Sie sind auf Seite 1von 57

MAKALAH

Reformasi Birokrasi Pada Administrasi Publik

Disusun oleh :

Saiful Afandi
Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan masalah makalah tentang reformasi birokrasi pada
administrasi publik dengan tepat waktu.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa


masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasa dan kami menyadari bahwa pengetahuan kami sangatlah
terbatas. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah yang telah kami susun
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap para pembaca.

Jakarta, april 2019


Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................i

Daftar Isi........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................1

B. Ruang Lingkup Penulisan...................................................................3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...........................................................4

BAB II KAJIAN TEORITIK

A. Konsep reformasi birokrasi.................................................................5

B. Sejarah birokrasi.................................................................................7

C. Perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia...............................14

D. Evolusi model birokrasi dalam perspektif ekonomi...........................15

E. Strategi reformasi birokrasi................................................................17

F. Tujuan reformasi birokrasi..................................................................17


BAB III PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN DARI

PADA REFORMASI BIROKASI DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

A. Permasalahan....................................................................................19

B. Pembahasan......................................................................................19

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi birokrasi saat ini sangat diperlukan dalam rangka


perbaikan kualitas aparatur sipil negara. Dari sudut pandang masyarakat,
birokrasi selama ini dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, berbelit-
belit, dan tidak profesional. Dari sudut pandang pemerintah sendiri mulai
merasa tidak nyaman dengan status aparatur sipil negara yang
mempunyai predikat sewenang-wenang, koruptif dan tidak melayani.
Pemerintah menghendaki adanya peningkatan pencitraan birokrasi dimata
masyarakat, sehingga pemerintah sendiri juga menginginkan segera
dilakukan perbaikan citra aparatur sipil negara melalui program reformasi
birokrasi.

Reformasi birokrasi merupakan sebuah kebijakan yang dibuat


untuk mengubah atau membuat suatu perbaikan dalam birokrasi
pemerintahan Indonesia saat ini. Perubahan atau perbaikan yang ingin
dilakukan dalam reformasi birokrasi mencakup struktur dan proses dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, serta perubahan pada mindset dan
culturset pegawai. Reformasi birokrasi juga bertujuan untuk memperbaiki
prosedur administrasi dibirokrasi pemerintah, perbaikan penggunaan
keuangan negara dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dasar
hukum pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi ini tertuang dalam
Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025. Penjabarannya dituangkan dalam Permenpan & RB
No.20 Tahun 2010 dan Permenpan & RB No.11 Tahun 2015 tentang road
map Reformasi Birokrasi.
Sistem birokrasi sangat diharapkan dapat menjalankan perannya
secara optimal. Namun, dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi dalam

1
pemerintah sering kali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan
untuk melaksanakan urusan pemerintah sehari-hari, birokrasi juga sering
kali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan
dan layanan publik tersendat dan bertele-tele. Gejala penyakit birokrasi
seperti ini , tampak pula dalam sistem birokrasi pemerintahan di
Indonesia. Berbagai kritik tentang in-efisiensi dalam sistem birokrasi
Indonesia, kuantitasnya yang terlalu besar dan kaku sudan sering
dinyatakan terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem pencaloan
yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi
menyiratkan bahwa reformasi birokrasi pemerintah harus dilakukan.

Reformasi birokrasi pemerintah sangat mendesak untuk dilakukan


ketika dikaitkan dengan berbagai perubahan dalam konteks global, antara
lain perubahan paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis
selama periode pertengahan abad 20 hingga awal abad 21. Gelombang
demokratisasi yang ditandai dengan kemerdekan negara-negara bekas
jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim otoritarian, kecenderungan
sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa perubahan yang berarti
dalam sistem kekuasaan menjadi lebih demokratis dan terdistribusi
(desentralisasi).

Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik


dipandang akan lebih efektif dan efisien, tapi asumsi ini mengalami
perubahan ketika menghadapi tantangan dimasa kini yang menuntut
pemerintah untuk makin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akan
tetapi,berbagai penyimpangan yang terjadi sebagai dampak dari
sentralisasi menyebabkan legitimasi pemerintah menurun dimata publik.
Ketika negara tidak lagi cukup memiliki kemampuan untuk memaksakan
kepatuhan masyarakat dan makin luasnya keterbukaan akses informasi
publik, maka yang terjadi adalah fenomena kegagalan negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, penurunan
kapasitas negara ini akan berdampak negatif karna mengarah deligitimasi
2
pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi memunculkan anarkisme.
Kegagalan negara dalam arti pemerintah dalam memenuhi kebutuhan
masyarkat akan menimbulkan keraguan publik terhadap urgensi
kehadiran negara dalam hal ini pemerintah. Kondisi ini bila dibiarkan akan
mengarah kepada ketidakpastian dan pelemahan jaminan hukum bagi
seluruh lapisan masyarakat.

Reformasi birokrasi pemerintah menjadi bagian dari upaya untuk


memperkuat negara karena melalui reformasi birokrasi, peran dan lingkup
intervensi negara dalam hal hal ini yaitu pemerintah didefinisikan ulang
untuk menjawab tantangan zaman. Karena itu, reformasi birokrasi juga
tidak sekedar menyederhanakan struktur birokrasi, tapi mengubah pola
pikir (mind set) dan pola budaya (cultural set) birokrasi untuk berbagi
peran dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi pemerintah merupakan
unsur yang sangat vital dalam menentukan arah untuk mencapai
keberhasilan suatu penyelenggaraan negara. Dengan kemajuan teknologi
terutama teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta
persaingan global yang semakin ketat, masyarakat sangat peka terhadap
kinerja birokrasi pemerintahan dan sangat peduli dengan peningkatan
kualitas hidupnya. Baik atau buruk kinerja birokrasi pemerintah akan
sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahnya.

(Dede Mariana, Caroline Paskarina, Heru Nurasa, tahun 2010)

B. Ruang Lingkup Penulisan


Untuk memperjelas permasalahan yang akan dibahas dan agar tidak
terjadi pembahasan yang menyimpang, maka perlu dibuat suatu batasan
masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam

3
penulisan makalah Pengantar Ilmu Administrasi Negara/Publik. Ruang
lingkup yang dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai reformasi
birokrasi pada administrasi publik (sejarah birokrasi publik di Indonesia) .

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :

Untuk mengetahui perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia

Untuk mengetahui pengaruh-pengaruh pada masa reformasi


birokasi terhadap perizinan penanaman modal didaerah kota
bekasi

Untuk mengetahui evolusi model birokrasi dalam pespektif


ekonomi Untuk mengetahui bagaimana strategi reformasi birokrasi
Untuk lebih memahami tentang akuntabilitas dalam birokasi

Reformasi birokrasi sendiri bertujuan untuk memberikan pelayanan


sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini :

Mengetahui berbagai permasalahan yang ada di


Indonesia Mengetahui perkembangan reformasi di
Indonesia
Mengetahui tujuan didirikannya reformasi
birokrasi Mengetahui Strategi Reformasi Birokrasi
4
BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Konsep Reformasi Birokrasi

Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, sifat dan lingkup


pekerjaannya, serta kewenangan yang dimilikinya birokrasi menguasai
aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi menguasai
kewenangan terhadap akses-akses seperti sumber daya alam,
anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses
pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan
posisi, kemampuan, dan kewenangan yang dimilikinya tersebut,
birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat
kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga untuk memperoleh
dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha. Selain itu,
birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian teknis
terspesialisasi yang tidak dimiliki oleh pihak-pihak diluar birokrasi,
seperti dalam hal perencanaan pembangunan, pengelolaan
infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan transportasi
transportasi dan lain-lain. Dalam konteks policy making process,
birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting pada semua
tahapan mulai dari tahap perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan
berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dari
gambaran di atas nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki
peran yang cukup besar. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut
menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program
dan kebijakan pembangunan. Jika birokrasi buruk, upaya
pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan.
Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka

5
program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada
tataran ini, birokrasi menjadi salah satu prasyarat prasyarat penting
keberhasilan pembangunan.

