Sie sind auf Seite 1von 11

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN METODE DEMONSTRASI

TERHADAP KEMANDIRIAN PERAWATAN DIRI PADA PASIEN KUSTA


CACAT TINGKAT II DI RUMAH SAKIT SUMBERGLAGAH MOJOKERTO

(THE INFLUENCE OF HEALTH EDUCATION BY DEMONSTRATION METHOD


IN SELF CARE INDEPENDENCE FOR DISABILITY 2nd GRADE OF LEPROSY AT
sumberglagah hospital in Mojokerto )

Erlysa Diah Pangestuti*, Sriyono**, Ferry Efendi**


*) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga
**) Staf pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 Telp. (031)5913752, 5913754, Fax.(031)5913257
Email: Edelweiss_cha@ymail.com

ABSTRACT

Lack of self-care independence is a phenomenon that appears on an outpatient at


the sumberglagah hospital, Mojokerto. Most of the patients have less independence in self-
care efforts in leprosy, causing a faster rate of patients to the disability process. The data
explained that the demonstration method can improve self-care independence. This
research was aimed to analyze the influence of health education with demonstration
method in self care independent for disability 2 nd grade of leprosy. Design used in this
research was quasy experimental pre post test designed. The sampling technique used was
purposive sampling. Samples were taken from those suitable with inclusion criteria, with
total samples were 16 people. The independent variable was intervention of health
education with demonstration method and the dependent variable was self care
independence on leprosy measured by questioner and observation instrument of
independence. Data were analyzed by Wilcoxon signed rank test and Mann Whitney test
significance  < 0,05. Result showed that treatment group has significance level p=0.016
and control group has significance level p=0.102 and the result of Mann whitney test
showed p 0.001. This study describes the demonstration method can improve the level of
self-care independence of disabled leprosy patients in 2 nd grade. Demonstration method
can help leprosy patients in terms of habit and routine care for themselves independently,
to prevent further disability. This method can also be offered at the hospital sumberglagah
to keep providing health education demonstration method in outpatient leprosy patients. It
can also be a solution to decrease amount of disabled leprosy patients in Indonesia.

Keyword: leprosy, demonstration method, self care independence

35
PENDAHULUAN memiliki pengetahuan kurang sehingga
Kusta adalah penyakit tertua yang dikenal kemandirian dalam kategori baik pun
manusia. Catatan paling awal menjelaskan bahwa menunjukkan prosentase 30%. Sedangkan 70%
kusta berasal dari India sekitar periode 600 SM sisanya menunjukkan kemandirian dalam
(Edward, 2010). Kusta merupakan penyakit kategori kurang baik. Kemandirian yang kurang
menular yang menahun dan disebabkan oleh baik disini maksudnya adalah ketidakmampuan
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, seseorang untuk merawat diri sendiri dalam hal
kulit, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf perawatan terkait penyakit kusta yang akhirnya
pusat (Mansjoer, 2000). Masalah psikososial yang berdampak pada kecacatan seperti jari kiting,
timbul pada penderita kusta lebih menonjol lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup
dibandingkan dengan masalah medisnya. Penyakit rapat, maupun luka pada kornea. Masalah lain
ini memerlukan pengobatan secara terus menerus seperti tidak diterimanya mereka oleh petugas
dan paripurna sampai dapat mencapai kesehatan di beberapa puskesmas akibat
kemandirian perawatan diri. Kurangnya leprophobia juga menjadi salah satu faktor
manajemen dan ketepatan strategi oleh instansi kembalinya pasien kusta secara berulang ke
maupun perawat menyebabkan penyuluhan dan Rumah Sakit (RSK Sumberglagah). Upaya yang
pendidikan kesehatan kepada pasien juga semakin dilakukan selama ini adalah dengan memberikan
sempit, sehingga perawat perlu membuat rencana penyuluhan dengan metode ceramah, namun
tindak lanjut yang tepat untuk pasien di rumah masih belum maksimal terutama bagi yang rawat
(Kozier, 2010). jalan. Salah satu bentuk pendidikan kesehatan
bisa dilakukan adalah dengan metode
WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta demonstrasi. Dimana metode demonstrasi ini
menjadi tiga tingkat antara lain tingkat 0, tingkat bertujuan untuk memperagakan suatu peroses,
1, dan tingkat 2, dimana tingkat 2 terjadi jika situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari
ditemukan cacat akibat kerusakan saraf dan (Djamarah et al, 2006). Kelebihan metode ini
terlihat adanya borok, luka, jari kiting, lunglai, adalah pasien dapat mencoba melakukan sendiri
pemendekan, mata tidak dapat menutup rapat, apa yang telah diajarkan (Nursalam dan Efendi, F
maupun luka pada kornea. Data RS 2008). Metode pendidikan kesehatan dengan
Sumberglagah (2011), menunjukkan bahwa demonstrasi selama ini belum pernah diterapkan
pasien kusta cacat tingkat II yang menderita kusta di RSK Sumberglagah, karena yang ada selama
dengan ulkus masih menempati urutan pertama ini adalah metode ceramah saja, tanpa ada
dalam data pengunjung rawat jalan. Sampel data praktek seperti pada metode demonstrasi,
bulan Oktober – Desember 2011, rata-rata pasien sehingga pengaruh metode demonstrasi terhadap
yang mengalami ulkus tersebut kembali secara peningkatan kemandirian perawatan diri pada
berulang dalam satu bulan dengan keadaan ulkus penderita kusta cacat tingkat II di RSK
yang makin parah serta indikasi bertambah Sumberglagah Mojokerto perlu diteliti.
parahnya kecacatan akibat kurang kemandirian
dalam hal merawat diri maupun merawat luka. Menurut laporan resmi WHO (2010) yang
diterima dari 121 negara dan wilayah, prevalensi
Berdasarkan studi pendahuluan dengan terdaftar global kusta pada awal 2009 tercatat
menggunakan kuesioner dan penelitian sebesar 213 036 kasus, sedangkan jumlah kasus
sebelumnya, sebanyak 7 dari 10 responden baru terdeteksi selama 2008 adalah 249 007.

