Sie sind auf Seite 1von 12

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Perbandingan Penggunaan Triamcinolone Acetonide Dan Gel Larut Air
Pada Pipa Endotrakea Terhadap Angka Kejadian Nyeri Tenggorok
Comparison Of Post Operative Sore Throat Using Triamcinolone Acetonide
To Water Soluble Gel Within Endotrkheal Tube
Adi Wibowo*, Soenarjo **, Hari Hendriarto S**
* RSUD dr. Soewondo Kendal
** Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang.
 Korespondensi/ Correspondence: adiwibowo97@gmail.com

ABSTRACT

Background : One of complications after intubation (endotrakheal tube insertion) is


sore throat post operative because of tracheal mucous damages. To prevent that, it’s
hypothize that lubrication of endotracheal tube has effect in reducing the sore throat
complication. Triamcinolon acetonide gel consist of corticosteroid, not only as
lubrication agent but also anti- inflammation effects.

Objective : to compare the insidens sore throat post intubation using triamcinolone
acetonide compare to water soluble gel within endotrakheal tube

Method : 50 patients undergo elective surgery with general anesthesia in Dr. Karyadi
National Hospital, which applied to inclusion criteria, devided into 2 randomized
group. Induction using propofol 2 mg/kg body weight IV , rocuronium 0,6 mg/Kg body
weight IV and fentanyl 1 mcg/Kg body weight IV, intubate with high volume low
pressure non kinking endotracheal tube number 7.0 for female patients and number
7.5 for male patients. The first group (K1) was given triamcinolon acetonide in oral
based 0,1% within endotrachea, the second group (K2) was given water soluble gel (K
-Y Gel) 0,5 cm 15 cm distal endotracheal tube. Cuff then inflated with 20 cc air until
no leakage. Maintenance using anesthetic gas isoflurane 1 – 1,5% : O2 50% : N2O
50%, and intermitten rocuronium muscle relaxant. 30 mg Ketorolac and 2 mg/kg body
weight intravenous tramadol were given as analgetic. Extubation performed after
patient fully awake, and we did observation in sore throat insidens in 1, 6, and 24
hours post extubation.

Result : The insidens of sore throat after endotracheal intubation in first group
compare to second group are smaller, but not statistically significants (p>0,05).

Conclusion : to reduce the post endotracheal intubation sore throat insidens we can
use lubrication with triamcinolon acetonide gel.

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


170 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Keywords : triamcinolon acetonide, water soluble gel, endotracheal intubation, sore


throat complication

ABSTRAK

Latar Belakang : Salah satu komplikasi pemasangan pipa endotrakea adalah nyeri
tenggorok paska operasi akibat kerusakan mukosa trakea. Pemberian lubrikasi pada pipa
endotrakea diharapkan mampu mengurangi angka kejadian nyeri tenggorok.
Triamcinolon acetonide gel mengandung kortikosteroid disamping dapat sebagai agen
lubrikasi juga mempunyai efek anti inflamasi.

Tujuan : Membandingkan efek lubrikasi pipa endotrakea dengan triamcinolone


acetonide gel dan gel larut air terhadap angka kejadian nyeri tenggorok paska intubasi.

Metode : 50 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSUP
Dr.Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2
kelompok. Induksi menggunakan propofol 2 mg/kgBB iv, rokuronium 0,6 mg/kgBB iv dan
fentanyl 1 mcg/kgBB iv kemudian dilakukan intubasi dilakukan intubasi dengan pipa
endotrakea high volume low pressure non kinking dengan ukuran 7.0 untuk perempuan
dan 7,5 untuk laki-laki. Kelompok 1 (K1) diberikan triamcinolone acetonide in orabase
0,1 % pada pipa endotrakea, kelompok 2 (K2) diberikan gel larut air pada pipa
endotrakea (K-Y jelly) masing-masing diberikan 0,5 cc dilubrikasikan pada pipa
endotrakea sepanjang 15 cm dari ujung distal. Selanjutnya cuff dikembangkan dengan
udara dalam spuit 20 cc sampai tidak terdengar kebocoran udara napas. Rumatan
anestesi dengan isofluran 1-1,5 % dalam O2 dan N2O 50% dan pelumpuh otot
rokuronium intermiten. Analgetik diberikan ketorolak 30 mg dan tramadol 2 mg/kgBB iv.
Selesai operasi, ekstubasi pipa endotrakea dilakukan saat pasien sudah sadar. Dilakukan
observasi nyeri tenggorok 1 jam, 6 jam dan 24 jam setelah ekstubasi.

