Sie sind auf Seite 1von 11

Laporan Kasus Blok Elektif

HUBUNGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA TERHADAP


PSIKOLOGIS PASIEN

Oleh :

NARASWARI RAMADHIASTUTI APRIWIBOWO


1102014188

Bidang Kepeminatan Drug Abuse


Tutor : dr. Miranti Pusparini, MPd

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2018
ABSTRACT
Introduction. Drug abuse is something that is already familiar in Indonesia As a result of drug abuse itself can include
physical, psychological (mental emotional) and social aspects. The high level of religiosity, adequate emotion
regulation, high achievement needs, high self-esteem and family harmony are assumed to be factors that strengthen
individuals not to be tempted by drug abuse. While the negative influence of peer groups as a factor that encourages
a person tends to fall prey to drug abuse. The purpose of this report is to knowing the relationship between drug abuse
with the psychological patient.

Case Presentation. Mr. A, 36 years old used drugs for the first time in high school because he was introduced by his
friend. The substance that was first used was Ecstasy from 1997-2005. 2006 - 2010, Mr. A replaces the use of Ecstasy
to Metamphetamine. Year 2010 - February 2018, Mr. A had stopped using it by keeping away from his friends who
were also fellow users. Year 2010 - February 2018, Mr. A had stopped using it by keeping away from his friends who
were also fellow users. When he wasn’t using Ecstasy, Mr. A feels pain in the teeth and gums. Then the effect that is
felt when not using Metamphetamine is pain in the shoulder, and also unstable emotions such as being more sensitive
and irritable.

Discussion. There are several factors that can cause drug users to relapse like a significant relationship between types
of drugs with relapse, for example metamphetamine. Many people use this substance to get psychological effects such
as feelings of euphoria to ecstasy (very excessive pleasure). . Motivation is the driving force in an individual to carry
out an activity or a behavior. The ability to regulate emotions can be an early indicator of whether someone who has
become a former drug addict can be said to recover spiritually and physically for his dependence on narcotics in the
past.

Conclussion and Suggestion. In drug use, there can be irregular changes in emotions. It does not rule out the
possibility that users who have started to stay away from drugs or stop using drugs will experience relapse or relapse.
In addition to medical therapy, psychological therapies such as support and motivation from the family and the closest
people, and how users can regulate emotions well, will increase the level of healing. Advice for patients is to always
think positively in undergoing rehabilitation, control themselves especially controlling emotions, and not stay away
from family.

Keyword : Drug Abuse, Psychological Effect, Emotion

ABSTRAK

Pendahuluan. Penyalahgunaan narkoba adalah sesuatu yang sudah dikenal di Indonesia. Akibat penyalahgunaan
narkoba itu sendiri dapat meliputi aspek fisik, psikologis (mental emosional) dan sosial. Tingginya tingkat religiusitas,
regulasi emosi yang memadai, kebutuhan berprestasi tinggi, harga diri yang tinggi dan keharmonisan keluarga
diasumsikan sebagai faktor yang memperkuat individu untuk tidak tergoda oleh penyalahgunaan narkoba. Sedangkan
pengaruh negatif kelompok sebaya sebagai faktor yang mendorong seseorang cenderung menjadi korban
penyalahgunaan narkoba. Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengetahui hubungan penyalahgunaan NAPZA
dengan psikologis pasien.

Presentasi Kasus. Tn. A, 36 tahun menggunakan narkoba untuk pertama kalinya di sekolah menengah karena dia
diperkenalkan oleh temannya. Substansi yang pertama kali digunakan adalah Ekstasi dari 1997-2005. 2006 - 2010,
Tn. A menggantikan penggunaan Ecstasy to Sabu. Tahun 2010 - Februari 2018, Tn. A berhenti menggunakannya
dengan menjauhkan diri dari teman-temannya yang juga sesama pengguna. Tahun 2010 - Februari 2018, Tn. A
berhenti menggunakannya dengan menjauhkan diri dari teman-temannya yang juga sesama pengguna. Ketika dia tidak
menggunakan Ecstasy, Tn. A merasakan sakit pada gigi dan gusi. Efek yang dirasakan ketika tidak menggunakan
Sabu adalah rasa sakit di bahu, dan juga emosi yang tidak stabil seperti menjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung.

