Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ABSTRACT
35
PENDAHULUAN memiliki pengetahuan kurang sehingga
Kusta adalah penyakit tertua yang dikenal kemandirian dalam kategori baik pun
manusia. Catatan paling awal menjelaskan bahwa menunjukkan prosentase 30%. Sedangkan 70%
kusta berasal dari India sekitar periode 600 SM sisanya menunjukkan kemandirian dalam
(Edward, 2010). Kusta merupakan penyakit kategori kurang baik. Kemandirian yang kurang
menular yang menahun dan disebabkan oleh baik disini maksudnya adalah ketidakmampuan
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, seseorang untuk merawat diri sendiri dalam hal
kulit, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf perawatan terkait penyakit kusta yang akhirnya
pusat (Mansjoer, 2000). Masalah psikososial yang berdampak pada kecacatan seperti jari kiting,
timbul pada penderita kusta lebih menonjol lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup
dibandingkan dengan masalah medisnya. Penyakit rapat, maupun luka pada kornea. Masalah lain
ini memerlukan pengobatan secara terus menerus seperti tidak diterimanya mereka oleh petugas
dan paripurna sampai dapat mencapai kesehatan di beberapa puskesmas akibat
kemandirian perawatan diri. Kurangnya leprophobia juga menjadi salah satu faktor
manajemen dan ketepatan strategi oleh instansi kembalinya pasien kusta secara berulang ke
maupun perawat menyebabkan penyuluhan dan Rumah Sakit (RSK Sumberglagah). Upaya yang
pendidikan kesehatan kepada pasien juga semakin dilakukan selama ini adalah dengan memberikan
sempit, sehingga perawat perlu membuat rencana penyuluhan dengan metode ceramah, namun
tindak lanjut yang tepat untuk pasien di rumah masih belum maksimal terutama bagi yang rawat
(Kozier, 2010). jalan. Salah satu bentuk pendidikan kesehatan
bisa dilakukan adalah dengan metode
WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta demonstrasi. Dimana metode demonstrasi ini
menjadi tiga tingkat antara lain tingkat 0, tingkat bertujuan untuk memperagakan suatu peroses,
1, dan tingkat 2, dimana tingkat 2 terjadi jika situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari
ditemukan cacat akibat kerusakan saraf dan (Djamarah et al, 2006). Kelebihan metode ini
terlihat adanya borok, luka, jari kiting, lunglai, adalah pasien dapat mencoba melakukan sendiri
pemendekan, mata tidak dapat menutup rapat, apa yang telah diajarkan (Nursalam dan Efendi, F
maupun luka pada kornea. Data RS 2008). Metode pendidikan kesehatan dengan
Sumberglagah (2011), menunjukkan bahwa demonstrasi selama ini belum pernah diterapkan
pasien kusta cacat tingkat II yang menderita kusta di RSK Sumberglagah, karena yang ada selama
dengan ulkus masih menempati urutan pertama ini adalah metode ceramah saja, tanpa ada
dalam data pengunjung rawat jalan. Sampel data praktek seperti pada metode demonstrasi,
bulan Oktober – Desember 2011, rata-rata pasien sehingga pengaruh metode demonstrasi terhadap
yang mengalami ulkus tersebut kembali secara peningkatan kemandirian perawatan diri pada
berulang dalam satu bulan dengan keadaan ulkus penderita kusta cacat tingkat II di RSK
yang makin parah serta indikasi bertambah Sumberglagah Mojokerto perlu diteliti.
parahnya kecacatan akibat kurang kemandirian
dalam hal merawat diri maupun merawat luka. Menurut laporan resmi WHO (2010) yang
diterima dari 121 negara dan wilayah, prevalensi
Berdasarkan studi pendahuluan dengan terdaftar global kusta pada awal 2009 tercatat
menggunakan kuesioner dan penelitian sebesar 213 036 kasus, sedangkan jumlah kasus
sebelumnya, sebanyak 7 dari 10 responden baru terdeteksi selama 2008 adalah 249 007.
