Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Abstract. This research is about the role of the attitude of community support for healing and
positive character formation in the transgender community in Surakarta. This research was
conducted with the aim of knowing the background of someone who has become a transvestite,
what factors behind a person become a transvestite, as well as responses and the role of the
attitude of community support for healing and positive character formation of the existence of
transgender communities in Surakarta City. This research is qualitative with analytical
descriptive method supported by quantitative data. Data collection methods used are in-depth
interviews, observation, and literature. This study found that people in general have a
tendency to respond negatively. This can be seen from the attitude of the people who are
ignorant, do not care or let the behavior occur. Being a transvestite is a choice that is
categorized as deviant, but it is necessary to know that there are factors that cause a person to
become a transvestite such as internal (psychological) factors and environmentally influenced
external factors such as lack of employment and ineffective socialization by the government.
Basically the decision to become a transvestite can be changed or cured. But to make it
happen, of course cooperation from the community and the government is needed, including
through efforts to eliminate the stigma that has been embedded in the community. One of the
most appropriate ways to eliminate this stigma is through participatory approach by involving
the government to help change the mindset of the perpetrators and the community. Just as a
few people have begun to understand the complexity of this problem, they provide a place for
transvestites or transgender to be able to take advantage of their time by shifting the focus of
their activities into something positive and slowly trying to make them aware that the behavior
they have done so far is wrong and deviates from their natural rules as living creatures of
God's religious creation.
1. PENDAHULUAN
Kesetaraan gender merupakan hal yang telah diketahui banyak orang. Di era masa kini
perempuan maupun laki – laki memiliki hak dan posisi yang sama untuk melakukan sesuatu.
Kebutuhan akan perilaku yang adil dalam hidup bernegara dan bermasyarakat menjadi kebutuhan
asasi setiap manusia. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui banyak orang dalam masyarakat yang
memutuskan untuk mengubah karakterisitik fisiknya sebagai wujud implementasi haknya. Salah
satunya adalah mereka yang umum dikenal sebagai waria. Waria merupakan salah satu contoh kaum
transseksual yaitu male-to-female transsexual atau orang yang terlahir laki – laki namun sejak kecil
merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan (Fibrianto, 2016).
Transgender pada mulanya merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan mereka
yang menggunakan jalan secara medis dalam mengubah jenis kelamin mereka; Namun ternyata
transgender tidak hanya melingkupi orang yang merubah jenis kelaminnya saja, istilah ini kemudian
berubah menjadi mencakup berbagai kemungkinan perubahan identitas dan perilaku, termasuk
transvestitisme dan transseksualisme. Saat ini, waria merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan individu yang identitas dan sosialnya menyimpang dari kodratnya (Lombardi,
2001).
Tatanan sosial dalam masyarakat di Indonesia yang sebagian besar masih menganggap bahwa
waria adalah sebuah “penyakit”, sebuah deviasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial sehingga mereka
belum diterima secara seutuhnya dalam masyarakat. Permasalahan sosial yang dihadapi kaum waria
di Indonesia masih sangat rumit dan kompleks karena berbagai faktor yang kurang mendukung
dalam menjalani kehidupannya secara wajar baik yang diakibatkan oleh faktor internal seperti hidup
menyendiri atau hanya terbatas pada komunitasnya (Purnamasari, lilik et all, 2016). Faktor eksternal
seperti pendidikan terbatas, kemiskinan, ketidaktrampilan, diskriminasi baik dikalangan masyarakat
umum maupun oleh keluarganya sendiri. Dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kaum
waria. Jumlah penduduk yang banyak menjadi salah satu penyebab sebagian orang memutuskan
untuk menjadi waria. Kepadatan penduduk di kota Surakarta ternyata juga disertai dengan
keberagaman penduduknya.
Kita mengetahui bahwasannya kaum waria sebagian besar berorientasi sebagai pekerja seks
komersial (PSK). Karena hal ini, membuat waria (transgender) rentan terkena penyakit AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome). Menurut pengertian AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus
yang disebut HIV(Human Immunodeficiency Virus). Dalam bahasa Indonesia AIDS disebut
sindrom cacat kekebalan tubuh. HIV dapat ditularkan melalui empat (4) cara, yakni: (a) Hubungan
seks (anal, oral, vagina) yang tidak terlindung dengan orang yang telah teinfeksi HIV; (b)
Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara bergantian dengan orang yang terinfeksi HIV; (c)
Ibu hamil penderita HIV kepada bayi yang dikandungnya; (d) Kontak darah/ luka dan transfusi
darah yang sudah tercemar virusHIV. Akan tetapi, HIV tidak dapat menular melalui gigitan nyamuk,
orang bersalaman, berciuman, orang berpelukan, makan bersama/piring dan gelas, tinggal serumah.
(kemenkes, 2014)
Tabel 1.1 Tabel Penduduk Kota Solo Per Kecamatan.
2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan pendekatan kualitatif. Wawancara
merupakan proses untuk memperoleh keterangan dengan tanya jawab sambil bertatap muka antara si
penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1999).
Sedangkan penelitian kualitatif merupakan suatu studi/ penelitian ilmiah yang memiliki
tujuan untuk memahami suatu fenomena yang berada dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang
diteliti (Herdiansyah, 2012). Strauss dan Corbin (1997: 11-13) menyatakan bahwa “Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi
(pengukuran).” Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi, organisasi, aktivitas sosial, dan lain-
lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana
metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik
fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
deskriptif.
