Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
MAIDASWAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Maidaswar
Nrp 651030021
ABSTRACT
MAIDASWAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi
Nama : Maidaswar
NRP : B 651030021
Program Studi : Biologi Reproduksi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia, rahmat
dan maghfirahNya sehingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Shalawat dan
salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas suri
tauladannya. Penelitian yang dilaksanakan di Balai Embrio Ternak Cipelang-
Bogor ini berjudul Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Komisi Pembimbing: drh. Arief Boediono, Ph.D. sebagai ketua komisi dan
Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai anggota, yang telah banyak membimbing dan
mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
2. Dr. drh. Tuty L.Yusuf, M.S., Dr. dra. R. Iis Arifiantini, MSi. yang senantiasa
memberikan dukungan dan semangat, juga Dr. drh. Iman Supriatna dan
drh. R. Kurnia Achyadi, MS. atas konsultasi dan curahan ilmunya.
3. Dr. Drh. Sjamsul Bahri, M.S. Direktur Perbibitan Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian selaku pimpinan penulis yang berkenan
menjadi penguji luar IPB demi kesempurnaan tesis dan pemanfaatannya.
4. Rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa
Pascasarjana Biologi Reproduksi (Wacana BIOREP) dan Forum Mahasiswa
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Wacana IPB) yang senantiasa
memberikan masukan.
5. Drh. Hasan Mardijono selaku Kepala Balai Embrio Ternak Cipelang-
Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan rekan-rekan
sekantor (drh. Nurwidayati, drh. M. Arifin Basyir, drh. Winarno, drh. Syamsul
Fikar, drh. Bagyaningtyas, Ir. Sugiono, Ir. Tri Harsi MP., Ir. Slamet
Supriyanto, MP., M. Imron Spt. MSi., Yude Maulana Yusuf Spt., Sugeng
Riyanto, Laelatul Choiriyah, Ilyas Spt., Muslihudin, Agus Jamaludin, Spt.,
Parto Spt., yang turut memberikan dukungan dalam produksi embrio.
6. Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Pertanian Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Departemen Pertanian, yang telah memberikan
kesempatan studi dan beasiswa kepada penulis.
7. Istri tercinta Fuji Mariati SP. dan anak-anak yang sangat menyejukkan hati
Fathiyya Nisatudz Dzikra, Fadlan Rizqon Tsany, Aziz Muhammad Zhafran,
Ahmad Zaid Al Fatih, yang menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi
penulis.
8. Ayahanda Syafiruddin dan Ibunda Sitti Aisyah yang konsisten menanamkan
embrio pencarian keesaan Allah SWT agar tetap istiqomah dijalanNya, atas
dukungan dan doanya yang tak pernah henti, semoga Allah SWT memberikan
balasan setimpal. Demikian juga ucapan terima kasih kepada Bapakanda
Muhamad Soleh dan Ibunda Markumi serta seluruh saudara-saudara atas
pengertian, doa, dan perhatian yang senantiasa diberikan.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dimasa datang, terutama penerapan bioteknologi reproduksi
embrio transfer dalam menunjang pembangunan peternakan di Indonesia.
Maidaswar
RIWAYAT HIDUP
PENDAHULUAN………………………………………………………..…… 1
Kerangka Pemikiran………………………………………………….….…. 2
Hipotesis ……………………………………………………………..……. 4
Materi Penelitian………..…………………………………………..……… 17
Simpulan .....................………………………………………………….….. 46
Saran …………………………………………………………………….…. 46
Halaman
9 Respon superovulasi sapi potong dan sapi perah non laktasi pada
kombinasi FSH-LH dengan Sinkronisasi Gelombang Folikel dan
Ovulasi (SGFO) ………………………………………………………… 43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Pada proses produksi embrio secara in vivo, sapi donor merupakan “mesin
produksi” yang sangat penting. Karena itu kondisi donor harus senantiasa prima
dengan didukung oleh kesehatan dan nutrisi yang baik.
Pengenalan siklus ovari ternak donor secara cermat sangat menentukan
keberhasilan kegiatan superovulasi untuk menghasilkan embrio. Pengenalan
siklus ovari yang dimaksud meliputi pengenalan gelombang pertumbuhan folikel
(dinamika folikel), deteksi keberadaan folikel dominan, deteksi keberadaan
korpus luteum, pola ovulasi ganda dan deteksi birahi. Proses pertumbuhan folikel
meliputi tahap rekrutmen folikel primordial, seleksi folikel dan terbentuk folikel
dominan (Johnson & Everit 1995). Dengan pemahanan hal diatas maka dapat
dilakukan aplikasi hormonal (GnRH dan atau gonadotropin) secara tepat untuk
tujuan superovulasi dan sinkronisasi ovulasi agar respon ovarium dan perolehan
embrio meningkat.
Pertumbuhan folikel pada sapi dapat terdiri dari 2 atau 3 gelombang
(follicular waves). Superovulasi akan efektif jika dilakukan pada awal
perkembangan folikel (saat muncul gelombang folikel) yang mempunyai
sensitifitas terhadap hormon gonadotropin (Lucy et al. 1992; Rocha 2005;
Sato et al. 2005). Pada saat tersebut, sejumlah folikel dapat tumbuh sampai
mencapai folikel dominan setelah distimulasi dengan hormon gonadotropin, dan
akan lebih efektif jika terlebih dahulu disertai dengan penghilangan (eliminasi)
folikel dominan. Dalam keadaan normal pada setiap gelombang folikel, ada
sebuah folikel yang akan menjadi folikel dominan. Folikel dominan tersebut
menghasilkan inhibin yang mempunyai efek menekan pertumbuhan folikel-folikel
lain serta menghalangi kemunculan gelombang folikel. Dalam kegiatan
superovulasi, dimana dikehendaki lebih banyak folikel yang berkembang, maka
folikel dominan tersebut harus dieliminasi baik secara mekanis maupun hormonal,
untuk selanjutnya diikuti kemunculan gelombang folikel, yang merupakan saat
terbaik dimulai superovulasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal
(Rocha 2005).
