Sie sind auf Seite 1von 33

144

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ( LES )


Kode : ICD. M32

1. Pengertian Penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan


(Definisi) akibat adanya deposit kompleks imun di jaringan dan atau
sirkulasi
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan Fisik

4. Kriteria diagnosis

5. Diagnosis Ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA

Kriteria Definisi
1. Malar rash. Fixed malar erythema, flat or
raised.
2. Discoid rash Erythematosus raised patches
with keratotic scalling and
follicular plugging, atyphic
scaring may accur in older
lesions.
3. Photosensitivity. Skin rash as an unusual
reaction to sunlight, by patient
history or physician
observation.
4. Oral ulcers. Oral or nasopharyngeal ulcers,
usually painless, observed by
physician.
5. Arthritis. Non-erossive arthritis
involving two or more
peripheral joints, characteristic
by tenderness, swelling or
effusion.
6. Serositis. a. Pleuritis (convincing
history of pleuritic pain or
rub heard by physician or
evidence of pleural
effusion).
b. Pericarditis ( documented
by ECG, rub or evidence
of pericardial effusion).
7. Renal disorder. a. Persistent proteinuria
(>0,5 g/24 hours or +3)
b. Cellular cast of any type.
8. Neurologic disorder. a. Seizures (in the absence of
other causes).
b. Psychosis (in the absence
of other causes).
145

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

9. Hematologic disorder. a. Haemolytic anemia, or


b. Leukopenia (4000/mm3 on
2 or more occasions) or
c. Lymphopenia (1500/mm3,
on 2 or more occasions) or
d. Trombocytopenia
(100.000/mm3, in the
absence of offending
drugs).
10. Immunologic disorder. a. Positive LE cell
preparation. Or
b. Anti double stranded DNA.
Or
c. Anti Sm. Or
d. BFP (false positive
serologic test for syphilis
positive for at least 6
month with negative TPI or
FTA).
11. Anti Nuclear Antibody. An abnormal titer of ANA by
immunofluorescence or an
aquivalent assay at any time
and in the absence of drugs
known to be assiciated with
“drug induced lupus
syndrome”.

Untuk penderita SLE di Indonesia, salah satu gambaran


klinis yang sering ditemukan adalah rambut rontok, ini dapat
dimasukkan sebagai kriteria tambahan (lihat tabel SLEDAI).
Vaskulitis retina dapat pula dimasukkan kelainan imunologi.(FK
UNSRI )
Tabel SLEDAI (indikator aktivitas penyakit) : Bobot dalam kolom
skor SLEDAI jika gambaran didapatkan pada kunjungan saat ini
atau 10 hari yang lalu.

N0. Skor Gambaran Batasan


1 8 Kejang  Kejang yang baru terjadi.
Ekslusi : sebab obat, infeksi,
8 Psikosis metabolik.
 Gangguan kemampuan
untuk fungsi aktifitas normal
akibat gangguan hebat pada
persepsi realitas. Termasuk
halusinasi, inkoherensi,
asosiasi melonggar, pikiran
yang tak logis, bizarre,
disorganized, tingkah laku
katatonik, ekslusi : sebab
obat, uremia.
146

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

2 8 Sindrom obat Gangguan fungsi mental dengan


organik gangguan orientasi, memori atau
fungsi intelektual dengan
gambaran klinis yang cepat terjadi
serta berfluktuasi. Inklusi :
kesadaran berkabut dengan
penurunan kapasitas untuk
memusatkan perhatian pada
sekelilingnya, ditambah
setidaknya dua dari hal-hal berikut
: gangguan persepsi, ujar yang
inkoheren, insomnia atau
mengantuk disiang hari atau
meningkat/menurunnya aktifitas
psikomotor. Ekslusi : sebab obat,
infeksi dan metabolik.
3 8 Gangguan Perubahan retina pada LES.
visual Inklusi : Cytoid bodies,
perdarahan retina, perdarahan atau
eksudat serius pada koroid atau
neuritis optik. Ekslusi : sebab
hipertensi, infeksi dan obat.
4 8 Gangguan  Neuropati syaraf otak motorik
syaraf otak atau sensorik yang baru
8 Lupus. terjadi.
8 Headache  Sakit kepala berat, dapat
CVA berupa migren, tidak responsif
terhadap analgetik narkotik.
 CVA yang baru terjadi.
Ekslusi : arteriosklerosis.
5 8 Vaskulitis Ulkus, gangren, nodul pada
jari,vaskulitis retina, infark
periungual splinter hemorrhages
atau biopsi atau angiogram
menunjukkan vaskulitis.
6 4 Artritis  Lebih dari 2 sendi disertai
nyeri dan tanda-tanda
4 Myositis inflamasi (nyeri tekan,
pembengkakan, efusi)
 Nyeri otot/kelemahan otot
paroksismal berkaitan dengan
kenaikan CPK/aldolase atau
perubahan EMG atau biopsi
menunjukkan myositis.
147

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

7 4 Urinary casts  Cetakan sel darah merah atau


4 Hematuria heme-granuler
4 Proteinuria 
 > 5 eritrosit/LPB. Ekslusi :
4 Piuria infeksi, batu, atau sebab lain.
 > 0,5 g/24 jam. Protein
dalam urine yang baru terjadi
atau meningkat > 0,5 g/24
jam.
 Leukosit > 5/LPB. Ekslusi :
infeksi.
8 2 New rash  Rash tipe inflamasi yang
2 Alopesia baru terjadi atau berulang.
2 Mucosal ulcer  Kehilangan rambut diffus,
lokal yang baru terjadi atau
berulang.
 Ulkus yang baru terjadi atau
berulang pada mulut atau
rongga hidung.
9 2 Pleuritis Nyeri dada pleuritik dengan
efusi/friction rub atau penebalan
pleura.
10 2 Perikarditis Nyeri perikardial, ditambah
sekurangnya 1 dari hal berikut :
friction rub, efusi atau konfirmasi
EKG atau ekokardiogram.
11 1 Demam Lebih dari 38 oC. Eklusi :
infeksi.
12 2 Low  Penurunan CH 50, C3 atau
2 complement C4 dibawah batas normal
1 Peningkatan rata-rata untuk tes
1 DNA binding laboratorium.
Trombositopeni  Lebih dari 25% binding
Lekopeni melalui uji farr atau diatas
rata-rata normal untuk
pemeriksaan laboratorium.
 < 100.000platelets/mm3
 < 3.000 WBC/mm33.
Ekslusi : disebabkan obat.

