Sie sind auf Seite 1von 8

Peran Sikap Dukungan Masyarakat Dalam Penyembuhan dan Pembentukan

Karakter Positif Pada Komunitas Waria di Kota Surakarta

Ghazy Wira Pradipta


Prodi S1-Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
UniversitasSebelas Maret, Surakarta, Indonesia
ghazywirapra@gmail.com

Abstract. This research is about the role of the attitude of community support for healing and
positive character formation in the transgender community in Surakarta. This research was
conducted with the aim of knowing the background of someone who has become a transvestite,
what factors behind a person become a transvestite, as well as responses and the role of the
attitude of community support for healing and positive character formation of the existence of
transgender communities in Surakarta City. This research is qualitative with analytical
descriptive method supported by quantitative data. Data collection methods used are in-depth
interviews, observation, and literature. This study found that people in general have a
tendency to respond negatively. This can be seen from the attitude of the people who are
ignorant, do not care or let the behavior occur. Being a transvestite is a choice that is
categorized as deviant, but it is necessary to know that there are factors that cause a person to
become a transvestite such as internal (psychological) factors and environmentally influenced
external factors such as lack of employment and ineffective socialization by the government.
Basically the decision to become a transvestite can be changed or cured. But to make it
happen, of course cooperation from the community and the government is needed, including
through efforts to eliminate the stigma that has been embedded in the community. One of the
most appropriate ways to eliminate this stigma is through participatory approach by involving
the government to help change the mindset of the perpetrators and the community. Just as a
few people have begun to understand the complexity of this problem, they provide a place for
transvestites or transgender to be able to take advantage of their time by shifting the focus of
their activities into something positive and slowly trying to make them aware that the behavior
they have done so far is wrong and deviates from their natural rules as living creatures of
God's religious creation.

Keywords: Community, Transgender, Attitude, Society.

1. PENDAHULUAN

Kesetaraan gender merupakan hal yang telah diketahui banyak orang. Di era masa kini
perempuan maupun laki – laki memiliki hak dan posisi yang sama untuk melakukan sesuatu.
Kebutuhan akan perilaku yang adil dalam hidup bernegara dan bermasyarakat menjadi kebutuhan
asasi setiap manusia. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui banyak orang dalam masyarakat yang
memutuskan untuk mengubah karakterisitik fisiknya sebagai wujud implementasi haknya. Salah
satunya adalah mereka yang umum dikenal sebagai waria. Waria merupakan salah satu contoh kaum
transseksual yaitu male-to-female transsexual atau orang yang terlahir laki – laki namun sejak kecil
merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan (Fibrianto, 2016).
Transgender pada mulanya merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan mereka
yang menggunakan jalan secara medis dalam mengubah jenis kelamin mereka; Namun ternyata
transgender tidak hanya melingkupi orang yang merubah jenis kelaminnya saja, istilah ini kemudian
berubah menjadi mencakup berbagai kemungkinan perubahan identitas dan perilaku, termasuk
transvestitisme dan transseksualisme. Saat ini, waria merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan individu yang identitas dan sosialnya menyimpang dari kodratnya (Lombardi,
2001).
Tatanan sosial dalam masyarakat di Indonesia yang sebagian besar masih menganggap bahwa
waria adalah sebuah “penyakit”, sebuah deviasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial sehingga mereka
belum diterima secara seutuhnya dalam masyarakat. Permasalahan sosial yang dihadapi kaum waria
di Indonesia masih sangat rumit dan kompleks karena berbagai faktor yang kurang mendukung
dalam menjalani kehidupannya secara wajar baik yang diakibatkan oleh faktor internal seperti hidup
menyendiri atau hanya terbatas pada komunitasnya (Purnamasari, lilik et all, 2016). Faktor eksternal
seperti pendidikan terbatas, kemiskinan, ketidaktrampilan, diskriminasi baik dikalangan masyarakat
umum maupun oleh keluarganya sendiri. Dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kaum
waria. Jumlah penduduk yang banyak menjadi salah satu penyebab sebagian orang memutuskan
untuk menjadi waria. Kepadatan penduduk di kota Surakarta ternyata juga disertai dengan
keberagaman penduduknya.
Kita mengetahui bahwasannya kaum waria sebagian besar berorientasi sebagai pekerja seks
komersial (PSK). Karena hal ini, membuat waria (transgender) rentan terkena penyakit AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome). Menurut pengertian AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus
yang disebut HIV(Human Immunodeficiency Virus). Dalam bahasa Indonesia AIDS disebut
sindrom cacat kekebalan tubuh. HIV dapat ditularkan melalui empat (4) cara, yakni: (a) Hubungan
seks (anal, oral, vagina) yang tidak terlindung dengan orang yang telah teinfeksi HIV; (b)
Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara bergantian dengan orang yang terinfeksi HIV; (c)
Ibu hamil penderita HIV kepada bayi yang dikandungnya; (d) Kontak darah/ luka dan transfusi
darah yang sudah tercemar virusHIV. Akan tetapi, HIV tidak dapat menular melalui gigitan nyamuk,
orang bersalaman, berciuman, orang berpelukan, makan bersama/piring dan gelas, tinggal serumah.
(kemenkes, 2014)
Tabel 1.1 Tabel Penduduk Kota Solo Per Kecamatan.

