Sie sind auf Seite 1von 6

JUMLAH BUNGA DAN POLONG EMPAT KULTIVAR LOKAL

KACANG TANAH ASAL BANTEN (Arachis hypogaea L.) PADA


KETERSEDIAAN AIR TANAH YANG MENURUN
SELAMA FASE REPRODUKTIF

(The Number of Flowers and Pods of Four Peanut (Arachis hypogaea L.)
Local Cultivars of Banten on the Soil Water Availability
Decreased During Reproductive Phase)

Rusmana1
1
Staf Pengajar Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten
Jl. Raya Jakarta Km 4, Kampus Untirta Serang Banten
Telp. 0254-280330, Fax 0254-28, e-mail: roesmana64@yahoo.com

ABSTRACT

Experiments were performed to characterize the response of peanut local cultivars


from Banten to soil water availability decreased during the reproductive phase.
The experiments used factorial randomized block design with three replications of
two factors. The first factor was the soil water availability consists of three levels
(100%, 75%, and 50%). The second factor was the peanut local cultivars from
Banten consists of four levels (local cultivars of Cikeusal, Petir, Anyer, and
Cisoka). The results showed a similar general pattern that was the decreasing soil
water availability resulting in the decreasing amount of flowers and pod number
of peanut local cultivars from Banten. Flowers appear began to plant at 24 and
ending at 46 days after planting with a period of at most appear at the age of 26 up
to 36 DAP. Four peanut local cultivars from Banten showed no difference in
tolerance to the declining of soil water availability. Number of flowers and
peanut pods begin to decrease when soil water availability as as much as 75%.

Keywords: Flower, Local cultivars, Peanuts, Soil water availability, Pod


number

PENDAHULUAN dan lemak 48-50% (Nigam et al.,


Kacang tanah di Indonesia 2006).
merupakan tanaman pangan sekunder Produktivitas kacang tanah
kedua terpenting setelah kedelai yang selama tiga tahun terakhir (2012-
juga merupakan sumber lemak (oleic 2014) di Indonesia berkisar 1,3 ton
dan linoleic acids) dan protein nabati ha-1 biji kering (BPS, 2015).
dengan harga relatif murah, Permasalahan produktivitas erat
mempunyai kualitas dan kuantitas kaitannya dengan jumlah polong
lemak dan protein yang terdapat hampa dan tidak terisi penuh.
dalam bijinya cukup tinggi, dengan Penelitian Purnamawati dan Hasanah
kandungan protein sebesar 26-30% (2007) menunjukkan bahwa ginofor
yang berkembang menjadi polong

Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016 32


berisi hanya sekitar 26-68% (rata-rata Alat yang digunakan dalam
46%) dari ginofor yang terbentuk. percobaan ini meliputi: polibag,
Penelitian Bell dan Wright (1998) ayakan kawat, timbangan 10 kg,
menemukan bahwa walaupun timbangan digital, gelas ukur, embrat,
populasi tanaman kacang tanah di dan amplop kertas.
Indonesia tergolong tinggi, ternyata Percobaan dilakukan dengan
polong yang dihasilkan banyak yang rancangan lingkungan acak kelompok
tidak berisi atau tidak terisi faktorial dua faktor. Faktor pertama
maksimum. adalah empat kultivar kacang tanah
Menurunnya produksi kacang lokal asal Serang yaitu: kultivar lokal
tanah Indonesia disebabkan karena asal Cikeusal, asal Petir, asal Anyer,
belum sempurnanya penerapan dan asal Cisoka. Faktor kedua adalah
teknologi budidaya, adanya gangguan ketersediaan air tanah, yaitu: 100 %
alami/iklim, terjadinya penurunan (kondisi optimum), 75 % dan 50 %.
luas areal tanam akibat konversi lahan Setiap kombinasi perlakuan (4 x 3 =
pertanian ke non pertanian, dan 12) diulang tiga kali sehingga terdapat
kurangnya ketersediaan varietas 36 satuan percobaan. Rancangan
unggul termasuk potensi varietas analisis menggunakan uji F, jika
unggul lokal. Untuk mengurangi berbeda nyata akan diuji lanjut
impor, upaya peningkatan produksi di dengan Uji Jarak Berganda Duncan
dalam negeri mutlak diperlukan baik (DMRT Test) pada taraf 5%.
melalui usaha perluasan areal tanam Contoh tanah yang digunakan
maupun melalui usaha intensifikasi untuk percobaan dianalisis (sifat fisik)
dengan menggunakan teknologi terlebih dahulu untuk menentukan
budidaya yang sesuai, salah satunya kadar air tanah pada kondisi kapasitas
mengembangkan kultivar lokal yang lapang, titik layu permanen, dan
toleran kekeringan. kering udara. Penentuan kadar air
Penelitian ini bertujuan untuk tanah pada keadaan kapasitas lapang
mengetahui jumlah bunga dan polong dilakukan dengan menggunakan
empat kultivar lokal kacang tanah asal contoh tanah utuh (undisturbed soil
banten (Arachis hypogaea L.) pada sample), sedangkan pada titik layu
ketersediaan air tanah yang menurun permanen menggunakan contoh tanah
selama fase reproduktif. kering udara dengan ukuran butir < 2
mm. Contoh tanah utuh diambil
BAHAN DAN METODE dengan menggunakan tabung tembaga
Percobaan dilaksanakan dari (copper ring) pada kedalaman 0-20
bulan Maret sampai dengan bulan cm. Pada awalnya kandungan air
Juni 2015 di Rumah Kaca (Plastik) tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54)
Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, dan titik layu permanen (pF 4,20)
Universitas Sultan Ageng tirtayasa ditentukan berdasarkan volume tanah
(Untirta) Serang Banten. dan kemudian dikonversi menjadi
Bahan yang digunakan dalam kadar air tanah berdasarkan bobot
percobaan ini meliputi: benih kultivar tanah dengan persamaan (Sarief,
kacang tanah lokal asal Banten 1986):
(diperoleh dari BPTP Provinsi ρb
Banten), media tanam tanah, pupuk Wv  Wb atau Wv  Wbρ b
ρw
dasar Urea, SP-36, KCl, insektisida
Antracol, dan fungisida Benlate. dengan makna huruf-huruf pada
persamaan tersebut adalah: Wv =

