Sie sind auf Seite 1von 16

PORT-

FOLIO
Mike Napizahni
Profile

Name:
Mike Napizahni
Date of birth:
Jakarta, 10 May 1997
Nationality:
Indonesian
Language:
Bahasa Indonesia, English.

Hello!
Let me introduce myself. My name is Mike Napizahni, I am
a bachelor degree majored in Indonesian Literature from
Universitas Negeri Jakarta.
I am a writer who is always looking for great ideas to turn
into interesting writing. I want to make enjoyable and
loveable writing for everyone!
I usually write about short stories that are inspired by
people's lives, but I also like to write something outside my
comfort zone that will make my writing better. For me,
"Deadline" is motivation to be a productive person.

Contact Education

Phone:
2015 - 2019
0877-7058-0462
Universitas Negeri
Email:
Jakarta
mikenafizahni@gmail
Indonesian Literature
.com
Jakarta
Address:
Jl. Cipinang Muara 2,
2012 - 2015
RT013/RW015,
SMK Negeri 50
Jatinegara, Jakarta
Jakarta
Timur
Achievement

Participant of Writing Short Story in PEKSIMINAS 2017


1st Place of Writing Short Story in PEKSIMIDA 2017
1st Place of writing Short Story in Festival Seni UNJ 2016
1st Place of Writing Essay in Pestasia 2016

Organization Experience

Head Department of Public Relation in Student Executive Board


2017 - 2018
Staff of Public Relation in Student Executive Board 2016 - 2017
Member of Teater Zat 2015 - 2017

Work Experience

News Editor in Pos Kota 2018 (internship)


Writer in "Mendu Laut" Short Story Collection 2018 (project)
Sales Promotion in Toko Buku Salemba 2014 (internship)

Training

Uji Keterbacaan Pedoman Standar Kebahasaan dan Kesastraan,


Kemendikbud, 2017
Pelatihan Jurnalistik, UNJ, 2017
Workshop dan Pelatihan Blog, UNJ, 2016
Sosialisasi UKBI, UNJ, 2016
Sosialisasi PUEBI, UNJ, 2016

Skill

Bahasa Indonesia (UKBI: 638)


English
Writing and Editing
Operating Ms. Office
Contents
Editing
Article
Essay
Short story
Editing

Berita edisi 3
November 2018
pada Surat Kabar
Pos Kota dengan
kode editing E2

Artikel ini telah


diterbitkan
Berita edisi pada
2 November 2018
pada Surat Kabar Pos Kota
Majalah TABIK edisi
dengan kode editing E2
perdana, 2018
Editing

Berita edisi 8 November 2018 pada Surat Kabar Pos


Kota dengan kode editing E2
Article

Meneroka Dataran Tinggi Tengger:


Suku Tengger dan Budayanya

(Kunjungan mahasiswa Sastra Indonesia ke Suku Tengger, 11/4/18)

Para ahli sejarah mengatakan bahwa Suku Tengger merupakan


penduduk asli Jawa yang pada saat itu hidup dimasa kejayaan kerajaan
Majapahit. Saat masuknya Islam ke Indonesia (khususnya di pulau Jawa),
terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada
di pulau Jawa, salah satunya adalah kerajaan Majapahit yang merasa
terdesak dengan datangnya pengaruh Islam. Para penduduk kerajaan
Majapahit kemudian melarikan diri sebagian ke pulau Bali dan sebagian
lainnya memilih tetap berada di pulau Jawa dengan mendiami sekitar
pedalaman Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar
pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang
namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro
Anteng dan Joko Seger, dari situlah nama Suku Tengger tercipta.

Suku Tengger, yang dipercaya merupakan keturunan dari kerajaan


Majapahit sendiri menganut agama turunan nenek moyang, yaitu Hindu.
Namun begitu, ada beberapa perbedaan antara penganut agama Hindu
di Bali dengan penganut agama Hindu Suku Tengger. Tidak hanya dalam
segi agama, baik dalam kebudayaan, Suku Tengger memiliki ciri khasnya
tersendiri.

