Sie sind auf Seite 1von 29

PERANAN METODE ACTIVITY BASED COSTING (ABC) DAN JUST IN

TIME (JIT) UNTUK MENETAPKAN HARGA POKOK PRODUK YANG


AKURAT

JURNAL ILMIAH AKUNTANSI MANAJEMEN

Oleh :
Puspa Rini, SE, M.Si
puspayovrin22@yahoo.com

INSTITUT BISNIS & INFORMATIKA KOSGORO 1957


JAKARTA
PERANAN METODE ACTIVITY BASED COSTING (ABC) DAN JUST IN
TIME (JIT) UNTUK MENETAPKAN HARGA POKOK PRODUK YANG
AKURAT

Oleh : PUSPA RINI, SE, M.Si

ABSTRACT

Determination of accurate product cost is very important for


comanies to set prices. This leads to the allocation of overhead cost
should be done properly, the company that markets more than one kind of
product. Conventional methods that allocate costs based on changes in
the costs are not allocated according to the amount of consumsption of
each unit. Activity based costing methods by using the allocation of
overhead cost based on activities that cause costs seems more
appropriate to use. Activity based costing methods led to the allocation of
overhead cost is able to bring compliance cost of consumption for each
product.
Just in time is a system that produces goods only when needed and
only product in the consumer requested amount. Just in time specifically
reduce inventory to a level much lower than conventional systems,
emphasis on quality control, and produce fundamental changes in the way
production is organized and implemented. Benefits of activity based
costing is causing the development of the discussion that aims to provide
an understanding of the role of activity based costing and just in time
system to assign an accurate cost of the product.

Keywords: Activity Based Costing, Just In Time, Cost Of Product


A. PENDAHULUAN
Pentingnya Inovasi agar organisasi dapat bersaing secara global
maka organisasi harus melakukan penyempurnaan yang
berkesinambungan dan terus menerus melalui berbagai penemuan dan
inovasi-inovasi. Inovasi merupakan upaya untuk mengenalkan gagasan
baru dalam rangka melakukan perubahan secara besar-besaran untuk
mengikuti perkembangan pesat teknologi dengan cara memakai konsep-
konsep terbaru dalam bidang manajemen, produksi, pemasaran serta
akuntansi. Inovasi dibidang akuntansi, manajemen dan produksi misalnya
philosofi Just In Time (JIT) dan Activity based costing (ABC).
Tinjauan akan harga pokok produk mempertimbangkan adanya
komponen seluruh biaya baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Biaya langsung seperti bahan baku dan tenaga kerja langsung
akan mendatangkan kemampuan untuk langsung diketahui nilainya sebab
dapat melekat langsung pada obyek yang terkait. Biaya tidak langsung
seperti overhead tidak dapat langsung ditentukan nilainya sebab tidak
melekat secara langsung pada obyek yang terkait. Biaya tersebut
merupakan biaya bersama untuk berbagai macam jenis produk yang
dihasilkan. Berdasarkan kondisi yang dimiliki, maka alokasi biaya
overhead yang tepat akan mendatangkan kemampuan untuk
menghasilkan informasi harga pokok produk yang akurat. Alokasi biaya
overhead yang terlalu rendah membuat harga pokok produk
dikalkulasikan terlalu rendah sehingga harga jual ditetapkan terlalu murah.
Activity-based costing (ABC) merupakan perhitungan biaya berbasis
aktivitas perusahaan yang bertujuan menetapkan harga pokok produk
yang tepat. Selain metode ABC yang dapat memberikan suatu perubahan
pada fungsi biaya suatu perusahaan ada sistem JIT yang dipandang
sebagai langkah pertama dalam penyederhanaan dan pengurangan atas
produk buangan (waste) dalam proses produksi, sistem JIT juga dapat
diharapkan untuk memperpendek waktu produksi yang diperlukan dengan
mengurangi waktu penanganan dan penyimpanan barang dalam proses.
Dengan mengurangi penanganan bahan, pergudangan, dan inspeksi,
sistem JIT akan menurunkan biaya overhead. Sistem JIT juga membantu
menelusuri secara langsung beberapa biaya yang biasanya
diklasifikasikan sebagai biaya tidak langsung. Oleh karena itu artikel ini
bertujuan mendeskripsikan bagaimana penerapan Activity-based costing
(ABC) dan Just In Time (JIT) untuk mencapai tujuan tersebut.

B. TELAAH PUSTAKA
B.1 Pengertian Biaya
Menurut Armanto Witjaksono (2006:6) mendefiniskan biaya
sebagai: “Cost is the cash or cash equivalen value sacrificed foor goods
and service that are bring a current of future benefit to the organization”.
Menurut Hansen dan Mowen (2004:40) dalam Fitriasari dan Kwary,
pengertian biaya adalah: “Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang
dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan
member manfaat saat ini atau di masa yang akan datang bagi organisasi”.
Menurut Mulyadi (2008:8) biaya adalah “Pengorbanan sumber
ekonomi yang diukur dalam satuan mata uang yang telah terjadi atau
kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu”.

B.2 Pengertian Biaya Produksi


Menurut William K. Carter (2004:40) biaya produksi adalah sebagai
berikut: Biaya Produksi didefinisikan sebagai jumlah dari tiga elemen
biaya: bahan baku langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik.
Bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung merupakan biaya utama.
Tenaga kerja langsung dan overhead pabrik merupakan biaya konversi.
Menurut Mulyadi (2001:14) biaya produksi adalah: “Biaya produksi yaitu
semua biaya yang berhubungan dengan fungsi produksi atau kegiatan
pengolahan bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual ”.
B.2.1 Jenis - Jenis Biaya Produksi
1. Biaya bahan baku
2. Biaya tenaga kerja langsung .
3. Biaya overhead pabrik
a) Biaya bahan penolong
b) Biaya tenaga kerja tidak langsung
c) Biaya listrik,air,telepon
d) Reparasi dan pemeliharaan pabrik
e) Dan lain sebagainya

B.3 Harga Pokok Produksi


Hansen dan Mowen (2000:42) harga pokok produksi adalah : The
cost of goods manufactured represents the total cost cost of goods
completed during the current period. The only costs assigned to goods
completed are the manufacturing costs of direct material, direct labour and
overhead. Sedangkan menurut Garrison dan Noreen (2000:61) harga
pokok produksi adalah “Harga pokok produksi merupakan biaya
manufaktur yang berkaitan dengan barang-barang yang diselesaikan
dalam periode tertentu”.
Harga pokok produksi merupakan hasil bagi dari total biaya
produksi dengan jumlah unit yang dihasilkan dalam suatu periode
produksi. Harga pokok produksi juga merupakan unit pengukuran yang
seragam karena dinyatakan untuk setiap satuan output yang dihasilkan
oleh perusahaan.