Dalam kegiatan superovulasi, penggunaan hormon gonadotropin eksogen
berfungsi untuk meningkatkan stimulasi pertumbuhan folikel. Aplikasi
gonadotropin yang tepat baik lama waktu, dosis, jenisnya akan mempengaruhi
respon donor dan perolehan embrio. Waktu optimal aplikasi gonadotropin akan
memberikan hasil yang maksimal, efisiensi waktu, tenaga, biaya dan penggunaan
donor. Induksi gonadotropin menyebabkan sejumlah folikel akan berkembang
menjadi dominan dalam waktu yang hampir bersamaan. Semua folikel dominan
tersebut semestinya mengalami ovulasi dalam rentang waktu yang hampir
bersamaan. Namun pada banyak donor ditemukan kegagalan ovulasi
(anovulation) dari beberapa folikel–folikel dominan atau waktu ovulasi yang
relatif tidak serentak (Putro 1996). Kegagalan ovulasi dan proses ovulasi yang
tidak serentak dapat menurunkan jumlah dan kualitas embrio (Saito 1997).
Solusi dari permasalahan diatas, dalam penelitian ini disamping penggunaan
hormon gonadotropin (FSH-LH) terutama untuk menstimulasi pertumbuhan
folikel, juga dilakukan sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi
dengan pemberian GnRH. Demikian juga keberadaan korpus luteum (CL) yang
menghasilkan progesteron dieliminasi dengan penyuntikan PGF2α, sehingga
dengan lisisnya CL akan terjadi penurunan kadar progesteron (Senger 1999).
Dengan rendahnya kadar progesteron, maka mekanisme penghambatan
gonadotropin oleh progesteron akan dihilangkan, sehingga gonadotropin endogen
dikeluarkan terutama pelepasan LH sebagai induktor ovulasi.
Hipotesis
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Luteolisis
Progesteron ovulation
ovulation
A
D D
DA
A
A D
S D R
S S
S
S
S S
S A S
S A S D
S S S A R
S S A A
A R
R A A
R R R A
R A R R
R R A R A A
R R R
R R
ovulation
A A D
A
D A
A D
S D R
S S
S
S
S S
S A S
S A S D
S S S A R
S S A A A R
R R R A R A
R A R R A
R R A RA A
R R R R R
dalam penentuan waktu yang tepat untuk memulai superovulasi sapi donor.
Apabila superovulasi dimulai pada awal gelombang folikel, maka keberhasilan
akan lebih tinggi. Disisi lain pada hari keenam siklus estrus, dari kedua tipe
gelombang folikel tersebut hampir selalu mempunyai sebuah folikel dominan
yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005). Keberadaan folikel dominan
menurunkan respon superovulasi karena inhibin dan estradiol yang dihasilkan
menghambat perkembangan folikel lain (subordinat) melalui mekanisme umpan
balik negatif terhadap FSH di hipofise anterior (Rajamahendran 2002). Juga
keberadaan sebuah folikel dominan tersebut menghalangi munculnya gelombang
folikel berikutnya (Adam et al. 1994).
Ovulasi adalah pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya ovum bersama sel-
sel yang menyelubunginya dan sedikit cairan folikel yang terjadi akibat
rangsangan hormon LH (Hafez & Hafez 2000). Secara normal pada sapi,
ovulasi terjadi pada akhir fase estrus yaitu sekitar 12-18 jam sesudah akhir estrus
(Jemmeson 2006) atau 30 jam setelah onset estrus (Whittier & Geary 2007).
Secara alami jumlah oosit yang diovulasikan pada satu kali ovulasi pada sapi
adalah satu oosit (Toelihere 1985). Umumnya hanya folikel dominan yang akan
ovulasi pada akhir siklus estrus meskipun rekruitmen pada gelombang folikel
terjadi beberapa kali dalam satu siklus (Setiadi et al. 2005). Secara normal,
ovulasi dapat terjadi pada setiap situs di permukaan ovarium kecuali pada hilus
(Senger 1999).
Superovulasi pada sapi bertujuan untuk mendapatkan sejumlah besar embrio
yang dapat ditransfer dengan kemungkinan tinggi menghasilkan kebuntingan
(Mapletoft & Pierson 1993). Unsur utama pada superovulasi adalah pemberian
hormon gonadotropin yang dimulai pada hari ke-9 dari siklus birahi untuk sapi
dengan panjang siklus birahi 21-23 hari dan pada hari ke-10 untuk sapi dengan
panjang siklus birahi 18-20 hari (Dielleman & Bevers 1993). Sato et al. (2005)
melaporkan superovulasi dapat dilakukan antara hari ke 8 dan hari ke 12 siklus
estrus atau 2.5 hari setelah pemberian GnRH. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
respon donor dapat meningkat ketika superovulasi dilakukan pada waktu
gelombang folikel terjadi atau tanpa keberadaan folikel dominan. Demikian juga
Setiadi et al. (2005) menyatakan bahwa aplikasi hormon gonadotropin pada saat
muncul gelombang folikel dapat meningkatkan respon superovulasi. Beragam
variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi berkaitan
erat dengan beragamnya status perkembangan folikel pada saat perlakuan
(Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih
rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel
dominan karena adanya inhibin, sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat
keberadaan sejumlah besar folikel-folikel kecil (Romero et al. 1991; Sato et al.
