Sie sind auf Seite 1von 13

Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya1

Parsudi Suparlan

(Universitas Indonesia)

Abstract

In this article the author looks into social conflict and alternative solutions to the prob-
lem. He begins by discussing the merits of a conflict model in viewing society, as expounded by
Dahrendorf, Bailey and others. The author argues that, in contrast, the New Order Regime of
Indonesia followed a model of equilibrium, characteristic of most pseudo-democratic or au-
thoritarian states. With an emphasis on gotong royong. uniformity, balance and harmony, any
move toward individuality or anti-stability was seen as having no function in the maintenance
of the system. Holding to this latter model, any view deviating from official policy was removed.
Different views could only be expressed by those with power, who were in fact those in power.
By setting the rules of the game, their own views were never seen as a form of deviation. This led
to the emergence of conflict between various groups, whereby some were stripped of their
identities, dignity and/or material resources in the interest of the state or more powerful
groups. Conflicts between ethnic groups present a special problem, because any attack on the
group is seen as an attack on the individual, and vice versa. The author suggests that with a
conflict model, differences are a given, and conflicts give rise to competition where there exist
rules for competition that are fair and well-enforced. These rules must be enforced by an
impartial police. However, the incorporation of the police into the Indonesian military for the
past 32 years has placed emphasis on the use of military tactics for resolving conflict. In fact,
one solution to the problem of conflict is the presence of one institution or organization that
can be trusted and depended upon by all parties involved; and this should be the police.

Key words: conflict potentiality; ethnic plurality; culture dominant.

Pendahuluan Berbeda dengan persaingan atau kompetisi


Konflik dapat dilihat sebagai sebuah yang memiliki tujuan utama: pencapaian
perjuangan antarindividu atau kelompok untuk kemenangan melalui keunggulan prestasi dari
memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama yang bersaing, maka dalam konflik, tujuannya
ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran adalah penghancuran pihak lawan. Karena itu,
pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin
sebagai sesuatu tujuan utama untuk dicapai acapkali menjadi tidak sepenting
memenangkan tujuan yang ingin dicapai. keinginan untuk menghancurkan pihak lawan.
Konflik sosial yang merupakan perluasan dari
1
Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang
konflik individual, umumnya terwujud dalam
sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. bentuk konflik fisik atau perang antardua
XXIII, no. 59, 1999, hlm. 7–19.

138 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


kelompok atau lebih yang biasanya selalu tindakan-tindakan yang terwujud sebagai kon-
terjadi dalam keadaan berulang. flik dilihat sebagai penyimpangan, atau tidak
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya fungsional dalam kehidupan manusia.
berhenti untuk sementara, karena harus Sebaliknya, para ahli sosiologi konflik,
istirahat agar dapat melepaskan lelah; atau bila melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-
jumlah korban pihak lawan sudah seimbang tindakan sosial manusia, sebagai hasil dari
dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik,
istirahat, konflik diteruskan atau diulang lagi kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang
pada waktu atau kesempatan yang lain. Contoh perorang atau kelompok berada diatas norma-
klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
dilihat dalam kehidupan Orang Dani dan masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha
Orang Yale yang hidup di pegunungan pencapaian kepentingan-kepentingan itu
Jayawijaya, Irian Jaya. Orang Dani, secara didorong oleh konflik-konflik antarindividu
tradisional, dari waktu ke waktu, hidup dalam dan kelompok sebagai aspek-aspek yang lazim
keadaan perang antarkelompok kerabat atau terdapat dalam kehidupan sosial manusia.
klen, atau moiety yang terwujud sebagai perang Model lain yang bertentangan, tetapi relevan
antardesa atau federasi desa (lihat Heider 1970). dengan model konflik, adalah model keteraturan
Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk
Orang Yale, yang hidup di wilayah bagian Timur kompetisi dan konflik dalam olahraga dan
dari Orang Dani (lihat Koch 1971:359-365). politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.
Menurut Koch (1971:360), sesuatu perang Dalam tulisan ini, saya mencoba melihat konflik
sebagai sebuah symptom, umumnya terjadi sosial dalam perspektif model konflik dan model
karena ketidakadaan, tidak cukupnya, atau keteraturan, dalam upaya memahami potensi-
telah hancurnya prosedur-prosedur yang potensi dan eskalasinya, serta upaya-upaya
dapat digunakan untuk menjembatani untuk pencegahannya.
perbedaan-perbedaan yang dapat memecah-
kan dan menghentikan perang, atau konflik Konflik dan keteraturan
tersebut. Dahrendorf (1959), salah seorang tokoh
Dalam karya klasik tokoh sosiologi Talcott yang mengembangkan model konflik, melihat
Parsons dan Edward Shills (1951), dinyatakan bahwa kehidupan manusia dalam berma-
bahwa proses-proses sosial yang terwujud syarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang
sebagai tindakan-tindakan sosial pada bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-
dasarnya bertujuan untuk dapat saling beker- sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh
ja sama di antara para pelaku yang merupakan Karl Marx, melainkan karena berbagai aspek
warga masyarakat. Karena itu, proses-proses yang ada dalam masyarakat; yang dilihatnya
sosial mempunyai fungsi-fungsi yang me- sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut
nekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan dikatakannya bahwa organisasi menyajikan
sosial dan kemasyarakatan yang bercorak pendistribusian kekuatan sosial kepada
keseimbangan atau ekuilibrium di antara unsur- warganya secara tidak merata. Karena itu,
unsurnya, sehingga menghasilkan adanya warga suatu masyarakat akan tergolong
integrasi sosial dan integrasi kemasya- kedalam mereka yang ‘mempunyai’ dan yang
rakatan. Oleh Parsons dan pengikutnya, miskin, dalam kaitan dengan kekuatan sosial