B.3.1 Tujuan Penetapan Harga Pokok Produksi


Pada umumnya tujuan penetapan harga pokok produksi adalah:
1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
2. Sebagai dasar dalam menetapkan harga jual
3. Perencanaan dan pengendalian
B.3.2 Metode Penentuan Harga Pokok Produksi
Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara untuk
memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi.
Dalam memperhitungkan unsure-unsur biaya ke dalam harga pokok
produksi, terdapat dua pendekatan yaitu Full Costing dan Variable
Costing.
1. Full costing
Menurut LM Samryn (2001:63) Full Costing adalah : metode
penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua
biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja, dan overhead tanpa memperhatikan perilakunya. Laporan
laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan
untuk memenuhi pihak luar perusahaan. Oleh karena itu
sistematikanya harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum untuk menjamin informasi yang tersaji dalam laporan
tersebut.
2. Variabel Costing
Menurut Mulyadi (2000:18) Metode Variabel Costing merupakan
metode penentuan harga pokok produksi yang hanya
memperhitungkan unsur biaya produksi berupa biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead yang berperilaku
variabel.

Perbedaan pokok antara metode Full Costing dan Variabel Costing


sebetulnya terletak pada perlakuan biaya tetap produksi tidak langsung.
Dalam metode Full Costing dimasukkan unsur biaya produksi karena
masih berhubungan dengan pembuatan produk berdasarkan tarif
(budget), sehingga apabila produksi sesungguhnya berbeda dengan
budget, maka akan timbul kekurangan atau kelebihan pembebanan.
Tetapi dalam Variabel Costing memperlakukan biaya produksi tidak
langsung tetap bukan sebagai unsur harga pokok produksi, tetapi lebih
tepat dimasukkan sebagi biaya periodik, yaitu dengan membebankan
seluruhnya ke periode dimana biaya tersebut dikeluarkan sehingga dalam
Variabel Costing tidak terdapat pembebanan lebih atau kurang.

B.3.3 Prosedur Pengumpulan Harga Pokok Produksi


Pada dasarnya ada dua macam sistem memproduksi produk yaitu:
1. Job Costing yaitu sistem penentuan biaya produk yang
mengakumulasikan dan membebankan biaya ke pesanan tertentu.
Biasanya digunakan oleh perusahaan yang mempunyai variasi
produk dan jasa yang luas. Karena setiap produk atau jasa bisa
saja membutuhkan operasi yang berbeda-beda, maka cara terbaik
untuk menentukan biaya produk atau jasa adalah
mengakumulasikan biaya sesuai dengan pesanan atau Cost
Production batch. Oleh karena itu, penentuan biaya produk atau
jasa berdasarkan pesanan diperoleh melalui pengumpulan dan
pembebanan biaya ke pesanan tertentu atau pesanan pelanggan
individual untuk satu atau lebih produk. Biaya per unit setiap produk
atau jasa dihitung dengan cara membagi biaya pesanan total
dengan unit yang diproduksi atau jasa yang dihasilkan.
2. Process Costing yaitu sistem penentuan biaya produk yang
mengakumulasikan biaya produk atau jasa berdasarkan proses
atau departemen dan kemudian membebankan biaya tersebut ke
sejumlah besar produk yang hampir identik. Perusahaan yang
secara terus-menerus memproduksi satu atau beberapa produk
atau jasa yang homogen menggunakan Process Costing. Biaya
produk atau jasa per unit dihitung dengan cara mengakumulasikan
biaya proses dan membagi biaya proses total selama periode
tertentu dengan unit produk atau jasa yang dihasilkan selama
periode tersebut.
C. PEMBAHASAN
C.1 Pentingnya Akurasi Penetapan Harga Pokok pada Perusahaan
Harga merupakan nilai dalam bentuk mata uang yang dibayarkan
konsumen untuk mendapatkan produk yang diinginkan atau dibutuhkan.
Konsumen akan selalu menginginkan adanya penetapan harga yang lebih
murah dari perusahaan, sebab pengorbanan dalam bentuk uang yang
dikeluarkan menjadi lebih sedikit. Kondisi yang ada menimbulkan adanya
strategi khusus yang penting diperhatikan perusahaan dalam membangun
keunggulan bersaing melalui penetapan harga yang tepat.
Tobing (2004) mendukung hal tersebut dengan pernyataan yang
dipaparkan bahwa salah satu usaha untuk mempengaruhi konsumen agar
melakukan pembelian produk perusahaan dapat dilakukan dengan
penetapan harga jual yang lebih murah. Kemampuan menetapkan harga
jual yang lebih murah dari pesaing harus didukung kemampuan untuk
menyajikan informasi mengenai harga pokok produk yang akurat. Harga
ditetapkan berdasar harga pokok ditambah dengan laba yang diinginkan.
Pada saat perusahaan memiliki informasi adanya harga pokok yang lebih
mahal, maka perusahaan akan mengalami kebingungan dengan
kemampuan pesaing untuk menetapkan harga jual yang lebih murah,
bahkan di bawah harga pokok yang dimiliki perusahaan. Kondisi yang ada
menyebabkan perusahaan yang seharusnya bisa menetapkan harga jual
lebih murah tidak mampu melakukan penjualan kepada konsumen karena
penetapan harga jual yang lebih tinggi sebagai akibat harga pokok produk
yang diinformasikan tinggi.