1. Sistem Kasta
Kasta berasal dari bahasa Spanyol dan bahasa Portugis (casta) adalah
pembagian masyarakat. Di pulau Bali sendiri, kasta terbagi menjadi
empat macam yaitu Sudra (petani), Waisya (pedagang dan pegawai
pemerintahan), Satria (bangsawan dan raja), dan Brahmana (pendeta).
Sistem kasta tersebut tentunya berkaitan juga dengan status sosial
masyarakatnya, terutama dalam pemberian gelar pada nama seorang
penduduk di pulau Bali. Contohnya, gelar I Gusti, biasanya diberikan
untuk anak laki-laki  yang lahir dari kalangan pedagang atau kasta
Waisya. Tetapi berbeda dengan Suku Tengger, walaupun sama-sama
beragama Hindu, Suku Tengger tidak memakai sistem kasta.
"Siapa pun anak yang lahir, namanya diberikan sesuai keinginan
orang tuanya, karena tidak ada sistem kasta maka tidak pakai gelar
apa-apa, bebas saja," ujar Haryono, Perangkat Desa Tengger (11/4).

Artikel ini telah


diterbitkan pada
Majalah TABIK edisi
perdana, 2018
Article
2. Upacara Ngaben

Ngaben berasa dari kata Beya yang berarti bekal. Kaum Hindu di Bali
percaya bahwa ngaben adalah ritual untuk penyucian roh orang yang telah
meninggal. Dengan Ngaben, roh orang yang telah meninggal tersebut
dapat langsung kembali ke Dewa Brahma dalam keadaan suci. Ngaben
sendiri membutuhkan dana sekitar 30-40 juta untuk satu jasad. Upacara
adat ini dilakukan dengan membakar jasad orang yang telah meninggal
yang sebelumnya dimulai dengan ritual. Kemudian abu dari jasad tersebut
dikumpulkan dalam satu wadah dan dilepaskan ke lautan.

Pada Suku Tengger juga terdapat upacara ngaben, namun prosesinya


berbeda dengan upacara ngaben di Bali.

"Kalau di Suku Tengger, ngabennya berbeda dengan Hindu di Bali, di


sini dilakukan dengan cara simbolis saja, jasadnya dikebumikan,"
ujar Haryono (11/4).

Simbolisasi yang dilakukan oleh Suku Tengger yaitu dengan membakar


bunga atau benda yang dijadikan simbol bagi jasad orang yang meninggal.
Selain itu, ada alasan lain yang juga diungkapkan mengenai upacara
Ngaben di Tengger, "Jasad kembali kepada ibu Pertiwi dahulu, baru
setelah itu kembali ke Dewa Brahma," kata Haryono (11/4).

3. Toleransi Beragama
Sebagian besar masyarakat Suku Tengger menganut agama Hindu, tetapi
bukan berarti tidak ada agama lain di dalamnya. Di Suku Tengger sendiri
ada yang menganut agama Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Hal ini
merupakan pengaruh interaksi sosial yang kian membaur di pulau Jawa
tempat Suku Tengger bermukim. Namun begitu, perbedaan agama tampak
bukan sebagai masalah di Suku Tengger.

Setiap hari raya Nyepi, umat Hindu Suku Tengger tidak disarankan
melakukan aktivitas apapun di luar rumah. Dengan kondisi Suku Tengger
yang didominasi umat Hindu, maka dapat dibayangkan sunyinya suku ini
ketika hari raya Nyepi tiba. Umat Islam dan lainnya pun turut menghormati,
dengan mengurangi aktivitas di luar rumah.

Berbanding terbalik dengan sehari sebelum Nyepi, dilakukan upacara Buta


Yadnya di segala tingkatan masyarakat dengan mengambil salah satu
macam jenis cari (semacam sesajen). Kemudian mecaru ini diikuti dengan
upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur,
mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan
pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya
kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk
mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan
sekitar.  

