Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Keywords : accelerometer sensor, MASW method, Rayleigh wave, s-wave velocity, fault detection
PENDAHULUAN
The MASW method utilizes surface waves (Rayleigh Wave) in determining the speed of the S
wave. Surface waves are dispersive waves, that is, the phase velocity is a function of depth. From its
name, surface waves are waves that propagate on the surface of a material, different from P and S body
waves that can penetrate materials. The vibration range from surface waves depends on the wavelength.
Vibration of surface waves with large wavelengths will have a deeper range of vibration. Thus the phase
velocity of the large wavelength will be influenced by deeper material. Conversely, if the surface wave
has a short wavelength, then the vibration will only affect the material with a shallow depth. As a result
the speed of the surface wave phase with short wavelengths will be affected by the material with shallow
depths. The dispersion curve of the Rayleigh wave depends on the nature and strength of the soil layer.
The strength of the soil determines the S wave velocity profile. So the dispersion curve depends on the S
wave velocity profile of the soil in question. If the curve dispersion can be determined, then the wave
velocity profile of the soil can also be determined.
2 1 d2θ
∇ θ− 2 2 =0 (2.4)
v p dt
v p=√
λ+ 2 μ
(2.5)
ρ
√
4
(K + μ) (2.6)
3
α =V p=
ρ
S-wave or also known as secondary wave, has a lower speed than the p-wave. This type of wave
can only cross solid rock. The S-wave particles move perpendicular to the direction of wave propagation.
S wave is a transverse wave. S wave propagation depends on the shear force of a material. Therefore,
material characteristics can be known in more detail by using S. waves.
β=V s=
√ μ
ρ
(2.7)
V r=0.09194
√ μ
ρ
¿ 0.09194 Vs (2.8)
2.3 Dispersion Curve
The dispersion curve describes the change in phase speed with respect to the frequency of waves, where
the frequency will be inversely proportional to the velocity and the depth of the target achieved. The
assumption used in data inversion to the dispersion curve is a layered horizontal coating model based on
shear wave velocity (Vs) as the initial model parameter to obtain the actual parameter value.
Figure 3. Illustration of surface wavelength affects the depth of the layer. As the layer gets
deeper, the speed of propagation increases.
2.6 Fault
Fault is a fracture that experiences a clear shift. Shifts can range from a few millimeters to hundreds of
meters and can reach several decimeters to thousands of meters in length. Fault can occur in all types of
rocks and will change the development of topography, control surface and subsurface water, damage rock
stratigraphy and so on. There are several types of fault, those are normal fault, inverse fault, and shear
fault.
METHOD
MASW is a method for determining Rayleigh wave dispersion curves by propagating surface waves with
many wavelengths. These many wavelengths can be produced by providing energy sources in the form of
punches or falling loads (weight drop). Energy which is in the form of impulses contains signals with a
very wide frequency or wavelength. This seismic signal is received by many geophone (4.5 Hz resonance
frequency) and then recorded through Analog to Digital cards (24 bits) into 1 file and then stored on a
Laptop computer.
Figure 3.1 Illustration of MASW data acquisition [11]
3.1 Tools
The following is the equipment used for collecting field data using the MASW 2D survey:
o Seistronix RAS 24 channel
o Trigger cable
o Geophone (25 pieces)
o Weightdrop 45kgs
o Accu 12V
o Software RAS 24
o Take-out cable
o GPS
Figure 3.2.3 From the image traces a calculation is done to get the speed curve to frequency
From the frequency to wave number curve, select the surface wave by selecting the image with
the greatest amplitude. The result then produces a dispersion curve, namely the Rayleigh wave velocity
curve for frequency or wavelength. After the dispersive curve is determined, the next process is the
inversion calculation process to determine the S wave velocity profile. In the inverse algorithm there is a
modeling calculation in the future, namely a process of determining the S wave velocity profile if the
properties of the soil layer are known, namely: layer thickness, layer density and speed S wave from the
layer in question. Thus the inversion process starts from determining the initial price of the soil model and
proceed by comparing the dispersive curves of the dispersive model and curve from field measurements.