36
Jumlah kasus baru terdeteksi secara global telah hingga terjadi ulkus, bahkan dapat terjadi neuritis
menurun 9126 (penurunan 4%) selama tahun (WHO, 2012). Berdasarkan hasil penelitian
2008 dibandingkan dengan 2007. Berdasarkan mengenai faktor-faktor yang berhubungan
laporan WHO Expert Committee on Leprosy dari dengan perawatan diri dalam upaya pencegahan
beberapa negara tercatat bahwa rata-rata setelah kecacatan kusta di Jepara, didapatkan beberapa
selesai pengobatan kusta terdapat 75% penderita faktor yang berpengaruh, yakni faktor
kusta dengan kecacatan, sedang 25% penderita pengetahuan, tingkat ekonomi, peran petugas,
kusta tidak mengalami kecacatan (Singhi et al., dan peran keluarga (Estiningsih, 2006). Hanya
2004). Indonesia merupakan urutan ketiga jumlah 56% dari penderita kusta yang mengetahui
kasus kusta terbesar di dunia. Dimana kasus tentang risiko yang mereka akan menghadapi,
terbanyak di Jawa Timur sejumlah 4.653 kasus. bahkan 93% dari pasien dengan jelas
Sedang urutan kedua di Jawa Barat (1.749 kasus) menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang
dan ketiga Jawa Tengah (1.740 kasus) (Tarigan, self care (Garcia, 2008). Berbagai upaya dalam
2012). Pada tahun 2005 tercatat 21.537 penderita melakukan pencegahan kecacatan dengan
kusta di Indonesia, jumlah kasus baru sebanyak memanajemen komplikasi yang terjadi sangat
19.695 penderita, 8,74 % penderita mengalami dipengaruhi oleh perilaku kesehatan penderita.
cacat tingkat 2 dan 9.1 % penderita adalah pada Penambahan pengetahuan dapat meningkatkan
usia anak (Depkes, 2006). Data Pasien rawat perubahan positif dalam perilaku perawatan diri
jalan Rumah Sakit Kusta Sumberglagah, dan pengelolaan ulkus, sehingga kurang lebih
mojokerto menunjukkan jumlah penderita kusta mengurangi prevalensi terjadinya ulkus sekitar
tahun 2011 mencapai angka 6470 orang, setelah 50%, yang artinya juga mengurangi kecacatan
tahun 2010 data kunjungan menunjukkan angka (Arief, 2008).
5416, yang artinya terjadi peningkatan terkait
kasus kusta. Data menunjukkan pasien lama lebih Menurut penelitian Ganapati et al (2003), yang
sering terdaftar dalam data pengunjung dilakukan terhadap 454 pasien kusta diperoleh
dibandingkan dengan jumlah pasien baru. Pasien hasil bahwa pasien kusta yg telah melakukan
kusta cacat tingkat II yang menderita ulkus masih perawatan diri dengan baik selama 4 tahun dapat
menempati urutan pertama dalam data membantu memperbaiki tingkat kecacatan lebih
pengunjung rawat jalan. Angka Kecacatan dari 50% dari pasien. Kurangnya perawatan diri
tingkat II di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah seperti mempertahankan ROM, merawat luka,
pada tipe Multibasillari (MB) sebesar 89,5% dan serta perawatan bagian yang mati rasa, baik
pada tipe Pausibasillari (PB) 10,5%. Sampel data dalam bidang kognitif (pengetahuan), afektif
bulan Oktober-Desember 2011 menunjukkan (sikap), maupun psikomotor (tindakan) pada
bahwa kurang lebih 20 orang dengan kusta penderita kusta dapat mengakibatkan kerusakan
datang setiap harinya. Rata-rata pasien yang akan bertambah semakin berat (Putra, 2008).