2005). Respon untuk ovulasi terhadap pemberian gonadotropin pada satu hari
sebelum atau pada hari munculnya gelombang folikel, lebih tinggi dari perlakuan
pada satu atau dua hari setelah munculnya gelombang folikel (Bo et al. 1995).
Colenbrander (2004) menyatakan bahwa secara umum periode superovulasi
pada sapi terdiri dari 2 periode perkembangan oosit sampai embrio. Pertama,
periode folikel yang berlangsung 5-6 hari, dimulai sejak pemberian gonadotropin
pada fase luteal sampai dengan ovulasi. Kedua, periode intraoviduk dan intra
uterin, berlangsung 6-7 hari, mulai saat fertilisasi, perkembangan embrio sampai
embrio siap dikoleksi.
Sebelum pelaksanaan superovulasi pada ternak donor, salah satu
pertimbangan yang utama adalah pengenalan siklus estrus, pemeriksaan
ovarium (deteksi awal gelombang folikel, deteksi dan penghilangan folikel
dominan, deteksi korpus luteum). Menurut Hafez dan Hafez (2000) pemeriksaan
kondisi ovarium secara klinis dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal dan
menggunakan ultrasonografi.
Setelah terjadi ovulasi maka pada situs pelepasan oosit akan terbentuk
Corpus Luteum (CL). Selama awal fase luteal (metestrus), CL dibentuk dari sel-
sel luteal. Pada pertengahan fase luteal (diestrus) sel-sel luteal menghasilkan
sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase luteal, CL dilisiskan oleh PGF2α
yang dihasilkan oleh endometrium uterus. Lisis CL diikuti dengan penurunan
kadar progesteron, sehingga mekanisme umpan balik negatif progesteron pada
hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GnRH yang menandakan
dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3 - 5 mulai meningkat ukurannya
sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar
maksimal sekitar hari ke-10 (Senger 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa CL
tersusun atas sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron. Konsitensi/
kekenyalan badan CL sangat ditentukan oleh jumlah sel-sel luteal dan
vaskuralisasi darah kebagian tersebut. Demikian juga kemampuan CL
memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi pada lapisan
seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesa dan sekresi progesteron sedikit) diyakini
akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi, ketidakmampuan uterus
dalam mendukung perkembangan embrio dini (Amiridis et al. 2006).
Pada sapi CL dapat diperiksa secara palpasi rektal. Namun status
fungsional CL sulit dikenali secara palpasi rektal sebab ukuran CL tidak selalu
berkaitan dengan kemampuannya memproduksi progesteron. Secara palpasi,
umumnya CL yang fungsional akan teraba karena menonjol pada permukaan
ovarium. Namun tidak semua badan CL selalu muncul dengan jelas pada
permukaan ovarium, kadangkala pada CL yang telah mencapai ukuran maksimal
dan fungsional namun sedikit bagian yang muncul. Hal ini penting diperhatikan
apabila akan menilai keberadaan dan status fungsional CL. Stabenfeld dan Edqvist
(1984) dalam Yusuf (1990) menyatakan bahwa ukuran CL mencapai maksimum
pada hari ke tujuh sampai ke sembilan dari siklus estrus.
Dalam satu siklus estrus, CL harus mengalami lisis agar fase folikular
dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron
dominan (Senger 1999). Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari
CL, yang terjadi 2-3 hari pada akhir fase luteal. Ada dua hormon yang berperan
penting dalam lisis CL yaitu oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α
yang dihasilkan endometrium uterus.
Pada sinkronisasi gelombang folikel, terutama dengan menggunakan GnRH
pada hari ke 6-7 siklus estrus, sebuah CL baru dapat terbentuk setelah terjadi
ovulasi folikel dominan, sehingga terdapat dua CL pada saat bersamaan
(Jemmeson 2006; Whittier & Geary 2007). Pada kegiatan superovulasi, dimana
terjadi ovulasi sel telur dalam jumlah banyak, maka secara siklus pada bekas
ovulasi akan terbentuk CL dalam jumlah yang sama. Secara morfologi, ovarium
menjadi berukuran lebih besar dari normal dengan permukaan dipenuhi CL
(Gambar 2), yang dapat terdeteksi dengan jelas secara palpasi atau dengan
pemeriksaan menggunakan USG.
F
JO
CL
Penelitian dilakukan pada bulan April 2005 sampai dengan Januari 2006
bertempat di Laboratorium Produksi Embrio Balai Embrio Ternak Cipelang-
Bogor- Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.
Materi Penelitian
Materi penelitian terdiri dari lima puluh (50) ekor sapi donor yaitu perah
non laktasi FH (Frissien Holstein) dan potong (Simmental dan Limousin) yang
berumur antara 3 sampai 7 tahun, telah pernah beranak, rata-rata telah 3 kali
dilakukan superovulasi dengan respon baik untuk produksi embrio, nilai BCS
3.0–4.0, kesehatan yang baik dan diberikan pakan yang sesuai standar donor,
dipelihara dalam kandang pada manajemen dan lingkungan yang sama.