The inversion software used is: Seismager from OYO Japan.
Figure 3.2.4 Rayleigh wave inversion process to determine the S wave velocity profile
The usefulness of information on the S wave velocity profile is knowing the strength of the material. In
Geotehnik shear wave velocity Vs correlates with SPT (Standard Penetration Test). High wave velocity
Vs (300 m / s - 700 m / s) states hard soil, while low wave velocity Vs (<100 m / s) states the soil is very
soft. For more complete shear wave velocity Vs data on the properties of materials can be seen in the
following figure.
S - W ave V elocities
Steel
Intact Rocks
Weathered Rocks
Ice
Till
Sand
Clay
Sea Water
Fresh Water
}V s =0
Data pada seismik refraksi diperoleh langsung dari lapangan yang berada di daerah Poso,
Sulawesi Tengah. Pengambilan data lapangan dilakukan sebanyak dua belas bentangan dengan masing-
masing bentangan memiliki jarak total 115 meter dan interval jarak antara receiver adalah 5 meter.
Sumber gelombang seismik pada setiap bentangan berjumlah 5 tembakan yakni 2 tembakan end offset
shot, middle shot dan phantom shot. Total jarak bentangan seluruhnya yakni 1.380 meter yang dibagi
menjadi beberapa spread yang berbeda. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan Seistronix RAS-24
yang menghasilkan data raw yang memiliki format SEG-2. Data raw yang diperoleh yakni berupa grafik
antara jarak dengan waktu tempuh gelombang. Setelah itu, data akan diolah dengan bantuan software
SeisImager 2D. Berikut merupakan gambaran lokasi pengukuran untuk penelitian ini.
Pengambilan line berada disekitar sungai karena untuk mengetahui keadaan tanah disekitar area
tersebut untuk dikembangkan menjadi daerah tertentu. Untuk memenuhi tujuan penelitian, penulis akan
membahas hanya salah satu line. Satu line terdiri dari dua spread. Dua spread ini diberi nama masing-
masing yakni line D1 dan line D2. Setiap spread memiliki 5 sumber gelombang seismik yang memiliki
arti setiap spread akan memiliki 5 buah data raw untuk diolah pada software SeisImager2D. Berikut ini
merupakan contoh data raw seismik hasil bacaan software PickWin dari pengambilan data lapangan
menggunakan seistronix RAS24. Berikut merupakan data lapangan yang akan diolah:
(a) Data raw spread D1 untuk middle shot
Berdasarkan gambar 4.3 dan gambar 4.13 yang berada pada lampiran, kecenderungan first break
picking semakin menurun. Hal tersebut memiliki makna bahwa asumsi yang digunakan pada penelitian
ini sesuai. Pengambilan first break ini menentukan kurva waktu tempuh yang nantinya menjadi modal
utama untuk proses inversi.
Penggabungan kurva travel time menjadi penting karena proses tersebut memudahkan inversi
yang nanti dilakukan pada modul PlotRefa. Gabungan kurva travel time ini disimpan sehingga menjadi
satu kesatuan file yang berformat .vs . Data-data yang berkaitan mengenai spread D2 akan ditunjukkan
pada bagian lampiran. Berikut merupakan gambar penggabungan seluruh kurva travel time line D.
Pembuatan pemodelan awal pada PlotRefa tidak hanya data melainkan dibutuhkan elevasi tanah
yang akan diolah. Data elevasi dapat dilihat pada table (1.1). Data elevasi yang telah diterapkan akan
secara langsung menyesuaikan dengan software. Rentang kecepatan yang dipakai sekitar 300 m/s hingga
3000 m/s, dengan kedalaman yang ideal adalah sepertiga spread keseluruhan. Kedalaman yang dipakai
yakni 80 meter.
