Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
Kriteria Definisi
1. Malar rash. Fixed malar erythema, flat or
raised.
2. Discoid rash Erythematosus raised patches
with keratotic scalling and
follicular plugging, atyphic
scaring may accur in older
lesions.
3. Photosensitivity. Skin rash as an unusual
reaction to sunlight, by patient
history or physician
observation.
4. Oral ulcers. Oral or nasopharyngeal ulcers,
usually painless, observed by
physician.
5. Arthritis. Non-erossive arthritis
involving two or more
peripheral joints, characteristic
by tenderness, swelling or
effusion.
6. Serositis. a. Pleuritis (convincing
history of pleuritic pain or
rub heard by physician or
evidence of pleural
effusion).
b. Pericarditis ( documented
by ECG, rub or evidence
of pericardial effusion).
7. Renal disorder. a. Persistent proteinuria
(>0,5 g/24 hours or +3)
b. Cellular cast of any type.
8. Neurologic disorder. a. Seizures (in the absence of
other causes).
b. Psychosis (in the absence
of other causes).
145
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
148
A. Pengobatan umum/konservatif.
1. Rehabilitasi dan latihan :
Penderita SLE dianjurkan tetap melakukan aktifitas
jasmani dan menghindari terlalu banyak istirahat ditempat
tidur agar kekuatan otot tetap terjaga dan juga
menghindari terjadinya kontraktur sendi, osteoforesis,
atrofi otot.
2. Merokok :
Hindari merokok oleh karena asap rokok akan
mengganggu oksigenasi darah, meningkatkan tekanan
darah dan memperberat fenomena Raynaud.
3. Makanan :
Dianjurkan untuk makan minyak ikan, karena minyak ikan
mengandung eicosapentanoic acid yang mampu
menghambat agregasi trombosit dan menghambat
produksi leukotriene B4.
4. Sinar matahari :
Dianjurkan untuk memakai penahan sinar ultra violet
(sun screen). Tetapi pemakaian sun screen dapat
menghalangi sintesa vitamin D pada kulit. Jadi
pemberian vitamin D per oral pada kasus demikian
diperlukan. Kerugian lain dari pemakaian sun screen
adalah kemungkinan terjadinya reaksi alergi.
B. Pengobatan farmakologis.
1. Salisilat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
2. Anti malaria.
Anti malaria ( Chloroquine, Hydroxychloroquine,
Atabrine) diberikan pada discoid lupus. Dosis chloroquine:
250-500 mg/hari.Dosis Hyhdroxychloroquine: 200-400
mg/hari.
Atabrine diberikan apabila pemberian chloroquine
atau hydroxychloroquine tidak memberikan hasil yang
memuaskan atau timbul komplikasi pada retina. Dosis
yang dianjurkan : 100 mg/hari, walaupun dengan dosis 25
mg kadang-kadang sudah efektif.
Sesudah pengobatan dengan anti malaria selama
1-2 tahun, sebaiknya dilakukan tappering off. Setelah itu
diberikan dosis rumatan yaitu : 1-2 kali dalam seminggu
@ 200 mg.
149
3. Kortikosteroid.
a. LES ringan (badan panas, artritis, perikarditis ringan,
efusi pleura/efusi perikardial ringan, lesi kulit, lelah
dan sakit kepala).
Pertama kali diberikan aspirin / OAINS, dimulai
dengan dosis rendah, dapat dinaikan secara bertahap.
Bila tidak ada respon perlu ditambahkan anti malaria,
misalnya chloroquine dosis : 2 x 250 mg/hari atau 1 x
500 mg/hari. Bila beberapa bulan belum ada
perubahan ditambahkan atabrine 100 mg/hari. Bila
belum ada juga respon diganti steroid (prednison)
dengan dosis kecil : 2,5 – 5 mg/hari. Dosis prednison
dapat ditambah 20% setiap 1-2 minggu tergantung
respon klinis.
b. LES berat : gejala diatas ditambah efusi pleura/efusi
perikardial yang banyak, kelaianan ginjal yang jelas,
anemia hemolitik, trobositopenia purpura, lupus
serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus
pneumonitis dan perdarahan paru. Pemakaian
kortikosteroid pada kasus yang berat merupakan
pilihan utama, sedangkan anti malaria dan OAINS
tidak dipakai.
a. Azatioprin (AZA).