Saat upacara mecaru ini, umat Hindu Suku Tengger menghormati umat
lainnya dengan tidak mengajak atau memaksa umat beragama lainnya
untuk mengikuti upacara Mecaru ini meskipun jumlah umat Hindu Suku
Tengger dominan. Mereka benar-benar menghargai kepercayaan
umat-umat yang berada dalam Suku Tengger, sekalipun berbeda hal yang
dianut ataupun yang pahami. Umat beragama yang tinggal di Suku Tengger
ini hidup dengan rukun seolah tidak tampak perbedaan diantaranya.
Essay

KEMAHIRAN BERENANG DI ARUS MILENIAL

Hidup ketika teknologi berkembang kian pesat melahirkan putera dan puteri
bangsa yang mengidap adiksi teknologi. Bahwa dewasa ini, teknologi telah
menjadi kebutuhan primer bagi mereka yang masuk ke dalam bagian dari
generasi milenial. Generasi milenial sendiri adalah sebutan bagi orang-orang
yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 2000 yang saat ini menduduki usia
antara 15 sampai 35 tahun. Para generasi minenial adalah mereka yang saat ini
tengah berada pada usia-usia produktif, terus menghasilkan, dan menyukai
modernitas terutama terhadap teknologi.

Para milenialis dengan sikap yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya
menjadi buah bibir yang sangat menarik untuk dibahas. Bukan untuk semata
diperbincangkan mengenai kelemahannya, namun perlu dilihat dan dipahami
juga sisi positifnya. Milenialis adalah mereka yang dinamis dan menyukai
pembaharuan. Selain itu, faktor usia yang produktif membuat milenialis
mampu menghasilkan sejumlah pembaharuan-pembaharuan berbasis
teknologi yang mampu mempermudah kehidupan orang banyak saat ini.
Salah satu contoh adalah terciptanya aplikasi ojek daring berbasis perangkat
lunak yang dapat dengan mudah diakses selama pengguna memiliki koneksi
internet. Kini, kapan dan dimanapun orang-orang dapat dengan mudah
memilih ojek daring sebagai sarana transportasi mereka. Inilah salah satu ciri
milenialis yang paling mencolok, berupaya untuk mempermudah segala hal.

Dampak yang cukup besar dari adiksi terhadap teknologi selain memberikan
kemudahan-kemudahan yaitu mampunya teknologi untuk mulai mengubah
tatanan sosial, budaya dan  etika. Adanya teknologi mutakhir membuat para
milenialis, baik dalam keadaan sadar atau tidak, mengubah tatanan kehidupan
bersosial, berbudaya dan beretika mereka. Contoh dalam kasus interaksi
sosial. Saat ini interaksi sosial lebih banyak terjadi di dalam dunia maya
ketimbang pada dunia nyata. Hal inilah yang mendasari para pencipta media
sosial untuk terus melakukan pembaharuan pada media sosial ciptaanya.
Adanya pergeseran jumlah frekuensi interaksi sosial dari dunia nyata ke dunia
maya adalah bentuk perubahan tatanan sosial yang lambat laun akan
berimbas pada budaya dan etika para pelaku interaksi sosial.

Perubahan pada tatanan sosial, budaya dan etika pada generasi milenial
bukan tidak berdampak, namun bukan juga hanya akan berdampak
merugikan. Pada dasarnya generasi milenial adalah generasi dinamis yang
mudah berkembang. Perkembangan akan berjalan dengan pesat ditangan
para milenialis hanya jika para milenialis dapat mengatur arus globalisasi yang
menggerakan mereka.

Kemahiran menyikapi globalisasi menjadi hal yang dibutuhkan oleh para


milenialis saat ini. Dengan kemampuan tersebut, segala bentuk dampak
globalisasi baik positif maupun negatif akan dengan mudah terolah menjadi
peluang-peluang untuk menggerakan milenial ke arah yang dibutuhkan oleh
bangsa.  Lalu bukan tidak mungkin para milenialis yang mahir menyikapi
globalisasi akan menjadi pemimpin generasinya. Kembali pada kasus ojek
daring sebagai contoh, pencipta aplikasi ojek daring adalah orang yang
memiliki kepandaian menyikapi globalisasi sehingga berhasil mengubahnya
menjadi peluang untuk memimpin generasinya.
Essay

Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin milenial yang


mampu menyikapi arus globalisasi untuk terus membangun
peradaban yang lebih baik. Hal tersebut diharapkan agar sebagai
orang yang memimpin, seorang pemimpin dapat menekan dampak
negatif dari globalisasi serta tegas dalam bersikap sehingga tidak
terbawa oleh arus, namun juga tidak melawan arus. Intinya adalah
bagaimana kemampuan bersikap dapat dijalankan dengan baik.
Kemampuan tersebut tidaklah sulit untuk didapat karena sudah ada di
dalam diri kita sendiri, yaitu kemampuan bersikap. Sikap adalah
perbuatan yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan yang
diciptakan dari pemilik sikap itu sendiri. Jadi, sikap adalah yang keluar
dari diri sendiri.

Perihal bersikap adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk bersikap


menyambut, menyaring atau bahkan melarang globalisasi untuk
masuk ke dalam diri kita adalah pilihan yang harus kita tentukan
sendiri. Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin di era milenial tidak
semata harus memiliki kecakapan dalam menguasai teknologi, namun
cara mengatur diri hingga dapat memberikan sikap yang tepat adalah
poin yang terpenting.

Kemahiran dalam menyikapi globalisasi di tengah arus milenial


merupakan hal yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan
bangsa, yaitu kebutuhan akan sosok pemimpin. Para generasi milenial
sudah seharusnya sadar akan tugas dan kewajiban mereka untuk
melanjutkan kepemimpinan generasi sebelumnya. Oleh karena itu,
pembelajaran akhlak yang meliputi pembelajaran bersikap sudah
mulai dilatih sejak saat ini. Karena hal tersebut merupakan langkah
awal untuk membalas budi kepada negara yang telah memberikan
tempat bagi kelahiran kita, para generasi milenial.

Esai "Kemahiran Berenang di Arus Milenial"


meraih juara 1 pada Lomba Penulisan Esai
Pekan Seni Mahasiswa Sastra Indonesia 2016.
Short story

AHMAK MENYEBERANG JALAN

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketika tanaman singkong milik


pak Baya tiba-tiba kehilangan daunnya,  pastilah daun-daun singkong
itu pindah ke panci milik seorang istri dari penjual mebel bekas.
Kemudian diperkuat dengan tingkah anaknya yang berusia tujuh
tahun, Ahmak, yang akan berlari mengitari pekarangan rumah sambil
menutup mulut.

“Daun singkong ini akan tetap terasa pahit kalau kau terus
menganggapnya pahit, cepat kemari dan jangan banyak bertingkah”
ujar ibu muda yang kerutnya muncul sepuluh tahun lebih cepat itu.

Ahmak menghentikan laju dan berjalan ke arah ibunya, “Kapan aku


bisa pergi ke sekolah itu?” kata Ahmak sambil menunjuk bangunan
bercat putih yang ada di seberang jalan.

“Nanti kalau kau sudah bisa menyeberang jalan” ibu muda itu berhasil
menyuapkan gumpalan nasi dan rebusan daun singkong ke mulut
anaknya.

---

Jalan raya yang memisahkan antara rumah Ahmak dan banggunan


sekolah berwarna putih memang selalu hiruk. Sejak upacara
pengguntingan pita oleh pak Adikara sekitar tiga tahun yang lalu, jalan
raya yang masih terus beroperasi itu memang tidak pernah tidur.
“Jalan ini akan menghubungkan kota dengan desa. Kelak, keramaian
jalan ini akan menjadi tanda majunya kehidupan kota yang akan terus
mengayomi kehidupan desa. Selamat dan sukses” kata pak Adikara
saat itu.

