Sie sind auf Seite 1von 16

PENGUATAN LEMBAGA ADAT SEBAGAI

LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA*


(Studi terhadap Lembaga Adat di Kabupaten Banyu Asin, Sumsel dan di Provinsi Papua)

STRENGTHENING THE ADAT INSTITUTIONS AS AN


ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION INSTITUTIONS
(A Study on the Adat Institution in Banyu Asin Distric, Province of South Sumatera
and Province of Papua)

Inosentius Samsul
Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI, Email: Ino.samsul@yahoo.com
Naskah diterima: 22 Juli 2014
Naskah direvisi: 30 September 2014
Naskah diterbitkan: 24 November 2014

Abstract
When the formal state institutions experiencing a crisis of public confidence in dispute resolution, emerging demand to
strengthen the role of adat institution as an alternative dispute resolution institutions. The problems that are the focus of this
research first, how the arrangements regarding the recognition of adat institution in the current positive law? Second, how
the authority of adat institution in resolving the dispute? Third, what effort is done by each region and district to strengthen
the role of adat institution? This study is a socio-legal, wich is explaining the legal and non-legal aspects of the role of adat
institution in the resolution of disputes. Theoretically, this research is a study of the institutional aspects of legal system and
law enforcement in the two regions, namely the Province of Papua and Muara Enim district South Sumatera Province.
The results of this study found that the arrangements regarding the recognition of adat institutions are spread in a variety
of legislation, both from the Constitution and the various laws and regulations. Completion forward muyawarah is one
positive of the dispute settlement mechanism through adat institution. Papua and Muara Enim strengthen adat institution
by issuing local regulations. The author recommends the need for regulation in a separate and special Act systematically
and comprehensive arranged on adat institution governing its role as an institution of alternative dispute resolution.
Key words: adat institution, alternative dispute resolution, musyawarah.
Abstrak
Ketika lembaga negara yang formal mengalami krisis kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
dalam masyarakat, muncul permintaan untuk memperkuat peran lembaga adat sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa. Permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini pertama, bagaimana pengaturan
mengenai pengakuan terhadap lembaga adat dalam hukum positif saat ini? Kedua, bagaimana kewenangan
lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa? Ketiga, upaya apa yang dilakukan oleh masing-masing daerah
untuk memperkuat peran lembaga adat. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-yuridis, karena di samping
bersifat normatif juga menjelaskan aspek non-yuridis mengenai peran lembaga adat dalam penyelesaian
sengketa. Secara teoritis penelitian ini merupakan penelitian mengenai aspek kelembagaan hukum serta
penegakan hukum di dua daerah, yaitu Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera
Selatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat
masih bersifat menyebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dari konstitusi maupun dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Penyelesaian mengedepankan muyawarah merupakan salah satu
yang positif dari mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga adat. Provinsi Papua dan Kabupaten
Muara Enim memperkuat lembaga adat dengan mengeluarkan peraturan daerah. Penulis merekomendasikan
perlunya pengaturan dalam Undang-Undang tersendiri yang disusun secara sistematis dan komprehensif
mengenai lembaga adat yang mengatur mengenai perannya sebagai lembaga alternative penyelesaian sengketa.
Kata Kunci: lembaga adat, penyelesaian sengketa, musyawarah


*
Ringkasan Penelitian Individu Tahun 2013.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 127


I. PENDAHULUAN Pengembangan lembaga adat masih
A. Latar Belakang menimbulkan persolan antara lain bahwa
Sejak memasuki era reformasi, banyak lembaga adat bersumber pada hukum adat. Di
lembaga negara yang mendapat sorotan tajam Indonesia secara nasional dalam pandangan
dari masyarakat. Salah satu yang paling kuat Van Vollenhoven terdapat 19 (sembilan belas)
disoroti adalah lembaga-lembaga negara lingkungan Hukum Adat.4 Pengelompokan
dibidang kekuasaan yudikatif, karena lembaga masyarakat berdasarkan lingkungan wilayah
peradilan yang menjadi bagian dari kekuasaan tersebut sudah berubah sebagaimana dikemukakan
yudikatif tersebut dinilai gagal memenehui rasa oleh Hilman Hadikusuma:
keadilan masyarakat, baik secara prosedural “Bahwa untuk masa sekarang pembagian
yang memakan waktu lama dan bertele-tele serupa itu sudah tidak sesuai lagi dikarenakan
serta biaya yang besar, maupun secara substansial terjadinya perubahan dan perkembangan
dalam arti isi putusannya yang menciderai rasa masyarakat. Dengan adanya perpindahan
keadilan masyarakat. Oleh karena itu lahirlah dari desa ke kota, dari daerah satu ke daerah
lain, akibat pelaksanaan pembangunan secara
politik hukum yang memperkuat lembaga
besar-besaran, percampuran penduduk dari
peradilan dengan melahirkan lembaga-lembaga
suku bangsa dan sebagainya, maka lingkungan
peradilan khusus1 dan juga lembaga alternatif Hukum Adat dan masyarakat hukum adat sudah
yang berada di luar lembaga peradilan negara.2 banyak mengalami perubahan-perubahan.”5
Sejalan dengan penguatan sistem otonomi
daerah maka muncul pula kesadaran tentang Makna penting dari jumlah tersebut adalah
pentingnya kearifan lokal serta sistem penyelesaian bervariasinya sistem hukum adat yang akan
sengketa berdasarkan hukum adat. Oleh karena berpengaruh terhadap struktur kelembagaan dan
itu pemerintah, baik melalui Undang-Undang mekanisme dalam penyelesaian sengketa. Oleh
(UU), maupun peratuan menteri mendorong karena itu, pengembangan dan pertumbuhan
untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga lembaga adat tidak dapat dilakukan secara
adat yang salah satu tugas dan fungsinya adalah umum, sebab tergantung dari kondisi masing-
menyelesaikan sengketa antara warga atau masing masyarakat setempat.
anggota kelompoknya.3 Kelemahan pengaturan pada tingkat Undang-
Undang dapat ditemukan dalam dua UU yang
1
Antara lain pembentukan Pengadilan Niaga melalui UU mengakui keberadaan lembaga adat sebagai suatu
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Badan Penyelesaian
mekanisme penyelesaian sengketa. Salah satu
Sengketa Konsumen (BPSK) melalui UU No. 8 Tahun Undang-Undang yang secara tegas menyebutkan
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pembentukan peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui UU adalah UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pengadilan Tindak Pidana
Konflik Sosial.6 Undang-Undang tersebut bahkan
Korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Pelestarian Serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Peradilan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah.
Hubungan Industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004
4
Kesembilan belas lingkungan hukum adat itu adalah
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (1) Aceh, (2) Tanah Gayo, (3) Tanah Minangkabau,(4)
2
Salah satu kebijakan penting misalnya melalui UU No. 30 Sumatera Selata, (5) Tanah Melayu, (6) Bangka dan Belitung,
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Tanah
Sengketa. Melalui undang-undang ini, di buka peluang Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13)
yang semakin luas untuk menyelesaian sengketa di luar Maluku-Ambon, (14) Irian, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali
pengadilan. dan Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Madura,

3
Salah satu kebijakan Pemerintah mengenai lembaga adat (18) Daerah Swapraja (Kerajaan), (19) Jawa Barat. Lihat
dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian
39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kepustakaan, Bandung: Alfabeta, 2008.
Kemasyarakatan, Keraton, dan Lembaga Adat Dalam 5
Ibid., hal. 138.
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Sebelumnya 6
Pasal 41 UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
terdapat peraturan menteri lainnya, yaitu Peraturan Menteri Konflik Sosial.

