Sie sind auf Seite 1von 10

KAJIAN BIAYA KEMACETAN, BIAYA POLUSI DAN

BIAYA KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN

Gito Sugiyanto Siti Malkhamah


Mahasiswa Program Doktor (S3) Guru Besar
Program Studi Ilmu-Ilmu Teknik Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT)
Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan
Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknik
Jl. Grafika No. 2, Yogyakarta 55281 Universitas Gadjah Mada
Phone: (0274) 902245, 524712 Jl. Grafika No. 2, Yogyakarta 55281
Fax.: (0274) 524713 Phone: (0274) 902245, 524712
gito_98@yahoo.com Fax. : (0274) 524713
smalkhamah@mstt.ugm.ac.id

Abstract

The aim of this paper is to analysis the congestion cost, pollution cost and accident cost. The cost that has to be
endured by the society as the result of transportation and the effect of transportation including congestion cost,
pollution cost as the result of transportation, traffic accident cost, fuel wasting cost and energy wasting with
global warming effect. The solution that can be taken to reduce transportation cost and the effect of
transportation cost such as Transportation Demand Management (TDM), application of pricing policy in
charging zone, road pricing, restraint of an impact on the environment. To reduce the transportation cost and the
effect of transportation cost, for people transport can be overcome by increased the use of public transportation.
But it is different in Indonesia because the use of public transport decreased and the use of private cars are
quickly growth. The other effect of private car uses are traffic jam, fuel and energy wasting, the increasing of
traffic accident and air pollution. The amount of the congestion charge represents the difference of marginal
social cost and marginal private cost in the same road. In this study marginal social cost represents the
generalized cost in traffic jam and marginal private cost represents the generalized cost without traffic jam. The
congestion charge is only applied to the private cars. The cost of road traffic accident include the property
damage cost (repair and replacement of infrastructure component and vehicle parts), the lost of productivity,
medical cost, administration cost and human cost. The analysis of road traffic accident cost used Gross Output
Methods by with and without principle. The road traffic accident cost is the difference between the victim
productivity and the cost if there is with or without accident. One of the effort to reduce the traffic accident is by
minimize the traffic conflict, such as by handling from the road side that can be suggested after the audit of the
relevant road.

Keywords: congestion cost, congestion charge, generalized cost, traffic conflict, road pricing

1. PENDAHULUAN
Keberhasilan suatu sistem transportasi biasanya diukur berdasarkan empat faktor, yaitu
efisiensi waktu, efisiensi energi dan bahan bakar, dampak lingkungan serta keselamatan lalu
lintas. Banyak indikator yang dapat dipakai untuk mengukur efisiensi dan dampak
lingkungan. Efisiensi waktu dapat diukur antara lain dengan kecepatan perjalanan, tundaan,
panjang antrian dan jarak tempuh. Efisiensi energi dan bahan bakar seringkali dituangkan
sebagai bagian dari biaya operasi kendaraan (BOK). Dampak lingkungan oleh transportasi
dapat diukur dengan tingkat kebisingan dan tingkat polusi udara yang diakibatkan oleh lalu
lintas. Sementara itu selama ini di Indonesia, angka kecelakaan dianggap merupakan satu-
satunya indikator keselamatan lalu lintas. Untuk itu perlu dicari solusi untuk meningkatkan
penggunaan angkutan umum dengan menerapkan zona berbayar bagi angkutan pribadi.
Penambahan jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan selain dapat menimbulkan kemacetan
juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah konflik antar kendaraan bermotor. Konflik lalu
lintas (traffic conflict) ini dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan
lalu lintas yang terjadi dapat diperkirakan sebagai biaya dalam penghitungan road pricing.

1
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

2. PEMBAHASAN
2.1. Nilai Waktu dan Biaya Waktu Perjalanan
Nilai waktu dihitung dari perbandingan antara selisih biaya perjalanan terhadap penghematan
waktu antara perjalanan dari asal ke tujuan dengan menggunakan moda yang berbeda
(Fowkes, 1991). Menurut IHCM (1995) terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk
menghitung nilai waktu yaitu berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan berdasarkan
tingkat kesejahteraan (welfare maximation). Perbedaannya adalah metoda tingkat
kesejahteraan mengikutsertakan nilai waktu santai ke dalam analisisnya, sedangkan metoda
PDB tidak mengikutsertakan nilai waktu santai.

