Sie sind auf Seite 1von 156

dr.

Hadi Firmansyah

Medicine in the Tropics

LEPROSY
Translated Edition

Anthony Bryceson / Roy E. Pfaltzgraff

2017 PPDS DERVEN FK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR


2 PPDS Dermatologi Venerologi FK UNHAS MAKASSAR
Translated Bryceson

Daftar Isi
BAB 1: Pendahuluan … 7 [1]

BAB 2: Mycobacterium leprae … 10 [5]

BAB 3: Patologi klinis … 14 [11]

BAB 4: Keluhan dan tanda klinis … 22 [25]

BAB 5: Diagnosis … 38 [57]

BAB 6: Pengobatan … 54 [77]

BAB 7: Imunologi … 64 [93]

BAB 8: Komplikasi imunologi: reaksi … 80 [115]

BAB 9: Tatalaksana reaksi … 87 [127]

BAB 10: Komplikasi akibat kerusakan saraf … 92 [133]

BAB 11: Mata pada lepra … 105 [153]

BAB 12: Rehabilitasi fisik … 112 [165]

BAB 13: Rehabilitasi sosial, psikologis, dan kerja … 125 [183]

BAB 14: Percobaan lepra … 130 [191]

BAB 15: Epidemiologi … 138 [203]

BAB 16: Pengendalian lepra … 147 [217]

Catatan:
Halaman referensi dalam kotak adalah halaman di buku asli

HANYA UNTUK KALANGAN SENDIRI

HadiFauzanRobyNunungHeruni

PPDS DERVEN FK UNHAS 3


Translated Bryceson (2017)

Professor Anthony Bryceson


Anthony Bryceson’s long association with the London School Of Hygiene & Tropical Medicine began when
he himself studied for the DTM&H in 1961. He has experience of working and teaching in Laos, Ethiopia, Nigeria
and Kenya, and was a physician in tropical and imported disease at the Hospital for Tropical Diseases from 1974.
His research interests have focused on the immunology and chemotherapy of leishmaniasis. He became a Senior
Lecturer at the School in 1974 and Professor in 1996 and was course organizer for the DTM&H for several years .
He has been made Emeritus Professor.

Dr. Roy E. Pfaltzgraff (1918-2010)


Dr Pfaltzgraff, who spent many years of his life assisting people affected by leprosy, including through
work for ILEP Member American Leprosy Missions, died on 1st March 2010 at his home in Pennsylvania, USA. He
was married to Violet Hackman Pfaltzgraff for 68 years on April 10th. Surviving in addition to his wife are 4 sons,
Roy (Kathy) Pfaltzgraff, Jr., Haxtun, CO, George (Buffy) Pfaltzgraff, Hampton, IA, David (Ruth) Pfaltzgraff, Keymar,
MD, Nevin (Judy) Pfaltzgraff, Coulee Dam, WA; a daughter, Kathryn Pfaltzgraff, Abbottstown, PA; 16
grandchildren; and 18 great grandchildren.
Dr Pfaltzgraff went to North York High School, Elizabethtown College and Temple Medical School. He
served his internship at Lancaster General Hospital, before serving with the Church of the Brethren Mission in
north eastern Nigeria at Garkida Hospital between 1944 and 1982. For the last fifteen years of that period he was
the superintendent. He was the only doctor and ran the hospital with the help of local staff.
From 1954 he began specialising in leprosy. He had taught himself everything that was needed to care for
those with leprosy. He had a quiet and reassuring manner with his patients. He taught them how to look after
their own hands and feet. He made the rounds of the wards every morning, dealt with administration, met with
his staff and carried out rehabilitative surgery for those who needed it. “Every patient was a whole person for
whom there was a place in life”, according to Professor Anthony Bryceson, who met Dr Pfaltzgraff during a two-
week stay at Garkida with 30 medical students who went there to learn about leprosy.
Dr Pfaltzgraff was a gifted teacher. Dr Paul Saunderson, Medical Director of ALM and member of ILEP
Technical Commission, recalls the time when Dr Pfaltzgraff was attending a course at the All Africa Leprosy
Tuberculosis and Rehabilitation Training Centre (ALERT) in Addis Ababa as a participant and stood in for a visiting
lecturer, who was unable to attend, and covered the topic extensively. Conversely he was able to describe simply
and clearly the basics of leprosy to those who did not know anything about it.
After retiring, from 1982 until 1991, Dr Pfaltzgraff contributed to the work of American Leprosy Missions
in many ways, both to its work at home and visits to projects overseas. He could also spend time enjoying his
hobbies, such as gardening and woodworking.
During his life he wrote many articles about leprosy for publication in scientific journals. Together with Dr
Anthony Bryceson he wrote Leprosy, which is in its third edition today. The first edition, Leprosy for Students of
Medicine, was published in 1973.
In 1997 Dr Pfaltzgraff received the Damien-Dutton Award in recognition of his significant contribution to
leprosy work. .

Taken from multiple sources at google.com

4 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Plate 1. Plak penderita lepra BT,


seorang Indian, menunjukkan warna
merah tembaga yang mungkin tampak
pada lesi kulit pucat.