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 139


atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga pelakunya lazim kita namakan sebagai
membatasi berbagai tindakan manusia, maka sportivitas. Sportivitas hanya mungkin
pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya diwujudkan dalam tindakan-tindakan para
dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai pelaku olahraga kompetitif bila ada aturan main
kekuasaan. Mereka yang miskin kekuasaan, yang jujur dan adil dalam kompetisi tersebut,
yang terkena oleh pembatasan-pembatasan dan bila ada wasit dan/atau juri yang menjaga
secara organisasi oleh yang mempunyai keberlangsungan keadilan dan kejujuran selama
kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan kompetisi tersebut berlangsung. Ini pun masih
mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh harus didukung oleh adanya penonton yang
Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang mengawasi bagaimana wasit dan/atau juri
endemik, atau yang selalu ada dalam kehidupan tersebut menjalankan peran-perannya. Bila
manusia bermasyarakat. dirasa kurang, maka bila perlu, dibentuk komisi
Coakley (1986:24-33), seorang ahli sosiologi yang akan menilai keputusan-keputusan wasit
olahraga, melihat kehidupan manusia sebagai dan/atau juri dalam memimpin dan menilai
sebuah keteraturan, dan bahwa keteraturan kompetisi yang telah berlangsung. Karena itu,
tersebut terwujud karena adanya berbagai individu-individu dalam kompetisi tim, seperti
dukungan yang bersumber dalam masyarakat basket misalnya, mau tidak mau akan harus
itu sendiri. Dukungan yang dimaksud adalah bermain secara sportif. Bila tidak, secara
pranata-pranata sosial dan norma-norma sosial individu, mereka akan merugikan tim atau
serta nilai-nilai budaya masyarakat yang kelompoknya, karena berbagai bentuk
bersangkutan. Olahraga, menurut Coakley, hukuman yang dijatuhkan oleh wasit dan/atau
adalah salah satu aspek dalam kehidupan juri atas pelanggaran-pelanggaran mereka
masyarakat yang mendukung lestarinya sebagai individu anggota tim dalam kompetisi
keteraturan. Model keteraturan tersebut yang berlangsung.
sebenarnya adalah model dialektik dari hakekat Model Coakley tersebut telah dikemukakan
olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi (konflik) sebelumnya oleh Bailey (1969) dalam men-
yang terwujud sebagai konflik antarindividu jelaskan proses-proses politik. Bailey menyata-
atau antara sekelompok individu dengan kan bahwa proses-proses politik pada
sekelompok individu lainnya (individu-individu dasarnya adalah persaingan antara dua
melalui individualitas masing-masing beker- kelompok atau lebih untuk memperebutkan
jasama dalam sebuah tim untuk mengalahkan posisi atau kekuasaan penentu dalam kebijakan
individu-individu dari tim lainnya). umum mengenai penguasaan, alokasi, dan
Jadi, sebenarnya keteraturan hanya pendistribusian dari sumber-sumberdaya yang
mungkin terwujud kalau ada perbedaan di terbatas. Dalam persaingan tersebut harus ada
antara unsur-unsurnya, dan jika perbedaan aturan main yang adil dan jujur, ada wasit, dan
tersebut berada dalam keadaan kompetisi ada juri sehingga aturan main tersebut dapat
(konflik) yang dilakukan secara teratur, karena menjamin terlaksananya persaingan yang adil
mematuhi aturan-aturan permainan yang dan beradab. Model Bailey tersebut seringkali
bersifat adil dan jujur. Model keteraturan ini juga dinamakan model zero sum game, karena
menuntut adanya nilai-nilai budaya yang dalam model ini yang ada hanyalah persaingan
menjadi acuan bagi etika dan moral yang di antara dua pihak. Satu pihak harus
tercermin dalam aturan permainan atau konflik, mengalahkan pihak yang lain untuk me-
yang perwujudannya dalam tindakan-tindakan menangkan hadiah, berupa posisi penentu

