Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
net/publication/340830940
CITATIONS READS
0 4,201
2 authors, including:
Bernatal Saragih
Universitas Mulawarman
80 PUBLICATIONS 49 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Advanced Tests for New Multivitamin Release from Local Ingredients View project
All content following this page was uploaded by Bernatal Saragih on 22 April 2020.
Abstract
Abstrak
Kebiasaan makan seseorang atau kelompok masyarakat dalam memilih pangan apa yang
dikonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologi dan sosial budaya. Atau
pengaruh dari suatu keadaan darurat bisa mengalami perubahan. Seperti pada saat ini terjadi
pandemi covid-19 yang membuat masyarakat banyak beraktivitas dari rumah. Apakah masa
pandemi covid-19 juga berdampak pada kebiasaan makan seseorang atau masyarakat? Penelitian
ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui gambaran kebiasaan makan masyarakat pada masa
tanggap darurat covid-19. Metode pengambilan data kebiasaan makan dilakukan dengan mengisi
kuesioner yang sebelumnya dibuat dan dimasukkan dalam aplikasi Google Form. Responden
yang diperoleh dalam penelitian ini berjumlah 200 orang. Responden yang paling banyak adalah
PNS/TNI sebanyak 41 %. Informasi tentang covid-19 paling banyak diperoleh dari internet atau
media sosial sebanyak 55,9 %. Biasa sarapan pagi sebanyak 63 %. Responden mengalami
perubahan kebiasaan makan sebanyak 62,5 % dan mengalami peningkatan keragaman konsumsi
pangan sebanyak 59 %. Sebanyak 76 % responden cenderung membuat empon-empon (rempah)
sebagai minuman pada masa pandemi covid-19. Jenis rempah yang paling banyak digunakan
adalah jahe sebanyak 44 %, disusul dengan jeruk/lemon dan kunyit. Responden yang mengalami
peningkatan frekuensi makan sebanyak 54,5 % dan jumlah konsumsi makan yang meningkat
sebanyak 51 %. Responden mengalami peningkatan berat badan 54,5 % dan responden juga
tidak khawatir kekurangan makanan lebih tinggi 54.5 % dibandingkan dengan yang khawatir
kekurangan makanan sebanyak 44,5 %.
Kata kunci: covid-19, kebiasaan makan, sarapan, berat badan dan rempah.
PENDAHULUAN
Badan Kesehatan PBB (WHO) telah menetapkan virus corona sebagai
penyakit pandemi pada hari Kamis tanggal 12 Maret 2020 [1]. Pandemi sendiri
merupakan istilah kesehatan dalam penyebaran penyakit. Pandemi adalah penyakit yang
menyerang orang dalam jumlah banyak dan terjadi di banyak tempat [2]. Suatu penyakit
atau kondisi bukanlah pandemi hanya karena tersebar luas atau membunuh banyak orang;
penyakit atau kondisi tersebut juga harus menular. Misalnya, kanker bertanggung jawab atas
banyak kematian tetapi tidak dianggap sebagai pandemi karena penyakit ini tidak menular [3].
Dampak dari penyebaran viris corona (covid-19) ini tentu akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, dan pangan. Penerapan PSBB telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 yang telah ditanda tangani oleh Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo pada Selasa tanggal 31 maret 2020. Serta dengan adanya
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) tentunya dengan tujuan baik agar bisa mengatasi masalah penyebarluasan
covid-19.
Dampak dari pandemi pada kehidupan individu dan masyarakat pada bidang pangan juga
akan terjadi. Ketersediaan dan akses pangan masyarakat menjadi penting sehingga pemerintah
pun terus berusaha membantu bukan saja dalam bantuan materi transfer uang langsung juga
dalam bantuan pangan. Penyelesaian masalah covid-19 ini terutama pada dampak sosial tidak
bisa hanya diserahkan pada pemerintah akan tetapi setiap keluarga harus berusaha untuk mampu
mengatasi masalah terutama pangan. Karena jika pangan tersedia tidak akan terjadi kelaparan
dan masalah sosial lanjutan. Akses makanan mengacu pada keterjangkauan dan alokasi makanan,
serta preferensi individu dan rumah tangga. Komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya mencatat bahwa penyebab kelaparan dan kekurangan gizi seringkali bukan karena
kelangkaan makanan tetapi ketidakmampuan untuk mengakses makanan yang tersedia, biasanya
karena kemiskinan [4]. Kemiskinan dapat membatasi akses pada makanan dan juga dapat
meningkatkan seberapa rentan seseorang atau rumah tangga terhadap lonjakan harga pangan. [5]
Akses tergantung pada apakah rumah tangga memiliki pendapatan yang cukup untuk membeli
makanan dengan harga yang berlaku atau memiliki cukup lahan dan sumber daya lainnya untuk
menanam makanannya sendiri[6]. Rumah tangga dengan sumber daya yang cukup dapat
mengatasi panen yang tidak stabil dan kekurangan pangan lokal dan mempertahankan akses
mereka ke makanan[7].
