْج َ َق ْ َ ُط ُل ْوع ا َّنش ْ َ َق‬


َ َ َ َ ْ َ ُّ ‫َي َا‬
ِ ‫ِبه سلح هللا أن ي ِذبه ِب ل‬ ِ ِ ِ ِ
“Hai Ali, siapa saja yang berdzikir kepada Allah sebelum fajar, dan sebelum terbit
matahari, dan sebelum terbenam matahari maka Allah malu apabila menyiksa
orang itu dengan api neraka.”41

Pesan pertama nabi kepada Ali adalah terkait waktu yang afdhal (utama) untuk
melakukan dzikrullah adalah sebelum terbenamnya fajar dan sebelum terbenamnya
matahari. Maka apabila diperhatikan kedua waktu itu adalah setelah wahtu shalat subuh
dan sesudah waktu shalat asar. Dan siapa saja yang melakukan dzikir di waktu tersebut
maka Allah tidak akan menyiksanya dengan api neraka.

38
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.15.
39
Yusuf al-Qaradhawi, Tawakkal Jalan Menuju Keberhasilan Dan Kebahagiaan Hakiki, (Jakarta:
PTAl-Mawardi Prima, 2004), h.5.
40
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta, PustakaPelajar,
2001), h.158.
41
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.9.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 95

Berkaitan dengan hadits di atas, bahwa berdzikir tiadak hanya dengan bertasbih,
tahmid, takbir atau tahlil semata, tetapi juga ketika hendak melakukan hal-hal sederhana
seperti ketika hendak makan. Rasulullah bersabda dari Aisyah RA yang artinya: “ketika
kamu hendak makan, hendaklah membaca “Bismillah” dan ketika lupa pada awalnya
maka baca bacalah pada akhirnya”. Merupakan suatu keharusan dalam melakukan suatu
perbuatan sesederhana apapun bentuknya dan ketika lupa maka dianjurkan untuk
berdzikir di akhir perbuatan tersebut.

Selanjutnya, pesan Nabi Muhammad kepada Ali ialah:


ْ َ َ َ ُ َُ َ َ َ ْ َ َُ ََْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ
‫هللا ت َ ِا َس َّن َب ِل َ ا ُ ْ َى‬
ِ ‫و ِأس ت ِش‬ ِ ‫ذ‬ ‫ي ا ِ ِ ا اوا اس ي‬
“Hai Ali, apabila engkau berdoa, maka bentangkan tanganmu sejajar dengan
dadamu, dan jangan engkau meninggikan tanganmu melebihi kepalamu, dan
engkau berisyarat kepada Allah Swt., dengan jari telunjukmu yang kanan.”42

Sudah disebutkan di atas bahwa berdoa merupakan bentuk zikirullah. Di dalam


berdoa seorang hamba merasa Allah yang paling memiliki kuasa atas alam semesta
beserta isinya. Ia yakin bahwa Allah swt, akan mengabulkan doa setiap hamba-Nya,
Sebagaimana firman Allah:

‫ر‬ٞ ‫ُ ِن ِه ٓ َأ ۡم ِ َ ٓ َء َ َّنل ُه ُه َو ۡم َو ُّ َ ُه َو ُي ۡمح ۡمْلَ ۡمو َت ٰى َ ُه َو َا َ ٰى ُ ّ َ ۡم ٖءء َق ِ ي‬ ْ ُ َ ‫َ َّن‬


ِ ‫أِ ذ ا‬
ِ ِ ِ
Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah,
Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang
mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Asy-Syura:9)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah memberitahukan kepada hamba-Nya agar


menjadikan Dia sebagai penolong atas segala urusan serta kesulitan yang dihadapinya.
Allah Maha Mengetahui serta Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Pada pesan Nabi di
atas dijelaskan bagaimana akhlak seorang hamba ketika berdoa kepada-Nya agar
dikabulkan.

1. Akhlak Terpuji Kepada Sesama Manusia

a. Persahabatan

Persahabatan adalah hubungan interpersonal yang berlangsung lama dan ditandai


oleh adanya ketergantungan, kepercayaan, kebersamaan, kedekatan, dukungan emosional,
dan pertolongan kesamaan niat dan kegiatan, pengertian kesenangan dan keterlibatan
masing-masing individu sebagai pribadi yang utuh secara spontan dan sukarela.43 Pada
intinya sahabat adalah ikatan antara dua orang atau lebih yang sering melakukan aktifitas
bersama yang saling memiliki ketergantungan satu sama lainnya.
42
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.9.
43
Ade Susanti, Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswi UIN Jakarta
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.14.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


96 | Fikriansyah

Di dalam kitab al-Minah al-Saniyyah dikutip wasiat Nabi tentang persahabatan,


diantaranya;
َ ‫َّن‬ َ ْ
‫َ ِ ْي ِق ِه َ َي ْ ش ى ِس َّن ُه‬ ‫َي َا ِ ُّ ِبئ َ ا َّن ِ ْي ِق ق ِل ْ ٌل َ َا ُ ٌّ ا ِذى َي ْق ُ ُ ِف‬
“Hai Ali, seburuk-buruknya sahabat adalah orang yang meremehkan pada
sahabatnya dan menyebarkan rahasia sahabatnya.”44

Seorang sahabat tidak akan menyebarkan rahasia apalagi aib (cacat) sahabatnya
kepada orang lain. Hal itu dikarenakan ikatan yang sudah terbentuk akan membuat saling
percaya dan saling menjaga diantara mereka.

Selanjutnya, Rasulullah juga berpesan:


َ َ ْ ُ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ‫َ َ ُّ َّن َ َ َ َ َ ٌل‬
ِ ْ ‫ه ن ِ ن سه ن ن ِس ِا ْ ه ن ِا‬ ‫ي ا ِ ِ ل اق ِ اال أن يج‬
“Hai Ali, untuk suatu persahabatan itu memiliki tanda-tanda, yaitu hendaknya
seorang sahabat menjadikan hartanya di bawah hartamu, jiwanya di bawah
jiwamu, dan harga dirinya di bawah harga dirimu.”45

Ketiga tanda yang disebutkan Nabi Muhammad di atas mengandung makna bahwa
seorang sahabat akan senantiasa mendahulukan kebaikan sahabatnya. Ia akan selalu
menganggap baik terhadap apapun yang dilakukan atau dimiliki oleh sahabatnya. Seorang
sahabat akan selalu menjaga sahabatnya dan akan senantiasa memuliakannya.
Persahabatan harus dijaga setiap individu karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup
secara individual. Setiap orang membutuhkan oranng lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu juga kebutuhan manusia dengan saudara/sahabat harus dijaga
keeratannya karena mereka yang akan membantu apabila saudaranya mengalami
hambatan atau dalam masalah. Dalam bersahabat hedaklah harus memilih sahabat yang
bisa membawa ke dalam kebaikan dan membawa kepada surga.

b. Kejujuran

Jujur adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan, dengan kata lain merupakan
lawan dari bohong.46 Adanya kesesuaian antara apa yang diucapkan seeorang dengan
kenyataan yang berlaku merupakan sikap jujur. Umat Islam dianjurkan berlaku jujur baik
dalam perkataan maupun perbuatan. Benar dalam perkataan berarti mengatakan keadaan
yang sebenarnya, tidak mengada-ada dan tidak pula menyembunyikan.47

44
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.11.
45
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.11
46
Jurjani, At-Ta‟rîf (Mesir, Dar Al-Fadhilah, 1369 H), h.132.
47
M. Ali hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.44.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 97

Dalam penjelasan tentang jujur ditemukan beberapa pesan Nabi Muhammad Saw.,
di dalam kitab al-Minah al-Saniyyah, di antaranya:
َ ْ ََ َ ُ َ َ َ
‫ْ ِ ْب َ ْن ن َ َ ِف ا َ ِ ِ َّنن ُه‬:‫ِ ِ َ َا‬ ‫َي َا ِ ُّ أ ْ ِ ْ َ ِ ْن َ َّن َ ِف ا َ ِ ِ َّنن ُه َي ْل َ ِف‬
َ ُّ ُ َ
ِ ِ ‫يض ِف‬
“Hai Ali, berlaku jujurlah, meskipun membahayakanmu di waktu dekat, karena
sesungguhnya hal itu dapat memberi manfaat kepadamu di masa akan datang.”48

Berlaku jujur akan berdampak pada kepercayaan seseorang untuk masa yang akan
datang. Seperti seseorang yang berdagang dengan jujur, maka pembelinya pasti akan
merasa senang. Kemudian, layaknya Rasulullah yang senantiasa berkata jujur hingga
mendapat gelar al-Amin ketika kecil, maka orang-orang akan terus percaya dengan apa
yang dikatakannya hingga ia di hari-hari selanjutnya.

Selanjutnya, pesan Nabi Saw., berbunyi:


ُ ُ ‫َ ْل َ َث َال ُث َا َال َ ٍرا ْ ُ ا ْ َ َالا َ ا ْ ل َل ُب ْال َ َ اا َ ا َّنل َو‬
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
“dan orang yang berilmu itu ada tiga tanda, yaitu berbicara jujur, menjauhi hal-
hal haram dan rendah hati.”49

c. Dermawan

Dermawan adalah iklas memberi, menolong atau rela berkorban di jalan Allah baik
dengan harta bahkan dengan jiwa dan raganya baik berupa berbentuk uluran tangan untuk
bersedekah, infak, zakat, dan sebagainya.50 Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Imran: 92
yang artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Disebutkan bahwa menafkahkan
harta yang dicintai merupakan ibadah yang memiliki nilai kebaikan sempurna. Ini
dikarenakan sulitnya seseorang ketika harus berbagi kepada orang lain terhadap harta
yang telah didapatkan dengan usahanya.

Sehubungan dengan sikap dermawan, pada kitab Al-Mināh al -Saniyyah terdapat


cukup banyak pesan Rasul. Diantaranya:
ُ َ َ ْ َْ ْ ‫الثىالس َع َة َ ْح َمة هللا َور‬ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ْ َ َّ ُّ َ َ
‫ض َىا ِه ِه ِبكثرث َر ِة ال ِع َب َاد ِة َول ِك ْن هالى َها‬ ِ ِ ِ ‫ر‬ َّ َ ‫ياع ِلي إن أو ِلياءهللا تعالى لم ت‬
ْ ُّ َ َ ْ َّ َ َ َ
‫الده َيا‬ ‫ولَا ْس ِت َهاه ِة ِب‬
ِ ‫س‬ ِ ‫ِبسخاو ِة اللف‬

48
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.10.
49
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.15.
50
Fifi Nofiaturrahmah, “Penanaman Karakter Dermawan Melalui Sedekah” dalam Jurnal Zakat dan
Wakaf, Vol. 4, No.2. 2017, h.316

Vol.1, No.2, Juli, 2019


98 | Fikriansyah

“Hai Ali, sesungguhnya para wali Allah tidak mendapat keluasan rahmat Allah
dan keridhaan-Nya dengan sebab banyak beribadah, akan tetapi mereka
memperolehnya dengan jiwa dermawan dan menganggap rendah terhadap dunia.51

Selanjutnya, wasiat yang kedua berbunyi:


َ َ َ َ َ ُ ّ َ ّ ‫َ َ ُّ َّن َ ْ َ َ َّن‬
ُ ‫أخ َذ‬
‫هللا ِب َ ِ ِه‬ ‫ي ا ِ ِق اوة ا س ِخ ِ نه ى اث‬
“Hai Ali,takutlah engkau terhadap do‟a orang yang dermawan, karena kapan saja
ia dijahati, maka Allah akan menyiksa (langsung) dengan tangannya”52

Kemuliaan orang yang dermawan ditunjukkan Allah melalui pesan Nabi


Muhammad di atas. Allah swt memberi ancaman bagi orang yang melakukan kejahatan
kepada seseorang yang memiliki sifat dermawan dengan mendapat siksa. Hendaklah
setiap orang memiliki sifat dermawan karena harta kekayaan tidak akan habis walaupun
gemar memberi, seperti diterangkan pada hadis nabi yang merupakan wasiat kepada Ali
ra, yang berbunyi:
َ َ َ
‫َّن َ ق ِ ِ َّنن ا َ ال َء َي ْن ِز ُا‬ ‫َ َ ِ ْ ِب‬ َ ْ ‫ض َ ا َّن ّ َو َ ْج َأل ُب ا ْ َب َ َ َ َ ا ّ ْز َق ا َ ِث‬
َ َ ‫َي َا ُّ َ َ َق ُ ا ّس ّ َ ْ َ ُء‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ َ
َ ‫ق ْ َ ا ُ و َ َّن ا َق‬ ُ ْ َ
‫ض َء ِف ا َ َو ِاء‬ ِ
“Hai Ali, sedekah secara diam-diam dapat memadamkan murka Tuhan dan
mendatagkan keberkahan serta rezeki yang melimpah”53

Seperti keterangan sebelumnya bahwa gemar bersedekah akan menambah limpahan


rezeki dari Allah swt. bahkan lebih lanjut akan memadamkan murka Allah serta
mendatangkan keberkahan. Keberkahan, menurut Imam Al-Ghazali artinya ziyadatul khair,
yakni “bertambahnya kebaikan”.54 Setiap hamba pasti diberikan suatu kebaikan oleh Allah
swt. Namun bagi orang yang gemar bersedekah, Allah akan selalu tambahkan kebaikan di
dalam hidupnya.

d. Menjaga lisan

Lisan merupakan alat indra yang berfungsi sebagai alat pengecap rasa dan juga alat
untuk berbicara. Menjaga lisan berarti memelihara serta merawat lisan/lidah dari
perkataan perkataan yang jelek agar lisan tetap berada pada keadaan yang baik yaitu
dengan selalu berucap hal-hal yang baik. Allah Swt., berfirman dalam QS. Qâf: 18) yang
artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. Ini merupakan peringatan bagi setiap manusia agar
dapat memelihara lisannya dari perkataan-perkataan kotor dan perkataan yang dapat

51
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 6.
52
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 7.
53
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 8.
54
M. Abdul Mujieb, Syafiah, Ahmad Ismail, Ensiklopedia Tasawuf (3rd ed) (Jakarta Selatan:
Hikmah, 2009), h.79.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 99

menyakiti orang lain. Karena setiap perkataan yang terlontar dari lidah akan dicatat oleh
malaikat yang bertugas mencatat amal kebaikan dan keburukan yang kita lakukan.

Wasiat Nabi Muhammad kepada Ali Ibn Abi Thalib dalam kitab al-Minah al-
Saniyyah ialah sebagai berikut:
َ ْ َ ‫َّن‬ ْ َ َ َ ْ ‫َّن‬ َ ْ ََ ْ َ ‫َ َت ْ ُ أ َ ً ا ب‬
‫َ ِ ْ ِه َ ٌل َ َّن َ ة ِ ل ِ ْ َ ِ َي ْس َل ِ ل ُه أ ْ َي ْس َل ِ ْ ُه‬ ‫ِ ل ٍر‬ ‫ِه‬ ِ
“Jangan engkau menjelek-jelekkan seseorang karena kejelekan yang ada pada
dirnya, karena tidaklah dari daging, melainkan di dalamnya terdapat tulang.”55

Maksud wasiat Nabi Muhammad di atas adalah larangan untuk mencela seseorang
karena kekurangan yang dimilki. Misalnya: seseorang yang memilki kekurangan fisik
dengan terlahir dalam keadaan tuna netra (buta), tuna rungu (tuli) atau cacat di bagian
lainnya. Karena pada hakikatnya tak ada manusia yang terlahir sempurna walaupunia di
sisi lain adalah sesempurnanya makhluk ciptaan-Nya. Begitupun sebaliknya, dalam hal
kelebihan.

Seseorang lebih dianjurkan untuk berdiam daripada berkata yang tidak sepantasnya
diucapkan, seperti yang diterangkan pada hadis dari Abu Hurairah, yaitu ketika Nabi
saw., bersabda “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR. Bukhari)”

Kemudian pesan Rasulullah yang selanjutnya adalah:


َ ْ ‫إلان َس ن َأ‬
‫ض ُ ِ َ ا ِّل َس ن ُي ْ ِخ ُ ْال َج َّنل َ َ ُي ْ ِخ ُ ا َّنل َ َ ْس ُج ْل ُه َ َّنن ُه َق ْل ٌل‬ ْ ُ ‫َي َا ُّ َ َ َخ َل َق‬
‫هللا ِف‬
ِ ِ ِ ِ
‫ُا ُق ْو ٌل‬
“Hai Ali, tidaklah Allah ciptakan pada diri seseorang sesuatu yang lebih utama
dari pada lidah. Lidah dapat memasukkan ke surga dan dapat memasukkan ke
neraka, maka kerangkenglah lidah, karena sesungguhnya lidah itu layaknya anjing
yang suka menggigit.”56

Pada wasiat yang kedua ini, Rasulullah mengabarkan bahwa lidah/lisan merupakan
anggota badan yang memiliki keutamaan. Lisan dapat mengantarkan seseorang ke dalam
surga atau ke dalam neraka. Ketika lisan digunakan untuk hal kebaikan seperti saling
menasihati sesama umat Islam dalam kebaikan dan taqwa, atau seseorang yang selalu
membanjiri lisannya untuk membaca Alquran. Namun sebaliknya, ketika lisan dilakukan
untuk mencela orang, mencaci, menghardik dan digunakan untuk membicarakan aib
seseorang, maka mereka akan masuk ke dalam neraka.

55
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 11.
56
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 12.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


100 | Fikriansyah

“Lidah memang tak bertulang” itulah pepatah yang sering diucapkan orang. Itu
menunjukkan bahwa bahaya yang diakibatkan oleh lidah sangat besar. Betapa banyak
petaka-petaka besar yang hanya berawal dari ucapan yang kurang diperhitungkan. Betapa
banyak jiwa yang melayang akibat sebuah perkataan. Banyak dari kaum muslimin yang
kurang memperdulikan ucapan-ucapannya, apakah ucapannya itu mendatangkan Ridha
Allah atau malah mendatangkan murka-Nya.57 Maka sudah selayaknya seorang hamba
untuk berhati-hati dalam bertutur kata, karena ditakutkan akan timbul banyak keburukan
yang dihasilkan karena perkataan dari lisan.

e. Malu

Hakikat malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan semua
yang buruk, menghalanginya dari ketidaksungguhan dalam menunaikan hak kepada yang
berhak.58 Malu merupakan sikap emosional seseorang yang dialami akibat sebuah
tindakan yang dilakukan sebelumnya, kemudian ingin ditutupi dan mendorong seseorang
untuk meninggalkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.

Dalam al-Minah al-Saniyyah pengarang menukil satu hadits nabi terkait sikap malu
yang berbunyi:
ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ ُ ُّ ُ ُ ْ ّ ُّ َ َ
‫أس َ َ َ َوى َ ا َ َ َ َ َ َع‬
َ ‫ظ ا َّن‬ ‫ي ا ِ ا ِ ن له ِف ال ِء هو أن ي إل‬
“Hai Ali, Agama seluruhnyaitu ada di sikap malu, yaitu hendakah menjaga kepala
dan apa yang diwadahinya, dan (menjaga) perut dan apa yang ditampungnya.”59

Pesan Nabi di atas menerangkan bahwa malu merupakan sikap yang tidak hanya
diajarkan di dalam agama Islam saja, tetapi agama lain diluar Islam juga menganjurkan
penganutnya untuk memiliki rasa malu. Malu yang dimaksudkan disini ialah malu ketika
melakukan kesalahan dan melanggar perintah Allah swt. namun, seseorang tidak
diperkenankan merasa malu ketika melakukan sebuah tindakan yang dibenarkan.

Umat Islam dianjurkan memilki sifat malu untuk melindungi dirinya dari perbuatan
yang memalukan. Perbuatan memalukan dapat diartikan ketika melalaikan kewajban dan
melakukan hal yang dilarang Allah swt.

E. Kesimpulan

Dalam tradisi pesantren, dari perkembangan pertamanya hingga saat ini masih konsisten
untuk mempelajari kitab-kitab klasik. Mereka memelajari setiap dimensi dalam agama
Islam mulai dari aqidah, akhlak, sejarah, tafsir hingga ilmu kebahasaan. Kitab al-Minah
al-Saniyyah karya Syaikh Abd al-Wahhab al-Sya’rani adalah salah satu kitab yang
menjadi rujukan banyak pesantren di Indonesia. Cakupan dalam kitab tersebut pada

57
Heru Yulias Wibowo, Menjaga Lisan, (Cikarang, An-Nashihah, 2016), h.5.
58
M. Al-Muqodam, Malu Kunci surgamu, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2016), h.7.
59
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 12.

Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 101

dasarnya menyinggung beberapa dimensi keagamaan seperti yang telah disebutkan di


atas, namun penulis hanya menganalisis dimensi akhlak yang ada di dalamnya.

Adapun beberapa nilai akhlak pada kitab al-minah al-Saniyyah ini yang mencakup
akhlak kepada Allah swt. dan akhlak kepada sesama manusia. Materi akhlak terpuji
kepada Allah swt., yang terdapat di dalam kitab al-Mināh al-Saniyyah adalah bertaubat,
sabar, ikhlas, tawakkal dan zikrullah. Sedangkan materi akhlak terpuji kepada sesama
manusia adalah memberi nasehat, rasa persaudaraan, kejujuran, dermawan, menjaga
lidah (perkataan) dan malu.

F. Referensi

A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 1999)


Abd. al-Wahhab al-Sya’rani, al-Minah al-Saniyyah, (Majalengka: Dar al-Ihya, t.th)
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996)
Ade Susanti, Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswi UIN Jakarta
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008)
Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
Akhmad Sagir, ‚Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati‛ dalam Studia Insania, Vol.2,
No.1, 2014
Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Juz III, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th)
Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Juz VIII, (Kairo: Dal al-Sya’bi, 1913 M)
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th)
Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/Tasawwuf, (Yogyakarta, UIN Sunan kalijaga 2005)
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, (Bandung: Prangkasa,
2008)
Barmawi Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1993)
Beni Ahmad Saebani, Ilmu akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
Fifi Nofiaturrahmah, ‚Penanaman Karakter Dermawan Melalui Sedekah‛ dalam Jurnal
Zakat dan Wakaf, Vol. 4, No.2. 2017
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta,
PustakaPelajar, 2001)
Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, terjemahan Tim Dosen Mahad Aly
Tebuireng (Jawa Timur, Pustaka Tebuireng, 2016)
Heru Yulias Wibowo, Menjaga Lisan, (Cikarang, An-Nashihah, 2016)
Ibnu Athaillah, Mempertajam Mata Hati, (Lamongan, Bintang Pelajar, 1990)
Jurjani, At-Ta’rîf (Mesir, Dar Al-Fadhilah, 1369 H)
M. Abdul Mujieb, Syafiah, Ahmad Ismail, Ensiklopedia Tasawuf (3rd ed) (Jakarta
Selatan: Hikmah, 2009)
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
M. Al-Muqodam, Malu Kunci surgamu, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2016)
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009)

Vol.1, No.2, Juli, 2019


102 | Fikriansyah

Muhammad Abdullah Draz, Dustur al-Akhlāq fīal-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah


Kuwait, 1973)
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Syarah Tanqihul Qoul, (Semarang:
Alawiyah, t.th)
Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Aqidah Ahlusunah Tasawuf dan Ihsan,
(Jakarta, Serambi)
Muhammad Yusuf Musa, Falsafatul Akhlâk Fî Al-Islâm, (Kairo: Muassasah Khanji,
1936 M)
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2013)
Sri Mulyati.dkk, Hasil Penelitian Kolektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta)
Susiwo, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, (Disertasi), (Jakarta:
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995)
Yusuf al-Qaradhawi, Tawakkal Jalan Menuju Keberhasilan Dan Kebahagiaan Hakiki,
(Jakarta: PTAl-Mawardi Prima, 2004)
Zainuddin, Pendidikan Akhlak Generasi Muda, (Tulungagung: STAIN Tulungagung,
2013)

Jurnal Idrak
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Ahmad Zaki Muntafi
moentafy@gmail.com
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Abstrak

Pendidikan Islam dalam kenyataanya telah memberikan banyak pengaruh dalam


membumikan insan Muslim yang berbudi Islami sebagai corak yang bersifat distingtif
dan bernuansa teologis. Hal ini merupakan bukti nyata adanya keberhasilan akan tujuan
yang tercapai dalam manifestasi nilai-nilai qurani yang direpresentasikan dalam
pendidikan Islam. Dalam konteks ini, Alquran merupakan instrumen penting yang telah
menjadi pijakan utama dalam mengimplementasikan pendidikan Islam. Selain itu, dalam
persoalan manajerial, Alquran juga telah menjadi pijakan penting. Esensi nilai-nilai
qurani yang tersemai dalam manajemen pendidikan Islam akan mampu memberikan
instrumen teologis sebagai pondasi penting dari pendidikan Islam itu sendiri. Pada
dasarnya, implementasi manajemen pendidikan Islam dalam perspektif Alquran akan
berimplikasi pada penyelesaian jalan keluar atas problematika dalam pendidikan Islam

Keywords: Alquran, Manajemen Pendidikan Islam, Pendidikan Islam

A. Pendahuluan

E
ksistensi pendidikan Islam dalam perkembangan modernisasi menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan dan masif. Dalam pandangan Ahmad Munir
Mulkhan, modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari
modernisasi sosial, ekonomi dan politik.1 Itu berarti, untuk mewujudkan modernisasi di
bidang sosial, ekonomi, dan politik, harus dilakukan modernisasi di bidang pendidikan
terlebih dahulu sebagai prioritas mewujudkan masyarakat urban yang terdidik.

Selain itu, kajian dan pengembangan tentang pendidikan Islam semakin gencar
dilaksanakan. Itu karena implementasi pendidikan Islam juga semakin meluas secara
global. Pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan yang selaras dengan zaman dan
diidentikkan dengan basis intelektual dan spiritual. Meski demikian, ia masih memiliki
persoalan, mulai dari yang bersifat fondasional ataupun operasional, yang belum
terselesaikan dengan baik.2 Persoalan ini yang kemudian terus dikaji solusinya agar,
1
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan
Dakwah,(Yogyakarta: SI Press, 1993), h. 123
2
Ahmad Fauzi, “Model Manajemen Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran dan Tindakan Sosial”,
At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan, Vol. 2, No. 2, 2016, h. 1

Vol.1, No.2, Juli, 2019


104 | Ahmad Zaki Muntafi

sebagaimana dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif, fungsi pendidikan sebagai hal yang
membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan,3 dapat diwujudkan.

Terkait itu, maka, merujuk kembali kepada Alquran dan Hadis, di mana di
dalamnya termuat esensi ajaran Islam yang perlu dimanifestasikan dalam pendidikan
Islam secara nyata dan berkelanjutan, perlu untuk dipertimbangkan. Hal ini, di antaranya,
terkait dengan bagaimana menyusun dan mengkonsep manajemen pendidikan Islam
secara teologis dan humanis. Itu karena pada dasarnya konsep manajemen pendidikan
Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Fauzi, adalah rangkaian kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pengevaluasian, dan pengelolaan dalam pendidikan Islam
yang berpedoman pada nilai-nilai Alquran dan Hadis.4

Nilai-nilai yang ada di dalam Alquran dan Hadis itu yang diharapkan mampu
memberikan perubahan dan pembaharuan secara signifikan terhadap kegiatan manajerial.
Dalam hal ini, melalui kepemimpinan yang kuat (strong leadership), nilai tersebut
diharapkan mampu memiliki konsepsi yang berbeda dengan manajemen pendidikan pada
umumnya.5 Oleh sebab itu, tulisan ini akan menguraikan manajemen pendidikan Islam
secara komprehensif dan mapan dalam sudut pandang dan pendekatan Alquran.

B. Definisi Dasar Manejemen Pendidikan Islam

Kata manajemen secara etimologis berasal dari kata managio yang berarti kepengurusan
atau managaire yaitu melatih dan mengatur langkah-langkah, atau dapat berarti getting
done through other people. Ada juga yang berpendapat bahwa kata manajemen berasal
dari bahasa Inggris to manage.6 Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) menajemen berarti pengunaan sumber secara efektif untuk mencapai sasaran. 7

Manajemen merupakan suatu proses berkaitan dengan aspek organisasi (orang,


struktur, tugas-tugas, teknologi) dan bagaimana mengaitkan aspek yang satu dengan
aspek yang lain serta bagaimana mengaturnya sehingga tercapai tujuan sistem.8 George
Terry mendefinisikan manajemen sebagai sesuatu tindakan atau perbuatan seseorang yang
berhak menyuruh orang lain mengerjakan sesuatu, sedangkan tanggung jawab
(responsibility) tetap di tangan yang memerintah.9

3
Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 40
4
Ahmad Fauzi, h. 4
5
Gary Yuki, Kepemimpinan dalam Organisasi, (Jakarta: Prenhallindo, 1994), h. 2
6
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang:
AM.Publishing,2012), h. 87
7
Hasan Alwi dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 588
8
Tim Disen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.
86
9
George R. Terry, Principles of Management, (New York: Irwin, 1956), h. 6

Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 105

Dimensi lain menerjemahkan manajemen sebagai proses usaha melaksanakan


aktivitas yang diselesaikan secara efisien dengan dan melalui pendayagunaan orang lain,
yang meliputi adanya proses perencanaan, pengorganisasian, penempatan, penggerakan
dan pengendalian untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu menghasilkan produk.10
Meminjam istilah George R. Terrydan Leslie W. Rue, manajemen dalam hal ini, dianggap
sebagai seni untuk melakukan pekerjaan melalui orang-orang (the art of getting things
done through people).11 Manajemen berfungsi menunjukkan cara-cara yang lebih efektif
dan efisien dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.12 Secara umum dapat dikatakan bahwa
dengan manajemen, manusia mampu mengenali kemampuannya berikut kelebihan dan
kekurangannya sendiri.

Adapun manajemen pendidikan adalah aktivitas memadukan sumber-sumber


pendidikan agar terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan.13 Hal ini merupakan kegiatan atau aktivitas yang terstruktur dan tertata
dengan baik dan rapi. Sedangkan Manajemen Pendidikan Islam diartikan sebagai suatu
proses penataan atau pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang melibatkan sumber
daya manusia muslim dalam menggerakkannya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam
secara efektif dan efisien.14 Mujamil Qomar memberikan definisi manajemen Pendidikan
Islam sebagai suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami dengan
cara menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait untuk mencapai
tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.15

Ramayulis mengkajinya dari sudut pengungkapan dalam Alquran. Ia menyatakan


bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-Tadbîr (pengaturan).
Kata ini merupakan deviasi dari kata dabbara (mengatur)16 yang terungkap dalam
Alquran di antaranya surat al-Sajdah ayat 5:
‫َد‬ ‫َد َأْلا‬ ‫َد‬
‫ِم ى ِم ى َد َأْلا ٍم ى َداى ِم َأْلا َد ُيا ُي ى ا َد ى َد َد ٍم ى ِم َّس ى ُي ُّد َدا‬ ‫ال َد ِماى َد ى َأْلا َد َأْلاا ى ُي َّس ى َد َأْلا ُي ُي ى َدا َأْلا‬
‫ُي َد ِّب ُي ى َأْلا َد َأْلا َد ى َد ى َّس‬
‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
(Q.s. al-Sajdah/32: 5)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt adalah pengatur (manager) utama atas
alam. Keteraturan yang ada di alam raya ini merupakan bukti kebesaran-Nya dalam
mengelola. Dalam hal itu, pada diri manusia diembankan juga tugas sebagai khalifah di

10
Ahmad Fauzi, h. 4
11
George R.Terrydan Leslie W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: PT.Bumi Akasara, 2003),
h. 1
12
Sulistyorini,Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi, (Yogyakarta: TERAS,
2009), h. 7
13
Sulistyorini, h.10
14
Sulistyorini, h.13
15
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 11
16
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010),h. 259-261

Vol.1, No.2, Juli, 2019


106 | Ahmad Zaki Muntafi

bumi. Secara tidak langsung manusia berkewajiban mengatur alam dan bagian yang ada
di dalamnya dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah Swt. telah mengaturnya. Pada
tataran inilah manusia juga berfungsi sebagai manajer yang melaksanakan konsep
manajemen.

C. Konsep Dasar Manajemen Pendidikan Islam

Pelaksanaan manajemen pendidikan Islam semestinya mengikut acuan dan arah yang
jelas. Hal ini menjadi indikator penting dalam menyukseskannya di dalam implementasi
nyata. Pada dasarnya implementasi ini memiliki tujuan yang konkrit. Tujuan
dilakukannya manajemen dalam pendidikan Islam adalah agar pelaksanaan usaha
pendidikan Islam terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat
dan lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.17

Di sisi lain, fungsi manajemen pendidikan Islam terdiri dari empat hal, yakni
planning, organizing, actuating dan controlling, atau yang biasa disingkat menjadi
POAC. Planning (perencanaan) merupakan kegiatan sistematis merancang sumber daya
yang ada, meliputi apa yang akan dicapai (diidealkan), merumuskan metode dan tata cara
untuk merealisasikannya dengan seoptimal mungkin, serta kegiatan yang perlu dilakukan
untuk mencapai tujuan dan memilih pelaksana kegiatan yang tepat bagi usaha pencapaian
tujuannya. Dalam hal itu, ada lima kegiatan yang perlu dilakukan, yaitu: (1) menetapkan
tentang apa yang harus dilakukan, kapan dan bagaimana melakukannya; (2) membatasi
sasaran dan menetapkan pelaksanaan-pelaksanaannya melalui proses penentuan target;
(3) mengumpulkan dan menganalisa informasi; (4) mengembangkan alternatif-alternatif;
dan (5) mempersiapkan dan mengomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-
keputusan.18

Organizing (pengorganisasian), menurut Burhanudin dan Moh. Makin yang dikutip


Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, adalah keseluruhan proses pengelompokan
orang-orang, alat-alat tugas, tanggung jawab atau wewenang sedemikian rupa, sehingga
tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, dalam pandangan Ramayulis,
pengorganisasian adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, koordinasi, desain
struktur, wewenang tugas secara transparan dan jelas pada lembaga pendidikan Islam,
baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.19 Menurut tata urutannya,
proses pengorganisasian pendidikan Islam meliputi beberapa kegiatan, yaitu: (1)
perumusan tujuan; (2) penetapan tugas pokok; (3) perincian kegiatan; (4) pengelompokan
kegiatan-kegiatan dalam fungsi-fungsi; (5) departementasi; (6) pelimpahan otoritas
(authority); (7) staffing, penempatan orang pada satuan organisasi yang telah tercipta

17
Tim Disen Administrasi Pendidikan UPI, h. 88-89
18
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 126-130
19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h.272

Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 107

dalam proses depatementasi; dan (8) facilitating, pemberian kelengkapan berupa


peralatan.20

Actuating (pelaksanaan) adalah tindakan untuk mengusahakan semua anggota


kelompok berusaha mencapai sasaran-sasaran agar sesuai dengan perencanaan manajerial
dan usaha-usaha organisasi. Fungsi actuating akan sukses jika sebagian besar faktor-
faktor berikut terpenuhi, di antaranya: (1) mendapatkan orang cakap; (2) menjelaskan
secara detail tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai kepada seluruh komponen
yang terlibat; (3) memberikan ruang yang luas terutama otoritas penuh kepada seluruh
komponen; dan (4) memberikan inspirasi yang kuat serta keyakinan kepada seluruh
komponen tersebut untuk meraih sukses dan mencapai sasaran serta tujuan pendidikan
Islam.21

Controlling (pengawasan) adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan


organisasi untuk menjamin semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai
rencana. Proses ini pada dasarnya terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) menetapkan standar
pelaksanaan; (2) mengukur pelaksanaan pekerjaan; dan (3) menentukan kesenjangan
(deviasi) antara pelaksanaan dengan standar yang ditentukan.22

Hubungan di antara fungsi-fungsi manajerial di atas merupakan sesuatu yang


menjadi satu kesatuan sebagai proses yang berkesinambungan, sehingga tidak dapat
dipisahkan. Keempatnya harus saling tersedia dan saling berkaitan satu sama lain. Selain
itu, terdapat empat belas prinsip dalam manajemen pendidikan Islam sebagaimana
dipaparkan Henry Fayol dan dikutip oleh Ahmad Afan Zaini, yakni: Division of work,
Authority and Responsibility, Discipline, Unity of command, Unity of direction,
Subordination of individual interest to general interest, Remuneration of personnel,
Centralization, Scalar chain, Order, Equity, Stability of tonure of personnel, Initiative,
dan Ecsprit de Corps.23 Dalam pandangan Nanang Fatah, terdapat tujuh prinsip dasar
dalam praktik manajemen, antara lain: (1) menentukan cara atau metode kerja; (2)
pemilihan pekerja dan pengembangan keahliannya; (3) pemilihan prosedur kerja; (4)
menentukan bata-batas tugas; (5) mempersiapkan dan membuat spesifikasi tugas; (6)
melakukan pendidikan dan latihan; dan (7) menentukan sistem dan besarnya imbalan.
Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas
kerja.24

20
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 138
21
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 140-141
22
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 144
23
Ahmad Afan Zaini, “Urgensi Manajemen Pendidikan Islam”, Jurnal Ulumul Qura, Vol 5, No. 1,
2015, h. 28-30
24
Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.12

Vol.1, No.2, Juli, 2019


108 | Ahmad Zaki Muntafi

D. Konsep Alquran tentang Manajemen Pendidikan Islam

Keberadaan manajemen pendidikan Islam tidak terlepas pada persoalan teologis


yang menjadi pijakannya. Alquran dalam hal ini menjadi sumber penting dalam
merumuskan standar Islami manajemen pendidikan. Ia menjadi representasi etik-normatif
dalam perwujudan nilai-nilai pendidikan Islam. Hal ini tentu menunjukkan konstruktivitas
dari pendidikan Islam yang didasarkan pada nilai-nilai Alquran itu sendiri.

Dalam pandangan Abdurrahman al-Nahlawi, pendidikan Islam memiliki implikasi


tentang kesadaran, yakni yang termanifestasikan dari adanya syariat Islam.25 Syariat yang
dimaksud terkait dengan ajaran-ajaran teologis yang terkandung dalam Alquran dan
Hadis. Di dalam Alquran penjelasan tentang pendidikan Islam cukup jelas, termasuk
dalam hal ini persoalan manajemen, yaitu ketika Alquran hadir memberikan fungsi
manajemen secara teologis.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, fungsi manajemen pendidikan Islam terdiri


dari planning, organizing, actuating, dan controlling. Alquran menjelaskan hal itu,
setidaknya, secara eksplisit. Hal ini sebagai pembuktian bahwa manajerial dalam
pendidikan Islam memiliki landasan filosofis dan teologis. Misal saja, dalam konteks
planning (perencanaan), Alquran telah menjelaskan dalam surat al-Hasyr ayat 18:
‫َد ُي‬ ‫َّس‬ ‫َّس‬ ‫َد‬ ‫َّس َأْلا ُي‬ ‫َد َّس‬
‫َد ى ُّد َد ى ا ِم َد ى َد ُي ى َّسا ُي ى ال َد ى َد ا َد َأْلا َأْلا ى َد َأْلا ٌس ى َد ى َّس َد َأْلا ِمىا َد ٍم ىۖ ى َد َّسا ُي ى ال َد ىۚ ى ِم َّساى ال َد ى َد ِم ٌسيى ِم َد ى َأْلا َد ل َدا‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)

Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, yang dimaksud dengan “wal tandzuru nafsun
mâ qaddamat li ghadin“ adalah hendaknya masing-masing individu memperhatikan
amal-amal saleh apa yang diperbuat untuk mengahadapi Hari Kiamat.26 Ayat di atas
memberikan arahan kepada setiap orang yang beriman untuk mendesain sebuah rencana
apa yang akan dilakukan kemudian hari. Tentunya ketika menyusun rencananya tidak
dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tetapi harus lebih jauh dari itu,
yakni melampaui batas-batas target kehidupan duniawi.27 Oleh sebab itu, landasan
teologis dalam pendidikan Islam sebagai parameter dalam penentuan masa depan peserta
didik adalah mewujudkan spiritualitas yang akan menunjang kehidupan di akhirat kelak.