140 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


kebijakan umum tersebut. Dalam kenyataan tidak selamanya dapat diterima oleh mereka
proses-proses politik yang berlaku, yang ada yang di bawah, tetapi harus diterima. Kalau
tidak hanya antara yang kalah dan yang tidak, mereka dianggap menyimpang atau tidak
menang dalam kompetisi, tetapi juga kompromi fungsional dalam kehidupan Orde Baru.
atau kerjasama di antara pihak-pihak yang saling Model gotong royong dan anti indi-
bertentangan (model non-zero sum game). vidualisme atau anti individualitas dengan
Model keteraturan dari Coakley atau Bailey, aturan main yang datangnya dari atas selama
seperti tersebut di atas, adalah model yang pemerintahan Orde Baru, telah menghasilkan
berlaku dalam masyarakat yang menganut berbagai bentuk konflik terselubung. Konflik
prinsip demokrasi. Model ini bertentangan tersebut tidak terwujud sebagai konflik terbuka,
dengan model ekuilibrium dari Talcott Parsons karena tidak seimbangnya hubungan kekuatan
dan Edward Shills yang biasanya digunakan sosial yang dipunyai oleh yang berkuasa,
dalam sistem pemerintahan yang pseudo- dengan yang dipunyai oleh yang dikuasai—
demokrasi atau otoriter. Di samping model atau rakyat—sehingga rakyat tidak berani
Machiavelli, model ekuilibrium ini secara menentang kekuasaan pemerintah secara
menyolok telah digunakan dalam pemerintahan terang-terangan. Konflik terselubung tersebut
Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan terjadi antara mereka yang menikmati berbagai
karena itu diacu untuk meredam konflik-konflik bentuk kekuasaan dan fasilitas pemerintahan
dan perbedaan-perbedaan serta individualitas Orde Baru, dengan mereka yang tersingkirkan
(yang acuan dasarnya adalah individualisme) atau dimiskinkan kemampuan kekuatan
yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam sosialnya oleh kemapanan kekuasaan Orde
paradigma ekuilibrium, konflik dan dinamika Baru, sebagaimana dikemukakan Dahrendorf di
kehidupan masyarakat yang anti kestabilan atas.
adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang Begitu juga kebencian yang mendalam
tidak fungsional dalam kehidupan. Karena itu, terhadap kemapanan kekuasaan sebagai akibat
semua bentuk ungkapan yang berbeda dari dari ketersingkiran atau pemiskinan kekuatan
kebijakan pemerintah dilihat sebagai penyim- sosial yang diderita oleh sebagian warga
pangan yang harus ditiadakan. Penekanan dari masyarakat. Hal itu dianggap oleh mereka yang
kestabilan sosial dalam zaman Orde Baru adalah tersingkir sebagai tidak adil atau sewenang-
gotong royong, anti individualitas dan indi- wenang, yang secara sadar atau tidak sadar
vidualisme, dan karena itu memuja kese- telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
ragaman, keseimbangan, dan keserasian. Kebencian tersebut baru dapat meledak setelah
Ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Pada
individualisme dan individualitas, dalam zaman masa itu, dengan kekuatan ABRI (militer dan
Orde Baru, hanya mungkin dilakukan oleh kepolisian) yang begitu besar, tidak ada
mereka yang mempunyai kekuasaan. Karena sesuatu kekuatan sipil apa pun yang berani
mereka itu yang berkuasa, maka tindakan- untuk dan mampu berbeda pendapat dengan
tindakan mereka tidak digolongkan sebagai pemerintah; apalagi bertentangan dengan
penyimpangan oleh pemerintah, sebagaimana kebijakan-kebijakannya. Dalam masa reformasi
dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut di atas. sekarang ini, saat proses-proses demokratisasi
Aturan main yang berlaku dalam kehidupan menuju kematangannya, barulah berbagai
masyarakat Orde Baru adalah aturan main yang bentuk ketidakadilan dan penderitaan karena
ditentukan dari atas ke bawah (top down), yang kesewenang-wenangan yang diderita oleh

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 141


masyarakat meledak dalam berbagai bentuk aturan-aturan main yang diakui bersama oleh
konflik sosial dan kerusuhan massa. Ledakan warga masyarakat sebagai adil dan beradab,
dalam wujud konflik dan kerusuhan itu maka potensi-potensi konflik akan mentransfor-
sebenarnya ditujukan terhadap pemerintahan masikan diri dalam berbagai bentuk persaingan.
Orde Baru sebagai pranata politik, terhadap Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan
tindakan-tindakan pemerintahan Orde Baru dan berkembang pada saat perasaan-perasaan—
oknum-oknumnya serta kroni-kroninya, yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan
maupun terhadap ABRI yang menjadi tulang adanya perlakuan sewenang-wenang dan
punggung kekuatan kekuasaan pemerintahan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang
Orde Baru. dideritanya, yang diakibatkan oleh perbuatan
Faksi-faksi politik, yang merupakan pihak lawannya itu—muncul, berkembang dan
kekuatan-kekuatan sosial untuk berbeda dari semakin mantap.
kebijakan pemerintah Orde Baru, hanya Adanya potensi konflik dalam diri
mungkin terwujud di antara golongan elite seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh
politik dan militer (yang juga merupakan adanya perasaan tertekan karena perbuatan
kekuatan sosial-politik). Model konflik dari pihak lawan. Dalam keadaan itu, si pelaku tidak
Dahrendorf dapat digunakan untuk melihat mampu untuk melawan atau menolaknya, dan
berbagai gejala sosial yang berlaku dalam elite bahkan tidak mampu untuk menghindarinya.
politik dan militer dalam zaman Orde Baru. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembang-
Model keteraturan dari Coakley tidak berlaku kan perasaan kebencian yang terpendam
untuk memahami konflik-konflik sosial politik terhadap pihak lawan. Perasaan kebencian
yang terbuka maupun tertutup di antara faksi- tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-
faksi politik dan militer pada tingkat atas, karena perbuatan lain yang merugikan dari pihak
corak aturan main ditentukan oleh yang lawannya. Kebencian yang mendalam dari si
berkuasa, yaitu penguasa tunggal Orde Baru pelaku—yang selalu kalah—biasanya terwujud
pada waktu itu dan para kroninya. dalam bentuk menghindar atau melarikan diri
dari pihak lawan. Tetapi, kebencian tersebut
Potensi-potensi konflik secara umum biasanya terungkap dalam bentuk
Bila kita mengikuti model Dahrendorf di kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si
atas, secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam pelaku yang selalu kalah tidak dapat meng-
setiap masyarakat terdapat potensi-potensi hindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati,
konflik, karena setiap warga masyarakat akan yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik
mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi, dan verbal di antara dua pelaku yang ber-
yang dalam pemenuhannya harus mengorban- tentangan tersebut.
kan kepentingan warga masyarakat lainnya. Konflik fisik yang menyebabkan kekalahan
Upaya pemenuhan kepentingan yang dilaku- si pelaku oleh lawan akan menghentikan
kan oleh seseorang yang mengorbankan tindakan perlawanan si pelaku. Hal itu tidak
kepentingan seseorang lainnya dapat merupa- berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut
kan potensi konflik, bila dilakukan tanpa menghentikan kebenciannya ataupun dorong-
mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai annya untuk menghancurkan pihak lawannya.
hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial Kebencian yang mendalam masih tersimpan
yang berlaku setempat), yang dianggap adil dan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan
beradab. Bila dalam masyarakat tersebut ada semangat untuk menghancurkan pihak lawan.