Hasil : Angka kejadian nyeri tenggorok paska intubasi endotrakea pada kelompok 1 lebih
kecil dibandingkan pada kelompok 2, tetapi tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Kesimpulan : Pemberian lubrikasi pipa endotrakea dengan triamcinolone acetonide gel


dapat mengurangi angka kejadian nyeri tenggorok

Kata Kunci : Triamcinolone acetonide, gel larut air, intubasi komplikasi endotrakeal,
nyeri tenggorok

PENDAHULUAN

Intubasi endotrakea diindikasikan endotrakea umumnya dilakukan untuk


pada setiap tindakan yang membutuhkan menjaga jalan nafas pada pasien yang
kontrol definitif jalan nafas. Intubasi dilakukan anestesi umum. Pemasangan

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 171


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pipa endotrakea dapat menimbulkan kelamin, pemilihan obat-obatan dan gas


komplikasi paska operasi berupa anestesi, usia, jumlah upaya intubasi,
keluhan gejala tenggorok. Keluhan ini durasi intubasi, jenis dan ukuran pipa
kemungkinan disebabkan oleh iritasi endotrakea, serta jenis dan ukuran
dan inflamasi jalan nafas sebagai akibat balon pipa endotrakea, lokasi
trauma mukosa pada jalan nafas.1 pembedahan, aplikasi lidokain atau
steroid.3
Keluhan gejala tenggorok paska
operasi akibat pemasangan pipa Berbagai upaya non
endotrakea dapat berupa batuk, suara farmakologis dan farmakologis telah
serak, tenggorokan kering dan nyeri digunakan untuk mengurangi POST,
tenggorok paska operasi (Post batuk dan serak dengan angka
Operative Sore Throat atau POST).2 keberhasilan yang beragam. Upaya non
Nyeri tenggorok dan suara serak pada farmakologis yang telah diuji coba
24 jam pertama paska prosedur meliputi penggunaan pipa endotrakea
merupakan komplikasi yang paling yang lebih kecil, lubrikasi pipa
sering terjadi, yang ditemukan pada 5.7 endotrakea dengan jelly larut air,
– 90% kasus.3 intubasi setelah terjadi relaksasi penuh,
meminimalisir tekanan dalam balon
Trauma merupakan faktor
pipa endotrakea, pemasangan pipa
etiologi yang penting pada nyeri
endotrakea dengan hati-hati,
tenggorok akibat intubasi, ditemukan
penghisapan lendir dengan hati-hati,
edema dan memar tenggorok pada
ekstubasi saat balon pipa endotrakea
penderita yang mengeluh nyeri
benar-benar telah di kempiskan.1 Upaya
tenggorok akibat intubasi. Tenggorok
farmakologis yang telah diuji coba
dapat luka waktu intubasi karena
antara lain kumur dengan menggunakan
manipulasi. Trauma dapat terjadi waktu
aspirin, kumur dengan menggunakan
laringoskopi langsung dan intubasi
ketamin preoperasi, obat anti inflamasi
yang dilakukan karena kurang relaksasi
non steroid, inhalasi beklomethason,
otot. Sebab lain trauma faring mungkin
kumur azulene sulfonat.1,4
disebabkan karena pergeseran yang
berlebihan antara pipa endotrakea dan Beberapa agen lubrikasi untuk
mukosa faring gerakan kepala yang pipa endotrakea telah diteliti
berlebihan ini dihubungkan dengan kemampuannya untuk mengurangi
lokasi pembedahan di kepala dan angka kejadian POST dengan angka
leher.10 keberhasilan yang beragam. Lubrikasi
pipa endotrakea berguna untuk
Beberapa faktor risiko diketahui
mengurangi kerusakan pada mukosa
memiliki korelasi dengan terjadinya
dengan cara mempermudah masuknya
komplikasi tersebut, termasuk jenis
pipa endotrakea ke dalam trakea dan