mengalami ulkus tersebut kembali secara Menentukan dan mengobati dengan tepat
berulang dalam rentang satu bulan dengan merupakan salah satu aspek pencegahan cacat
keadaan ulkus yang makin parah (Sumberglagah, yang penting. Peningkatkan perawatan diri
2011). penderita kusta ternyata dipengaruhi oleh
Pasien dengan kusta dapat mengalami komplikasi pengetahuan dan keterampilan/tindakan pasien
yang berupa gangguan mata, kerusakan saraf (Arief, 2008). Ethirajand Mathew (dikutip oleh
yang ditunjukkan dengan mudahnya cidera cross, 2007) dalam studinya juga menyebutkan
37
bahwa penambahan pengetahuan dapat yang telah dikenal sebelumnya. Sampel diambil
meningkatkan perubahan positif dalam perilaku sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang
perawatan diri dan pengelolaan ulkus, sehingga telah ditentukan, dengan jumlah sampel sebanyak
kurang lebih mengurangi prevalensi terjadinya 16 orang. Penelitian dilakukan selama bulan Juni
ulkus sekitar 50%, yang artinya juga mengurangi 2012.
kecacatan (Arief, 2008). Pendidikan kesehatan Variabel independen dalam penelitian ini adalah
dengan metode demonstrasi merupakan pendidikan kesehatan dengan metode
pertunjukan tentang proses terjadinya suatu demonstrasi. Yakni mendemonstrasikan
perawatan tangan, kaki, dan mata. Sedangkan
peristiwa atau benda sampai pada penampilan.
variabel dependen dalam penelitian ini adalah
tingkah laku yang dicontohkan agar lebih mudah kemandirian perawatan diri.. Instrumen yang
dipahami (Sagala, 2010). digunakan dalam pengumpulan data tentang
pelaksanaan perawatan diri pada pasien kusta
Dalam permasalahan di atas, metode demonstrasi menggunakan lembar kuesioner yang berbentuk
dipandang sebagai metode yang efektif karena pilhan ganda untuk menggali pengetahuan dan
dapat memberikan pemahaman yang lebih kemandirian pasien. Kuesioner merupakan
modifikasi dari kuesioner yang pernah digunakan
konkrit tentang langkah – langkah suatu proses
oleh Lilik (2011) yang merupakan peneliti
(Gintings, 2008). Menurut Notoatmodjo (2007), sebelumnya.
salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan yaitu faktor predisposisi (predisposing Kemandirian perawatan diri dapat dilihat dari
factor) terdiri dari pengetahuan, sikap, dan hal- observasi melalui kuesioner. Pengumpulan data
hal yang dapat merubah sikap seseorang untuk dilaksanakan setelah peneliti mendapat ijin untuk
melakukan suatu tindakan. Oleh sebab itu, melakukan penelitian. Peneliti datang ke Rumah
Sakit untuk melakukan pre test, demonstrasi, dan
peneliti ingin menggali lebih lanjut terkait
post test. Data yang telah dikumpulkan kemudian
pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode dioleh dan dianalisis dengan menggunakan
demonstrasi terhadap peningkatan kemandirian menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank
perawatan diri pada penderita kusta cacat tingkat Test untuk mengetahui adanya perbandingan
II di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah antara keadaan sebelum dan sesudah dilakukan
Mojokerto. demonstrasi. Setelah itu dilanjutkan denga uji
Mann Whitney Test untuk mengetahui
perbandingan antara kelompok perlakuan dan
BAHAN DAN METODE kelompok kontrol. Pengaruh antara variabel
Desain penelitian ini adalah pre-experimental independen dan dependen tergantung dengan
dengan menggunakan pendekatan Quasy derajat kemaknaan atau tingkat signifikasi α <
Experiment. Populasi dalam penelitian ini adalah 0,05. Dari hasil perbandingan akan ditentukan
pasien kusta cacat tingkat II yang menjalani rawat hipotesa diterima atau ditolak.
jalan di Rumah sakit kusta Sumberglagah
Mojokerto, yang bertempat tinggal di sekitar
HASIL
Rumah sakit. Penelitian ini menggunakan
purposive sampling yaitu teknik pemilihan Berdasarkan tabel 1. tentang karakteristik
sampel dengan menetapkan sampel dengan cara responden dilihat dari segi umur didapatkan data
memilih sampel diantara populasi sesuai dengan mayoritas responden berumur 31-40 tahun yaitu
yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel sebanyak 5 orang (62,5%) pada kelompok
perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi
sebanyak 62,5% berumur antara 41 – 50 tahun.