C.2 Metode Konvensional dalam Penetapan Harga Pokok Produk


Erlina (2002) menyatakan bahwa berdasarkan klasifikasi obyek,
biaya dapat dibedakan menjadi langsung dan tidak langsung. Biaya
langsung dapat diidentifikasi kepada obyeknya secara langsung
sedangkan biaya tidak langsung tidak dapat diidentifikasi kepada
obyeknya secara langsung. Biaya overhead digunakan bersama-sama
untuk menghasilkan berbagai macam produk seperti pakaian pria, wanita,
dan anak-anak. Untuk menentukan besar biaya overhead guna
dibebankan pada tiap jenis pakaian dibutuhkan alokasi, karena tidak bisa
dibebankan secara langsung pada obyek yang terkait. Ciptani (2001)
mendukung hal tersebut dengan berpendapat bahwa biaya overhead
adalah salah satu komponen biaya dalam kegiatan produksi yang
menentukan harga pokok produk, di samping biaya bahan baku dan
tenaga kerja langsung. Pada proses produksi, tampaknya biaya overhead
paling sulit diidentifikasikan terutama pada perusahaan yang
memproduksi lebih dari satu macam produk, karena ada penggunaan
secara bersamasama. Pada komponen biaya bahan baku dan biaya
tenaga kerja langsung tampak lebih mudah untuk diidentifikasikan dalam
pembuatan produk, sehingga alokasi biaya yang dilakukan lebih jelas dari
biaya overhead.
Hansen dan Mowen (2004:142) berpendapat bahwa pada metode
konvensional, biaya overhead dialokasikan dengan menggunakan unit
level activity driver, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
biaya terhadap perubahan unit yang diproduksi. Perhitungan alokasi biaya
overhead dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:

1. Plantwide rates adalah metode pembebanan biaya overhead, di mana


jumlah perhitungan tarif overhead dihitung dengan membagi jumlah
biaya overhead yang dianggarkan dengan dasar aktivitas seluruh
pabrik. Dasar Aktivitas seluruh pabrik yang dimaksud dapat berupa
jam kerja langsung atau jam mesin.
2. Departemental rates adalah metode pembebanan biaya overhead, di
mana jumlah tarif perhitungan biaya overhead pada tiap departemen
dihitung melalui pembagian total biaya overhead tiap departemen
dengan dasar aktivitas yang telah ditetapkan pada masing-masing
departemen.
C.3 Distorsi dalam Metode Konvensional dan Munculnya Activity
Based Costing
Berdasarkan pendapat dari Hansen dan Mowen (2004:142) tampak
bahwa metode konvensional untuk melakukan alokasi biaya overhead
mendatangkan adanya distorsi. Hal ini disebabkan alokasi biaya overhead
tidak sesuai dengan konsumsi biaya pada tiap jenis produk yang
menyebabkan ada jenis produk mendapatkan alokasi biaya overhead
terlalu besar sehingga harga pokok yang ditetapkan menjadi lebih tinggi
dan ada jenis produk mendapatkan alokasi biaya overhead terlalu kecil
sehingga harga pokok yang ditetapkan menjadi lebih murah. Adanya
kelemahan dari metode konvensional mendatangkan kebutuhan untuk
alokasi biaya overhead dengan metode lain, yang lebih mampu
menciptakan relevansi dengan konsumsi biaya untuk masing-masing jenis
produk sehingga mampu menetapkan harga pokok produk yang akurat
guna menetapkan harga jual yang tepat dan tidak merugikan perusahaan.
Wirabhuana (2011) menyatakan activity based costing memiliki
tujuan penyediaan informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam
pengambilan keputusan (personel) dan pemberdayaan karyawan
(informing and empowering) untuk membangun daya saing perusahaan
melalui cost leadership strategy. Obyek biaya adalah seluruh item seperti
produk, konsumen, departemen, proyek, aktifitas, dan lain-lain dimana
biaya diukur dan dibebankan. Activity based costing merupakan sebuah
sistem yang dilandasi oleh empat paradigma manajemen yang terdiri dari:

1. Customer value
Activity based costing berfokus pada penciptaan value bagi
konsumen dengan proses yang cost effective, yaitu merupakan
sebuah kondisi di mana biaya yang timbul sedapat mungkin
dikarenakan sebagai akibat dari proses yang mengandung nilai
tambah.
2. Continuous improvement
Activity based costing adalah sistem informasi yang memacu
personel melakukan peningkatan sevara berkelanjutan para proses
yang dilakukan oleh perusahaan dalam menciptakan value bagi
konsumen.
3. Cross functional
Activity based costing sebagai sebuah sistem informasi yang
menunjang keterpaduan antar fungsi dalam menciptakan value
bagi konsumen. Paradigma ini mengisyaratkan perusahaan yang
sesuai untuk menggunakan activity based costing adalah
perusahaan yang menerapkan cross functional organization.
4. Employee empowerment
Activity based costing sebagai sistem informasi yang
memberdayakan para karyawan untuk melakukan pengambilan
keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Activity
based costing merupakan sebuah sistem informasi biaya yang
menempatkan aktivitas sebagai faktor utama (focal point).

Singgih dan Mariska (2008) menyatakan bahwa activity based


costing memfokuskan pada aktivitas sebagai obyek biaya yang
fundamental, dengan menggunakan biaya dari aktivitas sebagai dasar
untuk membagikan biaya ke obyek biaya seperti produk, jasa, atau
pelanggan. Activity based costing dikembangkan dengan adanya suatu
pemikiran bahwa setiap aktivitas yang dilakukan oleh suatu perusahaan
mengkonsumsi sumber daya. Singgih dan Mariska (2008) menyatakan
ada dua keyakinan dasar yang melandasi sistem activity based costing,
yaitu:
1. Cost is caused
Biaya ada penyebabnya dan penyebab biaya adalah aktivitas.
Activity based costing berangkat dari keyakinan dasar bahwa
sumber daya menyediakan kemampuan untuk melaksanakan
aktivitas, bukan sekedar menyebabkan timbulnya biaya yang harus
dialokasikan.
2. The causes of cost can be managed
Penyebab terjadinya biaya yaitu aktivitas dapat dikelola dengan
dukungan berbagai informasi tentang aktivitas.