36
Jumlah kasus baru terdeteksi secara global telah hingga terjadi ulkus, bahkan dapat terjadi neuritis
menurun 9126 (penurunan 4%) selama tahun (WHO, 2012). Berdasarkan hasil penelitian
2008 dibandingkan dengan 2007. Berdasarkan mengenai faktor-faktor yang berhubungan
laporan WHO Expert Committee on Leprosy dari dengan perawatan diri dalam upaya pencegahan
beberapa negara tercatat bahwa rata-rata setelah kecacatan kusta di Jepara, didapatkan beberapa
selesai pengobatan kusta terdapat 75% penderita faktor yang berpengaruh, yakni faktor
kusta dengan kecacatan, sedang 25% penderita pengetahuan, tingkat ekonomi, peran petugas,
kusta tidak mengalami kecacatan (Singhi et al., dan peran keluarga (Estiningsih, 2006). Hanya
2004). Indonesia merupakan urutan ketiga jumlah 56% dari penderita kusta yang mengetahui
kasus kusta terbesar di dunia. Dimana kasus tentang risiko yang mereka akan menghadapi,
terbanyak di Jawa Timur sejumlah 4.653 kasus. bahkan 93% dari pasien dengan jelas
Sedang urutan kedua di Jawa Barat (1.749 kasus) menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang
dan ketiga Jawa Tengah (1.740 kasus) (Tarigan, self care (Garcia, 2008). Berbagai upaya dalam
2012). Pada tahun 2005 tercatat 21.537 penderita melakukan pencegahan kecacatan dengan
kusta di Indonesia, jumlah kasus baru sebanyak memanajemen komplikasi yang terjadi sangat
19.695 penderita, 8,74 % penderita mengalami dipengaruhi oleh perilaku kesehatan penderita.
cacat tingkat 2 dan 9.1 % penderita adalah pada Penambahan pengetahuan dapat meningkatkan
usia anak (Depkes, 2006). Data Pasien rawat perubahan positif dalam perilaku perawatan diri
jalan Rumah Sakit Kusta Sumberglagah, dan pengelolaan ulkus, sehingga kurang lebih
mojokerto menunjukkan jumlah penderita kusta mengurangi prevalensi terjadinya ulkus sekitar
tahun 2011 mencapai angka 6470 orang, setelah 50%, yang artinya juga mengurangi kecacatan
tahun 2010 data kunjungan menunjukkan angka (Arief, 2008).
5416, yang artinya terjadi peningkatan terkait
kasus kusta. Data menunjukkan pasien lama lebih Menurut penelitian Ganapati et al (2003), yang
sering terdaftar dalam data pengunjung dilakukan terhadap 454 pasien kusta diperoleh
dibandingkan dengan jumlah pasien baru. Pasien hasil bahwa pasien kusta yg telah melakukan
kusta cacat tingkat II yang menderita ulkus masih perawatan diri dengan baik selama 4 tahun dapat
menempati urutan pertama dalam data membantu memperbaiki tingkat kecacatan lebih
pengunjung rawat jalan. Angka Kecacatan dari 50% dari pasien. Kurangnya perawatan diri
tingkat II di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah seperti mempertahankan ROM, merawat luka,
pada tipe Multibasillari (MB) sebesar 89,5% dan serta perawatan bagian yang mati rasa, baik
pada tipe Pausibasillari (PB) 10,5%. Sampel data dalam bidang kognitif (pengetahuan), afektif
bulan Oktober-Desember 2011 menunjukkan (sikap), maupun psikomotor (tindakan) pada
bahwa kurang lebih 20 orang dengan kusta penderita kusta dapat mengakibatkan kerusakan
datang setiap harinya. Rata-rata pasien yang akan bertambah semakin berat (Putra, 2008).
mengalami ulkus tersebut kembali secara Menentukan dan mengobati dengan tepat
berulang dalam rentang satu bulan dengan merupakan salah satu aspek pencegahan cacat
keadaan ulkus yang makin parah (Sumberglagah, yang penting. Peningkatkan perawatan diri
2011). penderita kusta ternyata dipengaruhi oleh
Pasien dengan kusta dapat mengalami komplikasi pengetahuan dan keterampilan/tindakan pasien
yang berupa gangguan mata, kerusakan saraf (Arief, 2008). Ethirajand Mathew (dikutip oleh
yang ditunjukkan dengan mudahnya cidera cross, 2007) dalam studinya juga menyebutkan