Hasil model lapisan yang akan terbentuk dapat diperhalus dengan bantuan software. Terdapat
perbedaan perhitungan antara software dengan perhitungan secara manual. Adanya error antara hasil
observasi dengan hasil perhitungan software. Rata-rata error haruslah bernilai kecil karena untuk
mendapatkan struktur lapisan yang mendekati kebenaran. Rata-rata error terbaca pada kasus ini adalah
6.48 ms. Nilai error tersebut merupakan selisih nilai dari kurva model dari software dengan kurva data
lapangan pada tiap-tiap geophone kemudian dijumlahkan. Jumlah geophone adalah 48 buah. Nilai error
yang diperoleh relative kecil dan sudah mendekati keadaan sebenarnya. Berikut adalah gambaran model
akhir dari proses inversi yang telah dilakukan oleh software.
Gambar 4.7 Hasil akhir tomogram dari pengolahan data
Gambar 4.7 dan gambar 4.8 merupakan hasil permodelan lapisan tersebut merupakan
rekomendasi kecepatan gelombang untuk dijadikan hasil akhir dari permodelan lapisan. Hasil permodelan
diperjelas dengan menentukan kecepatan lapisannya. Tomogram akan dikonvesi menjadi sebuah lapisan-
lapisan. Tujuannya adalah menunjukan secara jelas perbatasan lapisan dengan kecepatan setiap
lapisannya. Pada gambar 4.8 ditampilkan hasil inversi dalam bentuk grid dan jejak gelombang. Untuk
memudahkan proses pengambilan kecepatan rata-rata dibutuhkan hasil inversi yag berbentuk grid.
Gambar 4.9 Hasil permodelan akhir dari pengolahan data
Hasil dari pengolahan data dibuat menjadi 4 lapisan. Masing-masing lapisan memiliki kecepatan
gelombang rata-rata yang berbeda tentunya. Kemampuan menentukan proses membuat tomogram
bergantung pada kemampuan individu dalam menentukan parameter-parameter yang ada. Lapisan paling
atas memiliki rata-rata kecepatan gelombang 0.415 km/s. Lapisan kedua memiliki rata-rata 1.11 km/s.
Lapisan ketiga memiliki rata-rata kecepetan gelombang sebesar 1.45 km/s. kecepetan gelombang yang
paling terakhir memiliki kecepatan rata-rata gelombang sebesar 2.14 km/s. dari hasil pengolahana data
seismik refraksi ini dapat dilihat bahwa lapisan yang bernilai dibawah 2 km/s hanya berada hingga
kedalaman 10-15 meter. namun, pada jarak 90 meter hingga 155 meter terdapat seperti cekungan kurang
lebih sedalam 20 meter.
4.5 Pembahasan
Pada metode tomografi, jumlah dari sumber gelombang aktif sangat berpengaruh kepada
kebenaran hasil tomogram yang akan dihasilkan. 10 jumlah sumber gelombang aktif pada pengukuran
dilapangan seharusnya memiliki error relatif kecil. Semakin banyak jumlah seumber gelombang aktif
pada pengamlan data dilapangan maka hasil tomogram akan semakin baik. Keterangan di lokasi
pengambilan data seperti koordinat geophone dan elevasi yang tercatat pada table 1.1 memudahkan untuk
mengetahui struktur tanah di lapangan. Pada posisi geophone yang berjarak 90 meter hingga 155 meter
dari geophone awal berbentuk seperti palung. Apabila dilihat pada gambar 4.9, terlihat lapisan yang
dominan yakni lapisan yang memiliki rata-rata kecepatan lebih dari 2.14 km/s.
Hasil dari penentuan first arrivals wave yang diolah pada modul PickWin didapatkan error
sebesar 6.48 ms apabila dibandingkan dengan hasil perhitungan secara teori. Error tersebut relatif kecil
karena dengan 10 sumber gelombang aktif, error yang didapatkan masih dibawah 10 ms. Semakin kecil
perbandingan antara pengolahan teori dengan pengolahan data lapangan maka pemodelan akan mendekati
dengan kebenarannya.
Error disebabkan oleh berbagai faktor di lapangan beserta proses pengambilan data di lapangan.