172 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengurangi resiko aspirasi. Steroid membandingkan penggunaan


topikal sebagai agen lubrikasi triamcinolone acetonide pada pipa
merupakan pilihan yang baik untuk endotrakea untuk mengurangi angka
mengurangi angka kejadian POST kejadian nyeri tenggorok paska operasi
karena iritasi dan inflamasi lokal dibandingkan dengan gel larut air (K-Y
mukosa trakea kemungkinan besar jelly). Penelitian yang dilakukan oleh
merupakan penyebab utama terjadinya Park SY et al serta Kazemi A et al
POST.5 Sebuah penelitian melaporkan menunjukkan bahwa kortikosteroid
bahwa aplikasi gel betamethasone pada topikal (pasta triamcinolone acetonide
pipa endotracheal efektif dalam dan betametasone gel) yang
mengurangi POST, batuk dan suara diaplikasikan pada pipa endotrakea
serak.3 dapat mengurangi angka kejadian nyeri
tenggorok paska operasi. Akan tetapi,
Triamcinolone acetonide kurang
berdasarkan penelitian lain oleh Park
poten tetapi lebih aktif sebagai
SY et al, aplikasi kortikosteroid topikal
glukokortikoid topikal. Triamcinolone
(pasta triamcinolone acetonide) pada
hanya memiliki seperlima aktifitas
LMA tidak menurunkan angka kejadian
glukokortikoid betamethasone dan
nyeri tenggorok paska operasi, tetapi
dosis triamcinolone yang digunakan
menurunkan tingkat keparahan nyeri
dalam sebuah penelitian setara dengan
tenggorok paska operasi.
0,4 mg prednison yang merupakan
dosis yang lebih rendah dibandingkan Faktor-faktor yang
dengan yang digunakan dalam mempengaruhi kejadian nyeri
penelitian lain (Ayoub et al4 tenggorok paska intubasi adalah Jenis
menggunakan bethametasone setara kelamin, dari beberapa penelitian
dengan 3 mg prednison dan Sumathi et didapatkan insiden pada wanita lebih
al menggunakan betamethason setara besar daripada laki-laki.10,19 Pada
dengan 4 mg prednison). Penelitian beberapa penelitian yang lain tidak
tersebut menemukan angka kejadian didapatkan perbedaan yang bermakna
POST sebesar 19,4% yang lebih rendah pada angka kejadian nyeri tenggorok
dibandingkan penelitian lain yang paska operasi antara laki-laki dan
menggunakan betamethasone (43% wanita.2,23,24 Semakin bertambah umur
pada penelitian Ayoub et al dan 40% kemungkinan timbulnya kelainan atau
pada penelitian Sumathi et al).5 penurunan fungsi organ tubuh makin
meningkat, seperti adanya diabetes
Penelitian tentang efek lubrikasi
mellitus atau penyakit vaskuler.
kortikosteroid pada pipa endotrakea
Berdasarkan penelitian Ahmed dkk
untuk mengurangi angka kejadian nyeri
mendapatkan bahwa insiden nyeri
tenggorok paska operasi masih sedikit.
tenggorok lebih sering ditemukan pada
Di Indonesia belum ada penelitian yang
usia yang lebih tua (>60 tahun)

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 173


Jurnal Anestesiologi Indonesia

daripada usia di bawahnya (18-60 Penilaian untuk menilai nyeri


tahun).13 Pasien dengan penyakit kronis tenggorok berupa pertanyaan langsung
yang berat, pada hal ini terjadi yang diajukan kepada pasien pada jam
penurunan perfusi jaringan, sehingga ke 1, 6, dan 24 paska operasi.
intubasi pada pasien ini mudah sekali Pertanyaan yang diajukan adalah:
mengalami trauma jaringan, mudah “Apakah anda merasa nyeri pada
terjadi nekrosis dan ulserasi tenggorokan?”. Kemudian, derajat
20,21
jaringan. Kebiasaan merokok, keparahan nyeri tenggorok tersebut
merokok meningkatkan resiko dinilai dengan menggunakan sistem
terjadinya komplikasi jalan nafas pada grading dengan skala 4 poin dari 0
pasien akibat operasi.22 Hal - hal yang sampai 3 dimana skala 0 adalah tidak
berhubungan dengan intubasi adanya nyeri tenggorok, 1 adalah nyeri
endotrakea seperti prosedur, intubasi, tenggorok ringan, 2 nyeri tenggorok
keterampilan pelaku intubasi, kesulitan sedang dan 3 nyeri tenggorok berat.
intubasi, pipa endotrakea dan obat - Seorang pasien dinilai menderita nyeri
obatan anestesi.11,13,21 tenggorok apabila dia melaporkan
adanya nyeri tenggorok pada
Faktor pembedahan,
setidaknya satu periode dari 3 rentang
Christensen dkk melaporkan insiden
waktu yang telah ditentukan itu. 5
nyeri tenggorok lebih besar akibat
operasi tiroid disebabkan oleh Keluhan lain berupa batuk,
pergerakan yang lebih besar dan pipa suara serak, kesulitan menelan, mual,
endotrakea dalam trakea.13,19,20,22 dan tenggorokan kering dinilai
menggunakan pertanyaan langsung
Penilaian kejadian nyeri
yang dicatat 24 jam pasca operasi.
tenggorok paska operasi dapat dibagi
menjadi penilaian dengan sistem Adapun penilaian sistem
grading untuk nyeri tenggorok dan grading untuk nyeri tenggorok, suara
Visual Analog Scale (VAS).5 serak dan batuk 1 sampai dengan 24