25
Abdurrahman Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), h. 116
26
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafsir, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), h. 355
27
Ahmad Afan Zaini, h. 33

Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 109

Suatu contoh perencanaan yang gemilang dan terasa sampai saat ini adalah
peristiwa khalwat Rasulullah di gua Hira. Pada dasarnya, tujuan Rasul berkhalwat dan
bertafakkur dalam gua adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi pada
masyarakat saat itu. Selain itu, kegiatan khalwat dan tafakkur juga mendatangkan
ketenangan dalam diri, serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, mencari
jalan memenuhi kerinduan akan kebenaran yang selalu makin besar, dan mencapai
ma’rifat, serta mengetahui rahasia alam semesta.28

Adapun dalam kerangka organizing (pengorganisasian), Alquran memaparkannya


secara gamblang dalam surat al-Hajj ayat 77:
‫َأْلا ُي َأْلا َد َّس ُي‬ ‫ُي‬ ‫َد‬ ‫َد َّس‬
‫َد ى ُّد َد ى ا ِم َد ى َد ُي ى َأْلاا ُي ى َد َأْلاا ُي ُي ى َد َأْلاا ُي ُي ى َداَّس َأْلا ى َد ا َد ل ى ا َد َأْلا َديىا َد ل َأْلا ُيىا َأْلا ِم ُي َدا‬

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. al-Hajj: 77)

Dalam kaitannya dengan ini, Rasulullah saw. telah mencontohkan ketika memimpin
peperangan Uhud. Saat itu pasukan Islam berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy
didekat gunung Uhud. Rasul mengatur dan memberikan strategi peperangan dengan
sempurna, yakni dalam hal terkait penempatan pasukan. Beberapa orang pemanah
ditempatkan pada suatu bukit kecil untuk menghalang majunya musuh. Dengan
perencanaan tersebut awalnya musuh mengalami kekalahan, sehingga sebagian kabur.
Namun, rencana itu kemudian tidak berjalan sempurna ketika pemanah Muslim
meninggalkan pos-pos mereka di bukit untuk mengumpulkan barang rampasan. Musuh
yang justru mengambil kesempatan dan menyerang pasukan perang Muslim dari arah
yang direncanakan. Banyak dari kaum Muslim yang mati syahid dan bahkan Rasul
terluka parah.29

Mengenai actuating (pelaksanaan), Alquran mencerminkannya dalam surat al-Kahfi


ayat 2:
‫اص ا َد تى َد َّسا َدىا ُيه َأْلا ى َد َأْلاج ً َد‬
ً ‫ىح َدل‬ ‫َأْلا َد َأْلا َد ً َأْلا َد ُي َأْلا ُي َد ُي َد ِّب َأْلا ُي َأْلا َد َّس َد َد َأْلا ُي َد‬ ‫َد‬
‫ِمِّب ً ِمىا ُي ِم َداى أ ً ىش ِم ى ِم ىا ى يب ِمش َد ى ْلؤ ِم ِم اى ا ِم ى َد ل اى َّس ِم ِم‬
“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih
dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman,
yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang
baik.” (QS. al-Kahfi: 2)

Contoh pelaksanaan dari fungsi ini juga terlihat dalam pribadi agung dan luhur diri
Rasulullah saw., Ia adalah orang yang memerintahkan sesuatu pekerjaan, dan menjadikan
dirinya sebagai model dan teladan bagi umatnya. Rasulullah adalah Alquran yang hidup

28
M. Ma’ruf, “Konsep Manajemen Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis”, Didaktika
Religia, Vol. 3, No. 2, 2015, h. 24
29
M. Ma’ruf, h. 27

Vol.1, No.2, Juli, 2019


110 | Ahmad Zaki Muntafi

(the living Qur’an).30 Dalam dirinya tercermin semua ajaran Alquran yang menjadi
realitas kehidupan. Oleh karena itu, melalui tauladan dari pribadi Rasul, para sahabat
dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Selanjutnya, mengenai controlling (pengawasan), Alquran juga memberikan


penggambaran yang jelas dan lugas dalam surat al-Syura ayat 6:
‫َأْلا ُي َد َأْلا َد َد َّس ُي َد ٌس َد َد َأْلا َأْلا َد َد َد َأْلا َد َد َد‬ ‫َد ُي‬ ‫َّس‬
‫ىال َأْلا ِم َأْلا ى ِم َد ِم ٍمي‬ ‫َد ا ِم َد ى َّسا ى ِم ى ِم ِم ى ِما اى ال ىح ِم يىال ِم ى ى‬
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah
mengawasi (perbuatan) mereka; dan kamu (ya Muhammad) bukanlah orang yang
diserahi mengawasi mereka.” (Q.s. al-Syura/42: 6)

Pada dasarnya dalam Alquran pengawasannya bersifat transendental. Dalam hal ini,
pengawasan bersumber langsung dari Allah swt. Adanya penghayatan akan pengawasan
ini akan memunculkan inner dicipline (tertib diri dari dalam).31 Oleh karenanya,
implementasi nyata pengawasan atas dasar Alquran memberikan nuansa teologis bahwa
sesungguhnya Allah swt. sebagai pengawas mutlak. Sedangkan, manusia hanya sebagai
pengawas pengganti.

Dalam pandangan M. Yacoeb, keunggulan konsep manajemen pendidikan Islam


dalam perspektif Alquran sebagaimana terjabarkan di atas terdiri dari empat hal.32

Pertama, fleksibel, yakni tidak kaku atau bersifat lentur, sehingga mudah
dilaksanakan. Imam Suprayogo berpendapat bahwa sekolah atau madrasah akan dapat
meraih prestasi unggul justru karena fleksibilitas pengelolaannya dalam menjalankan
tugas-tugasnya.33 Ayat Alquran yang berkaitan dengan itu terlihat dalam surat al-Baqarah
ayat 185
‫ُي ي ُي ى َّسال ُي ى ُي ُي ى َأْلاا ُي َأْلال َد ى َد َد ى ُي ي ُي ى ُي ُي ى َأْلاا ُي َأْلال َد‬
‫ِم ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (Q.s. al-Baqarah/2: 185)

Kedua, efektif dan efisien. Menurut Made Sidarta, pekerjaan yang efektif adalah
pekerjaan yang memberikan hasil seperti rencana semula, sedangkan pekerjaan yang
efisien adalah pekerjaan yang megeluarkan biaya sesuai dengan rencana semula atau lebih
rendah. Biaya yang dimaksud dapat berupa uang, waktu, tenaga, orang, material, media
dan sarana.34 Dalam pandangan M. Yacoeb, kata efektif dan efisien selalu dipakai
bergandengan dalam manajemen. Hal ini karena manajemen yang efektif saja sangat

30
M. Ma’ruf, h. 29
31
M. Ma’ruf, h. 29
32
M. Yacoeb, “Konsep Manajemen Dalam Perspektif Alquran Suatu Analisis dalam Bidang
Administrasi Pendidikan”, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013, 47-89, h. 83
33
Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Malang Press, 1994), h.74
34
Made Sidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1999). h. 4

Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 111

mungkin terjadinya pemborosan, sehingga dibutuhkan manajemen yang efisien untuk


menetralisirnya.35 Salah satu ayat Alquran yang menjelaskan tentang efektivitas dan
efisiensi terdapat dalam surat al-Isra ayat 26:
ً ‫الب يى َد َد ُيىا َد ِمِّب َأْلاا َدىا َأْلا ِم‬ ‫ىح َّس ُي ى َد َأْلا ِمْل َأْلال ِم َداى َد َأْلا َد ى َّس‬
‫َد ت َدىذ ى َأْلاا ُي َأْلا َدب ٰى َد‬
‫ِم‬
‫ِم ِم‬
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.s. al-Isra/17: 26)

Ketiga, terbuka, yang bukan saja dalam memberikan informasi yang benar, tetapi
juga mau memberi dan menerima saran atau pendapat orang lain. Terbuka dalam hal ini
kepada semua pihak, terutama staff dalam rangka mengembangkan diri sesuai dengan
kemampuannya, baik dalam jabatan maupun bidang lainnya.36 Kunci utama dalam
keterbukaan adalah sikap jujur dan adil yang harus bergandengan secara langsung.
Adapun ayat Alquran yang menyeru umat manusia untuk berlaku jujur dan adil adalah
surat al-Nisa ayat 58:
‫َّس‬ ‫َأْلا‬ ‫َد َد ُي‬
‫ىح َأْلا ُي َأْلا ى َد َأْلا َداى ا َّس ِمسى َأْلااىا َأْلاح ُي ى ِم ا َد َأْلا ِملىۚ ى ِم َّساى ال َد ى‬
‫َد َد ٰ َد َأْلا َد َد َد َد َد‬
‫ِمتى ِم ى ه ِمله ى ِم ذ‬ ‫۞ى َّساى َّسال َد ى َد َأْلاأ ُي ُي ُي َأْلا ى َد َأْلاا ُيىا َدؤ ُّد ى َأْلا َد َد‬
‫ِم‬
‫َّس َد‬ ‫ُي ُي‬
‫ى َد ِم َأْلا ى ِم ِم ىۗى ِم َّساى ال َد ى َداى َد ِم ً ى َد ِمص ًي‬ ‫ِمن ِم َّس‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.” (QS. al-Nisa: 58)

Keempat, kooperatif dan partisipatif dalam rangka melaksanakan tugas manajer


(pemimpin) pendidikan Islam.37 Ayat Alquran yang berkenaan dengan ini antara lain
dalam surat al-Maidah ayat 2:
‫َد َد َد َد ُي َد َد َأْلا ِّب َد َّس َأْلا َد ٰ َد َد َد َد َد ُي َد َد َأْلا َأْلا َأْلا‬
‫ىا ى ِم ِم ى َد ا ُي َأْلا َد ِما‬ ‫ىۖ ى ى‬ ‫ىا ى ا ِم ِميى ا‬
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran....” (QS. al-Maidah:
2).

Dengan uraian di atas, dalam perspektif Alquran, manajemen pendidikan Islam


memiliki posisi yang strategis, yaitu ketika Alquran memberikan kompleksitas
pemahaman atas manajerial dalam pendidikan Islam secara komprehensif dan progresif
meski dalam tataran zaman yang semakin berkembang. Dalam hal ini, sejatinya
35
M. Yacoeb, “Konsep Manajemen Dalam Perspektif Alquran Suatu Analisis dalam Bidang
Administrasi Pendidikan”, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013, h. 83
36
M. Yacoeb, h. 84
37
M. Yacoeb, h. 85

Vol.1, No.2, Juli, 2019


112 | Ahmad Zaki Muntafi

pendidikan Islam tampil melalui tujuan yang sarat dengan konsepsi ketuhanan.38
Manifestasi akan konsepsi ketuhanan akan melahirkan nuansa teologis yang luhur.

E. Kesimpulan

Implementasi manajemen pendidikan Islam sejatinya selaras dengan nilai-nilai yang ada
di dalam Alquran sebagai pijakan teologis dalam Islam. Eksistensi Alquran sebagai
pijakan utama dalam pendidikan Islam juga menunjukkan kontribusi yang nyata.
Pendidikan Islam sudah seharusnya untuk selalu kembali dan selalu berpijakan pada
eksistensi ajaran Alquran tentang pendidikan. Manajemen pendidikan dalam perspektif
Alquran telah menjadi batu loncatan penting dalam menyelesaikan persoalan yang
membelengu pendidikan Islam, sehingga merawat manajemen pendidikan Islam dengan
tetap berpegang teguh kepada Alquran menjadi mutlak dilaksanakan.

F. Referensi

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan


dan Dakwah,(Yogyakarta: SI Press, 1993)
Abdurrahman Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani, 1995)
Ahmad Afan Zaini, “Urgensi Manajemen Pendidikan Islam”, Jurnal Ulumul Qura, Vol 5,
No. 1, 2015
Ahmad Fauzi, “Model Manajemen Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran dan
Tindakan Sosial”, At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan, Vol. 2, No. 2, 2016
Gary Yuki, Kepemimpinan dalam Organisasi, (Jakarta: Prenhallindo, 1994)
George R. Terry, Principles of Management, (New York: Irwin, 1956)
George R.Terry dan Leslie W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen,(Jakarta: PT.Bumi
Akasara, 2003)
Hasan Alwi dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003)
Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Malang Press,
1994)
M. Ma’ruf, “Konsep Manajemen Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis”,
Didaktika Religia, Vol. 3, No. 2, 2015
M. Yacoeb, “Konsep Manajemen Dalam Perspektif Alquran Suatu Analisis dalam Bidang
Administrasi Pendidikan”, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013
Made Sidarta,Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1999)
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafsir, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.)
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang:
AM.Publishing,2012)
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007)

38
Abdurrahman Nahlawi, h. 131

Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 113

Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008)


Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi, (Yogyakarta:
TERAS, 2009)
Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994)
Tim Disen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2012)

Vol.1, No.2, Juli, 2019


114 | Ahmad Zaki Muntafi

Jurnal Idrak
KONSELING ISLAMI DAN KULTUR
PESANTREN
M. Syukri Azwar Lubis
msyukriazwarlubis@gmail.com
Fakultas Agama Islam Universitas Al-Washliyah Medan

Abstrak

Konseling Islami sebenarnya bukan hal yang baru sebagai sebuah pendekatan yang
secara langsung menyentuh kehidupan psikis manusia. Ia sejatinya telah ada sejak zaman
Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, fenomena konseling Islami dan korelasinya
dengan Pondok Pesantren juga bukan sesuatu yang baru. Para kiyai merupakan tokoh
kunci dan ajengan yang menjadi pusat tempat bertanya dan mengadu para santri dan
masyarakat. Berbagai problematika yang dihadapi mulai dari masalah keluarga,
pendidikan, masalah jodoh, kegelisahan jiwa, hingga gangguan psikis yang dalam
kategori kronis selalu dihadapkan pada seorang kiyai. Dengan demikian keberadaannya
dapat menjadi sebuah alternatif bagi peradaban masyarakat sekitar.

Keywords: Konseling Islami, Kultur, Pondok Pesantren

A. Pendahuluan

B
imbingan dan konseling merupakan alih bahasa dari istilah inggris guidance dan
counseling. Konseling sebagai suatu profesi pada awalnya berasal dari Amerika,
yaitu ketika 1986 terungkap – a psychological counseling clinic was establised
by Lightner Witmer at the University of Pennysylvania.”1 Shertzer dan Stone mencatat
bahwa konseling mulai ada pada tahun 1898 melalui ungkapan, “Counseling may have
begun in 1989 when Jesse B. Davis begun work as a counselor at Central High School in
Detroit, Michigan.”2 Meskipun kedua kutipan di atas menyajikan data yang sama kuat
dan jelas, yang terakhir tampak lebih praktis karena adanya keterangan seorang konselor
yang bertugas dan tidak sekedar mendirikan klinik.

Saiful Akhyar mengemukakan bahwa program bimbingan dimulai permulaan abad


ke 20 di Amerika, yang ditandai dengan pendirian suatu “vocational burcau” tahun 1908
oleh Frank Parsons, tokoh yang memperkenalkan bimbingan pertama kali. Tokoh yang
mendapat julukan “The Father Of Guidance” ini menekankan pentingnya setiap individu

1
John J. Pietrofesa, et.al., Counseling: Theory, Research, and Practice (Chicago: Rand McNally
College Publishing Company, 1978), h. 11.
2
Bruce Shertzer dan Shelly C. Stone, Fundamentals of Counseling (Boston: Hougton Mifflin
Company, 1974), h. 22.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


116 | M. Syukri Azwari Lubis

diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal dan memahami berbagai kekuatan
dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara
intelegen dalam memilih pekerjaan yang tepat bagi dirinya.4

Setelah mengalami proses perkembangan dan pemantapan di negeri asalnya


tersebut, konseling kemudian berkembang di berbagai negara termasuk Indonesia yang
lekat hubungannya dengan upaya pengembangan bimbingan sekolah di Indonesia 1960.5
Perkembangan yang relatif baru ini mula-mula dikembangkan di sekolah menengah.
Melihat dampaknya yang sangat baik, akhir-akhir ini, ia juga diterapkan di pusat-pusat
rehabilitasi sosial dan lembaga-lembaga atau dan industri.

Dalam perkembangannya tersebut, muncul kemudian diskursus-diskursus terkait


dengan bimbingan dan konseling, yang di antaranya adalah mengenai kedudukan dan
hubungan antara bimbingan dan konseling itu sendiri. Kedua kata tersebut, meskipun
selalu beriringan, mempunyai ragam definisi di kalangan para ahli. Di antaranya ada
yang memandang bahwa konseling adalah teknik bimbingan yang berarti konseling
berada di dalam proses bimbingan itu sendiri. Pendapat lainnya mengatakan bahwa
bimbingan merupakan usaha pencegahan munculnya masalah yang dialami individu
sehingga bersifat preventif (pencegahan) sedangkan konseling bersifat kuratif6 dan
korektif7. Terlepas dari itu, baik bimbingan dan konseling sejatinya mempunyai
persamaan objek yang diselesaikan yaitu problem kehidupan.

Selanjutnya, dampak dari perkembangan itu juga adalah munculnya konsep


bimbingan dan konseling Islami. Untuk ini, Tohari Musnamar merincikan perbedaan
antara yang bersifat umum dan yang bersifat Islami sebagai berikut:8

1. Pada umumnya proses layanan bimbingan dan konseling umum tidak


dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Layanan dan bimbingan
konseling dianggap hanya sebagai kegiatan yang terkait keduniawian. Sedangkan
Islam menganjurkan aktivitas layanan bimbingan dan konseling itu dijadikan
sebagai sarana ibadah kepada Allah swt, yaitu dengan memberi bantuan kepada
orang lain dalam menyelesaikan problem kehidupan mereka.

4
Saiful Akhyar, Konseling Islami, h. 14.
5
Andi Mappiare, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional,
1984), h. 100-120. Lihat juga dalam Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikotrapi, cet. 1, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), h. 10.
6
Kuratif merupakan suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau pengendalian kecacatan agar
kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
7
Korektif merupakan sebuah tindakan yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran peraturan,
tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut sehingga tindakan di masa
yang akan datang sesuai standar.
8
Tohari Musnamar, Urgensi dan Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islami (Yogyakarta: UII,
1997), h. 123

Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 117

2. Layanan bimbingan dan konseling umum hanya didasarkan pada pikiran manusia
semata. Semua teori bimbingan dan konseling yang ada hanya didasarkan atas
pengalaman-pengalaman masa lalu, sedangkan Islam mendasarinya dengan
Alquran dan sunnah Rasul di samping aktivitas akal dan juga pengalaman
manusia.
3. Konsep layanan bimbingan dan konseling umum tidak membahas adanya
kehidupan sesudah mati, sedangkan konsep layanan bimbingan dan konseling
Islami meyakini keberadaannya. Begitu juga dengan kaitan kondisi manusia
terkait pahala dan dosa. Umum tidak mengkaitkannya sedangkan Islam
membahasnya.
Dari titik perbedaan yang cukup mendasar tersebut di atas, para ahli kemudian
merumuskan definisi bimbingan dan konseling Islami, diantaranya:
1. Tohari mengartikan bimbingan dan konseling Islami sebagai suatu proses
memberi bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya
sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah swt, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.14
2. Yahya Jaya menyatakan bahwa bimbingan dan konseling Islami merupakan
pelayanan bantuan yang diberikan oleh seorang konselor agama kepada manusia
yang mengalami masalah dalam hidup keberagamaannya seoptimal mungkin,
baik secara individu maupun kelompok, agar menjadi manusia yang mandiri dan
dewasa dalam beragama, dalam bidang bimbingan akidah, ibadah, akhlak, dan
muamalah, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung yang
berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada yang tercantum dalam Alquran
maupun Hadis.15
3. Ainur Rahim Faqih mengartikan bahwa bimbingan dan konseling Islami adalah
proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah swt, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia
maupun akhirat.16
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling
Islami merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan
potensi dan pengentasan masalah yang dialami konseli atau klien agar dapat mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat berdasarkan ajaran Islam. Dengan melekatkan kata Islami
setelah bimbingan dan konseling diharapkan secara langsung tergambar karakteristik dan
identitasnya yang bermuara pada nilai-nilai yang Islami.
Lagi pula, jika ditelusuri melalui Alquran dan hadis, bimbingan dan konseling
Islami mempunyai landasan yang kuat, yang bersifat filsafat dan keilmuan. Di antaranya

14
Tohari, Asas, h. 133
15
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: YPI Ruhama, 1999),
h. 67
16
Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2001), h. 97

Vol.1, No.2, Juli, 2019


118 | M. Syukri Azwari Lubis

adalah ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai obat bagi manusia dalam QS.
Al-Isra: 82.
‫َو ٌء َو َو ْل َو ٌء ْل ُن ْل َو َو َو َو ُن َّظ‬
ً ‫الاا َوآ َّظ َوخ َوسا‬ ‫َو ُن َو ِّز ُن َو ْلا ُن ْل آ َو ا ُن َو‬
‫ي‬ ۙ‫آ‬ ‫ا‬ ‫اا‬
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang zalim selain kerugian.