Peran birokrasi dengan fungsi administrasi negara dilakukan oleh


birokrasi. Jadi birokrasi diartikan sebagai keseluruhan lembaga
pemerintahan negara, yang meliputi aparatur kenegaraan, aparatur
pemerintahan, serta sumber daya manusia birokrasi yang terdiri atas
pejabat negara dan pegawai negeri.

Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama


meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang
mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-
hari. Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas
terencana yang berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan
efektivitas pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya (Adi
Suryanto, 2012).

Pembangunan birokrasi yang bersih dan bebas KKN menyangkut


seluruh sendi birokrasi, bukan hanya PNS/birokrat, namun meliputi
pembangunan struktur, sistem, business process, dan karakter/etika
moral. Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui
sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara
khusus Presiden telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan
birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang secara substansi oleh
Sofian Effendi (2010) disebut juga sebagai reformasi birokrasi. Kekuasan
yang memusat mengakibatkan tidak adanya transparansi sehingga
menyulitkan lahirnya pertanggung jawabab publik. Tidak adanya
keterbukaan dikalangan instansi dan pejabat pemerintah, mengakibatkan
akses melakukan kontrol rakyat menjadi buntu dan mampet. Selain itu
reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah perlu segera ditata
6
ulang, yang memungkinkan adanya kejelasan antara posisi jabatan politik
dan birokrasi karier. Dengan demikian pertanggung jabaran publik bisa
didorong dengan melakukan desentralisasi kekuasaan, transparansi,
reposisi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah. Struktur
kelembagaan pemerintah warisan pemerintah Orde Baru perlu diperbaiki
dan disempurnakan sesuai dengan perubahan strategis nasional kita di
era reformasi ini. Selain itu dengan memperhatikan prinsip efisiensi,
penghematan, kordinasi, integrasi dan rasionalitas maka perampingan
susunan kelembagana birokrasi pemerintah perlu dipikirkan. Selain itu
efisiensi, penghematan, kordinasi, integrasi dalam susunan kelembagaan
pemerintahan perlu dilakukan sehingga tidak ada lagi kekembaran
lembaga yang tugas dan fungsinya sama.(Thoha, 2002)

B. Sejarah Birokrasi

Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke


Masa Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing
pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan
masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan,
pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal
atau absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua
masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi
pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan,
yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik


sebagai urusan pribadi.
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.

7
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah
yang juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.

Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap


rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan
pusat (keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat
pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh
seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator (pepatih lebet). Pejabat-
pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai
(abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,
seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja
untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang
telah ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara
raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial

Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak


terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada
saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem
birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai
bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara
politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik
dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif
utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik
kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi
pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan
sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan
sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,
sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
8
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya
pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan
pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada
wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan
gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara
jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan
residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan
di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten
terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan
pemerintahan sehari-hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama

Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial


politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi
pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara
pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang
akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus
ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan
konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis
menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara
menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa
mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan
pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan
pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki
keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem
politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa
konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam

9
tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet
menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam
birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik
yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi
pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang
sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-
program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai
yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang
menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar
mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau
berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam
birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-
tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau
program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai
politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru
selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang
berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan
pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan
loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme


Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam
masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol piblik secara penuh.
Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur
system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis,
dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok
fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang
bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
10
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde
Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program
pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan
pada :

1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam


hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak
kepemimpinan pusat.
3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti


pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan
politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan
paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi
begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai
kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang
tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja
birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di
Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne
dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang
seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada
masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi
birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara-negara
berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh
para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu.
Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi,