128 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian B. Perumusan Masalah
konflik sosial mengutamakan penyelesaian melalui Berdasarkan latar belakang permasalahan
lembaga adat. Artinya, penyelesaikan konflik sebagaimana diuraikan di atas, maka
sosial di daerah harus mengutamakan mekanisme permasalahan penelitian ini adalah bagaimana
melalui lembaga adat. Ketika mekanisme adat telah aspek kelembagaan serta mekanisme
ditempuh, semua pihak termasuk pemerintah lembaga adat dalam penyelesaian sengketa?
harus mengakui hasil dari penyelesaian konflik Permasalahan di atas dirumuskan dalam
melalui mekanisme pranata adat ini. Apabila beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
gagal melalui lembaga adat baru ditempuh melalui 1. Bagaimana pengaturan mengenai lembaga
mekanisme lain. Namun, Undang-Undang adat dalam hukum positif saat ini?
ini juga mengakui keterbatasan lembaga adat, 2. Bagaimana kewenangan lembaga adat
sehingga terdapat rumusan yang menyatakan dalam penyelesaian sengketa?
pranata adat yang ada dan diakui keberadaannya. 3. Bagaimana upaya penguatan lembaga adat
Rumusan ini muncul karena disadari tidak semua di Provinsi Papua dan Kabupaten Muara
daerah masih memelihara dan mengembangkan Enim Provinsi Sumatera Selatan?
lembaga adat. Dengan demikian, pengakuan
keberadaan lembaga adat dalam UU No. 7 Tahun C. Tujuan
2012 tidaklah maksimal, karena Undang-Undang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
ini tidak mendorong untuk memperkuat lembaga 1. Pengaturan mengenai lembaga adat dalam
adat, namun hanya mengakui apabila masih ada, hukum positif saat ini.
sebab UU ini tidak mengamatkan adanya upaya 2. Kewenangan lembaga adat dalam
untuk menghidupkan atau mengembangkan menyelesaikan sengketa.
kearifan-kearifan lokal bagi penyelesaian konflik 3. Upaya penguatan lembaga adat yang
sosial. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sedikit dilakukan oleh Provinsi Papua dan Kabupaten
memuat ketentuan untuk memperkuat lembaga Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.
adat untuk melaksanakan fungsi-fungsi lembaga Sedangkan kegunaan penelitian ini
adat, termasuk fungsi penyelesaian sengketa.7 secara teoritis untuk memperkaya kajian-
Pengaturan yang sumir pada tingkat Undang- kajian terhadap teori-teori hukum yang ada
Undang kemudian menjadi ruang bagi masing- pada saat ini dan secara praktis dimaksudkan
masing daerah untuk memperkuat lembaga adat.8 untuk memberikan masukan dalam rangka
pengembangan lembaga-lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang telah dituangkan
dalam beberapa UU, seperti: UU No. 7 Tahun
7
Pasal 95 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan
8
Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang secara
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
sumir mengatur mengenai lembaga adat ini adalah UUD
1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat
(1).Beberapa regulasi terkait lainnya adalah TAP MPR D. Metode Penelitian
IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Penelitian tentang Penyelesaian Sengketa
Daya Alam, UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Alternatif Melalui Lembaga Adat merupakan
Kehakiman Bab XII Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Pasal 58-61, UU No. 5 Tahun 1960 Peraturan penelitian sosio-legal. Oleh karena itu,
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 30 penelitian ini dapat dikatagorikan juga sebagai
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian suatu penelitian yuridis normatif dan empiris,
Sengketa, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
suatu penelitian yang sasarannya dapat berupa
Manusia, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi kaedah (das Sollen) dan perilaku atau fakta
Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No. 18 Tahun 2001 (das Sein).9 Penelitian sosio-legal adalah suatu
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan 9
Sudikno Metokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta:
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Universitas Atma Jaya, 2010, hal. 38.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 129


penelitian yang tidak saja berhenti pada analis hukumnya. Beberapa peraturan perundang-
teks normatif (yuridis normatif) yang berkaitan undangan yang dimaksud antara lain Pasal
substansi, serta sistematika dan sinkronisasinya, 18B Undang- Undang Dasar Negara Republik
tetapi penelitian yang juga melihat bagaimana Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), UU No.
persoalan non-hukum yang terjadi dalam suatu 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
hubungan hukum tertentu. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005
penelitian tentang alternatif penyelesaian tentang Desa.
sengketa melalui lembaga adat mencakup Sedangkan data primer diperoleh melalui
penelitian normatif, yaitu suatu penelitian yang wawancara dengan beberapa pihak yang terkait
melakukan analisis terhadap norma-norma yang antara lain tokoh-tokoh adat setempat seperti
terdapat dalam berbagai peraturan perundang- anggota Dewan Adat Papua, Pemangku Adat
undangan yang mengatur mengenai lembaga Marga di Sumatera Selatan, akademisi, dan
adat. Dalam konteks penelitian yuridis normatif, hakim pada pengadilan negeri setempat.
maka penelitian ini merupakan penelitian Obyek penelitian ini adalah Lembaga-
terhadap sistematika, asas-asas hukum, serta lembaga Adat yang telah terbentuk, yaitu
sinkronisasi vertikal dan horisontal peraturan lembaga adat di Provinsi Papua dan lembaga
mengenai pembentukan dan pelaksanaan tugas adat di Kabupaten Muara Enim, Provinsi
lembaga adat di masing-masing daerah.10 Sumatera Selatan. Dengan demikian, tempat
Penelitian ini juga merupakan penelitian penelitiannya adalah di Provinsi Papua yang
yuridis empiris, yaitu penelitian mengenai merupakan daerah otonomi khusus dan Provinsi
pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan normatif Sumatera Selatan sebagai daerah otonomi
mengenai tugas dan fungsi lembaga adat dalam biasa. Pertimbangan tersebut menjadi acuan
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa. sebab politik hukum penguatan lembaga adat di
Penelitian ini bersifat despkriptif dan preskriptif. daerah otonomi khusus sangatlah kuat dan jelas-
Deskriptif menggambarkan secara kritis jelas diatur dalam UU tentang Pembentukan
terhadap sistematika, asas-asas serta sinkronisasi Daerah Provinsi tersebut. Sebaliknya untuk
hukum mengenai lembaga adat (ius constitutum), daerah-daerah non otonomi khusus, lembaga
sedangkan bersifat preskriptif terletak pada upaya adat tidak diatur secara rinci dalam UU tentang
untuk memperkuat lembaga adat di kemudian Pembentukan Daerah tersebut.11
hari sebagi suatu ius constituendum.
Data yang diperlukan adalah data sekunder II. KERANGKA PEMIKIRAN
dan primer. Data sekunder meliputi peraturan Secara teoritis, penelitian mengenai
perundang-undangan yang menjadi dasar bagi penyelesaian sengketa alternatif melalui lembaga
pembentukan Lembaga Adat dan pelaksanaan adat merupakan penelitian terhadap elemen
tugas penyelesaian sengketa di wilayah srtruktur hukum. Mengikuti pendapat Friedman,
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu
Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Presss, elemen struktur (structure), substansi (substance),
1985, hal 14. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dan budaya hukum (legal culture).12
mengemukakan bahwa penelitian normatif atau
penelitian kepustakaan mencakup penelitian terhadap
asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum,
11
Otonomi Khusus Papua didasarkan pada UU No. 21
penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal, Tahun 2001 tentang Provinsi Papua. Lembaran Negara
penelitian terhadap perbandingan hukum, dan penelitian Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 135. Tambahan
sejarah hukum. Namum kami berpendapat bahwa Lembaran Negara Nomor 4151. Sedangkan Otonomi
penelitian hukum normatif tidak dapat diidentikan Khusus Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang
dengan penelitian kepustakaan, karena suatu penelitian No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
normatif dapat dilakukan pula dengan wawancara Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62. Tambahan
terhadap beberapa nara sumber yang sangat memahami Lembaran Negara Nomor 4633.
asas, sistematik, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
12
Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W.W.
perbandingan hukum, serta sejarah hukum. Northon & Company, 1984, hal. 5.

