Sie sind auf Seite 1von 21

ISU DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM

REVITALISASI PERTANIAN*)
Environmental Issues and Management in Agricultural Revitalization

Irsal Las, K. Subagyono, and A.P. Setiyanto


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(Center for Agricultural Land Resource Research and Development)

Abstract

Environmental problems in agricultural areas have been increasing since


the Green Revolution was introduced to fulfill the need of increasing rice
production in 1960’s. Since the declaration of Agriculture, Fisheries and
Forestry Revitalization, known as RPPK, by the Government of Indonesia,
environmental problem becomes a critical issue to be managed appropriately.
Among various environmental problems in agricultural areas, there are three
major impacts of human activities on agricultural environment, including: 1)
impact of the use of agro-input on agricultural production and environment, 2)
impact of agricultural system on greenhouse gas emission, and 3) impact of
industrial activity and the extensification of urban areas on agricultural land.
Overuse of fertilizers especially nitrogen, pesticide, and disposal of residual of
chemical materials from industrial sector have been identified as the major
factors deteriorating the environmental condition of irrigated rice areas.
Nitrate residue in water (including irrigation water) in more than 85% of rice
field has reached 5.40 ppm (the maximum level is 4.5 ppm). The use of
pesticides has caused an increase of resistance of pests and diseases, declining
of biodiversity, toxicity, and declining of agricultural products quality. In
Indonesia, rice fields (approximately 8 million ha or 6.5% of the world rice
fields) have been suspected as a source of greenhouse gas emission especially
methane (CH4), N2O and CO2. Heavy metals such as Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, and
Mn from industry have entered agricultural areas. Other major biophysical
factors causing damage of environmental condition in agricultural areas are
those caused by land degradation which can be due to acidification,
salinization, alkalinization/sodification, erosion, desertification, nutrient
depletion, lost of organic matter, compaction, subsidence, water shortage, and
flood. The Government of Indonesia has come up with policy to solve
environmental problems in agricultural areas by introducing regulations of
fertilizer and pesticide utilization, quarantine and the policy in handling the
problems through research and development programs.

*)
Dicetak ulang dari Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Reprinted from Indonesian
Agricultural Research and Development Journal), 2006, Vol. 25, No. 3
Las et al.

Abstrak

Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah


Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintah,
masalah lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan
yang tepat. Di antara masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan
pertanian, ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia, yaitu: 1) dampak
penggunaan sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan,
2) dampak sistem pertanian terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3) dampak
kegiatan industri dan perluasan perkotaan di lahan pertanian. Penggunaan
pupuk yang berlebihan terutama pupuk nitrogen, pestisida, dan sisa bahan
kimia dari industri merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan di lahan sawah beririgasi. Residu nitrat di dalam
air (termasuk air irigasi) di 85% lahan sawah beririgasi telah mencapai 5,40
ppm (maksimum nilai yang diperbolehkan 4,50 ppm). Penggunaan pestisida
menyebabkan meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman,
ketidak-seimbangan keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan
menurunnya kualitas produk pertanian. Di Indonesia, lahan sawah (sekitar 8
juta ha atau 6,50% dari luas lahan sawah dunia) merupakan sumber emisi gas
rumah kaca terutama metana (CH4), N2O dan CO2. Logam berat seperti Hg,
Fe, Cd, Cu, Zn, dan Mn merupakan bahan-bahan utama yang dihasilkan
industri yang telah mencemari lahan pertanian. Faktor biofisik lain yang
menyebabkan rusaknya kondisi lingkungan pertanian adalah degradasi lahan,
yang meliputi pemasaman, kegaraman (salinization), alkalinitas/sodisitas
(alkalinization/sodification), erosi, penggurunan (desertification), penurunan
jumlah hara, hilangnya bahan organik, pemadatan, penurunan muka tanah,
kekeringan, dan banjir. Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk
mengatasi masalah lingkungan di lahan pertanian dengan mempublikasi
peraturan penggunaan pupuk dan pestisida, karantina tumbuhan dan hewan,
dan kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan melalui program penelitian
dan pengembangan.

PENDAHULUAN

Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanang-


kan pada 11 Juni 2005 mempunyai enam sasaran utama, yakni: 1) peningkatan
kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, 2) perluasan kesempatan kerja dan
berusaha, 3) ketahanan pangan, 4) pe-ningkatan daya saing pertanian, 5) peles-
tarian sumber daya alam dan lingkungan, dan 5) pembangunan daerah. Keenam
sasaran tersebut pada dasarnya dapat disarikan sebagai upaya untuk mengu-rangi
kemiskinan, meningkatkan pendapatan, menjamin ketahanan pangan nasional,
serta mengkonservasi, merehabilitasi, dan melestarikan sumber daya alam.

174
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Peningkatan kebutuhan pangan nasional dengan laju 1-2%/tahun, terutama


disebabkan oleh pertambahan penduduk yang saat ini sudah berjumlah lebih dari
220 juta jiwa. Oleh karena itu, selain sebagai salah satu sasaran utama, ketahanan
pangan juga merupakan basis utama RPPK. Upaya peningkatan produksi harus
diimbangi dengan peningkatan pendapatan petani, kemudahan aksesibilitas
konsumen, dan aktualisasi keamanan pangan. Sebaliknya, komoditas non-pangan
yang umumnya lebih bersifat komersial dituntut untuk memiliki daya saing yang
tinggi agar mampu meraih pangsa pasar global secara optimal. Oleh karena itu,
produktivitas tinggi, efisiensi sistem produksi, serta peningkatan mutu dan nilai
tambah produk menjadi tumpuan utama revitalisasi pertanian.
Akhir-akhir ini dan untuk masa yang akan datang, ketahanan pangan
sebagai salah satu pilar dan tujuan utama RPPK, khususnya dalam revitalisasi
pertanian, menghadapi empat ancaman utama, yaitu: 1) stagnasi dan pelandaian
produktivitas akibat kendala teknologi dan input produksi, 2) instabilitas produksi
akibat serangan hama-penyakit dan cekaman iklim, 3) penurunan produktivitas
akibat degradasi sumber daya lahan dan air serta penurunan kualitas lingkungan,
dan 4) penciutan lahan, khususnya lahan sawah beririgasi akibat dikonversi
menjadi lahan nonpertanian.
Dalam pembangunan pertanian nasional, ketahanan pangan mempunyai
peran yang sangat strategis karena: 1) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup
merupakan hak yang paling azasi bagi manusia, 2) kecukupan pangan berperan
penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, dan 3)
ketahanan pangan menjadi salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan
ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional, ketersediaan pangan yang cukup dari segi kuantitas,
kualitas, mutu, gizi, keamanan maupun keberagaman, dengan harga yang
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat harus dipenuhi. Hal ini diatur dalam
UU No.7/1996 tentang pangan dan PP No.68/2002 tentang ketahanan pangan.
Sektor pertanian menyumbang 18% terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) dan menjadi sumber pandapatan bagi 45% penduduk. Selain tanaman
pangan dan sayuran yang luas areal tanamnya mencapai lebih dari 16,30 juta ha,
komoditas perkebunan dan buah-buahan dengan luas tanam lebih dari 25 juta ha,
merupakan tulang punggung dan menjadi salah satu tumpuan ekonomi dan
pembangunan nasional. Tanaman pangan, terutama padi, merupakan komoditas
strategis bagi ketahanan pangan, sedangkan tanaman perkebunan selain
diperlukan untuk mendukung pengembangan industri dalam negeri juga berperan
penting sebagai komoditas ekspor.