Biaya waktu perjalanan atau Travel Time Cost (TTC) merupakan nilai uang per satuan waktu
yang rela dikeluarkan oleh seseorang, dalam hal ini adalah pengguna angkutan pribadi jenis
mobil penumpang untuk menghemat atau memperoleh suatu unit waktu dari hasil
keputusannya untuk melakukan perjalanan. Biaya waktu perjalanan diperoleh dari perkalian
nilai waktu setiap jenis kendaraan dengan waktu perjalanan moda m dari i ke j (TT ijm ).
Biaya waktu perjalanan dirumuskan sebagai berikut:
TTC ijm = VOT (TT ijm ) ……………………………………….......................………. (1)
dimana :
TTC ijm = biaya waktu perjalanan dengan moda m dari i ke j
VOT = nilai waktu
TT ijm = total waktu perjalanan dengan moda m dari i ke j

Nilai waktu setiap jenis kendaraan berdasarkan hasil studi IHCM terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Waktu per Jenis Kendaraan
Nilai waktu per kendaraan/jam (Rp)
Jenis kendaraan
PDB Welfare maximation
Sepeda motor 315,00 736,00
Mobil 1.925,00 3.281,00
Bus kecil 7.385,00 12.572,00
Bus besar 9.800,00 18.212,00
Truk kecil 4.970,00 5.605,00
Truk sedang 4.970,00 5.605,00
Truk besar 4.970,00 736,00
Sumber : IHCM, 1995
Nilai waktu dihitung berdasarkan studi IHCM pada tahun 1995 dengan menggunakan tingkat
kesejahteraan seperti pada Tabel 2. Penggunaan nilai waktu ini dipilih karena adanya faktor
tingkat kesejahteraan pengguna jalan khususnya pengguna angkutan pribadi yang
mengikutsertakan nilai waktu non-kerja ke dalam analisisnya, sedangkan metode Produk
Domestik Bruto (PDB) tidak mengikutsertakan nilai waktu non-kerja.
Tabel 2. Nilai Waktu Jenis Kendaraan berdasarkan IHCM Tingkat Kesejahteraan
Value of Time/VOT (Rp/jam)
Jenis kendaraan
Tahun 1995 Tahun 2008
Sepeda motor 736,00 1.159,78
Mobil penumpang 3.281,00 5.170,20
Bus kecil 12.572,00 19.810,96
Sumber : forecasting dari Studi IHCM, 1995

2
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

2.2. Biaya Kemacetan dan Road Pricing


Kemacetan lalu lintas yang semakin meningkat menimbulkan biaya tinggi di berbagai negara
termasuk di Indonesia. Biaya kemacetan di Amerika Serikat, untuk 85 perkotaan mencapai
US$ 63,3 milyard (sekitar Rp 600 trilyun) pada tahun 2002, untuk nilai waktu sebesar US$
13,45/jam (Harford, 2006). Di Kota Yogyakarta sendiri diperkirakan biaya kemacetan yang
harus dipikul oleh masyarakat pada tahun 2006 sekitar Rp 600 milyar, bila diasumsikan nilai
waktu per orang adalah Rp 2.000,00 per jam (Malkhamah, 2007).

Ide dasar dari road pricing adalah membebankan biaya tertentu (dalam bentuk tarif) yang
sama dengan marginal cost yang disebabkan oleh pengguna jalan terhadap pengguna jalan
lainnya, yang berupa kerugian karena pengurangan kecepatan lalu lintas, peningkatan potensi
kecelakaan dan peningkatan dampak lingkungan (peningkatan biaya kemacetan dan
kecelakaan). Tarif ini diterapkan untuk mengurangi bahkan membatasi perjalanan
menggunakan kendaraan pribadi yang tidak perlu. Tarif yang optimal untuk setiap jenis
kendaraan diperoleh dengan cara memaksimalkan manfaat bersih untuk masyarakat dan
pengguna jalan dan meminimalkan disbenefit. Tarif ini merupakan selisih antara marginal
social cost dengan marginal private cost (Stubs, 1980). Biaya kemacetan timbul dari
hubungan antara kecepatan dengan aliran di jalan dan hubungan antara kecepatan dengan
biaya kendaraan. Jika batas aliran lalu lintas yang ada dilampaui, maka rata-rata kecepatan
lalu lintas akan turun. Pada saat kecepatan mulai turun maka biaya operasi kendaraan akan
meningkat dalam kisaran 0 - 45 mil/jam dan waktu untuk melakukan perjalanan akan
meningkat (Everall, 1968 dalam Stubs, 1980). Sementara itu, waktu berarti biaya dan nilai,
dua bagian dari total biaya perjalanan yang ditimbulkan oleh menurunnya kecepatan akibat
meningkatnya aliran lalu lintas. Sementara itu kecelakaan meningkat dengan bertambahnya
exposure atau jumlah kendaraan. Hal ini dapat digambarkan pada pada Gambar 1 berikut ini.