6. Diagnosis Banding 
7. Pemeriksaan
Penunjang
148

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

8. Terapi Pengobatatan pada penderita LES pada umumnya dibagi 2 :


 Pengobatan umum/konservatif
 Pengobatan farmakologis

A. Pengobatan umum/konservatif.
1. Rehabilitasi dan latihan :
Penderita SLE dianjurkan tetap melakukan aktifitas
jasmani dan menghindari terlalu banyak istirahat ditempat
tidur agar kekuatan otot tetap terjaga dan juga
menghindari terjadinya kontraktur sendi, osteoforesis,
atrofi otot.
2. Merokok :
Hindari merokok oleh karena asap rokok akan
mengganggu oksigenasi darah, meningkatkan tekanan
darah dan memperberat fenomena Raynaud.
3. Makanan :
Dianjurkan untuk makan minyak ikan, karena minyak ikan
mengandung eicosapentanoic acid yang mampu
menghambat agregasi trombosit dan menghambat
produksi leukotriene B4.
4. Sinar matahari :
Dianjurkan untuk memakai penahan sinar ultra violet
(sun screen). Tetapi pemakaian sun screen dapat
menghalangi sintesa vitamin D pada kulit. Jadi
pemberian vitamin D per oral pada kasus demikian
diperlukan. Kerugian lain dari pemakaian sun screen
adalah kemungkinan terjadinya reaksi alergi.
B. Pengobatan farmakologis.
1. Salisilat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
2. Anti malaria.
Anti malaria ( Chloroquine, Hydroxychloroquine,
Atabrine) diberikan pada discoid lupus. Dosis chloroquine:
250-500 mg/hari.Dosis Hyhdroxychloroquine: 200-400
mg/hari.
Atabrine diberikan apabila pemberian chloroquine
atau hydroxychloroquine tidak memberikan hasil yang
memuaskan atau timbul komplikasi pada retina. Dosis
yang dianjurkan : 100 mg/hari, walaupun dengan dosis 25
mg kadang-kadang sudah efektif.
Sesudah pengobatan dengan anti malaria selama
1-2 tahun, sebaiknya dilakukan tappering off. Setelah itu
diberikan dosis rumatan yaitu : 1-2 kali dalam seminggu
@ 200 mg.
149

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

3. Kortikosteroid.
a. LES ringan (badan panas, artritis, perikarditis ringan,
efusi pleura/efusi perikardial ringan, lesi kulit, lelah
dan sakit kepala).
Pertama kali diberikan aspirin / OAINS, dimulai
dengan dosis rendah, dapat dinaikan secara bertahap.
Bila tidak ada respon perlu ditambahkan anti malaria,
misalnya chloroquine dosis : 2 x 250 mg/hari atau 1 x
500 mg/hari. Bila beberapa bulan belum ada
perubahan ditambahkan atabrine 100 mg/hari. Bila
belum ada juga respon diganti steroid (prednison)
dengan dosis kecil : 2,5 – 5 mg/hari. Dosis prednison
dapat ditambah 20% setiap 1-2 minggu tergantung
respon klinis.
b. LES berat : gejala diatas ditambah efusi pleura/efusi
perikardial yang banyak, kelaianan ginjal yang jelas,
anemia hemolitik, trobositopenia purpura, lupus
serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus
pneumonitis dan perdarahan paru. Pemakaian
kortikosteroid pada kasus yang berat merupakan
pilihan utama, sedangkan anti malaria dan OAINS
tidak dipakai.

Prosedur dan dosis pemberian kortikosteroid :


 Bila disertai badan panas, kortikosteroid diberikan
tiap hari dalam 2-3 kali pemberian.
 Bila tanpa badan panas (febris) dan tanpa gejala-
gejala nyata yang berat, prednison dapat diberikan
sebagai dosis tunggal pada pagi hari.
 Apabila tidak ada keluhan sistemik, disertai
dengan nefritis aktif, steroid dapat diberikan
selang sehari.
 Bila disertai dengan gejala-gejala seperti tersebut
dibawah ini, perlu tindakan khusus.

b.1. Anemia hemolitik otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari, bila dalam 1
minggu tidak ada perubahan baik klinis maupun
laboratoris, dosis dapat dinaikkan : 100-120
mg/hari. Respon penuh biasanya memerlukan
waktu antara 8-12 minggu.
b.2. Trombositopeni otoimun.
Dosis prednison : 60-80 mg/hari. Kenaikan
jumlah trombosit belum tampak sampai minggu
ke 4 pemberian prednison
b.3. Vaskulitis sistemik akut.
Dosis prednison : 60-100 mg/hari. Respon
klinik akan tampak dalam beberapa hari, kecuali
pada penderita dengan gangren. Pada penderita
yang sakit berat dapat diberikan steroid
intravena.
150

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

b.4. Lupus serebral.


Preparat yang dianjurkan adalah metil
prednisolon sodium suksinat (solu medrol),
dosis : 40-80 mg/hari intra vena tiap 6-12 jam.
Preparat lain yang dapat dipakai adalah
hidrokortison sodium suksinat (solu cortef)
dengan dosis : 250-500 mg intra vena tiap 12
jam. Dosis dapat ditingkatkan setiap 24-48 jam
sampai mencapai 3000 mg/hari sampai efek
terapi tampak.

b.5. Lupus nefritis akut.