Setelah tiga tahun beroperasi, nyatanya jalan raya Adikara, persis


seperti nama orang yang meresmikannya, memang tidak pernah sepi.
Berbagai macam kendaraan beroda empat, tiga, dan dua tidak pernah
absen untuk meramaikan fasilitas milik negara tersebut. Namun
sayangnya, selama tiga tahun beroperasi, jalan raya tersebut tidak
pernah dilengkapi dengan jembatan penyeberangan.
Short story

Pernah ada wacana untuk membangun jembatan penyeberangan agar


mempermudah akses menyeberang warga desa ke kota maupun
sebaliknya. Namun tampaknya, pak Adikara terlalu sibuk menggunting
pita di jalan raya yang lain, sehingga wacana pembuatan jembatan
penyeberangan tersebut memang hanya sebatas wacana belaka.
Hingga pada akhirnya, kemampuan menyeberang yang baik menjadi
penting bagi warga yang memang ingin menyeberang jalan, baik untuk
keperluan berdagang, atau untuk menagih hutang. Jadi jika tidak
memiliki keahlian menyeberang, sebaiknya tidak usah menyeberang
dari pada nantinya hanya akan terlindas kendaraan yang lewat.

---

Hari ini, Ahmak kembali berdiri tepat di pinggir jalan raya. Ia siap
menyeberang. Oleh bapaknya yang bekerja sebagai penjual mebel
bekas, ia pernah diajari, bahwa jika ingin menyeberang jalan yang harus
dilakukan pertama kali adalah memastikan diri siap untuk
menyeberang. Dengan berdiri di pinggir jalan, tubuh Ahmak telah
memberikan sinyal kepada saraf otaknya, bawa ia siap untuk
menyeberang.

Hal kedua yang dikatakan oleh penjual mebel bekas selanjutnya  adalah
jika sudah siap untuk menyeberang, tengoklah ke arah kanan untuk
memastikan apakah kendaraan yang melaju dari arah kanan tidak
ramai dan dapat diseberangi. Kemudian Ahmak menggerakan
kepalanya ke arah kanan, kendaraan yang melaju dari arah kanan sangat
ramai. Ternyata ada iring-iringan mobil dengan pengawalan bersenjata
yang akan melewati jalan raya Adikara. Dalam kondisi seperti ini, semua
kendaraan yang tidak termasuk dalam iring-iringan merapatkan
kendaraannya ke arah pinggir, mempersilakan iring-iringan untuk lewat.

Dalam penglihatan Ahmak, iring-iringan yang sedang melintasi jalan


raya Adikara sangatlah banyak dan meriah. Awalnya ada sekitar enam
buah motor besar yang dikendarai oleh orang-orang berseragam
cokelat dengan helm hitam, orang-orang itu bermuka kaku dan seperti
terpaku pada helm mereka. Kemudian empat buah mobil hitam
berukuran sedang meluncur dengan mulus dikendarai oleh
orang-orang berjas hitam, tangan mereka lihai memainkan setir, sangat
lihai, hingga semua hal mungkin dapat mereka mainkan dengan
mudah. Lalu iringan yang ketiga dan paling mencolok perhatian adalah
sebuah mobil hitam mulus dan panjang keluaran Amerika dengan
gambar kuda terbang di depannya. Di dalam mobil tersebut, terdapat
seseorang bertubuh kurus menggunakan jas putih dan kopiah dengan
warna senada. Orang tersebut kemudian berdiri dan mengeluarkan
kepalanya melalui lubang di atap kendaraanya dengan wajah yang
sejahtera. Sekilas wajah orang tersebut mirip dengan wajah orang yang
sering berpidato di televisi. Ahmak mengenalinya karena beberapa kali
melihat pak Baya menonton orang tersebut di televisi tiga puluh satu
inci miliknya. Ahmak sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya
dikatakan oleh pemidato, yang ia tahu, ketika pemidato tersebut selesai
berpidato, semua orang yang mendengarkan pidatonya langsung
berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah.
Short story

Setelah hampir tiga puluh detik iring-iringan kendaraan berlalu, jalan dari
arah kanan jalan raya Adikara kembali pada keadaan ramai yang normal.
Ahmak mungkin dapat menyeberanginya jika ada celah jalanan yang
kosong dan tentu saja dengan kecepatan kaki yang maksimal. Jalan dari
arah kanan aman. Kemuadian Ahmak melihat ke arah kiri, ternyata jalanan
di arah kiri terlihat lebih lengang dari biasanya. Hanya ada kendaraan roda
tiga berwarna biru yang melintas, kemudian jalanan akan kosong untuk
beberapa saat.