Marginal Social Cost


Cost
Marginal Private Cost
D
P1 H

P2 F
P4 E
I
P3
G
P0 Demand

Flow
0 Q0 Q2 Q1
Sumber : Stubbs, 1980
Gambar 1. Estimasi biaya kemacetan

Mengacu pada Gambar 1 di atas, selisih antara marginal social cost dan marginal private cost
merupakan congestion cost yang disebabkan oleh adanya tambahan kendaraan pada ruas jalan
yang sama dan keseimbangan (equilibrium) tercapai di titik F dengan arus lalu lintas sebanyak
Q2 dan biaya sebesar P2. Dari sudut pandang sosial, maka arus lalu lintas sebanyak Q1 terlalu
berlebihan karena pengemudi kendaraan hanya menikmati manfaat sebesar Q1E atau P4.
3
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

Tambahan kendaraan setelah titik optimal Q2 harus mengeluarkan biaya sebesar Q2Q1HF
namun hanya menikmati manfaat sebesar Q2Q1EF, sehingga terdapat welfare gain yang
hilang sebesar luasan FEH. Oleh karena itu, penghitungan beban biaya kemacetan didasarkan
pada perbedaan antara biaya marginal social cost dan marginal private cost dari suatu
perjalanan. Agar sesuai dengan prinsip pricing, maka biaya kemacetan harus seimbang
dengan MSC supaya aliran yang terjadi akan turun dari Q1 ke Q2, sehingga MSC seluruh
pengguna kendaraan dari perjalanan terakhir harus sesuai dengan MPC yang dirasakan. Hal
ini dapat diwujudkan jika diberlakukan sistem congestion charging sebesar FG atau P2-P3.

Persamaan dari estimasi biaya kemacetan dapat dirumuskan sebagai berikut :


CC ijm = C ijm MSC – C ijm MPC ……………..........................………………………. (2)
dimana :
CC ijm = biaya kemacetan moda m dari i ke j
C ijm MSC = marginal social cost/biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dari perjalanan
i ke j dengan menggunakan moda m.
m
C MPC = marginal private cost/ biaya yang dikeluarkan oleh pengguna kendaraan
ij

pribadi dari perjalanan i ke j dengan moda m.

Menurut Sugiyanto (2007), biaya kemacetan merupakan salah satu atribut perjalanan yang
mempengaruhi pemilihan moda antara mobil pribadi dan bus kota di Yogyakarta. Model
pemilihan moda di area CBD Malioboro, Yogyakarta dipengaruhi oleh lima atribut perjalanan
yaitu: biaya perjalanan (travel cost), biaya kemacetan (congestion charging), waktu tempuh
perjalanan (travel time), waktu kedatangan antar bus kota (headway), dan waktu berjalan kaki
ke tempat pemberhentian bus kota (walking time).

Tabel 3. Biaya Kemacetan di Koridor Malioboro, Yogyakarta


Generalized Cost (Rp) Congestion Charging
No. Jenis Kendaraan
Macet Tidak Macet (Rp)
1. Sepeda motor 1.479,88 762,57 717,31
2. Mobil Penumpang
BOK PCI 1988 9.265,24 2.961,44 6.303,80
3. Bus Perkotaan 9.908,42 6.341,44 -
Sumber : Hasil analisis, 2008

Kota London merupakan salah satu kota yang telah menerapkan biaya kemacetan,
sebagaimana dikutip pada Official Transport for London and Congestion Charge, 2006. Batas
zona berbayar adalah hingga jalan lingkar dalam. Semua kendaraan yang melalui zona
berbayar dikenakan biaya kemacetan. Namun, ada juga yang dibebaskan dari bayaran seperti
layanan darurat dan kendaraan dengan tenaga alternatif. Sementara itu, kendaraan untuk
penghuni di dalam zona berbayar mendapat kompensasi potongan biaya kemacetan.
Kendaraan yang melewati zona berbayar akan dimonitor oleh kamera khusus yang merekam
plat mobil yang melalui zona berbayar. Di Kota Trondheim, Norwegia, penerapan biaya
kemacetan dilakukan dengan memasang detektor pada bagian depan kendaraan yang dapat
berkomunikasi dengan pintu tol (toll gate) pada saat kendaraan melaluinya (Blythe, 2004).
Sedangkan di Negara Singapura, congestion pricing diterapakn di kawasan central business
district (CBD) pada jam 07.30-19.00. Sistem yang digunakan yaitu dengan Electronic Road
Pricing (ERP) yang dikenalkan pada tahun 1998 menggantikan sistem manual road pricing.

4
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

Penerapan congestion pricing mampu mengurangi 24.700 kendaraan selama jam sibuk dan
mengurangi jumlah kendaraan pribadi tanpa penumpang (solo drivers).