Plate 2. Makula hipopigmentasi pada


pasien lepra lepromatosa, seorang
Bangladesh. Secara klinis tampak lesi BL,
tetapi secara histologis menunjukkan
downgrading ke LL. Amati area yang
relatif tidak dikenai pada daerah
midline.

Plate 3. Foto dari bagian depan paket


dari lepra MB diberikan oleh
pemerintah India, menunjukkan blister
yang meninggi yang berisi tablet untuk
disupervisi tiap bulan (atas kanan) dan
tablet dapson & kapsul klofazimin
harian yang tidak disupervisi dan
diminum di rumah. Minggu diatur
dalam kolum vertikal dan diberi nomer
di belakang paket (lihat gambar 16.2,
hal.149 [221]). Setelah obat
disupervisi diberikan, bagian ini dapat
dirobek di bagian garis horizontalnya,
dan dibuang. Sisanya dibawa ke rumah
oleh pasien. Paket dapat dilipat di
bagian tengah untuk mempermudah
membawa pulang (dapat dimasukkan ke
kantong). Dimensi sebenarnya adalah
122x146 mm.

PPDS DERVEN FK UNHAS 5


6 PPDS DERVEN FK UNHAS
Translated Bryceson

BAB 1: PENDAHULUAN
(Original Bryceson Hal. 1-4)

Definisi
Lepra adalah penyakit infeksi kronis pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae.

Lepra adalah penyakit terutama pada saraf tepi tetapi juga mengenai kulit dan kadang-kadang
pada beberapa jaringan lain, terutama pada mata, mukosa saluran pernafasan atas, otot,
tulang, dan testis.

Sejarah
Terdapat berbagai spekulasi mengenai sejarah awal dari lepra. Catatan paling awal yang
menggambarkan deskripsi paling akurat terhadap penyakit ini berasal dari India dimana ditulis
sebelum 600 SM. Catatan dari Cina yang mendeskripsikan tentang leprosi juga didapatkan
beberapa periode kemudian. Sebuah deskripsi dari Alkitab mengenai lepra tidak
menggambarkan gejala klinis dari penyakit, dan kemungkinan menggambarkan kelompok yang
bermacam-macam dari kondisi kulit.
Bukti paling awal mengenai lepra ditemukan pada tengkorak Mesir dari abad kedua
sebelum masehi dan pada dua buah mumi Coptic dari abad kelima setelah masehi. Lepra
tersebar ke negara-negara Mediterranean ketika tentara-tentara dari Alexander agung
kembali dari India pada 327-326 SM. Lepra kemudian secara perlahan menyebar hingga ke
Yunani dan Roman. Rumah sakit lepra yang pertama dikenal didirikan oleh orang-orang Kristen
di Roma dan Caesarea pada abad ke-4 sesudah masehi. Lepra kemudian menyebar ke Eropa
Barat hingga menimbulkan proporsi epidemik pada abad ke-12-13 yang kemudian menurun
secara perlahan. Lepra berkembang sangat pelan sehingga pola epidemiologinya, yang
bertambah pada beberapa abad, tidak tercatat dibandingkan penyakit-penyakit akut seperti
plague atau tifus. Di Norwegia, lepra mencapai puncak pada abad ke-19, dimana Danielssen
dan Boeck pertamakalinya menuliskan deskrip modern mengenai lepra dan Armauer Hansen
melakukan penelitian bakteri dan epidemiologi pertama. Lepra telah musnah di Eropa utara
dan barat pada senturi terakhir, kecuali di Islandia, tetapi tetap endemik dengan derajat
rendah pada beberapa bagian pada Eropa selatan dan timur pada komunitas dengan standar
kehidupan rendah, kemiskinan dan daerah padat, dan di komunitas Cajun (Louisiana, AS).
Sekarang ini lepra sering didapatkan di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan.
Sejarah pasti lepra di Afrika tidak diketahui, tetapi penyebaran pertama lepra pertama ke
benua Amerika dibawa oleh pengungsi Spanyol dan Portugis dan budak Negro mereka, dan
oleh orang-orang Perancis ke Kanada, yang kemudian lepra musnah. Belum diketahui pasti
bagaimana lepra tersebar ke suku aborigin di benua Australia. Di abad sekarang, epidemi kecil
dari lepra terjadi di beberapa komunitas di kepulauan Pasifik, dimana lepra baru saja
disebarkan.
Sejak pertamakalinya lepra dikenal sebagai penyakit yang berbeda dari yang lainnya,
dan di berbagai komunitas, baik penderita ataupun mereka yang perhatian akan penyakit ini
telah ditolak (rejected) dari masyarakat. Untuk alasan ini dan alasan lain dimana progresivitas
yang pesat telah dicapai oleh bidang kedokteran pada abad ini, hingga sekarang, bekerja untuk

PPDS Kulit & Kelamin FK UNAND/Padang 7


lepra, dan mereka yang memberikan hidupnya utk penyakit ini, harus bekerja dengan staf,
dana, penelitian, dan pengetahuan yang kurang (inadequate). Walaupun banyak dihasilkan
penelitian terbaru, masih banyak enigma yang tetap ada dan memberikan suatu tantangan di
bidang kedokteran.