Ahmak menunggu bajaj biru itu melintasi dirinya. Ketika melintas,


Ahmak sempat melihat pengendara bajaj tersebut adalah seorang lanjut
usia dengan peluh dan handuk kecil yang disampirkan di pundaknya. Ia
mengendarai bajajnya dengan tenang, walau getaran yang ditimbulkan
dari bajaj tersebut membuat seluruh badannya bergetar.

Ahmak sudah mengambil ancang-ancang untuk menyeberang ketika ba


jaj biru tadi baru saja melewatinya. Ia menfokuskan pandangannya ke arah
seberang, ke arah gedung sekolah bercat putih. Ia menegapkan badan,
mengumpulkan nyali dan siap untuk menyeberang. Pertama-tama kaki
kanan Ahmak melangkah, kemudian diikuti dengan langkah kaki kirinya.
Begitu seterusnya sampai pada langkah kelima hingga bunyi klakson dari
arah kanan sukses membuat jantungnya hampir copot. Sebuah kendaraan
beroda dua membelokan setirnya dan melintas dengan segera melewati
tubuh mungil Ahmak sambil meneriakan kata-kata makian.

Gelagap. Ahmak benar-benar kikuk. Langkah kakinya gontai. Entah


ingin maju ke depan atau berbelok ke belakang. Belum pulih benar
kesadarannya, Ahmak kembali menerima klakson. Kali ini malah dari
kendaraan yang sangat besar, sebuah truk pengangkut pasir. Untungnya
truk tersebut berhenti tepat di depan tubuhnya yang gontai sehingga
tidak sampai melindasnya. Dengan sekonyong-konyong Ahmak
membalikan badannya dan berlari ke pinggir jalan tempat ia tadi
memutuskan untuk menyeberang.

Padat. Sangat padat. Ahmak kembali melihat kondisi jalan raya yang
ramai itu dengan napas yang terengah. Apakah ada peluang untuknya
menaklukan jalan raya itu? Jika bapaknya si penjual mebel bekas mampu
menyeberang sebanyak lebih dari tiga kali dalam satu hari, mengapa ia
tidak bisa? Lagi, ia mengamati kondisi jalan raya dengan seksama. Lalu
sesekali matanya mencuri pandang ke arah gedung sekolah bercat putih
di seberang sana yang menjadi tujuannya.

Dua, lima, sepuluh kendaraan roda dua melintas. Semua sangat cepat,
seperti sedang berada dalam arena balap yang ingin cepat-cepat
mencapai garis finis: pusat kota. Kemudian mobil-mobil dengan berbagai
macam warna, tidak ada satupun dari mereka membuka jendela
mobilnya, kecuali jika ingin membuang puntung rokok atau lainnya yang
dianggap sampah dan harus dibuang. Ada yang lebih mencolok dari
orang yang mengenakan jas putih pada saat iring-iringan yang lalu, yaitu
seseorang yang mengenakan pakaian lusuh sedang beraksi mendorong
gerobak roda dua di pinggir jalan yang lain. Ahmak terus memperhatikan
orang tersebut. Dengan gerobak yang dibawanya, orang tersebut seperti
tidak ingin kalah bersaing dengan pengendara lainnya.
Short story

Hari semakin siang, volume kendaraan yang melintas di jalan raya Adikara
semakin banyak. Itu berarati semakin tipis kesempatan Ahmak untuk
menyeberang jalan dan sampi ke gedung sekolah bercat putih yang ada di
seberang sana. Miris, yang dapat Ahmak lakukan saat ini hanyalah
menatap gedung itu lekat-lekat, membayangkan belajar di dalamnya.
Mungkin Ahmak harus menyerah karena memang mustahil bagi anak
seusianya untuk menyeberang jalan seorang diri. Jalan raya terlalu keras
baginya, hanya orang-orang dengan kadar kekuatan tertentulah yang
dapat menyeberang hingga ujung. Jika tidak, maka ia hanyak akan
tertabrak oleh keramaian jalan raya Adipara.