Gambar 1. Visual Analog Score5

174 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

jam paska operasi3 : penggunaannya mudah hanya


menggunakan beberapa kata sehingga
Nyeri tenggorok 0 : tidak ada kosa kata tidak menjadi permasalahan.
nyeri tenggorok, 1 : ringan (lebih Willianson dkk juga melakukan kajian
ringan daripada nyeri pada radang pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan
tenggorok), 2 : sedang (nyeri seperti menarik kesimpulan bahwa VAS secara
pada radang tenggorok), 3 : berat (nyeri statistik paling kuat rasionya karena
lebih dari radang tenggorok) dapat menyajikan data dalam bentuk
Suara serak, 0 : tidak ada suara rasio. Nilai VAS antara 1 – 4 cm
serak, 1. ringan (tidak ada suara serak dianggap sebagai tingkat nyeri yang
pada saat wawancara tetapi pernah ada rendah dan digunakan sebagai target
sebelum wawancara), 2 : sedang untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS
(hanya dirasakan oleh pasien), 3 : berat > 4 dianggap nyeri sedang menuju
(dapat diketahui oleh pewawancara berat sehingga pasien merasa tidak
pada saat wawancara) nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesik penyelamat (rescue
Batuk, 0 : tidak ada batuk, 1 : analgetic). 5

ringan (lebih ringan daripada batuk


pada radang tenggorok), 2 : sedang kardiovaskular dan bersifat
(Batuk seperti batuk pada radang sinergis dengan opioid, sehingga
tenggorok), 3 : berat (Batuk lebih dari OAINS menjadi obat terpilih untuk
batuk pada radang tenggorok) mengatasi nyeri pasca operasi.3
Ketorolac dan parecoxib merupakan
Penilaian untuk menilai nyeri OAINS yang secara poten menghambat
tenggorok paska operasi dapat juga COX-1 dan COX-2 dengan potensi
dinilai dengan menggunakan visual yang berbeda. COX-2 meningkat pada
analogue scale (VAS). Skala yang daerah inflamasi dan pada kondisi basal
pertama sekali dikemukakan oleh Keele seringkali tidak terdeteksi di jaringan
pada tahun 1948 yang merupakan skala tersebut.3
dengan garis lurus 10 cm, dimana awal
garis (0) penanda tidak ada nyeri dan Beberapa penelitian juga telah
akhir garis (10) menandakan nyeri dilakukan untuk membuktikan
hebat. Pasien diminta untuk membuat penggunaan OAINS dalam
tanda digaris tersebut untuk penyembuhan luka. Hawks dkk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. melaporkan bahwa penggunaan
Penggunaan skala VAS lebih mudah, ketorolac selama satu minggu sebelum
efisien dan lebih mudah dipahami oleh operasi pada tikus menghasilkan
penderita dibandingkan dengan skala penurunan yang signifikan dalam
lainnya.VAS juga secara metodologis kekuatan putus luka.4 Eck dkk
kualitasnya lebih baik, dimana juga menyatakan bahwa penggunaan