Kenapa lepra dianggap sebagai penyakit yang spesial?


Beberapa faktor yang menyebabkan lepra dikenal berbeda dari penyakit yang lain adalah:

1. Basil berkembang biak sangat pelan. Kebanyakan patogen pada manusia berkembang
biak dalam hitungan menit, sedangkan M. lepra membutuhkan waktu dua minggu. Hal
ini menyebabkan waktu inkubasi yang lama, perkembangan patologi yang sangat
pelan, perkembangan klinis yang pelan dan 'insidious' dan pola epidemiologis yang
tidak jelas.
2. Basil tidak bisa hidup di media artifisial dan sebagai akibatnya pengetahuan
bakteriologi lepra baru berkembang setelah tahun 1960 ketika perkembangan terbatas
dari basil di mencit berhasil dilakukan.
3. Lepra adalah satu-satunya penyakit infeksi bakteri yang predileksinya adalah jaringan
saraf. Faktor-faktor penyebabny tidak diketahui.
4. Hanya manusia yang mendapatkan lepra, dan menjadi reservoir dari infeksi, walaupun
terdapat armadilo yang terinfeksi secara natural di AS bagian selatan, dan primata di
Afrika.
5. Hingga sekarang, belum ada teknik yang memuaskan untuk mendeteksi infeksi
sebelumnya atau infeksi yang tidak tampak. Oleh sebab itu, berbagai penelitian
epidemiologi berdasarkan deteksi pada kasus-kasus klinis.
6. Lepra adalah contoh terbaik untuk suatu penyakit yang mempunyai spektrum dari
hilangnya resistensi imunitas secara sempurna hingga imunitas yang efektif, yang mana
sering disertai dengan reaksi hipersensitivitas ekstrem dan desktruktif. Pada tipe LL,
invasi bakteri hingga mencapai 109 bakteri per gram jaringan dermis.
7. Lepra, dari aspek psikososial, adalah unik. Tidak ada penyakit lain yang begitu dikaitkan
dengan stigma dna ketakutan. Situasi ini tampaknya terkait dengan fakta bahwa lepra
menyebabkan deformitas dan kecacatan tetapi jarang membunuh, sehingga mereka
yang cacat tetap hidup, secara perlahan-lahan memburuk, deformitasnya tampak pada
semua orang dalam komunitas. Kemungkinan, untuk alasan ini lepra sering
dipertimbangkan sebagai ‘hukuman dari Tuhan’. Sikap masyarakat terhadap mereka
yang menderita lepra telah meningkatkan banyak kejadian pelecehan, penolakan, dan
bahkan pembunuhan terhadap pasien, dan di beberapa masyarakat, hal ini tetap
berlanjut. Untuk pasien sendiri, mereka memberikan respon melalui bermacam-
macam cara terhadap bagaimana masyarakat menyikapi mereka. Beberapa menerima,
sedangkan yang lain marah dan agresif terhadap manusia secara umum atas perlakuan
yang tidak adil, atau mereka menerima peran menjadi ‘badut’ untuk hidup dengan rasa
malu yang disebabkan penampilannya yang tidak wajar. Kadang-kadang mereka hidup
sendiri sebagai pelepasan dari penderitaan.

8 PPDS Kulit & Kelamin FK UNAND/Padang


Translated Bryceson

Masa depan
Pendekatan obyektif dan investigasi ilmiah terhadap lepra, yang dimulai sejak 1873 dengan
penemuan basil lepra oleh Armauer Hansen di Norwegia, telah memperoleh hasil yang
signifikan selama 30 tahun terakhir. Kebangkitan ilmu imunologi, murahnya tiket pesawat,
peningkatan pelajar pelancong, dan aktivitas WHO dan organisasi internasional dan nasional
telah memberikan peran. Minat ilmiah telah meningkatkan ilmu pengetahuan dan
memberikan kontribusi terhadap pengurangan stigma.
Ditemukannya sulphone yang berharga pada tahun 1941 untuk mengobati lepra,
berarti bahwa untuk pertamakalinya ribuan pasien dapat diobati dengan berhasil. Hal ini
merubah secara besar-besaran pola perawatan: leprosaria ditutup, pengendalian lepra
menjadi suatu kemungkinan yang realistis, dan menjadi awal yang baik untuk pasien, juga
publik, bahwa deformitas dan kecacatan adalah sekuele lepra yagn tidak dapat dicegah.
Introduksi MDT di tahun 198 mencegah epidemik resistensi dapson dan meningkatkan
kualitas dan moral skema pengendalian. Model binatang memberikan petunjuk penting
mengenai transmisi. Sero-epidemiology membuka prospek untuk pengendalian primer, dan
biologi molekuler dapat memberikan kontribusi terhadap sarana diagnostik dan vaksin.
Kini, tidaklah lagi diperlukan untuk menganggap bahwa lepra adalah ‘spesial’. Pasien
lepra yang hidup baik telah menjadi bagian terintegrasi dari jasa medis umumnya di berbagai
komunitas.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 9


BAB 2: MYCOBACTERIUM LEPRAE (Original Bryceson Hal. 5-10)