Dosis prednison : 1 mg/kg BB/hari dalam
waktu 6-12 minggu, kemudian prednison
diturunkan secara bertahap dan akhirnya selang
sehari. Bila pada penderita ini hanya dijumpai
gangguan ginjal primer tanpa : badan panas dan
tanpa keluhan nyata serta organ lain tidak
terkena, dapat diberikan prednison : 100-120
mg/hari (2 mg/kgBB/hari)

Pada keadaan tertentu dimana gejala sistemik dan


gangguan organ vital, gagal diatasi dengan kortikosteroid
dosis tinggi, dapat diberikan dosis sangat tinggi dalam
waktu yang singkat. Cara ini dikenal dengan “Pulse
Steroid Therapy” (PST) yaitu : pemberian infus larutan 1 g
metil prednisolon intra vena, diberikan 1 kali sehari
selama ½ -4 jam, selama 3 hari berturut-turut, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid oral dosis
tinggi. Bila steroid sudah diberikan, umumnya OAINS
tidak lagi diberikan.
4. Obat sitotoksik/imunosupresant.
Perlu diingat obat pilihan untuk terapi SLE berat adalah
kortikosteroid, bila respon kurang baik atau timbul efek
samping yang berat atau memerlukan dosis yang lebih
besar, maka perlu penambahan obat lain yaitu : sitostatika.
Diantara obat-obatan yang tergolong dalam kelompok ini
yang sering dipakai adalah : siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, chloroquin, mofetilmicofenolat.
a. Siklofosfamid
Pada pengobatan lupus nefritis, siklofosfamid
diberikan per oral dengan dosis : 1-3 mg/kg
BB/hari bersama kortikosteroid dosis tinggi.
Dalam keadaan krisis yang mengancam jiwa,
pemberian siklofosfamid intra vena dengan dosis :
500-1.000 mg/m2 luas permukaan badan bersama
“PST” sekali sebulan.
Efek samping Obat (ESO) dapat menyebabkan
gangguan ovulasi pada wanita usia muda atau
wanita hamil.
Siklofosfamid di berikan tiap bulan selama 6 kali
kemudian evaluasi klinis
151

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

a. Azatioprin (AZA).
AZA dapat digunakan untuk wanita hamil dengan
SLE atas indikasi yang kuat. Dosis initial harian :
1-3 mg/kg BB/hari atau umumnya berkisar 100-
200 mg/hari dan diberikan bersama kortikosteroid
oral dosis tinggi. Setelah ada perbaikan klinis
dosis AZA dapat diturunkan secara bertahap 25
mg sampai akhirnya dapat diberikan dosis
pemeliharaan antara 1-2 mg/kgBB/hari atau 50-75
mg/hari.
Efek samping obat (ESO) depresi sumsum tulang,
hb leukosit, evaluasi trombosit setiap bulan.
b. Methotrexate (MTX).
- Untuk SLE belum ada kesepakatan dosis yang
digunakan.
- Digunakan terutama pada SLE dengan
manisfestasi klinis menonjok artritis dosis 7,5
mg/ minnggu
c. Siklosporin A
Belum ada kesepakatan tentang dosis yang ideal
dan telah dicoba dengan dosis : 2-10 mg/kg
BB/hari. Miescher dkk (1988) dan Ennquez dkk
(1991) mengusulkan dosis kecil yaitu : 5 mg/kg
BB/hari dan diberikan bersama steroid dan
imunosupresant lain. Siklosporin A dipilih sebagai
obat untuk SLE dengan kelainan ginjal. Hati-hati
pada kelainan hepar.
e. Mofetil mikofenolat :
merupakan pilihan baik untuk terapi induksi
maupun pemeliharaan lupus nefritis. Mofetil
mikofenolat akan diubah menjadi asam
mikofenolik yang berfungsi menekan proliferasi
sel B dan T, pembentukan antibodi, dan glikosilasi
molekul adhesi dengan cara menghambat sintesis
purine dan guanosine nucleotide yang penting
pada pembentukan DNA sel limfosit. Mofetil
mikofenolat (MMF) dipakai sebagai pilihan
alternatif terapi induksi pada
pasien lupus nefritis yang menolak atau tidak
toleran terhadap siklofosfamid. Untuk terapi
induksi MMF digunakan
dengan dosis 1-3 g/hari dan terbukti mempunyai
efek yang sebanding dengan
bolus siklofosfamid I V sebulan sekali
selama 6 bulan.
Pada penderita dengan lupus nefritis MMF selang
2 bulan(full dose) dosis dapat di tappering off
tergantung keadaan khusus.
152

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Studi lain pada lupus nefritis proliferatif difus,


terbukti bahwa MMF 2x1 g/hari kombinasi dengan
prednisolon memberikan remisi lebih
baik dibanding kelompok yang
mendapat kombinasi siklofosfamid oral 2,5
mg/kgBB/hari dan prednisolon.
Mofetil mikofenolat dosis 1-2 g/ hari atau Azatioprin
dosis 2 mg/kgBB/hari merupakan alternatif pilihan
terapi pemeliharaan setelah remisi dengan bolus
siklofosfamid I V dapat dicapai. Untuk terapi
pemeliharaan sedikitnya diperlukan waktu selama 1
tahun.

Pada penderita dengan lupus nefritis MMF selang 2


bulan(full dose) dosis dapat di tappering off tergantung
keadaan khusus.

9. Edukasi

10. Prognosis

11. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
153

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

ASMA BRONKIALE
Kode : ICD10 .J45

1. Pengertian Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai


(Definisi) sel inflamasi menyebabkan saluran nafas cendrung untuk
menyempit yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan
dan adanya hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah
pengobatan dengan bronkhodilator.
Diagnosis banding :
- Sindroma Loeffler (periksa juga telor cacing dalam tinja)
o Sindroma obstruktif pasca Tb paru
o Asma kardiale
- Dengan bronkhodilator terjadi peningkatan FEVI >20 %
- Dengan uji provokasi bronkhial terjadi penurunan FEVI <
20%
6. Diagnosis Banding Penyakit Paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung
7. Pemeriksaan Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversibel setelah
Penunjang pengobatan menggunakan spirometri atau peak flow meter. Uji
provokasi bronkhial untuk mengukur hiperreaktifitas bronkhus
dengan inhalasi methakolin atau histamin dengan dosis yang
makin tinggi, atau melalui latihan jasmani.
8. Terapi a. Oksigen 4-5 liter/menit.
b. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti Salbutamol atau
Fenoterol 2,5 mg tiap 20 menit maksimal sebanyak 3 kali.
c. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200
mg IV atau Deksametasone 4 x 10 mg atau Prednisolon 40
mg/hari dalam dosis terbagi.
d. Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
e. Suntikan Aminofilin (240 mg/10 ml). Bila telah mendapat
Aminofilin dalam 12 jam sebelum serangan, berikan dosis
awal 2-3 mg/kg BB IV perlahan-lahan, teruskan dengan
dosis pemeliharaan 0,5-1mg/kg BB/jam dalam cairan
dektrose 5%. Bila belum mendapat Aminofilin berikan
dosis awal 5-6 mg/kg BB (maksimal 240 mg) secara IV
perlahan-lahan, teruskan dengan dosis pemeliharaan 0,5-1
mg/kg BB/jam.
154

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

F. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis IV 2-3 liter/24 jam


G. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

Skema Penatalaksanaan serangan asma eksaserbasi (akut).