Kemungkinan error yang ada yakni adanya geophone yang tidak aktif pada proses pengambilan data di
lapangan. Lalu, kemungkinan kesalahan yang lain yakni adanya noise dari lingkungan pada pengambilan
data. Adanya aktivitas-aktivitas yang menimbulkan getaran sangat berpengaruh pada baik atau buruknya
data yang diambil. Error yang dihasilkan pun dapat berasal dari penentuan first arrivals time yang
ditentukan manual. Kebingungan dalam menentukan first arrivals time terjadi ketika salah satu geophone
tidak menghasilkan data. Hasil dari pengolahan data ini kemudian dibandingkan dengan hasil dari
pengolahan data dengan metode yang berbeda yakni VSP (vertical seismic profiling). Hal ini bertujuan
untuk melihat persebaran lapisan tanah yang memiliki kecepatan rata-rata diatas 2 km/s. Lokasi
pengambilan data VSP berada disekitar Line D. Berikut gambaran pengambilan data (gambar 4.10) untuk
data VSP beserta hasil yang didapatkan dari metode VSP (vertical seismic profiling).
Gambar 4.10 Lokasi pengambilan data VSP yakni pada Line B
Tabel 1.1 Data kecepatan rambat gelombang yang dihasilkan oleh VSP
Berdasarkan data-data yang telah ada, pada gambar 4.11 dapat dilihat rata-rata kecepatan
gelombang pada hasil pengolahan data VSP yakni 2 km/s sampai 2.5 km/s. Terdapat perbedaan yang
terlihat jelas karena perbedaan line dari pengukuran antara seismic refraksi dan VSP. Namun, dapat dilihat
bawah lapisan yang bernilai dibawah 2 km/s bersifat dangkal. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah
yang diukur merupakan daerah bukit atau dataran tinggi. Dari data hasil pengukuran seismic dan VSP
didapatkan bahwa lapisan yang bernilai lebih dari 2 km/s lebih dominan. Tujuan membandingkan dengan
hasil data pengukuran yang diperoleh dari metode VSP yakni untuk melihat lapisan sekitar apakah line D
apakah mendekati satu sama lain. Hal-hal yang serupa antara hasil pencitraan dengan metode VSP
seismic refraksi yakni lapisan dengan rata-rata kecepatan gelombang diatas 2 km/s lebih mendominasi
lalu top soil bersifat tipis. Adanya perbedaan hasil dari metode refraksi dan metode VSP dikarenakan
metode refraksi hanya bisa mencari rata-rata sedangkan VSP dapat mendapatkan kecepatan berdasarkan
kedalaman.
Selain membandingkan dengan hasil penelitian metode lain, hasil penelitian seismic refraksi
dengan metode tomografi ini dibandingkan dengan peta geologi Poso. Hal tersebut bertujuan untuk
mencocokkan apakah nilai kecepatan rata-rata dari hasil penelitian sesuai dengan nilai kecepatan
gelombang formasi (batuan). .Metode seismic refraksi ini berguna untuk membentuk citra substruktur
permukaan bawah tanah. Pada gambar 4.15 pada lampiran, formasi yyang terdapat di Poso yakni batu
gamping, napal, batu pasir, bentuk validasi dengan menggunakan peta geologi ini hanya mencocokkan
kecepatan gelombang. Pada hasil seismic refraksi terdapat berbagai rata-rata kecepetan gelombang. Pada
peta geologi disebutkan bahwa sebagian besar formasi pada poso yakni formasi batu gamping dan batu
pasir. Kecepatan gelombang untuk batu gamping yakni 2.0-2.5 km/s, dan batu pasir yakni 2.0-6.0 km/s.
Untuk top soil yang memiliki kecepatan rata-rata kurang dari 2km/s merupakan lapisan lempung yang
memiliki rata-rata kecepatan 1.0-2.5 km/s. Dengan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa wilayah dari
pengambilan data ini bersifat keras karena nilai kecepatan gelombang yang tinggi yang artinya daerah
tersebut lebih kompak dari lainnya. Kekerasan tanah dari suatu wilayah berguna untuk proses
perkembangan bendungan seperti dijadikan development area dll.