37
bahwa penambahan pengetahuan dapat yang telah dikenal sebelumnya. Sampel diambil
meningkatkan perubahan positif dalam perilaku sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang
perawatan diri dan pengelolaan ulkus, sehingga telah ditentukan, dengan jumlah sampel sebanyak
kurang lebih mengurangi prevalensi terjadinya 16 orang. Penelitian dilakukan selama bulan Juni
ulkus sekitar 50%, yang artinya juga mengurangi 2012.
kecacatan (Arief, 2008). Pendidikan kesehatan Variabel independen dalam penelitian ini adalah
dengan metode demonstrasi merupakan pendidikan kesehatan dengan metode
pertunjukan tentang proses terjadinya suatu demonstrasi. Yakni mendemonstrasikan
perawatan tangan, kaki, dan mata. Sedangkan
peristiwa atau benda sampai pada penampilan.
variabel dependen dalam penelitian ini adalah
tingkah laku yang dicontohkan agar lebih mudah kemandirian perawatan diri.. Instrumen yang
dipahami (Sagala, 2010). digunakan dalam pengumpulan data tentang
pelaksanaan perawatan diri pada pasien kusta
Dalam permasalahan di atas, metode demonstrasi menggunakan lembar kuesioner yang berbentuk
dipandang sebagai metode yang efektif karena pilhan ganda untuk menggali pengetahuan dan
dapat memberikan pemahaman yang lebih kemandirian pasien. Kuesioner merupakan
modifikasi dari kuesioner yang pernah digunakan
konkrit tentang langkah – langkah suatu proses
oleh Lilik (2011) yang merupakan peneliti
(Gintings, 2008). Menurut Notoatmodjo (2007), sebelumnya.
salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan yaitu faktor predisposisi (predisposing Kemandirian perawatan diri dapat dilihat dari
factor) terdiri dari pengetahuan, sikap, dan hal- observasi melalui kuesioner. Pengumpulan data
hal yang dapat merubah sikap seseorang untuk dilaksanakan setelah peneliti mendapat ijin untuk
melakukan suatu tindakan. Oleh sebab itu, melakukan penelitian. Peneliti datang ke Rumah
Sakit untuk melakukan pre test, demonstrasi, dan
peneliti ingin menggali lebih lanjut terkait
post test. Data yang telah dikumpulkan kemudian
pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode dioleh dan dianalisis dengan menggunakan
demonstrasi terhadap peningkatan kemandirian menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank
perawatan diri pada penderita kusta cacat tingkat Test untuk mengetahui adanya perbandingan
II di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah antara keadaan sebelum dan sesudah dilakukan
Mojokerto. demonstrasi. Setelah itu dilanjutkan denga uji
Mann Whitney Test untuk mengetahui
perbandingan antara kelompok perlakuan dan
BAHAN DAN METODE kelompok kontrol. Pengaruh antara variabel
Desain penelitian ini adalah pre-experimental independen dan dependen tergantung dengan
dengan menggunakan pendekatan Quasy derajat kemaknaan atau tingkat signifikasi α <
Experiment. Populasi dalam penelitian ini adalah 0,05. Dari hasil perbandingan akan ditentukan
pasien kusta cacat tingkat II yang menjalani rawat hipotesa diterima atau ditolak.
jalan di Rumah sakit kusta Sumberglagah
Mojokerto, yang bertempat tinggal di sekitar
HASIL
Rumah sakit. Penelitian ini menggunakan
purposive sampling yaitu teknik pemilihan Berdasarkan tabel 1. tentang karakteristik
sampel dengan menetapkan sampel dengan cara responden dilihat dari segi umur didapatkan data
memilih sampel diantara populasi sesuai dengan mayoritas responden berumur 31-40 tahun yaitu
yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel sebanyak 5 orang (62,5%) pada kelompok
perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi
sebanyak 62,5% berumur antara 41 – 50 tahun.
38
Dilihat dari segi jenis kelamin, pada kelompok PEMBAHASAN
kontrol dan perlakuan mayoritas adalah Berdasarkan studi pendahuluan dengan
perempuan. Dengan pendidikan mayoritas menggunakan kuesioner, ditemukan mayoritas
lulusan SD pada kelompok kontrol maupun
pasien kusta masih memiliki pengetahuan kurang
kelompok perlakuan. Dilihat dari segi pekerjaan
mayoritas responden tidak bekerja pada yang disertai kurangnya kemandirian dalam hal
kelompok perlakuan yakni sejumlah 62,5%, perawatan diri. Untuk mengetahui bagaimana
namun pada kelompok kontrol jumlah responden pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
yang bekerja dan yang tidak bekerja memiliki kemandirian, maka dilakukan penelitian
prosentase yang sama, yakni 50%. pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi terhadap kemandirian perawatan diri
Tabel 1. Karakteristik responden penelitian
pada pasien kusta cacat tingkat II di Rumah Sakit
pengaruh demonstrasi terhadap kemandirian
Sumberglagah, Mojokerto. Hasil kemandirian
perawatan diri pada pasien kusta cacat tingkat II
perawatan diri diukur menggunakan alat ukur
Karakteris Para Per kuesioner kemandirian perawatan diri dari tesis
tik meter lakuan Kontrol Fauzin A (2009) dalam Lilik (2011). Sebelum
Responden intervensi dilakukan terdapat 7 pasien (87,5%)
Jenis Laki – laki 25% 25% pada kelompok perlakuan dan 7 pasien (87,5%)
Kelamin Perempuan 75% 75% pada kelompok kontrol memiliki kemandirian
Umur 20 – 30 0% 25% perawatan diri yang kurang. Hal ini terjadi karena
31 – 40 62,5% 12,5% adanya faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin,
41 – 50 37,5% 62,5% pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan.
Pendidika Tidak 12,5% 25 % Secara patofisiologis faktor jenis kelamin tidak
n Sekolah begitu berpengaruh terhadap perkembangan
SD 50 % 62,5 % penyakit. Namun pada hasil penelitian diperoleh
SMP 37,5 % 12,5 % hasil bahwa responden wanita lebih banyak
SMA 0% 0% daripada responden laki-laki. Hal ini sesuai
Pekerjaan Bekerja 37,5 % 50 % dengan penelitian yang dilakukan Ghimire
(2000) di Nepal yang membuktikan bahwa
Tidak 62,5 % 50 %
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan
Bekerja
memiliki persentase lebih tinggi mengalami
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
deformitas sekunder. dengan prosentase laki-laki
perbedaan kemandirian sebelum dan sesudah
59%, sedangkan untuk wanita 67%. Hal ini
dilakukan intervensi dengan demonstrasi cara
terjadi karena pola kerja dalam budaya Nepal
perawatan diri pada kusta. Pada kelompok
umumnya wanita menggunakan tangan dan kaki
perlakuan hasil uji Wilcoxon menunjukkan p=
lebih sering daripada laki-laki untuk beraktivitas
0,016 dan pada kelompok kontrol didapatkan p=
sehari-hari.
0,102. Sedangkan pada uji Mann Whitney antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol Pada penelitian ini, sebagian besar sampel yang
diperoleh p= 0,001. Yang artinya menunjukkan diperoleh adalah wanita, dimana responden
efektifitas metode demonstrasi dalam tersebut berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
peningkatan kemandirian pasien kusta cacat sehingga resiko deformitas akibat bersinggungan
tingkat II. dengan alat-alat masak dan alat rumah tangga