Kebijakan yang diterapkan di berbagai kota di United Kingdom menggunakan instrumen


pengoptimalan strategi transportasi melalui pemodelan untuk meningkatkan penggunaan
angkutan umum perkotaan (Shepherd, et al. 2006,; Zhang, et al. 2006). Strategi tersebut
meliputi perubahan tarip angkutan umum perkotaan, perubahan frekuensi kendaraan angkutan
umum perkotaan yang berlaku di seluruh perkotaan, serta pentaripan bagi kendaraan pribadi
khusus di pusat perkotaan. Optimasi tersebut menghasilkan keuntungan total maksimal. Ini
bisa dicapai dengan pengurangan tarip angkutan umum sebanyak 45%, frekuensi bis
ditambah sebanyak 0 sampai 200% tergantung pada waktu, dan penerapan tarip kemacetan
bagi kendaraan pribadi sebanyak 0 sampai 350p yang juga tergantung dari waktu dan lokasi.
Keuntungan yang diperoleh adalah tidak ada penambahan uang yang dikeluarkan oleh
pengguna jalan secara keseluruhan (penghematan tarif angkutan umum seimbang dengan nilai
yang harus dibayarkan oleh pengguna kendaraan pribadi). Pendapatan yang diperoleh dari
kendaraan pribadi digunakan untuk membayar subsidi angkutan umum. Namun demikian,
semua pengguna jalan mengalami penghematan waktu; ada tambahan keuntungan dari
pengematan biaya kecelakaan dan polusi.

2.3. Biaya Polusi dan Kebisingan


Menurut Deng (2006), kontribusi polusi kendaraan bermotor di Cina memberi sumbangan
terhadap 30% partikel polutan di udara (PM10). Ini mengakibatkan meningkatnya kematian
akibat cardiovascular sebayak 40% dan meningkatkan penyakit pernafasan. Diperkirakan
pada tahun 2000 sebanyak 1876 orang meninggal akibat penyakit oleh polusi udara dan biaya
yang diakibatkan mencakup 3,26% dari PDB di Beijing.

Harsanto, (1993) melakukan pengukuran di berbagai persimpangan jalan utama dan


menyimpulkan bahwa Kota Yogyakarta menghasilkan biaya polusi yang terus-menerus
meningkat dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Hal ini membuktikan bahwa transportasi
merupakan penyumbang polusi yang besar di daerah perkotaan. Kemudian, (Sharp dan
Jennings, 1989 seperti dikutip oleh Harsanto, 1993) berpendapat bahwa produksi emisi
berhubungan dengan kecepatan kendaraan. Biasanya tingkat emisi yang tertinggi terjadi pada
kecepatan rendah yaitu pada saat terjadi kemacetan. Dampak transportasi yang menimbulkan
biaya tinggi lain adalah lingkungan, khususnya polusi udara dan suara. Biaya polusi per
penumpang km untuk setiap jenis kendaraan adalah Rp 65,00 untuk sepeda motor, Rp 126,00
untuk mobil penumpang dan Rp 52,00 untuk bus. Hasil ini diperoleh dengan asumsi okupansi
setiap kendaraan adalah 1,50 orang untuk sepeda motor, 2,34 orang untuk mobil penumpang
dan bus 14,20 orang. Sedangkan biaya kesehatan polusi tersebut sebesar Rp 3.010,00/ liter
untuk sepeda motor dan mobil penumpang, serta Rp 5.880,00/ liter untuk bus. (Sutomo,
2000). Biaya polusi di Yogyakarta ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Biaya Polusi Masing-masing Jenis Kendaraan di Yogyakarta


Biaya polusi (Rp/kend-km)
Occupancy
Jenis kendaraan Th 1997 Th 2008
(pnp/kend) (Rp/pnp)
(Rp/kend) (Rp/kend)
Sepeda motor 1,50 65 97,50 150,74
Mobil penumpang 2,34 126 294,84 455,82
Bus kecil 14,20 52 738,40 1.141,55

5
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

Kemacetan lalu lintas selain merugikan dari segi waktu, juga menimbulkan dampak
lingkungan, terutama polusi udara dan suara. Di Yogyakarta tingkat polusi udara tinggi,
terutama di persimpangan dan tingkat polusi udara tergantung pada volume lalu lintas
(Yulifianti dan Malkhamah, 2004). Kalau polusi udara banyak mempengaruhi kesehatan fisik
terutama organ jantung dan pernafasan, maka kebisingan lebih mempengaruhi ‘kejiwaan’
seperti ketenangan saat beristirahat, beribadah, maupun konsentrasi saat belajar. Agar
kebisingan tidak mengganggu, maka ditentukan baku mutu lingkungan kebisingan.
Kenyataannya, kebisingan yang terjadi di berbagai wilayah melebihi baku mutunya. Hasil
penelitian Iswar dan Malkhamah (2005) menunjukkan bahwa tingkat kebisingan di
lingkungan suatu perumahan dengan sistem jaringan jalan terbuka di Yogyakarta berkisar
71.89 dB(A) - 75.64 dB(A). Ini lebih tinggi dari baku mutu yang sebenarnya, ialah 60 dBA.
Biaya kebisingan di Indonesia perlu dihitung untuk mengetahui sejauh mana kerugiannya.