Metode Penelitian
ESTRUS
PENGECEKAN
REPRODUKSI
SINKRONISASI
GELOMBANG FOLIKEL
INJEKSI
GONADOTRPOIN
PGF2α
SINKRONISASI
OVULASI
INSEMINASI
PANEN EMBRIO
(FLUSHING)
Evaluasi
CL
= SOV konvensional
= SGF
EVALUASI
= SGFO EMBRIO
Tiga puluh (30) ekor sapi (perah dan potong) dibagi menjadi 3 grup
perlakuan yang mana kesemuanya pada hari ke 9 setelah estrus diberi perlakuan
superovulasi dua kali sehari dosis menurun dengan gonadotropin (1000 IU FSH
dan 1000 IU LH, Pluset ®, Laboratorios Callier, S.A., Spain): a) selama 3 hari
(grup 1, n = 10) dalam 6 kali injeksi, b) selama 4 hari (grup 2, n = 10) dalam 8
kali injeksi dan c) selama 5 hari (grup 3, n = 10) dalam 10 kali injeksi. Pada hari
ke 11 sore dan 12 pagi diberikan PGF2α masing-masing 25 mg (dinoprost
tromethamine; LutalyseTM , Pharmacia, NV., Belgium). Semua sapi dilakukan
inseminasi buatan pada 12, 24, 36 jam setelah awal estrus atau sekitar 60, 72, 84
jam setelah penyuntikan PGF2α pertama. Pemanenan embrio dilakukan pada hari
ke 7 setelah inseminasi pertama (kira-kira hari ke-20/21 setelah estrus). Secara
rinci waktu dan pembagian dosis aplikasi gonadotropin FSH-LH dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
0 estrus
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
9
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH)
10 sore 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH)
pagi 2.5 ml i.m. (125 iu FSH + 125 LH)
11 sore 2.5 ml im(125 iu FSH + 125 LH) +25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2α)
12 pagi, penyuntikan 25 mg dinoprost tromethamin (PGF2α)
13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
14 IB pagi dan sore
15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
20/21 panen embrio
Tabel 2 Protokol aplikasi gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH) pada
perlakuan selama 4 hari
0 estrus
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
9
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
10 sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)
11 sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2α)
pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost
12 tromethamin (PGF2α)
sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
14 IB pagi dan sore
15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
20/21 panen embrio
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
¾ ¾ ¾
Estrus Panen
embrio,
PGF2α (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali evaluasi CL
a. 5 Hari Gonadotropin ¾¾
ÂÂ Â Â Â Â Â Â Â Â ÂÂ Â
FSH-LH 10 x dosis menurun IB 3x
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
¾ ¾ ¾
Estrus Panen
embrio,
evaluasi CL
Sepuluh (10) ekor sapi (perah-potong) pada hari ke 7 setelah estrus diberi
GnRH (86 µg gonadorelin, Fertagyl®, Intervet Inc.Millsboro, Holland).
Selanjutnya pada hari ke 9 dilakukan superovulasi dengan gonadotropin (1000 IU
FSH dan 1000 IU LH, Laboratorios Callier, S.A., Spain) dua kali sehari selama 4
hari dalam 8 dosis menurun. Pemberian PGF2α, inseminasi buatan, pemanenan
embrio dilakukan sama seperti pada penelitian I. Tujuan dari perlakuan ini adalah
untuk sinkronisasi gelombang folikel sebelum superovulasi. Secara rinci waktu
dan pembagian dosis aplikasi gonadotropin FSH-LH dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
0 estrus
7 Penyuntikan GnRH (86 μg gonadorelin)
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
9
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
10 sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)
11 sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2α)
pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost
12 tromethamin (PGF2α)
sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
14 IB pagi dan sore
15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
20/21 panen embrio
Gambar 5 Diagram palang SGF SGFO
PENELITIAN II
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
¾ ¾ ¾
Panen
Estrus Embrio,
evaluasi CL
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
¾ ¾ ¾ ¾
Estrus GnRH (86 μg gonadorelin) Panen
Estrus Embrio,
evaluasiCL
Gambar 5 Diagram penelitian sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO)
23
Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) dengan GnRH.
Pada penelitian ini, perlakuan seperti pada SGF ditambah dengan kombinasi
pemberian GnRH pada hari ke 13 setelah estrus atau 40-48 jam setelah PGF2α
pertama. Lebih rinci adalah sebagai berikut: sepuluh (10) ekor sapi (perah-
potong) pada hari ke 7 setelah estrus diberi GnRH (86 µg gonadorelin, Intervet
Inc.Millsboro, Holland). Pada hari ke 9 dilakukan superovulasi dengan
gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH, Laboratorios Callier, S.A., Spain)
dua kali sehari selama 4 hari dengan dosis menurun. Pemberian PGF2α,
inseminasi buatan, pemanenan embrio dilakukan sama seperti pada SGF. Tujuan
dari perlakuan ini adalah superovulasi yang dikombinasikan dengan sinkronisasi
gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Secara rinci waktu dan dosis aplikasi
gonadotropin FSH-LH adalah sebagai berikut :
0 estrus
7 Penyuntikan GnRH (86 μg gonadorelin)
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
9
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
10 sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)
11 sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2α)
pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost
12 tromethamin (PGF2α)
sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
Penyuntikan kedua GnRH (86 μg gonadorelin)
13
IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
14 IB pagi dan sore
15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
20/21 panen embrio
Penelitian sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) juga akan
diamati secara spesifik pada jenis sapi (perah non laktasi atau potong) yang
digunakan, membandingkan tingkat respon dan perolehan embrio diantara kedua
jenis sapi tersebut.
Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil dari
ketiga eksperimen tersebut dibandingkan berdasarkan parameter yang diamati
menggunakan analisa statistik sidik ragam (Anova), selanjutnya untuk melihat
perbedaan nilai tengah antar perlakuan digunakan uji Duncan. Khusus untuk
tingkat respon juga digunakan uji Kruskal Wallis. Pemeriksaan dan penghitungan
corpus luteum pada ovarium dilakukan secara palpasi rektal dibantu dengan
Ultrasonografi (Aloka SSD 500, Matsushita Electric Co. Tokyo, Japan) pada saat
panen embrio.
Donor dianggap memberikan respon bila memiliki jumlah corpus luteum (CL)
lebih besar dari 1 (CL > 1) dan dianggap tidak berespon jika jumlah corpus
luteum kecil atau sama dengan 1 (CL ≤ 1).
Perolehan embrio yang diamati adalah jumlah embrio oosit keseluruhan yang
didapat, jumlah embrio layak transfer (kualitas A,B,C) dan jumlah embrio
tidak layak transfer (embrio yang mengalami degenerasi /Dg serta jumlah oosit
yang tidak terbuahi/Uf), serta proporsi jumlah embrio dengan jumlah CL
(Recovery rate).
Cairan
masuk
Kateter
Foley
Cairan
keluar
Gambar 6 Teknik panen embrio metode non bedah menggunakan kateter Foley
A B C
D E F
Tingkat respon (response rate) yaitu perbandingan jumlah sapi donor yang
respon terhadap jumlah sapi donor yang di superovulasi, dengan rumus :
Recovery rate yaitu perbandingan jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi
terhadap jumlah corpus luteum, dengan rumus :
Jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi yaitu jumlah embrio kualitas A, B,
C, Dg (degenerasi) dan Uf ( oosit tidak terbuahi ).
Jumlah corpus luteum yaitu jumlah corpus luteum yang terdapat pada ovarium
kiri dan kanan, berdasarkan penghitungan secara palpasi rektal dan USG.
Proporsi embrio layak transfer yaitu perbandingan jumlah embrio layak transfer
(A,B,C) terhadap jumlah embrio dan oosit yang terkoleksi (A,B,C,Dg,Uf), dengan
rumus :
Untuk melihat pengaruh dari setiap perlakuan maka data yang diperoleh
dianalisis dengan sidik ragam/Analisa Varian (ANOVA) pola statistika rancangan
acak lengkap/RAL. Model matematika menurut Steel and Torrie sebagai berikut :
Yij = µ + Ai + εij
Jika hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang berbeda maka dilakukan uji
lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test. Khusus untuk tingkat respon
juga digunakan uji Kruskal Wallis karena data yang bersifat non parametrik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5 hari a
10 6 (60) 42 4.20±3.94 a 28 2.80±3.08 a
FSH-LH
Catatan : Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Perolehan embrio
Donor Corpus luteum
Perlakuan Embrio layak transfer Embrio tidak layak transfer
Embrio-oosit Reco-
(A,B,C) (Dg dan Uf)
very
Rate
Respon Rataan/ Rataan/ (%) Rataan/ Rataan Dg/ Rataan Uf/
∑ ∑ ∑ ∑ % ∑ %
(%) respon respon respon respon respon
Tanpa SGF
10 6 (60) a 59 9.83±5.34 a 52 8.67±5.92 a 88.14 28 4.67±4.32 a 53.85 24 46.15 2.33±1.51 a 1.67±1.37 a
(kontrol)
SGF 10 9 (90) a 155 17.22±8.63 a 164 18.22±13.26a 105.81 50 5.56±8.76 a 30.49 114 69.51 2.67±3.12 a 10.00±8.19 b
SGFO 10 9 (90) a 118 13.11±6.35 a 93 10.33±8.62 a 78.81 54 6.00±6.08 a 58.06 39 41.94 1.78±2.68 a 2.56±2.70 a
Catatan: - Tanpa SGF yaitu perlakuan FSH-LH selama 4 hari; SGF = sinkronisasi gelombang folikel; SGFO = sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi
- Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (a-b, P>0.05).
35
pada 7 jam kemudian, hal ini selanjutnya menginisiasi pematangan akhir oosit dan
perkembangan folikel dominan menjadi folikel de Graaf serta terjadi ovulasi pada
32 jam setelah pemberian GnRH.
Lonjakan LH sebelum ovulasi merupakan kunci utama yang memegang
peranan penting dalam serangkaian proses biokimia untuk terjadinya ovulasi
(Senger 1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa akibat dari lonjakan LH terjadi
serangkaian perubahan yaitu a). peningkatan aliran darah ke ovarium dan folikel
dominan sehingga menimbulkan edema yang meningkatkan tekanan intra folikel;
b). peningkatan kadar PGF2α yang mengakibatkan dua hal yaitu peningkatan
kontraksi otot polos ovarium sehingga tekanan intrafolikel bertambah; dan
pelepasan enzim lisosim untuk melemahkan dinding folikel; c). dimulai produksi
progesteron oleh teka interna folikel dominan yang memicu terbentuknya enzim
kolagenase untuk mengurai kolagen sebagai unsur utama jaringan dinding folikel.