B. Kultur Pesantren

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai peranan


penting dalam sejarah Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura –
belakangan di Sumatera Utara juga telah berkembang Pondok Pesantren–. Pondok
pesantren, jika di NAD disebut rangkang atau meunasah, sedangkan di Sumatra Barat
disebut surau.17 Istilah pondok pesantren dalam pemahaman sehari-hari kadang-kadang
hanya disebut pondok atau pesantren saja dan bisa juga disebut secara bersama-sama,
pondok pesantren. Di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren.18 Kata
pondok berasal dari bahasa Arab “fundu>q” yang berarti “hotel atau asrama”.19
Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an”
yang berarti “tempat tinggal para santri”.20 Soegarda Poerbakawatja menjelaskan bahwa
pesantren berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam. Dari kata
tersebut, pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama
Islam.21 Menurut Manfred Ziemek, etimologi pesantren barasal dari kata pe-santri-an
yang berarti “tempat santri”.22 Ensiklopedi Islam memberi gambaran yang berbeda.
Menurutnya pesantren berasal dari bahasa tamil yang berarti guru ngaji atau bahasa
India “sastria’ dan kata “sastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau
ilmu tentang pengetahuan.23

Sedangkan pondok pesantren menurut istilah adalah suatu lembaga pendidikan


agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian
atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership seorang atau

17
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren
di Masa Depan (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 16.
18
Ibid., h. 18.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1982), h. 18.
20
Ibid.
21
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, cet. 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h.
279.
22
Manfred Ziemek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B. Soendjojo, (terj.),
(Jakarta: Guna Aksara,1986) h. 16.
23
Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve, 1993) h. 107.

Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 119

beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen
dalam segala hal.24 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya
sarat dengan pendidikan Islam yang dipahami dan dihayati serta diamalkan dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup.25

Abrurrahman Wahid mengemukakan bahwa Pondok pesantren adalah komplek


dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam komplek itu
terdiri beberapa buah bangunan: rumah pengasuh, sebuah surau atau masjid, dan asrama
tempat tinggal santri.26 Zamakhsyari Dhofier mengatakan bahwa sebuah pesantren pada
dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang siswanya tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal
dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para santri tersebut berada dalam lingkungan
komplek pesantren tempat kyai tinggal. Pesantren juga menyediakan sebuah masjid
untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain.
Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi
keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.27

Berangkat dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
yang terdiri dari komplek yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik), yang
mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid
yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan
adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri.

Selanjutnya, Pesantren dalam kebiasaannya menganut sistem pembelajaran


tradisionalis yang tidak sama dengan sistem pembelajaran konvensional. Dalam sistem
pembelajaran yang tradisionalis ini, pesantren mengajarkan pengetahuan yang
berbarengan dengan pengajaran etika dan spiritual. Sebagai contoh, di pesantren
masyhur kitab ta’lîm al-muta’allim yang mengajarkan norma yang harus dipegang bagi
seorang pelajar ataupun santri. Dalam kitab tersebut dipercaya bahwa seorang guru
adalah wasilah atau penghubung antara duniawi dan ukhrawi, sehingga seorang guru
yang mengajarpun bernilai sakral oleh para santrinya, oleh karena itu santri dalam proses
pembelajarannya tidak diperbolehkan bertindak menyimpang kepada gurunya. Ada
sebuah hadis nabi yang mengatkan bahwa “ridho Allah terletak pada ridho kedua orang
tua”. Guru kemudian menjadi konotasi dari orang tua yang statusnya menjadi pengganti
dari orang tua asli.

24
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 2.
25
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri INIS XX, 1994), h. 6.
26
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001),
h.3.
27
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 44.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


120 | M. Syukri Azwari Lubis

Demikian yang menjadikan proses pembelajaran pesantren sedemikian kompleks


dengan mampu mengoperasikan nilai intelektual, moral, dan spiritual langsung
sekaligus. Dalam hal itu, pesantren juga membangun sistem tersendiri, yang diibaratkan
sebagai miniatur lingkungan Islam yang diidam-idamkan. Kiyai berposisi sebagai guru
sekaligus kepala pesantren ataupun direkturnya yang juga sebagai manifest spiritual.
Santri sebagai penganut kiyai, murid dan makmum. Kultur seperti ini menjadi corak
tersendiri bagi masyarakat islami ala pesantren, maka tidak hanya praktik belajar
mengajar yang terjadi di pesantren namun juga praktik sosial yang terlebur dalam budaya
gotong royong (roan) dan praktik kepemimpinan yang demokrasi.

C. Korelasi Konseling Islami dan Kultur

Kehadiran pesantren sebagai pusat pendidikan Islami yang memegang teguh prinsip
syariat islam dan konseling Islami sebagai metode dalam menggiring dan membentuk
kepribadian para santri. Eksistensi pesantren sebagai lembaga yang memiliki kultur dan
iklim yang Islami diharapkan akan mampu membawa angin segar di tengah-tengah krisis
moral dan karakter zaman modern yang semakin hari kian menggerus moral dan
kepribadian anak bangsa ini. Dengan itu, santri diharapkan mampu menjadi manusia yang
seutuhnya sesuai dengan maksud penciptaannya, yaitu menjadi khalifah di muka bumi
dan ‘âbid kepada Allah swt.

Kewajiban “mondok” bagi para santri di lingkungan pesantren selama 24 jam,


mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dan beraktivitas hingga malam menjelang
tidur kembali. Kebijakan tersebut tentunya sangat beralasan, mengingat para santri dari
berbagai daerah tersebut hendak dikontrol secara totalitas. Keterikatan santri dengan
kultur dan budaya pesantren seringkali menimbulkan problema tersendiri baginya, seperti
adaptasi dengan lingkungan khususnya bagi santri baru. Ketidakmampuan santri
berdapatasi dengan lingkungan barunya itu tidak jarang akan membuat santri menjadi
stress terlebih mengingat psikologi mereka juga tergolong sedang labil. Di titik inilah
dibutuhkan konseling Islami sebagai upaya memberikan bantuan bagi para santri untuk
bisa keluar dari persoalan yang dihadapinya.

Beberapa ahli berpendapat bahwa masa remaja sebagaimana yang dilalui oleh para
santri merupakan masa stress sehingga pada masa ini sering timbul dalam diri mereka
konflik atau pertentangan antara dominasi dan peraturan, tuntutan orang tua dan
kebutuhan. Hal ini juga yang diharapkan mampu untuk dicari jalan keluarnya melalui
bimbingan konseling Islami.

Kehidupan serta budaya di lingkungan pesantren yang sangat kental dengan nilai
religi, selain kedisiplinan serta ketaatan terhadap peraturan yang berlaku menjadi salah
satu semangat yang selalu diterapkan di pesantren. Pesantren dengan kultur dan sistem
pendidikan agamanya yang sangat kuat diharapkan mampu menjawab tantangan zaman
dengan segala problematika yang terus melilitnya.

Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 121

D. Penutup

Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia yang telah


menyumbangkan sumber daya insani yang luar biasa bagi sejarah peradaban bangsa.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam Indonesia yang telah menunjukkan
peranannya dengan memberikan kontribusi pada bangsa ini. Selain sebagai lembaga
pendidikan Islami yang mengutamakan prinsip Tafaqquh fî Ad Dîn, kultur pesantren
juga diharapkan mampu memadukan moralitas ke dalam sistem pendidikan Islami dalam
skala yang luar biasa kuatnya. Bagi dunia pesantren pembentukan karakter melalui
budaya yang terbangun telah lama menjadi mainstream dalam rangka membentuk
karakter para santrinya. Dalam hal itu, bimbingan konseling Islami diharapkan dapat
masuk bersinerji bersama.

E. Referensi

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS,


2001)
Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam (Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia, 2001)
Andi Mappiare, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, 1984)
Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikotrapi, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers,
1992)
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan
Pesantren di Masa Depan (Yogyakarta: Teras, 2009)
Bruce Shertzer dan Shelly C. Stone, Fundamentals of Counseling (Boston: Hougton
Mifflin Company, 1974)
Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve, 1993)
John J. Pietrofesa, et.al., Counseling: Theory, Research, and Practice (Chicago: Rand
McNally College Publishing Company, 1978)
Manfred Ziemek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B.
Soendjojo, (terj.), (Jakarta: Guna Aksara,1986)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sisten Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri INIS XX, 1994)
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta: Erlangga, 2002)
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, cet. 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982)
Tohari Musnamar, Urgensi dan Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islami (Yogyakarta:
UII, 1997)
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: YPI Ruhama,
1999)

Vol.1, No.2, Juli, 2019


122 | M. Syukri Azwari Lubis

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1982)

Jurnal Idrak
TRADISI KEMAZHABAN NU DAN
PENDIDIKAN PESANTREN
Ibnu Hajar Ansori
ibnuhajar93@iainkediri.ac.id
IAIN Kediri

Abstrak

Aswaja NU mengembangkan sebuah tradisi penting dalam beragama yang disebut


mazhabiyah tradition (tradisi kemaz}haban). Hal itu bisa dibenarkan karena dalam
memahami teks Alquran sebagai referensi keberagamaan, baik dalam hal istidla>l
(induktif) maupun istinba>t} (deduktif), bukan hal yang sederhana dan dapat dipahami oleh
setiap orang. Adalah hak dan kewajiban bagi kita untuk memahami dengan baik terkait
itu untuk kemudian mewariskannya kepada generasi berikutnya sebagai upaya
penyelamatan dan peneguhan diri juga keluarga agar tetap mengikuti manhaj ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah. Tulisan ini berupa untuk melacak bagaimana pendidikan
Pesantren, yang tercorakkan dalam kurikulumnya –yang kemudian ditampilkan dalam
buku-buku yang dikajinya, mampu menjadi penjaga tradisi tersebut.

Keywords: Aswaja, NU, Pesantren

A. Pendahuluan

A
swaja NU dikenal mengembangkan sebuah tradisi penting dalam beragama
yang disebut mazhabiyah tradition (tradisi kemaz}haban).1 Hal itu bisa
dibenarkan karena dalam memahami teks Alquran sebagai referensi
keberagamaan, baik dalam hal istidla>l (induktif) maupun istinba>t} (deduktif), bukan hal
yang sederhana dan dapat dipahami oleh setiap orang. Tidak cukup hanya mengetahui
terjemah dari teks tersebut seseorang bisa menyimpulkan maksud dari sebuah dalil. Perlu
penguasaan yang baik tentang kaidah-kaidah pokok yang mengarah pada pemahaman
dalil-dalil nas}: seperti aspek kebahasaan2, aspek hukum Alquran dan sunnah,3 aspek
ma’a>ni> al-Qur’a>n wa al-Sunnah dan keterkaitannya antara satu dalil dengan dalil yang
lain, juga pemahaman tentang konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat (asba>b al-
nuzu>l) atau disabdakannya hadis (asba>b al-wuru>d). Dengan demikian, akan diperoleh

1
Istilah mazhabiyah tradition digunakan oleh Djohan Effendi, A Renewal Breaking Tradition: The
Emergence of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era
(Yogyakarta: Interfidei, 2008), 21–22.
2
Termasuk aspek kebahasaan adalah ‘ilm al-lugha>t (filologi), Nahwu, S{arf, ‘ilm al-ishtiqa>q (akar
kata), Bala>ghah meliputi ma’a>ni>, baya>n dan badi>’. Termasuk juga ‘ilm al-qira>’at.
3
dari sisi keumuman dan kekhususan lafalnya, dari sisi mujmal dan mubayyan, aspek mut}laq dan
muqayyad, aspek muh}kam dan mutasha>bih.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


124 | Ibnu Hajar Ansori

pemahaman yang komprehensif, adil dan sesuai dengan muqtad>a> al-ah}wa>l atau maqa>s}id-
nya untuk kemudian diaplikasikan dalam ijtiha>d.

Demikian juga dalam memahami hadis Nabi, diperlukan seperangkat ‘ulu>m al-
hadi>s untuk mengawal pemahaman, selain juga diperlukan pengetahuan yang memadai
tentang cara atau metode pemahaman hadis hasil ijtihad para ulama. Tanpa pengetahuan
yang memadai, tidak jarang pemahaman yang dihasilkan bersifat kontraproduktif dan
menyimpang dari pesan yang terkandung dalam hadis tersebut.4

Mengingat luasnya kajian Aswaja, khususnya terkait dengan jam’iyyah NU, maka
tidak cukup rasanya merepresantikan semua aspek kajiannya dalam satu artikel singkat
ini. Oleh karena itu, sebagai garis batas, kajian dalam artikel ini dititikberatkan pada
kesesuaian paham dan manhaj Aswaja NU dengan kehidupan masyarakat –dalam
beragama dan bernegara- dari aspek tradisi kemaz}haban yang ditanamkan sejak dini
melalui pendidikan-pendidikan berbasis pesantren sebagai upaya moderasi sikap dalam
beragama dan bernegara.

B. NU dan Moderasi Islam


Saat ini masyarakat muslim dihadapkan dengan dua fakta keberagamaan: terlalu ketat
dan terlalu longgar. Sikap pertama cenderung menutup diri dalam sikap keberagamaan.
Mereka bersikap ekstrim dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan berusaha
memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat Muslim, bahkan dalam beberapa fakta,
tidak jarang menggunakan kekerasan. Sikap kedua terlalu longgar, terbuka dan sangat
mudah menerima budaya dan peradaban lain, bahkan tidak jarang pemikiran mereka
cenderung atau terkesan mengaburkan esensi –dan bisa berdampak pada deskralisasi-
ajaran agama.

Kecenderungan kelompok pertama bisa jadi muncul karena melihat kenyataan


Islam dan umat Islam saat ini berada dalam kemunduran dan keterbelakangan dalam
banyak bidang. Karena itu, untuk meraih kebangkitan dan kejayaan seperti yang pernah
dicapai oleh generasi terdahulu dapat dilakukan dengan cara kembali pada jalan generasi
terdahulu (al-salaf al-s}a>lih}). Sayangnya, dalam upaya tersebut, mereka menggunakan
dalil-dalil nas} dari Alquran-H{adis dan tura>s (karya-karya ulama klasik) sebagai konsep
berpikir, tetapi dengan pemahaman secara ekstrim tekstual dan terlepas dari konteks
kesejarahan dan kemasyarakatan. Akhirnya, di tangan mereka Islam tampak sebagai
ajaran yang tertutup, jumud dan tidak bisa sejalan dengan perkembangan zaman.

4
Abdul Karim Munthe dkk., Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Jakarta: Yayasan
Pengkajian Hadis el-Bukhori, 2017), 1–6.

Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 125

Di sisi lain, kelompok kedua berupaya mengedepankan Islam sebagai agama yang
selalu sejalan dengan perkembangan zaman, namun secara bebas mereka mengimpor
berbagai pandangan dan pemikiran dari budaya dan peradaban asing yang saat ini
didominasi oleh pandangan materialistik. Di tangan mereka Islam terkesan sebagai
agama yang sangat terbuka tanpa batas dan semua ayat-ayat Alquran maupun sabda
Rasul semua bisa dikontekstualisasikan, sehingga tidak jarang teks-teks keagamaan
dikorbankan melalui penafsiran yang semua cenderung ekstrim kontekstual.

Dua sikap tersebut tentu bertentangan dengan karakteristik umat Islam yang
digambarkan dalam Alquran sebagai ummatan wasat}an5 dengan pengertian umat yang
moderat dan berimbang6, tidak taqs}i>r dan tidak ghuluw. Sikap berlebihan tidak akan
menguntungkan Islam. Sebaliknya, ia akan merugikan Islam dan menutupinya dari
keberkembangan. Umat Islam harus bersikap wasat} karena mereka merupakan umat yang
akan menjadi saksi dan atau disaksikan oleh seluruh umat manusia agar diterima
kesaksiannya.

Dalam ajaran Aswaja NU, konsep wasat}iyyah mendapatkan perhatian khusus,


sekaligus menjadi ciri khas ajarannya yang dikejewentahkan dalam sikap tawassut} dan
I’tida>l. Hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari magnet penarik masyarakat
untuk dapat menerima Aswaja NU sebagai landasan beragama dan bermasyarakat.
Dalam istidla>l misalnya, selalu seimbang dalam menggunakan dalil antara dalil naqli dan
dalil ‘aqli. Dalam masalah fiqh, mengambil sikap tawassut} antara ijtiha>d dan taqli>d buta.
Dalam menyikapi budaya pun, Aswaja NU memilih untuk mempertahankan budaya lama
yang masih baik dan tidak menutup diri untuk menerima budaya baru yang lebih baik.

Fakta sikap tawassut} juga dapat dilihat dalam hal tasawwuf. Aswaja NU mengakui
bahwa tasawwuf adalah bagian dari perjalanan spiritual yang bertujuan menemukan
hakikat dan kesempurnaan hidup sebagai insa>n ka>mil. Akan tetapi, tidak dibenarkan
meninggalkan syariat yang telah ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah Rasu>lilla>h.
Keberadaan syariat tetap merupakan dasar untuk mencapai hakikat. Oleh karena itu,
dalam konsep Aswaja NU, ajaran sufi yang diterima adalah yang bersanad sampai ke
Rasu>lilla>h dan tidak meninggalkan syariat beliau.

5
QS. Al-Baqarah: 143
6
Kata wasat} secara h}arafiah artinya ‚di tengah‛, seperti dalam ayat berikut: ‚ Peliharalah segala
shalat(mu), dan (peliharalah pula) shalat wust}a> (tengah). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu’.‛(2:238). Fa wasat}na bihi> jam’an (dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh).‛ (100:5).
Dari kata wasat} lahir pula kata ‚wasit‛ dalam bahasa Indonesia, yang berarti penengah, perantara,
penentu, pemimpin pertandingan atau pemisah, pelerai antara yang berselisih. Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1270. Secara maknawiah, dapat diartikan sebagai sikap
moderat, yakni selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yg ekstrem; dan berkecenderungan ke
arah dimensi atau jalan tengah, sehingga mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


126 | Ibnu Hajar Ansori

Sikap tawassut} dalam Aswaja NU tercermin juga misalnya pada sikap tidak secara
bebas menerima ajaran-ajaran yang dikhawatirkan akan mengaburkan esensi ajaran
agama ketika diakses oleh masyarakat luas. Di sisi lain, Aswaja NU menolak cara
dakwah dari kelompok garis keras (radikal) yang suka menyelesaikan persoalan-
kemungkaran dan perbedaan-dengan mengikuti pola dan paradigma kaum khawarij,7
yakni dengan kekerasan, pemaksaan, bahkan perusakan dan teror.

Dikemukakan oleh Bustanuddin Agus, bahwa umumnya tindak kekerasan yang


diatasnamakan agama dilatarbelakangi oleh kecenderungan beragama hanya dari segi
tertentu saja, tidak beragama dengan segenap potensi diri yang dianugerahkan oleh
Allah. misalnya aspek hukum dan keyakinan saja atau untuk kepentingan politik
identitas dan atau kekuasaan saja. Sementara aspek lain seperti rasionalitas, akhlak,
penghayatan rohaniah (tasawwuf) diabaikan.8

C. Tradisi Kemazhaban NU dan Moderasi Keberagaman

Secara bahasa, kata maz}hab merupakan bentuk mas}dar dari z}ahaba-yaz}habu yang bisa
diartikan t}ari>qah (jalan) atau mu’taqad (sesuatu yang diyakini).9 Sedangkan secara
istilah berarti jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid
dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Alquran dan Hadis. Bisa juga
didefisikan sebagai fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau
peristiwa yang diambil dari Alquran dan Hadis.10

Munculnya mazhab merupakan bentuk respon terhadap kebutuhan kaum musliman


untuk memahami teks-teks suci Alquran maupun Hadis. Para imam mazhab menawarkan
berbagai teori dan metode dan kaidah-kaidah ijtihad sebagai jalan pembuka pemahaman
yang diikuti oleh satu generasi dan berlanjut pada generasi berikutnya.11 Praktik
bermazhab tersebut terus dijalankan sehingga menjadi sebuah tradisi.