Nilai kebisingan di United Kingdom diteliti oleh Arsenio et al. (2006) dan didapatkan bahwa
nilai tersebut berbeda tergantung pada karakteristik kebisingan lalu lintas. Pengurangan 1 Leq
dBA mempunyai nilai 51,60 perrumah tangga/tahun, sedangkan kalau tingkat kebisingan
bertambah 1 dBA maka nilainya adalah 74,30 euro/rumah tangga per tahun.

2.4. Biaya Kecelakaan Lalu Lintas


Menurut Hills and Jones-Lee (1981); TRL (1995), ada enam metoda yang dapat dipakai
untuk menganalisis biaya kecelakaan. Di antara keenam metoda tersebut yang dirasa cocok
untuk dipakai di Indonesia adalah Gross Output Method. Hal ini disebabkan untuk metoda
yang lain menggunakan parameter yang di Indonesia masih belum dapat mencerminkan biaya
kecelakaan, seperti biaya asuransi, biaya putusan pengadilan, dan biaya penanganan
kecelakaan. Dengan Gross Output Method biaya suatu kecelakaan lalu lintas dihitung
berdasarkan prinsip with and without, artinya biaya kecelakaan merupakan selisih antara
produktifitas korban dan biaya yang dikeluarkan apabila tidak terjadi kecelakaan, dengan
produktifitas dan biaya yang timbul apabila terjadi kecelakaaan. Menurut TRL (1995),
komponen biaya kecelakaan terdiri dari biaya kerusakan kendaraan, hilangnya produktifitas,
biaya medis dan administrasi, biaya duka cita dan penderitaan. Sedangkan menurut Anh
(2005) terdapat tujuh metode yaitu: Gross Output Methodology, Human Capital
Methodology, Net Output Methodology, Life Insurance Methodology, Court Award
Methodology, Implicit Public Sector Valuation Methodology dan Willingness-to-pay
Methodology (metoda kemauan untuk membayar).

Tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara (TRL, 1995).
Berdasarkan data kecelakaan lalu lintas pada tahun 2006, tercatat 36.000 orang meninggal
karena kecelakaan di jalan, 19.000 di antaranya melibatkan pengendara sepeda motor. Ada
tiga faktor yang menjadi penyebab kecelakaan, yakni faktor manusia, kendaraan, dan
lingkungan. Faktor penyebab kecelakaan tertinggi adalah faktor manusia (human error),
antara lain karena kecerobohan pengendara. Hal ini juga akibat kurangnya pemahaman
penunggang sepeda motor terhadap teknik berkendara, etika, dan komunikasi di jalan.

Kecelakaan lalu lintas juga menimbulkan biaya yang sangat tinggi. Di Australia, biaya
kecelakaan pada tahun 2003 sekitar AUS$17 Milyar, sekitar 2,3% Pendapatan Nasional Bruto
Australia (Connelly and Supangan, 2006). Kerugian yang diderita oleh masyarakat di
Malaysia akibat kecelakan lalu lintas pada Tahun 1997 mencapai sekitar Rp 10 Trilyun per
tahun (PWDM, 1997). Menurut Malkhamah (2006) biaya kecelakaan yang dihitung

6
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

berdasarkan kecelakaan yang tercatat di Kabupaten Sleman selama tahun 2003 adalah Rp.
12,13 Milyar. Padahal dari penelitian diketahui bahwa jumlah kecelakaan yang tercatat di
Indonesia hanya sekitar 8% (DKTD, 2006), dan sebagian besar yang tidak tercatat merupakan
kecelakaan tanpa korban jiwa. Di Indonesia sendiri diperkirakan kerugian yang dipikul akibat
kecelakaan pada tahun 2002 sebesar Rp 41,4 Trilyun yang merupakan 2,91% Produk
Domestik Bruto (PDB). Biaya kecelakaan ini dapat dipakai sebagai dasar untuk
memperkirakan biaya keselamatan yang didekati dengan konflik lalu lintas.

Pertumbuhan sepeda motor di Indonesia luar biasa, padahal sepeda motor sangat rawan
terhadap kecelakaan. Sebagian besar pengguna sepeda motor adalah kaum muda. Agak sulit
untuk mengetahui angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor yang sesungguhnya
secara pasti di Indonesia karena banyak kecelakaan yang tidak tercatat (salah satu sebabnya
adalah sebagian besar pelaku dan korban kecelakaan enggan melaporkan diri). Berdasarkan
penelitian Clarke et al. (2006), Lapparent (2006), dan Kmet and Macarthur (2006), kaum
muda lebih banyak mengalami kecelakaan. Sebagian besar penyebab kecelakaan yang terjadi
dan melibatkan kaum muda adalah kecelakaan karena kehilangan kendali, kecepatan yang
terlalu tinggi dan perilaku kaum muda yang lebih berani mengambil risiko. Risiko untuk
mengalami luka parah bagi pengendara sepeda motor pun cukup tinggi.