Klasifikasi
Genus Mycobacterium mengandung asam mycolic dan gula yang dikenal sebagai mycosides.
Asam mycolic bertanggungjawab untuk ke-tahanan-asam yang khas ketika organisme diwarnai
dengan carbol-fuchsin. Genus dibagi menjadi dua kelompok: (1) fast growers (FG) yang
membelah setiap jam, dan (2) slow growers (SG) yang membelah sekali sehari. Kelompok FG
adalah bakteria lingkungan, tetapi beberapa seperti M. chelionei dan M. fortuitus mungkin
menyebabkan sepsis kulit atau abses akibat injeksi pada manusia. Kelompok SG selanjutnya
dikelompokkan berdasarkan kemampuannya memproduksi pigmen dalam kultur. Kelompok
non-kromogen adalah, M. ulcerans, penyebab ulkus Buruli, dan M. tuberculosis. M. avium-
intracellulare (non-kromogen) dan M. kansasii (fotokromogen) mungkin menyebabkan
penyakit yang menyerupai tuberkulosis pada manusia, terutama mereka dengan penyakit
paru yang sudah ada atau imunosupresi. Mycobact3eria lain yang menyebabkan penyakit
pada manusia adalah M. marinum (fotokromogen) yang secara normal ditemukan di air dan
mungkin menyebabkan lesi kulit granulomatosa, dan M. scrofulaceum, yang juga ditemukan di
tanah dan air dan mungkin menyebabkan limfadenitis. Paparan terhadap mycobacteria
mungkin mempengaruhi respon terhadap paparan berikutnya terhadap M. tuberculosis, M.
leprae dan BCG (lihat Bab 15).
M. leprae dan M. lepraemurium (lihat hal. 130 [192]) diklasifikasikan berbeda karena
mereka tidak berhasil ditumbuhkan dalam
kultur.

Struktur dan komposisi


M. leprae adalah batang lurus dengan
panjang berukuran 1-8 m dan diameter
0,3 m. Pada jaringan terinfeksi, batang
sering tertumpuk atau berkelompok
bersama dalam globi. Pemeriksaan
mikroskop elektron menunjukkan
ultrastruktur yang lazim pada seluruh
mycobacteria (Gambar 2.1).

Kapsul
Di sekitar organisme adalah zona elektron transparan yang terbuat dari materi foamy/
vesicular, dihasilkan oleh M. leprae dan secara struktur unik untuk M. leprae. Materi ini
kemungkinan terdiri atas dua lapis lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap
mempunyai peran protektif pasif, dan sebuah phenolic glycolipid, yang terdiri atas molekul 3-

10 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

metil gula yang dihubungkan oleh molekul fenol ke lemak (phthiocerol). Trisakarida
menghasilkan zat kimia unik dan secara antigenik spesifik untuk M. leprae (Gambar 2.2).

Dinding sel
Dinding sel tersusun atas dua lapis, yaitu:
(1) Lapisan luar yang transparan terhadap elektron dan mengandung lipopolisakarida yang
terdiri atas rantai cabang arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai cabang asam
mycolic, sama dengan yang ditemukan pada mycobacteria lainnya.
(2) Lapisan dalam yang terdiri atas peptidoglikan: karbohidrat yang dihubungkan dengan
peptida yang sekuens asam aminonya mungkin spesifik terhadap M. leprae walalupun
peptidanya terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

Membran
Tepat di bawah dinding sel, melekat terhadap dinding sel, adalah sebuah membran yang
berfungsi sebagai transpor molekul ke dalam dan ke luar organisme. Membran terdiri atas
lipid dan protein. Protein terutama adalah enzim dan berdasarkan teori menyusun target
yang baik untuk kemoterapi. Mereka mungkin juga menyusun ‘antigen permukaan protein’
yang telah diekstrak dari dinding sel M. leprae yang tidak utuh dan secara ekstensif dianalisa
(lihat hal. 65 [95]).

Sitoplasma
Isi dalam dari sel mengandung butiran penyimpan (storage granules), materi genetik DNA, dan
ribosom yang merupakan protein terkait dengan translasi dan multiplikasi. Analisis DNA
berguna untuk mengkonfirmasi identitas dari M. leprae sebagai mycobacteria yang diisolasi
dari armadilo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, melalui perbedaan genetik, secara
dekat berhubungan dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

Biokimia dan metabolisme


Tanpa ketersediaan organisme yang dapat dikultur, hal ini sangatlah sulit untuk dipelajari. M.
leprae memetabolisme sumber karbon melalui jalur klasik dari glikolisis, jalur singkat hexose
monofosfat, dan siklus TCA. Energi disimpan dengan mengubah ADP menjadi ATP, dan
dihasilkan dengan mengubah ATP menjadi ADP. Sehingga oksigen digunakan. Semua bakteria
membutuhkan basa purin dari nukleotida untuk membuat asam nukleat dan untuk
metabolisme oksidatif. Tidak seperti mycobacteria lainnya, M. leprae mungkin tidak

PPDS DERVEN FK UNHAS 11


mensintesis ini dan mungkin harus memulungnya dari sel host. Mycobacteria juga
membutuhkan besi yang mereka ekstrak dan ambil dari host melalui chelation dengan
mycobactins. M. leprae menyerang mycobactin. Defek metabolik inilah yang mungkin
menjelaskan kenapa organisme ini sulit untuk dikultur in vitro.