142 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau warga dari berbagai sukubangsa yang tidak
situasi yang dihadapi memungkinkan, maka dia tergolong sebagai sukubangsa yang dominan
akan berusaha untuk menghancurkannya. dalam masyarakat tersebut. Kalau model
Tujuannya, agar ia merasa telah menang atau hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner
setidak-tidaknya telah seimbang dengan (1974) bercorak generalis, yang digunakannya
kekalahan yang telah dideritanya dari pihak untuk memperbandingkan corak ungkapan-
lawan. ungkapan kesukubangsaan di Medan dan di
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Bandung, maka secara empirik model hipotesa
biasanya dilihat oleh pelaku yang ber- kebudayaan dominan tersebut menunjukkan
sangkutan dalam kaitan dengan konsep hak variasi-variasi dalam corak dominasi ke-
yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, budayaannya (lihat kritik Suparlan 1995). Variasi
keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, tersebut muncul karena masyarakat sebagai
keluarga, kerabat, dan komunitas atau sebuah satuan kehidupan tidak dibatasi oleh
masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau sebuah satuan kehidupan kota, ataupun di-
perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh batasi oleh sebuah satuan kategori masyarakat
seseorang atau sekelompok orang akan dapat sukubangsa; tetapi oleh satuan kehidupan dari
diterima oleh seseorang atau sekelompok masyarakat itu sendiri, yang menempati sebuah
orang yang memiliki hak tersebut, bila sesuai wilayah atau lingkungan tertentu. Apa yang
menurut norma-norma dan nilai-nilai budaya menjadi corak kehidupan dari suatu masyarakat
yang berlaku dalam masyarakat setempat, atau dalam sebuah satuan wilayah atau lingkungan
memang seharusnya demikian. Tetapi, hal itu tertentu, akan berbeda dari corak yang dipunyai
tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan, oleh suatu masyarakat yang hidup dalam
bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan sebuah wilayah atau lingkungan yang lain;
norma-norma dan nilai-nilai budaya yang walaupun kedua masyarakat tersebut tercakup
berlaku. Dalam hubungan antarsukubangsa, dalam suatu satuan kehidupan masyarakat
konsep hipotesa kebudayaan dominan dari sukubangsa.
Bruner (lihat Suparlan 1999d:13–20) menjadi Dengan demikian, dalam suatu masyarakat
relevan sebagai acuan untuk memahami yang sukubangsa setempatnya dominan, suku-
keberadaan aturan-aturan main, atau konvensi- sukubangsa lainnya yang hidup dalam
konvensi sosial yang berlaku di antara dua masyarakat tersebut akan tergolong sebagai
sukubangsa atau lebih, yang bersama-sama minoritas. Sebaliknya, sukubangsa minoritas
menempati sebuah wilayah, dan membentuk dalam masyarakat tersebut akan menjadi
kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat dominan dalam lingkungan masyarakatnya
setempat. sendiri. Bila dalam masyarakat luas sukubangsa,
Bila dalam kehidupan masyarakat setempat pedoman penilaian dalam kehidupan ber-
ada sebuah sukubangsa yang dominan, maka masyarakat mengacu pada kebudayaan
kebudayaan sukubangsa tersebut menjadi dominan sukubangsa tersebut, maka dalam
dominan dalam kehidupan masyarakat masyarakat-masyarakat sukubangsa minoritas,
setempat. Kebudayaan dominan tersebut pedoman penilaian yang berlaku mengacu pada
menjadi acuan bagi penilaian mengenai kebudayaan sukubangsa minoritas yang
tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak bersangkutan, yang berlaku setempat dan
yang berlaku bagi warga masyarakat setempat bukannya mengacu pada kebudayaan dominan
tersebut di tempat-tempat umum, termasuk yang berlaku dalam masyarakat luas. Karena