Sumber : Dispendukcapil Kota Surakarta Tahun 2015


Keberagaman penduduk tersebut mendorong komunitas tumbuh subur di kota tersebut.
Banyak komunitas yang berkembang dengan latar belakang dan tujuan masing-masing. Seperti
komunitas berlatarbelakang gender, ada beberapa komunitas diantaranya komunitas HIWASO
(komunitas waria), gaya mahardika (komunitas gay), Mitra alam , dan komunitas lainya.
Banyaknya penduduk Kota Solo dengan segala persaingan pekerjaan, menyebabkan tidak
sedikit masyarakat Solo yang memutuskan untuk bergabung bersama HIWASO. Kehadiran
HIWASO (Himpunan Waria Solo) rupanya mampu menaikkan derajad mereka sebagai waria untuk
eksis di dunia luarAnggota dari HIWASO (Solopos, Jumat 13 November 2015) sendiri sampai saat
ini sebanyak 97 se-Soloraya, sebagai waria yang terdaftar resmi sebagai anggota Hiwaso. Yang
mana 60 orang berdomisili di Solo. Menjadi seorang waria memang memiliki banyak risiko. Terkait
dengan keterbatasan pekerjaan dibidang formal, menjadi wanita tuna susila bagi kalangan waria
menimbulkan masalah tersendiri mengingat dampak yang bisa ditimbulkan, baik dampak dari segi
sosial ataupun dari sisi kesehatan. Hal tersebut menjadi tugad dan tantangan baik dari individu itu
sendiri, masyarakat maupun pemerintah untuk menyembuhkan.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan pendekatan kualitatif. Wawancara
merupakan proses untuk memperoleh keterangan dengan tanya jawab sambil bertatap muka antara si
penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1999).
Sedangkan penelitian kualitatif merupakan suatu studi/ penelitian ilmiah yang memiliki
tujuan untuk memahami suatu fenomena yang berada dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang
diteliti (Herdiansyah, 2012). Strauss dan Corbin (1997: 11-13) menyatakan bahwa “Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi
(pengukuran).” Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi, organisasi, aktivitas sosial, dan lain-
lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana
metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik
fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
deskriptif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam agama yang kita kenal, Tuhan menciptakan manusia dalam dua macam jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, namun pada dasarnya, banyak orang-orang jaman dulu sampai
sekarang perilakunya banyak ysng sudah berubah diluar dari takdir yang telah Tuhan tetapkan.
Gender ketiga yang mucul dikenal dengan sebutan waria atau pria transgender.
Penduduk transgender menurut perhitungan dari hasil penelitian Alfred Kinsey (1948-1953)
sekitar 10 % dari total penduduk suatu negara. Namun, untuk negara Indonesia, jumlahnya
diperkirakan sekitar 1% dari total penduduk ( penelitian dilakukan oleh komunitas gay, Gaya
Nusantara Surabaya). Namun, hasil penelitian yang berbeda diungkapkan oleh Permana
Muhammad selaku Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gay, Waria, dan lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki (Gwl-Ina). Di Indonesia perkiraan jumlah gay dan lesbian sekitar
800 ribu, penelitian dilakukan tahun 2009 dan jumlahnya akan terus meningkat. (Azmi, 2015)
Komponen praktisi kesehatan berupa psikolog maupun guru konseling sangat berperan dalam
mendiagnosa sesorang yang mengalami gay ataupun lesbian . mereka merupakan garda terdepan
sebagai komponen yang perlu untuk mengatasi dan mengantisipasi segala bentuk potensi
permasalahan yang muncul akibat fenomena tersebut.
Pada riset dengan metode mewawancarai seorang praktisi kesehatan (psikolog klinis)
bermana Ibu Khotim, S.Psi dan seorang waria (transgender), yang namanya tidak mau disebutkan.