175
Las et al.

Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keamanan pangan, kesehatan,


lingkungan, dan gizi berdampak terhadap peningkatan permintaan produk
pertanian yang bersih dan aman dikonsumsi. Dalam konteks RPPK, aspek
lingkungan juga menjadi isu yang sangat penting di sektor pertanian, baik dalam
kaitannya dengan keamanan pangan dan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan di tingkat nasional maupun untuk kepentingan diplomasi dan
perdagangan internasional.

ISU LINGKUNGAN PERTANIAN

The Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di Rio de Janeiro merupakan


indikator utama semakin besarnya perhatian dan kepedulian dunia internasional
terhadap masalah lingkungan serta semakin mencuatkan pentingnya
pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan di sektor pertanian sudah menjadi
topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Selain
karena perhatian dan kepedulian masyarakat dunia semakin besar, disadari pula
bahwa beberapa inovasi teknologi muatan dari Revolusi Hijau berpotensi merusak
atau mengganggu lingkungan. Tujuan utama Revolusi Hijau adalah untuk
menghasilkan bahan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk
yang jumlahnya terus meningkat.
Revolusi Hijau di Indonesia ditandai oleh introduksi varietas unggul padi
yang responsif terhadap pemupukan dan irigasi. Pengendalian hama dan penyakit
tanaman diupayakan dengan aplikasi pestisida. Di satu sisi, Revolusi Hijau
terbukti mampu meningkatkan produksi pangan nasional, namun di sisi lain telah
menyebabkan munculnya permasalahan lingkungan sebagai dampak dari kesa-
lahan aplikasi pupuk dan pestisida kimia.
Di sektor pertanian, ada tiga isu penting yang sangat terkait dengan upaya
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, yaitu: 1) dampak penggunaan
berbagai input pertanian terhadap produk, lahan, dan lingkungan, 2) dampak
sistem usaha tani, terutama padi sawah dan padi lahan rawa pasang surut,
terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan 3) dampak industri, permukiman, dan
perkotaan terhadap produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pertanian.

Pencemaran Residu Input Agrokimia

Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak dan terus bertambah


memerlukan produk pangan dalam jumlah yang terus meningkat. Dikaitkan
dengan ketahanan pangan, hal ini menuntut perlunya upaya peningkatan produksi
pangan dengan laju yang tinggi dan berkelanjutan. Mengandalkan pangan impor

176
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

untuk ketahanan pangan nasional tentu riskan terhadap berbagai aspek kehidupan,
termasuk ekonomi, sosial, dan politik nasional.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, penerapan teknologi Revolusi Hijau
berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi nasional, dari 18 juta ton
pada tahun 1970 menjadi 54 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat tiga kali
lipat. Dalam periode yang sama, produktivitas padi meningkat dari 2,25 t/ha
menjadi 4,58 t/ha, atau meningkat dua kali lipat.
Setelah swasembada beras berhasil diraih pada tahun 1984, disadari bahwa
penerapan Revolusi Hijau juga memiliki beberapa dampak negatif, antara lain
kecenderungan penggunaan input yang tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Di
satu sisi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang sangat penting artinya
dalam meningkatkan produksi padi. Di sisi lain, penggunaan kedua agroinput ini
ternyata telah mencemari sebagian sumber daya lahan, air, dan lingkungan.
Pengembangan varietas unggul modern, khususnya padi, telah mendorong
penggunaan pupuk anorganik secara nyata. Varietas unggul padi umumnya sangat
responsif terhadap pupuk N, P, dan K. Kenyataan di lapangan pun menunjukkan
bahwa perkembangan teknologi dan usaha pertanian, baik dalam program
intensifikasi maupun ekstensifikasi, diikuti oleh perkembangan hama dan
penyakit, baik jenis maupun intensitas serangan. Hal ini telah mendorong
peningkatan penggunaan pestisida untuk pengendaliannya.
Dalam implementasi program intensifikasi dan ekstensifikasi padi berbasis
teknologi Revolusi Hijau, penggunaan pupuk kimia meningkat hampir enam kali
lipat, dari 635 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 4,42 juta ton pada tahun 2003.
Saat ini kebutuhan pupuk kimia untuk pertanaman padi mencapai 4,50 juta
ton/tahun. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk oleh
petani cenderung berlebihan, terutama pada tanaman padi. Kisaran penggunaan
pupuk urea (N) dewasa ini adalah 100800 kg/ha, serta pupuk P dan K masing-
masing 0300 kg dan 0250 kg/ha (Las et al., 2006). Bahkan menurut Kasryno
(2006), dibanding dengan beberapa negara penghasil padi di Asia, penggunaan
pupuk di Indonesia relatif tinggi, yaitu 105, 22, 14 kg/ha masing-masing untuk N,
P2O5, dan K2O, dibandingkan 95, 40, 35 kg/ha di Malaysia, 90, 33, 17 kg/ha di
Thailand, dan 51, 15, 11 kg/ha di Filipina.
Selain pemborosan, penggunaan pupuk secara berlebihan juga tidak
menguntungkan bagi kelestarian lahan dan lingkungan. Residu pupuk N berupa
nitrat (NO3) telah mencemari sebagian sumber daya air, baik air irigasi maupun
air tanah (sumur), bahkan produk pertanian. Batas maksimum kandungan nitrat
dalam air hanya 4,50 ppm. Sekitar 85% air yang mengairi sebagian besar lahan