Antigen
Penyusun kimia utama dari M. leprae adalah antigenik (Tabel 2.1), tetapi M. leprae
mengandung lebih sedikit antigen (sekitar 20) yang dikenali oleh antibodi dalam serum
penderita lepra, bila dibandingkan dengan BCG (sekitar 100), dan kebanyakan dari antigen
tersebut bersifat antigenik lemah. Hingga 1981, ketika Brennan mendeskripsikan phenolic
glycolipid dan menunjukkan itu adalah spesifik untuk M. leprae, seluruh antigen yang telah
teridentifikasi adalah bereaksi silang dengan mycobacteria lain, walaupun beberapa
mempunyai bagian kecil molekul, atau epitope, yang spesifik untuk M. leprae. Spesifisitas
epitop memungkinkan uji antibodi spesifik yang ditegakkan (lihat Bab 7, hal. 75 [108])
menggunakan serum yang telah diabsorbsi dengan spesies mycobacteria lain.
Antigen MW Stabilitas Spesifisitas Imunoreaktivitas
Phenolic glycolipid I Stabil M. leprae Antibodi IgM, suppressor
T-cell responses
Mycosides lain Stabil Mycobacteria ?
Lipoarabinomannan 30-35 kd Stabil dan dapat BCG dan epitope Antibodi IgG, sel T, dan
dicerna spesifik M.I tes kulit
Peptidoglycan ? Mycobacteria ?
Protein 65 kd Labil Umumny terhadap Precipitating antibodies,
36 kd mycobacteria lain sel T, tes kulit (65 kd)
28 kd tetapi mempunyai
18 kd epitope spesifik
12 kd
Tabel 2.1. Antigen dari Mycobacterium leprae (Tabel ini tidak menggambarkan antigen
lengkap dari M. leprae)

Antigenisitas M. leprae didominasi oleh antigen yang mengandung karbohidrat, yang


secara psikokimia stabil. Trisakarida terminal menentukan spesifisitas antigen dari M. leprae.
Varian minor pada struktur adalah designated I, II, dan III. Trisakarida telah berhasil disintesis
dan dapat dikaitkan dengan protein pembawa contoh untuk digunakan dalam studi
seroepidemiologi dan studi lain, (lihat Bab. 15, hal. 145 [213]). Antigen ditemukan pada
seluruh jaringan terinfeksi oleh M. leprae, dan menetap di sana cukup lama setelah organisme
dibunuh. Antigen juga ditemukan dalam serum dan urin pasien dengan lepra lepromatosa dan
deteksinya dapat menjadi uji diagnositk yang beermanfaat untuk lepra lepromatosa dini.
Antigen menstimulasi produksi antibodi IgM, tetapi tidak menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Antigen mungkin mempunyai peran dalam menginduksi supresi
sistem imun pada lepra.
Lipoarabinomannan. Ini adalah komponen utama dinding sel M. leprae; bersifat stabil
dan tidak dapat dicerna. Ini bereaksi silang dengan mycobacteria lain, tetapi mengandung
epitopespesifik yang dikenali oleh serum terabsorbsi, dan menginduki antibodi IgG.
Antigen protein. Terdapat banyak antigen protein pada M. leprae, yang 5 di antaranya
telah menarik perhatian karena antibodi monoklonal tikus telah menunjukkan bahwa mereka

12 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

mengandung epitope spesifik terhadap M. leprae. Protein larut diekstraksi dari M. leprae
terbukti bermanfaat walaupun tidak sepenuhnya merupakan antigen spesifik untuk uji kulit
(lihat hal. 78 [113]). Beberapa antigen protein telah berhasil diklon dan diekspresikan pada E.
coli, yang secara bermakna membantu analisanya.

Kultur dan identitas


Percobaan untuk mengkultur M. leprae secara in vivo dibahas pada Bab 14. Ketiadaan kultur
yang khas, bagaimana M. leprae diidentifikasi?
1. Itu adalah tahan asam ketika diwarna oleh carbol-fuchsin (lihat hal. 41 [60]) dan
ke-tahan-asam-an ini mungkin dihilangkan atau ‘diekstraksi’ dengan pre-perlakuan
dengan pyridine.
2. Itu tidak akan bermultiplikasi di media konvensional yang mendukung
pertumbuhan mycobacteria lain.
3. Itu akan bermultiplikasi di telapak kaki tikus, berupa tikus imunodefisien, dimana
itu akan memproduksi gambaran histopatologis yang khas. Sebenarnya, itu
menginvasi saraf perifer dan menyebabkan lepra (lihat hal. 134 [196]).
4. Itu akan bermultiplikasi di armadilo, sebabkan penyakit khas (lihat hal. 135 [197])
5. Itu mengandung sebuah glikolipid unik yang dapat diidentifikasi secara serologis
(lihat hal. 75 [108])
6. DNA-nya mungkin diekstrak dan menunjukkan homolog terhadap yang diisolasi dari
M. leprae.