130 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


Aspek struktur (structure) oleh Friedman Dengan demikian, yang dimaksud dengan
dirumuskan sebagai berikut: substansi hukum adalah peraturan-peraturan
“The structure of a legal system consists of elements yang ada, norma-norma dan aturan tentang
of this kind: the number and size of courts; their perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal
yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, orang sebagai “hukum” adat, misalnya Hukum
and how and why), and modes of appeal from one Adat Waris, Hukum Adat Tanah, Hukum Adat
court to another. Structure also means how the Delik, Hukum Adat Ketatanegaraan. Sebagai
legislature is organized, how many members sit on
hukum Indonesia, hukum adat mempunyai
the Federal Trade Commission, what a president
corak khas, berbeda dengan sistem hukum
can (legally) do or not do, what procedures the
“barat”, khususnya sistem kodifikasia Eropa
police department follows, and so on.”13
kontinental. Hukum adat bersifat tradisional,
Lembaga adat adalah perangkat organisasi namun sekaligus dinamis dan plastis/
yang tumbuh dan berkembang bersamaan elastis/kenyal.16 Namun penelitian ini tidak
dengan sejarah suatu masyarakat adat untuk menyangkut aspek substansi tersebut. Aspek
mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai substansi hukum dapat dijadikan analisis
permasalahan-permasalahan kehidupan sesuai terhadap pelaksanaan penyelesaian sengketa
dengan hukum adat yang berlaku. melalui lembaga adat, tetapi bukan merupakan
Prof. Soepomo dalam pidato Dies Natalis 17 fokus utama. Sedangkan mengenai budaya
Maret di Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada hukum, Friedman mengartikannya sebagai sikap
Yogyakarta tahun 1947 tentang keberadaan dari masyarakat terhadap hukum dan sistem
lembaga adat menerangkannya sebagai berikut: hukum tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta
“Pembangunan negara, Indonesia, berarti harapan masyarakat tentang hukum. Dalam
sebagaimana kita telah maklum adalah tulisannya Friedman merumuskannya sebagai
pembentukan negara modern, susunan
berikut:
pembentuk undang-undang modern, susunan
“By this we mean people’s attitudes toward law and
pengadilan dasar demokrasi juga sehat. Di dalam
the legal system – their beliefs, values, ideas, and
pembangunan ini desa-desa dan lain-lain badan
expectations. In other words, it is that part of the
persekutuan hukum adat tidak boleh ketinggalan,
general culture which concerns the legal system.”17
semuanya harus turut disesuaikan dengan cita-
cita modern yang kita idam-idamkan. Hanya Dalam penelitian ini faktor budaya hukum
dalam proses modernisasi itu, kita tidak perlu akan menjadi aspek penting, baik budaya
membuang segala aliran-aliran timur, sebaliknya hukum dalam perspektif para pemangku adat,
kita sebagai bangsa timur yang mempunyai jiwa maupun budaya hukum dalam pandangan
dan kebudayaan timur, kita harus dapat membawa nara sumber atau informan lain seperti dari
aliran-aliran timur dan aliran-aliran barat masyarakat terhadap eksistensi Lembaga Ada.
bersama-sama ke arah kesatuan harmonis.”14 Penelitian mengenai lembaga adat terkait juga
Elemen kedua dari sistem hukum adalah dengan penelitian mengenai penegakan hukum.
substansi hukum (substance). Penjelasan Friedman Dalam pandangan Soerjono Soekanto, terdapat
terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut: 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan
“By this is meant the actual rules, norms, and behavior hukum baik berdampak positif atau negatif,
patterns of people inside the system. This is, first of all, yaitu faktor hukum itu sendiri; faktor penegak
“the law” in the popular sense of the term – the fact that hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars maupun yang menerapkan; faktor sarana atau
can be sent to prison, that ‘by law’ a pickle maker has to fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
list his ingredients on the label of the jar.”15
16
Imam Sudiyat, dalam Nurul Elmiyah dkk, Hukum
13
Ibid. Adat dalam Putusan Pengadilan, Lembaga Studi Hukum
14
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesian Dalam Kajian Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007,
Kepustakaan, Bandung: Alfabeta, 2008, hal. 148. hal. 9.
15
Ibid., hal. 6. 17
Ibid.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 131


faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana Justice)20 dan kedua adalah penyelesaian konflik
hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan melalui mekanisme kearifan lokal Indigenous
faktor kebudayaan. Conflict Management Mechanism (Community-
Untuk penelitian ini faktor hukum tidak Based/Traditional/Indigenous Mediation; Community-
menjadi fokus utama. Namun, yang menjadi Based Conflict Mitigation; Grassroots Approaches
fokus adalah faktor penegak hukum termasuk to Peace).21
di dalamnya adalah para pemangku adat di Keadilan restoratif dapat dikaitkan
lembaga adat. Faktor sarana dan fasilitas adalah dengan sistem perdamaian yang berlaku dalam
berkaitan dengan sarana dan prasarana lembaga masyarakat hukum Indonesia, walaupun di
adat itu sendiri. Faktor masyarakat, yang paling Indonesia justru dihapuskan dengan ungkapan
penting dalam penelitian ini adalah masyarakat “meskipun sudah ada perdamaian, perkara
dalam lingkungan masyarakat hukum adat itu tetap diteruskan”.22
sendiri. Sedangkan faktor kebudayaan dikaitkan Beberapa unsur penting dari konsep
konsep budaya hukum yang dikemukakan keadilan restoratif adalah:
oleh L. Friedman, yaitu sikap dan pandangan 1) Lebih ditujukan pada kejahatan terhadap
masyarakat terhadap keberadaan lembaga sesama individu/masyarakat dari pada
adat, khususnya sebagai lembaga penyelesaian kejahatan terhadap Negara.
sengketa, sikap dan keyakinan mereka 2) Pihak korban memainkan peran yang
bahwa lembaga adat dapat menjadi alternatif utama dalam proses penyelesaian masalah
menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan dan dapat mengajukan tuntutan sebagai
rasa keadilan masyarakat setempat. kompensasi kepada pelaku.
Sebagai suatu lembaga alternatif 3) Restoratif Justice lebih mengutamakan peran
penyelesaian sengketa maka penelitian ini berarti dari para pihak sendiri dalam menyelesaikan
penelitian terhadap penyelesaian sengketa di masalah, bukan semata-mata penyelesaian
luar lembaga peradilan formal negara, karena hukum, tetapi memberikan kesempatan
konflik-konflik atau sengketa dapat ditempuh kepada para pihak yang terlibat untuk
melalui jalur alternatif di luar pengadilan.18 menentukan solusi, rekonsiliasi, dan
Pada umumnya alternatif penyelesaian sengketa membangun kembali hubungan yang baik
dilaksanakan berdasarkan asas-asas itikat baik, antara korban dan pelaku.
asas kontraktual, asas mengikat, asas kebebasan, 4) Mengedepankan tanggungjawab bersama
dan asas kerahasiaan.19 Munculnya model para pihak (pelaku dan korban) untuk
alternatif penyelesaian sengketa, sesungguhnya membangun kembali situasi atau kondisi
merupakan kritik terhadap kelemahan dari yang baik dalam masyarakat.
model konvensional yang lamban, biaya 5) Menekankan pendekatan yang seimbang
mahal, tidak mencerminkan keadilan, bahkan antara kepentingan pelaku, korban dan
manipulatif dan koruptif. masyarakat.23
Dalam konteks penanganan konflik sosial
misalnya, maka ada dua konsep dan pemikiran III. ANALISIS HASIL PENELITIAN
penting yang melatarbelakanginya, yaitu pertama A. Pengaturan Lembaga Adat dalam Hukum
adalah konsep keadilan restoratif (Restorative Positif
Sejarah hukum yang menjelaskan peran
18

Alternatif penyelesaian di luar pengadilan sejalan dengan lembaga adat dalam penyelesaian sengketa
pemikiran dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 20
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Varia Peradilan No.
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara
249 Agustus 2006, hal 21.
Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara 21
Creative Associates International Inc. http://www.caii-dc.
No. 3972.
com, diakses tanggal 5 Mei 2009.
19
Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa 22
Ibid, hal. 22.
di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan 23
Ibid.
Arbitrase), Jakarta: VisiMedia, 2011, hal. 11-12.