177
Las et al.

sawah di Jawa mengandung nitrat rata-rata 5,40 ppm atau 20% lebih tinggi dari
batas toleransi.
Penggunaan pupuk N, P, dan K secara terus-menerus dengan takaran
tinggi tanpa pengembalian sisa panen akan mempercepat pengurasan hara lain
seperti S, Ca, Mg serta unsur mikro Zn dan Cu. Di sisi lain, penambahan secara
khusus unsur-unsur mikro tersebut sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan
oleh petani. Padahal untuk mendukung produksi tanaman yang efisien dan lestari
diperlukan keseimbangan ketersediaan hara makro maupun mikro di dalam tanah.
Penanaman padi yang sangat intensif dengan pemupukan yang terus-
menerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk, tetapi juga meningkat-
kan kandungan logam berat tertutama Pb (plumbun) dan Cd (cadmium).
Ardiwinata et al. (1999) dan Kasno et al. (2000) mengindentifikasi 2140% lahan
sawah di jalur Pantura, Jawa Barat, dikategorikan terpolusi atau terkontaminasi
oleh kedua jenis logam berat tersebut, bahkan 47% di antaranya dikategorikan
terkontaminasi berat (>1,0 dan >0,24 ppm).
Mirip dengan pupuk, penggunaan pestisida juga mengalami peningkatan
yang signifikan selama Revolusi Hijau digulirkan, yaitu dari 5.234 ton pada tahun
1978 menjadi lebih dari 18.000 ton pada tahun 1986. Kecenderungan serupa juga
terjadi pada tanaman sayuran, perkebunan, dan tanaman lain dengan alokasi
penggunaan sekitar 10% dan 24,40% (Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al., 1999,
Nurjaya, 2003). Pada tahun 2002 terdapat 813 formulasi dan 341 bahan aktif
pestisida yang telah dan pernah beredar, 40% di antaranya adalah insektisida,
29% herbisida, dan 19% fungisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2002).
Dampak negatif penggunaan pestisida antara lain adalah: 1) meningkatnya
resistensi dan resurjensi organisme pengganggu tumbuhan (OPT), 2) tergang-
gunya keseimbangan biodiversitas, termasuk musuh alami (predator) dan
organisme penting lainnya, 3) terganggunya kesehatan manusia dan hewan, dan
4) tercemarnya produk tanaman, air, tanah, dan udara. Di beberapa daerah di
Jawa, residu pestisida pada beberapa produk pangan termasuk kedelai telah
mendekati batas maksimum residu (BMR), terutama senyawa organofosfat, kar-
bamat, dan organokhlorin. Kecenderungan yang sama juga terjadi di tanah, air
irigasi, dan ikan (Tabel Lampiran 1). Residu pestisida berdampak negatif pula
terhadap metabolisme steroid, fungsi tiroid dan spermatogenesis, serta sistem
reproduksi atau dikenal dengan istilah endocrine pesticides disrupted (EDs).
Meskipun pengendalian hama terpadu dengan menggunakan pestisida telah
memberikan hasil yang nyata dalam menekan serangan hama dan penyakit
tanaman, dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya. Oleh karena itu,
penggunaan pestisida perlu dikurangi atau dirasionalisasi, baik melalui penerapan

178
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

PHT secara tegas maupun pengembangan sistem pertanian organik yang lebih
mengutamakan penggunaan musuh alami dan pestisida hayati. Keuntungan dari
rasionalisasi pemakaian pestisida antara lain adalah: 1) mengurangi kerusakan
sumber daya lahan, air, lingkungan, dan produk; 2) mengurangi risiko kesehatan
bagi manusia, dan 3) meningkatkan keuntungan usaha tani (efisiensi produksi).

Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian

Meski pernah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia dengan luas


panen padi lebih dari 11 juta ha/tahun, Indonesia merupakan negara penghasil
beras ketiga terbesar setelah Cina dan India. Hingga kini, padi masih merupakan
komoditas strategis di Indonesia, karena selain sebagai sumber utama ketahanan
pangan juga merupakan sumber ekonomi bagi lebih dari 30 juta petani.
Di sisi lain, usaha tani padi merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan
ling-kungan dari residu pupuk dan pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan,
serta sebagai penghasil gas rumah kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O,
dan CO2, khususnya di lahan sawah dan lahan rawa pasang surut yang saat ini
luasnya sekitar 8,50 juta ha atau 6,50% dari total luas sawah dunia. Walaupun
proporsinya tidak sebesar di sektor industri, GRK yang terbentuk di lahan sawah
dilaporkan ikut menyumbang terhadap pemanasan global yang berujung pada
perubahan iklim. Berbagai penelitian memperkirakan emisi gas metana berkisar
antara 3,20-5,80 Tg/tahun (Taylor et al., 1993), bahkan sumber lain menyebutkan
9,80 Tg/tahun (Bachelet dan Neue, 1992; Husin, 1994). Melalui penelitian jangka
panjang, Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dan Badan Litbang
Pertanian memperkirakan emisi gas metana dari lahan sawah sekitar 12% dari
total emisi metana (Makarim et al., 1996).
Pengelolaan air berperan penting dalam mengurangi emisi gas metana.
Sebagai contoh, sistem drainase diper-lukan untuk meningkatkan konsentrasi
oksigen, oksidasi metana, redoks potensial (Eh) tanah, bakteri metanotrofik, dan
mengurangi metanogens dan emisi gas metana. Namun emisi N2O akan
meningkat jika lahan digenangi kembali, karena pada saat itu terjadi peningkatan
denitrifikasi. Penelitian di Balai Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian,
Jakenan (Jawa Tengah), menunjukkan bahwa emisi metana dapat dikurangi
hingga 58,9% dengan menerapkan irigasi secara berkala dibanding jika lahan
digenangi terus-menerus.

179
Las et al.

Pencemaran Residu Limbah Industri, Pertambangan, dan Perkotaan

Isu lingkungan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah dampak
kegiatan atau sektor lain terhadap sumber daya pertanian dan lingkungan, yang
berasal dari limbah industri, pertambangan, pemukiman, dan perkotaan. Beberapa
senyawa beracun (B3) yang berdampak buruk terhadap keberlanjutan sistem
produksi pertanian antara lain adalah logam berat, seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn,
Mn, dan bahan kimia seperti detergen.
Walaupun belum terlalu serius, terdapat indikasi bahwa di banyak lokasi
pertanian, terutama di lahan sawah, perairan, dan kolam ikan, senyawa kimia
limbah tersebut telah mulai mencemari lahan dan air irigasi, bahkan juga produk
pertanian seperti padi dan ikan. Sebagai contoh, hasil penelitian Kurnia et al.
(2004) menunjukkan bahwa kandungan berbagai jenis logam berat dalam tanah
pada lahan yang terpolusi limbah pabrik di beberapa lokasi di Jawa Barat
meningkat sekitar 18-98% dibanding lahan yang belum terkena polusi. Polusi
logam berat tersebut, selain menyebabkan kontaminasi pada produk (terutama
gabah/beras) juga menurunkan produktivitas tanaman (Suganda et al., 2002;
Munarso dan Setyorini, 2004).
Remediasi tanah terpolusi logam berat di lahan pertanian dapat dilakukan
dengan meningkatkan pH melalui aplikasi kapur dan bahan organik. Peningkatan
pH tanah akan mengurangi kelarutan logam berat, sedangkan penambahan bahan
organik bermanfaat untuk mengimobilisasi logam berat di tanah. Asam humik dan
fulvik (rasio 1:1) dapat menyerap logam berat seperti Pb, Fe, Mn, Cu, Ni, Zn, dan
Cd.