11
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi
norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan
hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah
yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari
lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang
terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,
tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa
arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog
Gate setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi
masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan
dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat
apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif
bagi kepentingan-kepentingan golongan atau partai politik tertentu.
Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh
kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk
bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan
budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat
birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk
dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya
kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa
dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai,
bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik,
telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan
arogan terhadap masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan,


publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam
birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran
tersebut

12
sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh
birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang
dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan
masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk
kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja
birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan
publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk
salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat
birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang
memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi.
Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya
penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur
perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan
sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa


eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya
sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat
birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari
masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam
dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut
menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang
membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku
birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan
kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di
Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa
berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap
kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi
tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan
birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat
13
tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya
penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan
berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih
tetap berlangsung.

C. Perkembangan Reformasi Birokrasi di Indonesia

Pasca runtuhnya era Orde Baru, dalam reformasi birokrasi


Indonesia tahap pertama (2010-2014) Indonesia melakukan transisi dari
model birokrasi sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti
model Webberian, namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model
patronase yang sentralistis. Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde
Reformasi sistem birokrasi ditata kembali untuk menghilangkan model
patronase antara lain melalui penyusunan tupoksi, indikator kinerja dan
job grading. Langkah awal penataan birokrasi sejauh ini patut diapresiasi
dan telah menunjukkan hasil dalam kestabilan struktur birokrasi.
Beberapa sektor pemerintah (termasuk Kementerian Keuangan) telah
berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang ditunjang oleh upaya
keras pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun harus diakui
di sebagian sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsip-
prinsip transparansi, stabilitas, dan predictability model Webberian dalam
pengambilan kebijakan belum berjalan mulus. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, model birokrasi kementerian dan lembaga pemerintah
Indonesia termasuk Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal,
Kementerian Keuangan saat ini pada umumnya masih menganut prinsip-
prinsip model Webberian sebagaimana diusung oleh UU Nomor 43 Tahun

14
1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian. Walaupun demikian terdapat lembaga pemerintah
seperti Kementerian PPN/Bappenas yang sudah memelopori penerapan
sebagian model NPM sejak tahun 2004 melalui penghapusan dan
pengalihan jabatan eselon IV di kedeputian-kedeputian ke jabatan
fungsional perencana (JFP). Unit kerja eselon IV kini hanya ditemui di
Sekretariat Kementerian PPN/Sekretariat Utama Bappenas, Tata Usaha
Kedeputian, dan Inspektorat. Melalui pengalihan ke jabatan fungsional
tersebut Bappenas menargetkan terjadi peningkatan kemampuan
profesional dan peningkatan kinerja khususnya para fungsional perencana
di bidang perencanaan baik perencanaan makro, sektoral, dan regional
pembangunan nasional. Upaya Bappenas tersebut selaras dengan
wacana pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang
telah disuarakan dalam berbagai kesempatan oleh Kemenpan-RB, dan
juga UU ASN yang secara filosofis hanya mengenal eselonisasi hingga
eselon II – eselonisasi yang diistilahkan sebagai jabatan pimpinan tinggi.
Dalam UU ASN, jabatan yang berorientasi pada administrasi dimasukkan
ke dalam jabatan administrasi, sedangkan jabatan yang berorientasi pada
fungsi dimasukkan ke dalam jabatan fungsional.(Setiawan, 2015)

D. Evolusi Model Birokrasi Dalam Pespektif Ekonomi

Model Model Model

Webberian Patronase NPM


Menurut model Webberian, administrasi pemerintahan didasarkan
atas dokumen-dokumen tertulis, dan pengambilan keputusan merujuk
pada aturan- aturan yang didokumentasikan dan didasari kebiasaan

15
pelaksanaan suatu kegiatan sebelumnya. Model ini menekankan
pentingnya kendali terhadap input dan proses pengambilan kebijakan.
Keberadaan aturan yang terdokumentasi dengan baik memungkinkan
mutasi pegawai tidak akan mengganggu roda administrasi pemerintahan,
sehingga membuat struktur birokrasi lebih permanen dan stabil.