Angka kecelakaan sebagai indikator keselamatan lalu lintas mempunyai banyak kelemahan.
Hal ini disebabkan karena kecelakaan lalu lintas tidak stabil, walaupun risiko penyebab
kecelakaan tidak berubah. Selain itu kecelakaan lalu lintas jarang terjadi dan penyebab
maupun kejadiannya seringkali sulit untuk dimengerti secara rinci (Grayson, 1984). Data
kecelakaan hanya memberikan informasi tentang kecelakaan yang tercatat saja dan ini
merupakan sebagian saja dari seluruh kecelakaan yang terjadi (Grayson, 1984; dan DKTD,
2006).

Perbandingan biaya kecelakaan dibedakan berdasarkan tingkat keparahan kecelakaan. Untuk


analisis di Vietnam hanya dibedakan menjadi dua jenis kecelakaan yaitu kecelakaan fatal
dengan korban meninggal dunia dan kecelakaan serius dengan korban cidera atau mengalami
luka-luka. Hasil perbandingan biaya kecelakaan di Yogyakarta (Indonesia) berdasarkan hasil
penelitian Jefrizon dan Malkhamah (2004), biaya kecelakaan di Vietnam untuk tahun 2004
(Anh, et.al, 2005) sedangkan biaya kecelakaan jalan di Cyprus untuk Tahun 1995. Nilai biaya
kecelakaan di Indonesia dan Vietnam hampir sama dan jauh lebih kecil bila dibandingkan
dengan biaya kecelakaan di Cyprus (TRL, 1995). Hasil perbandingan ditunjukkan di Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Biaya Kecelakaan Lalu lintas Jalan Berdasarkan Jenis Kecelakaan di
Indonesia,Vietnam, dan di Cyprus
Biaya kecelakaan Biaya kecelakaan Biaya kecelakaan
No. Jenis kecelakaan
di Indonesia di Vietnam di Cyprus*)
1. Kecelakaan fatal Rp 167.924.000 Rp 116.810.000 Rp 2.387.854.000
2. Kecelakaan serius Rp 28.739.500 Rp 35.778.824 Rp 172.720.000
3. Kecelakaan ringan Rp 1.248.000 N.A Rp 29.362.400
4. Property damage only Rp 1.142.500 N.A Rp 12.522.200
Catatan :
Rp 1,00 = VND 1,7 (Vietnamese Dong)
1 Cyprus pounds (CYP) = Rp 14.530,60
*) : Tahun 1995

7
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

2.5. Biaya Keseluruhan (Generalized Cost)


Button (1993) menjelaskan bahwa biaya keseluruhan suatu perjalanan dinyatakan sebagai
suatu nilai uang yang menggambarkan gabungan dari berbagai biaya yang membentuk
kesempatan (opportunity) dari perjalanan tersebut. Biaya keseluruhan dari perjalanan
merupakan biaya langsung dari transportasi yang sangat dipengaruhi oleh biaya-biaya yang
terkait dengan perilaku pengguna jalan di dalam ruang lalu lintas yang dilaluinya. Ortuzar
and Willumsen (2001) menjelaskan bahwa biaya keseluruhan perjalanan dihitung berdasarkan
kombinasi antara biaya yang dikeluarkan dan biaya waktu perjalanan serta biaya atribut-
atribut perjalanan lainnya. Persamaan yang digunakan dalam menentukan Biaya keseluruhan
dari suatu perjalanan dirumuskan sebagai berikut :
m m m m
C ij = VOT (TT ij ) + TC ij + CP ij ……………..........................……...........……..……….. (3)

dimana :
m
C ij = total biaya perjalanan

VOT = nilai waktu


m
TT ij = total waktu perjalanan dengan moda m dari zona i ke zona j
m
TC ij = total biaya operasi kendaraan dengan moda m dari zona i ke zona j
m
CP ij = total biaya polusi dengan moda m dari zona i ke zona j