Diskusi. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pengguna narkoba kambuh seperti hubungan yang signifikan
antara jenis obat dengan kekambuhan, misalnya Sabu. Banyak orang menggunakan zat ini untuk mendapatkan efek
psikologis seperti perasaan euforia ke ekstasi (kesenangan yang sangat berlebihan). Motivasi adalah kekuatan
pendorong dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas atau perilaku. Kemampuan untuk mengatur emosi
dapat menjadi indikator awal apakah seseorang yang telah menjadi mantan pecandu narkoba dapat dikatakan pulih
secara spiritual dan fisik karena ketergantungannya pada narkotika di masa lalu.

Kesimpulan dan Saran. Pada penggunaan NAPZA, bisa terdapat perubahan emosi yang tidak teratur. Tidak menutup
kemungkinan bahwa pengguna yang sudah mulai bisa menjauhi NAPZA ataupun berhenti menggunakan NAPZA
akan mengalami kekambuhan atau relapse. Selain terapi medis, terapi psikologis seperti dukungan dan motivasi dari
keluarga dan orang-orang terdekat, serta bagaimana cara pengguna dapat meregulasi emosi dengan baik, akan
meningkatkan tingkat kesembuhan. Saran untuk pasien adalah selalu berfikiran positif dalam menjalani rehabilitasi,
mengontrol diri terutama mengontrol emosi, dan tidak menjauhi diri dari keluarga.

Kata Kunci: Penyalahgunaan Narkoba, Efek Psikologis, Emosi

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan narkoba merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di Indonesia Akibat
dari penyalahgunaan narkoba sendiri dapat meliputi aspek fisik, psikologis (mental emosional) dan
sosial. Secara kumulatif gangguan pada tiga aspek ini akan membawa perubahan perilaku yang
termanifestasi dalam berbagai bentuk seperti sindrom amotivasional, depresi, dan kecemasan
sosial (Nainggolan, 2011).

Dampak dari penyalahgunaan narkoba tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas dari diri
manusia saja, melainkan dampak yang ditimbulkannya bisa berantai, dimulai dari penyebaran
penyakit menular seperti hepatitis A, hepatitis B, virus menular HIV/AIDS dan penyakit lain,
meningkatnya kasus perceraian, overdosis karena obat, kekerasan di dalam rumah tangga, hingga
berujung pada kematian oleh sebab yang beragam (Ambarwati, 2015).

Tingkat religiusitas yang tinggi, regulasi emosi yang adekuat, kebutuhan berprestasi yang
tinggi, harga diri yang tinggi dan keharmonisan keluarga diasumsikan merupakan faktor yang
memperkuat individu untuk tidak tergoda dalam penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan pengaruh
negatif kelompok sebaya sebagai faktor yang mendorong seseorang cenderung terjerumus dalam
penyalahgunaan NAPZA (Safaria, 2007).

DESKRIPSI KASUS

Tn. A, 36 tahun merupakan pekerja di bidang ekspor-impor. Sudah menikah dan mempunyai 1
anak. Pertama kali masuk RSKO Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2018. Sebelum masuk RSKO,
Tn. A sempat tertangkap pada April 2018 karena sedang memakai bersama teman-temannya,
kemudian dipindahkan ke Lido selama 4 bulan, lalu dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan
(LP) Cipinang, kemudian dipindahkan ke RSKO Jakarta sampai sekarang.

Tn. A menggunakan NAPZA pertama kali saat SMA karena dikenalkan oleh temannya. Zat yang
pertama kali digunakan adalah Ecstasy dari tahun 1997-2005. Alasan menggunakan Ecstasy
karena terbawa arus pergaulan. Tn. A menggunakan Ecstasy dengan cara diminum dalam bentuk
tablet. Tn. A dapat mengkonsumsi setidaknya 3-4 tablet tiap malam.

Tahun 2006 - 2010, Tn. A mengganti pemakaian Ecstasy menjadi Sabu. Sama halnya dengan
Ecstasy, Tn. A menggunakan Sabu karena dikenalkan oleh temannya. Namun alasan utama
menggunakan zat tersebut karena saat itu Tn. A sedang terlibat masalah pekerjaan dan juga
masalah orang tua. Menurut Tn. A, karena tidak mendapatkan solusi apapun, akhirnya Tn. A
memutuskan untuk menggunakan Sabu sebagai pengalihan. Menurut Tn. A, Sabu juga
memberikan efek nyaman untuk penggunanya. Tn. A menggunakan Sabu dengan cara dibakar dan
dihisap asapnya. Baik pemakaian Ecstasy maupun Sabu, Tn. A tidak menggunakan secara individu
melainkan sharing dengan teman-temannya.