Manurung dan Purboyo (2008) menyatakan bahwa kemampuan


melakukan perhitungan harga pokok produk yang tepat mendatangkan
keuntungan bagi perusahaan dengan menetapkan harga yang relevan
terkait proses produksi. Biaya (sumber daya) ditelusuri ke aktivitas dan
aktivitas ditelusuri ke produk berdasarkan pemakaian aktivitas dari
setiap produk. Activity based costing terkenal juga dengan transaction
costing (pembebanan harga pokok produk berdasarkan transaksi).

C.4 Tahapan Penerapan Activity Based Costing


Garrison dan Noreen (2000:297) menyatakan ada beberapa
tahapan yang harus dilalui dalam rangka penerapan activity based
costing. Beberapa tahapan tersebut terdiri dari:
1. Mengidentifikasikan, mendefinisikan serta mengelompokkan Aktivitas
Langkah utama yang pertama dalam penerapan activity based costing
adalah mengidentifikasikan aktivitas yang akan menjadi dasar sistem
tersebut. Langkah ini sulit, memakan waktu dan membutuhkan
penyesuaian. Prosedur umum yang dilakukan adalah interview
terhadap semua orang yang terlibat atau setidaknya seluruh supervisor
dan manajer yang ada di seluruh departemen serta menimbulkan
overhead untuk diminta menggambarkan Aktivitas utama yang
dilakukan.
2. Penelusuran langsung ke aktivitas dan obyek biaya
Pada langkah ini ditelusuri sejauh mana aktivitas berkaitan dengan
obyek biaya yang ada agar dapat membebankan biaya ke kelompok
biaya aktivitas. Langkah ini sangat berperan untuk melakukan alokasi
biaya yang tepat.
3. Membebankan biaya ke kelompok biaya Aktivitas
Sebagian besar biaya overhead diklasifikasikan dalam sistem
akuntansi dasar perusahaan berdasarkan departemen di mana biaya
tersebut terjadi. Semua biaya tersebut dapat ditelusuri ke salah satu
kelompok biaya aktivitas dalam sistem activity based costing.
4. Menghitung tarif Aktivitas
Tarif aktivitas yang akan digunakan untuk membebankan biaya
overhead ke biaya produk konsumen dihitung dengan membagi biaya
dengan total aktivitas dalam setiap kelompok biaya aktivitas.
5. Membebankan biaya ke obyek biaya dengan menggunakan tarif
aktivitas dan ukuran Aktivitas
Pada tahap ini biaya dibebankan sebesar tarif aktivitas dikalikan
dengan ukuran aktivitas yang dikonsumsi oleh setiap produk. Hal ini
memberikan cerminan tentang besar biaya overhead yang
dialokasikan sesuai dengan yang dikonsumsi untuk tiap produk.
6. Penyusunan laporan manajemen
Penyusunan laporan manajemen adalah langkah yang terakhir di
mana pada tahap ini disajikan perhitungan biaya akhir yaitu harga
pokok produk untuk ditentukan guna menjadi panduan dalam rangka
menetapkan harga jual produk yang bersaing di pasar. Manajemen
akan mendapatkan kemudahan terhadap adanya laporan harga pokok
produk dengan kemampuan untuk menetapkan harga jual produk
secara cepat dan tepat guna menjadi modal untuk mencapai
keunggulan dalam persaingan usaha.

C.5 Perbandingan antara Metode Konvensional dengan Activity


Based Costing
Berdasarkan pembahasan mengenai metode konvensional dan
activity based costing, maka dapat dikemukakan perbedaan antara
keduanya untuk memberikan keyakinan bahwa metode konvensional
sebaiknya tidak digunakan lagi dalam penetapan harga pokok produk dan
metode activity based costing sebaiknya yang digunakan. Nurhayati
(2004) memaparkan beberapa perbandingan antara metode konvensional
dengan activity based costing sebagai berikut:
1. Metode activity based costing menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai
pemacu biaya (driver cost) untuk menentukan seberapa besar
konsumsi overhead dari setiap produk, sedangkan metode
konvensional mengalokasikan biaya overhead secara arbitrer
berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non representatif.
2. Metode activity based costing berfokus pada biaya, mutu dan faktor
waktu. Metode konvensional berfokus pada performansi keuangan
jangka pendek seperti laba. Bila metode konvensional digunakan untuk
penentuan harga dan profitabilitas produk, maka hasilnya tidak dapat
diandalkan.
3. Metode activity based costing memerlukan masukan dari seluruh
departemen, sehingga persyaratan ini mengarah ke integrasi
organisasi yang lebih baik serta mampu memberikan suatu pandangan
fungsional silang mengenai organisasi, sedangkan metode
konvensional tidak meninjau masukan dari seluruh departemen.
4. Metode activity based costing mempunyai kebutuhan yang jauh lebih
kecil untuk analisis varian (penyimpangan) dari pada sistem
konvensional, karena kelompok biaya (cost pools) dan pemacu biaya
(cost driver) jauh lebih akurat dan jelas, selain itu metode activity
based costing dapat menggunakan data biaya historis pada akhir
periode untuk menghilang biaya aktual apabila kebutuhan muncul.