33 Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016


kadar air tanah berdasarkan persen jumlah polong per tanaman. Jumlah
volume; Wb = kadar air tanah bunga diamati setiap hari dimulai
berdasarkan persen bobot; b = bobot pada umur tanaman 23 hari sampai
jenis tanah (bulk density); dan w = dengan 46 hari setelah tanam (HST)
bobot jenis air (1,0). dan jumlah polong diamati pada saat
Konversi ke persen bobot panen.
diperlukan agar jumlah air yang
diberikan sesuai dengan perlakuan HASIL DAN PEMBAHASAN
kandungan air tanah yang dilakukan Penurunan ketersediaan air
dengan penimbangan (gravimetri). tanah pada fase reproduktif
Ketersediaan air tanah selama fase berpengaruh pada peubah jumlah
vegetatif diberikan sama (kapasitas bunga dan jumlah polong per
lapang) dan mulai fase reproduktif tanaman. Jumlah bunga dan jumlah
diberikan sesuai perlakuan. Penentuan polong per tanaman semua kultivar
ketersediaan air tanah ditetapkan lokal asal Banten menurun dengan
dengan metode gravimetri menurunnya ketersediaan air tanah.
(menimbang bobot pot tanaman) Jumlah Bunga
setiap kali dilakukan pemberian air. Penurunan ketersediaan air
Setiap polibag diisi dengan 8 tanah selama pembungaan tidak ada
kg tanah yang sudah diayak dengan perbedaan di antara keempat kultivar
ukuran 2 mm. Benih ditanam yang ditanam untuk peubah jumlah
sebanyak satu benih per polibag. bunga yang dihasilkan. Namun
Untuk mengetahui respons tanaman demikian, ketersediaan air tanah yang
terhadap ketersediaan air yang menurun menyebabkan penurunan
menurun untuk keempat kultivar lokal jumlah bunga secara nyata untuk
kacang tanah asal Banten yang semua kultivar lokal asal Banten
ditanam, diamati jumlah bunga dan (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah bunga empat kultivar kacang tanah lokal asal Banten pada
ketersediaan air tanah yang menurun

Ketersediaan air tanah (%)


Kultivar Lokal Rata-rata
100 75 50
Asal Cikeusal 46,3 31,2 28,2 35,2
Asal Petir 38,7 33,5 31,8 34,7
Asal Anyer 37,3 33,7 30,8 33,9
Asal Cisoka 34,2 32,5 31,7 32,8
Rata-rata 39,1 a 32,7 b 30,6 b
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang
sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Fase reproduktif pada tanaman bunga menurun dengan menurunnya


kacang tanah ditandai dengan ketersediaan air tanah karena jumlah
munculnya bunga, buah, dan biji. bunga yang gugur meningkat dengan
Pembungaan dimulai pada hari ke-24 ketersediaan air tanah yang menurun.
setelah tanam yang ditandai dengan Jumlah bunga pada ketersediaan air
munculnya bunga pertama. Jumlah tanah 75% dan 50% lebih sedikit

Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016 34


dibandingkan pada ketersediaan air (permukaan tanah lebih keras).
tanah 100%. Ini menunjukkan bahwa Pembentukan polong dimulai ketika
pada fase berbunga sebaiknya ujung ginofor mulai membengkak,
kebutuhan air tanaman dapat dipenuhi sekitar satu minggu setelah ginofor
dengan menjaga ketersediaan air masuk ke dalam tanah. Kondisi tanah
tanah di atas 75%. yang lembab akan mendukung
Penurunan ketersediaan air perkembangan ginofor menjadi
tanah dari 100% menjadi 75% dan 50 polong. Menurunnya ketersediaan air
% mengakibatkan penurunan jumlah tanah (tanah lebih kering)
bunga yang dihasilkan untuk semua mengakibatkan pertumbuhan dan
kultivar. Keterbatasan air akan perkembangan ginofor menjadi
membatasi proses fotosintesis polong akan terhambat bahkan gagal
dibandingkan dengan pada kondisi menjadi polong. Hasil penelitian
optimum sehingga fotosintat yang Jogloy et al. (1996) menunjukkan
dihasilkan menjadi lebih sedikit untuk bahwa pembentukan polong tanaman
ditranslokasi ke organ-organ kacang yang mengalami stres air
reproduktif seperti bunga sehingga selama pembentukan ginofor dan
jumlah bunga yang terbentuk pembentukan serta pengembangan
menurun. Selain itu menurunnya polong akan menurunkan jumlah
ketersediaan air tanah mengakibatkan polong yang dihasilkan. Hal yang
terjadinya gugur bunga. Sloane et al. sama juga disampaikan oleh Lenka
(1990) melaporkan bahwa pada dan Misra (1973) mencatat efisiensi
tanaman kedelai, cekaman kekeringan produktif bunga bervariasi dengan
menyebabkan gugurnya bunga dan ketersediaan air dan persentase bunga
polong dan menurunkan hasil biji. yang tidak produktif yang tidak
Jumlah Polong mampu masuk ke dalam tanah untuk
Bunga yang muncul membentuk polong meningkat pada
selanjutnya akan menjadi ginofor. kondisi ketersediaan air tanah yang
Ginofor (tangkai kepala putik) berkurang.
muncul pada hari ke-4 setelah bunga Pada Tabel 2 terlihat dengan
mekar, kemudian akan memanjang, menurunnya ketersediaan air tanah
serta menuju dan menembus tanah diikuti dengan menurunnya jumlah
untuk memulai pembentukan polong. polong untuk semua kultivar lokal
Tidak semua ginofor dapat menembus kacang tanah asal Banten. Jumlah
tanah dengan kondisi tanah yang polong pada ketersediaan air tanah
kering. Ketersediaan air tanah yang 75% dan 50% tidak menunjukkan
menurun diikuti dengan menurunnya perbedaan, namun pada kedua kondisi
jumlah polong karena tidak semua ketersediaan air tanah tersebut jumlah
ginofor dapat menembus tanah polong lebih rendah dibandingkan
dengan kondisi lebih kering pada ketersediaan air tanah 100%.

35 Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016


Tabel 2. Jumlah polong empat kultivar kacang tanah lokal asal Banten pada
ketersediaan air tanah yang menurun
Ketersediaan air tanah (%)
Kultivar Lokal Rata-rata
100 75 50
Asal Cikeusal 12,3 11,0 8,7 10,7
Asal Petir 13,0 10,0 9,7 10,9
Asal Anyer 12,0 11,3 8,7 10,7
Asal Cisoka 11,0 9,00 8,7 9,6
Rata-rata
12,10 a 10,30 b 8,90 b
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang
sama, tidak berbeda pada uji DMRT 5 %