39
seperti kompor, setrika, pisau, dan lain-lain juga faktor yang paling berpengaruh pada masyarakat
lebih besar. di Sumberglagah. Karena semakin tinggi
pendidikan, maka kemampuan mengakses
Beberapa dari masyarakat Sumberglagah adalah
Tabel 2. Tabel Wilcoxon dan Mann Whitney kemandirian perawatan diri sebelum dan sesudah diberikan
intervensi pendidikan kesehatan metode demonstrasi

NO Skor Tindakan Kemandirian Perawatan Diri


Perlakuan Kontrol Kelompok Perlakuan Kelompok
Kontrol
Pre Post Peningkatan Pre Post Peningkatan Sesudah Sesudah
skor skor
1 5 10 5 5 5 0 10 5
2 7 9 2 4 5 1 9 5
3 5 10 5 6 6 0 10 6
4 6 11 5 5 7 2 11 7
5 5 10 5 5 7 2 10 7
6 6 9 3 4 4 0 9 4
7 6 9 3 9 9 0 9 9
8 12 11 -1 6 6 0 11 6
Mean 6,50 9,87 5,50 6,12 9,87 6,12
SD 2,32993 0,83452 1,60357 1,55265 0,83452 1,55265
∑ 27 ∑ 5
Mann Whitney Test α
≤ 0,05
P= 0,001
Wilcoxon Sign Rank Wilcoxon Sign Rank Test
Analisis Test α≤ 0,05 α≤ 0,05
p= 0,016 p= 0,102

masyarakat produktif, sehingga waktu yang informasi semakin baik.