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 143


itu, konsep benar atau salah, adil atau tidak bila kondisi kelompok—yang menginginkan
adil, menjadi kontekstual atau tidak dapat adanya konflik sosial itu—tidak berada dalam
diberlakukan secara umum dan merata. keadaan tanpa pilihan lain karena situasi yang
Indonesia adalah sebuah masyarakat dihasilkan oleh hubungan antarkelompok
majemuk, yang terdiri atas berbagai suku- sukubangsa tersebut dengan sukubangsa
bangsa dengan kebudayaan dan keyakinan lainnya, atau dengan pemerintah sebagai pihak
keagamaan masing-masing yang dipersatukan lawan. Situasi yang dimaksud adalah tidak
oleh sistem nasional Indonesia menjadi sebuah adanya jalur-jalur yang dapat mengomunikasi-
masyarakat-negara (Suparlan 1999a). Sebagai kan keinginan dan kebutuhan mereka secara
sebuah masyarakat majemuk, Indonesia memuaskan, yang dapat menjembatani untuk
mempunyai potensi-potensi konflik yang tidak mengakomodasi dan mengkrompomikan
sedikit jumlahnya. Potensi-potensi konflik perbedaan-perbedaan dan pertentangan-
tersebut dapat terwujud sebagai konflik-konflik pertentangan antara kelompok tersebut dengan
antarindividu. Konflik-konflik antarindividu pihak lawannya.
dapat meledak menjadi konflik-konflik sosial Dalam upaya untuk memperkokoh kesatuan
yang terjadi sebagai konflik antarsukubangsa dan menjalin persatuan Indonesia, pemerintah
atau antara yang dikuasai dan yang berkuasa. Indonesia (dalam zaman pemerintahan
Konflik antarindividu bisa mempunyai potensi Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto)
untuk menjadi konflik sosial atau konflik memperkuat sistem nasional, antara lain, dengan
antarsukubangsa, pada waktu konflik tersebut memperkuat tentara (zaman Presiden Sukarno),
dirasakan sebagai suatu perwujudan ketidak- dan memperkuat ABRI (Polisi dijadikan bagian
adilan oleh salah satu pihak terhadap lainnya. dari ABRI, dalam pemerintahan Presiden
Ketidakadilan tersebut dirasakan sebagai Soeharto). Dengan menggunakan kekuatan
ketidakadilan yang bukan hanya menimpa nyata yang menakutkan, yang dapat memaksa
individu yang bersangkutan, melainkan ini, maka kesatuan Indonesia dapat diperkokoh,
menimpa sukubangsanya dan kepentingan- dan persatuan dapat dijalin secara semu. Hal
kepentingannya (jatidiri, kehormatan, kerugian itu terjalin secara semu, karena kesatuan dan
material dan penderitaan atau ketidakpuasan persatuan tersebut ‘dipaksakan’ dari atas ke
secara umum karena ketidakadilan yang merata bawah, dan karena itu tidak mempunyai
yang diderita oleh warga sukubangsa tersebut). landasan atau dukungan dari bawah (bottom
Pihak yang menjadi lawan bisa saja suku- up); yaitu masyarakat-masyarakat sukubangsa
bangsa lainnya (kasus Sambas, kasus Ambon), yang dirugikan oleh penguatan sistem
atau pemerintah dan aparatnya (kasus Irian nasional. Dampak dari penguatan sistem
Jaya, kasus Aceh, kasus Riau). Harus dicatat nasional seperti tersebut di atas adalah
bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan dilemahkannya sistem-sistem sukubangsa.
terwujud bila tidak ada ‘tukang kipas’ atau Pemerintahan Orde Baru yang menyandar-
provokatornya, yang biasanya mempunyai kan kekuasaannya pada kekuatan militer yang
kepentingan yang ingin dicapai melalui mempunyai kekuatan memaksa, telah secara
kejayaan sukubangsa atau golongannya yang sadar atau tidak, menghasilkan pola-pola
telah direndahkan martabatnya dalam konflik tindakan yang ‘sewenang-wenang’ yang
antarindividu. Begitu juga harus dicatat bahwa dilakukan oleh oknum-oknum yang berkuasa
sesuatu potensi konflik sosial tidak akan dan para aparatnya. Tidak ada mekanisme
meledak menjadi konflik atau kerusuhan sosial, kontrol yang efektif yang dapat menjadi rambu-

144 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


rambu bagi tindakan-tindakan penyimpangan yang merasa terpuruk (lihat Douglas 1975:96-
para oknum-oknum penguasa tersebut. Sering- 101). Pada tahun 1998 yang baru lalu, pada
kali, tindakan-tindakan sewenang-wenang waktu menjelang dan setelah beberapa lama
tersebut dianggap sebagai hal yang biasa oleh kejatuhan Pak Harto sebagai presiden—yaitu
warga masyarakat Indonesia. Dalam zaman pada waktu gencar-gencarnya aksi anti pak
pemerintahan Orde Baru, tindakan-tindakan Harto—di kampung-kampung di Jakarta, anak-
yang ‘sewenang-wenang’ dari anggota tentara anak menyayikan lagu menunjuk hidung—
dan kepolisian, seperti naik bis atau makan di yang pada tahun ini sudah hilang dari peredaran
‘warteg’ tidak membayar, dianggap bukan permainan anak-anak—dengan cara memleset-
tindakan sewenang-wenang. Bahkan, saya kan liriknya, sehingga berbunyi:
pernah menyaksikan seorang anggota tentara Dang dang tut
yang membayar biaya naik bis kota di Jakarta, Bambang ama Tutut Anak raja maling
ditolak oleh kondektur bis tersebut. Sedangkan aslinya berbunyi:
Perlakuan sewenang-wenang oleh orang Dang dang tut Akar kolang kaling
atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang Siapa yang kentut Ditembak raja maling
atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila Keberadaan potensi konflik sosial pada
tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan dasarnya juga mengikuti pola-pola yang
oleh yang diperlakukan sewenang-wenang, berlaku dalam terwujudnya potensi konflik
akan membekas dalam bentuk kebencian. antarindividu. Potensi konflik yang meledak
Kebencian yang timbul saat terjadinya pe- menjadi konflik antarindividu, bisa terbatas
ristiwa tersebut akan tersimpan atau terpendam hanya pada dua orang individu yang
dalam hati, karena pihak yang dirugikan tidak bersangkutan saja, tetapi dapat juga meluas
berani atau tidak mampu untuk melawannya, melibatkan anggota-anggota keluarga dan
atau tertutup oleh berbagai kesibukan dalam kerabatnya, serta komunitas atau masyarakat
suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa ke- sukubangsa kedua belah pihak. Keterlibatan
sewenang-wenangan yang terpendam seperti keluarga atau kerabat, komunitas, atau juga
ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk masyarakat sukubangsa kedua belah pihak
stereotip dan prasangka. Stereotip atau dalam konflik yang terjadi, menunjukkan bahwa
prasangka tersebut akan terwujud dalam konflik antarindividu telah mewujudkan dirinya
bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari dalam bentuk konflik sosial.
keburukan atau kerendahan martabat pelaku
yang sewenang-wenang tersebut. Simbol- Konflik sosial
simbol tersebut bisa diacu dari pewayangan Konflik sosial terjadi antara dua kelompok
(sebagaimana yang terjadi pada Orang Jawa di atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik
Suriname, dalam Suparlan 1995), atau hewan, fisik antara mereka yang tergolong sebagai
atau terwujud dalam bentuk ‘kirata basa’ atau anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang
penjabaran sebuah kata yang menghasilkan berlawanan. Dalam konflik sosial, jatidiri dari
berbagai corak atribut lawan dalam bentuk orang perorang yang terlibat dalam konflik
kalimat yang kata-katanya penuh dengan tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri
ungkapan makna penghinaan karena kebencian. orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri
Ungkapan ini seringkali terwujud dalam golongan atau kelompok. Dengan kata lain,
kalimat yang isinya adalah kata-kata lucu, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah
sehingga menjadi lelucon yang menghibur bagi