Tradisi bermazhab bukan merupakan dasar untuk menuduh kurang qualified-nya


ulama khalaf, melainkan upaya menghargai dan melanjutkan apa yang telah digapai oleh
ulama sebelumnya. Melanjutkan tradisi bukanlah sesuatu yang negatif sepanjang tidak
memunculkan persoalan-persoalan yang mengarah pada social disorder. Bukan pula
berarti menunjukkan tidak adanya ijtiha>d di dalamnya, karena sesungguhnya tradisi
kemaz}haban dan ijtiha>d bisa diposisikan dalam takaran yang sama.
7
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam , I (Jakarta: Paramadina,
1999), 93.
8
Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei Sosiologi Agama I
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 141–42.
9
Luwis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1973), 240.
10
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet. II (Ciputat: Gaung Persada
Press, 2011), 80–92.
11
Zulkarnain Fisher, ‚Fenomena Mazhab dan Sekte-sekte di Indonesia: Sebuah Studi Medan
Dakwah,‛ Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 6, no. 1 (2012): 41–52,
https://doi.org/https://doi.org/10.15575/idajhs.v6i1.326.

Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 127

Yang pertama merupakan upaya mempertahankan hal positif yang telah ada (tura>s)
dan yang kedua merupakan upaya membangun pola baru sebagai langkah pembaharuan
(tajdi>d) yang dirumuskan dalam kaidah al-muh}a>fazah ‘ala> al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz}u
bi al-jadi>d al-as}lah}.12 Dialektika antara tura>s dan tajdi>d tersebut akan melahirkan
dinamika keberagamaan yang harmonis.13

Bermaz}hab bukan pula berarti berhenti mengakses dalil-dalil nas}, merasa malas
untuk mengkajinya14 dan merasa cukup dengan mengikuti pendapat para imam mujtahid.
Akan tetapi, bermaz}hab berarti mengikuti manhaj (metode) para mujtahid dan
menjadikannya referensi dalam beristinba>t} atas dalil-dalil nas}, sekaligus merupakan
ekspresi keterbukaan diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan khila>fiyya>t di
dalamnya yang akan mengantarkan pada sikap tawa>zun dalam beragama.

Selain itu, bermaz}hab juga merupakan pemberdayaan asas ijtiha>d jama’i>15 dengan
mempertimbangkan aspek pluralistik dalam beragama dan bernegara. Tradisi
kemadzhaban bukan merupakan bentuk penolakan terhadap upaya pemurnian ajaran
agama. Akan tetapi lebih merupakan sistem dan metodologi yang sudah disepakati
ulama untuk kembali kepada ajaran agama.16

Dengan demikian, kelompok yang menyatakan diri sebagai golongan al-


la>maz}habiyyah17 (tidak bermaz}hab) hakikatnya mereka bermaz}hab pada maz}hab baru
yang mereka buat selain maz}a>hib para imam yang sudah ada. Hal itu, tentu lebih
menghawatirkan, karena penolakan terhadap konsep bermaz}hab berarti tidak mengakui
keniscayaan dari sunnatulla>h bahwa manusia dalam hal kapasitas keilmuan terbagi
menjadi kelompok yang tahu dan tidak -atau belum- tahu. Kelompok kedua semestinya
bertanya kepada yang pertama sebagai orang-orang yang dikaruniai ilmu oleh Allah

12
Abu> Zahrah menyebut bahwa tradisi kemaz}haban termasuk bagian dari ijtiha>d. Lebih lanjut dia
membagi tingkat mujtahid menjadi mujtahid mut}laq, mujtahid fi> al-maz}hab, mujtahid fi> al-fatwa>
kemudian tingkat terakhir adalah muqallid. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-
Isla>miyyah, vol. 1 (Kairo, n.d.), 112.
13
Ahmad Arifi, ‚Dinamika Pemikiran Fiqh dalam NU (Analisis atas Nalar Fiqh Pola Mazhab),‛
Ulumuna: Journal of Islamic Studies 13, no. 1 (2009): 189–216,
https://doi.org/https://doi.org/10.20414/ujis.v13i1.377.
14
Statement ini pernah dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstuction of
Religious Thought in Islam (Lahore: Kashmiri Bazar, 1971), 148-150. Tidak sepenuhnya salah, tetapi
diperlukan kehati-hatian dalam memahami pernyataan tersebut. Karena tidak sepenuhnya taqli>d berarti
kemalasan dalam berijtihad
15
ijtiha>d yang dilakukan secara kolektif
16
Lihat Mahrus As’ad dalam Pembaruan Pendidikan Islam Nahdlatul Ulama, Jurnal NIZHAM, Vol.
3, No. 2, 2014, 51—87
17
Istilah ini dipopulerkan oleh Syeikh Muhammad Ramadlan al-Buthi dalam bukunya al-La>
Madhhabiyyah. Dalam buku tersebut, al-Buthi mengemukakan bahwa kelompok yang tidak bermadzhab
berbahaya untuk eksistensi syari’at Islam, karena mereka akan cenderung sulit bertoleransi dengan
perbedaan pendapat. Untuk beragama menurut mereka tidak harus bermadzhab, cukup kembali kepada
Alquran dan Sunnah. Padahal memahami Alquran dan Sunnah memerlukan kompnen keilmuan dan hasil
analisis yang tidak lain pintunya adalah ulama pendahulu kita. Lihat al-Buthi, al-La> Maz}habiyyah Akht}aru
Bid’atin Tuhaddidu al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Suriah: Darul Farabi, 2005), 48—50

Vol.1, No.2, Juli, 2019


128 | Ibnu Hajar Ansori

sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nah{l: 43. Konsep ‚bertanya jika tidak
mengetahui‛ hakikatnya adalah dasar dari keniscayaan konsep bermaz}hab. Menolak
konsep bermazhab berarti menolak substansi ayat tersebut.

Bermaz}hab dalam beragama adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, dalam


mengaplikasikannya tetap harus mengedepankan sikap tawassut} dan tasa>muh dan
menghindari sikap ta’as}s}ub (fanatisme) berlebihan yang akan membawa umat menuju
perpecahan. Abu Zahrah18 mengungkapkan bahwa dilihat dari sejarah kemunculannya,
perbedaan mazhab kaum muslimin dapat dikelompokkan dalam dua kategori: perbedaan
mazhab yang tidak membawa kaum muslimin dalam perpecahan dan perbedaan yang
menyebabkan kaum muslimin terpecah belah, saling memusuhi, bahkan saling
membunuh. Hal itu terjadi disebabkan tidak adanya sikap moderat dalam bermazhab.

Sebagai wujud sikap tawassut} dan tasa>muh dalam bermaz}hab, dalam Aswaja NU,
tradisi kemaz}haban tidak hanya berlaku dalam satu aspek, namun beberapa aspek, seperti
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Dalam hal Aqidah, Aswaja NU bermaz}hab Ash’ariyyah dan
Ma>tu>ridiyyah; dalam hal Fiqh bermaz}hab pada empat Imam, yaitu Abu H{ani>fah Nu’ma>n
bin Tha>bit (w 150 H.), Ma>lik bin Anas (w. 179 H.), Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i> (w.
204 H.) dan Ah}mad bin H{anbal (w. 241 H.) dan dalam hal tasawwuf, Aswaja NU
menganut manhaj Abu al-Qa>sim al-Junaydi> al-Baghda>di> (w. 298 H.) dan al-Ghaza>li> (w.
505 H.).

D. Pelestarian Tradisi Kemazhaban dalam Pendidikan NU

Istilah pesantren memiliki pengertian sebagai model pendidikan tradisional yang para
siswanya –disebut santri- tinggal bersama dan belajar dan menginap di sebuah asrama di
bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai.19 Terkait dengan sejarah asal-
usul pesantren, muncul beberapa spekulasi teori untuk mengungkapnya. 20 Terlepas dari
adanya beberapa spekulasi tersebut, pendidikan pesantren telah menjadi identitas dan
tonggak pendidikan Islam tertua di Indonesia.

18
Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-Isla>miyyah, 12.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S,
1983), 18
20
Mohammad Hasan mengemukakan ringkasannya terkait asal usul pendidikan model pesantren.
Setidak-tidaknya ada tujuh teori yang untuk menelusuri asal usul terbentuknya pesantren di negeri ini:
pertama, pesantren sebagai bentuk tiruan dari pendidikan Hindu dan Buda sebelum Islam; kedua, model
pendidikan ala pesantren berasal dari India; ketiga, merujuk pada model pendidikan dari Baghdad;
keempat, perpaduan model pendidikan Hindu-Buda Indonesia dan India; kelima, perpaduan antara Hindu-
Buda Indonesai dan Baghdad; keenam, murni bentuk pendidikan Islam Indonesia berpadu dengan India dan
ketujuh, perpaduan antara model pendidikan di India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua. Lihat
Mohammad Hasan, Perkembangan Pendidikan Pesantren di Indonesia, Jurnal Tadris, Vol. 10, No. 1, 2015,
55—73

Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 129

Pesantren telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh yang otoritatif baik di tingkat


lokal, nasional maupun internasional. Selain juga melahirkan para pejuang kemerdekan.
Pendidikan ala pesantren juga telah terbukti berhasil merawat tradisi kemadzhaban yang
sudah ada, sekaligus bisa beradaptasi dengan pembaruan sesuai kebutuhan zaman. Lebih
vital lagi, pendidikan pesantren menjadi pusat kendali konsep keberagamaan ala ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah (aswaja).

Karena itu, NU yang notabene sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan


terbesar di Indonesia, menjadikan pesantren sebagai tonggak pendidikan Islam untuk
merawat tradisi kemadzhaban Aswaja. Bentuk pelestarian tradisi kemadzhaban dalam
pendidikan pesantren, khususnya yang berlatar belakang NU, dapat dilihat dari
kurikulum madrasah diniyyah yang dijalankan. Lebih khusus, dari kitab-kitab yang
dikaji. Misalnya bisa dilihat dari beberapa kitab dalam kategorisasi berikut.21

Madzhab Akidah Madzhab Fiqh Madzhab


Asy’ariyyah/ Hanafi Maliki Syafi’i Hanbali Tasawuf al-
Maturidiyyah Ghazali/Junaid
al-Baghdadi
I II III IV V VI
Ushu>l al-Di>n: Al-Furaidu al- Bida>yat al- Fath al-Qari>b Al-Mughni, Bida>yat al-
I’tiqa>d Ahl al- Bariyyah Mujtahid wa al-Muji>b, karya Syeikh Hida>yah, karya
Sunnah wa al- karya Syeikh Niha>yat al- karya Syeikh Ibn Qudamah Syeikh Abu
Jama>’ah, karya Mahmud Muqtas}id, Muhammad Hamid
Syeikh Hamzah al- karya Syeikh bin Qasim bin Muhammad
Muhamamd Dimashqi Ibn Rusyd Muhammad bin
Mukhtar bin al-Ghazi Muhammad al-
Athar al-Jawi Ghazali
Nu>r al-Z}ala>m, Ah}ka>m al- ‘Uyu>n al- Kifa>yat al- Al-H{a>wi, Risalat al-
karya Syeikh Qur’a>n Masa>-il, karya Akhya>r, karya Syeikh Mu’a>wanah,
Muhammad karya Syeikh Syeikh Abdul karya Syeikh Abdurrahman karya Syeikh
Nawawi bin Umar Abu Bakar al- Wahhab bin Taqiyyuddin bin Umar al- al-Habib
al-Bantani Jas}s}s>s} Ali bin Nasr Abu Bakr bin Basri Abdillah bin
al-Baghdadi Muhammad Alawi al-
al-Husaini Haddad
Bahjat al-Wasa>-il, Al-Hida>yah fi> Raud}at al- Matn al- Al-Kifa>yah fi Ihya> ‘Ulu>m al-
karya Syeikh al-Fiqh al- Mustabi>n, Gha>yah wa al-Fara>-id, Di>n, karya
Muhammad H{anafi karya Syeikh al-Taqri>b, karya Syeikh Syeikh Abu
Nawawi bin Umar karya Syeikh Muhammad karya Syeikh Abul Mahasin Hamid
al-Bantani Abu Bakr al- Abdul Aziz Abu Syuja’ Yusuf bin Muhammad
Marghinani bin Ibrahim al- Umar al- bin
Tunisi Mardawi Muhammad al-
Ghazali
Al-Fiqh al-Akbar, Al-Lubab fi> Al-Tahdzib fi> Minha>j al- Al-Waji>z, Futu>h al-
karya Syeikh Sharh} al-Kita>b, Ikhtis}ari al- Qawi>m, karya karya Syeikh Ghaib, karya
Muhammad bin karya Syeikh Mudawwanah, Syeikh Ibn Sirajuddin Syeikh Abdul
Idris al-Syafi’i Abdul Ghani al- karya Syeikh Hajar al- Abi Abdillah Qadir al-Jilani
Dimasyqi al- Khalaf bin Abi Haitami al-Dujaili
Hanafi al-Qasim al-
Azdi

21
Penulis hanya mengambil beberapa kitab yang lazim dikaji di pesantren sebagai sampel.

Vol.1, No.2, Juli, 2019


130 | Ibnu Hajar Ansori

I II III IV V VI
‘Aqidat al- Al-Ashba>h wa Al-Muhaz}z}ab, Is’a>d al- Al-La-a>li al- Minha>j al-
‘Awa>m, karya al-Naz}a>ir, karya karya Syeikh Rafi>q, karya Bahiyyah, ‘A<bidin, karya
Syeikh Ahmad Ibn Najim al- Muhammad al- Syeikh karya Syeikh Syeikh Abu
bin Muhammad Hanafi Mujaji Muhammad Muhammad Hamid
bin Sayyid bin Salim bin bin Muhammad
Ramadlan al- Sa’id al- Abdirrahman bin
Marzuqi Syafi’i Ali Ismail Muhammad al-
Ghazali
Ti>ja>n al-Durari, Ta’si>s al-Naz}ar, Al-Kulliyya>t Niha>yat al- Al-Muh}arrar Was}aya> al-
karya Syeikh karya Abu> Zaid al-Fiqhiyyah, Zain, karya fi al-H{adi>th, A<ba’ li al-
Ibrahim al-Bajuri al-Dabusi karya Syeikh Syeikh karya Syeikh Abna>, karya
Abu Abdillah Muhammad Syamsuddin Syeikh
al-Muqari bin Umar al- Muhammad Muhammad
Bantani bin Ahmad Syakir
al-Hanbali
Al-Iba>nah ‘an Al-Maba>di al- ‘Umdat al- Muka>shafat al-
Shari>’ati al- Fiqhiyyah, Ah}ka>m, karya Qulu>b, karya
Firqah al-Na>jiyah karya Syeikh Syeikh Abdul Syeikh Abu
wa Muja>nabat al- Umar Abdul Ghani al- Hamid
Firqah al- Jabbar Maqdisi Muhammad
Madhmu>mah, bin
karya Syeikh Abu Muhammad al-
Abdillah Ghazali
Ubaidillah bin
Muhammad bin
Batthah al-
Hanbali
Al-Iba>nah ‘an Al-H{ujaj al- Qurratul Mawa>hib al-
Us}u>l al-Diya>nah, Mabniyyah, ‘Ain, karya Fatta>h al-
karya Syeikh Abu karya Syeikh Syeikh Kari>m, karya
al-Hasan al- Jalaluddin al- Muqbil bin Syeikh Abdul
Asy’ari Suyuti Hadi al- Fattah al-
Wadi’i Yafi’i
Sullam al- Al-Qawa’id al-
Muna>jah, Kashfiyyah,
karya Syeikh karya Syeikh
Muhammad Abdul Wahhab
bin Umar al- al-Sya’rani
Bantani
Fata>wa> al- Tanbi>h al-
Subki, karya Mughtarri>n,
Syeikh karya Syeikh
Taqiyyuddin Abdul Wahhab
al-Subki al-Sya’rani
Nas}a>ih} al-
‘Iba>d, karya
Syeikh
Muhammad
Nawawi bin
Umar al-
Bantani

Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 131

I II III IV V VI
Qat}r al-Ghaith,
karya Syeikh
Muhammad
Nawawi bin
Umar al-
Bantani
Al-Risa>lah al-
Qushairiyyah,
karya Syeikh
Abul Qasim al-
Qusyairi
Busta>n al-
‘A<rifi>n, karya
Syeikh
Zakariya
Muhyiddin bin
Syarf al-
Nawawi

E. Kesimpulan

Memahami perbedaan cara pandang disertai kemampuan memahami teks-teks


keagamaan secara komprehensif dan menghargai karya ulama pendahulu -termasuk
as>ha>b al-Maz}a>hib- adalah anugerah yang akan melahirkan sikap tawassut} dalam
beragama dan bermasyarakat; menumbuhkan sikap taysi>r (mempermudah) bukan ta’si>r
(mempersulit) dan sikap tabshi>r (membuat gembira) bukan tanfi>r (membuat lari
menjauh); memunculkan sikap terbuka dengan dunia luar dan mengedepankan dialog dan
bersikap toleran. Demikian semangat proporsionalisme dan moderasi sikap yang
dilestarikan dalam Aswaja NU.

Adalah hak dan kewajiban bagi kita untuk memahami dengan baik tentang prinsip-
prinsip ajaran Aswaja dan meneguhkannya sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr)22 dan
berperilaku, selanjutnya mewariskannya kepada generasi berikutnya sebagai upaya
penyelamatan dan peneguhan diri juga keluarga agar tetap mengikuti manhaj ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah. Termasuk wujud kepedulian tersebut adalah upaya mengawal
ajaran Aswaja agar tetap dipahami dan diterapkan secara baik dalam hidup beragama
dan bermasyarakat.

Selain itu, kemurnian ajaran Aswaja tetap perlu mendapat perhatian serius, tidak
terkecuali dalam dunia akademis yang merupakan pintu terbuka untuk masuknya
pelbagai paham lintas maz}hab dan lintas kultur, bahkan lintas agama. Dalam hal ini,
pesantren berperan penting sebagai pusat kontrol untuk merevitalisasi tradisi
kemadzhaban melalui kurikulum pendidikannya, karena melaui tradisi kemadzhaban
tersebut manhaj berfikir dan prilaku keberagamaan akan lebih terarah.

22
Lihat Tejo Waskito, Pergeseran Paradigma Keislaman Nahdlatul Ulama dan Implikasinya
terhadap Pengembangan Institusi Pendidikan Nahdlatul Ulama, Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2017, 159--185

Vol.1, No.2, Juli, 2019


132 | Ibnu Hajar Ansori

F. Referensi

Djohan Effendi, A Renewal Breaking Tradition: The Emergence of a New Discourse in


Indonesia’s Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era (Yogyakarta:
Interfidei, 2008)
Abdul Karim Munthe dkk., Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Jakarta:
Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhori, 2017)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, I (Jakarta:
Paramadina, 1999)
Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan: Islam dan Muslim Serial Esei Sosiologi
Agama I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Luwis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1973)
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet. II (Ciputat: Gaung
Persada Press, 2011)
Zulkarnain Fisher, ‚Fenomena Mazhab dan Sekte-sekte di Indonesia: Sebuah Studi
Medan Dakwah,‛ Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 6, no. 1
(2012)
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-Isla>miyyah, vol. 1 (Kairo, n.d.)
Ahmad Arifi, ‚Dinamika Pemikiran Fiqh dalam NU (Analisis atas Nalar Fiqh Pola
Mazhab),‛ Ulumuna: Journal of Islamic Studies 13, no. 1 (2009)
Muhammad Iqbal, The Reconstuction of Religious Thought in Islam (Lahore: Kashmiri
Bazar, 1971)
Mahrus As’ad ‚Pembaruan Pendidikan Islam Nahdlatul Ulama‛, dalam Jurnal NIZHAM,
Vol. 3, No. 2, 2014
al-Buthi, al-La> Maz}habiyyah Akht}aru Bid’atin Tuhaddidu al-Shari>’ah al-Isla>miyyah,
(Suriah: Darul Farabi, 2005)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3S, 1983)
Mohammad Hasan, Perkembangan Pendidikan Pesantren di Indonesia, Jurnal Tadris,
Vol. 10, No. 1, 2015
Tejo Waskito, Pergeseran Paradigma Keislaman Nahdlatul Ulama dan Implikasinya
terhadap Pengembangan Institusi Pendidikan Nahdlatul Ulama, Tesis UIN Sunan
Kalijaga, 2017

Jurnal Idrak
KARAKTERISTIK PENDIDIK
MENURUT QS. MARYAM: 12-15
Muhammad Toguan
ntoguan71@gmail.com
Pascasarjana UIN Sumatera Utara

Abstrak

Berdasarkan QS. Maryam: 12-15, penelitian ini bermaksud menjelaskan bagaimana


seharusnya karakteristik seorang pendidik. Dengan telaah pustaka yang dilakukan,
ditemukan bahwa karakteristik pendidik dalam ayat yang dimaksud berbasis sosok Nabi
Yahya. Penerjemahannya adalah (1) seorang guru harus mendedikasikan hidupnya untuk
ilmu. (2) guru harus berintegritas, yaitu sesuai antara keilmuannya dan pelaksanaan
keilmuan itu sendiri dalam kesehari-hariannya. (3) guru harus lemah lembut dan berkasih
sayang. (4) guru harus suci dari pelanggaran-pelanggaran norma yang melekat dalam
keguruannya. (5) guru, dalam hubungannya dengan Allah, harus memiliki karakteristik
taqwa. (6) guru, dalam hubungannya dengan pendidiknya terdahulu, tidak boleh lupa dan
semestinya berbakti sebagaimana ia berbakti kepada kedua orang tuanya, (7) guru,
dengan rekan sejawatnya, harus memiliki karakteristik yang tidak sombong dan durhaka.
(8) guru, secara umum, harus memiliki karakteristik yang selamat dalam kehidupannya
dan menyelamatkan para peserta didiknya. Dengan delapan karakteristik tersebut, terlihat
bahwa ada relevansi yang kuat dengan Kode Etik Guru Indonesia. Relevansinya
mencakup segala hubungan guru, baik dengan peserta didik, orangtua/wali murid,
masyarakat, sekolah dan rekan sejawat, profesi, organisasi profesinya, dan pemerintah.