digunakan untuk merawat diri semakin sempit di
samping kesadaran yang kurang pada awal Berdasarkan Hasil uji X² pada penelitian lilik
sebelum mendapat intervensi. Hal ini didukung (2011) sebelumnya menunjukkan ada hubungan
pula oleh faktor pendidikan yang rendah, bahkan pengetahuan pasien dengan kemandirian. Hal ini
pada hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan
sebagian besar responden hanya mengenyam bahwa pengetahuan merupakan domain penting
pendidikan setara sekolah dasar (SD). untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik
Pengetahuan responden pada kelompok pengetahuan seseorang, maka semakin mudah
perlakuan maupun kelompok kontrol pada saat menerima dan memahami informasi sehingga
dilakukan pre test menunjukkan hasil yang sama, menyebabkan angka kemandirian pasien semakin
yakni sebagian besar responden memiliki tinggi. Apabila pengetahuan pasien terhadap
pengetahuan dalam kategori kurang. Sehingga penyakit meningkat, maka kecemasan dan
pekerjaan dan pendidikan menjadi salah satu ketakutan pasien akan berkurang. Selain itu dapat
40
pula mempengaruhi pasien untuk bertindak perawatan diri secara mandiri di rumah, mereka
secara mandiri dalam melakukan perawatan diri, lebih mengandalkan fasilitas yang ada di rumah
Notoatmodjo (2007). sakit. Pasien hanya melakukan perawatan diri
ketika datang ke rumah sakit saja. Alasannya
Oleh karena itu, pengetahuan juga merupakan adalah karena tempat tinggal yang sangat dekat
salah satu faktor yang paling berpengaruh dengan rumah sakit. Padahal perawatan kusta
terhadap tingkat kemandirian pasien, karena harus dilakukan setiap hari dengan mandiri ketika
dengan pengetahuan yang baik, seseorang akan di rumah. Tidak hanya itu, mayoritas pasien
mampu menganalisis urgensi perawatan kusta ketika ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan
sehingga pemahamannya lebih baik pula. Dengan dengan pengetahuan penyakit, ternyata rata-rata
begitu otomatis juga akan menimbulkan pertanyaan belum dapat dijawab dengan benar.
peningkatan kesadaran dalam hal kemandirian
yang baik. Pendidikan kesehatan adalah sejumlah
pengalaman yang berpengaruh secara
Kusta merupakan penyakit yang lambat laun menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap, dan
mengakibatkan terjadinya kecacatan pada bagian pengetahuan yang ada hubungannya dengan
tubuh terutama extremitas dan mata jika tidak kesehatan perseorangan, masyarakat, dan bangsa
mendapat perawatan dengan benar. Meskipun (Machfoedz, 2007). Sehingga dengan pengaruh
tahap untuk sampai pada tingkat kecacatan pendidikan kesehatan dapat terbentuk
membutuhkan waktu yang cukup lama, namun pengetahuan dan tindakan kemandirian yang
perawatan diri merupakan hal yang penting agar bermanfaat bagi individu, kelompok, pihak
cacat yang dialami penderita tidak bertambah rumah sakit, dan dampak terbesarnya adalah
berat (Depkes, 2007). Menurut hasil penelitian penurunan tingkat perkembangan penyakit kusta.
disebutkan bahwa penderita kusta yang tidak dimana kita tahu indonesia merupakan endemik
melakukan perawatan diri memiliki risiko empat kusta terbesar ke tiga di dunia (Tarigan, 2012).
kali lebih tinggi untuk terkena cacat dari pada Pada saat kegiatan demonstrasi, fasilitator
penderita yang melakukan perawatan diri menyampaikan materi dengan menggunakan alat
(Kurnianto, 2003). peraga seperti ember untuk rendam, phantom,
Pasien pada penelitian ini mayoritas adalah dan peralatan peraga lain seperti pada definisi
pasien yang pernah rawat inap di Rumah Sakit demonstrasi, yakni pertunjukan tentang proses
sumberglagah. Pada saat dirawat tersebut terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai
pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan
sebetulnya pasien sudah mendapatkan
pendidikan kesehatan berupa penyuluhan dengan agar dapat diketahui dan dipahami oleh peserta
