Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
REVITALISASI PERTANIAN*)
Environmental Issues and Management in Agricultural Revitalization
Abstract
*)
Dicetak ulang dari Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Reprinted from Indonesian
Agricultural Research and Development Journal), 2006, Vol. 25, No. 3
Las et al.
Abstrak
PENDAHULUAN
174
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
175
Las et al.
176
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
untuk ketahanan pangan nasional tentu riskan terhadap berbagai aspek kehidupan,
termasuk ekonomi, sosial, dan politik nasional.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, penerapan teknologi Revolusi Hijau
berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi nasional, dari 18 juta ton
pada tahun 1970 menjadi 54 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat tiga kali
lipat. Dalam periode yang sama, produktivitas padi meningkat dari 2,25 t/ha
menjadi 4,58 t/ha, atau meningkat dua kali lipat.
Setelah swasembada beras berhasil diraih pada tahun 1984, disadari bahwa
penerapan Revolusi Hijau juga memiliki beberapa dampak negatif, antara lain
kecenderungan penggunaan input yang tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Di
satu sisi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang sangat penting artinya
dalam meningkatkan produksi padi. Di sisi lain, penggunaan kedua agroinput ini
ternyata telah mencemari sebagian sumber daya lahan, air, dan lingkungan.
Pengembangan varietas unggul modern, khususnya padi, telah mendorong
penggunaan pupuk anorganik secara nyata. Varietas unggul padi umumnya sangat
responsif terhadap pupuk N, P, dan K. Kenyataan di lapangan pun menunjukkan
bahwa perkembangan teknologi dan usaha pertanian, baik dalam program
intensifikasi maupun ekstensifikasi, diikuti oleh perkembangan hama dan
penyakit, baik jenis maupun intensitas serangan. Hal ini telah mendorong
peningkatan penggunaan pestisida untuk pengendaliannya.
Dalam implementasi program intensifikasi dan ekstensifikasi padi berbasis
teknologi Revolusi Hijau, penggunaan pupuk kimia meningkat hampir enam kali
lipat, dari 635 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 4,42 juta ton pada tahun 2003.
Saat ini kebutuhan pupuk kimia untuk pertanaman padi mencapai 4,50 juta
ton/tahun. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk oleh
petani cenderung berlebihan, terutama pada tanaman padi. Kisaran penggunaan
pupuk urea (N) dewasa ini adalah 100800 kg/ha, serta pupuk P dan K masing-
masing 0300 kg dan 0250 kg/ha (Las et al., 2006). Bahkan menurut Kasryno
(2006), dibanding dengan beberapa negara penghasil padi di Asia, penggunaan
pupuk di Indonesia relatif tinggi, yaitu 105, 22, 14 kg/ha masing-masing untuk N,
P2O5, dan K2O, dibandingkan 95, 40, 35 kg/ha di Malaysia, 90, 33, 17 kg/ha di
Thailand, dan 51, 15, 11 kg/ha di Filipina.
Selain pemborosan, penggunaan pupuk secara berlebihan juga tidak
menguntungkan bagi kelestarian lahan dan lingkungan. Residu pupuk N berupa
nitrat (NO3) telah mencemari sebagian sumber daya air, baik air irigasi maupun
air tanah (sumur), bahkan produk pertanian. Batas maksimum kandungan nitrat
dalam air hanya 4,50 ppm. Sekitar 85% air yang mengairi sebagian besar lahan
177
Las et al.
sawah di Jawa mengandung nitrat rata-rata 5,40 ppm atau 20% lebih tinggi dari
batas toleransi.
Penggunaan pupuk N, P, dan K secara terus-menerus dengan takaran
tinggi tanpa pengembalian sisa panen akan mempercepat pengurasan hara lain
seperti S, Ca, Mg serta unsur mikro Zn dan Cu. Di sisi lain, penambahan secara
khusus unsur-unsur mikro tersebut sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan
oleh petani. Padahal untuk mendukung produksi tanaman yang efisien dan lestari
diperlukan keseimbangan ketersediaan hara makro maupun mikro di dalam tanah.
Penanaman padi yang sangat intensif dengan pemupukan yang terus-
menerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk, tetapi juga meningkat-
kan kandungan logam berat tertutama Pb (plumbun) dan Cd (cadmium).