Kerusakan dan Degradasi Lahan

Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas


lahan, baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan
diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan.
Pengelolaan dan penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing),
penebangan hutan (deforestation), konversi untuk non-pertanian, dan irigasi.
Kesalahan dalam pengelolaan dan proses penggunaan akan menimbulkan polusi,
erosi, kehilangan unsur hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi
dan alkalinasi (sodification and alkalinization), pemadatan (compaction),
hilangnya bahan organik, penurunan permukaan, kerusakan struktur tanah,
penggurunan (desertification), dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka
panjang (Agus, 2002).

180
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Memburuknya kondisi lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di


kawasan yang mengalami degradasi menghadapi berbagai ancaman seperti
kekurangan sumber air, kelaparan, dan munculnya berbagai penyakit. Selain itu,
degradasi lahan secara global akan mengancam kelestarian keanekaragaman
hayati dan menaikkan suhu permukaan bumi.
Pada tahun 1992, Departemen Pertanian mencatat lebih dari 18 juta ha
lahan di Indonesia telah terdegradasi, meliputi 7,50 juta ha lahan potensial kritis,
6 juta ha lahan semikritis, dan 4,90 juta ha lahan kritis. Sementara itu Departemen
Kehutanan mencatat 13,20 juta ha lahan yang terdegradasi, 5,90 juta ha terdapat
di dalam kawasan hutan dan 7,30 juta ha di luar kawasan hutan. Badan Pusat
Statistik (2002) bahkan mencatat luas lahan yang terdegradasi mencapai 38,60
juta ha. Perbedaan data ini terjadi karena kriteria yang digunakan untuk
mendelineasi lahan tidak sama antara ketiga institusi tersebut. Selain itu,
penelitian Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan IRRI menyimpulkan
bahwa banyak lahan sawah intensif terutama di Jawa mengalami degradasi
kesuburan (kimiawi) terutama penurunan kandungan C-organik, atau kadang
disebut sebagai lahan sakit (soil sickness). Hal ini merupakan tantangan dalam
menetapkan kriteria baku lahan terdegradasi sehingga dapat digunakan secara
nasional dan perbedaan data yang mencolok dapat dihindarkan.
Untuk program rehabilitasi lahan terdegradasi, luasan hasil delinease lahan
secara nasional berperan sangat penting dalam perencanaan dan pencapaian target
rehabilitasi. Untuk perbaikan lahan terdegradasi secara kimiawi dikembangkan
sistem pertanian dan teknologi ramah lingkungan, termasuk pertanian organik dan
pengelolaan tanaman terpadu.

INOVASI TEKNOLOGI DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN


PERTANIAN

Sebagai salah satu negara anggota KTT Bumi, Indonesia yang ikut
meratifikasi hasil konferensi tersebut mempunyai komitmen yang kuat untuk
mengatasi masalah lingkungan, termasuk di sektor pertanian. Terkait dengan
ketiga isu utama lingkungan di sektor pertanian, pemerintah melalui Departemen
Pertanian telah menetapkan beberapa kebijakan, yang dibedakan atas dua pilihan
utama. Pertama, kebijakan dalam pembangunan atau pengembangan pertanian.
Kedua, kebijakan yang bersifat regulasi, pengawasan, dan pengendalian melalui
peraturan dan perundang-undangan.

181
Las et al.

Pengembangan Sistem Pertanian Berkelanjutan

Brown dan Hock (1991) mengemukakan bahwa selain produktivitas,


setidaknya ada enam komponen yang menjadi tolok ukur dari pembangunan
pertanian berkelanjutan, yaitu: 1) kepunahan spesies, 2) kerusakan hutan, 3) erosi
tanah, 4) emisi karbon, 5) jumlah ikan yang ditangkap, dan 6) laju kelahiran
manusia dibanding laju kematian. Oleh karena itu, keenam tolok ukur tersebut
juga dijadikan acuan pengelolaan lingkungan terutama dalam konteks
pengelolaan pembangunan yang bersih (clean development management), seperti
isu keragaman hayati (biodiver-sity), ecolabelling dan deforestry, mitigasi gas
rumah kaca, dan polusi.
Mengacu kepada pengalaman penerapan Revolusi Hijau I, pembangunan
pertanian ke depan memerlukan reorientasi pendekatan, terutama dalam pengem-
bangan sistem produksi padi dan tanaman pangan pada umumnya. Beberapa kom-
ponen dan pendekatan Revolusi Hijau I masih cukup relevan, namun ada
beberapa aspek yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, seperti: 1) penggunaan
teknologi tinggi berbasis sumber daya (knowledge and reosurces approach), 2)
penggunaan input yang rasional melalui pengembangan sistem pertanian modern
(Good Agricultural Practices, GAP), 3) pemanfaatan sumber daya, teknologi
(indigenous technology), dan kearifan lokal (local wisdom), dan 4) perhatian yang
lebih serius terhadap aspek kesehatan, lingkungan, serta potensi dan kelestarian
sumber daya pedesaan. Keempat pendekatan tersebut telah dikemas dalam konsep
Revolusi Hijau Lestari (RHL) atau Evergreen Revolution.
Meningkatnya perhatian dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan,
lingkungan, dan gizi telah mendorong peningkatan permintaan terhadap produk
pertanian organik, terutama pangan. Di berbagai negara maju, produk pangan
organik sudah menjadi agribisnis yang berkembang pesat. Dilaporkan, nilai
penjualan pangan organik pada tahun 2003 mencapai US$ 23 miliar atau lebih
dari Rp 230 triliun.
Selaras dengan RHL dan semakin mengemukanya isu lingkungan serta
kesehatan maka pembangunan pertanian berkelanjutan adalah pembangunan
pertanian yang mengombinasikan teknologi tradisional dengan teknologi modern.
Jika penggunaan pupuk organik dianggap sebagai teknologi tradisional dan
penggunaan pupuk anorganik sebagai teknologi modern maka konsep
pengelolaan hara terpadu yang mengombinasikan pemupukan organik dengan
anorganik sudah memenuhi kriteria per-tanian berkelanjutan.
Consultative Group on Internati-onal Agricultural Research (CGIAR)
sebagai induk organisasi lembaga-lembaga penelitian internasional mendukung

182
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

gagasan pertanian berkelanjutan, tetapi tidak sepakat dengan pengertian pertanian


berkelanjutan yang diidentikkan dengan pertanian organik. CIMMYT mengarti-
kan sustainable dengan supportable, yaitu memacu kenaikan produksi dengan
tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Pengembangan Pertanian Organik