metode ceramah, sehingga diharapkan ketika di didik secara nyata atau tiruannya (Sagala, 2010).
rumah mereka dapat mengaplikasikan perawatan Sehingga dalam demonstrasi peralatan peraga
sangat diperlukan.
diri yang dilakukan secara mandiri seperti
melatih, merendam, mengolesi vaselin atau Pendidikan kesehatan memiliki peran penting
minyak, dan meluruskan jari tangan dan jari kaki, dalam pengendalian kusta. Salah satu pendidikan
serta merawat dan menjaga mata agar dapat tetap kesehatan adalah metode demonstrasi yang
melihat dengan normal (Depkes RI, 2010). dilakukan oleh petugas kesehatan mengenai
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan perawatan diri. Metode ini dipilih dalam
bahwa mayoritas pasien tidak melakukan menyampaikan pendidikan kesehatan agar dapat
41
menambah pengetahuan pasien rawat jalan progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga
terkait penyakit kusta beserta tehnik perawatan dan teman-temannya (Munir, 2001). Berasal dari
diri. Metode ini dianggap paling efektif terhadap kehilangan fungsi sosial dan status sosial yang
keadaan pasien rawat jalan, dimana beberapa normal, dapat mempengaruhi ketidakmauan
pasien sebetulnya mengatahui bagaimana melaksanakan perawatan diri secara mandiri.
perawatan diri tetapi tidak mau atau malas
mengaplikasikan sendiri di rumah. Dengan Setelah dilakukan intervensi pasien kembali
metode ini diharapkan efek positif dapat timbul diminta untuk mengisi kuesioner. Hasil post test
dalam tindakan pasien terhadap penyakitnya. pasca diberikan intervensi pendidikan
kesehatan metode demonstrasi menunjukkan
Materi yang disampaikan pada saat demonstrasi bahwa mayoritas responden pada kelompok
berlangsung ternyata memang tak hanya murni perlakuan mengalami peningkatan pengetahuan
segala hal yang berkaitan dengan perawatan diri dan kemandirian yang cukup signifikan, yakni
saja. Melainkan perlu beberapa hal yang berada dalam kategori baik dan sedang. Namun
berkaitan dengan motivasi. Motivasi sangat pada kelompok kontrol tidak mengalami
dibutuhkan pasien, meskipun sebagian besar dari peningkatan yang signifikan karena mayoritas
mereka sudah lama menderita kusta, tetapi pasien tetap berada pada kategori kurang.
sebagian besar pasien masih memiliki
kepercayaan diri yang masih labil, sehingga Sesuai dengan teori tentang pendidikan menurut
ketika membahas mengenai perjalanan penyakit Kuntjoroningrat (1997) yang dikutip Nursalam
terdahulu sampai saat ini, membuat beberapa (2001) bahwa semakin tinggi pendidikan
orang dari pasien teringat kembali terhadap hal- seseorang maka semakin mudah seseorang
hal buruk dari penyakit kusta yang mereka alami. menerima informasi. Dengan latar belakang
Masa lalu tersebut rupanya mempengaruhi pendidikan yang baik maka akan berpengaruh
motivasi pasien dalam tindakan perawatan diri dalam penerimaan informasi dan motivasi
sehingga akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pasien, serta dalam menerapkan pengajaran,
hidup pasien. Menurut Leprosy Review (2005) bertanggung jawab dan mampu merubah
dalam Soedarjatmi (2009) menyatakan bahwa perilaku pasien dan keluarga dalam memelihara
penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas perilaku sehat, dan berperan aktif dalam
pada kehidupan penderita mulai dari perkawinan, perawatan diri, sehingga pasien mampu
pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan mendayagunakan kemampuan yang dimiliki
bisnis, serta peran mereka di lingkungan saat sakit ataupun setelah sakit.
masyarakat. Penyakit kusta juga menimbulkan Pendidikan kesehatan metode demonstrasi
masalah yang sangat kompleks, masalah yang dapat menjadi sarana yang efektif dalam
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi menambah pengetahuan pasien terkait hal-hal
meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
mengenai kusta, karena pada metode ini tak
psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan hanya penyampaian meteri saja, namun juga