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 145


konflik antara orang perorang dengan jatidiri eksistensi atau keberadaan sukubangsanya.
masing-masing, melainkan antara orang perorang Keberadaan sukubangsanya adalah segala
yang mewakili jatidiri golongan atau kelompok- kehidupannya, karena dia dilahirkan dan
nya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri dibesarkan dalam lingkungan sukubangsanya.
jatidiri orang perorang tersebut berasal dari Dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya,
stereotip yang berlaku dalam kehidupan dia dibesarkan dan dijadikan manusia, dan
antargolongan yang terwakili oleh kelompok- memperoleh perlindungan dari segala gang-
kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi guan yang berasal dari luar kehidupan
ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi sukubangsanya. Pada waktu mati, dia juga akan
siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancur- dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan
kan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok sebagai hamba Tuhan atau Sang Pencipta oleh
yang tergolong dalam golongan yang menjadi kerabat-kerabat dan handai taulan yang juga
musuh atau lawannya, sehingga penghancuran sesama warga sukubangsanya. Sukubangsa
atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak adalah sesuatu acuan yang primordial (yang
lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran utama dan pertama) dalam dan bagi ke-
kelompok pihak lawan. hidupannya. Sukubangsa bagi warga suku-
Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dari bangsa yang bersangkutan adalah sama
golongan sosial atau sukubangsa yang dengan dirinya sendiri. Penghinaan terhadap
berbeda—yang semula adalah teman baik— dirinya adalah sama dengan penghinaan
akan menghapus hubungan pertemanan yang terhadap sukubangsanya, dan penghinaan
baik tersebut menjadi hubungan permusuhan, terhadap sukubangsanya adalah sama dengan
atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghinaan terhadap dirinya.
penghindaran. Hubungan mereka menjadi Sukubangsa mewujudkan dirinya sebagai
hubungan golongan, yaitu masing-masing sebuah masyarakat, yang terwujud sebagai
mewakili golongannya dalam hubungan konflik kumpulan individu-individu, yang pemenuhan-
yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali pemenuhan kebutuhan hidup dan keteraturan
tidak ada hubungannya dengan kelompok- kehidupannya dipedomani oleh kebudayaan-
kelompok yang sedang dalam konflik fisik nya. Dengan menggunakan kebudayaannya,
tersebut—bila mempunyai atribut-atribut yang warga sukubangsa itu dijadikan orang atau
memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari dimanusiakan.oleh keluarga dan masyarakat
pihak lawan—akan digolongkan sebagai sukubangsanya. Dengan menggunakan
lawan. Tanpa permisi atau meminta penjelasan kebudayaan yang berisikan pengetahuan yang
mengenai jatidiri golongannya, orang-orang diyakini kebenarannya, warga sukubangsa
tersebut akan juga dihancurkan. melihat diri mereka dan melihat mereka yang
Di antara berbagai konflik sosial yang tergolong sebagai sukubangsa lainnya berbeda
terwujud sebagai konflik fisik, konflik dari mereka yang berbeda sukubangsanya.
antarsukubangsa adalah konflik yang tidak Dengan mengacu pada kebudayaannya, warga
dapat dengan mudah didamaikan. Konflik yang sukubangsa mengembangkan stereotip dan
terjadi, yang disebabkan oleh rasa ketidak- prasangka mengenai suku-sukubangsa lainnya
adilan, kesewenang-wenangan ataupun dan berbagai golongan sosial lainnya yang ada
kekalahan, dipahami sebagai penghancuran dalam kehidupan mereka. Melalui stereotip dan
harga diri dan kehormatan. Kehancuran harga prasangka ini, batas-batas sosial dan budaya,
diri itu kemudian dipahami sebagai kehancuran atau batas-batas sukubangsa yang tergolong