132 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


adalah terkait dengan keberadaan pengadilan masih tetap dilakukannya praktek-praktek
adat yang didasarkan pada Staatsblad 1932 penyelesaian sengketa dengan menggunakan
No. 80 setelah diubah dengan Stbl. 1938 forum peradilan adat. Daya tahan peradilan adat
No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan ini sangat mengagumkan mengingat upaya dan
12 Reglemen Kalimantan- Timur Besar, 1 strategi pemberangusannya demikian sistemik.
Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada
Voorlopige Rechtsreglement, 2 Voorlopige Regeling pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga
Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan Pemerintah pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan
pengganti UU No. 1 Tahun 1950 juncto UU nyata di lapangan oleh aparat hukum negara,
No. 8 Tahun 1950, dan pasal-pasal 101, 102 stigmatisasi negatif, dan pelucutan kepercayaan
dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara. komunitas pemangkunya. Bila dilihat
Sedangkan untuk peradilan Raja dan Swapraja pengalaman beberapa komunitas yang hingga
Surakarta dan Yogyakarta diatur dalam Pasal saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan
2 paragrap I Staatsblad 1903 Nomor 8, untuk dan kepercayaan warga komunitas menjadi
umum dikenal dengan nama “Pradoto Gede”, energi dasar bagi tetap eksisnya proses tersebut
“Pradoto (Mangkunegaran), ”Pengadilan di lingkungan mereka.
Kraton Darah Dalam” (Kasultanan); Sumatera Walaupun secara sporadis masih ditemukan
dalam Pasal 12 staatsblad 1938 Nomor 529. adanya praktek penyelesaian sengketa melaui
Dalam perkembangannya, Peradilan Adat lembaga adat, namun politik hukum untuk
dihapus melalui beberapa peraturan perundang- menghilangkan peran lembaga adat ini
undangan, yaitu Undang-undang 23 Tahun tetap kuat dalam perspektif hukum melalui
1947 Tentang Penghapusan Pengadilan-raja pengaturan yang bersifat umum, sumir, bahkan
(Zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera; mengambang dan bersifat sektoral. Pasal
Perpu No.1 tahun 1950 juncto UU No.8 tahun 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
1950 tentang Penghapusan Pengadilan Raja Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
(Swapraja); dan UU Darurat Nomor 1 tahun kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Sipil. Penghapusan terhadap peradilan adat yang diatur dalam undang-undang. Rumusan
didasarkan pada pertimbangan kepentingan mengenai pengakuan dalam Pasal 2 UUD 1945
umum, unifikasi, dan nasionalisme. Di samping sangatlah jelas. Namun, pertanyaannya adalah
itu dipengaruhi oleh mitos hukum negara yang apa yang dimaksudkan dengan yang diatur
bercirikan terintegrasi dan sistematis. dalam Undang-Undang?
Harus diakui bahwa daya tahan peradilan Rumusan yang mengambang mengenai
adat terbukti luar biasa dalam menahan lembaga adat ini juga terdapat dalam TAP
gempuran dari proses-proses penaklukan yang
antar-beo (antar kampung) juga diselesaikan secara
telah diuraikan di atas.24 Ini terbukti dari musyawarah (inti dari peradilan adat) yang melibatkan
tu’a-tu’a beo dan tu’a-tu’a teno dari masing-masing beo.

24
Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Namun dalam kenyataan, tidak semua sengketa dapat
(AMAN), Bahan Presentasi FGD Penelitian Individu tentang
diselesaikan pada tingkat beo dalam arti semua pihak
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Adat,
menerima putusan peradilan adat. Ini disebabkan
Ruang Rapat Kapus P3DI Setjen DPR RI Jumat, 7 Desember
karena ada pihak yang merasa bahwa putusan peradilan
2012 Ruang rapat KPUS P3DI Setjen DPR RI. Erasmus
adat sangat berat dan tidak adil baginya. Meskipun
memberikan contoh, di sebagian masyarakat Manggarai di
proses musyawarah dalam sidang peradilan adat tidak
Flores penyelesaian sengketa melalui peradilan adat ini masih
menganjurkan para pihak untuk meneruskan sengketa ke
dilaksanakan termasuk dalam sengketa-sengketa tanah.
peradilan negara jika tidak menerima putusan peradilan
Namun sengketa-sengketa tanah yang diselesaikan memang
adat, kenyataannya tu’a golo dan tu’a beo sebagai hakim
terbatas pada sengketa internal komunitas (beo) tertentu
dalam peradilan adat tidak dapat memaksa para pihak
atau sengketa horizontal. Fungsi tu’a golo, (kepala kampung)
untuk tidak meneruskan sengketa itu ke peradilan Negara
tu’a teno (orang yang sengketa. Tidak jarang sengketa batas

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 133


MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan memperkuat lembaga adat. Peraturan yang
Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. bersifat umum haruslah mampu mengakomodasi
Pasal 5 TAP MPR No. IX/MPR/2001 tersebut heteroginitas masyarakat Indonesia. Suatu
merumuskan bahwa pembaruan agraria perundang-undangan secara sosiologi pada
dan pengelolaan sumber daya alam harus dasarnya diharapkan mampu menjadi faktor
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip integratif, tetapi di tengah-tengah masyarakat
mengakui dan menghormati hak masyarakat yang heterogin seperti Indonesia, tujuan tersebut
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sulit dicapai. Keberagaman nilai, budaya, dan
sumber daya agraria dan sumber daya alam.25 kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat tidak
Pengaturan yang secara sektoral kemudian jarang subsrtansinya bertentangan satu sama
muncul dalam beberapa putusan Mahkamah lain, sehingga sulit untuk pengaturan secara
Konstitusi yang mengakui hak-hak masyarakat seragam. Keberagaman itu mempersulit untuk
hukum adat yaitu Putusan No. 35/PUU-X/2012 memformulasikan derajat abstraksi suatu
perihal Pengujian Undang-Undang No. 41 undang-undang, karena dalam mengatur suatu
Tahun 1999 tentang Kehutanan. yang beragam tentu sangat sulit untuk dapat
Secara hirarki kelemahan aspek hukum menghimpun keberagaman tersebut dalam
pengaturan lembaga adat adalah belum ada suatu pengaturan yang seragam.
peraturan pelaksanaan yang bersifat umum Di samping itu, Terdapat kelemahan yuridis
yang menjadi acuan bagi masing-masing daerah. dalam pengembangan lembaga adat, yaitu:
Pengaturan yang bersifat umum ini penting 1) Belum ada Peraturan Pelaksanaan secara
menjadi payung bagi daerah-daerah untuk hirakhi perundang-undangan hanya peraturan-
25
Pasal 5 TAP MPR NOMOR IX/MPR/2001. Secara peraturan Menteri. Misalnya, Permendagri
lengkap prinsip-prinsip yang dimaksud adalah Pembaruan No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dan Pelestarian serta Pengembangan Adat
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara
Istiadat. Sementara pada pihak lain, kebiasaan-
dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di
tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi daerah tidak termasuk dalam Pasal 7 UU
hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
unifikasi hukum; d. mensejahterakan rakyat, terutama
Peraturan Perundang-undangan.
melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan 2) Sulit mempersatukan norma-norma ideal
hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi dan prosedural dari kebhinekaan lembaga-
rakyat; f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, lembaga adat yang secara otoritas dimiliki
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan
oleh setiap masyarakat adat di Indonesia
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; g. memelihara
keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang khususnya Papua yang tidak terakomodir
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi dalam UU Organik dan Peraturan Daerah.
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung 3) Ketidak mampuan legal drafter dalam
dan dukung lingkungan;h. melaksanakan fungsi sosial,
pembentuk peraturan-peraturan pelaksanaan
kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi
sosial budaya setempat; i. meningkatkan keterpaduan dan dari sisi filosofi, Sosiologi, dan yuridis yang
koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan tidak memulai dari suatu riset terdahulu yang
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; j. disebut Naskah Akademik.26
mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria
dan sumberdaya alam; k. mengupayakan keseimbangan B. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga
hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah Adat
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), Secara sosiologis, lembaga adat diakui
masyarakat dan individu; l. melaksanakan desentralisasi
masyarakat dan menjadi prioritas dalam mengatur
berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, 26
Hasil FGD di Fakultas Hukum Universitas Cedrawasih, 1
berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya
Oktober 2012.
agraria dan sumber daya alam.