Pelaku perjalanan selalu memilih moda transportasi yang mempunyai generalised cost paling
murah. Ketika pelaku perjalanan memilih moda transportasi, mereka menggunakan beberapa
kriteria yang terkait dengan generalised cost. Generalised cost terdiri dari uang yang harus
dikeluarkan (out-of-pocket expenses), lama perjalanan, tingkat pelayanan dan kenyamanan
(termasuk keselamatan). Uang yang harus dikeluarkan ini bagi pengguna angkutan umum
berupa biaya tiket, sedangkan bagi pengguna kendaraan pribadi meliputi biaya operasi
kendaraan (BOK), biaya parkir dan biaya tol. Beberapa peneliti lain, seperti Transport and
Road Research Laboratory (TRRL) (1980) dan Paulley et al. (2006) menggabungkan waktu
perjalanan, tingkat pelayanan dan kenyamanan menjadi tingkat atau kualitas pelayanan
(quality of service). Kinerja jalan yang memburuk menimbulkan dampak pada pemborosan
waktu, peningkatan kecelakaan lalu lintas dan peningkatan polusi udara serta suara. Pada
Tabel 6 dan Tabel 7 disajikan biaya keseluruhan pada kondisi macet dan tidak macet.
Tabel 6. Biaya Keseluruhan pada kondisi Macet
BOK BP BWP Generalized
No. Jenis Kendaraan
(Rp) (Rp) (Rp) Cost (Rp)
1. Sepeda motor 984,69 211,04 284,15 1.479,88
2. Mobil Penumpang 7.722,30 638,15 904,79 9.265,24
3. Bus Perkotaan 3.456,56 1.598,17 4.853,69 9.908,42
Sumber : Hasil analisis, 2008

Tabel 7. Biaya Keseluruhan pada kondisi Tidak Macet


BOK BP BWP Generalized
No. Jenis Kendaraan
(Rp) (Rp) (Rp) Cost (Rp)
1. Sepeda motor 656,46 45,22 60,89 762,57
2. Mobil Penumpang 2.630,81 136,75 193,88 2.961,44
3. Bus Perkotaan 3.456,56 342,47 2.542,41 6.341,44
Sumber : Hasil analisis, 2008

8
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

3. KESIMPULAN DAN SARAN


Dengan berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh transportasi yang didominasi oleh
kendaraan pribadi maka seharusnya penggunaan kendaraan pribadi dikurangi dengan
meningkatkan peran angkutan umum yang disertai dengan penerapan biaya kemacetan
(congestion pricing) bagi pengguna kendaraan pribadi yang melewati zona berbayar. Hal
inilah yang perlu diteliti lebih lanjut. Untuk mengurangi penggunaan pribadi, maka perlu
dipahami faktor-faktor yang menentukan pemilihan moda transportasi dan diketahui berbagai
biaya yang termasuk dalam generalised cost yang meliputi biaya kemacetan, biaya polusi
(BP), biaya waktu perjalanan (BWP) dan biaya operasional kendaraan (BOK).

Penerapan biaya kemacetan di Singapura, Melbourne, Trondheim, Toronto mampu


mengurangi kemacetan lalu lintas, menurunkan polusi udara dan keselamatan jalan raya yang
signifikan dengan berkurangnya penggunaan mobil pribadi.

Hasil perbandingan biaya kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia dan Vietnam untuk
kecelakaan fatal dan kecelakaan serius nilainya tidak jauh berbeda dan sangat kecil bila
dibandingkan dengan biaya kecelakaan di negara Cyprus.

DAFTAR PUSTAKA
ANH, Trinh Thuy, Trinh Tu ANH, Prof. Dr. Nguyen Xuan DAO, 2005, “ The Cost of Road
Traffic Accident in Vietnam”, Proceedings of Eastern Asia Society for
Transportation Studies (EASTS) Vol. 5 Tahun 2005 hal. 1923-1933, diakses dari
www.jstage.jst.go.jp.
Arsenio, E., Bristow, A.L., and Wardman, M., 2006, “Stated Choice Valuations of Traffic
Related Noise”, Transportation Research, Part D: Environment, Vol.11, pp. 15-31.
Button, J.K., 1993, Transport Economics, 2nd Edition, Cambridge University Press, United
Kingdom.
Blythe, Philip T., 2004, “Congestion Charging : Challenges to Meet the UK Policy
Objectives”, Review of Network Economics, Vol. 3 Issue 4, pp. 356 – 370.
Clarke, D. D., Ward, P., Bartle, C. and Truman, W. 2006, “Young Driver Accidents in the
UK: the Influence of Age, Experience, and Time of Day”, Accident Analysis and
Prevention, Vol. 38, Issue 5, pp. 871-878.
Connely, L.B. and Supangan, R., 2006, “The Economic Costs of Road Traffic Crashes:
Australia, States and Territories”, Accident Analysis and Prevention, In Press.
Deng, X., 2006, “Economic Cost of Motor Vehicle Emissions in China: a Case Study”,
Transportation Research, Part D: Environment, Vol. 11, pp. 216-226.
Directorate General of Highways, Ministry of Public Works (1995), Indonesian Highway
Capacity Manual Part I. Urban Road, Ministry of Public Works, Jakarta.
Direktur Keselamatan Transportasi Darat (DKTD), 2006, “Manajemen Keselamatan
Transportasi Jalan”, Naskah Workshop Manajemen Keselamatan Transportasi
Darat, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Batam, 13 Desember 2006
Fowkes, A.S., 1991, “The Use of Hypothetical Preference Survey Techniques to Drive
Monetary Valuation for Investment Appraisal”, 23rd UTSG Annual Conference,
January, University of Nottingham England.
Grayson, G.B., 1984, The Malmo Study: A Calibration of Traffic Conflict Techniques,
Report R-84-12, Institute for Road Safety Research SWOV, Leidschendam.
Harford, J.D., 2006, “Congestion, Pollution and Benefit to Cost Ratios of US Public Transit
System”, Transportation Research, Part D: Environment, Vol. 11, pp. 45-58.