Sinergisme kerja dari semua rangkaian perubahan tersebut menyebabkan ruptura
(robek) dinding folikel dan terjadi ovulasi.
Beberapa hari setelah ovulasi folikel dominan akibat aplikasi GnRH,
muncul gelombang folikel baru (Pursley et al. 1995; Bo et al. 1995; Sato et al.
2005). Mekanisme munculnya folikel-folikel primordial pada gelombang folikel
sangat sedikit diketahui (Rocha 2005) namun tidak tergantung pada pengaruh
FSH dan LH (Webb et al. 2003) malahan perkembangan folikel primordial
tergantung pada beberapa faktor pertumbuhan (growth factors) yang dihasilkan
secara lokal dan sistemik, seperti IGF-I (insulin-like growth factors), EGF
(epidermal growth factor). Setelah folikel primordial muncul pada gelombang
folikel dan sebelum tahap seleksi folikel dominan terjadi, semua folikel telah
mempunyai reseptor FSH sehingga FSH yang diaplikasikan mulai bekerja
menstimulasi perkembangan folikel.
Metode penyerentakan munculnya gelombang folikel dengan cara
pemberian GnRH pada hari ke-7, seperti yang terlihat pada perlakuan SGF
mampu menstimulasi perkembangan banyak folikel yang ditunjukkan dengan
jumlah rata-rata CL (17.22) dan embrio-oosit (18.22) serta embrio layak transfer
(5.56) yang cenderung lebih tinggi dibanding kontrol, walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 8). Hasil SGF ini juga lebih
tinggi dari hasil yang diperoleh Amiridis et al. (2006) menggunakan metode
ablasi (penghilangan) folikel dominan dengan aspirasi, diperoleh 6.57 embrio-
oosit dan 4.43 embrio yang layak transfer pada sapi perah produksi susu tinggi.
Rata-rata jumlah corpus luteum yang diperoleh pada perlakuan SGF, lebih tinggi
dari hasil yang diperoleh Bo et al. (1995) pada sinkronisasi gelombang folikel
dengan metode aspirasi folikel, yaitu rata-rata 17.2 CL. Jumlah perolehan embrio
cukup tinggi pada SGF ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian GnRH
sebelum superovulasi telah berhasil menginduksi munculnya gelombang folikel
baru setelah penghilangan folikel dominan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sato et al. (2005) bahwa superovulasi yang diawali dengan sinkronisasi
gelombang folikel, akan menghasilkan perkembangan folikel yang lebih banyak
yang terus berkembang menjadi folikel dominan dan folikel de Graaf.
Panen embrio pada penelitian ini dilakukan dengan metode non bedah,
menggunakan kateter Foley. Setelah pemanenan, embrio dievaluasi dan
diklasifikasikan, dimana embrio dengan kualitas A, B, C dikategorikan sebagai
embrio layak transfer, sedangkan embrio yang mengalami degenerasi (Dg) dan
oosit yang tidak terbuahi (Uf) dimasukkan kategori embrio tidak layak transfer.
Keberhasilan produksi embrio melalui metode superovulasi dapat dilihat terutama
dari jumlah embrio layak transfer yang diperoleh dari seluruh embrio yang
berhasil dikoleksi.
Meskipun jumlah embrio layak transfer pada perlakuan SGF lebih tinggi
dibanding kontrol, namun dari segi prosentase embrio layak transfer, perlakuan
SGF cenderung lebih rendah (30.49 % vs 58.73 %). Namun hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil Bo et al. (1995) pada sinkronisasi gelombang folikel
sapi potong dara secara aspirasi folikel dominan yang hanya memperoleh embrio
layak transfer 22.09 %.
Pada perlakuan SGF, diperoleh prosentase embrio layak transfer yang lebih
rendah dibanding prosentase embrio tidak layak transfer (30.49 vs 69.51). Hal ini
disebabkan oleh jumlah oosit yang tidak terbuahi cukup tinggi (10.00), demikian
juga jumlah embrio yang mengalami degenerasi (2.67) seperti pada Tabel 8.
Pada perlakuan SGF ditemukan beberapa donor masih memiliki folikel yang
belum terovulasi pada saat pemanenan embrio, yang juga dapat mempengaruhi
kondisi hormonal untuk perkembangan embrio, sebagaimana yang dinyatakan
Saito (1997) bahwa keberadaan estrogen pada masa perkembangan embrio akan
memberi efek menurunkan kualitas embrio. yang lama sehingga terdapat beberapa
folikel yang belum terovulasi (menghasilkan estrogen) disamping keberadaan CL
(menghasilkan progesteron) pada saat panen embrio seperti yang terjadi pada
penelitian ini. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kegagalan ovulasi menimbulkan
tingginya kadar estrogen dalam darah dan dihasilkan banyak lendir yang dapat
menyulitkan penemuan embrio.
Pada kondisi dimana respon ovarium yang tinggi dengan jumlah embrio-
oosit yang banyak, dapat ditemukan prosentase embrio layak transfer yang
menurun (Rocha 2005). Hal ini disebabkan oleh: a). karena tidak serentak
terjadinya ovulasi, yang berakibat sebagian oosit tidak terbuahi oleh spermatozoa
(Bo et al. 1995); b). fertilisasi yang tidak serentak menghasilkan embrio dengan
beragam fase perkembangan, dimana hal ini berpotensi menyebabkan degenerasi
embrio (kematian embrio dini); c). lingkungan (nutrisi, hormonal) uterus tidak
mampu menopang perkembangan banyak embrio (Saito 1997).