134 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


dan menyelesaikan segala persoalan di masyarakat. 1) Memperhatikan norma-norma adat ideal
Penyelesaian melalui lembaga adat lebih efektif, dan produler dan budaya.
karena suatu lembaga adat tumbuh berdasarkan 2) Biaya murah/bahkan tidak ada biaya,
nilai yang hidup dimasyarakat dan sudah diakui sederhana dan cepat selesai.
dan dianut secara turun temurun. Hanya saja 3) Keadilan sosial diutamakan yang bermuara
untuk tetap menjamin kepastian hukum, maka kepada kemanfaatan Hukum.29
pengaturan sebagai pengakuan masyarakat melalui Musyawarah merupakan model umum dan
perundang-undangan tetap diperlukan terutama yang utama dalam proses sidang dalam peradilan
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan bidang adat. Ini berarti institusi peradilan adat, tidak
kehidupan yang netral seperti bidang administrasi, hadir dengan misi utama untuk menjadi sarana
pendidikan dan lain-lain. pemaksa. Peran mediator untuk rekonsiliasi dan
Mekanisme penyelesaian melalui lembaga konsolidasi para pihak, melalui proses penemuan
adat selalu mengedepankan keharmonisan dan putusan yang melegakan semua pihak, termasuk
kerukunan sosial. Menjaga kerukunan sosial masyarakat umum dari komunitasnya yang
sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, tidak terkait langsung dengan kasus tersebut
dan para pelaku informal mengutamakan merupakan ciri penting dari mekanisme
pemulihan hubungan sosial ketika terjadi penyelesaian sengketa melalui lembaga adat.
masalah. Penyelesaian melalui lembaga adat Model penyelesaian sengketa dengan
memiliki karakter yang fleksibel. Struktur dan metode musyawarah tersebut, membuat
norma bersifat longgar untuk menyesuaikan peradilan adat lolos dari perangkap putusan
dengan perubahan sosial. Penyelesaian sengketa yang tidak bisa dijalankan. Karena prinsipnya,
melalui lembaga adat mengandalkan otoritas putusan diambil secara sukarela oleh para
dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih pihak. Tidak ada kecurigaan dan prasangka
peradilan non-negara utamanya karena otoritas terhadap keputusan yang diambil. Karena
para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk semua prosenya dilakukan secara terbuka yang
memecahkan masalah dan melaksanakan memungkinkan semua pihak menyampaikan
putusan. Dalam sistem kelembagaan masyarakat seluruh informasi secara bebas, tanpa harus
adat Muara Enim terdapat syarat-syarat seperti memikirkan aspek formal.
periodisasi kepengurusan, keputusan lembaga Namun, dari beberapa praktek itu juga
adat tidak dapat ditawar-tawar.27 dapat dilihat bahwa masyarakat adat – paling
Namun penyelesaian melalui lembaga tidak tergambar dari putusan peradilan adat juga
adat memiliki beberapa kelemahan utama,28 tidak membuat keputusan yang final. Bahkan
yaitu kesewenang-wenangan dan kurangnya ada juga yang menyerahkan kepada peradilan
pengawasan. Walaupun otoritas sosial menjadi formal jika ada pihak yang tidak puas dengan
kekuatan inti atas peradilan non-negara, putusannya. Ada kecurigaan bahwa praktek
pelaksanaannya yang tidak dikontrol menjadi semacam ini disebabkan karena melemahnya
kelemahan utama. Kurangnya prosedur dan kepercayaan diri para fungsionaris adat sehingga
norma yang jelas dan tidak adanya akuntabilitas berharap pada sistem hukum yang lain.
akan membuat pihak yang lemah dan Pembatasan waktu penyelesaian sengketa
terpinggirkan kurang dilayani, tanpa alternatif sangat tergantung pada kedua belah pihak yang
lain. bersengketa apabila telah mencapai rasa keadilan
Prinsip dasar penyelesaian sengketa melalui sosial dengan menjaga kosmis (keseimbangan
lembaga adat: sosial) jangan sampai terganggu. Setiap sengketa
27
Hasil FGD dengan tokoh Masyarakat Adat Muara Enim, di dapat diselesaikan melalui dua mekanisme,
Kantor Bupati Muara Enim, 2 November 2014. yaitu mekanisme litigasi atau dengan alternatif
28
Justice for the Poor, Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan
Keadilan Non-negara di Indonesia, World Bank, Mei 2009, 29
Hasil diskusi FGD di Fakultas Hukum Universitas
hal. 41. Cendrawasih, 1 Oktober 2012.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 135


peyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa Dalam prakteknya peradilan adat hanya
melalui lembaga adat adalah salah satu alternatif dapat memeriksa sengketa yang timbul antara
penyelesaian sengketa diluar jalur ligitigasi anggota masyarakat adat dalam satu komunitas.
(peradilan). Maka jika alternatif ini tidak Dalam praktik, peradilan adat sangatlah
berhasil, maka dapat dilakukan dengan alternatif sulit diterapkan pada sengketa tanah yang
lain, misalnya konsultasi, jasa baik, arbitrase, dan mempertemukan masyarakat adat dengan
jika semua alternatif tersebut juga tidak berhasil, pihak lain semisal pemerintah dan perusahaan.
maka dapat dilakukan dengan jalur pengadilan Karena itu maka jalan keluar yang ditempuh
sebagai alternatif terakhir. komunitas selama ini biasanya melalui cara-cara
Di Kabupaten Muara Enim, mekanisme negosiasi. Cara ini dipilih karena masyarakat
penyelesaian sengketa melalui Lembaga Adat adat menyadari bahwa kelemahan status
bersumber dari Undang-Undang Simbur Cahaya. hukum (formal) masyarakat adat atas wilayah
Mekanisme perdamaian dikenal dengan istilah adatnya akan menyulitkan mereka mencapai
“Tepung Tawar”. keadilan jika penyelesaiannya dilakukan melalui
Apabila terjadi perselisihan/konflik, hukum adat peradilan negara. Sementara di sisi lain, tidaklah
di Sumataera Selatan mengacu kepada beberapa mungkin memaksa pemerintah dan perusahaan
aturan untuk mengembalikan ke kondisi semula untuk tunduk pada hukum adat yang karenanya
kalau terjadi pelanggaran. Pedoman-pedoman dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui
hukum adat Sumatera Selatan berupa: peradilan adat. Cara ini biasanya dipakai oleh
1) Timbang Bangun (kompensasi); masyarakat adat untuk memperjuangkan status
2) Basuh Dusun atau Selamat Dusun, berupa hukum (formal) kepemilikan mereka atas
penyetoran sejumlah dana ke desa; wilayah adat.
3) Denda; Sikap pengadilan negeri terhadap putusan
4) Mengembalikan semua biaya (dalam lembaga adat menunjukan pentingnya menggali
perkawinan, kalau tidak jadi); nilai-nilai adat yang sudah diamanatkan oleh
5) Penyingsingan (kompensasi untuk harga diri); UU. Putusan lembaga adat belum menjadi
6) Setengah Bangun (kompensasi kepada suami bahan pertimbangan dalam putusan pengadilan
apabila isteri kawin dengan laki-laki lain; negeri apabilah salah satu pihak melanjutkan
7) Tekap mulut (pembayaran apabila merusak perkaranya ke pengadilan negeri. Apabila
kehormatan seseorang); masalah tidak diselesaikan dilembaga adat
8) Tepung Tawar/Berukum; biasanya dilakukan secara lintas budaya untuk
9) Kawin Paksa.30 keabsahan masalah yang diselesaikan, atau di
Penyelesaian melalui lembaga adat dapat bawah ke kepolisian tetapi materi penyelesaian
mencakup beberapa bidang hukum, yaitu hukum menggunakan hukum adat. Bahkan jika salah
privat (perdata), pidana dan tata negara. Untuk satu pihak tidak puas bisa dilanjutkan ke
penyelesaian melalui mekanisme arbitrase dan Pengadilan Negeri.
mediasi maka putusan lembaga adat bersifat Faktor utama yang turut mempengaruhi
final. Kemudian untuk kasus hukum privat penyelesaian sengketa melalui budaya adat
(perdata) menjadi peradilan pertama sedangkan adalah budaya malu karena masyarakat adat
untuk hukum publik (pidana dan tata negara) mengutamakan kehidupan secara solidaritas
menjadi peradilan pertama.31 sosial dengan menjaga keseimbangan kehidupan
sosial di masyarakat adat (Kosmis). Upaya yang
30