Ardiwinata et al. (1999) dan Kasno et al. (2000) mengindentifikasi 2140% lahan
sawah di jalur Pantura, Jawa Barat, dikategorikan terpolusi atau terkontaminasi
oleh kedua jenis logam berat tersebut, bahkan 47% di antaranya dikategorikan
terkontaminasi berat (>1,0 dan >0,24 ppm).
Mirip dengan pupuk, penggunaan pestisida juga mengalami peningkatan
yang signifikan selama Revolusi Hijau digulirkan, yaitu dari 5.234 ton pada tahun
1978 menjadi lebih dari 18.000 ton pada tahun 1986. Kecenderungan serupa juga
terjadi pada tanaman sayuran, perkebunan, dan tanaman lain dengan alokasi
penggunaan sekitar 10% dan 24,40% (Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al., 1999,
Nurjaya, 2003). Pada tahun 2002 terdapat 813 formulasi dan 341 bahan aktif
pestisida yang telah dan pernah beredar, 40% di antaranya adalah insektisida,
29% herbisida, dan 19% fungisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2002).
Dampak negatif penggunaan pestisida antara lain adalah: 1) meningkatnya
resistensi dan resurjensi organisme pengganggu tumbuhan (OPT), 2) tergang-
gunya keseimbangan biodiversitas, termasuk musuh alami (predator) dan
organisme penting lainnya, 3) terganggunya kesehatan manusia dan hewan, dan
4) tercemarnya produk tanaman, air, tanah, dan udara. Di beberapa daerah di
Jawa, residu pestisida pada beberapa produk pangan termasuk kedelai telah
mendekati batas maksimum residu (BMR), terutama senyawa organofosfat, kar-
bamat, dan organokhlorin. Kecenderungan yang sama juga terjadi di tanah, air
irigasi, dan ikan (Tabel Lampiran 1). Residu pestisida berdampak negatif pula
terhadap metabolisme steroid, fungsi tiroid dan spermatogenesis, serta sistem
reproduksi atau dikenal dengan istilah endocrine pesticides disrupted (EDs).
Meskipun pengendalian hama terpadu dengan menggunakan pestisida telah
memberikan hasil yang nyata dalam menekan serangan hama dan penyakit
tanaman, dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya. Oleh karena itu,
penggunaan pestisida perlu dikurangi atau dirasionalisasi, baik melalui penerapan
178
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
PHT secara tegas maupun pengembangan sistem pertanian organik yang lebih
mengutamakan penggunaan musuh alami dan pestisida hayati. Keuntungan dari
rasionalisasi pemakaian pestisida antara lain adalah: 1) mengurangi kerusakan
sumber daya lahan, air, lingkungan, dan produk; 2) mengurangi risiko kesehatan
bagi manusia, dan 3) meningkatkan keuntungan usaha tani (efisiensi produksi).
179
Las et al.
Isu lingkungan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah dampak
kegiatan atau sektor lain terhadap sumber daya pertanian dan lingkungan, yang
berasal dari limbah industri, pertambangan, pemukiman, dan perkotaan. Beberapa
senyawa beracun (B3) yang berdampak buruk terhadap keberlanjutan sistem
produksi pertanian antara lain adalah logam berat, seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn,
Mn, dan bahan kimia seperti detergen.
Walaupun belum terlalu serius, terdapat indikasi bahwa di banyak lokasi
pertanian, terutama di lahan sawah, perairan, dan kolam ikan, senyawa kimia
limbah tersebut telah mulai mencemari lahan dan air irigasi, bahkan juga produk
pertanian seperti padi dan ikan. Sebagai contoh, hasil penelitian Kurnia et al.
(2004) menunjukkan bahwa kandungan berbagai jenis logam berat dalam tanah
pada lahan yang terpolusi limbah pabrik di beberapa lokasi di Jawa Barat
meningkat sekitar 18-98% dibanding lahan yang belum terkena polusi. Polusi
logam berat tersebut, selain menyebabkan kontaminasi pada produk (terutama
gabah/beras) juga menurunkan produktivitas tanaman (Suganda et al., 2002;
Munarso dan Setyorini, 2004).
Remediasi tanah terpolusi logam berat di lahan pertanian dapat dilakukan
dengan meningkatkan pH melalui aplikasi kapur dan bahan organik. Peningkatan
pH tanah akan mengurangi kelarutan logam berat, sedangkan penambahan bahan
organik bermanfaat untuk mengimobilisasi logam berat di tanah. Asam humik dan
fulvik (rasio 1:1) dapat menyerap logam berat seperti Pb, Fe, Mn, Cu, Ni, Zn, dan
Cd.