Pertumbuhan dan kematian in vivo


Pada manusia, atau host mamalia lainnya, M. leprae adalah parasit obligat intraselular. Itu
bermultiplikasi terutama pada histiosit dan sel Schwann, tetapi mungkin juga pada sel lain
termasuk sel otot dan endotel vaskuler (lihat hal. 86 [125]) dan, pada armadilo, di sel
hepatosif (lihat hal. 135 [197]). Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 30-33 C. Sedikit
hal lain yang diketahui mengenai kebutuhan perkembangannya. Pada tikus, dan kemungkinan
pada manusia, organisme membelah setiap 12-13 hari. Tidak ada toksin yang telah
teridentifikasi, tetapi kapsulnya mungkin membantunya memproteksi dari serangan kimia
atau imunologis.
Tidak diketahui bagaimanakah M. leprae terbunuh. Kebanyakan organisme intraselular
dibunuh oleh produksi H2O2 oleh makrofag yang secara imunologis teraktivasi (lihat hal. 71
[103]). Tetapi beberapa spesies mycobacteria resisten terhadap mekanisme ini. Mycobacteria
ini mungkin dicerna oleh peroksidase melalui keberadaan halide, tetapi hanya monosit muda,
bukan makrofag matang, dapat mensekresi enzim ini. Pada ketiadaan respon imun yang
efektif, seperti halnya pada lepra lepromatosa, kebanyakan M. leprae intrasel kemungkinan
hidup selama 1 tahun, dan kemudian beaded (menjadi manik-manik), kemudian organisme
granuler. Berbulan-bulan/ bertahun-tahun setelah ini, pewarnaan gagal menunjukkan
keberadaannya, kerangka dari M. leprae mungkin tampak pada jaringan melalui pewarnaan
perak dan keberadaan antigennya didemonstrasikan melalui imunofluoresensi.
Kerentanan M. leprae terhadap agen fisik dan kimia di luar host dibahas di Bab 15.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 13


Translated Bryceson

BAB 3: PATOLOGI KLINIS


(Original Bryceson Hal. 11-24)

Infeksi dari M. leprae kebanyakan bersifat subklinis, yang artinya mereka sembuh secara
natural tanpa memberikan suatu gejala atau tanda klinis. Tetapi beberapa orang yang
terinfeksi kemudian berkembang menjadi penyakit, yaitu lepra. Manifestasi klinis dari lepra
bergantung pada respon dari host terhadap organisme.
Berbeda pada infeksi bakteri akut yang bermanifestasi klinis dalam hitungan jam hingga
hari, manifestasi klinis dari lepra terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun, hal ini terjadi
karena multiplikasi M. leprae yang lambat.
Infeksi M. leprae biasanya terjadi akibat penetrasi melalui kulit atau melalui mukosa
hidung dari suatu droplet infection (lihat bab 15). Lesi yang dapat terdeteksi secara klinis
paling awal biasanya di kulit dan, secara histologis, dikaitkan dengan serabut saraf halus di
dermis (paling padat ditemukan di sekitar folikel pilo-sebaseus) dengan pembuluh darah kecil
dan otot erector pili di sekitarnya. Dari awal terjadinya penyakit, serabut saraf kulit kecil
terlibat. Organisme bermultiplikasi paling baik di lokasi tubuh yang lebih dingin (cool),
sehingga lokasi yang tersering diinvasi bakteri lepra adalah kulit wajah [Prof: wajah panas, koq sering?]
dan ekstremitas dan saraf yang letaknya lebih superfisial. Invasi ke organ lain berlangsung
pada lepra lepromatosa; dimana organ yang terlibat umumnya adalah mata, testis, dan otot.
Bakteri bermultiplikasi di dalam makrofag, yaitu di makrofag kulit (sel histiosit) dan di
makrofag saraf (sel Schwann). Seperti infeksi intra-makrofag lainnya, respon host mayoritas
atau bahkan seluruhnya adalah cell mediated (diperantarai sel). Dibandingkan dengan infeksi
leishmaniasis (yang disebabkan oleh parasit obligat intraselular dengan host vertebrata), dan
tuberkulosis, brucellosis, dan tifus (yang disebabkan oleh organisme fakultatif intraselular),
mempunyai respon host yang serupa.
Di kulit organisme penyebab ‘dimakan’ oleh sel histiosit, sedangkan di ujung saraf
terminal organisme ‘dimakan’ oleh sel Schwann. Biasanya hal ini akan memicu suatu respon
peradangan dari sel histiosit dan limfosit. Lesi klinisnya biasanya berupa makula kecil tidak
dapat ditentukan (vague) yang hipopigmentasi (pada kulit gelap) atau eritematosus (pada kulit
putih). Lesi ini disebut ‘indeterminate’ karena tidak ada indikasi bagaimana akan berkembang.
Hampir 70% dari lesi indeterminate di Afrika akan sembuh secara spontan; kebanyakan dari
lesi tersebut bahkan tidak terlihat. Jika bakteri tumbuh mengalahkan mekanisme pertahanan
yang mana prosesnya pada lepra indeterminate tidak diketahui; atau jika mekanisme
pertahanan gagal karena sebab yang lain, maka penyakit akan berlanjut dan menjadi lepra
dengan spektrum tertentu, salah satu penyakit pada spektrum lepra. Pola klinis dan
manifestasi akhir lepra bergantung pada ‘nature’ dan perkembangan respon host terhadap
organisme dan terhadap perkembangan multiplikasi bakteri. Respon imun manusia terhadap
mayoritas (atau bahkan seluruhnya) infeksi bakteri adalah humoral dan selular. Hasil akhir
penyakit lepra bergantung pada derajat bagaimana sistem imun selular (SIS) berkembang atau
ditekan (suppressed) (lihat Bab 7). Antibodi belum terbukti menunjukkan peran terhadap
pertahanan melawan M. leprae tetapi mempunyai peran terhadap patologi dan gambaran
klinis dari reaksi tipe 2 (lihat Bab 8).
(Pelajari Bab 7 terlebih dahulu untuk memahami bahasan lebih lanjut)