Tingkat perolehan embrio (recovery rate) pada perlakuan SGF juga lebih
tinggi dari kontrol (105.81 vs 88.14). Adanya nilai prosentase tingkat perolehan
embrio melebihi seratus persen secara teknis bisa terjadi, namun secara fisiologis
jumlah embrio sama atau lebih rendah dari dengan jumlah CL. Fenomena ini
secara teknis dapat disebabkan oleh kesulitan penghitungan CL secara tepat pada
kejadian respon yang sangat tinggi, atau kemungkinan terjadi penggabungan dua
CL menjadi satu dengan batasan yang kurang jelas karena situs ovulasi yang
berdekatan (Jemmeson 2006).
Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan pemberian GnRH pada hari
ke-7 pada penelitian ini didasarkan pada penyempurnaan teori dasar superovulasi
konvensional dan prosedur yang dilakukan Bo et al. (1995) bahwa superovulasi
dapat dilakukan antara hari ke-8 sampai 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah
pemberian GnRH (Sato et al. 2005); mulai hari ke-9 atau 10 (Dielleman & Bevers
1993). Juga atas dasar pertimbangan bahwa pada hari keenam siklus estrus, pada
tipe 2 dan 3 gelombang folikel, hampir selalu mempunyai sebuah folikel
dominan yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005).
Demikian juga penetapan hari ke-9 dimulai aplikasi gonadotropin, dengan
pertimbangan waktu yang tepat munculnya gelombang folikel setelah pemberian
GnRH. Sebagaimana yang dinyatakan bahwa gelombang folikel muncul setelah
pemberian GnRH dalam 2-4 hari (Pursley et al.1995); 3-4 hari (Twaqiramungu et
al. 1995). Pertimbangan lain adalah bahwa pada hari ke-9 diperkirakan belum
terbentuk sebuah folikel dominan yang baru. Mengingat sebuah folikel dominan
yang baru akan terbentuk dalam 2 hari (Ginther et al.1996); 2.5 hari (Rocha
2005); 3-4 hari (Bo et al. 1995) setelah munculnya gelombang folikel. Demikian
juga Senger (1999) menyatakan bahwa dari semua gelombang folikel, gelombang
folikel kedua (pada fase luteal) merupakan gelombang yang lebih sensitif terhadap
aplikasi hormon gonadotropin.
Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) pada sapi potong dan
perah non laktasi.
Perlakuan SGFO pada bangsa sapi terlihat bahwa sapi potong menunjukkan
hasil cenderung lebih baik dari sapi perah non laktasi (Tabel 9). Semua sapi
potong (100 %) memberikan respon terhadap perlakuan, sedangkan sapi perah
non laktasi hanya 4 ekor yang memberikan respon dari 5 ekor yang diperlakukan
(80 %). Tingkat respon pada sapi perah ini lebih rendah dari hasil yang diperoleh
Yusuf (1990) pada sapi perah dengan menggunakan FSH atau PMSG kombinasi
dengan HCG (82.5 %). Perbedaan respon antara sapi potong dan perah dapat
disebabkan faktor herediter yang secara fisologis mempengaruhi penampilan
reproduksi karena dipengaruhi banyak gen (Mapletof & Pierson 1993).
Disamping itu juga dapat disebabkan perbedaan jenis gonadotropin digunakan,
yang mana pada penelitian ini digunakan gonadotropin dengan kadar FSH dan LH
sama besar masing-masing 1000 IU dan hal ini secara teori kurang ideal. Padahal
pemberian LH harus sesuai dengan fungsi ovarium dan dalam perbandingan yang
Tabel 9 Respon superovulasi sapi perah dan potong pada kombinasi FSH-LH dengan sinkronisasi gelombang folikel dan
ovulasi (SGFO)
Perolehan embrio
Donor Corpus luteum
Embrio layak transfer Embrio tidak layak transfer
Perlakuan Embrio-oosit
(A,B,C) (Dg dan Uf)
Recovery
Rate (%)
Respon Rataan /
∑ ∑ Rataan/respon ∑ Rataan/respon ∑ Rataan/respon % ∑ %
(%) respon
Catatan: Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (a-b, P>0.05)
43
optimal dengan FSH, kelebihan LH akan mengurangi respon ovarium
(Donaldson & Ward 1996). Lebih lanjut dinyatakan bahwa efek samping
pemberian LH eksogen dapat menghambat fertilisasi karena terjadi stimulasi
prematur terhadap pematangan ovum sehingga sel telur yang dihasilkan infertil.
Perlakuan SGFO pada sapi potong memberikan hasil cenderung lebih
tinggi dari sapi perah non laktasi, dengan rata-rata yaitu: Cl (14.60 vs 11.25),
embrio-oosit (12.20 vs 8.00) dan embrio layak transfer (7.40 vs 4.25), namun
secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0.05). Demikian juga
prosentase perolehan kembali embrio (recovery rate) sapi potong lebih tinggi dari
sapi perah non laktasi (83.56 % vs 71.11 %). Perbedaan recovery rate antara sapi
potong dengan sapi perah ini, antara lain dapat disebabkan oleh bentuk dan ukuran
uterus. Sapi perah memiliki bentuk dan ukuran uterus yang lebih besar dari pada
sapi potong (Hafez & Hafez 2000). Pada uterus yang besar dan menggantung
dalam rongga perut, saat pembilasan uterus penutupan oleh balon kateter kurang
sempurna sehingga embrio dapat lolos merembes ke sisi lain kornua uterus
(Yusuf 1990).