Penilaian awal :

 Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas, HR, APE atau FEV 1,
saturasi O2, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).

Pengobatan awal :

 Inhalasi 2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.

 Oksigen 4-6 l/ menit untuk mencapai saturasi O2  90% (95% untuk anak-anak).

 Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau jika serangan asmanya

Ulangi penilaian: tanda-tanda fisik, APE, saturasi O2, pemeriksaan lain bila diperlukan

Episode serangan sedang Episode serangan berat

 APE 60-80% perkirakan atau nilai terbaik.  APE < 60% perkiraan/ nilai terbaik

 Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu  Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat, retraksi dinding
pernafasan dada.

 Inhalasi 2 agonis tiap 60 menit.  Riwayat: pasien risiko tinggi

 Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal

Respon baik: Respon tidak sempurna dalam 1-2 jam: Respon buruk dalam 1 jam
- Riwayat: pasien risiko tinggi.
- Respon menetap 60 menit - Riwayat pasien risiko tinggi
- PF: gejala ringan-sedang. - PF: gejala berat, mengantuk
setelah terapi terakhir. dan bingung.
- APE > 50% tapi <70%. - APE < 30%
- PCO2 > 45 mmHg
- Pemeriksaan fisik normal. - PO2 < 60 mmHg
- Saturasi O2 tidak membaik Rawat di ICU:
- APE > 70%. - Inhalasi 2 agonis + inhalasi
Dirawat di RS: antikolinergik
- Kortikosteriod intravena
- Tidak ada distress.
- Pertimbangkan 2 agonis S.C.,
- inhalasi 2 agonis + inhalasi
I.M., atau I.V.
- Saturasi O2 > 90% (95% pd - Oksigen
- Aminofilin i.v.
anak-anak)

Membaik Tidak

Dipulangkan:
Rawat di ICU:
Jika APE > 70% & bertahan dng pengobatan peroral/ inhalasi
selama minimal 60 menit
Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam
155

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

9. Edukasi Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan secara klinik dan


uji faal paru dengan spirometri atau peak flow meter. Cari faktor
pencetus terjadinya serangan akut asma. Setelah keluar rumah
sakit perlu dihindari faktor pencetus dan obat pemeliharaan hanya
diberikan pada penderita dengan asma persisten.

10. Prognosis Tergantung beratnya gejala

11. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
156

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

PENYAKIT IMUN DEFISIENSI / IMUNOKOMPROMAIS


Kode : ICD.D80-D84

1. Pengertian Adalah penyakit yang disebabkan fungsi imun yang menurun yang
(Definisi) sebelumnya berfungsi dengan baik.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis
NO. Etiologi Penyakit
Infeksi AIDS, Virus mononukleus,
Rubella, Campak
Tindakan pengobatan Steroid, Penyinaran, Kemoterapi,
Imunosupresi, Serum anti
limfosit.
Neoplasma
Penyakit hematologic Limfoma maligna, Leukemia,
Mieloma, Neutropenia, Anemia
aplastik, Anemia bulan sabit.
Penyakit metabolic Enteropati dengan kehilangan
protein, Sindroma nefrotik,
Diabetes melitus, Malnutrisi.
Trauma dan tindakan Luka bakar, Splenektomi,
bedah Anestesi
Lain-lain SLE, Hepatitis kronis.

Pola infeksi pada pasien imunokompromis

NO. Kondisi/infeksi Defek Infeksi spesifik


Multipel Myeloma Humoral Peumonia,
Bakteriemia,
Peritonitis,
Herpes Zoster.
Hodgkin Seluler Pneumonia,
Tuberkulosa,
Herpes hepatitis.
157

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Neutropenia Fagosit Pneumonia,


Bakteriemia,
Abses, Ulcer
mulut, Faring dan
Anus.
Diabetes Campuran Selulitis, UTI,
Pneumonia.
Uremia Campuran UTI, Pneumonia,
Septichemia.

6. Diagnosis Banding 
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi 1. Pencegahan terhadap infeksi :
a. Umum :
 Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin
 Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis
antisepsis dari semua personil
b. Khusus :
 Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik,
antara lain :
- Temukan dan obati penderita kanker dalam
stadium dini
- Usahakan tindakan pembedahan dalam
toleransi yang optimal
- Bila perlu diberi transfusi granulosit atau
parenteral nutrisi.
 Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang
tidak perlu, perawatan yang baik terhadap setiap
perlukaan, misalnya pemasangan infus, luka biopsi,
dll.
 Hindari prosedur invasif yang berlebihan dan tidak
perlu baik untuk diagnostik maupun terapeutik,
misalnya : pemakaian kateter atau pemasangan infus,
dll hanya jika mutlak diperlukan.
 Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman eksogen
dan cegah kuman yang potensial patogen :
- Cuci tangan yang baik
- Makanan dan minuman dengan kontaminasi
bakteri serendah mungkin.
- Selalu memeriksa kuman pada air leding
158

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

- Pembersihan ruang rawat/kamar operasi


sebersih mungkin/steril mungkin.
- Hindari pengunjung yang berlebihan atau
personil kamar operasi yang berlebihan.
- Jika perlu ruang isolasi.
 Hindari faktor predisposisi lain serendah mungkin,
antara lain : hati-hati dengan pemberian radioterapi,
kemoterapi, dan pemberian kortikosteroid.
 Khusus untuk penderita yang dioperasi :
- Persiapan lapangan operasi sesteril mungkin.
- Lamanya operasi diusahakan sesingkat
mungkin.
- Kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat
asepsis.
- Untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar
(operasi usus, traktus urinarius, rongga mulut,
genitalia wanita, dll) perlu pemberian
antibiotika profilaksis.
2. Pengobatan :
Obat imunomodulator :
I. Imunorestorasi :
a. Bayhep B
Komposisi : Human hepatitis B Ig.
Indikasi : Pencegahan setelah pemaparan hepatitis,
pemaparan darah yang mengandung HbsAg (+).
Dosis : pemaparan akut oleh darah yang mengandung
HbsAg : 0,06 ml/kgBB dalam 24 jam. Profilaksis
untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu yang HbsAg (+)
dan HbeAg (+) : 0,5 ml. Pemaparan seksual dengan
orang HbsAg (+) : 0,06 ml/kgBB selama 14 hari dari
kontak seksual terakhir. Pemaparan oleh orang yang
tinggal dengan penderita infeksi akut hepatitis B ,
bayi < 12 bulan : 0,5 ml.
b. Gamimune N (Immune Globuline Intravenous
Human)
Komposisi : Ig (in 10% maltose) 5%, Indikasi :
defisiensi imun, ITP, Tranplantasi sum-sum tulang,
pencegahan HIV pada anak-anak, penyakit Kawasaki.
Dosis : defisiensi imun 100-200 mg/kgBB. ITP dan
penyakit autoimun lain 400 mg/kgBB selama 5 hari,
dosis pemeliharaan.
159