Pengolahan data untuk mencitrakan permukaan bawah tanah dibantu oleh software SeisImager
2D. Proses pengolahan data yang dibantu software melalui dua modul yakni modul PickWin dan modul
PlotRefa. Penentuan first arrivals time gelombang dilakukan pada PickWin. Kurva travel time yang
dihasilkan dari proses pada PickWin merupakan modal utama untuk diproses pada modul PlotRefa.
Proses pemodelan lapisan permukaan bawah tanah dilakukan pada modul PlotRefa. Model awal yang
terbentuk dengan mengatur parameter-parameter yang ada dan kurva travel time yang telah dihasilkan
diolah sehingga mendapatkan gambaran tomogram dari permukaan bawah tanah. Hasil dari proses
tersebut menciptakan model akhir tomogram berdasarkan perbedaan rata-rata kecepatan gelombang yang
membentuk sebuah struktur permukaan bawah tanah. Hasil model akhir tomogram didapatkan informasi
yakni terdapat empat lapisan dengan rentang rata-rata kecepatan gelombang 0.415 km/s hingga 2.14 km/s.
Setelah dibandingkan dengan metode VSP dan peta geologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan
dengan kecepatan rata-rata diatas 2 km/s dominan dibandingkan lapisan lainnya. Kecepatan rata-rata
diatas 2 km/s memiliki arti bahwa daerah tersebut memiliki kekerasan tanah yang realtif keras. Dilihat
dari formasi Poso, kekerasan tanah yang keras tersebut terbukti dengan batuan pada daerah penelitian
yakni batu gamping, napal dan batu pasir.
DAFTAR PUSTAKA
1) Bery A. A. 2013, “High Resolution in Seismic Refraction Tomography for Environmental Study”,
International Journal of Geosciences, Vol. 4, pp. 792-796
2) Fitterman, D. V. 1994, “Geophysical Monograph Series”, United State of America: Society of
Exploration Geophysicists.
3) http://www.amuzigi.com/2015/10/geologi-regional-poso.html (diakses pada tanggal 5 Februari
2018, 20.07)
4) Maxwell, S. C. and Young, R. P. (1993). “Seismic Imaging for Blast Damage”, int J Rock Mech
Min Sci, 30, pp.
5) Milson, J. 2003. Field Geophysics: The Geological Field Guide Series. New York: John Wiley&
sons.
6) Modul Kursus Lanjut Metode Geolistrik, Seismik Refleksi, Magnetik dan GPR Semester Break
2004. Laboratorium Fisika Bumi.
7) Nurcahyo, W. D. 2016, “Pemetaan Lapisan Bawah Permukaan dengan Menggunakan Metoda
Vertical Seismic Profiling (VSP)”, Bandung: Institut Teknologi Bandung.
8) Rafferty, J. P. 2012, “Geological Sciences”, UK, Britannica Educational Publishing.
9) Rawlinson, N. & Sambridge, M. 2001. Seismic Travel time Tomography of The Crust and
Lithosphere. Canberra: Australian National University.
10) SeisImager/2DTM Manual Version 3.3 (2009)
11) Sherrif, Robert E. Dan Geldart, L. P. 1982. Explorasi Seismology. New York: Cambridge
University Press.
12) Singer, J. A, Link, C. A., Iverson, S. R. 2006. High Resolution Seismic Refraction Tomography
for Determining Depth of Blast Induced Damage in a Mine Wall. Montana. NIOSH.
13) Telford, W. M., Geldart, L. P., Sheriff, R. E. 1990. Applied Geophysics (Second Edition),
Cambridge: Cambridge University Press.
LAMPIRAN
(a) Data raw untuk middle shot
Gambar 4.12 Data raw gelombang spread D2 pada PickWin. (a) Data raw untuk middle shot. (b) Data raw untuk
end offset shot (awal bentangan). (c) Data raw untuk end offset shot (akhir bentangan). (d) Data raw untuk phantom
shot (sebelum geophone pertama). (e) Data raw untuk phantom shot (setelah geophone terakhir).