180
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
Sebagai salah satu negara anggota KTT Bumi, Indonesia yang ikut
meratifikasi hasil konferensi tersebut mempunyai komitmen yang kuat untuk
mengatasi masalah lingkungan, termasuk di sektor pertanian. Terkait dengan
ketiga isu utama lingkungan di sektor pertanian, pemerintah melalui Departemen
Pertanian telah menetapkan beberapa kebijakan, yang dibedakan atas dua pilihan
utama. Pertama, kebijakan dalam pembangunan atau pengembangan pertanian.
Kedua, kebijakan yang bersifat regulasi, pengawasan, dan pengendalian melalui
peraturan dan perundang-undangan.
181
Las et al.
182
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
183
Las et al.
bahan alami berupa bahan organik atau pupuk organik. Sistem ini adakalanya
dikaitkan dengan konsep pertanian berkelanjutan rendah input (Low Input
Sustainable Agriculture, LISA). Sasaran utamanya adalah menghasilkan produk
dan lingkungan (tanah dan air) yang bersih dan sehat (ecolabeling attributes).
Sistem ini lebih mengutamakan nilai gizi (nutritional attributes), kesehatan, dan
ekonomi produk, yang konsumennya adalah kalangan tertentu (eksklusif), dan
kurang mengutamakan produktivitas.
Kedua, pertanian organik ”rasional” (POR) atau pertanian semiorganik
sebagai sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu
masuk-an yang berfungsi sebagai pembenah tanah dan suplemen pupuk buatan
(kimia anorganik). Pestisida dan herbisida digunakan secara selektif dan terbatas,
atau menggunakan biopestisida. Landasan utamanya adalah sistem pertanian
modern (GAP) yang mengutamakan produktivitas, efisiensi sistem produksi,
keamanan, serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Berbeda dengan pupuk kimia buatan (anorganik) yang hanya menyediakan
satu sampai beberapa jenis hara saja, pupuk organik mempunyai peran penting
dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Meskipun kadar hara
yang dikandung pupuk organik relatif rendah, fungsi kimianya jauh melebihi
pupuk kimia buatan. Fungsi kimia tersebut antara lain adalah: 1) menyediakan
hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S) dan mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn dan Fe),
2) mencegah kahat unsur hara mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah
diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang, 3)
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan 4) membentuk senyawa
kompleks dengan ion logam beracun seperti Al, Fe dan Mn sehingga logam-
logam tersebut tidak meracuni tanaman.
Fungsi fisika pupuk organik antara lain adalah: 1) memperbaiki struktur
tanah, karena bahan organik dapat mengikat partikel tanah menjadi agregat yang
mantap, 2) memperbaiki distribusi ukuran pori tanah sehingga daya pegang air
(water holding capacity) tanah meningkat dan pergerakan udara (aerasi) di dalam
tanah menjadi lebih baik, dan 3) mengurangi (bufer) fluktuasi suhu tanah. Fungsi
biologi pupuk organik adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi mikro dan
mesofauna tanah. Dengan ketersediaan bahan organik yang cukup, aktivitas
organisme tanah yang juga mempengaruhi ketersediaan hara, siklus hara, dan
pembentukan pori mikro dan makro tanah menjadi lebih baik.
Pupuk kimia buatan hanya mampu menyediakan satu (pupuk tunggal)
sampai beberapa jenis (pupuk majemuk) hara tanaman, namun tidak menyediakan
senyawa karbon yang berfungsi memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, serta
(kecuali untuk pupuk buatan tertentu) tidak menyediakan unsur hara mikro.
184
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
Sistem budi daya pertanian ekologis (SBPE) adalah sistem pertanian yang
memanfaatkan segala komponen, baik fisik, kimia maupun biologi yang ada
dalam suatu ekosistem, baik di dalam tanah, udara maupun air untuk mencapai
produktivitas yang optimum, sehat, dan berkelanjutan. Pertanian dan pedekatan
SBPE ini dianggap sebagai resultan dinamis dari kegiatan makhluk hidup yang
kompleks (manusia-tanah dan hara, air, tanaman, mikroorganisme) dalam
memanfaatkan sumber daya alam seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Dilts dalam Kasryno, 2006). Dalam kaitan ini, tanah diibaratkan sebagai
makhluk hidup dalam suatu ekosisistem yang dinamis. Tanah yang sehat dicirikan
oleh kekayaannya akan organisme tanah yang berfungsi untuk mengubah sisa
tanaman atau hewan menjadi unsur hara bagi tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip utama dari
SPBE pada tanaman padi mampu meningkatkan kandungan bahan organik tanah
serta ketersediaan hara fosfat dan ni-trogen. Demikian juga kandungan mikroba
tanah yang menguntungkan seperti Actinomycetes dan Azotobacter sebagai
organisme pelarut P, dan Rhizobium jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
pertanian biasa (Setyorini, 2004).