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

setelah 3 minggu dengan dosis yang sama. Hanya digunakan


secara IV. Pada kasus sindroma Guillain Barre terapi
imunoglobulin intra vena dilakukan bila tindakan pertama berupa
plasmafaresis tidak dapat dilakukan. Dosis menurut buku teks
Imunologi Klinik Rich adalah 2 g/kg BB/hari diberikan selama 5
hari berturut-turut. Dosis sesuai protokol Bayer adalah 400 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut

a. Gamma Venin P.
Komposisi : Human Ig
Indikasi : sepsis/komplikasi toksik, pencegahan
terhadap rubella selama kehamilan, infeksi pada
infant, meningoencephalitis dan pneumonia yang
disebabkan oleh virus, infeksi akut pada penderita
dengan sindroma defisiensi antibodi atau defisiensi
imun iatrogenik.
Dosis : Penyakit bakteri atau virus : 1-3 ml/kgBB IV.
Bedah abdomen untuk mencegah komplikasi 200 ml
intraperitoneal. Encephalitis, meningitis,
meningoencephalitis untuk dewasa : 5-10 ml IV, anak-
anak : 3 ml.
b. Bayrab (Rabies Imune Globuline Human)
Komposisi : anti rabies gamma globulin dari plasma
donor.
Indikasi : imunisasi pasif pada individu yang terpapar
rabies.
Dosis : 20 IU/kgBB.
c. Teta globuline
Komposisi : human tetanus Ig.
Indikasi : pencegahan tetanus.
Dosis : suntikan pertama : 250 IU/0,5 cc IM. Suntikan
kedua jika infeksi kulit atau trauma terjadi > 24 jam
sebelumnya atau orang dewasa dengan BB diatas rata-
rata.
c. Integram.
Komposisi : Human normal imunoglobulin
Indikasi : pengobatan replacement IgG pada
imonidefisiensi primer, mieloma dan kronik lymfatik
leukemia dengan hipogamaglobulin sekunder dan
infeksi berulang, AIDS congenital dengan infeksi
berulang. Sebagai imunomodulator pada ITP, pada
anak dan dewasa dengan resiko perdarahan,
pembedahan untuk memperbaiki jumlah platelet.
160

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Tranplantasi sum-sum tulang allogenic. Penyakit


kawasaki
Dosis : untuk imunodefisiensi primer : 200-670
mg/kgBB. Untuk ITP : 2 g/kgBB.
II. Imunostimulasi.
a. MMR II.
Komposisi : vaksin campak, mumps dan rubella.
Indikasi : imunisasi terhadap campak, mumps, rubella
pada anak > 15 bulan, dewasa tidak hamil, post
partum. Bila digunakan pada anak < 12 tahun, harus
mendapat vaksin ulang setelah 15 bulan.
Dosis : 0,5 ml SC.

b. ACT-HIB.
Komposisi : Haemophiluss influensa tipe b
polisakarida
Indikasi : pencegahan penyakit yang disebabkan oleh
Haemophiluss influensa tipe b pada bayi mulai umur 2
bulan.
Dosis : anak 1-5 tahun : single injeksi, 6-12 bulan : 2
kali injeksi pada umur 1 bulan diikuti boster pada
umur 18 bulan, < 6 bulan : 3 kali injeksi pada umur 1
atau 2 bulan diikuti boster umur 18 bulan

c. Hepavax Gene.
Komposisi : Hepatitis B surface Ag.
Indikasi : Imunisasi aktif untuk infeksi yang
disebabkan infeksi virus hepatitis B.
Dosis : dewasa dan anak > 10 tahun : 20 µg IM pada
0, 1, 6 bulan. Dibawah umur 10 tahun : 10 µg IM.
d. Hepacicine B.
Komposisi : in active HbsAg.
Indikasi : Pencegahan hepatitis B.
Dosis : Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 x 1 cc interval
tiap bulan. < 10 tahun : 3 x ½ cc interval tiap bulan.
Hemodialise dan imunokompromised : 3 x 2 cc
interval tiap bulan pada tempat yang berbeda. Boster
dapat diberikan tiap 5 tahun.
161

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

E. Varilrix.
Komposisi : vaksin varicella.
Indikasi imunisasi aktif untuk melawan varicella pada
bayi dan anak-anak.
Dosis : anak sampai 12 tahun dan bayi > 12 bulan :
single injeksi SC. Dewasa 13-17 tahun : 2 x 0,5 ml SC
interval 4-8 minggu.
F. Interferon Alternative.
Komposisi : purified natural human leukosit interferon
alpha.
Indikasi : pengobatan penderita yang resisten terhadap
recombinan interferon alpha.
Dosis : individual.
G. Roferon A.
Komposisi : interferon α 2a.
Indikasi : pengobatan hairy cell leukemia.
Dosis : hairy cell leukemia : 3 MIU SC untuk 16-24
minggu. Maintenance : 3 MIU 3 x seminggu.
H. Stimuno.
Komposisi : Phyllanthus niruri L herbsextr.
Indikasi : imunostimulator, sebagai adjuvan terapi
untuk infeksi virus dan bakteri seperti : mumps,
varicella, herpes, hepatitis B virus.
Dosis : 3 x sehari 1 kapsul
I. Isoprinosin :
Komposisi : methisoprinol
Indikasi : imunomodulator untuk penyakit virus dan
untuk kondisi imunodefisiensi.
Dosis : dewasa dan anak-anak : 50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 dosis. Pada infeksi yang berat :
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Lama
pengobatan 7-10 hari. Pengobatan lanjutan minimal 2
hari setelah gejala hilang.