Presentase embrio layak transfer yang diperoleh dari sapi potong juga lebih
tinggi dari pada prosentase embrio tidak layak transfer pada sapi perah non laktasi
(60.66 % vs 53.12 %). Namun pada kedua jenis sapi tersebut terlihat bahwa
prosentase embrio layak transfer yang diperoleh melebihi jumlah embrio yang
tidak layak transfer.
Perolehan embrio dengan perlakuan SGFO pada sapi perah non laktasi
menghasilkan 8.00 embrio-oosit perdonor, yang diantaranya 4.25 embrio layak
transfer. Hasil ini lebih baik dari hasil Sato et al.(2005) dengan menggunakan
menggunakan SGFO pada tipe sapi perah non laktasi, yaitu diperoleh 22.3
embrio-oosit dan hanya 1.3 (5.80 %) embrio layak transfer.
Secara umum prinsip utama yang harus diperhatikan dalam aplikasi
gonadotropin adalah ketepatan waktu aplikasi dengan awal kemunculan
gelombang folikel pada ovarium, karena folikel-folikel tersebut yang menjadi
target stimulasi gonadotropin. Metode sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi
(SGFO) merupakan metode aplikatif yang bertitik tolak pada prinsip tersebut.
Secara ekonomis dengan menambahkan sedikit input produksi pada SGFO, dapat
meningkatkan perolehan embrio lebih banyak. Karena itu, teknik SGFO
disarankan untuk digunakan sebagai penyempurnaan metode superovulasi
konvensional dalam meningkatkan efisiensi produksi embrio.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pemberian gonadotropin selama 4 hari yang dimulai pada hari ke-9 cenderung
lebih efektif dari pemberian selama 3 dan 5 hari.
2. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan pemberian GnRH sebelum
superovulasi terbukti dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan
embrio.
3. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) yang diikuti sinkronisasi ovulasi
(SGFO) dengan pemberian GnRH sebelum dan setelah superovulasi terbukti
disamping dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan embrio juga
dapat meningkatkan prosentase embrio layak transfer.
4. Perlakuan SGFO pada sapi potong menunjukkan hasil yang cenderung lebih
baik daripada sapi perah non laktasi.
Saran
Adam GP, Evans ACO, Rawling NC. 1994. Follicular Wave and Circulating
Gonadotropins in 8-month-old Prepubertal Heifer. J Reprod Fertil
1994:100: 27-33.
Bergfelt DR, Bo GA, Mapletoft RJ, Adams GP. 1997. Superovulatory Response
Following Ablation Induced Follicular Wave Emergence at Random
Stages of the Estrus Cycle in Cattle. Anim Reprod Sci 49: 1 – 12.
Bo GA, Adams GP, Pierson RA, Mapletoft RJ. 1995. Exogenous Control of
Follicular Wave Emergence in Cattle. Theriogenology 4: 31-40.
Bo GA, Baruselli PS, Chesta PM, Martin CM. 2006. The timing of Ovulation and
Insemination Schedules in Superstimulated Cattle. Theriogenology 65 (1):
89-101.
Ginther OJ, Wiltbank MC, Frieke PM, Gibbons JR, Kot K. 1996. Selection of the
Dominant Folikel in Catte. Biol Reprod 55:87-94.
Fernandez CAC, Viana JAM, Ferreira AM. 2002. Follicular Population and
Superovulatory Responsein Cows and Heifers. Theriogenology 57:
606-612.
Irikura CR, Martin I, Gimenes LU. 2002. Synchronization of the Eestrus Cycles
and Ovulation in Buffalo (Bubalus bubalis) using the protocols GnRH-
PGF2α-GnRH . Theriogenology 57(1):380-385
Johnson MH, Everit JB. 1995. Essential Reproduction. 4th Ed. Blackwell
Science Ltd., Malden, USA.
Lucy WC, Savio JD, Badinga L, de la Sota RL, Thatcher WW. 1992. Factors that
Affect Ovarian Follicular Dyanmics in Cattle. J Anim Sci 70:3615
Martinez MF, Adams GP, Kastelic JP, Carruthers T. 2003. The effect of 3
Gonadorelin Products on Luteinizing Hormone Release, Ovulation, and
Follicular Wave Emergence in Cattle. Canad Vet 44(2):125-131.
Putro PP. 1996. Superovulation Techniques for Embryo Transfer in the Cow.
Makalah pada Workshop on Bovine Transfer Embryo, UGM, Yogyakarta.
Sato et al. 2005. The Effect of Pretreatment with Different Doses of GnRH to
Synchronize Follicular Wave on Superstimulation of Follicular Growth in
Dairy Cattle. J Reprod and Dev 51(5):573-578.
Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Concept Inc.
Washington, USA.
Ulker H, Gant BT, de Avila DM, Reeves JJ. 2001. LHRH Antagonist Decreases
LH and Progesterone Secretion but does not alter Length of Estroes Cycle
in Heifers. J Anim Sci 79: 2902-2907.
Webb R, Garnsworthy PC, Gong JG, Amstrong DG. 2003. Control of Follicular
Growth: Local Interactions and Nutritional Influences. J Anim Sci 81: 4
(abstract).
Whittier JC, Geary TW. 2007. Frequently Asked Questions About Synchronizing
Estrus and Ovulation in Beef Cattle with GnRH.
http://www.iowabeefcenter.org/Publications/FAQWhittier.pdf
[26 Pebruari 2007].