Di Indonesia, sebagai negara agraris yang beriklim tropis basah dengan


sumber daya bahan organik yang melimpah, pengembangan sistem pertanian
organik sangat potensial dan dimungkinkan. Oleh karena itu, Departemen
Pertanian telah mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian
organik. Program tersebut sejalan dengan revitalisasi pertanian, di mana aspek
peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian
sumber daya alam dan lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.
Dengan moto Go Organic 2010, Indonesia memiliki obsesi sebagai
produsen pangan organik utama dunia. Ke depan, permintaan pangan organik
diperkirakan akan terus meningkat. Hal yang tidak kalah pentingnya dari program
ini adalah peningkatan pendapatan petani dan pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan.
Pengertian dan persepsi berbagai pihak tentang pertanian organik memang
masih beragam. Banyak batasan yang dikemukakan, namun secara sederhana,
pertanian organik adalah cara dan sistem budi daya tanaman yang hanya atau
mengutamakan penggunaan bahan-bahan alami (organik) dan tidak meng-
gunakan atau membatasi penggunaan input kimia (anorganik) berupa pupuk dan
pestisida kimia.
Secara umum, ada dua pemikiran yang melatari pengembangan pertanian
organik di Indonesia. Pertama, pemikiran yang merujuk kepada keprihatinan
berbagai kalangan, baik nasional maupun internasional terhadap keamanan
pangan, kondisi lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan petani. Kedua,
pemikiran yang dilatari oleh degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama
lahan sawah serta lingkungan, namun tetap peduli terhadap ketahanan pangan
nasional yang harus bertumpu pada produktivitas tinggi dan stabil, khususnya
untuk komoditas padi. Berdasarkan kedua pemikiran tersebut, pengembangan
pertanian organik (dan penggunaan pupuk organik) dibedakan atas dua
pemahaman umum, yang keduanya sama-sama penting dan patut dikembangkan
(Fagi dan Las, 2006).
Pertama, pertanian organik ”absolut” (POA) sebagai sistem pertanian yang
sama sekali tidak menggunakan input kimia anorganik, hanya menggunakan

183
Las et al.

bahan alami berupa bahan organik atau pupuk organik. Sistem ini adakalanya
dikaitkan dengan konsep pertanian berkelanjutan rendah input (Low Input
Sustainable Agriculture, LISA). Sasaran utamanya adalah menghasilkan produk
dan lingkungan (tanah dan air) yang bersih dan sehat (ecolabeling attributes).
Sistem ini lebih mengutamakan nilai gizi (nutritional attributes), kesehatan, dan
ekonomi produk, yang konsumennya adalah kalangan tertentu (eksklusif), dan
kurang mengutamakan produktivitas.
Kedua, pertanian organik ”rasional” (POR) atau pertanian semiorganik
sebagai sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu
masuk-an yang berfungsi sebagai pembenah tanah dan suplemen pupuk buatan
(kimia anorganik). Pestisida dan herbisida digunakan secara selektif dan terbatas,
atau menggunakan biopestisida. Landasan utamanya adalah sistem pertanian
modern (GAP) yang mengutamakan produktivitas, efisiensi sistem produksi,
keamanan, serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Berbeda dengan pupuk kimia buatan (anorganik) yang hanya menyediakan
satu sampai beberapa jenis hara saja, pupuk organik mempunyai peran penting
dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Meskipun kadar hara
yang dikandung pupuk organik relatif rendah, fungsi kimianya jauh melebihi
pupuk kimia buatan. Fungsi kimia tersebut antara lain adalah: 1) menyediakan
hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S) dan mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn dan Fe),
2) mencegah kahat unsur hara mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah
diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang, 3)
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan 4) membentuk senyawa
kompleks dengan ion logam beracun seperti Al, Fe dan Mn sehingga logam-
logam tersebut tidak meracuni tanaman.
Fungsi fisika pupuk organik antara lain adalah: 1) memperbaiki struktur
tanah, karena bahan organik dapat mengikat partikel tanah menjadi agregat yang
mantap, 2) memperbaiki distribusi ukuran pori tanah sehingga daya pegang air
(water holding capacity) tanah meningkat dan pergerakan udara (aerasi) di dalam
tanah menjadi lebih baik, dan 3) mengurangi (bufer) fluktuasi suhu tanah. Fungsi
biologi pupuk organik adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi mikro dan
mesofauna tanah. Dengan ketersediaan bahan organik yang cukup, aktivitas
organisme tanah yang juga mempengaruhi ketersediaan hara, siklus hara, dan
pembentukan pori mikro dan makro tanah menjadi lebih baik.
Pupuk kimia buatan hanya mampu menyediakan satu (pupuk tunggal)
sampai beberapa jenis (pupuk majemuk) hara tanaman, namun tidak menyediakan
senyawa karbon yang berfungsi memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, serta
(kecuali untuk pupuk buatan tertentu) tidak menyediakan unsur hara mikro.

184
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Dengan demikian, penggunaan pupuk buatan yang tidak diimbangi dengan


pemberian pupuk organik dapat merusak struktur tanah dan mengurangi aktivitas
biologi tanah (Setyorini, 2004).

Sistem Budi Daya Pertanian Ekologis

Sistem budi daya pertanian ekologis (SBPE) adalah sistem pertanian yang
memanfaatkan segala komponen, baik fisik, kimia maupun biologi yang ada
dalam suatu ekosistem, baik di dalam tanah, udara maupun air untuk mencapai
produktivitas yang optimum, sehat, dan berkelanjutan. Pertanian dan pedekatan
SBPE ini dianggap sebagai resultan dinamis dari kegiatan makhluk hidup yang
kompleks (manusia-tanah dan hara, air, tanaman, mikroorganisme) dalam
memanfaatkan sumber daya alam seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Dilts dalam Kasryno, 2006). Dalam kaitan ini, tanah diibaratkan sebagai
makhluk hidup dalam suatu ekosisistem yang dinamis. Tanah yang sehat dicirikan
oleh kekayaannya akan organisme tanah yang berfungsi untuk mengubah sisa
tanaman atau hewan menjadi unsur hara bagi tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip utama dari
SPBE pada tanaman padi mampu meningkatkan kandungan bahan organik tanah
serta ketersediaan hara fosfat dan ni-trogen. Demikian juga kandungan mikroba
tanah yang menguntungkan seperti Actinomycetes dan Azotobacter sebagai
organisme pelarut P, dan Rhizobium jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
pertanian biasa (Setyorini, 2004).

Pengelolaan Tanaman Terpadu

Untuk tanaman pangan, khususnya padi, pengembangan pertanian organik


absolut secara luas berisiko tinggi dan mengancam revitalisasi pertanian,
khususnya ketahanan pangan. Namun, dalam luasan terbatas dan bersifat
eksklusif, terutama untuk menghasilkan beras fungsional dengan karakteristik dan
mutu tertentu, pengembangan padi organik dinilai prospektif.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan penerapan pertanian organik
absolut pada tanaman padi tidak mampu menjamin produktivitas yang tinggi,
bahkan cenderung menurun. Hal ini terkait dengan lambatnya penyediaan hara
makro yang perlu tersedia bagi tanaman dalam waktu yang cepat dan dalam
jumlah yang cukup, sebagaimana yang dibutuhkan oleh varietas unggul modern
yang berpotensi hasil tinggi (>6,50 t/ha), yang biasanya tercukupi dari pemberian
pupuk anorganik seperti urea, TSP, dan KCl.