AZA dapat digunakan untuk wanita hamil dengan
SLE atas indikasi yang kuat. Dosis initial harian :
1-3 mg/kg BB/hari atau umumnya berkisar 100-
200 mg/hari dan diberikan bersama kortikosteroid
oral dosis tinggi. Setelah ada perbaikan klinis
dosis AZA dapat diturunkan secara bertahap 25
mg sampai akhirnya dapat diberikan dosis
pemeliharaan antara 1-2 mg/kgBB/hari atau 50-75
mg/hari.
Efek samping obat (ESO) depresi sumsum tulang,
hb leukosit, evaluasi trombosit setiap bulan.
b. Methotrexate (MTX).
- Untuk SLE belum ada kesepakatan dosis yang
digunakan.
- Digunakan terutama pada SLE dengan
manisfestasi klinis menonjok artritis dosis 7,5
mg/ minnggu
c. Siklosporin A
Belum ada kesepakatan tentang dosis yang ideal
dan telah dicoba dengan dosis : 2-10 mg/kg
BB/hari. Miescher dkk (1988) dan Ennquez dkk
(1991) mengusulkan dosis kecil yaitu : 5 mg/kg
BB/hari dan diberikan bersama steroid dan
imunosupresant lain. Siklosporin A dipilih sebagai
obat untuk SLE dengan kelainan ginjal. Hati-hati
pada kelainan hepar.
e. Mofetil mikofenolat :
merupakan pilihan baik untuk terapi induksi
maupun pemeliharaan lupus nefritis. Mofetil
mikofenolat akan diubah menjadi asam
mikofenolik yang berfungsi menekan proliferasi
sel B dan T, pembentukan antibodi, dan glikosilasi
molekul adhesi dengan cara menghambat sintesis
purine dan guanosine nucleotide yang penting
pada pembentukan DNA sel limfosit. Mofetil
mikofenolat (MMF) dipakai sebagai pilihan
alternatif terapi induksi pada
pasien lupus nefritis yang menolak atau tidak
toleran terhadap siklofosfamid. Untuk terapi
induksi MMF digunakan
dengan dosis 1-3 g/hari dan terbukti mempunyai
efek yang sebanding dengan
bolus siklofosfamid I V sebulan sekali
selama 6 bulan.
Pada penderita dengan lupus nefritis MMF selang
2 bulan(full dose) dosis dapat di tappering off
tergantung keadaan khusus.
152
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
ASMA BRONKIALE
Kode : ICD10 .J45
Penilaian awal :
Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas, HR, APE atau FEV 1,
saturasi O2, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).
Pengobatan awal :
Inhalasi 2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.
Oksigen 4-6 l/ menit untuk mencapai saturasi O2 90% (95% untuk anak-anak).
Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau jika serangan asmanya
Ulangi penilaian: tanda-tanda fisik, APE, saturasi O2, pemeriksaan lain bila diperlukan
APE 60-80% perkirakan atau nilai terbaik. APE < 60% perkiraan/ nilai terbaik
Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat, retraksi dinding
pernafasan dada.
Respon baik: Respon tidak sempurna dalam 1-2 jam: Respon buruk dalam 1 jam
- Riwayat: pasien risiko tinggi.
- Respon menetap 60 menit - Riwayat pasien risiko tinggi
- PF: gejala ringan-sedang. - PF: gejala berat, mengantuk
setelah terapi terakhir. dan bingung.
- APE > 50% tapi <70%. - APE < 30%
- PCO2 > 45 mmHg
- Pemeriksaan fisik normal. - PO2 < 60 mmHg
- Saturasi O2 tidak membaik Rawat di ICU:
- APE > 70%. - Inhalasi 2 agonis + inhalasi
Dirawat di RS: antikolinergik
- Kortikosteriod intravena
- Tidak ada distress.
- Pertimbangkan 2 agonis S.C.,
- inhalasi 2 agonis + inhalasi
I.M., atau I.V.