Pada kesempatan kali ini saya dapat mengidentifikasi faktor penyebab menjadi waria, dampak
menjadi waria, dan sikap atau peran dari masyarakat sendiri untuk turut serta membantu dalam
penyembuhan mental kaum waria.
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Khotim, S.Psi selaku narasumber yang saya
wawancarai. Transgender merupakan kepribadian ganda yang dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang yang jika dilihat dari casing fisik luarnya sebenarnya dia laki-laki namun dari
casing dalamnya dan perilakunya dia adalah seorang perempuan, begitu pula sebaliknya. Pada
dasarnya tidak seorang pun mau dicap atau disebut oleh masyarakat luas sebagai pria transgender
(waria). Tidaklah mudah untuk menjalani kehidupan yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
pada umumnya, namun pada riset atau penelitian yang saya lakukan dengan menggunakan metode
wawancara dengan seorang pria transgender (waria) bahwasannya ia memiliki cerita tersendiri
mengapa dia bisa sampai menjadi seorang waria.
Pada awalnya Informan, yang tidak mau disebutkan namanya tersebut, mengungkapkan
bahwa dia memiliki masalah bahwasannya dari dulu dia merasa bahwa dia terlahir sebagai seorang
perempuan, namun fisiknya laki-laki. Sejak kecil dia suka bermain dengan kawan-kawan
perempuan, memakai pakaian feminim, dan lain sebagainya. Kemudian ia memtuskan untuk terjun
ke dunia malam yang penuh bahaya. Saat itu Informan merasa bahwa terdapat padangan hidup yang
masih negatif terhadap kaum waria yang dilakukan oleh masyarakat terutama di Kota Surakarta ini
yang saya jadikan sebagai objek penelitian. Informan mengungkapkan bahwa ketika dahulu dia aktif
melakukan pekerjaan terlarang dalam dunia malam, dia sering dicari maki, diejek, dan sampai
dilempari batu atau botol minuman ke arahnya. Saat sering diperlakukan dan merasa tidak diterima
oleh masyarakat luas, lambat laun dia akhirnya perlahan-lahan ingin berubah menjadi pribadi yang
lebih baik. Pada dasarnya kita sebagai manusia biasa termasuk orang waria juga ingin diterima dan
menjadi bagian dari masyarakat yang luas. Setiap orang hidup pastinya menginginkan kebebasan
untuk bisa mengekspresikan dirinya dan membentuk suatu komunitas pertemanan yang baik. Tidak
terdapatnya batasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang waria adalah sesuatu hal yang
sangat diinginkan.
Namun setelah pengalaman kelam yang telah dialami informan, sekarang Informan telah
memiliki pekerjaan tetap menjadi seorang pegawai salon dan perancang busana yang tentunya
pekerjaan tersebut lebih baik, dan informanpun merasa sangat puas, karena dari pekerjaan tersebut
infoman merasa dapat hidup lebih baik.
Ibu Khotim, S.Psi juga menjelaskan bahwasannya banyak stigma dari masyarakat secara
umum bahwa dulu ketika mengandung ibunya menginginkan bayi perempuan namun justru ketika
dilahirkan ternyata tidak sesuai dengan realita. Sebetulnya waria itu mempunyai fungsi organ-organ
reproduksinya layaknya laki-laki normal, namun justru banyak waria jaman sekarang yang berusaha
semaksimal mungkin sampai mengeluarkan biaya yang banyak demi mengubah orang kelaminnya
secara fisik dan banyak yang melakukan suntik untuk meningkatkan feminimitasnya. Munculnya
jiwa perempuan pada orang waria dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendukung antara
lain:
1. Lingkungan ketika kecilnya, terutama lingkungan pergaulan banyak dikelilingi oleh sosok
figur perempuan, jadi ketika dewasa pun kebiasaan tersebutpun akan terus terbawa
2. Adanya struktur keluarga yang telah rusak atau broken home, sehingga membuat pengalaman
yang kelam dari sejak lama yang terpatri dalam pikiran orang waria tersebut yang akhirnya
dia berusaha untuk mengubah identitas atau jati diri yang dia punyai selama ini.