Hasil FGD dengan tokoh masyarakat adat di Kabupaten diperlukan untuk memperkuat kedudukan dan
Muara Enim, 2 November 2012. peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa
31
Andiko, Sistem Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui
adalah memperjelas kedudukan dan peran
Lembaga Adat : Kemana Harus Melangkah (HuMA) Focus
Group Discusion (FGD) Dalam Rangka Penelitian Sistem lembaga adat dalam pembentukan lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Adat, adat sebagai lembaga kemasyarakat kampung
7 Desember 2012 Ruang Rapat KPUS P3DI Setjen.

136 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


dan juga sebagai mitra pemerintah kampung berpendapat bahwa keberadaan suatu lembaga
dan pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan adat di suatu daerah cukup diatur oleh sebuah
(regulasi) di setiap daerah di Tanah Papua. Peraturan Daerah (Perda). Hal ini dikarenakan,
Putusan lembaga adat biasanya dilaksanakan suatu lembaga adat adalah sebuah lembaga
secara sukarela oleh masing-masing pihak dan yang memiliki basis sosiologis, magis dan
tidak menuntut proses eksekusi sebagaimana dalam kultural, dan pada dasarnya telah memiliki
putusan pengadilan. Tidak dilakukan keberatan akar kuat di masyarakat, sehingga peraturan
terhadap putusan lembaga adat, sebab biasanya melalui hukum hanya merupakan bentuk
keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan para legalisasi saja. Pengaturan dalam bentuk perda
pihak, jika masih ada pihak yang belum bersepakat juga lebih tepat karena masig-masing daerah
maka keputusan belum akan diambil. memiliki keunikan, sehingga jika pengaturanya
Sanksi yang ditetapkan oleh lembaga adat melalui suatu Undang-Undang, maka tingkat
lebih banyak berupa sanksi sosial, misalnya abstraksinya terlalu luas dan akan tetap
sengketa yang terjadi menjadi “buah bibir” memerlukan penjabaran yang lebih konkrit
masyarakat, sehingga para pihak merasa malu melalui suatu perda.
dan ini merupakan salah satu efek jerah yang 1) Payung hukum yang lebih tinggi tidak
dapat ditimbulkan oleh sanksi sosial tersebut. dibutuhkan secara mendasar. Kalaupun akan
Pada umumnya implementasi atau eksekusi dari diatur dalam level yang lebih tinggi, misalnya
pemutusan lembaga adat di umumkan secara UU, maka cukuplah UU tersebut memberikan
terbuka kepada warganya secara lisan melalui legitimasi terhadap keberadaan suatu lembaga
toko-toko yang terlibat menyelesaikan perkara/ adat, sedangkan bagaimana bentuk, struktur,
sengketa. dan toko adat lain yang memiliki peranan, dan subjek yang terlibat dalam suatu
hubungan Klen atau warganya masing-masing. lembaga adat cukup dan lebih tepat diatur oleh
sebuah perda.
C. Upaya Memperkuat Lembaga Adat 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi
melalui Peraturan Daerah ketaatan pelaksanaan penyelesaian sengketa
Perhatian pemerintah daerah yang melalui lembaga adat dapat dikorelasikan
mengangkat dan menghidupkan kembali lembaga dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
adat melalui peraturan daerah merupakan penegakan hukum, yaitu (1) faktor hukumnya/
contoh upaya yang dilakukan oleh masing- pengaturnya, (2) faktor penegak hukum/
masing daerah untuk memperkuat peran lembaga pemangku adatnya, (3) faktor sarana dan
adat. Di Indonesia, tidak banyak daerah yang prasarana, (4) faktor budaya hukum, dan (5)
telah membentukan Peraturan Daerah untuk faktor pandangan masyarakat terhadap lembaga
memperkuat eksistensi lembaga adat. Peraturan adat itu sendiri.
Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun Upaya yang dapat dilakukan untuk
2007 tentang Lembaga Adat Marga dan Peraturan memperkuat kedudukan dan peran lembaga
Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 adat dalam penyelesaian sengketa dapat
Tentang Peradilan Adat di Papua. dilakukan dengan antara lain: (1) para
1. Peraturan Daerah Kabupaten Muara pemangku adat terlebih dahulu harus memiliki
Enim No. 2 Tahun 2007 tentang Lembaga kemampuan dan pemahaman mendalam
Adat Marga tentang kebiasaan dan adat istiadat, serta
Dalam dua kesempatan FGD selama di nilai yang dianut dalam masyarakat, (2) para
Palembang dan Muara Enim diperoleh data pemangku adat harus memahami latar belakang
sebagai beikut: Indah Febriani, S.H.,M.H.,32 setiap sengketa dengan baik, sehingga dapat
memberikan penyelesaian yang diharapkan
32
Indah Febriana, Peran Lembaga Adat Dalam Penyelesaian oleh para pihak, (3) sosialisasi terus kepada
Sengketa, Paper dalam rangka FGD, di Fakultas Hukum masyarakat tentang keberadaan lembaga
Universitas Sriwijaya, Palembang, 31 Oktober 2012.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 137