- Saturasi O2 > 90% (95% pd - Oksigen
- Aminofilin i.v.
anak-anak)
Membaik Tidak
Dipulangkan:
Rawat di ICU:
Jika APE > 70% & bertahan dng pengobatan peroral/ inhalasi
selama minimal 60 menit
Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam
155
11. Kepustakaan
1. Pengertian Adalah penyakit yang disebabkan fungsi imun yang menurun yang
(Definisi) sebelumnya berfungsi dengan baik.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis
NO. Etiologi Penyakit
Infeksi AIDS, Virus mononukleus,
Rubella, Campak
Tindakan pengobatan Steroid, Penyinaran, Kemoterapi,
Imunosupresi, Serum anti
limfosit.
Neoplasma
Penyakit hematologic Limfoma maligna, Leukemia,
Mieloma, Neutropenia, Anemia
aplastik, Anemia bulan sabit.
Penyakit metabolic Enteropati dengan kehilangan
protein, Sindroma nefrotik,
Diabetes melitus, Malnutrisi.
Trauma dan tindakan Luka bakar, Splenektomi,
bedah Anestesi
Lain-lain SLE, Hepatitis kronis.
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi 1. Pencegahan terhadap infeksi :
a. Umum :
Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin
Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis
antisepsis dari semua personil
b. Khusus :
Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik,
antara lain :
- Temukan dan obati penderita kanker dalam
stadium dini
- Usahakan tindakan pembedahan dalam
toleransi yang optimal
- Bila perlu diberi transfusi granulosit atau
parenteral nutrisi.
Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang
tidak perlu, perawatan yang baik terhadap setiap
perlukaan, misalnya pemasangan infus, luka biopsi,
dll.
Hindari prosedur invasif yang berlebihan dan tidak
perlu baik untuk diagnostik maupun terapeutik,
misalnya : pemakaian kateter atau pemasangan infus,
dll hanya jika mutlak diperlukan.
Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman eksogen
dan cegah kuman yang potensial patogen :
- Cuci tangan yang baik
- Makanan dan minuman dengan kontaminasi
bakteri serendah mungkin.
- Selalu memeriksa kuman pada air leding
158
a. Gamma Venin P.
Komposisi : Human Ig
Indikasi : sepsis/komplikasi toksik, pencegahan
terhadap rubella selama kehamilan, infeksi pada
infant, meningoencephalitis dan pneumonia yang
disebabkan oleh virus, infeksi akut pada penderita
dengan sindroma defisiensi antibodi atau defisiensi
imun iatrogenik.
Dosis : Penyakit bakteri atau virus : 1-3 ml/kgBB IV.
Bedah abdomen untuk mencegah komplikasi 200 ml
intraperitoneal. Encephalitis, meningitis,
meningoencephalitis untuk dewasa : 5-10 ml IV, anak-
anak : 3 ml.
b. Bayrab (Rabies Imune Globuline Human)
Komposisi : anti rabies gamma globulin dari plasma
donor.
Indikasi : imunisasi pasif pada individu yang terpapar
rabies.
Dosis : 20 IU/kgBB.
c. Teta globuline
Komposisi : human tetanus Ig.
Indikasi : pencegahan tetanus.
Dosis : suntikan pertama : 250 IU/0,5 cc IM. Suntikan
kedua jika infeksi kulit atau trauma terjadi > 24 jam
sebelumnya atau orang dewasa dengan BB diatas rata-
rata.
c. Integram.
Komposisi : Human normal imunoglobulin
Indikasi : pengobatan replacement IgG pada
imonidefisiensi primer, mieloma dan kronik lymfatik
leukemia dengan hipogamaglobulin sekunder dan
infeksi berulang, AIDS congenital dengan infeksi
berulang. Sebagai imunomodulator pada ITP, pada
anak dan dewasa dengan resiko perdarahan,
pembedahan untuk memperbaiki jumlah platelet.
160
b. ACT-HIB.
Komposisi : Haemophiluss influensa tipe b
polisakarida
Indikasi : pencegahan penyakit yang disebabkan oleh
Haemophiluss influensa tipe b pada bayi mulai umur 2
bulan.
Dosis : anak 1-5 tahun : single injeksi, 6-12 bulan : 2
kali injeksi pada umur 1 bulan diikuti boster pada
umur 18 bulan, < 6 bulan : 3 kali injeksi pada umur 1
atau 2 bulan diikuti boster umur 18 bulan
c. Hepavax Gene.
Komposisi : Hepatitis B surface Ag.
Indikasi : Imunisasi aktif untuk infeksi yang
disebabkan infeksi virus hepatitis B.