Tahun 2010 – Februari 2018, Tn. A sempat berhenti memakai dengan cara menjauhi teman-
temannya yang juga sesama pengguna. Sebagai pengalihan, setiap malam sehabis pulang bekerja,
Tn. A selalu mengkonsumsi 1 botol anggur merah setiap malam. Selama tidak memakai efek –
efek yang dirasakan cukup beragam. Selama tidak memakai Ecstasy, Tn. A merasakan nyeri pada
gigi dan gusi. Kemudian efek yang terasa saat tidak menggunakan Sabu adalah nyeri pada bagian
pundak, dan juga emosi yang tidak stabil seperti lebih sensitif dan mudah marah.

DISKUSI KASUS

Pada laporan kasus ini, penulis ingin mengemukakan pengaruh penggunaan NAPZA
dengan kondisi psikologis pada pengguna. Berdasarkan kasus yang didapat, diketahui bahwa Tn.
A telah menggunakan NAPZA jenis Ecstasy sejak SMA, namun relapse dan kembali
menggunakan NAPZA jenis Sabu.

Terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan pengguna NAPZA relapse.


Berdasarkan penelitian Habibi (2016), dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara jenis napza dengan kekambuhan (relapse). Sebagai contoh bubuk Sabu berbentuk kristal
yang sangat mudah didapat dan sangat mudah juga dipakainya, dan pemakainya tidak pernah
sakauw atau merasa kesakitan kalau lagi nagih, tetapi bubuk kristal ini sangat jahat karena
langsung merusak otak. Metamfetamin dan dikenal di Indonesia sebagai sabu-sabu, adalah obat
psikostimulansia dan simpatomimetik. Dipasarkan untuk kasus parah gangguan hiperaktivitas
kekurangan perhatian atau narkolepsi dengan nama lain desoxyn, Sabu murni berbentuk kristal
putih merupakan golongan obat stimulan jenis metamfetamin yang satu derivat turunan dengan
amfetamin yang terkandung dalam pil ekstasi. Banyak orang menggunakan zat ini untuk
mendapatkan efek psikologis. Efek yang paling diinginkan adalah perasaan euforia sampai ekstase
(senang yang sangat berlebihan). Obat ini juga menimbulkan efek meningkatnya kepercayaan diri,
harga diri, dan peningkatan libido. Pemakai sabu bisa tampil penuh percaya diri tanpa ada perasaan
malu sedikit pun dan menjadi orang yang berbeda kepribadian dari sebelumnya (Habibi, et al.,
2016).
Dari penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa terdapat hubungan antara
teman/kelompok dengan kekambuhan (relapse). Dikarenakan sebagian besar responden memiliki
teman yang juga merupakan pengguna narkoba dan lebih banyak mengahabiskan waktu dengan
teman ketimbang keluarga sehingga teman memiliki pengaruh yang lebih besar. Setiap memiliki
masalah teman sesama pecandu merupakan tempat yang tepat untuk mengadukan semua
permasalahan yang mereka hadapi. Seseorang yang saling mencari teman/kelompok karena
mengerti bahwa mereka dalam nasib yang sama (Habibi, et al., 2016).

Selain factor-faktor yang telah disebabkan diatas, factor keluarga juga cukup berpengaruh
dalam kondisi kekambuhan (relapse) pengguna. Adanya hubungan faktor keluarga dengan
kekambuhan (relapse) pengguna narkoba pada pasien rehabilitasi di Balai Rehabilitasi BNN
Baddoka, dikarenakan keluarga yang jarang berkumpul bersama, orang tua lebih sering diluar
rumah daripada dirumah dan orang tua sering bertengkar bahkan orang tua tidak peduli meskipun
anaknya keluar malam, serta memiliki orang tua yang bercerai, baik itu cerai mati maupun cerai
hidup. Secara garis besar keluarga yang berpengaruh negatif terhadap seseorang ialah keadaan di
dalam keluarga dimana tidak terdapat keharmonisan sehingga timbul situasi yang tidak kondusif
dan tidak terdapat rasa nyaman dalam sebuah keluarga (Habibi, et al., 2016).