146 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


dalam sukubangsanya, dan yang tergolong bertindak sebagai pengayom. Tetapi, bila
dalam sukubangsa mereka (yang lain), ataupun penegak hukum bertindak tidak adil, maka
yang tergolong dalam golongan sosial lainnya, aturan-aturan main yang adil dan beradab tidak
dapat menjadi jelas. akan dapat diberlakukan. Tidak ada yang
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk memaksa untuk memberlakukan aturan-aturan
(Suparlan 1999a), dengan sistem nasional Indo- main itu. Sebaliknya, masing-masing pihak yang
nesia yang mempersatukan suku-sukubangsa bermusuhan akan menggunakan aturan-aturan
yang semula adalah masyarakat jajahan Hindia mainnya sendiri yang menguntungkan mereka
Belanda menjadi sebuah masyarakat-negara In- untuk dapat memenangkan konflik yang
donesia, kedudukan sukubangsa berada di berlaku.
bawah kekuasaan sistem nasional atau pe- Jadi, sebuah persyaratan penting untuk
merintah Indonesia. Dalam posisi yang berada meredam, atau menghentikan konflik sosial—
di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia, yang mentransformasikan dirinya menjadi
sukubangsa yang terwujud sebagai masyarakat kerusuhan sosial, yang ditandai oleh menonjol-
sukubangsa, sadar atau tidak sadar, merasakan nya konflik fisik yang saling menghancurkan—
dominasi kekuasaan pemerintah dalam berbagai ialah adanya aturan main yang adil, dan adanya
bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang penegak hukum yang dapat bertindak adil dan
semula adalah hak mereka menurut adat, bertindak sebagai pengayom masyarakat. Bila
sekarang menjadi milik negara yang dikuasai petugas kepolisian sebagai penegak hukum
oleh pemerintah. Begitu juga halnya dengan tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat
wilayah hutan dan air beserta segala isinya. bertindak sebagai pengayom masyarakat, maka
Berbagai ketentuan yang semula diatur oleh adat, kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Ini
sekarang harus diatur oleh hukum positif yang pernah terjadi dalam Kerusuhan Sambas
berlaku secara nasional berikut sanksi- (Suparlan 1999b), saat petugas kepolisian di
sanksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi Kecamatan Jawai— yang merupakan asal mula
adat yang semula berlaku. Wilayah-wilayah terjadinya kerusuhan Sambas—tidak berani
yang secara adat adalah wilayah mereka, menahan pencuri asal Madura yang tertangkap
sekarang juga menjadi wilayah yang berhak basah. Akibat dari dilepaskannya pencuri asal
untuk dihuni oleh mereka yang berasal dari Madura tersebut, 200 warga Madura asal
berbagai sukubangsa. kecamatan lain—yang merupakan teman-
Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam teman dan kerabat si pencuri—datang
masyarakat mana pun di dunia ini— termasuk menyerbu dan membunuh tiga orang Melayu
yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia— di Kecamatan Jawai, tempat ditangkapnya si
dimulai oleh perebutan sumber-sumber daya pencuri. Keberanian orang-orang Madura
atau sumber-sumber rezeki. Bila perebutan yang tersebut telah didorong, antara lain, oleh
terjadi berjalan sesuai aturan main yang mereka ketidakberanian petugas kepolisian Jawai
anggap adil, maka tidak akan terjadi konflik untuk menghadapi orang-orang Madura.
sosial di antara mereka. Dalam keadaan Kerusuhan sosial sebagai konflik antar-
diberlakukannya aturan main secara tidak adil sukubangsa, yang terwujud sebagai saling
oleh satu dari dua atau lebih kelompok yang penghancuran oleh satu kelompok sukubangsa
bersaing memperebutkan sumber daya atau terhadap kelompok sukubangsa lainnya, juga
rezeki, konflik sosial tidak akan terwujud bila terwujud sebagai kegiatan ‘perang’ pe-
penegak hukum dapat bertindak adil dan naklukan. ‘Perang’ penaklukan itu bertujuan

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 147


menguasai wilayah-wilayah untuk diakui kejahatanlah yang diutamakan dan dibiayai
sebagai wilayah sukubangsanya, yaitu untuk secara memadai. Fungsi-fungsi lainnya
menciptakan kebudayaan dominan dalam dianaktirikan, atau bahkan diabaikan sama
wilayah yang telah dikuasainya itu. Hal ini sekali. Fungsi sebagai pembasmi kejahatan
terjadi dalam Kerusuhan Sambas dan mempunyai kesamaan dengan fungsi tentara
Kerusuhan Ambon (Suparlan 1999c), dan juga sebagai penyerang atau penghancur musuh,
terjadi dalam kerusuhan Aceh. dan karena itu cocok dengan posisi polisi
Dalam Kerusuhan Ambon, konflik yang sebagai bagian dari ABRI.
semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton, Dampak dari pengabaian fungsi-fungsi
dan Makasar (BBM) yang beragama Islam di polisi seperti tersebut di atas—yang sebetulnya
satu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota merupakan fungsi-fungsi utama dari polisi—
Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, adalah bahwa polisi menjadi kurang mampu, atau
telah bergeser menjadi konflik antara sesama tidak profesional dalam menangani berbagai
Orang Ambon, yaitu antara Orang Ambon yang konflik dan kerusuhan sosial. Hal itu disebabkan
beragama Islam dengan yang beragama Kristen. oleh cara penanganannya yang bukan merupa-
Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di kan cara penanganan polisi, melainkan cara
Ambon adalah kerusuhan sosial antara orang- penanganan tentara. Yang diturunkan ke
orang Ambon Kristen lawan Islam. Dari berita lapangan untuk menangani konflik atau
terakhir yang ada di media massa, kita ketahui kerusuhan sosial adalah pasukan tempur, dan
bahwa kota Ambon dibagi dalam wilayah- bukannya pasukan pendamai. Akibatnya, konflik
wilayah Kristen dan Islam. sosial yang terjadi bukannya dapat dihentikan,
melainkan malah berkembang biak.
Penutup: menghentikan konflik sosial Syarat utama bagi setiap upaya penanganan
Konflik sosial yang terwujud sebagai konflik sosial agar dapat menghentikan konflik
kerusuhan fisik atau amuk massa harus tersebut, ialah adanya suatu pranata atau
dihentikan. Yang seharusnya menghentikan organisasi (yang terbaik adalah polisi) yang
adalah petugas kepolisian, dan bukannya dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan,
tentara, karena doktrin kepolisian sebenaraya dan yang digolongkan sebagai pihak ketiga,
berbeda dari doktrin ketentaraan. Sayangnya, yang artinya tidak mempunyai kepentingan
Polisi Indonesia sudah menjadi seperti tentara, dalam konflik tersebut. Pihak ketiga itu dipercaya
karena selama 32 tahun di bawah pemerintahan karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya.
Orde Baru, polisi telah dijadikan sebagai sebuah Bila polisi juga mempunyai kepentingan dalam
satuan yang tidak terpisahkan dari ABRI. konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka
Bahkan, setelah dikeluarkannya Instruksi polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti
Presiden Habibie untuk memisahkan Polisi dari konflik sosial tersebut. Begitu juga, bila polisi
ABRI, Polisi pun secara organisasi masih sebagai sebuah pranata atau organisasi tidak
berada di bawah departemen Hankam. mempunyai kekuatan yang sah untuk
Fungsi polisi dalam masyarakat adalah menegakkan hukum dan keadilan, maka polisi
sebagai penegak hukum, pengayom masyarakat, juga tidak akan dapat berfungsi untuk
dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak menghentikan konflik sosial yang terjadi.
hukum, polisi juga menjalankan fungsi sebagai Syarat kedua adalah tidak memusuhi atau
pembasmi kejahatan. Dalam organisasi ABRI, menembak para perusuh, baik salah satu pihak
selama 32 tahun, fungsi sebagai pembasmi atau kedua pihak yang bermusuhan, tetapi