Keywords: Q.S. Maryam, Karakteristik, Pendidik

A. Pendahuluan

D
ada yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 2016 tentang Pendidikan,1
sebagaimana diolah oleh Aisya Maura menjadi tulisan yang berjudul Fakta
Kualitas Guru di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui menyatakan bahwa
pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Dalam
hal itu, kualitas guru yang ada di Indonesia menempati ukuran ke-14 dari 14 negara
berkembang di dunia. Secara statistik, jumlah guru mengalami peningkatan sebanyak
382% dari 1999/2000 menjadi sebanyak 3 juta orang lebih, padahal jumlah peserta didik
hanya mengalami peningkatan 17%. Dari 3.9 juta guru yang ada, terdapat 25% guru
yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum
1
The Global Education Monitoring Report Team, Education for People and Planet: Creating
Sustainable Futures for All (France: UNESCO Publishing, 2016)

Vol.1, No.2, Juli, 2019


134 | Muhammad Toguan

memiliki sertifikat profesi. Dengan itu, awalnya, muncul harapan kegiatan belajar yang
optimal dapat tercapai. Sayangnya, kuantitas guru tidak sejalan dengan kualitasnya.2

Hal itu tentu menjadi sesuatu keprihatinan, yaitu kualitas guru yang tidak sejalan
dengan kuantitasnya. Baik lingkup pendidikan secara umum ataupun pendidikan Islam
secara khusus. Hal itu karena guru merupakan faktor penting dalam menjalankan
pendidikan. Al-Rasyidin, dalam kajian filsafat pendidikan Islam, menyatakan bahwa
pendidik –yang di antara penerjemahan praktisnya adalah guru, adalah salah satu unsur
yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dan harus dipenuhi secara esensial,
selain peserta didik, kurikulum, metode dan evaluasi.3

Untuk permasalahan tersebut, kualitas guru sangat erat kaitannya dengan


karakteristik. Itu karena, ia adalah jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi
satu kesatuan, tidak terpecah belah dalam fungsi-fungsi, atau manusia seutuhnya.4
Artinya, guru yang tidak memiliki harapan untuk melangkah lebih jauh adalah guru yang
tidak mempunyai karakteristik yang jelas, yang bisa jadi karena pandangannya telah
teralihkan pada beban tanggung jawab tertentu yang harus dilaksanakan untuk
memeroleh gaji yang diberikan Negara atau organisasi swasta yang menyelenggarakan
pendidikan sebagaimana kritik Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf dalam karya
editan mereka berjudul Krisis Pendidikan Islam.5

Dengan latar belakang demikian, peneliti merasa tertarik untuk membahasnya


secara mendalam dengan merujuk kepada ayat-ayat Alquran. Hal ini mengacu kepada
pendapat Sa’id Ismail Ali yang dikutip oleh Hasan Langgulung, bahwa sumber
pendidikan Islam terdiri atas enam, yaitu Alquran, as-Sunnah, perkataan sahabat,
kemaslahatan umat, tradisi atau adat kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran para
ahli. Keenam sumber tersebut harus didudukkan secara herarkis, yang berarti rujukan
pendidikan Islam harus diawali dari Alquran untuk kemudian dilanjutkan pada sumber-
sumber berikutnya.6 Ayat Alquran yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian ini
adalah empat ayat dalam QS. Maryam, yaitu ayat 12-15.

2
https://blog.ruangguru.com/fakta-kualitas-guru-di-indonesia-yang-perlu-anda-ketahui. Diakses 13
Maret 2019, 09.35 WIB.
3
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.vii
4
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2007) h. 2.
5
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Penerbit Risalah, 1986), h.153
6
Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), h.43.

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 135

B. Sketsa Kehidupan Nabi Yahya as: Sebuah Cerminan Karakteristik Pendidik

Ayat-ayat QS. Maryam 12-15 secara menyeluruh dapat dipahami sebagai potongan
sketsa dari keseluruhan kehidupan Nabi Yahya as. Tentang Nabi ini, dalam Alquran, ada
di tiga tempat. Selain QS. Maryam 12-15 adalah QS. Ali Imran 38-39 dan QS. Maryam
7.

Sampai di sini, terlihat bahwa sebenarnya kelompok ayat QS. Maryam 12-15
adalah kelompok yang menceritakan lebih detail perihal sketsa kehidupan Nabi Yahya,
dibanding dua kelompok lainnya tersebut di atas. Para ahli juga, ketika menceritakan
kehidupan Nabi Yahya, tidak akan jauh dari penjelasan ayat-ayat di atas. Di antaranya
adalah yang diuraikan oleh Ahmad Bahjat dalam kitab berjudul Anbiya>’ Alla>h.7

Diceritakan oleh sejarawan asal Kairo tersebut bahwa Yahya adalah seorang Nabi
yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh siapapun sebelum dirinya (lam
yaj’al lahu min qabl syabi>ha), dan tidak diserupai siapapun (la> matsi>l). Itu karena, ia
adalah Nabi yang telah menyaksikan kebenaran Allah swt., (syahida al-haq ‘azza wa
jalla) dan diakui Allah memiliki kelembutan dari sisi-Nya (wa huwa an-Nabiy allazi>
qa>lahu al-Haq wa hana>nan min ladunna).8

Terkait hal ini juga menjadikan Yahya sebagai contoh dalam menetapkan
karakteristik pendidik menjadi menarik untuk dilakukan. Lebih-lebih, ketika dikaitkan
dengan proses kelahiran Yahya sendiri yang diceritakan oleh dua kelompok ayat selain
QS. Maryam 12-15 yaitu QS. Ali Imran 38-39 dan QS. Maryam 7, yaitu ketika Nabi
Zakariya mendoakannya dengan suara pelan (‫)إذ نادى ربه نداء خفيا‬9 karena tidak mau
dianggap mengada-ngada karena umurnya telah beranjak sangat tua (al-ra’wanah
likibarihi).10

Ahmad Bahjat, dalam literatur yang telah disebutkan sebelumnya menilai bahwa
doa Nabi Zakariya dan kelahirannya di masa tua sang ayah adalah mukjizat di antara
mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan Allah kepadanya. Mukjizat-mukjizat yang
dimaksud itulah yang menjadikan Nabi Yahya begitu berbeda karakteristiknya di
banding dengan Nabi-Nabi yang lainnya. ‚Dalam kelahiran Nabi Yahya, ada mukjizat,
yaitu ketika muncul dorongan dalam benak ayahnya Nabi Zakariya untuk berdoa
meminta generasi penerus sedangkan umurnya telah lanjut dan hampir putus asa di
dalam keadaannya (tanpa generasi tersebut).‛11

7
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.324-329
8
Ibid, 324.
9
QS. Maryam: 3
10
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.10
11
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.325-326

Vol.1, No.2, Juli, 2019


136 | Muhammad Toguan

Alquran sendiri menceritakan kronologis hampir lengkapnya dalam QS. Maryam 1-


11, yang dapat juga dinilai sebagai muna>sabah antar ayat dengan tema penelitian ini,
yaitu karakteristik pendidik.

Dari penjelasan ayat tersebut terlihat bahwa bahkan sebelum lahirnya Nabi Yahya,
Nabi Zakariya telah merencanakannya untuk menjadi generasi yang meneruskan
perjuangannya sebagai Nabi. Itu karena, kehidupan Nabi Zakariya, yang dilanjutkan oleh
Nabi Yahya, adalah kehidupan yang dipimpin oleh pemimpin yang bodoh sekaligus
zalim. Tentang kebodohan itu, Ahmad Bahjat menulis bahwa karakteristik berbeda yang
ditunjukkan oleh Nabi Yahya terlihat bahkan ketika ia kecil (ghari>bah ‘an dunya al-
athfa>l), yaitu ketika setiap anak disibukkan dengan canda-tawa kesenangan (yuma>risu>n
al-lahw), ia justru menyibukkan dengan perbaikan sepanjang waktu (ja>da thu>la al-waqt).
Jika anak-anak yang lainnya bergembira dengan menyiksa hewan-hewan, Nabi Yahya
justru memberikan makan hewan-hewan itu dengan kasih sayangnya (hana>nan ‘alaiha>),
bahkan ketika ia tidak mendapat sisa makanan untuk dinikmati (wa huwa bighair al-
ta’a>m). Dalam hal tersebut, Nabi Yahya kemudian muncul sebagai seseorang yang
memiliki hikmah dari masa kecilnya, yang melengkapi kesenangannya membaca, yang
tidak disenangi oleh anak-anak lain seumurannya.12

Dalam hal ini, sebenarnya ada nilai penting yang dapat dipetik dalam ranah
pendidikan. Dari sisi praktis, nilai ini telah dikejewantahkan oleh para Kyai di pondok-
pondok Pesantren, terutama di Jawa untuk kemudian dibahasakan dalam system
manajemen Pesantren sebagai open-close of selection system, yaitu ketika ada beberapa
pesantren yang open terhadap kepemimpinan pesantren terhadap orang-orang yang
kompeten dari tubuh keluarga Kyai, dan sementara itu pula ada yang lebih
mengutamakan zurriyah atau keluarganya sendiri sehingga dianggap close terhadap
kader-kader binaan dari kelompok penpendidiks lainnya atau santri-santri pesantren itu
sendiri. 13 Untuk kasus yang close biasanya terdapat cerita bahwa amalan-amalan yang
dilakukan Nabi Zakariya dilakukan juga oleh para Kyai, yaitu mengkhususkan doa-doa
dan harapan-harapannya untuk melahirkan anak yang akan meneruskan perkembangan
pesantrennya.

Maka, ketika ditemukan keterangan yang jelas dari sketsa kehidupan Nabi Yahya
di atas bahwa ia memang telah dipersiapkan jauh-jauh sebelum kelahirannya, dalam hal
inilah membahasnya dalam perihal karakteristik dianggap tepat. Itu karena, yang
dimaksud dengan karakteristik lebih dikhususkan kepada sifat seseorang yang melekat

12
Ibid, h.326.
13
Tentang ini dapat dibaca dalam penelitian Mardiyah, ‚Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara
Budaya Organisasi di Pondok Modern Gontor, Lirboyo-Kediri, dan Pesantren Tebuireng-Jombang‛ dalam
Jurnal Tsaqafah, Vol.8, No.1, April, 2012, h.67-104

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 137

secara khas dalam dirinya dan menjadi watak tertentu, yang itu kemudian tercorakkan
dalam karakter yang bermakna kepribadian, ciri khas seseorang, gaya atau sifat khas.14

Untuk itu, karakteristik Nabi Yahya yang kemudian muncul dalam sketsa
kehidupannya adalah hana>n (lemah lembut), zaka>h (suci), ‘ilm (cerdas), fadl
(berwibawa). Ia pun seorang yang rajin beribadah (al-tanassuk) hingga diceritakan bahwa
dirinya sering keluar ke pegunungan-pegunungan atau lembah-lembah, untuk kemudian
berdiam di sana beberapa bulan lamanya untuk beribadah kepada Allah, menangis di
depannya, bahkan ketika dirinya harus makan dari dedaunan pohon yang ditemuinya, dan
minum dari air sungai Yordan, dan tak terkecuali, hingga makan rerumputan hanya
karena tidak memiliki kekayaan sama sekali.15

Untuk itu pula, mencermati bagaimana sketsa kehidupan Nabi Yahya dan melihat
relevansinya dengan pendidikan zaman kini, akan terlihat bagaimana perbedaan
pandangannya dengan pandangan pendidik-pendidik masa kini terhadap profesinya yaitu
pendidik. Jika Nabi Yahya diibaratkan sebagai pendidik dalam persoalan kenabiannya,
maka ia menjalaninya dengan teguh bahkan mengeluarkan pengorbanan atasnya. Maka,
pendidik-pendidik saat ini justru melihat bahwa pendidik adalah peluang profesi yang
dapat berkorban untuknya. Terlepas dari itu, perihal relevansi ini akan dibahas setelah
menguraikan karakteristik pendidik dalam QS. Maryam 12-15, yang tentunya juga
sedikit banyak akan merujuk kepada sketsa kehidupan Nabi Yahya di atas.

C. Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15

1. Berdedikasi Terhadap Ilmu (khuz al-kita>b bi quwwah)


Tentang ini, Ibnu Katsir menuliskan, ‚pelajarilah Kitab itu dengan kuat, yaitu
dengan sungguh-sungguh (Jidd), penuh antusias (Hirs) dan semaksimal mungkin
(ijtiha>d).‛16 Adapun M. Quraish Shihab, menafsirkannya dengan pernyataan, ‚Ayat di
atas langsung mengabarkan bahwa permohonan Zakariya as. untuk memeroleh penerus
dan pewaris telah terkabulkan dengan perintah kepada anak itu untuk mengambil al-
kita>b dengan sungguh-sungguh sambil menguraikan anugerah Allah kepadanya, dalam
rangka pengabulan doa orang tuanya.17 Baik penafsiran Ibnu Katsir, maupun penafsiran
M. Quraish Shihab, kedua-duanya dapat dipahami mempunyai pesan yang sama, bahwa
–untuk konteks penelitian ini- seorang pendidik semestinya berkarakteristik cinta ilmu,
kuat dalam meraihnya, dan gigih menguraikannya karena itu yang sebenarnya menjadi
penafsiran dari upaya memahami al-kita>b. Perbedaannya adalah, Ibnu Katsir tidak

14
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial
sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.11
15
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.327
16
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, jilid 8 (Tangerang:
Lentera Hati, 2002), h.160

Vol.1, No.2, Juli, 2019


138 | Muhammad Toguan

menyampaikan alasan di balik perintah memahami al-kita>b, sedangkan M. Quraish


Shihab menyatakannya sebagai kegiatan yang terangkai dengan anugerah Allah
kepadanya karena doa orang tuanya terkabul. Dalam hal ini, istilah yang digunakan
untuk penelitian ini adalah pendidik hendaknya berdedikasi terhadap ilmu.

Terkait itu, karya Muhammad bin Khalifah al-Tamimy berjudul Tha>lib al’ilm:
Bayn Ama>nah al-Tahammul wa Mas’u>liyah al-Ada>’ patut untuk diperhatikan karena,
sebagaimana tercorak dalam judul buku tersebut, kegiatan menuntut ilmu sebenarnya
tidak sebatas pencarian terhadap ilmu yang merupakan amanah agama untuk
menunaikannya, tetapi juga melekat dalam amanah itu tanggung jawab untuk
melaksanakan dan mengamalkannya. Itu karena, kegiatan menuntut ilmu dalam Islam
sering didasarkan pada QS. At-Taubah: 122 yang melingkupi dua pembahasan, pertama
tentang kewajiban sebagian orang untuk memahami (al-Tafaqquh) ilmu-ilmu agama, dan
kedua tentang kewajiban sebagian orang yang telah memahami ilmu-ilmu agama itu
untuk mengingatkan (al-Inza>r) kaumnya ketika telah kembali kepada mereka.18

Dengan demikian, maka penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Katsir ataupun M.
Quraish Shihab terhadap al-Kita>b yang harus dipahami Nabi Yahya adalah dalam
kerangka berpikir dua dimensi: memahaminya dan bertanggungjawab atas
pemahamannya. Demikian juga halnya dengan pendidik. Karakteristik pertama yang
harus melekat dalam diri seorang pendidik ialah harus berdedikasi terhadap ilmu:
pendidik paham atas yang diajarkannya dan pendidik juga mengerti bagaimana tanggung
jawab yang melekat terhadap kepadanya.

Untuk itu, ayat tersebut tidak serta merta mencukupkan seruan memahami al-kita>b
dengan perintah (al-amr) berbunyi ‚ambillah‛ saja, melainkan juga menerangkan
bagaimana seharusnya upaya memahami al-kita>b tersebut, yaitu bi quwwah. Ibnu Katsir
menjelaskan pengertian al-quwwah yaitu dengan sungguh-sungguh (Jidd), penuh
antusias (Hirs) dan semaksimal mungkin (ijtiha>d).‛19 Sedangkan M. Quraish Shihab
mencukupkan penafsiran al-quwwah dengan kata sungguh-sungguh sebagaimana
dipahami pembaca Indonesia sambil menguatkan pemahaman bahwa memahami al-kita>b
itu adalah karena sesungguhnya al-Kita>b adalah anugerah lain selain keterkabulan doa
orang tuanya. 20

Keterangan sebagaimana di atas menunjukkan bahwa Ibnu Katsir memberi


penekanan pada kandungan arti dari al-quwwah; al-jidd, al-hirsh, al-ijtiha>d, sedangkan
M. Quraish Shihab lebih mengedepankan latar belakang al-quwwah itu sendiri. Untuk
konteks karakteristik pendidik, maka dari karakteristik berdedikasi terhadap ilmu, dapat

18
Muhammad bin Khalifah al-Tamimy, Tha>lib al’ilm: Bayn Ama>nah al-Tahammul wa Mas’u>liyah
al-Ada>’ (Kuwait: Muassasah Gharas, 2002), h.4-5
19
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran h.160

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 139

diturunkan darinya karakteristik lain yaitu, bersungguh-sungguh dalam kegiatan


mengajar dan mendidik, antusias dalam melaksanakan, harus maksimal menjalani
profesi. Untuk ini juga, pendidik perlu tahu bahwa kegiatannya itu adalah upaya untuk
bersyukur kepada anugerah yang Allah berikan kepadanya.

2. Memiliki integritas (A<taina>hu al-hukma)

Ibnu Katsir menyatakan tentang (


‫ ) ُحْلا ُحْل َم‬adalah pemahaman (al-fahm), ilmu (al-
‘ilm), kesungguhan (al-jidd), tekad (al-‘azm), senang dan gemar kebaikan (al-iqba>l ‘ala
al-khair), serta amat bersungguh-sungguh di dalamnya (al-ikba>b wa al-ijtiha>d) 21
sedangkan M. Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama memang berbeda-beda pendapat
tentang makna kata (
‫) ُحْلا ُحْل َم‬ pada ayat di atas. Di samping makna yang ditulisnya

(hukum, yakni pemahaman tentang kandungan Taurat), ada yang memahaminya dalam
arti kecerdasan akal, atau firasat, ada juga yang memahaminya dalam arti kenabian, atau
pengatahuan tentang etika pergaulan dan pelayanan. 22 Oleh karena pemaknaan yang
begitu beragam yang ditampilkan oleh kedua mufassir di atas, peneliti memandang
bahwa makna-makna itu dapat disatukan dalam konteks karakteristik pendidik dengan
istilah integritas.