Dampak penyalahgunaan NAPZA diakui sangat berbahaya bagi manusia, dimana


ketergantungan pada zat tersebut dapat merusak kesehatan fisik, emosi, maupun perilaku
pemakainya. Bahkan lebih lanjut, penggunaan NAPZA secara berlebihan dapat menyebabkan
kematian. Selain pemulihan secara medis, individu juga memerlukan adanya motivasi untuk dapat
pulih. Motivasi merupakan daya penggerak dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas
atau sebuah perilaku yang memiliki tujuan tertentu, dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai adalah
kesembuhan dari kecanduan NAPZA. Winkel (dalam Hamzah, 2007) mendefinisikan motivasi
sebagai daya penggerak dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas atau sebuah perilaku
yang memiliki tujuan tertentu. Istilah motivasi digunakan secara umum untuk menunjuk pada
seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri
individu, tingkah laku yang ditimbulkan serta tujuan atau akhir dari gerakan dan perbuatan
tersebut. Berdasarkan penelitian Suparno (2017), semakin tinggi dukungan sosial dan kesadaran
diri yang dimiliki seorang individu penyalahguna NAPZA maka semakin tinggi pula motivasi
sembuh yang dimilikinya. Motivasi sembuh pecandu NAPZA salah satunya berasal dari dalam diri
individu berupa guilty feeling, perasaan bertanggung jawab baik terhadap orang lain, keluarga,
serta diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa kesadaran diri berperan
dalam motivasi sembuh (Suparno, 2017).

Kemampuan dalam meregulasi emosi dapat menjadi indikator dini apakah seseorang yang
sudah menjadi mantan pecandu NAPZA dapat dikatakan pulih secara jiwa dan raganya atas
ketergantungannya terhadap narkotika di masa lalu. Thompson (2003) mendefinisikan regulasi
emosi sebagai kemampuan mengontrol status emosi dan perilaku sebagai cara mengekspresikan
emosi agar sesuai dengan kondisi lingkungan. Berdasarkan penelitian Baskoro (2017), subjek
yang diteliti sudah mengkonsumsi NAPZA sejak di bangku SMP dan jenis narkotika yang sering
dikonsumsi adalah pil ekstasi, dalam kurun waktu 5 tahun subjek mengkonsumi NAPZA akhirnya
berhenti sesaat setelah subjek membina kehidupan rumah tangga karena hubungan badan pra nikah
yang dilakukannya. Pada hasil penelitian, regulasi emosi pada diri subjek belum cukup baik,
pengalaman masa lalu subjek dimana ketika mengalami gejolak emosinya dapat ditenangkan
dengan cara mengkonsumsi NAPZA namun hal tersebut tidak dapat dilakukan lagi karena
berbagai kondisi maka akan mempegaruhi regulasi emosinya, namun dari hasil ditunjukkan pula
bahwa kehadiran keluarga serta anak-anak dari hasil pernikahannya membuat subjek berupaya
untuk membuat suatu komitmen dimana dirinya tidak akan kembali ke NAPZA lagi dengan
kesadaran serta keinginan diri sendiri karena adanya harapan mengenai orang lain yakni orang-
orang terdekatnya yang membuatnya berusaha untuk meregulasi emosi sebaik mungkin, selain itu
pengalaman masa lalu subjek sebagai pecandu serta bertambahnya usia subjek saat ini turut
memberikan pengaruh terhadap kemampuan regulasi emosi subjek karena membuat subjek secara
perlahan mulai sadar untuk menjalankan peran sebagai ayah dimana hal tersebut menuntut subjek
untuk meregulasi emosinya secara stabil. Keberadaan anak-anak serta dukungan dari orang-orang
terdekat yang ada di kehidupan subjek sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa keberadaan keluarga maupun significant othersakan membantu proses recovery pada
individu dengan latar belakang mantan pecandu NAPZA (Baskoro, 2017).