Berdasarkan paparan Nurhayati (2004), maka perbandingan antara


metode konvensional dengan ABC dapat dipahami pada tabel 1 sebagai
berikut ini:
Tabel 1
Perbandingan Activity Based Costing Konvensional
Dasar alokasi Aktivitas yang memicu Berdasarkan basis
terjadinya biaya tertentu
Fokus Biaya, mutu, dan jangka Kinerja keuangan untuk
panjang jangka pendek
Peran Membutuhkan peran dari Tidak membutuhkan peran
Departemen seluruh departemen karena dari seluruh departemen
melakukan tinjauan pada karena melakukan
seluruh Aktivitas tinjauan untuk faktor
tertentu
Peluang Peluang yang sangat kecil Peluang yang besar untuk
adanya untuk terjadi terjadi penyimpangan
penyimpangan penyimpangan biaya, akibat biaya, akibat alokasi tidak
biaya alokasi lebih representatif
representatif dengan
berdasarkan Aktivitas
Sumber: Nurhayati (2004)

C.6 Manfaat Activity Based Costing bagi Perusahaan


Nurhayati (2004) menyatakan bahwa manfaat activity based
costing bagi perusahaan adalah:
1. Perbaikan terhadap mutu
Suatu pengkajian sistem biaya activity based costing dapat
meyakinkan perusahaan untuk mengambil sejumlah langkah untuk
menjadi lebih kompetitif. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan mutu
sambil secara simultan berfokus pada pengurangan biaya yang
memungkinkan.
2. Perusahaan berada dalam posisi untuk melakukan penawaran
kompetitif yang lebih wajar
Activity based costing mendatangkan ketepatan untuk menghitung
harga pokok produk sehingga mampu menetapkan harga jual yang
tepat sesuai dengan tingkat laba yang diharapkan.
3. Kemampuan menentukan keputusan membuat dan membeli
Pada perusahaan yang melakukan proses produksi bertahap dalam
arti melakukan kegiatan produksi untuk menjadi bahan baku produksi
tahap berikutnya adanya activity based costing untuk ketepatan
perhitungan harga pokok produk akan mendukung perusahaan dalam
mengambil keputusan membuat atau membeli.
4. Activity based costing bermanfaat untuk mendatangkan perbaikan
yang berkesinambungan
Activity based costing bermanfaat mendatangkan perbaikan yang
berkesinambungan (continius improvement) melalui analisa aktivitas.
Activity based costing memungkinkan tindakan eleminasi atau
perbaikan terhadap Aktivitas yang tidak bernilai tambah atau kurang
efisien. Hal ini berkaitan erat dengan masalah produktivitas
perusahaan.
5. Activity based costing bermanfaat untuk meningkatkan transparansi
biaya
Pada metode konvensional banyak biaya yang kurang relevan yang
tersembunyi. Metode activity based costing dengan analisis biaya dan
aktivitas yang menimbulkan biaya tersebut mendatangkan peningkatan
akan transparansi biaya.
6. Kemampuan melakukan analisis impas yang lebih baik
Activity based costing memperbaiki proses analisis biaya, sehingga
analisis yang lebih akurat mengenai volume produksi yang diperlukan
untuk mencapai impas (break event) dapat dilakukan lebih baik.

Adi (2005) juga menyatakan manfaat dari activity based costing


sebagai berikut ini:
1. Alokasi biaya overhead berdasarkan aktivitas berimplikasi pada
pengukuran biaya produk yang akurat. Pemanfaatan activity based
costing mengurangi kemungkinan terlalu bervariasinya selisih biaya
produk dibandingkan dengan yang dianggarkan.
2. Secara internal pemanfaatan activity based costing mendorong
efektivitas pengendalian internal. Penganggaran biaya produk akan
lebih tepat dikarenakan perusahaan mampu mendeteksi adanya
pemborosan sehingga penganggaran yang berlebihan (over budget)
dapat dihindari lebih dini.
3. Keunggulan lain activity based costing adalah kemampuannya untuk
membantu produksi secara tepat waktu. Produk dianggap
mengkonsumsi aktivitas, dari deteksi yang dilakukan, dimungkinkan
adanya temuan aktivitas yang sesungguhnya tidak bernilai tambah.

C.7 Keakuratan Penentuan Harga Pokok Produk pada Organisasi


yang Menerapkan Filosofi Just In Time (JIT)
Dalam penerapan filosofi JIT pada manajemen organisasi terdapat
empat aspek pokok JIT yang terdiri dari:
1. Semua kegiatan yang tidak bernilai tambah terhadap produk atau
jasa harus dikurangi.
2. Adanya komitmen untuk meningkatkan mutu yang lebih tinggi.
3. Selalu diupayakan penyempurnaan yang berkesinambungan.
4. Menekankan penyederhanaan pada aktivitas.
Penerapan JIT dalam produksi dilakukan dengan cara penjadwalan
proses produksi komponen atau produk yang tepat waktu, mutu dan
jumlahnya yang sesuai dengan yang diperlukan oleh tahap produksi yang
berikutnya atau sesuai dengan permintaan pelanggan. Akibat dari
penerapan JIT dalam kegiatan produksi akan timbul berbagai perbedaan
dasardasar pemanufakturan yang menerapkan JIT dengan
pemanufakturan tradisional.
1. Pemanufakturan JIT merupakan sistem tarikan permintaan
(demand pull system), yaitu dengan memproduksi sejumlah produk
yang sesuai dengan jumlah produk yang dibutuhkan oleh para
pelanggan. Berbeda dengan pemanufakturan tradisional yang
menggunakan sistem dorongan permintaan (pull through system)
yaitu dengan memproduksi sejumlah produk yang telah ditargetkan
oleh manajemen, termasuk sejumlah produk untuk persediaan.
2. Bagi organisasi yang menerapkan JIT jumlah persediaan yang
terjadi akan relative sedikit (tidak signifikan) atau bahkan nol (zero
inventory) karena bahan baku dari pemasok dan produk jadi yang
direncanakan adalah sejumlah yang benar-benar diperlukan oleh
para pelanggan. Dalam pemanufakturan tradisional akan timbul
jumlah persediaan yang relatif lebih tinggi (signifikan) karena dalam
pemanufakturan tradisional dibutuhkan persediaan penyangga
untuk produk jadi jika produksi lebih kecil daripada permintaan.
3. Dalam pemanufakturan tradisional, produk akan dipindahkan dari
satu grup atau mesin-mesin yang identik ke grup mesin lainnya.
Biasanya mesin-mesin yang fungsinya identik akan ditempatkan
dalam satu lokasi yang disebut departemen atau proses. Para
pekerja dalam departemen tersebut ditugaskan untuk bekerja
secara terspesialisasi sesuai dengan fungsi operasi mesin tertentu
yang berlokasi di masingmasing departemen dikenal dengan
sistem roda berjalan.
JIT merubah pola tradisional tersebut dengan pola sel
pemanufakturan. Sel pemanufakturan berisi mesin-mesin yang
dikelompokkan dalam keluarga-keluarga, biasanya dalam bentuk
melingkar. Layout mesin-mesin tersebut diatur sedemikian rupa sehingga
mesin-mesin tersebut dapat digunakan untuk malaksanakan berbagai
kegiatan operasi yang berurutan. Masing-masing mesin dalam sel di set
up (dirancang) untuk memproduksi produk tertentu. Produk dipidahkan
dari mesin yang satu kemesin yang
lainnya dari permulaan sampai akhir. Para pekerja dalam sel manufaktur \
ditugaskan untuk dapat mengoperasikan semua mesin dalam sel tersebut
(interdisipliner). Setiap sel merupakan pabrik mini, sehingga dalam
kenyataannya sering dinamakan pabrik dalam pabrik. Untuk lebih jelasnya
perbandingan layout mesin-mesin dalam pemanufakturan tradisional dan
JIT yang menghasilkan dua jenis produk A dan produk B tampak seperti
berikut :.
Lay Out Mesin Pemanufakturan Tradisional
Produk A → Dept. I → Dept. II → Dept. III →Produk Jadi A
Produk B → Mesin Bubut → Mesin Gerinda → Mesin Las →Produk Jadi B