Tentang ini, dalam Conference Proceeding Annual International Conference on


Islamic Studies (AICIS XII) yang ditulis Iswantir M berjudul Integritas Pendidik
Profesional dalam Melaksanakan Tugas dan Tanggung Jawabnya Perspektif Pendidikan
Islam, diterjemahkan bahwa integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang
menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibaan.23 Maka, kumpulan pemahaman (al-fahm), ilmu (al-‘ilm),
kesungguhan (al-jidd), tekad (al-‘azm), senang dan gemar kebaikan (al-iqba>l ‘ala al-
khair), serta amat bersungguh-sungguh di dalamnya (al-ikba>b wa al-ijtiha>d) yang
dirangkai dengan kecerdasan akal, atau firasat, kenabian, atau pengatahuan tentang etika
pergaulan dan pelayanan, adalah masuk ke dalam pengertian tersebut di atas dengan
kerangka al-mudrik dan daya-dayanya yang dibahas oleh Hasan Asari dalam Menguak
Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik.24

21
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran h.160
23
Iswantir M, ‚Integritas Pendidik Profesional dalam Melaksanakan Tugas dan Tanggung
Jawabnya Perspektif Pendidikan Islam‛ dalam Conference Proceeding Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS XII), h.3047
24
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik
(Medan: Perdana, 2017), h.117-119

Vol.1, No.2, Juli, 2019


140 | Muhammad Toguan

Dalam karya yang disebut terakhir itu, Guru Besar UIN Sumatera Utara tersebut
mengkaji fakultas-fakultas pengetahuan yang dibahas Imam al-Ghazali dalam karya-
karyanya, yaitu Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Ayyuha al-Walad, Fati>hat al-‘Ulu>m, Miza>n al-
‘Amal, Misyka>t al-Anwa>r dan al-Munqiz min Dhala>l. Melalui pendekatan kitab-kitab
tersebut, maka disimpulkan olehnya bahwa Al-Ghazali membagi fakultas pengetahuan
menjadi dua aspek: aspek eksternal, yaitu panca indera yang lima, yang tidak dibahasnya
secara rinci, dan aspek internal psikologis yang dapat dirinci menjadi lima daya. Dengan
catatan, kelima daya tersebut dapat ditemui dari buku-buku yang telah disebut
sebelumnya, meskipun dalam penggunaan terminologi saling berbeda, walaupun tidak
terlalu jauh.25

Kita>b Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, misalnya, dalam kajian Hasan Asari menyebutkan
bahwa ada lima daya yang menjadi fakultas pengetahuan bagi manusia, yaitu akal sehat
(al-Hiss al-Musytarak), daya imajinasi (takhayyul), daya pikir (tafakkur), daya ingat
(tazakkur), dan daya pemeliharaan (al-hifz). Kesemuanya ini adalah tentara hati (judu>d
al-Qalb), yang selaras dengan mara>tib al-arwa>h al-basyariyah (tingkatan-tingkatan jiwa
manusia) yang dibahas Al-Ghazali dalam Misyka>t al-Anwa>r, yaitu al-hassa>s (panca
indera), al-ru>h al-khaya>li (jiwa imajinatif), al-ru>h al-‘aqly (jiwa intelektual), al-ru>h al-fikr
(jiwa kontemplatif) dan al-ru>h al-qudsi al-nabawi (jiwa kenabian transendental).26

Uraian sedemikian rupa, dilanjutkan oleh Hasan Asari dengan penjelasan


mekanisme pengetahuan tersebut hadir dalam diri manusia. Ia menulis secara lengkap
sebagai berikut:27

Fakultas-fakultas al-mudrik ini bekerja sebagai tim, masing-masing menjalankan


fungsinya, agar seseorang memeroleh pengetahuan. Secara ringkas, proses kerja
dari fakultas-fakultas ini adalah sebagai berikut. Ketika seseorang berhubungan
dengan sebuah objek melalui panca inderanya, dia akan memeroleh bayangan dari
objek tersebut, pada bagian imajinasi (al-khayya>l) dari otaknya. Bayangan ini
dapat bertahan di sana dengan beroperasinya fakultas penyimpanan (ha>fizah).
Dengan adanya bayangan yang tersimpan baik, sekarang, dengan menggunakan
fakultas berpikir (fikr), dia bisa melakukan proses rasionalisasi tentang bayangan
yang ada. Tetapi proses berpikir dan rasionalisasi membutuhkan lebih dari satu
bayangan, untuk pelengkap, pembanding, dan sebagainya. Di sinilah fakultas
ingatan (za>kirah) berfungsi dengan memanggil bayangan-bayangan lama yang
tersedia dalam pembendaharaan (ha>fizah). Akhirnya, bayangan sensoris yang telah
mengalami proses ini dicocokkan dengan common sense. Pada tingkatan proses ini,
seseorang sudah akan mampu membangun pemahamannya sendiri tentang objek
tersebut.

25
Ibid, h.118
26
Ibid.
27
Ibid, h.119

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 141

Penjelasan-penjelasan di atas yang kiranya menjadikan pemahaman (al-fahm), ilmu


(al-‘ilm), kesungguhan (al-jidd), tekad (al-‘azm), senang dan gemar kebaikan (al-iqba>l
‘ala al-khair), serta amat bersungguh-sungguh di dalamnya (al-ikba>b wa al-ijtiha>d) yang
dirangkai dengan kecerdasan akal, atau firasat, kenabian, atau pengetahuan tentang etika
pergaulan dan pelayanan sebagai sebuah integritas yang dimaksud di awal pembahasan.
Maka, baik penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab dapat diterima sebagai suatu
karakteristik bagi pendidik.

Tentang integritas juga, Nurmaida dalam Simposium Guru Nasional 2016 pernah
mengulasnya panjang lebar. Dijelaskan olehnya bahwa terkait integritas guru, ada dua
hal yang harus diuraikan. Pertama, adalah bagaimana membentuk integritas tersebut.
Kedua, bagaimana kemudian mengevaluasinya.

Untuk yang pertama, dalam membentuk integritas guru, yang harus dilakukan
adalah (1) memiliki kejujuran akademik, (2) terus belajar sehingga menjadi profesional,
(3) mengembangkan SQ, EQ, dan IQ dalam hidup, (4) tepat waktu dan janji, (5)
konsisten dengan apa yang dikatakan dan dipikirkan, (6) saling terbuka dengan teman,
(7) selalu refleksi tentang apa yang dibuat, (8) tidak melanggar kode etik, (9) menjadi
teladan, (10) berani saling menegur dan mengungkapkan ketidakberesan, (11) jujur
antara guru dan siswa, dan (12) berani mengakui kesalahan. Adapun yang kedua, yang
mengevaluasi integritas adalah didekatinya dengan pendekatan kuantitatif, yaitu
membuat indikator-indikator.28

Maka, kembali ke penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab di atas, hal-hal
yang tersebut di atas seperti pemahaman (al-fahm), ilmu (al-‘ilm), kesungguhan (al-jidd),
tekad (al-‘azm), senang dan gemar kebaikan (al-iqba>l ‘ala al-khair), serta amat
bersungguh-sungguh di dalamnya (al-ikba>b wa al-ijtiha>d) yang dirangkai dengan
kecerdasan akal, atau firasat, kenabian, atau pengetahuan tentang etika pergaulan dan
pelayanan, adalah bentuk integritas yang ditawarkan oleh Pendidikan Islam.

Dalam konteks QS. Maryam 12-15 yang menceritakan Nabi Yahya misalnya, sang
Nabi dijelaskan sebagai pribadi yang integratif yang memiliki pemahaman, ilmu,
kesungguhan, tekad, baik, dan bersungguh-sungguh dalam pengetahuan dan etikanya.
Keterangan yang dimaksud telah dibahas dari buku Ahmad Bahjat yang diuraikan
sebelumnya dalam Sketsa Kehidupan Nabi Yahya as, sehingga kiranya tidak perlu untuk
diulang. Hanya sebagai penekanan, Nabi Yahya adalah seorang Nabi yang memiliki
karakteristik berbeda yang ditunjukkan ketika ia kecil (ghari>bah ‘an dunya al-athfa>l),
setiap anak disibukkan dengan canda-tawa kesenangan (yuma>risu>n al-lahw), sedangkan
ia justru menyibukkan diri dengan perbaikan sepanjang waktu (ja>da thu>la al-waqt). Di
antara perbaikan tersebut adalah ketika Abdullah bin Mubarok mengatakan bahwa

28
Nurmaida, Membangun Integritas Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran , Makalah Simposium
Guru Nasional 2016. Tidak diterbitkan. h.1-19

Vol.1, No.2, Juli, 2019


142 | Muhammad Toguan

Ma’mar berkata, ‚Beberapa anak kecil berkata kepada Yahya bin Zakariya: ‚Pergilah
main bersama kami‛. Yahya menjawab: ‚Kami diciptakan bukan untuk main‛. Itulah
yang menjadi penyebab diturunkannya potongan ayat ( ‫صبِيًّا‬
‫َم‬ ‫‚ ) َموآتَم ُحْلي نَماه ُحْلا ُحْل َم‬Dan Kami
berikan kepadanya hikmah selagi ia masih anak-anak‛.29

Dari sikap seperti itu kemudian muncul pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad,
dan kebaikan dalam diri Nabi Yahya. Hal itu pula yang harus diwacanakan sebagai
karakteristik seorang pendidik, yaitu mempunyai pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad,
dan kebaikan.

Tentang hal ini juga, ada kritik yang menggelisahkan dari Syed Muhammad
Naquib al-Attas. Katanya, ilmu zaman sekarang banyak dimiliki oleh para ilmuwan dan
sarjanawan muslim. Namun, mereka, para ilmuwan dan sarjanawan muslim itu,
membahayakan diri dengan memelajari ilmu yang tidak benar sebagai antitesis dari
kebodohan zaman sekarang. Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa jika
sebelumnya tantangan keilmuan adalah kebodohan, maka zaman sekarang tantangan
keilmuan adalah ilmu yang salah yang dicemari dengan nilai-nilai sekularisasi yang
menjelma dalam sekularisme.30 Oleh karena itu, hal-hal seperti pemahaman, ilmu,
kesungguhan, tekad, dan kebaikan dari seorang pendidik dibutuhkan sebagai
karakteristik yang dijiwainya dan menjadi sifat yang melekat secara khas dalam dirinya
dan menjadi watak tertentu.31

3. Lemah lembut/ Kasih Sayang (hana>n)


Terjemahan lemah lembut atas kalimat hana>n mungkin tidak terlalu tepat untuk
konteks karakteristik seorang pendidik. Hal itu karena, seorang pendidik tidak juga
semestinya terus-menerus berlemah lembut, sehingga kemudian diremehkan. Pepatah
arab pernah berpesan bahwa la> takun rathban fa tu’shara wala> ya>bisan fakutassara,
jangan terlalu lembut sehingga diremehkan dan jangan pula terlalu keras sehingga
dipatahkan. Maka, hana>n dalam konteks ini kalimat kasih sayang lebih dianggap tepat
sebagaimana juga tercermin dalam kamus al-Munawwir: kehalusan hati dan perasaan.32

Ibnu Katsir menyatakan bahwa makna al-hana>n adalah rasa kasih sayang dari sisi
Kami. Demikian perkataan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pula
pendapat ‘Ikrimah, Qatadah dan al-Dhahhak.33 Adapun M. Quraish Shihab

29
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, h.216
30
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014), h.133
31
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial
sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.11
32
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab dan Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif),
hlm.305
33
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 143

menerjemahkannya sebagai kenabian atau kasih sayang Allah kepadanya. 34 Maka,


pemaknaan kenabian yang dikemukakan M. Quraish Shihab patut untuk dicermati dari
lingkup perspektif Pendidikan Islam, lebih-lebih Filsafat Pendidikan Islam.

Secara hakikat, diterangkan oleh Al Rasyidin dalam lingkup Filsafat Pendidikan


Islam, Allah swt., memang pendidik yang paling esensi bagi semesta alam, baik mikro
maupun makro kosmos. Kata al-Rabb dalam firman Allah swt., pada surat al-Fa>tihah: 2
merupakan akar kata yang membentuk istilah al-tarbiyah atau pendidikan Islami. Karena
itu, pengertian yang terkandung pada ayat tersebut adalah ‚segala puji bagi Allah,
Pendidik semesta alam.‛ Maka, berdasarkan ayat ini, Allah swt., adalah murabbi atau
Pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh kosmos. Sebagai Murabbi, pendidikan dan
pemeliharaan Allah swt., terhadap manusia mencakup segala sesuatu berkaitan dengan
kehidupan manusia, termasuk juga amarah, ancaman, siksaan, dan sebagainya. Sebab,
apapun perlakuan Allah swt., kepada makhluk-Nya, semua itu tidak terlepas dari sifat
kepemiharaan dan kependidikan-Nya. Sebagai pendidik, tidak seperti manusia, Allah
mengetahui betul segala kebutuhan peserta didiknya, tidak hanya seorang peserta didik,
tetapi semua manusia dan makhluk ciptaan-Nya. Karena, Ia adalah Rabb al-‘Alamin,
pendidik semesta alam.35

Maka, sebagai mu’allim, Allah swt., pada hakikatnya adalah ‘A<lim yakni pemilik
perbendaharaan ilmu pengetahuan yang men-ta’li>m atau mengajarkan kepada manusia
segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui manusia mengenai perbendaharaan ilmu
pengetahuan yang dimiliki-Nya. Dalam ayat lain, Allah berfirman eksplisit tentang itu
dalam QS>. Al-Alaq: 5

Namun demikian, dalam proses ta’li>m itulah, Allah tidak berinteraksi langsung
dengan manusia. Karena itulah, pemaknaan kenabian menjadi relevan dalam konteks
pendidikan Islam. Itu karena, Allah mengutus para nabi dan rasul untuk mendidik
manusia ke jalan yang diridhai-Nya. Dalam hal ini, Nabi dan Rasul pada dasarnya
merupakan ‘wakil’ Allah swt., yang bertugas sebagai pendidik, baik konteks mu’allim,
murabbi maupun muaddib, bagi ummat manusia dan alam semesta.

Maka, dalam hal kenabian inilah, karakteristik pendidik yang dibahas dalam bagian
ini harus dikemukakan. Kasih sayang dan lemah lembut adalah karakteristik yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik. Lebih-lebih untuk konteks kekinian yang dipenuhi oleh
berita-berita mengenai kelakuan negatif pendidik.

34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.160-161
35
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.136

Vol.1, No.2, Juli, 2019


144 | Muhammad Toguan

4. Suci (zaka>h)
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembahasan kali ini adalah pembahasan yang
terkait dengan tazkiyah al-nasf sebagai sebuah proses yang mengawali setiap orang
dalam kaitannya dengan lingkup Pendidikan Islam. Al Rasyidin merekontruksinya dari
kejadian yang dialami Rasulullah saw., sebelum men-ta’li>m, men-tarbiyah, atau men-
ta’di>b ummatnya. Ia lebih dulu didatangi oleh Malaikat Jibril lalu membelah dadanya
dan kemudian mengeluarkan hati beliau, mencuci dan membersihkannya dari
kemaksiatan, baru kemudian mengisinya dengan ilmu dan keimanan. Kisah yang dinukil
guru besar Falsafah Pendidikan Islam itu diperkuat lagi dengan kebiasaan Rasul ber-
uzlah ke Gua Hira’ yang dalam penilaiannya adalah upaya untuk mensucikan diri dan
menghindari pengaruh-pengaruh negatif-destruktif masyarakat yang penuh dengan
kemaksiatan. Peristiwa-peristiwa itu yang menandakan keistimewaan proses tazkiyah al-
nafs dalam lingkup Pendidikan Islam.36

Maka, hal itu juga yang menjadi karakteristik bagi seorang pendidik selanjutnya.
Tanpa menyebutkan proses tazkiyah al-nafs seperti uraian di atat, ayat QS. Maryam 13
menyebutkan hasil atau output dari proses tersebut, yaitu kesucian seorang pendidik.
Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut:37

Firman-Nya, (‫ )وزكاة‬di’athafkan atas (‫)وحنانا‬. Zakat adalah suci/bersih dari kotoran,


kesalahan dan dosa. Al-Dhahhak dan Ibnu Juraij berkata, ‚Amal shalih yang zaki
(yang suci).‛ Al-‘Aufi berkata dari Ibnu ‘Abbas: (‫‘ )وزكاة‬Dan kesucian’, yaitu

berkah, ( ‫تقيا‬ ‫ )وكان‬Dan ia adalah seorang yang bertakwa’, suci tidak melakukan
suatu dosa.
Dari penafsiran tersebut, terlihat bahwa karakteristik yang dibahas kali ini sangat
erat kaitannya dengan karakteristik yang dibahas sebelumnya, yaitu hana>n yang
diterjemahkan sebagai karakteristik lemah lembut dan kasih sayang. Maka, kedudukan
karakteristik tersebut yang diperlihatkan oleh seorang pendidik di hadapan para peserta
didiknya, ataupun rekan-rekan seprofesinya, bahkan atasannya, adalah sikap kasih
sayang yang bersih atau suci dari kesalahan dan dosa. Bukan karena kondisi-kondisi
ataupun alasan-alasan tertentu bahkan dikarenakan kepentingan-kepentingan khusus.
Singkatnya, karakteristik sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah yang dilakukan
dengan karakteristik yang bersih dari dosa.

36
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h.87
37
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 145

Selanjutnya, dari penafsiran Ibnu Katsir di atas juga, dapat digambarkan


keterkaitan antara karakteristik pertama; dedikasi terhadap ilmu, dan karakteristik
kedua; integritas seorang pendidik dengan karakteristik kesucian ini. Sebagaimana yang
ia kutip dari pernyataan Al-Dhahhak dan Ibnu Juraij bahwa yang dikatakan amal shalih
itu adalah amal yang suci. Maka, karakteristik-karakteristik demikian, jika dikaitkan
pula dengan tujuan Pendidikan Islam yang digariskan oleh Syed Muhammad Naquib al-
Attas, misalnya, tampak relevan dan terkait secara sempurna. Hal itu karena Syed
Muhammad Naquib al-Attas menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah
melahirkan orang-orang yang shalih, yang tentunya akan lahir dari pendidik-pendidik
yang shalih juga.38

Menariknya adalah, yang dimaksud dengan shalih sebagaimana tersebut sebagai


tujuan pendidikan Islam di atas tidak sebatas penampakan luar manusia saja. Tokoh yang
disebut di atas mendefinisikan manusia –yang akan diarahkan menjadi orang shalih itu,
sebagai berikut:39

Man has a dual nature, he is both soul and body, he is at once physical being and
spirit. (Manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat. Manusia adalah jiwa
dan raga. Manusia adalah suatu diri jasmani dan ruh sekaligus).
5. Bertakwa (taqiy)
Karakteristik selanjutnya yang digambarkan oleh QS. Maryam: 13 yang ditafsirkan
oleh Ibnu Kasir dan M. Quraish Shihab adalah seorang pendidik harus bertakwa. Ibnu
Katsir menerangkan bahwa takwa yang dimaksud adalah suci (thuhrun) tidak melakukan
suatu dosa (lam ya’mal al-zanba).40 Sedangkan M. Quraish Shihab menafsirkan hanya
dengan menyebut dia (Nabi Yahya) bertakwa.41Dari penafsiran ini, dapat disimpulkan
bahwa baik Ibnu Katsir maupun Quraish Shihab tidak juga berbeda pendapat dalam
membaca ayat-ayat QS. Maryam. Bedanya, mereka berdua kadang-kadang
merincikannya, dan terkadang pula tidak terlalu melakukan itu. Hanya menjelaskannya
secara umum.