nasional (Depkes RI, 2005). Kecacatan yang disertai pelatihan bersama untuk tindakan
berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta merawat diri pada kusta. Sehingga responden
penanganan yang baik akan menimbulkan
yang memang mengenyam pendidikan
ketidakmampuan melaksanakan fungsi sosial sebelumnya, maupun responden yang sama
yang normal serta kehilangan status sosial secara sekali tidak menganyam pendidikan sama-sama
42
dapat memahami lebih jauh segala hal ditemukan 1 pasien yang pada saat pre test
mengenai pengetahuan penyakit, serta dapat maupun post test hasilnya sama yakni dalam
meningkatkan kemandirian perawatan diri. kategori kemandirian yang baik, meskipun
Seperti halnya sebuah pekerjaan, ada pekerjaan secara penghitungan prosentase nilainya
yang membutuhkan pendidikan, dan ada yang mengalami penurunan. Pasien tersebut sangat
pekerjaan yang hanya membutuhkan pelatihan. antusias pada saat proses demonstrasi
berlangsung, serta suami pasien tersebut sangat
Hasil uji statistik dengan menggunakan mendukung dalam penyembuhan dengan cara
Wilcoxon Sign Rank Test ditemukan adanya membantu mencarikan informasi melalui
peningkatan kemandirian perawatan diri pasien internet, sehingga sebelum dilakukan
kusta cacat tingkat II pada kelompok perlakuan demonstrasi pasien memang sudah lebih paham
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi mengenai penyakit kusta dibanding pasien yang
pendidikan kesehatan metode demonstrasi lain. Namun adanya gangguan eksternal seperti
dengan nilai p=0,016. Berarti p<α<0,05, maka penurunan perhatian atau kondisi lingkungan
H1 diterima, artinya ada pengaruh yang berpengaruh terhadap output dari kegiatan
signifikan yaitu pendidikan kesehatan metode demonstrasi, sehingga ada beberapa pasien yang
demonstrasi terhadap kemandirian perawatan mengalami penurunan skor tetapi masih dalam
diri pada pasien kusta cacat tingkat II. Pada kategori mandiri, baik pada saat pre test maupun
kelompok kontrol tidak ditemukan perubahan post test.
kemandirian perawatan diri yang berarti, baik
sebelum maupun sesudah dilakukan pendidikan SIMPULAN DAN SARAN
kesehatan metode demonstrasi. Pada kelompok Simpulan
kontrol dihasilkan nilai p=0,102, berarti Terjadi peningkatan kemandirian pasien dalam
p>α>0,05, maka H1 ditolak, artinya tidak ada perawatan diri karena pada akhirnya pasien
pengaruh yang signifikan. Hasil uji statistik mendapat pengetahuan dan pelatihan langsung,
sehingga semakin jelas urgensi perawatan diri
dengan Mann whitney didapatkan p = 0,001 yang
pada pasien kusta, serta makin terbiasanya pasien
artinya p<α<0,05, sehingga ada perbedaan yang melakukan perawatan secara mandiri.
signifikan antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol yang berarti ada pengaruh Kemandirian pasien mengalami perubahan yang
pendidikan kesehatan metode demonstrasi signifikan setelah dilakukan intervensi berupa
terhadap kemandirian perawatan diri pada pasien pendidikan kesehatan metode demonstrasi,
kusta cacat tingkat II di Rumah Sakit sehingga pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi berpengaruh terhadap kemandirian
Sumberglagah Mojokerto.
perawatan diri pasien kusta cacat tingkat II,
terutama pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit
Pada kelompok perlakuan didapatkan hasil yang
Sumberglagah, Mojokerto.
signifikan karena dipengaruhi oleh pelaksanaan
kegiatan demonstrasi yang telah sesuai dengan Saran
keadaan di tempat penelitian, meskipun harus
mengkondisikan pasien yang kebetulan Bagi pasien kusta cacat tingkat II disarankan
memiliki kepentingan lain di luar Rumah Sakit. untuk tetap melakukan perawatan diri secara
Peningkatan terjadi pada sebagian besar pasien, mandiri karena perawatan setiap hari sesuai
dengan ketentuan dapat memperlambat bahkan
yang awalnya dalam kategori kurang mandiri
mengurangi resiko kecacatan.