185
Las et al.

Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian, IRRI, dan FAO


sejak 2001/2002 telah mengembangkan konsep Integrated Crop and Resource
Management (ICM) atau lebih populer disebut Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT), dan Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT). Model PTT/SIPT merupakan
pendekatan dalam sistem usaha tani padi yang berlandaskan pada aspek
sinergisme dan keterpaduan antara sumber daya dan pengelolaan tanaman, yang
salah satu komponen teknologinya adalah sinergi pemupukan anorganik dan
organik, sesuai dengan konsep GAP dan POR.
Dalam PTT/SIPT, pemberian pupuk atau bahan organik merupakan salah
satu syarat utama (compulsory technology), yang berfungsi sebagai pembenah
tanah dan sekaligus sebagai suplemen untuk mengurangi penggunaan pupuk an-
organik. Aplikasi pupuk anorganik didasarkan pada konsep pengelolaan hara
spesifik lokasi yang menganut prinsip feed what the crop need. Pupuk diberikan
secara proporsional dan rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman. Dengan
demikian, aplikasi pupuk organik (terutama pupuk kandang dan jerami) dan
pupuk anorganik sama-sama menjadi andalan dalam peningkatan produktivitas,
efisiensi input, sekaligus untuk perbaikan dan kelestarian sumber daya lahan dan
lingkungan. Dengan PTT dan SIPT, produktivitas padi dapat ditingkatkan 16-36%
dan penggunaan pupuk anorganik berkurang hingga 35% (Las et al., 2004).

Inovasi Teknologi Mitigasi GRK Lahan Pertanian

Sejak lebih dari 10 tahun terakhir, Departemen Pertanian melalui Badan


Litbang Pertanian makin intensif melakukan penelitian dan pengkajian terhadap
aspek lingkungan pertanian. Selain informasi tentang emisi GRK di lahan
pertanian, telah dihasilkan pula informasi tentang residu agrokimia dan
dampaknya terhadap lingkungan. Beberapa inovasi, baik pendekatan maupun
teknologi mitigasi, juga telah dihasilkan. Untuk menekan emisi GRK dari lahan
sawah, ada empat pendekatan yang dapat dikembangkan, yaitu 1) pengelolaan air
dan sistem irigasi, 2) pengelolaan dan pengolahan tanah, 3) teknik budi daya, dan
4) perakitan atau pemilihan varietas unggul.
Pengelolaan air dan sistem irigasi (penggenangan dan drainase) sangat
mempengaruhi proses fisio-fisiko-kimia tanaman-tanah-air, seperti pH, Eh, dan
sirkulasi udara yang sangat berperan dalam proses, reaksi kimia, dan aktivitas
mikroba tanah yang terkait dengan emisi GRK, terutama gas metana dan N2O
(Wihardjaka et al., 1998). Irigasi tetes dan irigasi berselang (intermitten
irrigation) di lahan sawah dapat menekan emisi GRK lebih dari 40%
dibandingkan dengan penggenangan terus-menerus, sebagaimana yang masih

186
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

dipraktekkan oleh sebagian besar petani padi hingga kini (Setyanto et al., 2000;
2003; 2004).
Makin terbatas pengolahan tanah, makin besar pengurangan emisi GRK
dari lahan sawah. Teknik budi daya, terutama sistem tanam yang terkait dengan
umur tanaman di lapang dan penyiangan, sangat berpengaruh terhadap emisi
GRK. Pengaruh varietas unggul terhadap emisi GRK terkait dengan perakaran,
jumlah anakan, dan jaringan aerenkhim tanaman.

Pengendalian Hama Terpadu

Tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida merupakan salah satu komponen


penting dalam mendukung keberhasilan peningkatan produksi pertanian, terutama
pangan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pestisida juga menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu, sejak
lebih dari 20 tahun yang lalu, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk
menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi
pertanian, terutama tanaman pangan.
Konsep PHT yang diimplementasi-kan melalui Sekolah Lapang Pengen-
dalian Hama Terpadu (SLPHT) pada dasarnya bertujuan untuk mendorong agar
penggunaan pestisida sebagai “obat”, dan harus seminimal dan seselektif
mungkin. Dalam hal ini, aplikasi pestisida (kimia) merupakan pilihan terakhir
setelah pendekatan atau teknologi pengendalian lain, seperti pengendalian secara
biologi, mekanis, penggunaan biopestisida, dan penanaman varietas tahan hama
dan penyakit, sudah tidak lagi efektif. Selain itu, aplikasi pestisida dilakukan
pada kondisi tertentu, misalnya jika kerusakan tanaman telah mencapai ambang
ekonomi atau pada saat yang paling efektif dengan dosis yang tepat.

KELEMBAGAAN DAN PERANGKAT KEBIJAKAN

Kebijakan Kekarantinaan

Dalam upaya melindungi keseimbangan ekologis serta kemungkinan


masuknya organisme asing dan produk yang tidak higienis (bebas pestisida) ke
dalam negeri, Departemen Pertanian telah sejak lama menerapkan sistem
karantina pertanian yang diselenggarakan oleh Badan Karantina Pertanian. Badan
tersebut tidak hanya mengawasi pemasukan tanaman dan benih pertanian, tetapi
juga produk-produk pertanian seperti buah-buahan, sayuran, dan ternak. Dalam
Permentan No. 299/Kpts/OT.140/7/2005 pasal 153 ditegaskan pula bahwa Badan
Karantina Pertanian bertugas melakukan pengawasan keamanan hayati terhadap

187
Las et al.

hewan, produk hewan, tumbuhan, dan produk tumbuhan yang diimpor, diekspor,
dan antararea.
Berbagai regulasi, peraturan, dan perundang-undangan telah dikeluarkan
dan ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian, seperti UU No.
1/1982, No. 2/1982 tentang kekarantinaan laut dan udara, terakhir adalah
Permentan No. 2 tahun 2002 yang berkaitan dengan pemasukan benih tumbuhan
atau tanam-an dari luar negeri. Dalam kaitan ini telah banyak bahan tanaman dan
ternak impor yang akhirnya harus direekspor atau dimusnahkan karena membawa
(pembawa) berbagai organisme yang dikhawatirkan akan merusak atau
mengganggu keseimbangan ekologi dan lingkungan nasional.