Dosis : dewasa dan anak > 10 tahun : 20 µg IM pada
0, 1, 6 bulan. Dibawah umur 10 tahun : 10 µg IM.
d. Hepacicine B.
Komposisi : in active HbsAg.
Indikasi : Pencegahan hepatitis B.
Dosis : Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 x 1 cc interval
tiap bulan. < 10 tahun : 3 x ½ cc interval tiap bulan.
Hemodialise dan imunokompromised : 3 x 2 cc
interval tiap bulan pada tempat yang berbeda. Boster
dapat diberikan tiap 5 tahun.
161
E. Varilrix.
Komposisi : vaksin varicella.
Indikasi imunisasi aktif untuk melawan varicella pada
bayi dan anak-anak.
Dosis : anak sampai 12 tahun dan bayi > 12 bulan :
single injeksi SC. Dewasa 13-17 tahun : 2 x 0,5 ml SC
interval 4-8 minggu.
F. Interferon Alternative.
Komposisi : purified natural human leukosit interferon
alpha.
Indikasi : pengobatan penderita yang resisten terhadap
recombinan interferon alpha.
Dosis : individual.
G. Roferon A.
Komposisi : interferon α 2a.
Indikasi : pengobatan hairy cell leukemia.
Dosis : hairy cell leukemia : 3 MIU SC untuk 16-24
minggu. Maintenance : 3 MIU 3 x seminggu.
H. Stimuno.
Komposisi : Phyllanthus niruri L herbsextr.
Indikasi : imunostimulator, sebagai adjuvan terapi
untuk infeksi virus dan bakteri seperti : mumps,
varicella, herpes, hepatitis B virus.
Dosis : 3 x sehari 1 kapsul
I. Isoprinosin :
Komposisi : methisoprinol
Indikasi : imunomodulator untuk penyakit virus dan
untuk kondisi imunodefisiensi.
Dosis : dewasa dan anak-anak : 50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 dosis. Pada infeksi yang berat :
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Lama
pengobatan 7-10 hari. Pengobatan lanjutan minimal 2
hari setelah gejala hilang.
J. BRM.
Komposisi : condonopus pilosula, salviae
multiorrhizae, lycium barbarum.
162
k. Hp Pro.
Komposisi : fraktus schisandrae.
Iindikasi : hepatitis kronik akatif, hepatitis kronik
persisten, cirrosis hepar, drug induced hepatitis
dengan kadar SGPT yang tinggi.
Dosis : 1 kapsul 3 kali sehari. Bila SGPT tidak turun
setelah 1-2 bulan, dosis ditingkatkan 2 kapsul 3 kali
sehari. Pengobatan paling cepat 6 bulan dan paling
baik 1 tahun.
Im Boost.
Komposisi : echinacea dry extract, zinc picolinate.
Indikasi : membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Dosis : 1-3 kali satu tablet.
Im Reg.
Komposisi : ekstrak dari Fructus Lycii, Radix
Gingseng, Fructus Ligustri Lucidi, Radix Angelia.
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
SYOK ANAFILAKTIK
Kode : ICD.10. D89
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Protokol Penanganan Anafilaksis
1. Tetap tenang
2. Segera tentukan derajat berat reaksi dengan menilai napas,
kesulitan menelan,mengi dan gerak napas yang cepat.
3. Untuk kemerahan kulit saja, berikan anti histamin degan
kerja cepat misalnya: difenhidramin 50 mg oral atau IM 5
mg/kg diikuti dengan antihistamin kerja lama ( e,q. 50 mg
hydroksizin eliksir oral atau IM 0,15ml (anak) atau 0.30
ml (dewasa) 1:1.000
4. Untuk reaksi vagal, dudukkan atau rebahkan pasien,
berikan rangsang bau-bauan atau atropin, 0,30 mg (anak),
0,60 mg ( dewasa) IM/IV. Sementara siapkan pemberian
cairan IV, pantaulah tekanan darah dan denyut jantung
sampai menjadi normal.
5. Untuk reaksi sistemik dengan keterlibatan saluran napas
atau anafilaksis: dudukkan pasien, jangan baringkan
pasien dengan kesulitan bernapas. Pasang torniquet, diatas
tempat suntikan. Berikan epineprhine 1:1000 , 0,01 ml/kg
sampai 0,30 ml ( anak) IM, ¼ dosis di tempat pemberian
dan ¾ dosis di atas torniquet epinephrine dapat diulang
setiap 3-5 menit .