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 175


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ketorolac pada periode segera pasca proses perbaikan luka. Sel limfosit T
operasi tidak mengakibatkan CD4+ merupakan up regulator proses
peningkatan risiko komplikasi pada penyembuhan luka.7,9 Andri S
model tikus.5 Somprasong dkk menunjukan bahwa infiltrasi lokal
mengatakan bahwa infiltrasi lokal anestesi levobupivakain meningkatkan
parecoxib tidak mengganggu skor histologi sel T CD4+ dibandingkan
6
penyembuhan luka. dengan yang tidak mendapatkan
infiltrasi pada penyembuhan luka.10
Penyembuhan luka merupakan
proses perbaikan struktur sel dan Penulis ingin mengetahui
jaringan yang kompleks dan dinamis. keadaan yang terjadi pada penggunaan
Pembagian secara garis besar meliputi ketorolac atau parecoxib untuk nyeri
fase inflamasi, proliferasi dan akut pasca bedah, terhadap perbaikan
7,8
remodeling. Perbaikan proses proses penyembuhan luka khususnya
penyembuhan luka tersebut dapat pada tahap inflamasi dengan melihat
dilihat dari kandungan limfosit pada skor histologi sel T CD4+.
akhir fase inflamasi. Limfosit T
merupakan komponen sel yang METODE
berperan utama dalam sistim imun. Sel Penelitian ini merupakan
ini berfungsi dalam pertahanan penelitian eksperimental laboratorik
terhadap infeksi melawan organisme dengan desain randomized post test
dan berperan dalam penyembuhan luka. only design dengan tujuan mencari
Limfosit T terbagi menjadi dua perbandingan pengaruh pemberian
populasi, yaitu sel T CD4+ dan sel ketorolac dan parecoxib intramuskular
TCD8+. Sel T CD4+ berperan dalam terhadap ekspresi sel T CD4+ di
penyembuhan luka karena jaringan luka insisi. Sampel penelitian
memproduksi sitokin dan faktor ini adalah 20 ekor tikus wistar jantan,
pertumbuhan. Isolasi limfosit T sehat dan tidak tampak cacat secara
terutama sel T CD4+ dari darah tepi anatomi. Penentuan besar sampel
manusia menghasilkan dua menurut rumus WHO yaitu 5 ekor tiap
karakteristik faktor pertumbuhan yaitu kelompok.
heparin binding epidermal groth factor
(HBEGF) dan basic fibroblast growth Setelah diadaptasi selama tujuh
factor (BFGF). Sel T CD4+ diketahui hari, semua tikus diinsisi pada
dapat menginduksi dan mengatur punggungnya sepanjang 2 cm dengan
respon imun dengan memproduksi kedalaman subkutis. Sebelum diinsisi,
sitokin seperti IL2, IPFNy, TNFα dan punggung tikus didesinfeksi dengan
granulosit atau macrophage-colony betadine kemudian luka ditutup dengan
stimulating factor yang berperan dalam lima jahitan tunggal sederhana
menggunakan benang side. Selanjutnya

176 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

jahitan dibersihkan, diolesi betadin dan berdasarkan perbedaan warna spesimen


dirawat. Pasca pembedahan juga perlakuan. Proses pemeliharaan hewan
diberikan penisilin oil 15 mg. 20 tikus coba, perlakuan, eksisi-biopsi dan
wistar tersebut secara acak dibagi pemeriksaan immunohistokimia
menjadi dua kelompok perlakuan dilakukan di Laboratorium Biologi dan
dengan 10 ekor tikus wistar setiap Patologi Anatomi FK Unissula.
kelompoknya. Kelompok perlakuan 1
Data dikumpulkan dan diolah
(K1) mendapatkan injeksi ketorolac
dengan menggunakan program SPSS
intramuskular yang sebanding dengan
for windows. Analisa data meliputi
dosis manusia 30 mg tiap 6 jam
analisa deskriptif dalam bentuk rerata,
sementara kelompok perlakuan 2 (K2)
standar deviation dan grafik. Normal
mendapatkan injeksi parecoxib
tidaknya distribusi data diuji dengan uji
intramuskular yang sebanding dengan
Shapiro-Wilk (untuk sampel kecil
dosis manusia 40 mg tiap 12 jam.
≤50). Jika distribusi data normal, uji
Pada hari ke-3 dam ke-5 pasca beda skor histologi sel T CD4+ antar
perlakuan, dilakukan pembiusan, lalu 5 kelompok dilakukan dengan
ekor tikus dari tiap kelompok dilakukan menggunakan uji Oneway ANOVA dan
eksisi dan biopsi kira-kira 0,5 cm dilanjutkan analisis Post Hoc. Uji
persegi melintasi garis irisan pada Kruskal-Wallis akan dilakukan jika
bagian tengah dan tepi. Jaringan biopsi distribusinya tidak normal. Batas
diproses menjadi preparat histologik derajat kemaknaan yang digunakan
setelah dibuat dengan blok parafin. adalah p<0,05 dengan interval
Pemeriksaan imunohistokimia kepercayaan 95%. Data disajikan dalam
dimaksudkan untuk menentukan bentuk tabel dan grafik.
+
ekspresi sel T CD4 . Ekspresi area
Penelitian ini telah mendapat
dilakukan lewat pemeriksaan
persetujuan dari Komisi Bioetika
imunohistokimia dengan pewarnaan
Penelitian Kedokteran/Kesehatan FK
metode streptavidin-biotin pada
Unissula, Ethical Clearance No. 133/
jaringan sekitar luka yang dapat dilihat
V/2014/Komisi Bioetik sebelum
pada mikroskop cahaya. Dipilih
penelitian dilakukan.
lapangan pandang yang paling banyak
area positifnya dengan pembesaran HASIL
1000 kali, selanjutnya dihitung jumlah
area positif pada lima lapangan Dengan menggunakan
pandang searah jarum jam. Tingkat mikroskop cahaya, intensitas warna
ekspresi ditentukan secara kuantitatif area sel T CD4+ dapat diketahui sebagai
sebagai nilai rata-rata pengamatan. penilaian kuantitatif. Nilai intensitas
Analisis dan dokumentasi hasil warna dikelompokkan sebagai berikut :
pengamatan diinterpretasikan Intensitas kuat 45-85, lemah 86-125,