Lay out pada Mesin Pemanufakturan


Sel A Sel B
Mesin Mesin Gerinda Gerinda
Mesin Mesin Mesin Mesin
Bubut Las Bubut Las

Produk A Produk Jadi A Produk B Produk Jadi B

4. Dalam Organisasi yang menerapkan filosofi JIT akan lebih


memberikan penekanan terhadap pengendalian mutu produk,
karena apabila terjadi komponen yang rusak akan menyebabkan
penghentian perputaran produksi dalam sel. Mutu yang tidak baik
tidak akan diberi toleransi. Secara sederhananya, JIT tidak dapat
diimplementasikan tanpa komitmen pada pengendalian mutu
secara total atau Total quality control (TQC). Dalam
pemanufakturan tradisional, pada tingkat kerusakan tertentu masih
dapat diterima,karena menggunakan komitmen pada dapat
menerima dalam tingkat kerusakan tertentu atau Acceptable quality
level (AQL).
5. Dengan sistem pemanufakturan sel JIT akan dapat lebih mudah
dan cepat dalam akses terhadap jasa tenaga kerja, karena dalam
setiap sel diberikan wewenang dan tanggung jawab secara lebih
luas dalam proses produksi masing-masing sel (desentralisasi
jasa). Berbeda dengan pemanufakturan tradisional kegiatan jasa
masing-masing departemen akan lebih terpusat, karena masing-
masing produk tidak diproduksi oleh masing-masing departemen.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut akan diperoleh berbagai


kelebihan dari penerapan JIT terhadap pemanufakturan tradisional dalam
hal keakuratan penelusuran biaya terhadap produk. Keakuratan
penelusuran biaya ini merupakan hal yang sangat penting dan mendasar
untuk penentuan harga pokok produk. Tingkat keakuratan dalam
penentuan harga pokok produk, sangat berpengaruh terhadap
pertimbangan bagi manajemen dalam pengambilan keputusan, apabila
informasi yang dihasilkan untuk penentuan harga pokok produk terdistorsi
akan menyebabkan penentuan harga pokok produk yang tidak tepat, dan
menyebabkan manajemen keliru dalam menetapkan harga jual produk
yang pada akhirnya akan merugikan bagi organisasi dalam persaingan.
Untuk dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat lagi, bagi
organisasi yang menerapkan filosofi JIT dalam kegiatannya dapat pula
sekaligus menerapkan metode Activity based costing (ABC) dalam
perhitungan harga pokok produk yang dihasilkan.
Activity based costing (ABC) adalah suatu sistem yang memusatkan pada
aktivitas-aktivitas sebagai obyek biaya yang pokok dan menggunakan
biaya-biaya aktivitas tersebut sebagai “blok-blok bangunan” untuk
mengkompilasi biaya-biaya lainnya. Sistem biaya ini dalam
mengelompokkan biaya overhead pabrik diidentifikasi berdasarkan
aktivitas kegiatan sebagai penyebab dari timbulnya biaya (cost driver).
Dalam proses penentuan harga pokok produk memerlukan dua tahapan.
Tahapan pertama yaitu melacak biaya pada berbagai aktivitas kemudian
ke berbagai produk yang dihasilkan. Sama halnya dengan penentuan
harga pokok produk dalam metode tradisional, yang juga terdiri dari dua
tahapan, tahapan pertama melacak biaya ke masing-masing unit
organisasi atau departemen dan selanjutnya ke produk. Perbedaan yang
paling mendasar dari kedua metode tersebut adalah dalam menggunakan
cost driver yang digunakan. cost driver adalah faktor-faktor penyebab
yang dapat menjelaskan timbulnya biaya overhead pabrik. Dalam metode
ABC digunakan cost driver dalam jumlah yang jauh lebih banyak
dibandingkan dengan dalam perhitungan harga pokok tradisional yang
hanya menggunakan satu atau dua cost driver. Akibatnya tentunya dalam
perhitungan alokasi biaya overhead pabrik metode ABC dapat
memberikan informasi yang lebih teliti dan akurat apabila dibandingkan
dengan metode tradisional.