148 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


berbicara dengan mereka. Dari apa yang telah yang bermusuhan tersebut. Berdasarkan
diuraikan terdahulu, konflik atau perang terjadi patokan-patokan nilai budaya yang digunakan
karena tidak adanya jalur komunikasi yang oleh masing-masing pihak yang berkonflik
dapat mengakomodasi atau meredam per- tersebut, pihak ketiga dapat melakukan tawar
bedaan-perbedaan dan pertentangan-perten- menawar mengenai sumber-sumber konflik. Hal
tangan yang terjadi. Untuk itu, harus dicari itu bertujuan untuk mereduksi sumber-sumber
kepala-kepala atau tokoh-tokoh yang betul- konflik menjadi perbedaan-perbedaan yang
betul pemimpin dari kelompok-kelompok yang tidak harus diselesaikan dengan cara saling
bermusuhan tersebut untuk diajak saling menghancurkan satu sama lain.
berbicara. Tujuannya ialah mencari titik temu Tujuan akhir dari pihak ketiga dalam
yang memungkinkan dapat dihentikannya perundingan tersebut adalah tercapainya
konflik sosial yang merugikan semua pihak. Bila persetujuan dari pihak-pihak yang konflik
suatu keputusan yang disetujui bersama telah mengenai patokan keadilan yang harus mereka
dicapai, maka persetujuan bersama tersebut patuhi bersama, keutuhan jatidiri dan
harus dijalankan oleh kedua belah pihak yang kehormatan masing-masing pihak. Kedua belah
bermusuhan dengan diawasi dan dikendalikan pihak harus merasa diuntungkan dengan
pelaksanaannya oleh polisi, untuk betul-betul adanya perdamaian di antara mereka. Cara-cara
dijalankan secara bulat dan menyeluruh. Bila perdamaian dan isi perdamaian harus
hasil persetujuan tidak dijalankan secara bulat dirundingkan dan disesuaikan dengan nilai-
dan menyeluruh, maka perdamaian tidak akan nilai budaya dari pihak-pihak yang konflik. Jadi,
berlangsung lama. Seperti yang telah terjadi di bukan menurut cara-cara pihak ketiga.
Ambon, saya mengusulkan untuk meng- Selama perundingan berlangsung, kon-
aktifkan pela gandong, sebuah ikatan darah flik sosial dalam bentuk kerusuhan ataupun
atau seketurunan yang mengikat secara adat pembunuhan dan pembakaran harta benda
dua orang atau kelompok yang beragama Is- harus dapat dihentikan, dan dengan
lam dan Kristen sebagai sebuah satuan persetujuan atau setidak-tidaknya se-
kehidupan sehidup semati, berikut sanksi- pengetahuan pihak-pihak yang konflik.
sanksi adat bagi para pelanggarnya, yang harus Penghentian kerusuhan dilakukan dengan
dilakukan melalui upacara yang sakral. Tetapi, menyiarkan pengumuman secara meluas
yang telah dilakukan untuk mendamaikan kepada dua belah pihak yang konflik untuk
konflik Ambon tersebut pada bulan Mei 1999 menghentikan segala kegiatan pengrusakan
yang lalu, bukanlah membuat upacara ritual mereka; dan mengenakan sanksi bagi
yang sakral, melainkan membuat upacara pelanggar-pelanggarnya tanpa pandang bulu.
seremonial yang superfisial. Tentu saja upaya Penghentian harus dilakukan dengan
perdamaian tersebut gagal. menggunakan kekuatan polisi yang harus
Perundingan yang harus dilakukan oleh mampu mengambil tindakan tegas bila ada yang
pihak ketiga yang netral dan diakui kewibawaan melanggarnya. Ketegasan bertindak yang adil
kekuasaannya oleh kedua belah pihak yang dengan cara bertindak yang tidak pandang
bermusuhan, adalah titik kunci pembuka jalan bulu harus dilakukan.
perdamaian. Pembicaraan yang dilakukan oleh
pihak ketiga harus terpusat pada sebab-sebab
permusuhan dan patokan-patokan penilaian
menurut kebudayaan masing-masing pihak

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya 149


Referensi
Bailey, F.G.
1969 Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. New York: Schocken.
Bruner, E.M.
1974 “The Expression fo Ethnicity in Indonesia’, dalam, A. Cohen (peny.) Urban Ethnicity.
London: Tavistock. Hlm. 251–288.
Coakley, JJ.
1986 Sport and Society: Issues and Controversies. St. Louis: Times Mirror/Mosby
Dahrendorf, R.
1959 Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford, California: Stanford Univer-
sity Press.
Douglas, M.
1975 Impilicit Meanings. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Heider, K.G.
1970 The Dugun Dani: a Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago:
Aldine.
Koch, Klaus-Frederich
1971 ‘Cannibalistic Revenge in Jale Warfare’, dalam J.P. Spradley dan D.W. McCurdy (peny.)
Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology. Boston: Little, Brown,
and Company.
Parsons, T. dan E.A. Shills (peny.)
1951 Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Suparlan, P.
1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Tempe, Arizona:
Program for SEA Studies, Arizona State University
1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antarsukubangsa’, dalam I.Wibowo (peny.)
Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm. 149–
173.
1999b Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
1999c Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
1999d ‘Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal
Antropologi Indonesia 22(56):13–20.

150 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Das könnte Ihnen auch gefallen