185
Las et al.
186
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
dipraktekkan oleh sebagian besar petani padi hingga kini (Setyanto et al., 2000;
2003; 2004).
Makin terbatas pengolahan tanah, makin besar pengurangan emisi GRK
dari lahan sawah. Teknik budi daya, terutama sistem tanam yang terkait dengan
umur tanaman di lapang dan penyiangan, sangat berpengaruh terhadap emisi
GRK. Pengaruh varietas unggul terhadap emisi GRK terkait dengan perakaran,
jumlah anakan, dan jaringan aerenkhim tanaman.
Kebijakan Kekarantinaan
187
Las et al.
hewan, produk hewan, tumbuhan, dan produk tumbuhan yang diimpor, diekspor,
dan antararea.
Berbagai regulasi, peraturan, dan perundang-undangan telah dikeluarkan
dan ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian, seperti UU No.
1/1982, No. 2/1982 tentang kekarantinaan laut dan udara, terakhir adalah
Permentan No. 2 tahun 2002 yang berkaitan dengan pemasukan benih tumbuhan
atau tanam-an dari luar negeri. Dalam kaitan ini telah banyak bahan tanaman dan
ternak impor yang akhirnya harus direekspor atau dimusnahkan karena membawa
(pembawa) berbagai organisme yang dikhawatirkan akan merusak atau
mengganggu keseimbangan ekologi dan lingkungan nasional.
188
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan residu pupuk dan emisi GRK
pada pertanaman padi juga dikembangkan melalui kerja sama dengan IRRI sejak
1990-an. Bahkan pada tahun 1995 dibentuk institusi khusus yang bertugas
meneliti pencemaran lingkungan pertanian, yaitu Loka Penelitian Lingkungan
Pertanian (Lolingtan) di Jakenan, Pati Jawa Tengah. Berdasarkan pertimbangan
bahwa isu lingkungan akan makin penting dan strategis di sektor pertanian, kini
Loka tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian (Balingtan). Balai ini bertugas melakukan penelitian pencemaran tanah,
air, lingkungan dan produk pertanian, emisi GRK dari lahan pertanian, serta
pengembangan pertanian ramah lingkungan.
Selain itu, sejak tahun 1990-an Departemen Pertanian melalui Badan
Litbang Pertanian juga memberikan perhatian khusus terhadap perubahan iklim
global atau pemanasan bumi, serta anomali iklim. Bahkan sejak tahun 1992, tugas
pokok dan fungsi Pusat Penelitian Tanah dikembangkan menjadi Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, dan selanjutnya pada tahun 2002 dibentuk Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain melakukan penelitian
dan kajian terhadap dinamika iklim dalam konteks pertanian, Balitklimat juga
melakukan berbagai penelitian dan kajian terhadap kekeringan dan banjir, serta
pendekatan dan teknologi mitigasinya.
Beberapa teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dapat dikembangkan
seperti teknologi insinerasi, pemadatan, penyimpanan (containment), dan
bioremediasi. Penggunaan karbon aktif memberi harapan dikembangkan untuk
mengatasi pencemaran tanah oleh pencemar organik dan anorganik (Cunningham
et al., 1995). Karbon aktif dapat menjerap insektisida di dalam air hingga 99,90%
dari konsentrasi awal sebesar 2.250 mg/l (Anonymous, 1991). Karbon aktif dapat
dikombinasikan dengan pupuk sehingga menghasilkan pupuk dwifungsi, yaitu
pupuk lambat urai (slow release) dan pengendali bahan pencemar di lahan
pertanian. Oleh karena itu, selain melakukan pemantauan dan pengamatan
terhadap pencemaran agrokimia dan kimia industri, serta mencari dan merakit
teknologi mitigasi GRK dari lahan pertanian, penelitian lingkungan pertanian ke
depan juga diarahkan untuk menghasilkan teknologi yang dapat mengurangi atau
mengendalikan dampak residu tersebut.
KESIMPULAN
189
Las et al.