6. Siapkan nebulizer baik untuk anak atau dewasa, albuterol
0,50 ml dalam 2,5 ml garam fisiologis atau dengan
epinephrine 1:1000, 0,50 ml dengan atau tanpa atropin 1
ml (1 mg/ml) atau ipatropium bromide 2,5 ml.
7. Medikasi lain ialah pemberian difenhidramin 50 mg oral
/IM atau 5 mg/kg, H2 Blocker seperti ranitidine 75 mg
oral/25 mg iv (sampai usia 6 tahun)-150 mg oral/50 mg iv
(usia > 6 tahun). Prednison 0,5 – 1 mg/kg BB oral atau
metil prednisolon 0,5-1 mg/kg BB iv.
8. siapkan pemberian cairan atau obat iv dan sediakan
peralatan resusitasi
9. Edukasi
10. Prognosis Umumnya semakin lama jarak antara masuknya antigen dengan
munculnya gejala semakin ringan gejalanya. Penyembuhan dapat
cepat dalam beberapa jam, tetapi kadang-kadang dapat
memerlukan waktu yang lebih lama. Biasanya sembuh sempurna
tetapi dapat pula menyebabkan infark miokard. Reaksi anafilaktik
dengan antigen yang sama yang terjadi kemudian akan lebih berat
dari pada yang sebelumnya..
165
ALERGI MAKANAN
Kode : ICD.I0
1. Pengertian Efek samping terhadap makanan terdiri dari reaksi toksik dan non-
(Definisi) toksik. Alergi makanan adalah reaksi non-toksik melalui
mekanisme imun Imunoglobulin E dan non –Imunoglobulin E .
Intoleransi makanan adalah reaksi non-toksik yang dapat
diakibatkan pengaruh enzimatik, farmakologik, atau zat yang tidak
dapat ditentukan.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tes kulit (skin prick test), dengan ekstrak alergen
makanan.
Pemeriksaan Ig E yang spesifik.
Bila pemeriksaan positif perlu dihindari secara ketat unsur
makanan terkait sebagai alergen selama sekurang-kurangnya 3
minggu.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan
kadar triptase serum yang dikeluarkan oleh sel mast dengan kadar
puncak 40-60 menit setelah serangan dan masih tetap tinggi
setelah beberapa jam adalah tes yang sensitif. Pemeriksaan
histamin serum yang meningkat walau sesaat dapat juga
dilakukan.
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Prinsip dasar penatalaksanaan RMM adalah :
Hindari makanan penyebab/alergen.
Pengobatan simptomatik, seperti anti histamin,
kortikosteroid, oksatomid, ketotifen.
Terapi probiotik dengan pemberian basil Lactobacillus GG
oral pada pasien alergi dengan manifestasi klinik, eksema
atopik yang disebabkan oleh alergi susu sapi.
9. Edukasi 1. Menghindari makanan yang bersifat
alergen sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi
dengan ahli gizi)
2. Perhatikan label makanan
3. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan
menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan
10. Prognosis Dubia ad bonam
167
11. Kepustakaan 1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J. Allergy Clin
Immunol. 2010;125:116-25
2. Prawirohartono,E.P. Makanan sebagai Penyebab Alergi dalam
Akergi Makanan, ed. Djuffrie. Yogyakarta; Gajah Mada
Universitas Press. 2001
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan dokter pada Alergi.
Jakarta: Dian Rakyta. 2003
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma Stevens-Johnson
tidak khas. Jika terdapat leukositosis menunjukkan
penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka
penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
169
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Diperlukan kerja sama multidisiplin antara Bagian Penyakit
Dalam, Bagian Kulit-Kelamin, dan Bagian Mata.
Pada sindroma Stevens-Johnson, kita harus bertindak tepat
dan cepat.
- Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-
saving. Biasanya diberikan deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4 - 6 x 5 mg ( 5 mg = 1 ampul )
sehari. Biasanya setelah 2-3 hari masa krisis telah teratasi,
keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru,
sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosis
deksametason di-tappering off 5 mg setiap hari, setelah
dosis deksametason mencapai 5 mg sehari lalu diganti
dengan tablet kortikosteroid (prednison atau metil
prednisolon), misalnya metil prednisolon yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 16 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 8 mg kemudian obat
tersebut dihentikan.
Pada penggunaan steroid dosis tinggi dan dalam waktu
cukup lama (± 10 hari) dapat terjadi hipokalemia yang
dapat menimbulkan aritmia jantung risiko sudden
death. Sehingga perlu pemeriksaan kadar kalium dalam serum
dan pemantauan dengan EKG ( adanya gelombang U,
inversi gelombang T, atau gelombang T yang asimetris
sebagai tanda hipokalemia). Bila dijumpai hipokalemia
maka perlu diberikan suplementasi kalium misalnya dengan
tablet KSR. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.
- Pemberian antibiotika pada penderita Sindroma Stevens-
Johnson masih kontroversial karena antibiotika dapat
menambah sensitisasi, dan bila terjadi infeksi sekunder
maka antibiotika yang dipilih adalah yang jarang
menyebabkan alergi , berspektrum luas dan bakterisidal,
biasanya diberikan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
- Mengatur keseimbangan cairan / elektrolit dan nutrisi
karena penderita sukar atau tidak dapat menelan dan
kesadaran dapat menurun. Untuk itu diberikan infus
misalnya Dextrose 5% dan RL, dan pemasangan NGT
untuk diet cair sesuai kebutuhan.
170
10. Prognosis
12. Kepustakaan
ALERGI OBAT
Kode : ICD. Y40
1. Pengertian Bagian dari reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut
(Definisi) reaksi adversi. Reaksi ini tidak hanya menimbulkan persoalan
baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat
membawa kematian. Contoh : reaksi adversi yang potensial
sangat berbahaya adalah hipekalemia, intoksikasi digitalis,
karacunan amanofilin, dan reaksi anafilaktik.
sedangkan gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk
antihistamin merupakan contoh reaksi adversi obat yang ringan
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis 1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit merupakan
cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat.
Masalah yang timbul adalah
- apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai
manifestasi alergi obat atau karena penyakit
dasarnya.
- Bila pada saat yang sama pasien mendapat Iebih
dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis
pasien alergi obat adalah :
a) Catat semua obat yang tidak dipakai pasien,
termasuk vitamin, tonikum, dan obat yang
sebelumnya tidak menimbulkan gejala alergi obat.
b) Lima waktu yang diperlukan mulai dari
pemakaian obat. sampai timbulnya gejala. Pada
reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7
sampai 10 hari setelah pemakaian pertama.
c) Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian
obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila
obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara
parenteral.
d) Manifestasi klinis alergi obat sering
dihubungkan dengan jenis obat tertentu
e) Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila
gejala menghilang setelah obat dihentikan
dan timbul kembali bila pasien diberikan obat
yang sama.
172
2. Tes Kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada
beberapa macam obat (penisifin, insulin, sediaan serum),
sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan
nilainya.
Hal ini karena beberapa hal antara lain :
a) kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil
metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya
b) beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus
lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga tes
positif yang terjadi adalah semu (false positive)
c) konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan
hasil positif semu
d) sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil
sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu
sukar untuk menentukan antigennya. Tes kulit ini
adalah tes kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis).
Sedangkan tes tempel (patch test) bermanfaat hanya
untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe
IV).
3. Laboratorium
a) pemeriksaan tes kulit reaksi alergi obat tipe I
b) RAST (Radio AIlergo Sorbent Test) untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen
c) Pemeriksaan Coombs indirek untuk diagnosis
reaksi sitolitik (tipe II) seperti pada anemia hernolitik
d) Pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi
untuk trombositopenia
c) Pemeriksaan hemaglutinrasi dan komplemen dapat
menunjang reaksi obat tipe III yang dibuktikan dengan
adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.
Pengobatan
1. Hentikan pemakaian obat yang dicurigai. kalau mungkin
semua obat dihentikan, tetapi bila tidak mungkin berikan
obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga
diberikan obat lain yang rumus kimianya berlainan.
173
Ya Tidak
1 1:100 (pengenceran
Tes tusuk
2 Tes tusuk tidak diencerkan