---

Ahmak kembali ke rumah. Ia lesu, namun bukan karena lapar. Tetapi  istri
penjual mabel bekas menangkapnya sebagai tanda bahwa nasi panas dan
rebusan daun singkong harus segera disediakan untuk menyambut
anaknya.

“Belum habiskah daun singkong di pekarangan pak Baya ibu petiki?” kata
Ahmak sambil menghindarkan mukanya dari suguhan asi putih dan
rebusan daun singkong.

“Husss…. Anggap saja daun singkong ini manis, maka rasanya akan manis”

---

Tidak ada lagi daun singkong. Semakin membayangkan makanan


tersebut, semakin kuat keinginan Ahmak untuk menyeberangi jalan raya.
 Ia ingin menyeberang. Ia ingin pergi ke gedung sekolah bercat putih. Ia
ingin melihat kehidupan selain daun singkong rebus. Ahmak
mempercepat langkahnya sampai gedung sekolah bercat putih kembali
terlihat. Kemudian ia berhenti tepat di tempat terakhir kali ia mencoba
untuk menyeberang.

Jalan raya Adikara tetap ramai. Padat. Penat. Tidak pernah mengaso. Dua,
lima, sepuluh, dua puluh, lima puluh kendaraan dari arah kanan maupun
kiri terus melaju. Cepat dan semakin cepat. Ahmak kembali mengingat
petuah bapaknya ketika ingin menyeberang. Pertama, siapkan diri. Ahmak
menarik napas dalam-dalam, menatap gedung sekolah bercat putih,
memantapkan diri. Kedua, menengok ke arah kanan, kepalanya dengan
segera menengok ke arah kanan, suasana jalan ramai seperti biasa, namun
ada sedikit ruang kosong setelah bus berwarna oranye lewat. Ia akan
bersiap-siap. Ketiga, lihat ke arah kiri. Keadaan ramai padat. Mungkin ia
dapat menyeberang jika ia memaksimalkan kecepatan langkah kakinya.

Baik. Inilah saatnya. Ahmak menarik napas panjang. Kembali melihat ke


kanan, dan bus berwarna oranye tepat melintas di depannya. Satu… dua….
Cepat! Langkahkan kaki dengan cepat! Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan…
berhasil! Ahmak sampai di seberang jalan. Ia berhasil. Dadanya yang
sedaritadi berdenyut dan hampir copot perlahan mulai mengembalikan
iramanya. Ia bisa menyeberang jalan.
Short story

Gedung sekolah bercat putih terlihat semakin dekat. Hanya beberapa


langkah lagi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Ahmak mengatur
napasnya dan kembali melangkah. Ia terus melangkah menuju gedung
sekolah bercat putih. Tapi yang aneh adalah semakin ia melangkah, se
makin gedung tersebut terlihat mengecil, terus mengecil dan mengecil,
hingga hilang dari pandangan. Kemudian pandangannya dipenuhi oleh
kunang-kunang yang berputar, semakin banyak kunang-kunang, semakin
ia ikut berputar. Cahaya matahari siang perlahan menyusut berganti
hitam. Dalam keremangan Ahmak merasakan tubuhnya lemas, begitu
lemas hingga tidak dapat merasakan berat tubuhnya sendiri. Sebelum
jatuh tersungkur, Ahmak sempat mencium bau daun singkong rebus,
kemudian semuanya hitam.
---

Cerpen "Ahmak Menyeberang Jalan" meraih


juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Pekan
Mahasiswa Daerah DKI Jakarta 2017, telah
diterbitkan dalam Antologi Kumpulan Cerpen
"Mendu Laut dan Majalah Sunday.
Thank you!

Contact me:
Phone: 0877-7058-0462
Email: mikenafizahni@gmail.com

Das könnte Ihnen auch gefallen