4. SIMPULAN
Waria merupakan laki – laki yang berorientasi seks wanita dan memutuskan berpenampilan seperti
wanita. Keputusan untuk menjadi waria dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik factor internal
atau dari dalam diri orang itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan.
Kehidupan menjadi waria tentu berdampak pada sikap dan perilaku seseorang berbeda dari biasanya
dan menyebabkan anggapan buruk dari orang lain. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa waria
dapat disembuhkan dengan meminimalisir faktor penyebabnya.
5. SARAN
Bagi subjek penelitian, alangkah baiknya segara mempunyai kesadaran diri yang tinggi
terhadap segala perbutan dan perilaku yang dilakukannya selama ini. Hendaknya pula juga
berkonsultasi dengan psikiater dan memperdalam ilmu agamnya. Dimana dari sana diharapkan akan
terbentuk kepribadian yang kokoh untuk melawan keinginan diri, serta sadar akan fitrahnya sejak
lahir.
Bagi masyarakat, hendaknya untuk lebih peka terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat.
Jangan sampai fenomena tersebut terjadi dan luput dari penglihatan mata. Orang yang menunjukkan
perilaku waria atau transgender alangkah baiknya janganlah dijauhi, namun justru didekati dan di
nasehati secara baik-baik. Dengan dijelaskan bahwa perbuatan dan perilaku yang dia lakukan selama
ini menyimpang dan tergolong gangguan mental.
6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Solopos, Jumat 13 November 2015
Suharsini, Arikunto. (1993). Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka Cipta
Wawan, A dan Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku.
Yogyakarta: Nusa Medika
Jurnal
Azmi, K. R. (2015). Enam Kontinum Dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif Solusi Untuk
Konseli LGBT. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan
Dan Bimbingan Konseling, 1(1), 50. https://doi.org/10.26858/jpkk.v1i1.1136
Fibrianto, A. S. (2016). Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas
Sebelas Maret Surakarta Tahun 2016. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jedral Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Lombardi, E. (2001). Enhancing Transgender Health Care. 91(6), 869–872.
Ningsih, E.S.W, Syafiq, M. (2010). Pengalaman Menjadi Pria Transgender (Waria): Sebuah Studi
Fenomenologi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Novitasari, Anis et al. (2015). Strategi Anggota Kelompok Himpunan Waria Solo (HIWASO)
dalam Menghadapi Berbagai Bentuk Diskriminasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Purnamasari, lilik et al. (2016). Strategi Bertahan Hidup Waria Odha (Studi Kasus Waria ODHA
dalam Komunitas Himpunan Waria Solo). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sutarmanto, Hadi, et al. (2017). Dinamika Dukungan Sosial Bagi Orang dengan HIV/AIDS.
Yogyakarta: UNY & UGM.
Zainul Ahwan. (2013). Stigma dan Diskriminasi HIV & AIDS Pada Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) di Masyarakat. Pasuruan: Universitas Yudharta.
Lampiran: Pedoman Wawancara
1. Wawancara kepada Psikiater
Nama : Ibu Khotim, S.Psi
Usia : 42 Tahun
1. A: “Apakah sebenarnya pengertian waria (transgender) dari segi psikologi klinis?”
B: “Transgender adalah kepribadian ganda yang diliki oleh seseorang atau sekelompok orang
yang jika dilihat dari casing fisik luarnya sebenarnya dia laki-laki namun dari casing
dalamnya dan perilakunya dia adalah seorang perempuan.”
2. A: “Apa sajakah yang menjadi latar belakang seseorang menjadi seorang waria?”
B: “Sebenarnya banyak stigma dari masyarakat umum bahwa dulu ketika mengandung
ibunya menginginkan bayi perempuan namun justru ketika dilahirkan ternyata tidak sesuai
dengan realita. Dan waria aslinya punya organ yang masih normal.”
3. A: “Apakah faktor– faktor yang berperan pada seorang waria hingga akhirnya dia
memutuskan untuk menjadi seorang transgender?”
B: “Bisa dari lingkungan ketika kecilnya, terutama lingkungan pergaulan banyak dikelilingi
oleh sosok figur perempuan, jadi ketika dewasa pun kebiasaan tersebutpun akan terus
terbawa , lalu adanya struktur keluarga yang telah rusak atau broken home, sehingga
membuat pengalaman yang kelam dari sejak lama yang terpatri dalam pikiran orang waria
tersebut yang akhirnya dia berusaha untuk mengubah identitas atau jati diri yang dia punyai
selama ini, dan terakhir trauma dari masa lampau yang menyebabkan pukulan keras pada
mental atau psikisnya.”
4. A: “Bagaimanakah tanggapan masyarakat awam terkhusus masyarakat di Kota
Surakarta terhadap keberadaan waria?”
B: “Banyak ya diantara kita yang justru menjauhi dan memusuhi kaum seperti ini,
hendaknya kaum seperti ini kita jaga dan turut bantu kesembuhannya, jangan malah
dimusuhi dan dihina serta diejek-ejek.”
5. A: “Apa sajakah peran yang sudah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam
membantu pengobatan mental guna memberantas angka transgender di Kota
Surakarta?”
B: “ Banyak ya peran masyarakat. Misalnya sudah banyak organisasi waria yang berbadan
hukum yang didirika oleh masyarakat dan pemerintah yang peduli akan kaum waria ini.
Disana mereka dilatih untuk perlahan-lahan disadarkan tentang siapa diri mereka
sebenarnya.”