Pada kasus Tn. A, relapse sendiri terjadi karena factor-faktor seperti yang disebutkan
diatas. Mulai dari terpengaruh oleh teman-teman sesama pengguna, hingga masalah dalam
keluarga terutama dengan orang tua. Kurangnya komunikasi sehingga menyebabkan hubungan
Tn. A dan kedua orang tuanya menjadi renggang. Walaupun tidak ditemukan gejala-gejala dari
ketergantungan obat selama wawancara, namun perubahan emosi merupakan salah satu perhatian
terhadap kasus Tn. A tersebut. Pada saat sedang menggunakan NAPZA terutama jenis Sabu, Tn.
A merasa lebih nyaman, lebih senang, dan lebih percaya diri. Namun efek lain yang juga dirasakan
adalah Tn. A menjadi lebih mudah marah dan lebih sensitif. Akan tetapi ketika membicarakan
tentang keluarga, Tn. A menjadi lebih tenang dan dapat mengontrol diri karena timbul rasa
penyesalan dan keinginan untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Hal ini menggambarkan
bahwa Tn. A dapat meregulasi emosi dengan cukup baik.

Hukum islam dalam pelaksanaannya bertujuan untuk melindungi kemaslahatan manusia.


Kemaslahatan yang ingin diwujudkan tersebut mencakup seluruh aspek, namun para ulama
mengklasifikannya menjadi 3 aspek; dharuriyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan takhsiniyyat
(pelengkap). Diantara unsur penting dalam hokum pidana islam ialah perbuatan melawan hokum
atau dikenal dengan uqubah. Salah satu diantaranya adalah yang berhubungan dengan narkoba.
Dalam hukuman pidana islam termasuk dalam tindak pidana minum-minuman yang memabukkan
(Hasan, 2012).

Narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba) merupakan benda-benda yang dapat


menghilangkan akal pikiran dan hukumnya haram. Sebab salah satu ‘illat diharamkannya narkoba
adalah memabukkan sebagaimana disebutkan dalam hadis nabi :

‫ب أ َ ْس َك َر فَ ُه َو َح َرام‬
ٍ ‫ُك ُّل ش ََرا‬
“Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram”

Dari hadis tersebut, benda-benda yang merusak akal dan memabukkan, baik dimakan ataupun
diminum hukumnya haram (Hasan, 2012).

Sementara yang berkaitan dengan ringan beratnya hukuman bagi pemakai khamr tidak
disebutkan dalam Alquran tetapi hanya disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad,
yaitu (Saifullah, 2013) :

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, Telah menceritakan kepada kami Syuaib
bin Ishak, Telah menceritakan kepada kami Said bin Abi ‘Arubah bin Bahdalah dari Zakwan Abî
Shalih dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila mereka
meminum khamr, maka hendaklah kamu dera/jilid, kemudian jika minum lagi maka deralah ia,
kemudian jika minum lagi deralah ia, kemudian minum lagi maka bunuhlah.” (HR. Ibn Majah).

Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa ‘Umar bin Khattab meminta pendapat tentang khamr
yang dikonsumsi manusia. ‘Ali bin Abi Thalib berkata :

“Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum yang memabukan. Jika
ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah bicara tidak karuan maka ia berbohong”.

Kemudian ‘Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80 kali
cambuk. Hadis dari Ibn ‘Umar, bahwasannya Rasulullah bersabda (Saifullah, 2013) :

“Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terkait dengan khamr: produsennya (pembuat),
distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya (kurir), pengirimnya, penuangnya
(penyuguh), penjualnya, pemakan hasil penjualannya, pembayar dan pemesannya.” (HR. Ibn
Majah dan al-Tirmizi).

Menyikapi hadis di atas, para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum khamr
dikenakan had berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak. Tetapi para ulama
berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut. Dari kalangan mazhab
Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa peminum khamr dikenakan sanksi 80 kali cambuk,
sementara itu dari mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa peminum khamr diberikan sanksi
cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang
berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk. Imam Syafi’î
menyatakan bahwa had bagi peminum khamr adalah 40 kali cambuk, hal ini didasarkan kepada
tindakan ‘Ali bin Abî Thâlib yang mencambuk Walid bin ‘Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini
pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abu
Bakar al-Shiddiq menjabat khalifah. Sebagaimana dalam sebuah hadis (Saifullah, 2013) :

“Dari Ali pada kisah Walid bin Uqhah, Rasulullah SAW. mencambuk bagi peminum
khamr/pecandu Narkoba 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, dan ‘Umar mencambuk 80 kali,
kesemuannya itu sunnah dan inilah yang lebih saya senangi (yaitu 80 kali)” (HR. Muslim).