Maka takwa, sebagai informasi tambahan, adalah kata yang berasal dari Bahasa
Arab, ittaqa-yattaqi-ittiqa>’, yang pada dasarnya berarti takut42 dan keinsyafan.43 Adapun
secara luas, seperti yang diterangkan oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry,
adalah memelihara diri dari ancaman siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-

38
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic Education
Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), h.20
39
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic Education
Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), h.23
40
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.217
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161
42
Abboed S. Abdullah, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1988), h.50
43
Nazwar Syamsu, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h.82

Vol.1, No.2, Juli, 2019


146 | Muhammad Toguan

Nya dan menjauhi larangan-Nya.44 Dengan demikian, maka definisi-definisi tersebut di


atas, baik yang ringkas maupun yang luas, selaras dengan apa yang didefinisikan oleh
Abu Ahmadi dan Abdullah dalam Kamus Pintar Agama Islam, yaitu takwa adalah
keinsyafan mengikuti dengan kepatuhan dan ketaatan, melaksanakan perintah-perintah
Allah serta menjauhi larangan-laranganNya.45

Imam al-Qusyairy an-Naisabury dalam bukunya yang terkenal berjudul Risalatul


Qusyairiah menyebutkan bahwa takwa merupakan seluruh kebaikan, dan hakikatnya
adalah seseorang melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan ketundukan kepada-
Nya. Asal usul takwa itu adalah menjaga diri dari syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal
yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal terlarang meskipun itu
yang menyenangkan.46 Adapun Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, menyebutkan bahwa orang
yang bertakwa adalah orang yang tidak lepas dari perbuatan mensucikan diri; orang yang
selalu berusaha membenamkan dirinya dalam semua hal yang diridhai Allah serta
menjauhkan diri dari semua perbuatan yang dimurkai Allah.47 Dengan definisi yang
bersifat filosofis tersebut, maka kaitannya dengan pendidik adalah, hendaknya mereka
memiliki karakteristik yang bersih dari perbuatan dosa sekaligus mengusahakan diri
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah swt.

6. Berbakti kepada orang tua/pendidik (barran bi wa>lidaih)


Karakteristik ini dapat menjadi karakteristik yang menjadi keistimewaan
Pendidikan Islam dibanding dengan konsep pendidikan lainnya, untuk tidak
menyebutkan pendidikan umum ataupun sekular. Hal itu karena, dalam pendidikan
Islam, karakteristik berbakti kepada orang tua yang dapat disejajarkan posisinya
sebagaimana pendidik/guru dalam kajian Filsafat Pendidikan Islam. Al Rasyidin, sebagai
lanjutan dari hirarki esensi pendidik dalam lingkup diskursus Filsafat Pendidikan Islam
menyebutkan bahwa pendidik itu sejatinya adalah (1) Allah, (2) Rasulullah, (3) Ulama –
Pendidik dan Orang Tua.48 Maka, cakupan karakteristik yang disinggung dalam
pembahasan ini sejatinya adalah bagaimana seorang pendidik juga berbakti kepada
pendidiknya yang telah membentuk karakteristik pendidik dalam dirinya. Meminjam
istilah Azyumardi Azra, karakteristik yang tersebut itu adalah sanad atau jaringan
keilmuan.49

44
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
h.735
45
Abu Ahmadi dan Abdullah, Kamus Pintar Agama Islam, (Solo: Aneka, 1991), h. 227
46
Imam al Qusairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Terj. Moh. Lukman Hakiem, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), h.97
47
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2002), h. 51.
48
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.136
49
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Bandung: Mizan, 1998), h.294-295

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 147

Sanad, dalam ranah diskursus studi Islam, memang lebih dikenal dalam keilmuan
hadis. Sanad, dalam pengertian keilmuan itu adalah, rangkaian nama-nama perawi yang
menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau rangkaian para perawi yang
menyampaikan kepada matan.50 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, sebagai ulama yang
senantiasa dikutip pendapatnya dalam perihal ini, menerjemahkan istilah sanad untuk
menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan matan kepada sumbernya, atau
para huffa>zh yang selalu berpedoman kepada sanad dalam menilai apakah sebuah hadis
itu shahi>h atau dha’i>f. Dengan demikian, dalam hal ini sanad benar-benar menjadi
tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas matan hadis.51 Dari konsepsi
sedemikian rupa, maka hadis akan dapat diterima ataupun ditolak. Imam al-Nawawi>,
sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail, menerangkan bahwa ‚Jika sanad suatu hadis
berkualitas shahi>h maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut
tidak shahi>h maka hadis itu ditolak.‛ 52

Dengan demikian, maka penafsiran barran (berbakti) dalam QS. Maryam 14 tidak
hanya sebatas perbuatan bakti seorang anak kepada orang tua semata, melainkan juga
bagaimana seorang peserta didik yang tumbuh menjadi pendidik tetap memuliakan
kedudukan pendidiknya yang telah meletakkan karakteristik pendidik dalam dirinya. Hal
itu kiranya tidak menyalahi konteks penafsiran Ibnu Katsir maupun M. Quraish Shihab
yang masing-masing menafsirkan barran sebagai berikut:

Ketika Allah swt., menyebut ketaatan Yahya kepada Rabbnya dan menciptakannya
sebagai orang yang memiliki rahmat, suci dan bertakwa, Dia pun menyambungnya
dengan menyebutkan ketaatan dan kebaktian Yahya kepada kedua orang tuanya
serta jauh dari sikap mendurhakai keduanya, dengan perkataan dan perbuatan, baik
perintah maupun larangan.53
Sifat-sifat yang disebut oleh ayat-ayat di atas yang menghiasi kepribadian Yahya
as., mencerminkan hubungan beliau yang demikian harmonis dengan Allah swt.,
dengan kedua orang tuanya, dan kepada masyarakat manusia, bahkan makhluk
umum. Hubungannya dengan Allah dituliskan dengan kata (‫ )تَقِيًّا‬taqiyyan;
hubungan dengan kedua orang tuanya dilukiskan dengan kata (‫ )بَ ًّرا بِ َ ااِ َد ْي ِه‬barra bi
walidaihi/ bakti kepada kedua orang tuanya, sedangkan kepada sesama makhluk
dilukiskan oleh kalimat (‫َصيًّا‬
ِ ‫ )اَ ْي َ ُك ْي َجبَّارًّ ا ع‬lam yakun jabba>ran ‘ashiyyan/ bukanlah
ia orang yang sombong pendurhaka. 54

50
Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Dira>sat fi> al-Hadi>s al-Nabawi> (Riya>dh: Jamî’ah al-Riya>dh,
1396), h. 391
51
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usu>l al-Hadi>s: ‘Ulu>muh wa Mushtala>huh (Beirut: Dar al-Fikr,
1975), h. 33
52
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
24
53
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.217
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161

Vol.1, No.2, Juli, 2019


148 | Muhammad Toguan

Dari penafsiran dua mufassir di atas terlihat bahwa karakteristik-karakteristik yang


terdapat dalam diri Nabi Yahya sebagai figur yang dijadikan simbol pendidik dalam
penelitian ini bukan karakteristik yang muncul secara tiba-tiba melainkan ada peranan
Allah sebagai pendidik esensi bagi diri-Nya. Maka, dengan demikian, mewacanakan
bahwa seorang guru yang berilmu mesti tahu darimana pengetahuannya diperoleh, yang
itu hendaknya menjadi karakteristik bagi dirinya, dapat diterima.

Selain dengan argumentasi di atas, landasan lain tentang pentingnya hal yang
dibahasakan Azyumardi Azra dengan sanad keilmuan di atas telah ditemukan dalam
berbagai literatur klasik studi Islam. Di antaranya adalah yang dikemukakan oleh
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M), yang dikutip Muhammad Abu> Syuhbah, yang
mengatakan bahwa ‚Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu.‛55 Demikian juga dengan
pernyataan Imam al-Sya>fi’i yang dinukil Akram Dhiya’ al-‘Umari, bahwa
‚Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang
membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat
ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut.‛56
Dengan berlandaskan perkataan-perkataan ulama tersebut, maka Zulhedi yang
membahas Eksistensi Sanad dalam Hadis di Jurnal Miqot UINSU menjelaskan bahwa,
‚Beberapa nilai lebih yang terdapat dalam kajian sanad, membuatnya menjadi pembeda
umat Islam dari umat lainnya.‛57 Pernyataan yang senada dengan ungkapan Abu Hatim
al-Razi (w.227 H), yang mengatakan bahwa ‚Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam
as. diciptakan yang memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para
rasulnya selain dari umat Islam ini.‛ Juga demikian dengan pernyataan Muhammad bin
Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, ‚Sesungguhnya Allah SWT. telah memuliakan dan
melebihkan umat Islam dengan isnâd.‛58

7. Tidak sombong dan durhaka (lam takun jabba>ran ‘ashiyyan)


Ada satu tradisi intelektual yang dulunya begitu memukau banyak orang, tetapi
kini cenderung redup bahkan menghilang. Itu adalah kesimpulan dari Hasan Asari
tentang tradisi intelektual muna>zarah atau debat. Dalam bukunya yang berjudul
Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, guru besar UINSU itu menjelaskan bahwa muna>zarah
sebagai tradisi intelektual muslim adalah tradisi yang mempunyai akar sejarah yang
panjang bahkan sampai masa awal terbentuknya komunitas Muslim di Madinah.
Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa seni muna>zarah tersebut lahir dari dialog-

55
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-Shihha>h al-Sittah (Azhar: Majma’ al-
Turats, 1969), h. 37.
56
Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath, 1984),
h.54
57
Zulhedi, ‚Eksistensi Sanad dalam Hadis‛ dalam Jurnal Miqot, Vol.XXXIV, No.2, Juli-Desember,
2010, h.165-166
58
Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath, 1984),
h.54

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 149

dialog teologis yang berlangsung antara umat Islam dan umat non Muslim (Yahudi,
Majusi, Kristen). Dengan dialog-dialog tersebut, maka terjadi secara natural interaksi
masyarakat yang multi religius. Dialog itu bahkan berlangsung juga di kalangan Muslim
sendiri yakni mengenai prinsip-prinsip akidah Islam, sekedar untuk menjawab
pertanyaan atau fitnah dari kalangan Muslim. Itu karena masa-masa awal terbentuknya
komunitas Muslim adalah masa dimana persoalan keagamaan cenderung berporos pada
masalah akidah.59

Dalam tradisi muna>zarah ini kiranya karakteristik tidak sombong dan durhaka
berlaku bagi seorang pendidik. Jika empat karakteristik awal (dedikasi, integrasi, lemah
lembut, suci) adalah berkaitan dengan diri pendidik itu sendiri, dan takwa adalah
karakteristik yang terkait dengan ‚Pendidiknya‛ si pendidik, maka karakteristik tidak
sombong dan durhaka berlaku bagi pendidik dengan rekannya. Meskipun dalam tradisi
muna>zarah seorang pendidik dibenturkan pendapatnya dengan rekan-rekan seprofesi,
maka ia tidak boleh sombong dan durhaka atas ilmu yang ia miliki.

Tradisi muna>zarah ini, dalam kritik Al-Ghazali yang dibahas Hasan Asari dalam
literatur yang dibahas sebelumnya memang mempunyai sisi negatif, yaitu ketika muncul
benih persaingan yang inheren dan mudah beralih menjadi keributan yang emosional,
lebih-lebih karena muna>zarah biasanya dilakukan secara publik. Hal itu karena tidak
semua orang mampu menghadapi bayangan kekalahan dengan kepala dingin. Idealnya,
seseorang harus mampu mengendalikan diri dalam muna>zarah dan tidak terbawa hanyut
oleh emosi atau keinginan untuk mengalahkan lawanya. Dengan menukil pernyataan Al-
Katib al-Isbahani, Hasan kemudian melukiskan tentang tradisi muna>zarah ini dan
kaitannya dengan sisi negatif berupa emosi: ia seperti geretan. Bagian luarnya dingin
tetapi di dalamnya menyimpan bara api.60

Sebagai contoh barangkali yang paling populer adalah kasus Imam al-Syafi’i yang
melakukan muna>zarah dengan Fitya>n, seorang faqi>h Maliki dari Mesir. Sebagai seorang
ilmuwan besar, muna>zarah tersebut mengundang banyak pengunjung. Digambarkan oleh
literatur-literatur bahwa muna>zarah memang disaksikan kerumunan masa, mulai dari
yang awam hingga para ilmuwan, rakyat jelata hingga para pembesar kerajaan. Dua
orang tersebut berjuang keras membangun argumennya masing-masing yang lebih
unggul dan dapat mengalahkan lawannya. Pada akhirnya, Fitya>n tersebut diambang
kekalahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya dan secara emosional mencaci maki
Imam al-Sya>fi’i. Sontak, para pendukung Imam al-Sya>fi’i mengajukan tuntutan untuk
menghukum Fitya>n yang menuduh ulama besar keturunan Rasul tersebut. Meskipun
pada waktu itu imam al-Sya>fi’i terlihat tenang dan tidak memperhatikan cercaat
tersebut, tuntutan para pendukung mengakibatkan pendukung Fitya>n menuntut balas

59
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik
(Medan: Perdana, 2017), h.179
60
Ibid, h.190

Vol.1, No.2, Juli, 2019


150 | Muhammad Toguan

dengan menyerang Sang Imam Besar di halaqah-nya, yang menjadi penyebab


kematiannya.61

8. Selamat dan menyelamatkan.


Kisah Nabi Yahya dalam QS. Maryam ditutup dengan ayat 15. Selanjutnya, ada
kisah Maryam: Ibundanya Nabi Isa. Dalam konteks karakteristik pendidik yang
dibicarakan dalam penelitian ini, maka karakteristik ini adalah pamungkas dari tujuh
karakteristik sebelumnya. Karakteristik ini seperti ingin menyampaikan bahwa dengan
karakteristik-karakteristik sebelumnya, yang dipenuhi oleh seorang pendidik, maka
pendidik tersebut telah menjadi orang yang selamat sekaligus menyelamatkan (sala>m).
Dengan demikian, keterangan ini jika ditarik dalam lingkup pendidikan Islam, inilah
karakteristik yang patut untuk dikedepankan sebagai perwujudan dari tujuan pendidikan
Islam itu sendiri; menyelamatkan pendidik, peserta didik, dan lingkungan di sekitar
pendidikan dari hal-hal yang dapat merusak pendidikan itu sendiri.

Menariknya kemudian adalah ketika penafsiran yang ditampilkan oleh Ibnu Katsir
ataupun Quraish Shihab tidak membatasi lingkup keselamatan pada hal-hal yang bersifat
material ataupun duniawi sebagaimana ayatnya sendiri juga menyertakan kehidupan
setelah kehidupan di dunia. Ibnu Katsir menafsirkan sebagai berikut:62

‚Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal
serta pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.‛ Yaitu, ia akan memperoleh rasa
aman di tiga kondisi tersebut (lahir, mati dan hari berbangkit). Sufyan bin
‘Uyainah berkata, ‚Alangkah mencekamnya (keadaan) seseorang yang berada di
tiga kondisi tersebut; pada saat ia dilahirkan, ia melihat dirinya keluar dari tempat
yang selama ini di dalaminya, pada saat ia mati, ia akn melihat suatu keadaan yang
belum pernah dialaminya, dan di saat ia dibangkitkan, ia melihat dirinya berada di
padang Mahsyar yang besar (luas)‛. Dia (Sufyan) pun berkata, ‚Allah swt., telah
menghormati Yahya bin Zakariya pada saat itu, lalu mengistimewakannya dengan
salam sejahtera untuknya.
Dengan maksud yang sama, tetapi memiliki pendekatan berbeda, M. Quraish
Shihab menafsirkan sebagai berikut: 63

Kata (‫ٌم‬ ‫ ) َم َم‬sala>m terambil dari akar kata ( ‫ل‬ ) salima yang maknanya berkisar
pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Thabathaba’i
berpendapat bahwa makna kata ini mirip dengan makna kata aman hanya saja kata
aman digunakan untuk menggambarkan ketiadaan bahaya atau hal-hal yang tidak
menyenangkan atau menakutkan seseorang pada tempat tertentu, sedang kata
sala>m digunakan untuk menggambarkan bahwa tempat di mana seseorang berada

61
Aybak al-Safadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jilid 9 (Istanbul: Matba’ah al-Daulah, 1931), h.185-186
62
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.218
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161-162

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 151

selalu ditemukannya dalam keadaan yang sesuai dan menyenangkan. Penggunaan


bentuk nakirah/indifinite pada kata sala>m, yakni tidak menggunakan alif dan la>m
(‫ٌم‬ ‫) َم َم‬ al-sala>m untuk mengisyaratkan betapa besar dan banyak sala>m dan
kedamaian itu.
Tiga tempat keselamatan yang disebut ayat 15 di atas, merupakan tiga tempat
penting lagi genting dalam kehidupan manusia. Saat kelahiran karena jika
seseorang lahir cacat, maka kehidupannya di dunia akan terganggu. Selanjutnya,
jika ia meninggal dunia dalam keadaan su>’ al-kha>timah (kesudahan buruk), maka
kesengsaraan ukhrawi akan menyertainya. Adapun keselamatan di padang
Mahsyar, maka ini adalah keterhindaran dari rasa malu dan takut yang mencekam.
Dari dua penafsiran di atas, maka penafsiran Ibnu Katsir lebih mengedepankan
lingkup tujuan pendidikan dalam konteks penelitian ini. Adapun M. Quraish Shihab,
pendekatan yang dilakukannya lebih kepada konteks memaknai ilmu yang dimiliki oleh
seorang pendidik. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa, seorang pendidik
hendaknya memiliki karakteristik keilmuan yang menyelamatkan sehingga dapat pula
menyelamatkan tujuan pendidikannya. Itu karena, tidak semua ilmu sebenarnya
menyelamatkan. Lebih-lebih ilmu yang berkembang saat ini, yang telah dijelaskan oleh
Wan Mohd Nor Wan Daud dalam karya terbarunya, ‚Budaya Ilmu: Makna dan
Manifestasi‛. 64

D. Kesimpulan

Dari uraian di atas mengenai karakteristik pendidik dalam QS. Maryam ayat 12-15
ditemukan bahwa sosok Nabi Yahya yang dalam hidupnya memiliki delapan karakteristik
mendasar, yaitu berdedikasi terhadap ilmu, memiliki integritas, lemah lembut dan
berkasih sayang, sekaligus suci dari dosa dan pelangggaran-pelanggaran agama adalah
cerminan bagi gagasan mengenai karakteristik pendidik. Nabi Yahya juga adalah orang
yang bertakwa, berbakti pada orang tuanya, dan tidak sombong serta durhaka. Ia adalah
pribadi yang selamat dan menyelamatkan. Dalam konteks pendidikan, karakteristik-
karakteristik tersebut dapat diterjemahkan sesuai konteksnya.

E. Referensi

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab dan Indonesia, (Surabaya: Pustaka


Progressif)
Abboed S. Abdullah, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1988)
Abu Ahmadi dan Abdullah, Kamus Pintar Agama Islam, (Solo: Aneka, 1991)
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah,
Juz V, Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999)

64
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini
(Malaysia: Casis-Hakim, 2019).

Vol.1, No.2, Juli, 2019


152 | Muhammad Toguan

Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003)


Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath,
1984)
Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath,
1984)
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2017)
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2007)
Aybak al-Safadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jilid 9 (Istanbul: Matba’ah al-Daulah, 1931)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998)
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual
Muslim Klasik (Medan: Perdana, 2017)
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual
Muslim Klasik (Medan: Perdana, 2017)
Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Imam al Qusairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Terj. Moh. Lukman Hakiem,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1999)
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, jilid 8
(Tangerang: Lentera Hati, 2002)
Mardiyah, ‚Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi di Pondok
Modern Gontor, Lirboyo-Kediri, dan Pesantren Tebuireng-Jombang‛ dalam Jurnal
Tsaqafah, Vol.8, No.1, April, 2012
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usu>l al-Hadi>s: ‘Ulu>muh wa Mushtala>huh (Beirut: Dar al-
Fikr, 1975)
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-Shihha>h al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969)
Muhammad bin Khalifah al-Tamimy, Tha>lib al’ilm: Bayn Ama>nah al-Tahammul wa
Mas’u>liyah al-Ada>’ (Kuwait: Muassasah Gharas, 2002)
Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Dira>sat fi> al-Hadi>s al-Nabawi> (Riya>dh: Jamî’ah al-
Riya>dh, 1396)
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,
1992)
Nazwar Syamsu, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977)
Nurmaida, Membangun Integritas Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran, Makalah
Simposium Guru Nasional 2016. Tidak diterbitkan.

Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 153

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994)
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan
Sosial sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan
Sosial sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic
Education Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014)
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Penerbit Risalah, 1986)
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, (Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2002)
The Global Education Monitoring Report Team, Education for People and Planet:
Creating Sustainable Futures for All (France: UNESCO Publishing, 2016)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan
Masa Kini (Malaysia: Casis-Hakim, 2019).
Zulhedi, ‚Eksistensi Sanad dalam Hadis‛ dalam Jurnal Miqot, Vol.XXXIV, No.2, Juli-
Desember, 2010

Vol.1, No.2, Juli, 2019

Das könnte Ihnen auch gefallen