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 177


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sedang 126-165, negatif 166-206. Didapatkan bahwa berat badan


dari hewan coba dari kelompok
Masing-masing sediaan dilihat 5
perlakuan K1 dan K2 berbeda tidak
lapangan pandang, dan setiap lapangan
bermakna (p=0,238; p<0,05), berarti
pandang akan dihitung sebagai ekspresi
ketiga kelompok berasal dari populasi
skor histologi untuk menentukan nilai
yang homogen sehingga layak untuk
ekspresi sel T CD4+ secara kuantitatif.
dibandingkan.
Sistem perhitungan dengan Data hasil penelitian merupakan
penentuan skor histologi adalah: data numerik dengan 2 kelompok tidak
presentasi luas area sel T CD4+, jika berpasangan dengan jumlah sampel
tidak terdapat presentasi diberi nilai 0, kurang dari 50, sehingga dilakukan uji
< 1 % diberi nilai 1, 1 – 10%, diberi normalitas dengan Shapiro-Wilk. Uji
nilai 2, 11 – 33% diberi nilai 3, 34 – 66 tersebut ditujukan untuk mengetahui
% diberi nilai 4, 67 – 100% diberi nilai apakah data parameter klinis
5. Intensitas ekspresi sel T CD4+ dinilai terdistribusi normal. Salah satu cara
dengan 0 = negatif, 1= positif lemah, meminimalisir kejadian nyeri
2= positif sedang, 3= positif kuat.
tenggorok, batuk dan serak post
Nilai skor histologi tampilan sel intubasi, adalah pemberian obat topikal
+
T CD4 ditentukan dengan rumus skor Triamcinolone acetonid, yang
histologi : ( IK x PK ) + ( IS x PS ) + merupakan kortikosteroid sintetik
( IL x PL ) + ( IN x PN )11 Dengan : P= dengan potensi sedang-kuat dengan
prosentase, I= intensitas, K= intensitas rumus kimia 9α-Fluoro-11β, 16α, 17,
positif kuat, L= intensitas positif lemah, 21-tetrahydroxypregna-1,4-diene-3, 20-
S= intensitas positif sedang, N= dione cyclic 16, 17-acetal dengan
intensitas negatif. aseton (C24H31FO6).

Skor histologis tampilan sel T Triamcinolone acetonide secara


+
CD4 dari kelima lapangan pandang fisik berupa bubuk kristal berwarna
diambil reratanya untuk menentukan putih dengan berat molekul 434.51. Zat
ekspresi secara kuantitatif dari sediaan. ini bersifat tidak larut dalam air tetapi
Hasilnya adalah sesuai tabel 1. relatif larut dalam alkohol terdehidrasi,
kloroform, dan dalam metanol.
Sebelum menilai hubungan Triamcinolone acetonide memiliki titik
antar variabel, uji homogenitas lebur pada temperatur antara 292◦ -
dilakukan terlebih dahulu untuk 294◦C. Absorbsi triamcinolone
mengetahui apakah data parameter acetonide melalui mukosa ditentukan
klinis atau laboratoris dari kedua berbagai faktor diantaranya integritas
kelompok berasal dari populasi yang barier mukosa, durasi terapi, adanya
homogen yang ditunjukkan tabel 2. inflamasi dan atau proses penyakit.
Setelah diabsorbsi melalui membran