Dalam hal atsar ‘Umar menetapkan 80 kali cambuk sebagai had bagi peminum khamr
Imam Syafi’i, menanggapai bahwa sanksi 80 kali cambuk itu merupakan had, tetapi hanya sebagai
ta’zîr, karena hukuman had bagi peminum khamr sebanyak 40 kali cambuk seperti yang
dipraktikkan oleh Rasulullah (Saifullah, 2013).

Perbedaaan hukuman ta’zir dengan hukuman had, menurut Imam al-Mawârdi14 yaitu
memberikan sanksi ta’zir kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam
hukuman had tidak ada perbedaan. Dalam hukuman had tidak boleh diberikan maaf, sedangkan
dalam ta’zir ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman had itu memungkinkan bisa
menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman ta’zir terhukum
tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu (Saifullah, 2013).

Berdasarkan ketentuan hukum di atas, baik had maupun ta’zir, penyalahgunaan narkoba
dengan segala pertimbangan yang diakibatkannya cukup kompleks. Sehingga menurut analisis
penulis melalui analisa qiyas dengan khamr, maka penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan
gabungan sanksi hukuman yaitu hukuman had dan ta’zir (Saifullah, 2013)

Mengenai penggabungan antara had dan ta’zir ini, para ulama pada umumnya
membolehkan selama memungkinkan. Misalnya dalam mazhab Mâlikî dan Syafi’i
menggabungkan hukuman bagi peminum khamr / pemakai narkoba yaitu dengan menambahkan
40 kali cambukan (Saifullah, 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada penggunaan NAPZA, bisa terdapat perubahan emosi yang tidak teratur. Tidak
menutup kemungkinan bahwa pengguna yang sudah mulai bisa menjauhi NAPZA ataupun
berhenti menggunakan NAPZA akan mengalami kekambuhan atau relapse. Selain terapi medis,
terapi psikologis seperti dukungan dan motivasi dari keluarga dan orang-orang terdekat, serta
bagaimana cara pengguna dapat meregulasi emosi dengan baik, akan meningkatkan tingkat
kesembuhan.

Saran untuk pasien adalah selalu berfikiran positif dalam menjalani rehabilitasi,
mengontrol diri terutama mengontrol emosi, dan tidak menjauhi diri dari keluarga.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis berterimakasih kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan nikmat-Nya sehingga presentasi
kasus ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter dan staf RSKO
Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk berkunjung dan juga kepada pasien yang
bersedia diwawancarai.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, D., 2015. Hubungan Peran Keluarga dan Komunitas Pecandu Terhadap Motivasi
Untuk Sembuh Pengguna Narkoba Jarum Suntik. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Volume
4, pp. 1-6.
Baskoro, A. H., 2017. Gambaran Regulasi Emosi Pada Mantan Pecandu NAPZA Yang Menikah
Di Usia Remaja (Studi Kasus Terhadap Mantan Pecandu NAPZA). Jurnal Penelitian Psikologi,
Volume 4, pp. 1-4.
Habibi, Basri, S. & Rahmadhani, F., 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kekambuhan Pengguna Narkoba pada Pasien Rehabilitasi di Balai Rehabilitasi Badan Narkotika
Nasional Baddoka Makassar Tahun 2015. Al-Sihah : Public Health Science Journal, Volume
VIII, pp. 1-11.
Hasan, H., 2012. Ancaman Pidana Islam Terhadap Penyalahgunaan Narkoba. Al-Daulah,
Volume 1, pp. 149-155.
Nainggolan, T., 2011. Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada
Penggunaan Napza. Sosiokonsepsia, Volume 16, pp. 161-174.
Safaria, T., 2007. Kecenderungan Penyalahgunaan NAPZA Ditinjau Dari Tingkat Religiusitas
Regulasi Emosi, Motif Berprestasi, Harga Diri, Keharmonisan Keluarga, dan Pengaruh Negatif
Teman Sebaya. Humanitas, Volume 4, pp. 13-24.
Saifullah, A., 2013. Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif : Sebuah Studi
Perbandingan. Al-'Adalah, Volume XI, pp. 47-60.
Suparno, S. F., 2017. Hubungan Dukungan Sosial dan Kesadaran Diri Dengan Motivasi Sembuh
Pecandu NAPZA (Studi Pada Binaan Lapas Klas II A Samarinda). PSIKOBORNEO, Volume 5,
pp. 235-245.

Das könnte Ihnen auch gefallen