3. Trauma dari masa lampau yang menyebabkan pukulan keras pada mental atau psikisnya,
misalnya: ada anak yang mengalami kekerasan seksual di masa kecilnya. Kekerasan seksual
pada anak kecil akan membuat trauma yang parah dalam pembentukan mental kehidupan
ketika dewasa kelak.
Ketika terdapat gejolak di hatinya, informan (waria) tersebut merasa sangat putus asa
terhadap kondisi yang dialaminya karena merasa terisolasi dari dunia luar. Kemudian dia
berkonsultasi terhadap masalah yang ia hadapi ke beberpa LSM dan psikolog bahka dia mendatangi
ulama,kita tahu bahwa perilaku transgender merupakan sesuatu yang menyimpang dari ajaran
agama. Dalam segi agama islam pun, jaman dahulu terdapat kaum di masa Nabi Luth menjadi
khalifah yang mana kaum tersebut merupakan pelaku transgender dan LGBT, lalu Allah melaknat
kaum-kaum tersebut dalam firmannya di dalam Al-Quran, berkat pembelajaran tersebut informan
merasa tersentuh, lalu perlahan-lahan ia mau berubah dan dia mau untuk diarahkan untuk bisa
merubah sikapnya selama ini dan kepribadiannya, sehingga akhirnya dia bergabung dengan salah
kelompok organisasi waria di Surakarta bernama HIWASO. Oraganisasi HIWASO sendiri dibentuk
oleh sekumpulan orang yang peduli akan nasib kesehatan mental kaum waria. Orgaisasi ini memiliki
kantor sekretariatan yang beralamat di Jalan Samudra Pasai RT 05 RW 26 Desa Combong,
Kadipiro, Banjarsari. ( Meskipun organisasi ini berlatarbelakang gender yangmana masih dianggap
oleh masyarakat secara luas sebagai suatu penyimpangan, namun organisasi tersebut sudah
dilindungi payung hukum dengan berakta notaris. HIWASO merupakan salah satu organisasi yang
mewadahi para anggotanya untuk membentuk dan memperbaiki karakter yang ada pada diri kaum
waria dengan mengalihkannya melalui aktivitas-aktivitas yang positif. Misalnya dengan
menyelenggarakan pertemuan rutin, penyuluhan dan cek kesehatan, kegiatan olah raga yaitu bola
voly. Selain menjaga silaturahmi dan komunikasi sesama anggota. Kegiatan organisasi ini juga
mampu memberikan sumbangan positif bagi anggotanya untuk membuka diri kepada masyarakat.
Seperti halnya dengan kegiatan bola voly yang diselenggrakan pada sore hari seminggu 2 kali.
Organisasi ini juga sering melakukan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya
HIV/AIDS kepada masyarakat khususnya ibu-ibu dan remaja sehingga secara tidak langsung
mereka mampu menujukan bahwa waria tidak selamanya memiliki pengaruh yang buruk. Selain itu
organisasi ini juga melaksanakan kunjungan ke panti halmelatih rasa empati yang tinggi antar
sesama manusia. Semua kegiatan HIWASO merupakan sebagai upaya yang mereka lakukan agar
mereka dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan melalui organisasi ini mereka perlahan-lahan
membantu penyembuhan mental, sifat, dan karakter yang dipunyai selama ini. (Novitasari,Anis et al,
2015)
Sedangkan Tanggapan dari Ibu Khotim, S.Psi selaku narasumber yang saya wawancarai
menyatakan bahwasannya penyakit mental ini tidaklah menular, namun sesorang dapat menjadi
“ikut-ikutan” apabila seseorang tersebut dapat berkumpul dengan orang yang punya frekuensi yang
sama sehingga dia merasa menjadi lebih nyaman dan semakin terkokohkan keberadaanya, dan pada
akhirnya orang-orang yang punya frekuensi sama ini saling melengkapi antara satu dengan yang
lain, lalu mereka membentuk suatu perkumpulan atau organisasi, seperti halnya yang terjadi di kota
Surakarta ini. Namun dengan catatan bahwa tidak semua organisasi yang dimiliki oleh kaum waria
selalu beorientasi ke arah yang negatif, tentunya banyak pula organisasi perkumpulan waria yang
bertujuan untuk membangun kembali karakter, mental, serta sikap dari waria-waria tersebut agar
menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Sesuai dengan konsep psikologi klinis yang ada, sebenarnya semua penyakit mental (waria)
ini sangat bisa disembuhkan, namun dengan catatan kesembuhan penyakit mental ini butuh
kesadaran diri dari hati terdalamnya yang tinggi untuk sembuh secara totalitas dari gangguan atau
kelainan mental ini. Penyembuhan dari sisi medis juga dapat memiliki andil, sebetulnya pada era
globalisasi seperti ini banyak terapi yang dikembangkan oleh ilmuan yaitu :
1. Terapi gen, yaitu dengan mekanisme memperbanyak hormon-hormon maskulinasi yang
ada di dalam penderitanya. Dengan konsentrasi hormon maskulinansi yang tinggi didalam
tubuh diharapkan dapat mengembangkan horom testosteron yang melimpah dalam darah,
yang mana hormon tersebut dapat meningkatkan maskulinasi dari segi fisik dan psikis.
2. Sedangkan bagi kaum waria yang bekerja di dunia malam memiliki paparan terbesar akan
HIV/AIDS. Dan kita tahu HIV/AIDS sampai saat inipun belum bisa disembuhkan secara
tuntas, tetapi ada jenis obat antiretroviral (ARV) yang mencegah perkembangan virus HIV
di dalam sel darah putih. Obat tersebut harus rutin setiap hari dikonsumsi. HIV umumnya
ditularkan melalui cairan tubuh penderita HIV, melalui jarum suntik yang tidak steril,
hubungan seks, transfusi darah terkontaminasi virus HIV (Kalalo, Tjitrosantoso, &
Goenawi, 2011).
Selain dari segi medis, peran lingkungan atau masyarakat dan pemerintah juga sangat
memiliki andil dalam perubahan karakter atau perilaku seorang waria menjadi lebih positif. Antara
lain, kita dapat mendukung untuk Survive (Bertahan Hidup), meskipun sama-sama melakukan
aktifitas untuk survive diantara waria, tetapi bagi penderita HIV/AIDS survive tersebut haruslah
ekstra karena selain menderita gangguan mental mereka juga menderita penyakit serius berupa
HIV/AIDS. Dari sisi psikis dukungan tersebut dapat diwujudkan dengan bentuk nasehat yang
kontinuitas untuk dapat merubah pola berpikirnya serta tingkah lakunya, lalu dari sisi fisik dapat
mengkonsumsi makanan yang sehat dan segar, mengkonsumsi buah-buahan, dan makanan sehat
lainnya. Makanan-makanan sehat tersebut sangat diperlukan terutama bagi kaum waria yang terkena
HIV/AIDS (ODHA), hal ini karena kondisi daya tahan tubuh mereka yang cenderung lebih lemah
darp pada yang lainnya (karena sel darah putih mereka dihancurkan dan dirusak oleh virus HIV,
sehingga mereka tidak punya imun yang cukup) (Purnamasari, lilik et al, 2016).
Dukungan dari pemerintah dan masyarakat terhadap penyembuhan mental waria merupakan
kunci yang penting juga. Dukungan pemerintah dapat diakatakan memiliki peran penting karena
pemerintah memiliki otoriter dalam hal memberi kebijakan dalam segala hal. Pemerintah dan
masyarakat selain dapat membuat suatu organisasi/ wadah untuk menampung kaum waria menjadi
berbuat lebih positif dapat juga mengadakan sosialisasi tentang dampak negatif waria yang bisa
dirasakan oleh waria sendiri dan masyarakat. Kita sebagai elemen masyarakat hendaknya juga turut
membantu dengan gerakan penyadaran ini demi kebaikan kita bersama. Misalnya: mahasiswa
kedokteran dapat melakukan penyuluhan kesehatan kepada kaum waria tentang bahaya HIV/AIDS
serta dapat melakukan penyuluhan akan kesehatan mental tentang kepribadian dari waria tersebut.
Menurut narasumber, dalam menyembuhkan orang yang terkena penyakit mental, memang
harus dilarikan ke hal-hal yang positif guna menyalurkan bakat dan keterampilan terpendamnya,
misalnya: bernanyi, memasak, atau menjahit. Namun pada akhirnya semua perubahan yang terjadi
pada jiwa trans gender muncul harus atas kesadaran diri sendiri, karena kesadaran diri sendiri
menjadi faktor utama untuk merubah sikap orang.