J. BRM.
Komposisi : condonopus pilosula, salviae
multiorrhizae, lycium barbarum.
162

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

k. Hp Pro.
Komposisi : fraktus schisandrae.
Iindikasi : hepatitis kronik akatif, hepatitis kronik
persisten, cirrosis hepar, drug induced hepatitis
dengan kadar SGPT yang tinggi.
Dosis : 1 kapsul 3 kali sehari. Bila SGPT tidak turun
setelah 1-2 bulan, dosis ditingkatkan 2 kapsul 3 kali
sehari. Pengobatan paling cepat 6 bulan dan paling
baik 1 tahun.
Im Boost.
Komposisi : echinacea dry extract, zinc picolinate.
Indikasi : membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Dosis : 1-3 kali satu tablet.
Im Reg.
Komposisi : ekstrak dari Fructus Lycii, Radix
Gingseng, Fructus Ligustri Lucidi, Radix Angelia.
9. Edukasi

10. Prognosis

11. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
163

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

SYOK ANAFILAKTIK
Kode : ICD.10. D89

1. Pengertian Reaksi anafilaktik adalah reaksi antara antibody dan


(Definisi) alergennya(imunologik) yang menimbulkan penyakit alergi atau
penyakit hipersensitivitas tipe I yang tidak disertai dengan syok.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi
anafilaktik yang berat degan tanda-tanda kolaps vaskular.
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang gejalanya sama dengan
anafilaktik tetapi tidak berdasarkan atasreaksi antara antibodi dan
antigen (non imunologik).

2. Anamnesis Gambaran klinis reaksi anafilaktik sangan t bervariasi, dapat


ringan, tetapi juga berat sampai menyebabkan kematian. Gejala-
gejala pada umumnya dapat dibagi dalam gejala prodromal,
kardiovaskular, pulmonar, saluran cerna dan kulit.
1 Gejala prodromal
asa tidak enak, lemah, gatal di hidung dan palatum,
bersin, telinga berdenging, dada rasa tertekan.
2 Gejala kardiovaskular
takhikardia, palpitasi, hipotensi, ( dapat syok sampai
meninggal)
3. Gejala pulmonar
rinitis, bersin,gatal hidung dan palatum, gejala ini diikuti
dengan spasme
bronkhus yang berat dan sesak, anoksia,sampai apnea.
4. Gejala gastrointestinal
nausea, muntah, sakit perut dan diare. Kadang kadang
gejala gastrointestinal dan pulmonar timbul bersamaan
sehingga secara serentak penderita akan mengeluh
sesak, suara serak, disfagia, nausea, dan rasa tercekik
yang menyebabkan penderita bertambah panik.
5. Gejala kulit
rasa gatal, urtikaria, angioedema. Bila terjadi
spasme vaskular dan perembesan. cairan keluar
pembuluh darah, kulit akan menjadi pucat.
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Diagnosis reaksi anafilaksis mudah ditegakan bila jelas ada
hubungan antara masuknya alergen dan gejala. Bila hubungan
tersebut tidak jelas, diagnosis sulit ditegakan oleh karenanya
anamnesis dan gambaran klinis merupakan hal yang penting.
164

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

6. Diagnosis Banding 
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Protokol Penanganan Anafilaksis
1. Tetap tenang
2. Segera tentukan derajat berat reaksi dengan menilai napas,
kesulitan menelan,mengi dan gerak napas yang cepat.
3. Untuk kemerahan kulit saja, berikan anti histamin degan
kerja cepat misalnya: difenhidramin 50 mg oral atau IM 5
mg/kg diikuti dengan antihistamin kerja lama ( e,q. 50 mg
hydroksizin eliksir oral atau IM 0,15ml (anak) atau 0.30
ml (dewasa) 1:1.000
4. Untuk reaksi vagal, dudukkan atau rebahkan pasien,
berikan rangsang bau-bauan atau atropin, 0,30 mg (anak),
0,60 mg ( dewasa) IM/IV. Sementara siapkan pemberian
cairan IV, pantaulah tekanan darah dan denyut jantung
sampai menjadi normal.
5. Untuk reaksi sistemik dengan keterlibatan saluran napas
atau anafilaksis: dudukkan pasien, jangan baringkan
pasien dengan kesulitan bernapas. Pasang torniquet, diatas
tempat suntikan. Berikan epineprhine 1:1000 , 0,01 ml/kg
sampai 0,30 ml ( anak) IM, ¼ dosis di tempat pemberian
dan ¾ dosis di atas torniquet epinephrine dapat diulang
setiap 3-5 menit .
6. Siapkan nebulizer baik untuk anak atau dewasa, albuterol
0,50 ml dalam 2,5 ml garam fisiologis atau dengan
epinephrine 1:1000, 0,50 ml dengan atau tanpa atropin 1
ml (1 mg/ml) atau ipatropium bromide 2,5 ml.
7. Medikasi lain ialah pemberian difenhidramin 50 mg oral
/IM atau 5 mg/kg, H2 Blocker seperti ranitidine 75 mg
oral/25 mg iv (sampai usia 6 tahun)-150 mg oral/50 mg iv
(usia > 6 tahun). Prednison 0,5 – 1 mg/kg BB oral atau
metil prednisolon 0,5-1 mg/kg BB iv.
8. siapkan pemberian cairan atau obat iv dan sediakan
peralatan resusitasi
9. Edukasi
10. Prognosis Umumnya semakin lama jarak antara masuknya antigen dengan
munculnya gejala semakin ringan gejalanya. Penyembuhan dapat
cepat dalam beberapa jam, tetapi kadang-kadang dapat
memerlukan waktu yang lebih lama. Biasanya sembuh sempurna
tetapi dapat pula menyebabkan infark miokard. Reaksi anafilaktik
dengan antigen yang sama yang terjadi kemudian akan lebih berat
dari pada yang sebelumnya..
165

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Bila terapi lebih cepat diberikan maka prognisisnya lebih baik


Prognosis dipengaruhi juga oleh cara pemberian dan dosis antigen,
semakin besar dosis maka reaksi semakin berat
11. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
166