178 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

mukosa, konsentrasi kortikosteroid lakton, metilparaben, dan natrium


serupa dengan kortikosteroid yang hidroksida sebagai antiseptik dan aditif
diberikan secara sistemik. pengawet.
Kortikosteroid terikat dengan protein
METODE
plasma dalam berbagai derajat.
Kortikosteroid dimetabolisme terutama Penelitian ini berbentuk Non-
di hati dan diekskresikan oleh ginjal. Randomized Clinical Controlled Trial.
Sebagian kortikosteroid dan hasil Dalam rancangan eksperimental,
metabolismenya juga diekskresikan di pengukuran dan observasi dilakukan
empedu. setelah perlakuan. Tempat penelitian
adalah Instalasi Bedah Sentral RSUP
Triamcinolone acetonide
Dr. Kariadi Semarang. Populasinya
mempunyai efek anti inflamasi, anti
adalah pasien yang menjalani operasi
pruritik, dan vasokontriksi seperti
elektif dengan anestesi umum dengan
kortikosteroid yang lain. Mekanisme
jumlah sampel sebesar 50 orang.
aktifitas anti inflamasi steroid topikal
secara umum belum jelas. Pasien yang menjalani operasi
Kortikosteroid diduga menginduksi elektif dengan anestesi umum di
protein inhibitor phospolipase A2 yang Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr.
disebut dengan lipocortins. Protein ini Kariadi Semarang yang memenuhi
mengontrol biosintesa mediator kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian
inflamasi yang poten seperti dilakukan consecutive sampling dibagi
prostaglandin dan leukotrien dengan menjadi dua kelompok berdasarkan
menghambat prekursornya yaitu asam tabel acak yang sudah dibuat. Peneliti
arakidonat. Asam arakidonat dilepaskan tidak mengetahui pasien berikutnya
dari membran fosfolipid oleh (blind) karena urutan pasien
fosfolipase A2. berdasarkan pendaftaran di loket
Instalasi Bedah Sentral yang berubah
Cara lain untuk meminimalisir
setiap harinya. Kedua kelompok
kejadian nyeri tenggorok pasca intubasi
adalah dengan pemberian KY Jelly. KY
Jelly merupakan gel berbahan dasar dan DAFTAR PUSTAKA
larut air, lazim digunakan sebagai 1. Shaaban AR, Kamal SM. Comparison
pelumas. Tidak seperti pelumas yang between betamethasone gel applied over
endotracheal tube and ketamine gargle
berbahan dasar petroleum, KY Jelly for attenuating postoperative sore throat,
bersifat tidak reaktif secara biologis dan cough and hoarseness of voice. Middle
East Journal of Anesthesiology.
tidak mengandung zat aditif pewarna 2012;21:513-520.
ataupun pewangi. KY Jelly 2. Edomwonyi NP, Ekwere LT, Omo E,
Rupasinghe A. Postoperative throat
menggunakan gliserin dan hidroksietil complications after tracheal intubation.
selulosa sebagai lubrikan, dengan Annals of African Medicine. 2006;5:28-
klorheksidin diglukonat, glukono delta- 32.