4. SIMPULAN
Waria merupakan laki – laki yang berorientasi seks wanita dan memutuskan berpenampilan seperti
wanita. Keputusan untuk menjadi waria dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik factor internal
atau dari dalam diri orang itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan.
Kehidupan menjadi waria tentu berdampak pada sikap dan perilaku seseorang berbeda dari biasanya
dan menyebabkan anggapan buruk dari orang lain. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa waria
dapat disembuhkan dengan meminimalisir faktor penyebabnya.

5. SARAN
Bagi subjek penelitian, alangkah baiknya segara mempunyai kesadaran diri yang tinggi
terhadap segala perbutan dan perilaku yang dilakukannya selama ini. Hendaknya pula juga
berkonsultasi dengan psikiater dan memperdalam ilmu agamnya. Dimana dari sana diharapkan akan
terbentuk kepribadian yang kokoh untuk melawan keinginan diri, serta sadar akan fitrahnya sejak
lahir.
Bagi masyarakat, hendaknya untuk lebih peka terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat.
Jangan sampai fenomena tersebut terjadi dan luput dari penglihatan mata. Orang yang menunjukkan
perilaku waria atau transgender alangkah baiknya janganlah dijauhi, namun justru didekati dan di
nasehati secara baik-baik. Dengan dijelaskan bahwa perbuatan dan perilaku yang dia lakukan selama
ini menyimpang dan tergolong gangguan mental.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Solopos, Jumat 13 November 2015
Suharsini, Arikunto. (1993). Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka Cipta
Wawan, A dan Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku.
Yogyakarta: Nusa Medika
Jurnal
Azmi, K. R. (2015). Enam Kontinum Dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif Solusi Untuk
Konseli LGBT. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan
Dan Bimbingan Konseling, 1(1), 50. https://doi.org/10.26858/jpkk.v1i1.1136
Fibrianto, A. S. (2016). Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas
Sebelas Maret Surakarta Tahun 2016. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jedral Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Lombardi, E. (2001). Enhancing Transgender Health Care. 91(6), 869–872.
Ningsih, E.S.W, Syafiq, M. (2010). Pengalaman Menjadi Pria Transgender (Waria): Sebuah Studi
Fenomenologi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Novitasari, Anis et al. (2015). Strategi Anggota Kelompok Himpunan Waria Solo (HIWASO)
dalam Menghadapi Berbagai Bentuk Diskriminasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Purnamasari, lilik et al. (2016). Strategi Bertahan Hidup Waria Odha (Studi Kasus Waria ODHA
dalam Komunitas Himpunan Waria Solo). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sutarmanto, Hadi, et al. (2017). Dinamika Dukungan Sosial Bagi Orang dengan HIV/AIDS.
Yogyakarta: UNY & UGM.
Zainul Ahwan. (2013). Stigma dan Diskriminasi HIV & AIDS Pada Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) di Masyarakat. Pasuruan: Universitas Yudharta.
Lampiran: Pedoman Wawancara
1. Wawancara kepada Psikiater
Nama : Ibu Khotim, S.Psi
Usia : 42 Tahun
1. A: “Apakah sebenarnya pengertian waria (transgender) dari segi psikologi klinis?”
B: “Transgender adalah kepribadian ganda yang diliki oleh seseorang atau sekelompok orang
yang jika dilihat dari casing fisik luarnya sebenarnya dia laki-laki namun dari casing
dalamnya dan perilakunya dia adalah seorang perempuan.”