9
Simposium XI FSTPT, Universitas Diponegoro Semarang, 29-30 Oktober 2008

Hills, P. J. and Jones-Lee, 1981. “The Costs of Traffic Accidents and Evaluation of Accident
Prevention in Developing Countries”, PTRC Annual Meeting, PTRC Education
and Research Services.
Iswar dan Malkhamah, S., 2005, “Pemodelan Tingkat Kebisingan Lalu lintas di Lingkungan
Perumahan (Studi Kasus: Perumahan Dosen UGM – Sekip Yogyakarta)”, Forum
Teknik, Edisi Mei 2005, hal. 91-97.
Jefrizon dan Malkhamah, S., 2004, “Biaya Kecelakaan Jalan Raya di Negara Berkembang (
Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta)”, Prosiding FSTPT, November 2004.
Kmet, L., and Macarthur, C., 2006, “Urban-Rural Differences in Motor Vehicle Crash Fatality
and Hospitalization Rates Among Children and Youth”, Accident Analysis and
Prevention, Vol. 38, Issue 1, pp 122-127.
Lapparent, M.D., 2006, “Empirical Bayesian Analysis of Accident Severity for Motorcyclists
in Large French Urban Areas”, Accident Analysis and Prevention, Vol. 38, Issue 2,
pp 260-268.
Malkhamah, S., 2006, Keuntungan Penyediaan dan Penggunaan Angkutan Umum untuk
Masyarakat Perkotaan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada, 21 Februari 2007.
Official Transport for London and Congestion Charge, 2006, Congestion Charging, diakses
dari www.tfl.org.uk.
Ortuzar, J.D., and Willumsen, L.G., 2001, Modelling Transport 3rd Edition, John Wiley and
Sons Ltd., England.
Paulley, N., Balcombe, R., Mackett, R., Titheridge, H., Preston, J., Wardman, M., Shires, J.,
and White, P., 2006, “The Demand For Public Transport: The Effects of Fares,
Quality of Services, Income and Car Ownerships”, Transport Policy, Vol.13, pp.
295-306.
Public Works Department of Malaysia (PWDM), 1997, Road Safety Audit: Guidelines for
the Safety Audit of Roads and Projects in Malaysia, PWDM, Malaysia.
Stubs, P.C., Tyson W.J., dan Dalvi, M.Q., 1980, Transport Economics, George Allen and
Unwin (Publisher) Ltd., London.
Sugiyanto, Gito, Sjafruddin, Ade dan Siswosoebrotho, Bambang Ismanto, 2007, “Model
Pemilihan Moda antara Mobil Pribadi dan Bus Kota akibat Penerapan Biaya
Kemacetan (Congestion Charging)”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil
2007, Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Sugiyanto, Gito, 2008, “Biaya Kemacetan (Congestion Charging) Mobil Pribadi di Central
Business District (Studi Kasus Kawasan Malioboro, Jogjakarta”, Jurnal Media
Teknik Sipil Edisi Januari 2008 hal. 59-65, Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Sutomo, Heru, 2000, Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor Berdasarkan Biaya
Penyelenggaraan Transportasi (Studi Kasus di Kota Yogyakarta), Katalog Hasil
Penelitian Perpustakaan Program Magister Sistem dan Teknik Transportasi,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Transport Research Laboratory (TRL), 1995, “Costing Road Accident in Developing
Countries”, Overseas Road Note 10, Overseas Centre, Crowthorne, Beshire, UK.
Transport and Road Research Laboratory (TRRL), 1980, The Demand for Public
Transport. Report of the International Collaborative Study of the Factors
Affecting Transport Patronage, TRRL, Crowthorne.
Yulifianti dan Malkhamah, S., 2004, “Tingkat Pencemaran Udara Oleh Lalu lintas di
Lingkungan Kampus Universitas Gadjah Mada”, Prosiding FSTPT, November 2004.
Zhang, X.., Paulley, N., Hudson, M., and Rhys-Tyler, G., 2006, “A Method for the Design of
Optimal Transport Strategies”, Transport Policy, Vol. 13, pp. 329-338.

10

Das könnte Ihnen auch gefallen