Penurunan ketersediaan air terbentuknya polong atau gagal


tanah dari 100% menjadi 75% dan membentuk polong.
50% mengakibatkan penurunan Dengan demikian pada tanah
jumlah polong yang dihasilkan untuk dengan ketersediaan air yang
semua kultivar. Keterbatasan air akan menurun (mulai 75%) mengakibatkan
membatasi proses fotosintesis jumlah polong yang terbentuk
dibandingkan dengan pada kondisi menurun. Hal ini diperkuat oleh hasil
optimum sehingga fotosintat yang penelitian Naveen et al. (1992) bahwa
dihasilkan menjadi lebih sedikit untuk stres air yang dikenakan selama
ditranslokasi ke organ-organ berbunga dan pembentukan ginofor
reproduktif seperti bunga dan polong menurunkan jumlah polong terbesar
sehingga jumlah bunga dan jumlah pada kacang tanah kultivar JL.-24
polong menurun. Selain itu, diikuti oleh stres air pada awal
pemanjangan ginofor akan terhambat pembentukan polong, tahap akhir
akibat kekeringan (Boote dan Ketring, pembentukan polong, dan fase
1990). Ginofor akan gagal menembus vegetatif. Shinde dan Pawarn (1984)
secara efektif ke dalam tanah kering, menemukan selama fase berbunga,
terutama di permukaan tanah. pembentukan ginofor, dan
Seringkali, dalam waktu 4 hari setelah pembentukan polong sampai dengan
pemberian air, permukaan tanah pematangan polong merupakan
menjadi terlalu kering untuk penetrasi periode yang sangat sensitif terhadap
ginofor. Skelton dan Shear (1971) cekaman kekeringan dan stres selama
melaporkan bahwa ketersediaan air periode ini sangat mempengaruhi
yang memadai pada daerah perakaran hasil.
dapat menjaga ginofor hidup sampai
berkembang menjadi polong. Setelah SIMPULAN
ginofor masuk ke dalam tanah, 1. Ketersediaan air tanah yang
ketersediaan air dan kegelapan yang menurun mengakibatkan
memadai diperlukan untuk menurunnya jumlah bunga dan
perkembangan polong. Ginofor yang jumlah polong untuk semua
tidak berhasil masuk secara sempurna kultivar lokal kacang tanah asal
ke dalam tanah karena permukaan Banten (kultivar lokal asal
tanah keras akibat ketersediaan air Cikeusal, asal Petir, asal Anyer,
berkurang mengakibatkan tidak akan dan asal Cisoka).

Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016 36


2. Penurunan jumlah bunga dan Nigam, S.N., Aruna, R., Giri, D.Y.,
jumlah polong kacang tanah mulai Ranga, R.G., Reddy, A.G.S.
terjadi pada ketersediaan air tanah 2006. Obtaining Sustainable
75%. Higher Groundnut Yields:
Principles and Practise of
DAFTAR PUSTAKA Cultivation. Information Buletin
No. 71. ICRISAT. India. 45p.
Bell, M.J., Wright, G.C. 1998. Sloane, R.J., Patterson, R.P., and
Groundnut Growth and Carter, T.E. 1990. Field
Development in Contrasting Drought Tolerance of Soybean
Environment. 1. Growth and Plant Introduction. Crop Sci.
Plant Density Responses. 30: 118-123.
Ekperimental Agriculture 34: Purnamawati, H., dan Lubis, I. 2007.
99-112. Peningkatan Produktivitas
BPS. 2015. Badan Pusat Statisika. Kacang Tanah Melalui
Produksi Padi dan Tanaman Perbaikan Keseimbangan Source
Palawija Tahun 2012 s/d 2015. dan Sink [abstrak].
http://www.bps.go.id. Diakses 1 www.bima.ipb.ac.id/lppm.
Juli 2015. Diakses pada 1 Juli 2015.
Boote, K.J. & Ketring, D.L. 1990. Sarief, E.S. 1986. Ilmu Tanah
Peanut. In: Stewart, B.A. and Pertanian. Pustaka Buana,
Nielson, D.R. (Eds), Irrigation Bandung.
of Agricultural Crops. Asa- Shinde, G.G., and Pawar, K.R. 1984.
Groundnut-A Global Effects of Water Stress at
Perspective. Critical Growth Stages on
Jogloy, S.; Patanothai, A., Toomsan, Growth and Yield of
S. & Isleib, T.G. Breeding Groundnut in Summer Season.
Peanut to Fit into Thai Cropping Journal of Maharashtra
Systems. Proc. of the Peanut Agricultural University 9: 26-
Collaborative Research Support 28.
Program International Research Skelton, B.J., and Shear, G.M. 1971.
Symposium and Workshop, Two Calcium Translocation in the
Jima Quality Inn, Arlington, Peanut (Arachis hypogae L.).
Virginia, USA, 25-31 March, Agronomy Journal 63: 409–412.
1996: pp 353-362.
Lenka, D., and Misra. 1973.
Response of Groundnut
(Arachis hypogaea L.) to
Irrigation. Indian Journal of
Agronomy 18: 492-97.
Naveen, P., Daniel, K.V.,
Subramanian, P., and Kumar,
P.S. 1992. Response of
Irrigated Groundnut (Arachis
hypogaea L.) to Moisture
Stress and its Management.
Indian Journal of Agronomy
37: 82-85.

37 Jur.Agroekotek 8 (1) : 32 – 37, Juli 2016

Das könnte Ihnen auch gefallen