Gambar 4.13 First break picking pada data raw gelombang spread D1 pada PickWin. (a) Data untuk middle
shot. (b) Data untuk end offset shot (awal bentangan). (c) Data untuk end offset shot (akhir bentangan). (d) Data
untuk phantom shot (sebelum geophone pertama). (e) Data untuk phantom shot (setelah geophone terakhir).
(a) Kurva traveltime middle shot
Gambar 4.14 Kurva travel time untuk line D2 yang terbentuk pada modul PlotRefa setelah diketahui first arrivals
gelombang seismik pada geophone. (a) Kurva travel time untuk middle shot. (b) Kurva travel time untuk end offset
shot (awal bentangan). (c) Kurva travel time untuk end offset shot (akhir bentangan). (d) Kurva travel time untuk
phantom shot (sebelum geophone pertama). (e) Kurva travel time untuk phantom shot (setelah geophone terakhir).
Table 2.1 Data koordinat geophone beserta elevasi tanah
JALUR D
N KOORDINAT ELEVASI NOMOR
O X Y Z PATOK
1 238855.269 9815106.331 512.350 DP1
2 238852.817 9815068.089 522.597 DP2
3 238851.559 9815043.188 520.996 DP3
4 238856.502 9815155.163 515.981 D1
5 238856.854 9815160.308 517.024 D2
6 238857.365 9815165.074 517.289 D3
7 238857.873 9815170.284 517.465 D4
8 238858.194 9815174.750 516.814 D5
9 238858.552 9815179.445 516.186 D6
10 238859.138 9815184.719 515.895 D7
11 238859.597 9815189.381 515.881 D8
12 238860.255 9815194.290 515.929 D9
13 238860.718 9815199.879 517.615 D10
14 238861.133 9815204.640 518.003 D11
15 238861.639 9815209.743 519.607 D12
16 238862.126 9815214.750 520.069 D13
17 238862.842 9815220.486 519.693 D14
18 238863.192 9815225.406 518.626 D15
19 238863.840 9815230.351 517.765 D16
20 238864.311 9815235.074 517.360 D17
21 238864.842 9815239.603 516.615 D18
22 238865.492 9815245.150 516.197 D19
23 238866.086 9815250.030 513.621 D20
24 238866.830 9815255.976 512.330 D21
25 238867.298 9815260.553 512.421 D22
26 238867.998 9815264.905 512.542 D23
27 238868.456 9815269.888 512.826 D24
28 238869.070 9815275.244 513.321 D25
29 238869.501 9815279.020 513.330 D26
30 238870.135 9815284.786 513.294 D27
31 238870.718 9815289.752 513.002 D28
32 238871.303 9815294.716 512.496 D29
33 238872.7441 9815299.406 510.5363 B8/D30
34 238874.2006 9815304.145 510.10566 D31
35 238875.725 9815309.104 509.71031 D32
36 238877.1932 9815313.881 509.44464 D33
37 238878.5878 9815318.438 508.85273 D34
JALUR D
N KOORDINAT ELEVASI NOMOR
O X Y Z PATOK
38 238880.1225 9815323.445 509.09941 D35
39 238881.5422 9815328.03 508.95503 D36
40 238883.122 9815333.17 508.42398 D37
41 238884.4847 9815337.603 508.98887 D38
42 238886.0126 9815342.574 508.89076 D39
43 238887.5297 9815347.543 508.67184 D40
44 238889.0578 9815352.518 508.68302 D41
45 238890.4556 9815357.069 506.99358 D42
46 238891.883 9815361.717 509.79773 D43
47 238893.286 9815366.307 507.55853 D44
48 238894.7881 9815371.076 507.86644 D45
Gambar 4.15 Peta geologi beserta formasi dari Poso
Gambar 4.16 Kecepatan gelombang P pada suatu material