adat sebagai salah satu alternatif yang dapat kaidah dengan keyakinan sosial yang tumbuh
digunakan oleh masyarakat dalam penyelesaian dan berkembang dalam masyarakat. Pemangku
sengketa, (4) perbaikan struktur kelembagaan Adat Marga adalah tokoh masyarakat yang
secara internal, dan (5) pemahaman kepada merupakan anggota Lembaga Adat Marga guna
masyarakat bahwa tidak semua sengketa harus mewakili dari kesatuan anggota masyarakat
dibawa kepengadilan, melainkan dapat ditempu hukum adat dari masing-masing desa dan atau
dengan berbagai alternatif penyelesaian.33 kelurahan. Pemberdayaan adalah semua kegiatan
Penguatan Lembaga Adat melalui Peraturan dalam rangka memelihara/ mempertahankan,
Daerah memberdayakan, mengembangkan adat istiadat
Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan dan lembaga adat yang perlu dijaga kelestariannya
telah melakukan penguatan secara hukum secara berlanjut. Pelestarian adalah upaya untuk
terhadap keberadaan lembaga adat melalui menjaga dan memelihara nilai-nilai etika, moral
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang dan adat yang merupakan adat istiadat yang
Lembaga Adar. Perda tersebut dibentuk perlu dijaga kelestariannya secara berlanjut.
berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: Pembina Lembaga Adat Marga adalah Pembina
Pertama, sebagai upaya pelestarian adat Lembaga Adat Marga Kabupaten Muara Enim
istiadat dan pengakuan keberadaan masyarakat yang diketuai oleh Bupati.
hukum adat, maka dipandang perlu mengambil Maksud dan tujuan pembentukan Lembaga
langkah-langkah untuk pemberdayaan, pelestarian Adat Marga adalah sebagai wadah pembinaan,
dan pengembangan adat istiadat Kabupaten pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
Muara Enim. Kedua, untuk pemberdayaan adat hukum adat dalam rangka memperkaya khazanah
istiadat yang merupakan aset budaya daerah, perlu kebudayaan daerah guna menunjang kebudayaan
adanya suatu wadah dalam rangka pembinaan nasional untuk terciptanya stabilitas yang mantap
dan pengembangan adat istiadat dan masyarakat di daerah dibidang, sosial, budaya dan agama
hukum adat dalam bentuk Lembaga Adat Marga.34 untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan.
Dalam Perda tersebut dirumuskan bahwa Untuk pemberdayaan masyarakat hukum
yang dimaksudkan dengan Marga adalah adat dan adat istiadat dibentuk Lembaga
wilayah teritorial kesatuan masyarakat hukum Adat Marga sebagai sarana komunikasi dan
adat yang mempunyai wilayah tertentu dengan koordinasi. Pembentukan Lembaga Adat Marga
mempunyai kesamaan adat istiadat dan hukum diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
adat. Sedangkan Masyarakat Hukum Adat Lembaga Adat Marga berkedudukan di Ibukota
adalah kesatuan masyarakat yang mendiami Eks Marga. Pengurus Lembaga Adat Marga
wilayah tertentu yang mempunyai kesamaan disebut Pemangku Adat Marga yang merupakan
adat istiadat dan hukum adat. Adat adalah nilai tokoh masyarakat yang berasal dari perwakilan
atau norma, kaidah dan keyakinan masyarakat masyarakat desa dan atau kelurahan di wilayah
yang dihayati dalam masyarakat hukum adat kerja Lembaga Adat Marga.
adalah nilai, norma dan kebiasaan yang hidup, Pemangku Adat Marga terdiri dari Ketua
berlaku dan berkembang sebagai peraturan merangkap anggota, Sekretaris merangkap
yang ditaati oleh masyarakat dalam wilayah anggota dan beberapa orang anggota. Ketua dan
marga yang apabila dilanggar dikenakan sanksi. sekretaris Pemangku Adat Marga dipilih oleh
Lembaga Adat Marga adalah Lembaga yang dan dari anggota secara musyawarah mufakat.
dibentuk dan merupakan wadah dalam rangka Jumlah Pemangku Adat Marga sama dengan
membina, memberdayakan, melestarikan, jumlah desa dan kelurahan yang berada di wilayah
mengembangkan adat istiadat sebagai norma, kerja Lembaga Adat Marga tersebut atau paling
sedikit 5 (lima) orang. Pengajuan Pemangku
33
Indah Febriana, Ibid. Adat Marga dilakukan secara musyawarah
34
Ketentuan Menimbang hur a Perda No. 2 Tahun 2007 dari masing-masingdesa/kelurahan baik dalam
tentang Lembaga Adat Marga.

138 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


satu kecamatan ataupun lintas kecamatan. Untuk kelancaran penyelenggaraan tugas,
Pengesahan Pemangku Adat Marga ditetapkan fungsi dan wewenangnya, Pemangku Adat
dengan Keputusan Bupati. Masa kepengurusan Marga menyusun peraturan tata tertib Lembaga
Pemangku Adat Marga selama 5 (lima) tahun Adat Marga. Pemangku Adat Marga dalam
dan dapat diajukan kembali. Kepada Pemangku pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya
Adat Marga diberikan tunjangan oleh Pemerintah mempedomani kompilasi adat istiadat
Kabupaten yang besarnya disesuaikan dengan Kabupaten. Guna menunjang pelestarian dan
kemampuan keuangan daerah. pengembangan adat istiadat, pada masing-
Tugas, fungsi dan wewenang bahwa masing desa dan kelurahan ditunjuk dan
Pemangku Adat Marga mempunyai tugas diangkat Ketua Bujang dan Ketua Gadis oleh
melakukan pembinaan, pelestarian, penggalian Ketua Pemangku Adat Marga.
dan pengembangan Adat Istiadat dan budaya Lembaga Adat Marga berhak menerima
serta pemberdayaan masyarakat hukum adat. bantuan atau sumbangan dari Instansi
Lembaga Adat Marga berfungsi sebagai wadah Pemerintah/swasta dan pihak ketiga yang tidak
pembinaan, pelestarian dan pemberdayaan mengikat. Lembaga Adat Marga mempunyai
adat istiadat yang hidup dan berkembang pada kewajiban:
masyarakat setempat. a. Membantu kelancaran penyelenggaraan
Pemangku Adat Marga mempunyai pemerintahan, pembangunan dan
wewenang: pembinaan masyarakat dengan
1) Menyelenggarakan rapat dan musyawarah memperhatikan kepentingan adat istiadat
Lembaga Adat Marga; setempat.
2) Menyelesaikan urusan adat istiadat b. Menciptakan suasana yang dapat menjamin
masyarakat di wilayah kerjanya; terpeliharanya kebhinekaan masyarakat
3) Melakukan pengawasan terhadap adat dalam rangka memperkokoh persatuan
pelaksanaan adat istiadat; dan kesatuan bangsa.
4) Menghimpun dan mendata adat istiadat Pembinaan dan pengawasan terhadap
masyarakat yang hidup, tumbuh dan Lembaga Adat Marga dilakukan oleh
berkembang dalam masyarakat hukum adat; Pemerintah Kabupaten dan Pembina Lembaga
5) Menampung dan menyalurkan aspirasi Adat Marga. Pembinaan dan pengawasan
masyarakat dalam pemberdayaan adat istiadat; dapat berupa pemberian pedoman, bimbingan,
6) Memberikan gelar adat sebagai pelatihan dan supervisi.
penghormatan kepada seseorang; Pihak-pihak yang dapat menjadi pemangku
7) Memberikan sanksi adat kepada seseorang adat di Papua beserta syarat-syaratnya adalah:36
yang melanggar ketentuan hukum adat; a. Mendapat pengakuan dari marga-marga
8) Mewakili untuk bertindak atas nama atau Klen-Klen masyarakat adat yang
lembaga adat baik diluar maupun didalam bersangkutan berdasarkan struktur
pengadilan; kepemimpinan masyarakat adat di Papua.
9) Mengatur tatakrama pergaulan bujang gadis; Misalnya: Ondoafi (Jayapura), Campuran
10) Menyusun Peraturan Adat Marga sesuai (Teluk Cenderawasih), Raja Ampat
dengan adat istiadat setempat; (Semenanjung Onim Fak-fak), Big Man
11) Membina hubungan kemitraan, (Wamena Jayawijaya – pengunungan
pengkoordinasian dengan Kecamatan dan tengah).
pemerintahan desa dan atau kelurahan; b. Syarat sangat tergantung pada 4 tipe
12) Melaksanakan kerjasama antar Lembaga kepemimpinan lembaga adat, misalnya:
Adat Marga atau Lembaga Adat lainnya.35 Bagi seorang Ondoafi syaratnya adalah
35
Pasal 12 Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat 36
Hasil FGD di Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih,
Marga. 1 Oktober 2012.