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 179


Jurnal Anestesiologi Indonesia

3. Kazemi A, Amini A. The effect of 14. Al-Qahtahni AS, Messahel FM. Quality
betamethasone gel in reducing sore improvement in anesthetics practice-
throat, cough, and hoarseness after incidence of sore throat after using small
laryngo-tracheal intubation. Middle East tracheal tube. Middle East Journal of
Journal of Anesthesiology. 2007;19:197- Anesthesiology.2005;18(1):179-83
204. 15. Kwok SL, Irish JC. Traumatic
4. Ayoub Mc, Ghobashy A, Koch ME, Mc complication of intubation and other
Grimley L, Pascale V, Qadir S, dkk. airway management procedures.
Widespread application of typical Anesthesiology Clinics of North
steroid to decrease sore throat, America.2002;20(4):953-69
hoarseness, and cough after tracheal 16. McHardy FE, Chung F. Post operative
intubation. Anesth Analg 1998:87:714-6 sore throat: cause, prevention and
5. Sumathi PA, Shenoy T, Ambareesha M, treatment. Anesthesia. 1999;54:444-453
Krishna HM, Controlled Comparison 17. Seegobin RD, Hasselt Van GL.
between betamethasone gel and Endotracheal cuff pressure and tracheal
lidocaine jelly applied over tracheal tube mucosal blood flow: Endoscopy study of
to reduce postoperative sore throat, effects of four large volume cuffs.
cough and hoarseness of voice. Br J British Medical Journal. 1984;228:965-
Anaesth 2008:100:215-8 68
6. Rajkumar G, Eshwori L, Konyak PY et 18. Loeser EA, Daniel L, Stanley TH.
al. Prophyactic ketamine gargle to Endotracheal tube cuff design and
reduce post-operative sore throat postoperative sorethroat.
following endotracheal intubation. J Anesthesiology.1976;45(6):684-7
Med Soc. 2012;26:175-9. 19. Hagberg R, Krier C. Complications of
7. Park SY, Kim SH, Lee SJ et al. managing the airway. Best Practice and
Appication of triamcinolone acetonide Research Clinical Anesthesiology.
paste to the endotracheal tube reduces 2005;19:641-659.
post opearative sore throat ; a 20. Suzuki N, Kooguchi K,Mizobe T.
randomized controlled trial. Canadian Postoperative hoarseness and sorethroat
Journal of Anaesthesia. 2011;58:436- after tracheal intubation:Effect of a low
442. intracuff of pressure of endotracheal
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. tube and usefullness of cuff pressure.
Clinical Anesthesiologi 5thed. Airway Japanese Journal of
management. Mc Graw Hill Education. Anesthesiology.1999;48(10):1091-5
United States. 2013;19:309-40 21. Flemming DC. Hazards of Tracheal
9. Soenarjo, Jatmiko HD : Anestesiologi. Intubation. Complications in
Intubasi Endotrakea. Ikatan Dokter anesthesiology. Pensylvania: J.B.
Spesialis Anestesi dan Reanimasi Lippincott. 1983;165-171
(IDSAI) Cabang Jawa Tengah. 22. Quinn FB,Stroud RH, Rassekh CH.
Semarang. 2010;11:197-206. Laryngeal injury as a result of
10. Finucane BT, Tsui BCH, Santora AH. endotracheal intubation. 1999
Principle of airway management. Basic 23. Myles PS, lacono GA, Hunt JO, et al.
Equipment for Airway Management. Risk of respiratory complications and
Springer. New York. 2011;4:118-119 wound infections in patients undergoing
11. Miller RD. Basics of Anesthesia 5th ed. ambulatory surgery: smokers versus
Preoperative Preparation and nonsmokers. Anesthesiology. 2002;97
Intraoperative management. Churchill (4):842-7
livingstone elseiver. 24. Christensen AM, Larsen WH, Lundby
Philadelphia;2007:218 L, Jakobsen KB. Post operative throat
12. Higgins PP, Chung F, Mezei G. complaints after tracheal intubation. Br J
Postoperative sorethroat after Anaesth. 1994;6:786-787
ambulatory surgery. British Journal of 25. Sout DM, Bishop MJ, Dwersteg JF,
Anaesthesiology.2002;88:582-4 Cullen BF. Correlation of endotracheal
13. Domino K, Posner K, Caplan RA, tube size with sore throat and hoarseness
Cheney F. Airway injury during following general anaesthesia.
anesthesia: a closed claim analysis. Anesthesiology 1987;38:363-367
Anesthesiology.1999;91(6):1703-11 26. Kloub R. Sore throat following tracheal

180 Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

intubation. Middle East J. Anesthesiol.


2001;16:29-40
27. Derendrof H, Meltzer EO. Molecular
and clinical pharmacology of intranasal
corticosteroid:clinical and therapeutic
implications. Allergy. 2008;63:1292-300
28. Park SY, Kim MJ, Kim MG, Lee SJ, Ok
SY, Kim SI. Triamcinolone acetonide
paste applied over the laryngeal mask
airway to reduce the severity of
postoperative sore throat. Soonchunyang
Medical Science. 2011;17(1):7-10
29. Katz M, Gans EH. Topical
corticosteroids, structure-activity and
theglucocorticoid receptor: discovery
and development: a process of “Planned
serendipity”. J. Pharm Sci.2008;97:2936
-47

Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014 181

Das könnte Ihnen auch gefallen