DAFTAR PUSTAKA
190
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, and A.N. Ardiwinata. 1999. Insecticide residue on
East Java irrigated rice ecosystem. Proceedings of Glass House Gases
Emission Research and In-creasing Rice Productivity at Lowland Rice.
Husin, Y.A. 1994. Methane Flux from Indonesian Wetland Rice: The effects of
water manage-ment and rice variety. PhD Thesis, Bogor Agricultural
University. p. 121-135.
Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, and A.N. Ardiwi-nata. 1999. Pesticides pollution on
irrigated and rainfed lowland rice agroecosystem of Central Java.
Proceedings of Glass House Gases Emission Research and Increasing
Rice Productivity at Lowland Rice.
Kasno, A., Suwandi, dan I. Anas. 2003. Usaha mengurangi kadar logam berat
melalui pengapuran pada tanah tercemar tailing. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kasryno. F. 2006. Pemberdayaan petani dan kearifan lokal pada sistem budi daya
perta-nian ekologis berbasis padi. Prosiding Seminar YAPADI:
Membalik Arus Menuai Revitali-sasi Pedesaan. 24 Mei 2006. Yayasan
Padi Indonesia, Jakarta (dalam pencetakan).
Kurnia, U., H. Suganda, R. Saraswati, dan Nurjaya. 2004. Teknologi
pengendalian pencemaran lahan sawah. hlm. 251-281. Dalam Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Las, I., N. Widiarta, dan A. Ruskandar. 2004. Dinamisasi dan kontribusi
penelitian dan teknologi dalam mendukung peningkatan produksi padi
nasional. Prosiding Seminar Nasional Penerapan Agro Inovasi Men-
dukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Sukarami, 10-11 Agustus
2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami.
Las, I., D. Setyorini, dan D. Santoso. 2006. Kebutuhan pupuk nasional: Keragaan
teknologi dan efisiensi. Makalah Seminar Pupuk untuk Perkebunan.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996. Suppressing methane emission
from rainfed lowland rice field in Jakenan, Central Java. Paper presented
at the International Symposium on Maximising Sustainable Rice Yield
through Improved Soil and Environmental Management, Khon Kaen,
Thailand.
Munarso, J. and D. Setyorini. 2004. Heavy Metal Distribution in Relevant Arable
Soil and Staple Crops in Indonesia. CODEX Food Savety. JIRCAS,
Tokyo
Nurjaya. 2003. Identification and inventari-zation of agrochemical pollution at
veget-ables production areas. Annual Report of Research Station for
Agricultural Environment Preservation, Jakenan.
Setyanto, P., A.B. Rosenani, C.I. Fauziah, and A.K. Makarim. 2000. Influence of
Soil Properties on Methane Production Potential from Wetland Rice Field
in Java. MSc Thesis, Universiti Putra Malaysia.
191
Las et al.
Setyanto, P., H. Burhan, Suharsih, dan N. Orbanus. 2003. Pengaruh rejim air dan
pengelolaan tanah terhadap emisi metana dari lahan sawah. Laporan kerja
sama penelitian Syngenta dan Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan
Pertanian Jakenan.
Setyanto, P., A.B. Rosenani, M.J. Khanif, C.I. Fauziah, and R. Boer. 2004.
Methane Emission and Its Mitigation in Rice Fields under Different
Management Practices in Central Java. PhD Dissertation, Universiti Putra
Malaysia.
Setyorini, D. 2004. Strategies to harmonize rice production with biodiversity.
Paper pre-sented at Workshop on Harmonious Co-existence of
Agriculture and Biodiversity, Tokyo, Japan, 20−22 October 2004.
Suganda, H., D. Setyorini, H. Kusnadi, I. Saripin, and U. Kurnia. 2002.
Evaluation of the effect of liquid wastes from factories on the
sustainability of rice production. Paper presented at Prelimenary Seminar
of Multifunctionality of Paddy Field, Bogor 2 October 2002.
Taylor, J.A., G.P. Brasseur, P.R. Zimmerman, and R.J. Cicerone. 1993. A study
of sources and sinks of methyl chloroform using a global three
dimensional Lagragian troposheric tracer transport model. J. Geophys.
Res. 96: 3013−3044.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1998. Pengaruh penggunaan
bahan organik terhadap hasil padi dan emisi gas metana pada lahan
sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan.
192
Isu dan Pengelolaan Lingkungan
Lampiran 1. Kandungan residu pestisida pada beberapa prodouk pertanian, tanah, dan air
193