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 139


berdasarkan senioritas anak laki-laki Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) sampai
tertua berdasarkan Genealogis. Sistem dengan ayat (8) UU Nomor 21 Tahun 2001
campuran syaratnya sangat tergantung pada tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
sistem Ondoafi. Raja dan Big Man. Sistem Pada kenyataannya kehidupan masyarakat
raja syaratnya berdasarkan kemampuan adat di Papua masih terus memberlakukan,
memperluas wilayah kekuasaan perdagangan. mempertahankan dan tunduk pada pengadilan
Sedangkan Big Man berdasarkan syarat adatnya masing-masing terutama dalam
mampu berkompetensi diantara suku-suku penyelesaian perkara adat yang terjadi diantara
bangsa di sekitarnya dalam wilaya territorial
sesama warga masyarakat hukum adat.
adatnya untuk muncul sebagai peria sejadi Peraturan daerah Khusus Provinsi Papua
sebagai kepala suku yang sifatnya federal dan
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat
juga berdasarkan kemampuan berbicara bisa di Papua berisi:
didengar orang lain. mampu berperang dan 1. Ketentuan Umum
mempunyai kekuatan ekonomi kapitalis adat 2. Asas dan Tujuan
yang kuat. 3. Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Periodisasi kepengurusan lembaga adat 4. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Pengadilan
yang dikenal di Papua adalah regenerasi Adat
kepemimpinan berdasarkan 4 struktur 5. Susunan, Mekanisme, dan Putusan
kepemimpinan lembaga adat masing-masing Peradilan Adat
yang tersebar dalam 7 wilayah adat. Tidak 6. Hubungan Pengadilan Adat dengan
ada hubungan struktural dan fungsional Pemerintah dan Lembaga Penegak Hukum
antara jabatan pemerintah dan pemangku 7. Larangan dan Sanksi.
adat. Fasilitas yang disiapkan oleh Pemerintah 8. Ketentuan Penutup.
sangat relatif karena sangat tergantung pada Dari diskusi dalam FGD37 diperoleh pendapat
Pemerintah Daerah masing-masing. Misalnya, bahwa Peraturan Daerah yang ada tidak cukup
Pemda Kota Jayapura dan Pemda Kabupaten menjadi dasar karena setiap peraturan daerah
Jayapura memfasilitasi menyusun rencana tidak memperhatikan keberadaan lembaga adat
pembangunan jangkah menengah kampung walaupun ada hanya dimasukkan dalam Bab/
masing-masing lembaga adat dengan warganya. Pasal tertentu Perda yang bersangkutan dalam
Selama ini peran masyarakat adat masih terbatas, bentuk “Peran Serta Masyarakat”. Namun
yaitu hanya terlihat pada proses Musrenbang tidak diperlukan payung hukum baru, karena
tahunan, (Musrenbang Kampung, Musrenbang secara yuridis sudah ada dalam rumusan Pasal
Distrik, dan Musrenbang Kabupaten/Kota). 18B UUD 1945 Jo Pasal 21I UU No. 32 Tahun
2. Peraturan Daerah Khusus Papua No. 20 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal
Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di 89 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
38

Papua Berbagai peraturan perundangan tersebut


Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi menyebutkan lembaga adat sebagai “Lembaga
Papua dimaksudkan untuk mewujudkan Kemasyarakatan”. Khusus di Papua penguatan
keadilan, penegakan supremasi hukum, landasan hukumnya diperkuat oleh UU No.
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
(HAM), percepatan pembangunan ekonomi, Provinsi Papua.
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan 37
Hasil FGD di Fakultas Hukum Univesitas Cendrawasih,
dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi Papua, 1 Oktober 2012.

38
UU No. 32 Tahun 2004 telah diganti dengan UU No. 23
lain. Salah satu kekhususan otonomi bagi
Tahun 2004 PP. No. 72 Tahun 2005 telah diperkuat menjadi
Provinsi Papua adalah adanya penyelenggaraan UU No. 6 Tahun 2014. UU No. 6/2014 memberikan
pengadilan adat sebagaimana tercantum dalam landasan hukum yang kuat bagi peran lembaga adat di desa.

140 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014


IV. PENUTUP menyelesaikan sengketa semakin jelas dan kuat.
A. Kesimpulan Saran kedua adalah upaya penguatan lembaga
Penelitian ini sampai pada beberapa adat yang dilakukan oleh Kabupaten Muara
kesimpulan, yaitu: Pertama, secara yuridis Enim Peraturan Daerah dan dalam bentuk
pengaturan mengenai lembaga adat termasuk Peraturan Daerah khusus tentang Lembaga
perannya sebagai lembaga alternatif penyelesaian Adat Papua dapat menjadi contoh bagi daerah
sengketa masih belum sempurna, mengambang, lain dalam membangun dan memperkat
dan sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga adat.
secara kelembagaan mekanisme penyelesaian
sengketa melalui lembaga adat masih menghadapi
banyak kendala. Politik hukum nasional yang
mengedepankan unifikasi hukum masih dirasakan DAFTAR PUSTAKA
dampaknya secara yuridis sampai saat ini.
Kedua, terkait dengan kewenangan
lembaga menyelesaikan sengketa bahwa
lembaga adat memiliki struktur, tugas dan fungsi Buku
serta kompetensinya. Mekanisme utama yang Bank Dunia. Justice for the Poor, Titik
digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan
mekanisme musyawarah. Putusan lembaga Non-negara di Indonesia, 2009.
adat memiliki wibawa yang kuat sehingga Elmiyah, Nurul dkk. Hukum Adat dalam
banyak yang diikuti, namun dalam hal tertentu Putusan Pengadilan. Lembaga Studi Hukum
pihak yang berkeberatan dapat menyelesaikan Ekonomi. Fakultas Hukum Universitas
sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa Indonesia, 2007.
Negara. Kompetensi dari lembaga adat meliputi
aspek hukum privat dan hukum publik. Friedman, Lawrence M. Friedman. American
Ketiga, upaya yang dilakukan oleh beberapa Law, New York: W.W. Northon & Company
daerah untuk memperkuat posisi dan peran 1984.
lembaga adat adalah melalui pembentukan Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum.
Peraturan Daerah. Pada daerah yang diteliti Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010.
telah memiliki Peraturan Daerah yaitu Perdasus
Sembiring, Jimmy Joses. Cara Menyelesaikan
Papua No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan
Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Adat di Papua dan Peraturan Daerah Kabupaten
Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), Jakarta:
Muara Enim No. 2 Tahun 2007 tentang
Visi Media, 2011.
Lembaga Adat Marga. Hal yang menarik adalah
walaupun Kabupaten Muara Enim bukan Setiady, Tholib. Intisari Hukum Adat Indonesia
daerah khusus, namun telah memiliki Perda Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung:
yang mengatur mengenai Lembaga Adat Marga Alfabeta, 2008.
sebelum terbentuknya Perdasus Papua. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian
Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat.
B. Saran Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Beberapa saran yang dapat disampaikan
adalah pertama, ketentuan dalam Undang-
Undang Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 perlu Jurnal/majalah
ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Manan, Bagir. Hakim dan Pemidanaan. Varia
tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak- Peradilan, No. 249, Agustus 2006.
Hak Masyarakat Adat. Melalui Undang-
Undang tersebutlah peran lembaga adat dalam

INOSENTIUS SAMSUL: Penguatan Lembaga Adat... 141


Website Indonesia. Undang-Undang tentang Desa. UU
Creative Associates International Inc. http://www. No. 6 LN No. 7 tahun 2014. TLN. No. 5495
caii-dc.com, diakses tanggal 5 Mei 2009.
Peraturan Perundang-undangan Makalah
Indonesia. Undang-Undang tentang Arbitrase Andiko. Sistem Penyelesaian Sengketa Alternatif
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU Melalui Lembaga Adat: Kemana Harus
No. 30, LN No. 138 tahun 1999. TLN No. Melangkah. (HuMA) Paper untuk Focus
3972. Group Discusion (FGD) Dalam Rangka
Indonesia. Undang-Undang tentang Provinsi Penelitian Sistem Alternatif Penyelesaian
Papua. UU No. 21, LN No. 135 tahun 2001. Sengketa Melalui Lembaga Adat di P3DI
TLN. No. 4151. Setjen DPR RI, 7 Desember 2012.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Cahyadi, Erasmus. Peluang dan Tantangan


Aceh. UU No 11, LN No. 62 tahun 2006. Peradilan Adat dalam Penyelesaian Sengketa
TLN. No. 4633. Wilayah Adat. Paper untuk Focus Group
Discusion (FGD) Dalam Rangka Penelitian
Indonesia. Undang-Undang tentang Penanganan Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa
Konflik Sosial. UU No. 7, LN No. 116 tahun Melalui Lembaga Adat di P3DI Setjen DPR
2012. TLN. No. 5315. RI, 7 Desember 2012.
Simanjuntak, Nikolas. Penguatan Lembaga Adat
Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Paper untuk presentasi pada Focus
Group Discusion (FGD) Dalam Rangka
Penelitian Sistem Alternatif Penyelesaian
Sengketa Melalui Lembaga Adat di P3DI
Setjen DPR RI, 7 Desember 2012.

142 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 2, November 2014

Das könnte Ihnen auch gefallen