C.8 Penerapan Activity Based Costing (ABC) dan Just In Time (JIT)
Untuk Menetapkan Harga Pokok Produk Yang Akurat.
Just in time sebagai suatu filosofi dapat diterapkan secara
bersamaan dalam perhitungan harga pokok produk dengan metode ABC.
Apabila metode ABC diterap-kan pada organisasi yang menggunakan
sistem JIT untuk menentukan harga pokok akan menyebabkan beberapa
perbedaan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan organisasi
yang tidak menerapkan sistem JIT tetapi menggunakan metode ABC.
Perbedaan-perbedaan tersebut akan terjadi dalam beberapa hal
berikut:
a. Pada organisasi yang menerapkan JIT penggolongan aktivitas-
aktivitas akan cenderung berubah menjadi aktivitas berlevel unit,
aktivitas berlevel sel, Aktivitas berlevel produk, dan aktivitas
berlevel fasilitas.
b. Pada organisasi yang menerapkan JIT penetapan harga pokok
produk akan lebih teliti.
c. Mengurangi perlunya alokasi biaya jasa dengan adanya pabrik mini
(sel).
d. Mengubah perilaku dan relatif pentingnya biaya tenaga kerja
langsung.
e. Mempengaruhi sistem penentuan harga pokok produk.

Sebagai gambaran pengaruh penerapan JIT terhadap penentuan


harga pokok dapat kita lihat dalam contoh kasus di bawah ini.
PT AB sebuah organisasi manufaktur memproduksi dua jenis
produk A dan produk B. Data biaya pada bulan Agustus 1998 adalah
sebagai berikut:
Produk A Produk B
Unit produksi 1.000 unit 2.000 unit
Biaya bahan baku Rp.3.000/unit Rp.4.000/unit
Biaya tenaga kerja 2 JKL/unit 4 JKL/unit
langsung Rp.4.000 Rp.8.000
Biaya overhead
pabrik
- Jam mesin 1 jam mesin/unit 2 jam mesin/unit
- Biaya set up dlm 2 kali set up 2 kali set up
satu periode 500 unit/batch 1.000 unit/batch

Rincian Total BOP


Biaya mesin Rp. 2.100.000 Rp.5.900.000
Biaya Set up Rp. 2.000.000 Rp.2.000.000
Biaya fasilitas Rp. 2.000.000 Rp.6.000.000

Total biaya overhead pabrik Rp. 20.000.000,-. Cost driver biaya


mesin adalah jam mesin, biaya set up menggunakan jumlah set up dan
biaya fasilitas menggunakan jam kerja langsung. Untuk metode tradisional
dasar pembebanan biaya overhead pabrik atas dasar jam kerja langsung.
Perhitungan Harga Pokok Produk dengan Metode Tradisional
Produk A Produk B
Biaya bahan baku Rp. 3.000 Rp. 4.000
Biaya Tenaga kerja
langsung Rp. 4.000 Rp. 8.000
Biaya overhead pabrik Rp. 4.000 Rp. 8.000
Harga pokok per unit Rp.11.000 Rp.20.000

Perhitungan Biaya Overhead Pabrik


Tarif = Anggaran BOP = Rp.20.000.000,- = Rp. 2.000 JKL
Anggaran JKL 10.000 JKL
Produk A = Rp. 2.000 x 2 JKL = Rp. 4.000/unit
Produk B = Rp. 2.000 x 4 JKL = Rp. 8.000/unit

Perhitungan Harga Pokok dengan Metode ABC tanpa penerapan JIT


Produk A Produk B
Biaya bahan baku Rp. 3.000 Rp. 4.000
Biaya Tenaga kerja
langsung Rp. 4.000 Rp. 8.000
Biaya overhead pabrik
- Biaya mesin Rp. 1.600 Rp. 3.200
- Biaya Set up Rp. 2.000 Rp. 1.000
- Biaya fasilitas Rp. 1.600 Rp. 3.200
Harga pokok per unit Rp.12.200 Rp.19.400

Perhitungan
Biaya Mesin
Tarif = Anggaran BOP = Rp. 8.000.000,- = Rp. 1.600 jam
Anggaran jam mesin 5.000 Jam mesin mesin/unit
Produk A = Rp. 1.600 x 1 jam mesin = Rp. 1.600/unit
Produk B = Rp. 1.600 x 2 jam mesin = Rp. 3.200/unit
Biaya Set up
Tarif set up = Anggaran BOP = Rp. 4.000.000,- = Rp.1.000.000
Jumlah set 4 kali set up tiap set up
Produk A = Rp.1.000.000 : 500 unit = Rp. 2.000/unit
Produk B = Rp.1.000.000 : 1.000 unit = Rp. 1.000/unit

Biaya Fasilitas
Tarif fasilitas = Anggaran BOP = Rp. 8.000.000,- = Rp. 800/JKL
Jumlah JKL 10.000 JKL
Produk A = Rp. 800 x 2 JKL = Rp. 1.600/unit
Produk B = Rp. 800 x 4 JKL = Rp. 3.200/unit

Perhitungan Harga Pokok dengan Metode ABC dengan Penerapan


JIT
Produk A Produk B
Biaya bahan baku Rp. 3.000 Rp. 4.000
Biaya Tenaga kerja
langsung Rp. 4.000 Rp. 8.000
Biaya overhead pabrik
- Biaya mesin Rp. 2.100 Rp. 2.950
- Biaya Set up Rp. 2.000 Rp. 1.000
- Biaya fasilitas Rp. 1.000 Rp. 4.000
Harga pokok per unit Rp.12.100 Rp.19.950

Perhitungan pada Sel Produk A


Biaya Mesin
Tarif = Anggaran BOP = Rp. 2.100.000,- = Rp. 2.100 jam
Anggaran jam mesin 1.000 Jam mesin mesin/unit
Produk A = Rp. 2.100 x 1 jam mesin = Rp. 2.100/unit
Biaya Set Up
Tarif set up = Anggaran BOP = Rp. 2.000.000,- = Rp.2.000/unit
Jumlah unit 1.000 unit
Biaya Fasilitas
Tarif fasilitas = Anggaran BOP = Rp. 2.000.000,- = Rp. 500/JKL
Jumlah JKL 4.000 JKL
Produk A = Rp. 500 x 2 JKL = Rp. 1.000/unit