Oleh karena itu program integratif dan upaya bersama baik secara politik, ekonomi,
mobilisasi sosial dengan penyadaran akan pentingnya ketersediaan pangan dan akses yang
terjangkau dengan sistem informasi yang akurat dalam menyediakan informasi pangan yang
tepat dan tepat waktu tentunya akan membantu mengatasi masalah pangan [8]. Pada penelitian
ini hanya memberi gambaran kebiasaan makan saat pandemi covid-19 dengan lama penelitian 2
hari.
METODE PENELITIAN
Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 21-22 April 2020, menggunakan aplikasi Google Form.
Analisis Data
Analsis data dilakukan secara deskriptif dengan dan melihat persentasi/proporsi
responden yang menjawab pada pilihan jawaban kuesioner.
Kemudian, dari umur responden sendiri, responden berusia paling banyak antara umur
18-25 tahun, yaitu sebanyak 67 orang (33,5 %), kemudian umur 46-55 tahun, yaitu sebanyak 62
orang (31 %) dan 51 orang (25,5 %) pada usia 36-45 tahun (Gambar 2).
Responden yang biasa sarapan sebanyak 126 orang (63 %) dan 63 orang (31,5 %)
kadang-kadang sarapan (Gambar 4). Sehingga program sarapan masih perlu tetap digaungkan
kedepan dan menjadi bagian program dalam gizi seimbang.
Dari 152 orang (76 %) responden yang membuat empon-empon atau rempah dalam
minuman harian menunjukkan bahwa 44 % bersumber dari jahe, 25,5 % dari lemon/jeruk, 10 %
dari kunyit, kemudian sereh, kencur, brotowali, bawang tiwai, sari kurma, campuran, kapulaga,
kayu manis, dll (Gambar 8).
Gambar 8. Jenis empon-empon/rempah yang paling sering digunakan responden
Peningkatan frekuensi makan dan jumlah makan akan berdampak dengan peningkatan
berat badan responden. Dari 200 orang responden, responden yang mengalami peningkatan berat
badan sebanyak 109 orang (54,5 %) (Gambar 11). Apalagi kalau tidak diiringi dengan olah raga
untuk mengontrol konsumsi dan berat badan selama pandemi.
Hal yang menarik ternyata responden yang tidak khawatir kekurangan makanan lebih
tinggi, yaitu sebanyak 109 orang (54.5 %) dibandingkan dengan yang khawatir kekurangan
makann sebanyak 91 orang (44,5 %). Artinya program pemerintah untuk menjamin ketersediaan
pangan terutama pada saat pandemi covid-19 mampu memberikan kepercayaan pada masyarakat.
Program bantuan dan peningkatan cadangan pangan pemerintah dari pusat sampai daerah sangat
penting disediakan. Maka disarankan agar dewan ketahanan pangan pusat dan daerah
meningkatan cadangan pangan daerah masing-masing.
KESIMPULAN
Informasi tentang covid-19 paling banyak diperoleh dari internet atau media sosial
sebesar 55,9 %. Kebiasaan untuk sarapan dari penelitian ini diperoleh sebanyak 63 %. Responden
mengalami perubahan kebiasaan makan 62,5 % dan mengalami peningkatan keragaman konsumsi
pangan 59 %. Sebanyak 76 % responden cenderung membuat empon-empon (rempah) sebagai
minuman pada masa pandemi covid-19. Jenis rempah yang paling banyak digunakan adalah jahe
sebesar 44 %, kemudian jeruk/lemon 25,5 % , kunyit 10 % dan lainnya 20,5 %.. Responden yang
mengalami peningkatan frekuensi makan sebesar 54,5 % dan jumlah konsumsi makan yang
meningkat sebesar 51 %. Responden mengalami peningkatan berat badan 54,5 % dan responden
juga tidak khawatir kekurangan makanan lebih tinggi 54.5 % dibandingkan denan yang khawatir
kekurangan makann sebesar 44,5 %.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO says it no longer uses 'pandemi' category, but virus still emergency". Reuters , 24
February 2020. Diakses tanggal 29 February 2020.
2. Miquel Porta (2008). Miquel Porta, ed. Dictionary of Epidemiology. Oxford University Press.
hlm. 179. ISBN 978-0-19-531449-6.
3. A. M., Dumar (2009). Swine Flu: What You Need to Know. Wildside Press LLC.
hlm. 7. ISBN 9781434458322.
4. United Nations Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (1999). The right to
adequate food. Geneva: United Nations.
5. Ecker and Breisinger (2012). The Food Security System (PDF). Washington, D.D.:
International Food Policy Research Institute. pp. 1–14.
6. Tweeten, Luther (1999). "The Economics of Global Food Security". Review of Agricultural
Economics. 21 (2): 473–488. doi:10.2307/1349892. JSTOR 1349892.
7. Garrett, J; Ruel, M (1999). Are Determinants of Rural and Urban Food Security and
Nutritional Status Different? Some Insights from Mozambique (PDF). Washington, D.C.:
International Food Policy Research Institute. Retrieved 15 October 2013.
8. Bernatal Saragih (2010). Analisis kebijakan penanganan masalah gizi di Kalimantan Timur
berdasarkan pengalaman berbagai negara. Jurnal Borneo Administrator 6(3):2140-2160
DOI: https://doi.org/10.24258/jba.v6i3.63