Regulasi Penggunaan Pestisida dan Pupuk

Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan


regulasi penggunaan agroinput adalah: 1) Permentan No. 7/1973 tentang
peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, 2) Kepmentan No. 280/1973
tentang pendaftaran, aplikasi dan lisensi pestisida, 3) Permentan No. 429/1973
tentang pengepakan dan pelabelan pestisida, 4) Kepmentan No. 944/1984 tentang
pembatasan pestisida, 5) Kepmentan No. 536/1985 tentang pengawasan pestisida,
6) UU No. 12/1992 tentang budi daya pertanian, 7) Kepmentan No. 6/1995
tentang perlindungan tanaman, dan 8) Kepmentan No. 01/2006 tentang
rekomendasi pemupukan dan penghematan pupuk.
Selain sebagai pejabat pengawas yang bersifat struktural di Departemen
Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan dan Departemen
Kesehatan, Menteri Pertanian juga telah membentuk Komisi Pestisida untuk
mengefektifkan penerapan berbagai Kepmentan dan Permentan dalam regulasi
penggunaan pestisida. Komisi yang beranggotakan perwakilan dari berbagai
departemen serta para pakar lembaga penelitian dan perguruan tinggi tersebut,
bertugas membantu Menteri Pertanian dalam mengendalikan, mengawasi, dan
mengevaluasi penggunaan pestisida di Indonesia.

Kebijakan Penelitian dan Pengembangan

Sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, terutama yang berkaitan


dengan dampak yang disebabkan oleh pesatnya penggunaan input agrokimia,
sejak 1978 Badan Litbang Pertanian merintis berbagai penelitian yang berkaitan
dengan isu lingkungan di sektor pertanian. Penelitian mencakup pengaruh residu
pestisida terhadap tanah, air, tanaman, ternak, ikan, dan fauna yang hidup di
lingkungan pertanian seperti burung dan katak.

188
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan residu pupuk dan emisi GRK
pada pertanaman padi juga dikembangkan melalui kerja sama dengan IRRI sejak
1990-an. Bahkan pada tahun 1995 dibentuk institusi khusus yang bertugas
meneliti pencemaran lingkungan pertanian, yaitu Loka Penelitian Lingkungan
Pertanian (Lolingtan) di Jakenan, Pati Jawa Tengah. Berdasarkan pertimbangan
bahwa isu lingkungan akan makin penting dan strategis di sektor pertanian, kini
Loka tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian (Balingtan). Balai ini bertugas melakukan penelitian pencemaran tanah,
air, lingkungan dan produk pertanian, emisi GRK dari lahan pertanian, serta
pengembangan pertanian ramah lingkungan.
Selain itu, sejak tahun 1990-an Departemen Pertanian melalui Badan
Litbang Pertanian juga memberikan perhatian khusus terhadap perubahan iklim
global atau pemanasan bumi, serta anomali iklim. Bahkan sejak tahun 1992, tugas
pokok dan fungsi Pusat Penelitian Tanah dikembangkan menjadi Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, dan selanjutnya pada tahun 2002 dibentuk Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain melakukan penelitian
dan kajian terhadap dinamika iklim dalam konteks pertanian, Balitklimat juga
melakukan berbagai penelitian dan kajian terhadap kekeringan dan banjir, serta
pendekatan dan teknologi mitigasinya.
Beberapa teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dapat dikembangkan
seperti teknologi insinerasi, pemadatan, penyimpanan (containment), dan
bioremediasi. Penggunaan karbon aktif memberi harapan dikembangkan untuk
mengatasi pencemaran tanah oleh pencemar organik dan anorganik (Cunningham
et al., 1995). Karbon aktif dapat menjerap insektisida di dalam air hingga 99,90%
dari konsentrasi awal sebesar 2.250 mg/l (Anonymous, 1991). Karbon aktif dapat
dikombinasikan dengan pupuk sehingga menghasilkan pupuk dwifungsi, yaitu
pupuk lambat urai (slow release) dan pengendali bahan pencemar di lahan
pertanian. Oleh karena itu, selain melakukan pemantauan dan pengamatan
terhadap pencemaran agrokimia dan kimia industri, serta mencari dan merakit
teknologi mitigasi GRK dari lahan pertanian, penelitian lingkungan pertanian ke
depan juga diarahkan untuk menghasilkan teknologi yang dapat mengurangi atau
mengendalikan dampak residu tersebut.

KESIMPULAN

Dampak pembangunan pertanian terhadap lingkungan telah teridentifikasi,


dan pencemaran lingkungan oleh bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) meru-
pakan salah satu dampak yang nyata. Selain itu, kesalahan pengelolaan lahan di
masa lampau telah menyebabkan rusaknya sebagian lahan pertanian, yang

189
Las et al.

berdampak pula terhadap penurunan produktivitas dan mutu produk pertanian,


dan pada akhirnya berujung pula pada pencapaian revitalisasi pertanian
Identifikasi dan pemantauan, serta inovasi teknologi mitigasi dan penang-
gulangan masalah lingkungan pertanian sangat diperlukan untuk mendukung
pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini, Badan Litbang Pertanian
melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian
beserta jajarannya, terutama Balai Penelitian Tanah, Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi, dan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, mempunyai peran
yang sangat startegis untuk menjadi trendsetter dalam pengelolaan lingkungan
pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2002. Multifunctionality and sustainability of paddy fields in Citarum


river basin, West Java. Paper presented in Seminar Nasional Multifungsi
dan Konversi Lahan Sawah, Jakarta 25 Oktober 2002.
Anonymous. 1991. Carbofuran. (http://www.hc-sc.gc.ca/ehp/ehd/catalogue/bhc_
pubs/ dwgsup.doc/carbofur.pdf).
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, and E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residue at
West Java. Proceedings of Greenhouse Gases Emission Research and
Increasing Rice Productivity in Lowland Rice. Research Station for
Agricultural Environment Preservation, Jakenan.
Ardiwinata, A.N. 2004. Effect of Activated Carbon from Coconut Shell and Rice
Hull Application to the Rate of Carbofuran and Residue Content in Soil,
Water and Paddy. PhD Thesis, Indonesian University, Jakarta.
Bachelet, D. and H.U. Neue. 1992. Methane emissions from wetland rice areas of
Asia. Chemosphere 26: 219-237.
Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
(http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table3. shtml).
Brown, C.L. and W.K. Hock 1999. Pesticides and the Environment. University
Exten-sion, University of Missouri, Colombia. 10 pp. (http://
muextension. missouri.edu/explore/agguides/pest/g07520.htm).
Cunningham, S.D., W.R. Berti, and J.W. Huang. 1995. Phytoremediation of
contaminated soils. TIBTECH 13: 393-397.
Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2002. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan.
Departemen Pertanian, Jakarta. hlm. 3-135.
Fagi, A.M. dan I. Las. 2006. Membekali petani dengan teknologi maju berbasis
kearifan lokal pada era Revolusi Hijau Lestari. Prosiding Seminar
YAPADI: Membalik Arus Menuai Revitalisasi Pedesaan. 24 Mei 2006.
Yayasan Padi Indonesia, Jakarta (dalam pencetakan).