Perhitungan pada Sel Produk B


Biaya Mesin
Tarif = Anggaran BOP = Rp. 5.900.000,- = Rp. 1.475 jam
Anggaran jam mesin 4.000 Jam mesin mesin/unit
Produk B = Rp. 1.475 x 2 jam mesin = Rp. 2.950/unit
Biaya Set up
Tarif set up = Anggaran BOP = Rp. 2.000.000,- = Rp.1.000/unit
Jumlah unit 2.000 unit
Biaya Fasilitas
Tarif fasilitas = Anggaran BOP = Rp. 6.000.000,- = Rp.1.000/JKL
Jumlah JKL 6.000 JKL
Produk B = Rp. 1.000 x 4 JKL = Rp. 4.000/unit

Dari contoh soal di atas dapat dilihat pengaruh penerapan JIT


terhadap perhitungan harga pokok terutama pengaruh dengan adanya
pabrik mini (sel) yang menyebabkan biaya aktivitas berlevel batch menjadi
biaya aktivitas berlevel unit, serta perhitungan biaya overhead pabrik
dipisahkan untuk masing-masing produk. Secara umum penerapan Actifity
based costing pada organisasi yang menerapkan JIT akan diperoleh
manfaat sebagai berikut:
1. Perhitungan harga pokok lebih akurat.
2. Adanya pengawasan terhadap aktivitas.
3. Penghematan biaya dalam manajemen persediaan.
4. Meningkatkan keterlacakan biaya terhadap produk.
5. Mengurangi perlunya alokasi biaya jasa.

Adapun keterbatasan dari penggunaan metode ABC pada


organisasi yang menerapkan JIT adalah sebagai berikut:
1. Rasio konsumsi biaya masing-masing aktivitas harus besar
(signifikan).
2. Antara biaya kesalahan dan pengukuran harus optimal.
3. satuan equipmen yang dapat berdiri sendiri (untuk pabrik mini).
4. Pabrik yang terintegrasi penuh (Complete integrated factory).

D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, maka disimpulkan hal-
hal sebagai berikut ini:
1. Kemampuan menetapkan harga pokok produk sangat penting untuk
menetapkan harga jual yang tepat serta mampu bersaing.
2. Metode konvensional yang awalnya digunakan untuk melakukan
alokasi biaya overhead menyebabkan adanya distorsi, di mana biaya
yang dialokasikan tidak sesuai dengan yang dikonsumsi sehingga
tidak mampu menetapkan harga pokok produk yang akurat dan
kesalahan penetapan harga jual. Ada produk yang memiliki harga
pokok terlalu tinggi, sehingga ada harga jual yang terlalu mahal dan
ada produk yang memiliki harga pokok terlalu rendah sehingga ada
harga jual yang terlalu murah.
3. Activity based costing digunakan untuk menggantikan metode
konvensional. Kemampuan activity based costing untuk melakukan
alokasi biaya overhead sesuai dengan biaya yang dikonsumsi
menyebabkan adanya kemampuan menetapkan harga pokok produk
yang akurat guna menetapkan harga jual produk yang tepat.
4. Penerapan metode Activity based costing dengan system Just in time
mampu menetapkan harga pokok produksi yang akurat.
E. DAFTAR PUSTAKA
Erlina, 2002, Fungsi dan Pengertian Akuntansi Biaya, Digitized by USU
Digital Library, Hal: 1-4.

Carter, William. K, Milton F. Usry, Cost Accounting, 13th edition.


Singapore : Thomson Learning, 2002.

Ciptani, 2001, Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Biaya Melalui


Integrasi Time dan Motion Study dan Activity Based Costing, Jurnal
Akuntansi dan Manajemen, Vol.3, No.1, Mei: 30-50.

Garrison, R.H., dan Eric W.N., 2000, Akuntansi Manajerial, Terjemahan,


Jakarta: Salemba Empat.

Hansen, D.R., dan M.M. Mowen, 2004, Akuntansi Manajemen,


Terjemahan, Jakarta: Salemba Empat.

Mahani, A., dan A.H. Nasution, 2008, Perancangan Model Activity Based
Costing untuk Menentukan Standard Unit Cost Pendidikan Program
S-1 (Studi Kasus: Jurusan Statistik - ITS), Jurusan Teknik Industri,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Hal: 1-12.

Manurung, E., dan A. Purboyo, 2008, Customer Profitability Berdasarkan


Activity Based Costing (Ilustrasi pada: Suatu Perusahaan Tekstil di
Bandung), The 2nd National Conference Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya, September: 1-14.

Mulyadi. 2001. Akuntansi Manajemen. Edisi 3. Salemba Empat, Jakarta.

Nurhayati, 2004, Perbandingan Biaya Tradisional dengan Sistem ABC,


Digitized by USU Digital Library, Hal: 1-13.
Roztocki, N., and L.N. Kim, 2000, An Integrated Activity Based Costing
and Economic Value Added System as an Engineering
Management Tool for Manufacturs, University of Pittsburgh,
Departement of Industrial Engineering.

Singgih, M.L., dan Mariska, 2008, Penentuan Harga Pokok Produksi dan
Pencapaian Cost Reduction dengan Metode Activity Based
Management di PT X, Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Hal: 1-10.

Witjaksono Armanto. 2006. Akuntansi Biaya. Edisi 1. Graha Ilmu,


Yogyakarta.

Wirabhuana, A., 2011, Activity Based Costing: Sebuah Pendekatan Guna


Meningkatkan Keakuratan Penghitungan Biaya Proses Industri
Manufaktur, (http://saintek.uinsunankalijaga.ac.id/wp-
content/uploads/2010/12/ACTIVITY-BASED-COST SYSTEM11.pdf,
diunduh 13 Mei 2011).

Das könnte Ihnen auch gefallen