14 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Lepra Tuberkuloid (TT)


Ketika sistem imun selular berkembang baik, pola penyakitnya adalah lepra tuberkuloid;
gambaran histologisnya berupa tuberkuloid. Makrofag yang berupa sel epitelioid memberikan
gambaran: (1) benang-benang kromatin pada nukleus tidak tampak, (2) sitoplasma sedikit
asidofilik dan granular, dan (3) membran-membran sel bergabung membentuk sel raksasa
Langhan's. Sarang-sarang sel epitelioid dikelilingi oleh limfosit kecil. Susunan ini yang disebut
dengan tuberkel. Di kulit, infiltrasi selular mungkin meluas hingga epidermis dan bahkan
melibatkan stratum basalis (Gambar 3.1). Cabang-cabang saraf kulit sensoris dan otonom
dirusak oleh infiltrat, di dalam dan di sekitar perineurium (Gambar 3.2), sedangkan saraf-saraf
besar bengkak oleh edem dan sel epitelioid. Seringkali hanya sedikit fasciculus yang terinfeksi,
tetapi inflamasi pada epineurium dan selongsong menyebabkan kompresi di dalam selongsong
sehingga sel-sel Schwann dan akson dihancurkan. Sesekali tuberkel mungkin berkaseosa
(menjadi keju, caseate) dengan produksi abses steril di dalam saraf.

Gambar 3.1. Histologi kulit pada TT. Seluruh dermis diinfiltrasi


oleh granuloma. Tidak terdapat clear subepidermal zone.
Granuloma terdiri dari sarang-sarang sel epitelioid dan limfosit.
Banyak sel-sel epitelioid yang bergabung membentuk sel raksasa
Langhans’. Mereka mempunyai sitoplasma besar yang pucat dan
nukleus yang aneh dengan tersusun setengah lingkaran di tepi
dari sel. Limfosit berkelompok di sekitar sarang-sarang sel
epitelioid. Mereka kecil dengan sitoplasma padat dan rapat
dengan nukleus gelap pada pewarnaan. Cabang-cabang saraf
dirusak. Kelenjar keringat yang diinfiltrasi limfosit tampak pada
bawah kiri. BTA tidak dapat terdeteksi pada metode Ziehl-
Neelsen. (Pewarnaan HE)

Penyakit ini terlokalisir pada satu atau beberapa lokasi di kulit dan saraf perifer besar.
Lesi kulit soliter dan berbatas tegas. Lesi-lesi tersebut bertendensi untuk sembuh spontan
dimulai dari bagian tengah. Pada beberapa kasus berat, infiltrat selular yang intens merusak
folikel pilo-sebaseus dan kelenjar keringat di dalam lesi.
Lesi saraf adalah soliter, biasanya mengenai (1)
cabang-cabang kulit yang berhubungan dengan lesi
kulit, atau (2) large mixed peripheral nerves. Saraf-
saraf membesar secara hebat karena infiltrasi selular
yang intens, tetapi adalah ireguler atau fusiformis,
dan polanya asimetris. Kerusakan saraf mungkin
cepat, anestesia di kulit mengikuti gambaran
distribusi saraf, dan apabila saraf yang terlibat
mempunyai serabut motorik maka akan terjadi
kelemahan dan wasting. Kerusakan otonom ditandai
berupa sianosis dan gangguan berkeringat.
Lebih dari 50% pasien dengan lepra tuberkuloid
mempunyai basil pada otot lurik, yang jumlahnya mungkin lebih banyak daripada pada lesi
kulit. BTA jarang sekali terdeteksi pada pemeriksaan slit-skin smear pada lesi lepra
tuberkuloid. Adanya imunitas selular dicerminkan melalui tes lepromin yang positif.