Berbeda dengan model patronase, pemisahan secara tegas


dilakukan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Anggota
legislatif bertindak sebagai pembuat kebijakan dan pemerintahlah
kemudian yang mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Model New Public Management (NPM). Terdapat tiga ciri utama


dalam model NPM yaitu :

1. Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik)

Mengubah hirarki agar lebih datar (flat) yang diikuti dengan


penyesuaian sistem informasi dan manajerial. Contoh diagregasi
dalam hal ini adalah penghapusan dan pengalihan jabatan eselon
III dan IV yang berorientasi fungsi dan bukan administrasi menjadi
jabatan fungsional yang ditunjang oleh sistem informasi dan
manajerial yang sepadan.
2. Kompetisi penyedia sumber daya internal

Menggantikan pengambilan keputusan berjenjang (hirarki) dengan


diversifikasi sumber-sumber penyedia input dan input antara dalam
proses internal organisasi dan persaingan yang sehat. Contohnya
adalah dengan mengurangi rantai komando dan melakukan
pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang
bekerja berdasarkan merit system. Dengan penetapan target
kinerja, akan terdapat beragam output dari para pejabat fungsional
yang saling berkompetisi untuk memperoleh reward dari unit
organisasi - baik sebagai tim maupun perseorangan.

16
3. Skema remunerasi.

Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis


remunerasi (diukur dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah
dibuktikan efektivitasnya pada sistem insentif bagi para profesional
di sektor swasta(Setiawan, 2015)

E. Strategi Reformasi Birokrasi

Pelaksanaan reformasi administrasi, khususnya reformasi birokrasi


tidak selalu berjalan mulus, penuh tantangan yang dihadapi, sebagaimana
dikatakan Cepiku dan Mititelu (2010: 63) dalam Jurnal Transylvanian
Review of Administrative Sciences No. 3E, bahwa reformasi administrasi
publik di Negara-negara Transisi (seperti Albania dan Rumania) Untuk
melangkah ke pelaksanaan reformasi administrasi, ditawarkan dua
strategi, yaitu Comprehensive Strategy dan Incremental Strategy (Lee,
1970: 14-16). Comprehensive Strategy adalah suatu cara atau pola yang
digunakan oleh suatu lembaga manajerial pusat dalam mengendalikan
beberapa bidang cakupan seperti personil, anggaran dan organisasi.
Dalam penerapan strategi ini, diperlukan dukungan politik dari penguasa,
sedangkan Legislatif dan partai Politik jarang memberikan dukungan yang
memadai (Samonte dan Khosla dalam Lee, 1970: 14). Komitmen politik
penguasa diperlukan, mengingat seluruh perencanaan reformasi
administrasi yang akan dilakukan dibuat dan harus diketahui penguasa,
sehingga goal yang diinginkan akan tercapai. Sebagaimana hasil
penelitian di beberapa daerah, ditemukan bahwa salah satu faktor
pendukung keberhasilan reformasi birokrasi di daerah adalah komitmen
dan political will kepala daerah (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006:
175-176). Incremental Strategy adalah suatu pendekatan yang melihat

17
reformasi administrasi secara bertahap dan sebagai rantai yang
berurutan, karena reformasi dianggap sebagai suatu proses.(Fisip &
Jakarta, 2014)

F. Tujuan Reformasi Birokrasi

Tujuan dari reformasi birokrasi yaitu untuk menciptakan birokrasi


pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja
tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayanipublik, netral, sejahtera,
berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilaidasar dan kode etik aparatur
negara.
18
BAB III

PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN DARI REFORMASI

BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

A. Permasalahan

1. Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?

2. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi


birokrasi?
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi patologi?

B. Pembahasan

1. Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena


sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak
beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan
mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami
perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam

19
Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi
atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara
pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-
negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi,
dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih
baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada
perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat
birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada
pemerentah agar mampu memerangi KKN dan membentuk
pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk
menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel.
Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi
yang dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan dengan
baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang
dilayani pemerintah.

Tujuan reformasi birokrasi :

Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.

Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka,


demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi negara.

Pemerintah yang bersih (clean


government). Bebas KKN.
Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
20
2. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi
birokrasi?

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan


bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara
menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran
masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi
Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers.
Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota
serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali.
Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan
proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan
sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan
menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa


birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai
pegawai birokrat yang makin membengkak.

Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-


penyimpangan berikut, seperti :

1. Maraknya tindak KKN

2. Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga


pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal

3. Pelayanan publik yang diskriminatif


4. Penyalahgunaan wewenang

5. Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

21
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi patologi?

Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna


merespon kesan buruk birokrasi. Birokrasi perlu melakukan beberapa
perubahan sikap dan perilakunya antara lain:

Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang


diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan
menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.

Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang


bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan
yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang
dapat diserahkan kepada masyarakat).

Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan


prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi
modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan
tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan
waktu.

Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik


dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan.

Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari


birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi
yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan
responsif.

Birokrasi mendorong perwujudan pemerintahan yang bersih dan


bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada peningkatan
pengawasan terhadap aparatur negara. Serta pendidikan karakter

22
ditingkatkan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Ditambah
pemberian hadiah berupa kenaikan gaji, pangkat jabatan, bagi
pegawai yang bekerja di instansi-instansi yang memiliki tingkat
integritas baik dalam pengelolaan birokrasi, supaya mereka dapat
termotivasi untuk selalu menjaga amanah atas tugas yang
diberikan.

Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi


yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien
kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur
yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi
kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat,
sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya
sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam
kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan
tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan
(capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan
memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah


sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga
kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik
manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada
peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal
oriented).
23
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik-


baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan
pada masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan
banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada
pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor
pembangunan dan aktivitas pemberdayaan.
Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya reformasi
di bidang lain dalam suatu pemerintahan yang mengaplikasikan konsep
administrasi pembangunan. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan
reformasi di bidang lain rekomendasi yang pertama harus dilakukan
adalah reformasi birokrasi yang meliputi kelembagaan dan
ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan pengawasan dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Reformasi
kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur organisasi birokrasi

24
pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang tindih
pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyusunan organisasi yang
didasarkan pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena
adanya tuntutan yang mendesak dan harus dilakukan untuk mendorong
proses percepatan reformasi birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang
kelembagaan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi termasuk melakukan
penataan kelembagaan sesuai dengan standard operating procedure atau
SOP.
2. Melakukan penerapan audit institusi.

3. Di bidang ketatalaksanaan perlu dipertimbangkan sistem rekrutmen dan


promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya dan
dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana yang berlaku
di lingkungan swasta.

Selanjutnya, usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat


birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus
memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.

2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.

3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.

Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dapat


terwujud apabila semua lapisan masyarakat turut berperan serta dalam
upaya pemberharuan diberbagai bidang khususnya dalam bidang
pelayanan (birokrasi) pemerintah, karena birokrasi pemerintah merupakan
proses interaksi / hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta
langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu negara dalam berbagai
bidang.

25
Dan yang terakhir, untuk mendorong perwujudan pemerintahan yang
bersih dan bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada peningkatan
pengawasan terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat dilakukan
melalui audit internal maupun audit eksternal.

DAFTAR PUSTAKA

http://blochafauros.blogspot.com/2012/08/contoh-makalah-
reformasi-birokrasi-dan.html

http://makalahme02.blogspot.com/2013/05/contoh-makalah-
reformasi-birokrasi-di.html

https://www.google.co.id/search?

q=permasalahan+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&oq=permasalah

an+dan+solusi+dalam+reformasi+birokrasi&aqs=chrome..69i57j35i39j0l4.

21806j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
http://pemerintah.net/hambatan-dan-tantangan-reformasi-birokrasi/

Revitalisasi Administrasi negara reformasi birokrasi dan e-Governance.

Editor Falih Suaedi, Bintoro Wardiyanto.

26

Das könnte Ihnen auch gefallen