menjadi kategori baik / mandiri. Tetapi
43
Leprosy: A Field experience, Indian J
Bagi perawat hendaknya dapat mengembangkan Dermatol Venereol Leprol, Volume 6..
intervensi pendidikan kesehatan metode
demonstrasi, tidak hanya pada pasien rawat inap, Garcia, N 2008, New approach about the current
tetapi juga pada pasien rawat jalan. paradigm of the selfcare in leprosy.
Instituto Lauro de Souza Lima:
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat Hansenologia Internationalis, diakses
menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor lain tanggal 14 Maret 2012
penyebab kurangnya kemandirian pada pasien <http://www.ilsl.br/revista/index.php/hi/ar
kusta dengan metode wawancara sehingga dapat ticle /viewFile/1030/1061>.
dilihat keterkaitan antara faktor-faktor baru Ghimire, M 2000, Bentuk Kelainan Sekunder
secara lebih luas. pada Kusta-sebuah perspektif sosial
ekonomi. Diakses tanggal 10 Juli 2012,
KEPUSTAKAAN http://www.aifo.it/english/resources/onlin
Depkes RI, 2006, Kusta, Balai penerbit FKUI, e/apdrj/apdrj102/leprosy.pdf Nepal.
Jakarta. Kurnianto, J 2002, Faktor-faktor resiko yang
Depkes RI, 2005, Buku Pedoman Nasional berhubungan dengan kecacatan penderita
Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan kusta di Kabupaten Tegal - Masters thesis
XVII, Direktorat Jendral PPM dan PLP, Program Pascasarjana Universitas
Jakarta. Diponegoro, diakses tanggal 14 April
Djamarah dan Zain, DZ 2006, Strategi belajar 2012, <http://eprints.undip.ac.id/14286/>.
mengajar, Rineka Cipta, Jakarta. Lilik, S 2011, Modul pendidikan pada pasien
Eremugo, E 2010, Memahami stigma kusta edisi Kusta dalam meningkatkan kemandirian,
ke 3, diakses tanggal 12 Maret 2012 skripsi mahasiswa FKp Unair, Surabaya.
<http://www.southsudanmedicaljournal.c Machfoedz, M 2007, Pendidikan kesehatan
om/assets/files/Journals/vol_3_iss_3_aug_ bagian dari promosi kesehatan,
10/Leprosy%20stigma.pdf>. Fitr’amaya, Yogayakarta.
Estiningsih, Y 2006, Faktor-faktor yang Mansjoer, dkk, M 2000, Kapita selecta
berhubungan dengan perawatan diri kedokteran edisi ke3, Media Aesculapius,
dalam upaya pencegahan kecacatan Jakarta.
penderita kusta di puskesmas
kalinyamatan. Munir Baderal. 2001. Dinamika Kelompok
Penerapannya dalam laboratorium Ilmu
Firmansyah, Arief , AF 2008, Self care group di Perilaku. Universitas Sriwijaya.
kusta kontrol program di Indonesia tesis Palembang.
untuk master public health royal tropical
institute Amsterdam, diakses tanggal 14 Notoatmodjo, S 2005, Promosi kesehatan teori
April 2012, <http://www. dan aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
search4dev.nl/document/185295>.
Nursalam, N, Efendi, F 2008. Pendidikan dalam
Ganapati, R, Pai, VV, Kingsley S, 2003, keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Disability prevention and management in
44
Nursalam, N 2008, Konsep & penerapan
metodologi penelitian ilmu keperawatan:
pedoman skripsi, tesis, dan instrumen
penelitian keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta.

Putra, I 2008, Pencegahan kecacatan pada


tangan penderita kusta. departemen ilmu
kesehatan kulit dan kelamin fakultas
kedokteran universitas sumatera utara
RSUP H. Adam Malik Medan, diakses
tanggal 14 April 2012,
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123
456789/3430/1/08E00072.pdf. >.

Sagala, S 2010, Konsep dan makna


pembelajaran, CV Alfabeta, Bandung.

Singhi MK., Ghiya BC., Dhruv G., Dilip K.,


2004, “Disability rates in leprosy”,

Indian J Dermatol Venereol Leprol,


Volume 70 (5).

Soedarjatmi, dkk 2009, Faktor-faktor Yang


Melatarbelakangi Persepsi
PenderitaTerhadap StigmaPenyakit
Kusta. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia Vol. 4 / No. 1 / Januari 2009.

WHO, 2012, Perawatan kusta, diakses tanggal


29 maret 2012,
<http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e
/9.html>

45

Das könnte Ihnen auch gefallen