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

ALERGI MAKANAN
Kode : ICD.I0

1. Pengertian Efek samping terhadap makanan terdiri dari reaksi toksik dan non-
(Definisi) toksik. Alergi makanan adalah reaksi non-toksik melalui
mekanisme imun Imunoglobulin E dan non –Imunoglobulin E .
Intoleransi makanan adalah reaksi non-toksik yang dapat
diakibatkan pengaruh enzimatik, farmakologik, atau zat yang tidak
dapat ditentukan.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis  Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
 Tes kulit (skin prick test), dengan ekstrak alergen
makanan.
 Pemeriksaan Ig E yang spesifik.
Bila pemeriksaan positif perlu dihindari secara ketat unsur
makanan terkait sebagai alergen selama sekurang-kurangnya 3
minggu.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan
kadar triptase serum yang dikeluarkan oleh sel mast dengan kadar
puncak 40-60 menit setelah serangan dan masih tetap tinggi
setelah beberapa jam adalah tes yang sensitif. Pemeriksaan
histamin serum yang meningkat walau sesaat dapat juga
dilakukan.
6. Diagnosis Banding 
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Prinsip dasar penatalaksanaan RMM adalah :
 Hindari makanan penyebab/alergen.
 Pengobatan simptomatik, seperti anti histamin,
kortikosteroid, oksatomid, ketotifen.
 Terapi probiotik dengan pemberian basil Lactobacillus GG
oral pada pasien alergi dengan manifestasi klinik, eksema
atopik yang disebabkan oleh alergi susu sapi.
9. Edukasi 1. Menghindari makanan yang bersifat
alergen sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi
dengan ahli gizi)
2. Perhatikan label makanan
3. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan
menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan
10. Prognosis Dubia ad bonam
167

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

11. Kepustakaan 1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J. Allergy Clin
Immunol. 2010;125:116-25
2. Prawirohartono,E.P. Makanan sebagai Penyebab Alergi dalam
Akergi Makanan, ed. Djuffrie. Yogyakarta; Gajah Mada
Universitas Press. 2001
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan dokter pada Alergi.
Jakarta: Dian Rakyta. 2003

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
168

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

ALERGI OBAT (SINDROMA STEVEN-JOHNSON)


Kode : ICD.10. L51

1. Pengertian Adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang ditandai makula


(Definisi) eritem yang cepat meluas. Biasanya berbentuk target lesion dan
kelainan pada lebih dari satu mukosa di orifisium ( mulut,
anogenital ) dan konjungtiva mata dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan kulit yang lain dapat
berupa vesikel/ bula, dapat disertai purpura. Sering ditandai gejala
konstitusional dan dapat mengancam kehidupan
2. Anamnesis Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a) kelainan kulit : eritema, papel, vesikel, dan bula. Vesikel
dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Jika
disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b) kelainan selaput lendir/ mukosa di orifisium : yang
tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
lubang alat genital (50%), lubang hidung (8%) dan anus
(4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi , ekskoriasi, dan krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran . Di
bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terjadi di
faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus
sehingga menyebabkan penderita sukar atau tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
memberi keluhan sukar bernapas.
c) kelainan mata : yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Kelainan mata yang lain dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis dan iridosiklitis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma Stevens-Johnson
tidak khas. Jika terdapat leukositosis menunjukkan
penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka
penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.

3. Pemeriksaan Fisik

4. Kriteria diagnosis

5. Diagnosis

6. Diagnosis Banding
169

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Diperlukan kerja sama multidisiplin antara Bagian Penyakit
Dalam, Bagian Kulit-Kelamin, dan Bagian Mata.
Pada sindroma Stevens-Johnson, kita harus bertindak tepat
dan cepat.
- Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-
saving. Biasanya diberikan deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4 - 6 x 5 mg ( 5 mg = 1 ampul )
sehari. Biasanya setelah 2-3 hari masa krisis telah teratasi,
keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru,
sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosis
deksametason di-tappering off 5 mg setiap hari, setelah
dosis deksametason mencapai 5 mg sehari lalu diganti
dengan tablet kortikosteroid (prednison atau metil
prednisolon), misalnya metil prednisolon yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 16 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 8 mg kemudian obat
tersebut dihentikan.
Pada penggunaan steroid dosis tinggi dan dalam waktu
cukup lama (± 10 hari) dapat terjadi hipokalemia yang
dapat menimbulkan aritmia jantung  risiko sudden
death. Sehingga perlu pemeriksaan kadar kalium dalam serum
dan pemantauan dengan EKG ( adanya gelombang U,
inversi gelombang T, atau gelombang T yang asimetris
sebagai tanda hipokalemia). Bila dijumpai hipokalemia
maka perlu diberikan suplementasi kalium misalnya dengan
tablet KSR. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.
- Pemberian antibiotika pada penderita Sindroma Stevens-
Johnson masih kontroversial karena antibiotika dapat
menambah sensitisasi, dan bila terjadi infeksi sekunder
maka antibiotika yang dipilih adalah yang jarang
menyebabkan alergi , berspektrum luas dan bakterisidal,
biasanya diberikan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
- Mengatur keseimbangan cairan / elektrolit dan nutrisi
karena penderita sukar atau tidak dapat menelan dan
kesadaran dapat menurun. Untuk itu diberikan infus
misalnya Dextrose 5% dan RL, dan pemasangan NGT
untuk diet cair sesuai kebutuhan.
170

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

- Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di


kulit diberi kompres dengan NaCl 0,9%, lesi di mulut dapat
diberikan gentian violet atau kenalog in orabase, untuk lesi
kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratulle.\
- Lesi di mata dapat diberikan lyters eye drop, eye ointment,
dan luksir palpebra untuk mencegah simblefaron
9. Edukasi

10. Prognosis

11. Lama Perawatan

12. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih
171

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

ALERGI OBAT
Kode : ICD. Y40

1. Pengertian Bagian dari reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut
(Definisi) reaksi adversi. Reaksi ini tidak hanya menimbulkan persoalan
baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat
membawa kematian. Contoh : reaksi adversi yang potensial
sangat berbahaya adalah hipekalemia, intoksikasi digitalis,
karacunan amanofilin, dan reaksi anafilaktik.
sedangkan gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk
antihistamin merupakan contoh reaksi adversi obat yang ringan

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis 1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit merupakan
cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat.
Masalah yang timbul adalah
- apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai
manifestasi alergi obat atau karena penyakit
dasarnya.
- Bila pada saat yang sama pasien mendapat Iebih
dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis
pasien alergi obat adalah :
a) Catat semua obat yang tidak dipakai pasien,
termasuk vitamin, tonikum, dan obat yang
sebelumnya tidak menimbulkan gejala alergi obat.
b) Lima waktu yang diperlukan mulai dari
pemakaian obat. sampai timbulnya gejala. Pada
reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7
sampai 10 hari setelah pemakaian pertama.
c) Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian
obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila
obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara
parenteral.
d) Manifestasi klinis alergi obat sering
dihubungkan dengan jenis obat tertentu
e) Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila
gejala menghilang setelah obat dihentikan
dan timbul kembali bila pasien diberikan obat
yang sama.
172