2. A: “Apa sajakah yang menjadi latar belakang seseorang menjadi seorang waria?”
B: “Sebenarnya banyak stigma dari masyarakat umum bahwa dulu ketika mengandung
ibunya menginginkan bayi perempuan namun justru ketika dilahirkan ternyata tidak sesuai
dengan realita. Dan waria aslinya punya organ yang masih normal.”
3. A: “Apakah faktor– faktor yang berperan pada seorang waria hingga akhirnya dia
memutuskan untuk menjadi seorang transgender?”
B: “Bisa dari lingkungan ketika kecilnya, terutama lingkungan pergaulan banyak dikelilingi
oleh sosok figur perempuan, jadi ketika dewasa pun kebiasaan tersebutpun akan terus
terbawa , lalu adanya struktur keluarga yang telah rusak atau broken home, sehingga
membuat pengalaman yang kelam dari sejak lama yang terpatri dalam pikiran orang waria
tersebut yang akhirnya dia berusaha untuk mengubah identitas atau jati diri yang dia punyai
selama ini, dan terakhir trauma dari masa lampau yang menyebabkan pukulan keras pada
mental atau psikisnya.”
4. A: “Bagaimanakah tanggapan masyarakat awam terkhusus masyarakat di Kota
Surakarta terhadap keberadaan waria?”
B: “Banyak ya diantara kita yang justru menjauhi dan memusuhi kaum seperti ini,
hendaknya kaum seperti ini kita jaga dan turut bantu kesembuhannya, jangan malah
dimusuhi dan dihina serta diejek-ejek.”
5. A: “Apa sajakah peran yang sudah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam
membantu pengobatan mental guna memberantas angka transgender di Kota
Surakarta?”
B: “ Banyak ya peran masyarakat. Misalnya sudah banyak organisasi waria yang berbadan
hukum yang didirika oleh masyarakat dan pemerintah yang peduli akan kaum waria ini.
Disana mereka dilatih untuk perlahan-lahan disadarkan tentang siapa diri mereka
sebenarnya.”