190
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, and A.N. Ardiwinata. 1999. Insecticide residue on
East Java irrigated rice ecosystem. Proceedings of Glass House Gases
Emission Research and In-creasing Rice Productivity at Lowland Rice.
Husin, Y.A. 1994. Methane Flux from Indonesian Wetland Rice: The effects of
water manage-ment and rice variety. PhD Thesis, Bogor Agricultural
University. p. 121-135.
Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, and A.N. Ardiwi-nata. 1999. Pesticides pollution on
irrigated and rainfed lowland rice agroecosystem of Central Java.
Proceedings of Glass House Gases Emission Research and Increasing
Rice Productivity at Lowland Rice.
Kasno, A., Suwandi, dan I. Anas. 2003. Usaha mengurangi kadar logam berat
melalui pengapuran pada tanah tercemar tailing. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kasryno. F. 2006. Pemberdayaan petani dan kearifan lokal pada sistem budi daya
perta-nian ekologis berbasis padi. Prosiding Seminar YAPADI:
Membalik Arus Menuai Revitali-sasi Pedesaan. 24 Mei 2006. Yayasan
Padi Indonesia, Jakarta (dalam pencetakan).
Kurnia, U., H. Suganda, R. Saraswati, dan Nurjaya. 2004. Teknologi
pengendalian pencemaran lahan sawah. hlm. 251-281. Dalam Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Las, I., N. Widiarta, dan A. Ruskandar. 2004. Dinamisasi dan kontribusi
penelitian dan teknologi dalam mendukung peningkatan produksi padi
nasional. Prosiding Seminar Nasional Penerapan Agro Inovasi Men-
dukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Sukarami, 10-11 Agustus
2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami.
Las, I., D. Setyorini, dan D. Santoso. 2006. Kebutuhan pupuk nasional: Keragaan
teknologi dan efisiensi. Makalah Seminar Pupuk untuk Perkebunan.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996. Suppressing methane emission
from rainfed lowland rice field in Jakenan, Central Java. Paper presented
at the International Symposium on Maximising Sustainable Rice Yield
through Improved Soil and Environmental Management, Khon Kaen,
Thailand.
Munarso, J. and D. Setyorini. 2004. Heavy Metal Distribution in Relevant Arable
Soil and Staple Crops in Indonesia. CODEX Food Savety. JIRCAS,
Tokyo
Nurjaya. 2003. Identification and inventari-zation of agrochemical pollution at
veget-ables production areas. Annual Report of Research Station for
Agricultural Environment Preservation, Jakenan.
Setyanto, P., A.B. Rosenani, C.I. Fauziah, and A.K. Makarim. 2000. Influence of
Soil Properties on Methane Production Potential from Wetland Rice Field
in Java. MSc Thesis, Universiti Putra Malaysia.

191
Las et al.

Setyanto, P., H. Burhan, Suharsih, dan N. Orbanus. 2003. Pengaruh rejim air dan
pengelolaan tanah terhadap emisi metana dari lahan sawah. Laporan kerja
sama penelitian Syngenta dan Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan
Pertanian Jakenan.
Setyanto, P., A.B. Rosenani, M.J. Khanif, C.I. Fauziah, and R. Boer. 2004.
Methane Emission and Its Mitigation in Rice Fields under Different
Management Practices in Central Java. PhD Dissertation, Universiti Putra
Malaysia.
Setyorini, D. 2004. Strategies to harmonize rice production with biodiversity.
Paper pre-sented at Workshop on Harmonious Co-existence of
Agriculture and Biodiversity, Tokyo, Japan, 20−22 October 2004.
Suganda, H., D. Setyorini, H. Kusnadi, I. Saripin, and U. Kurnia. 2002.
Evaluation of the effect of liquid wastes from factories on the
sustainability of rice production. Paper presented at Prelimenary Seminar
of Multifunctionality of Paddy Field, Bogor 2 October 2002.
Taylor, J.A., G.P. Brasseur, P.R. Zimmerman, and R.J. Cicerone. 1993. A study
of sources and sinks of methyl chloroform using a global three
dimensional Lagragian troposheric tracer transport model. J. Geophys.
Res. 96: 3013−3044.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1998. Pengaruh penggunaan
bahan organik terhadap hasil padi dan emisi gas metana pada lahan
sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan.

192
Isu dan Pengelolaan Lingkungan

Lampiran 1. Kandungan residu pestisida pada beberapa prodouk pertanian, tanah, dan air

Sampel Residu pestisida Referensi

1. Padi /beras lindane, aldrin, endosulfan, chlorpyrifos, Ardiwinata (1996),


carbofuran, diazinon, heptachlor, DDT, Ardiwinata et al. (1997),
carbaryl Ardiwinata et al., (1999),
Jatmiko et al. (1999)
Harsanti et al. (1999)
Ismaya (1996)
2. Kedelai lindane, dieldrin, BPMC, MIPC, Samodra et al. (1992)
chlorpyrifos, fenthion, carbofuran, Ardiwinata et al. (1997)
heptachlor, DDT, carbaryl, diazinon Kartoseputro et al. (1988)
3. Susu lindane, dieldrin, endosulfan, DDT Iljas et al. (1986)
4. Telur DDT, aldrin, dieldrin, lindane, endrin Ashari (1986)
5. Buah- cyhalotrin, deltametrin, propineb, Arvina (1998)
buahan diazinon, chlorpyrifos, Syahbirin et al. (2001)
benomyl,carbedazim
6. Sayur- DDT, endosulfan, lindane, aldrin, Karindah (1995)
sayuran dieldrin, diazinon, fenithrotion, Laksanawati et al. (1994)
malathion, fenthion, chlorpyrifos
7. Tanah lindane, aldrin, endosulfan, carbofuran, Guntazuardi et al. (1992)
MIPC, BPMC, chlorpyrifos Sulaksono (2001),
Ardiwinata (1996),
Jatmiko et al. (1999)
Harsanti et al. (1999)
Ohsawa et al. (1985)
Marmer (1995)
8. Lahan lindane, aldrin, endosulfan Sulaksono (2001)
sawah Ardiwinata (1996)
Ohsawa et al. (1985)
9. Air sungai Chlororganic Ardiwinata dan Djazuli
(1992)
10. Air sumur lindane, endosulfan Ardiwinata et al. (1999)
Harsanti et al. (1999)
Jatmiko et al. (1999)
11. Air laut Chlororganic Ardiwinata dan Djazuli
(1992)
12. Sapi endosulfan, chlorpyrifos Nuraini (2002)
13. Ikan carbofuran, diazinon, quinalfos, Samudra et al. (1989)
phonofos
14. Daging endosulfan, chlorpyrifos, profenofos, Nuraini (2002)
Kambing betasiflutrin, abamectrin
15. Telur Chlororganic Ginoga (1999)
burung Indraningsih et al. (1988)
Sumber : Ardiwinata (2004)

193

Das könnte Ihnen auch gefallen