38
Dilihat dari segi jenis kelamin, pada kelompok PEMBAHASAN
kontrol dan perlakuan mayoritas adalah Berdasarkan studi pendahuluan dengan
perempuan. Dengan pendidikan mayoritas menggunakan kuesioner, ditemukan mayoritas
lulusan SD pada kelompok kontrol maupun
pasien kusta masih memiliki pengetahuan kurang
kelompok perlakuan. Dilihat dari segi pekerjaan
mayoritas responden tidak bekerja pada yang disertai kurangnya kemandirian dalam hal
kelompok perlakuan yakni sejumlah 62,5%, perawatan diri. Untuk mengetahui bagaimana
namun pada kelompok kontrol jumlah responden pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
yang bekerja dan yang tidak bekerja memiliki kemandirian, maka dilakukan penelitian
prosentase yang sama, yakni 50%. pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi terhadap kemandirian perawatan diri
Tabel 1. Karakteristik responden penelitian
pada pasien kusta cacat tingkat II di Rumah Sakit
pengaruh demonstrasi terhadap kemandirian
Sumberglagah, Mojokerto. Hasil kemandirian
perawatan diri pada pasien kusta cacat tingkat II
perawatan diri diukur menggunakan alat ukur
Karakteris Para Per kuesioner kemandirian perawatan diri dari tesis
tik meter lakuan Kontrol Fauzin A (2009) dalam Lilik (2011). Sebelum
Responden intervensi dilakukan terdapat 7 pasien (87,5%)
Jenis Laki – laki 25% 25% pada kelompok perlakuan dan 7 pasien (87,5%)
Kelamin Perempuan 75% 75% pada kelompok kontrol memiliki kemandirian
Umur 20 – 30 0% 25% perawatan diri yang kurang. Hal ini terjadi karena
31 – 40 62,5% 12,5% adanya faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin,
41 – 50 37,5% 62,5% pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan.
Pendidika Tidak 12,5% 25 % Secara patofisiologis faktor jenis kelamin tidak
n Sekolah begitu berpengaruh terhadap perkembangan
SD 50 % 62,5 % penyakit. Namun pada hasil penelitian diperoleh
SMP 37,5 % 12,5 % hasil bahwa responden wanita lebih banyak
SMA 0% 0% daripada responden laki-laki. Hal ini sesuai
Pekerjaan Bekerja 37,5 % 50 % dengan penelitian yang dilakukan Ghimire
(2000) di Nepal yang membuktikan bahwa
Tidak 62,5 % 50 %
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan
Bekerja
memiliki persentase lebih tinggi mengalami
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
deformitas sekunder. dengan prosentase laki-laki
perbedaan kemandirian sebelum dan sesudah
59%, sedangkan untuk wanita 67%. Hal ini
dilakukan intervensi dengan demonstrasi cara
terjadi karena pola kerja dalam budaya Nepal
perawatan diri pada kusta. Pada kelompok
umumnya wanita menggunakan tangan dan kaki
perlakuan hasil uji Wilcoxon menunjukkan p=
lebih sering daripada laki-laki untuk beraktivitas
0,016 dan pada kelompok kontrol didapatkan p=
sehari-hari.
0,102. Sedangkan pada uji Mann Whitney antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol Pada penelitian ini, sebagian besar sampel yang
diperoleh p= 0,001. Yang artinya menunjukkan diperoleh adalah wanita, dimana responden
efektifitas metode demonstrasi dalam tersebut berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
peningkatan kemandirian pasien kusta cacat sehingga resiko deformitas akibat bersinggungan
tingkat II. dengan alat-alat masak dan alat rumah tangga
39
seperti kompor, setrika, pisau, dan lain-lain juga faktor yang paling berpengaruh pada masyarakat
lebih besar. di Sumberglagah. Karena semakin tinggi
pendidikan, maka kemampuan mengakses
Beberapa dari masyarakat Sumberglagah adalah
Tabel 2. Tabel Wilcoxon dan Mann Whitney kemandirian perawatan diri sebelum dan sesudah diberikan
intervensi pendidikan kesehatan metode demonstrasi
45