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

f)Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka


lama merupakan salah satu jalan terjadinya
sensitisasi obat yang harus diperhatikan

2. Tes Kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada
beberapa macam obat (penisifin, insulin, sediaan serum),
sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan
nilainya.
Hal ini karena beberapa hal antara lain :
a) kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil
metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya
b) beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus
lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga tes
positif yang terjadi adalah semu (false positive)
c) konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan
hasil positif semu
d) sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil
sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu
sukar untuk menentukan antigennya. Tes kulit ini
adalah tes kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis).
Sedangkan tes tempel (patch test) bermanfaat hanya
untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe
IV).
3. Laboratorium
a) pemeriksaan tes kulit  reaksi alergi obat tipe I
b) RAST (Radio AIlergo Sorbent Test)  untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen
c) Pemeriksaan Coombs indirek  untuk diagnosis
reaksi sitolitik (tipe II) seperti pada anemia hernolitik
d) Pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi
 untuk trombositopenia
c) Pemeriksaan hemaglutinrasi dan komplemen dapat
menunjang reaksi obat tipe III yang dibuktikan dengan
adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.

Pengobatan
1. Hentikan pemakaian obat yang dicurigai. kalau mungkin
semua obat dihentikan, tetapi bila tidak mungkin berikan
obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga
diberikan obat lain yang rumus kimianya berlainan.
173

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

2 vPengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya


reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang
sendiri setelah obat dihentikan.
Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung, pada
erupsi kulit yang terjadi dan derajat berat reaksi pada
organ-organ lain.
3. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom
Stevens-Johnson, pasiennya harus dirawat.
4. Kalainan sistemik yang berat seperti antifilaksis harus
ditatalaksana dengan baik.
5. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin
saja biasanya sudah memadai.
6. Untuk vaskulitis, penyakit serum, kalainan darah, hati,
nefritis Interstitial, dll diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai
gejala terkendali dan selanjutnya diturunkan dosisnya
secara bertahap seiama satu sampai dua minggu.
PENCEGAHAN
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya reaksi alergi obat yaitu :
- memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Yang
sudah tepat indikasinya, barulah ditanyakan secara teliti
riwayat alergi obat di masa lalu selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang
berlainan.
- Memperhatikan reaksi silang di antara obat seperti
penislin dengan sefalosporin, gentasimin dengan
kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat
golongan sulfonilurea.
- Memberi catatan kepada penderita dengan alergi obat yang
harus ditunjukkan kepada dokter sebelum penderita
mendapat pengobatan.
- Membagikan epinefrin pada penderita persiapan dengan
riwayat syok anafilaksi
174

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Skema pencegahan reaksi alergi obat

Riwayat alergi obat

Adakah obat alternatif yang efektif

ada Tidak Ada

Obati dengan obat Tes kulit atau laboratprium


alternatif

Ya Tidak

Tes Tes Provokasi

Negatif Positif Negatif

Desensitisasi atau pikirkan Teruskan


Berikan obat
kembali alternative yang lain pengobatan
hati - hati
175

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Baik prosedur tes provokasi maupun desensitisasi selalu


mengandung resiko yang kadang-kadang dapat
menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa
syarat untuk melakukannya :
1. Indikasi kuat dan tidak ada obat atau alternatif lain
2. Beritahukan pada pasien dan keluarganya perihal
tujuan tindakan ini serta untung ruginya
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan
peralatan untuk menangulangi keadaan darurat
4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman
5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisai atau
provokasi sesuai dengan rute pemberian yang akan
diberikan
6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang
sewaktu-waktu bisa dipergunakan bila terjadi keadaan
darurat
7. Tes kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat.
Jangan menunggu berhari-hari kemudian obat baru
diberikan, karena tes kulit sendiri menimbulkan
sensitisasi

Prinsip tes provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan


dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan
perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun
tes provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya
pada tes provokasi tidak selalu terjadi desensitisasi karena
sensitisasi sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur
desensitisasi hanya memberikan pasien keadaan bebas
sensitisasi sementara, karena bila suatu harus diperlukan
pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus
diulangi kembali. Tes provokasi dan desensitisasi hanya
untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Kalau
mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena
selain jarang menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil
menimbulkan sensitisasi. Tetapi jika pasien sudah jelas
mempunyai riwayat alergi, obat atau pernah terjadi reaksi
anafilakstik dan SJS, maka obat tersebut tidak boleh
diberikan lagi (kontraindikasi).
Frekuensi alergi obat tidak banyak berbeda antara pasien
yang atopi dan non atopi, tetapi pasien yang mempunyai
riwayat alergi tipe 1' atopi seperti asma alergik, rinitis
alergik, atau eksim lebih besar 3 sampai 10 kali
kemungkinannya untuk mendapat anafilaksis
176

STANDAR PELAYANAN MEDIK


SMF PENYAKIT DALAM
RS SURYA ASIH

Contah tes provakasi dengan anestesi lokal :


No Rute Dosis

1 1:100 (pengenceran
Tes tusuk
2 Tes tusuk tidak diencerkan

3 Intrakutan 0,02 ml larutan 1:100

4 Intrakutan 0,02 ml tidak diencerkan

5 Subkutan 0,1 ml tidak diencerkan

6 Subkutan 1 ml tidak diencerkan

Disamping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi


anafilakstik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu
obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat alergi, yaitu
adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, dan diazepam, yang
semuanya dalam bentuk suntikan Setelah di suntik, pasien
diminta menunggu paling sedikit 20 menit sebelum
diperbolehkan pulang Reaksi obat terjadi lambat dapat terjadi
setelah 3 – 10 hari setelah pengobatan dan SJS dapat terjadi
setelah 10 hari pemberian obat
6. Diagnosis Banding 
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui Pringsewu, 1 Oktober 2016.


Direktur RS Surya Asih SMF Penyakit Dalam RS Surya Asih

Dr. Hetti F. BR. Simamora

Das könnte Ihnen auch gefallen