6. A: “Apakah waria bisa disembuhkan? Kalau bisa, bagaimana caranya?”


B: “Dalam konteks ilmu psikologi klinis, semua penyakit mental dapat disembuhkan.
Penyakit mental ini tidaklah menular, namun sesorang dapat menjadi “ikut-ikutan” apabila
seseorang tersebut dapat berkumpul dengan orang yang punya frekuensi yang sama sehingga
dia merasa menjadi lebih nyaman dan semakin terkokohkan keberadaanya, dan pada
akhirnya orang-orang yang punya frekuensi sama ini saling melengkapi antara satu dengan
yang lain, lalu mereka membentuk suatu perkumpulan atau organisasi, seperti halnya yang
terjadi di kota Surakarta ini. Namun dengan catatan bahwa tidak semua organisasi yang
dimiliki oleh kaum waria selalu beorientasi ke arah yang negatif, tentunya banyak pula
organisasi perkumpulan waria yang bertujuan untuk membangun kembali karakter, mental,
serta sikap dari waria-waria tersebut agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Penyembuhan
selain dialihkan ke kegiatan yang positif, dalam segi medis bisa diakukan terapi hormon dan
ARV bagi yang sudah menderita HIV/AIDS.”
2. Wawancara kepada Waria
Nama : Tidak mau disebutkan (Insial A)
Usia : 38 Tahun
1. A: “Apakah yang melatarbelakangi anda menjadi seorang waria?”
C: “Dulu tiba-tiba saja saya merasa bahwa saya terlahir sebagai seorang perempuan,
namun fisiknya laki-laki, saya merasa sangat terperangkap akan keadaan ini. Sejak
kecil memang saya suka bermain dengan kawan-kawan perempuan dan memakai
pakaian-pakaian yang feminim.”
2. A: “Bagaimanakah perjalanan hidup anda dari awal menjadi seorang waria hingga
memutuskan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi?”
C: “Wah komplekas ya sebenarnya. Saya mulai terjun didunia malam dan jadi waria
mulai sejak remaja, kemudian saya merasa kok saya bila bergaul seperti dijauhi dan
banyak masyarakat yang secara langsung mengejek saya, lalu saya putus asa. Lambat,
laun pintu hati nurani saya terbuka. Datanglah saya ke tempat psikiater dan ustad
untuk konsultasi masalah saya. Akhirnya mereka menyarankan untuk bergabung ke
HIWASO.”
3. A: “Bagaimanakah tanggapan masyarakat awam terkhusus masyarakat di Kota
Surakarta terhadap keberadaan anda sebagai seorang waria?”
C: “Wah.... itu jangan ditanya lagi. Dulu waktu malam-malam saya baru jalan habis
kerja itu peranah dilembar pakai batu dan botol sama remaja laki-laki se grup gitu.”
4. A: “Bagaimanakah peran organisasi tersebut dalam merubah hidup anda?”
C: “Bisa dibilang cukup bisa merubah hidup saya ya, saya diajarkan untuk bagaimana
caranya bisa berubah dengan, misalnya: menyelenggarakan pertemuan rutin,
penyuluhan dan cek kesehatan, kegiatan olah raga yaitu bola voly. Selain menjaga
silaturahmi dan komunikasi sesama anggota. Kegiatan organisasi tersebut juga
mampu memberikan sumbangan positif bagi saya untuk membuka diri kepada
masyarakat.”
5. A: “Bagaimanakah kehidupan anda sekarang setelah berhenti dari dunia malam?”
C: “Bisa dibilang kehidupan saya saat ini jauh lebih baik daripada masa-masa saya
menjadi PSK waria. Saya sekarang menjadi pegawai salon dan perancang busana, dan saya
pun merasa sangat puas dengan pekerjaan saat ini, karena dari pekerjaan sekarang ini saya
merasa dapat hidup lebih baik dan tenang. Serta lebih bisa dekat dan bergaul dengan
masyarakat.”

Das könnte Ihnen auch gefallen