PPDS DERVEN FK UNHAS 15


Translated Bryceson

Lepra Lepromatosa (LL)


Apabila sistem imun selular gagal untuk berkembang, pola penyakitnya adalah lepra
lepromatosa. Gambaran klinis mencerminkan pertumbuhan bakteri yang hebat. Gambaran
histopatologi pada lesi adalah leproma. Di kulit, makrofag gagal untuk berdiferensiasi menjadi
sel epitelioid. Bentuknya bervariasi dari bulat (round) hingga spindle, benang kromatin nukleus
tetap ada (distinct) dan sel-sel makrofag tersebut mempunyai ciri-ciri seperti aslinya. Sel-sel
tersebut menjadi “kantong-kantong tunggal” (mere sacs) yang mengandung basil
bermultiplikasi; sitoplasma mengalami perlemakan dan menjadi edem, memberikan gambaran
khas sel “foam”. Basil mungkin hampir secara keseluruhan mengisi sel, membentuk acid-fast
globi (Gambar 3.3). Jumlah limfosit jarang atau bahkan tidak ada, dan limfosit tersebut tidak
dapat mengelilingi makrofag. Adneksa kulit tetap tidak terkena hingga stadium akhir penyakit.
Infiltrat tidak meluas hingga epidermis, tetapi meninggalkan area clear zone dimana jarang
ditemukan basil (Gambar 3.4). Didapatkan sejumlah besar basil pada sel Schwann serabut
saraf kulit, pada sekitar daerah endoneurial pada akson dengan myelin, dan pada sel endotel
vaskular. Perineurium mengeluarkan cairan dan sejumlah kecil sel (terutama makrofag) masuk
ke saraf dan memakan basil. Berikutnya sel-sel perineurial diinvasi.

Gambar 3.3. Histologi pada LL. Pada pembesaran


besar tampak sel foam dan globi yang khas. Infiltrat
terdiri dari makrofag dengan nukleus iregular dan
sitoplasma foamy, dengan vakuola di dalamnya.
BTA tampak sebagai batang berwarna gelap, baik
sendiri-sendiri atau berkelompok sebagai globi
yang memenuhi keseluruhan sitoplasma. Tidak
terdapat limfosit. (Pewarnaan Fite Faraco)

Gambar 3.4. Histologi pada LL. Epidermis


kehilangan rete ridges dan dipisahkan dari granuloma
melalui clear subepidermal zone, yang menjadi ciri
lepromatosa dan borderline. Terdapat infiltrat masif
dari dermis yang terdiri dari undifferentiated spindle-
shaped macrophages, beberapa di antaranya
menunjukkan degenerasi foamy di dalam
sitoplasmanya. Melalui pewarnaan Ziehl-Neelsen’s
didapatkan banyak BTA (IB 5+) tetapi hanya beberapa
globi kecil. Gambaran dari penyakit yang sangat aktif
ini didapat dari biopsi nodul yang baru, pada pasien
relaps ketika masih mendapatkan dapson.
(Pewarnaan HE)

Pada saraf terinfeksi, seluruh fasikulus biasanya terkena (Gambar 3.5). Sel Schwann
menggandakan diri dalam usaha untuk memperbaiki kerusakan dan mungkin membentuk
cincin konsentris di sekitar serabut saraf, sehingga memberikan gambaran histologis “onion
skin”. Masuknya sel-sel dan cairan ke dalam meningkatkan tekanan di dalam perineurium yang
utuh. Serabut tanpa myelin dirusak lebih mudah daripada serabut dengan myelin, tetapi

16 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

kerusakan terjadi perlahan dan diikuti oleh degenerasi aksonal dan kemudian setelah
beberapa tahun diikuti oleh degenerasi hyalin dan fibrosis saraf terkena. Basil bermultiplikasi
di dalam sel Schwann yang kemudian robek. Proses fagositosis basil oleh sel Schwann yang
lain kemungkinan membantu penjalaran infeksi secara sentripetal sepanjang saraf, tetapi
penyebaran hematogen juga penting.
Penyakit tidak terlokalisir dan
menyebar cepat, baik lokal dan
melalui pembuluh darah ke bagian
kulit lain, ke saraf, ke mukosa saluran
pernafasan atas, dan ke organ tubuh
lainnya, terutama mengenai mata,
testis, limfonoduli, sumsung tulang
pada falang dan, yang jarang, ke
otot-otot superfisial, hati, dan limpa.
Secara klinis, penyakit ditandai
dengan lesi yang banyak dan
terdistribusi di seluruh tubuh secara
simetris bilateral. Lesi yang paling
dini adalah makula kecil berbatas
tidak tegas yang mungkin berjumlah
banyak dan berkonfluensi (Plate 2). Lesi tersebut tidak anestetik karena saraf tidak dirusak
oleh infiltrasi selular. Karena
proses multiplikasi bakteri
berlangsung terus dan tidak dapat
dihindari, lesi menjadi terinfiltrasi
dan terbentuk nodul. Mukosa
nasal diinfiltrasi dini dan sangat
bacilliferous. Invasi ke laring
adalah komplikasi yang
berbahaya, yang sering dijumpai
di negara Asia dibandingkan
Afrika.
Keterlibatan saraf seringkali
simetris. Dalam uji konduksi saraf
menunjukkan bahwa jumlah saraf
yang terlibat yang terdeteksi
secara klinis jumlahnya dua kali
lipat. Serabut saraf kulit yang
paling superfisial berada pada bagian tubuh yang paling dingin (cool) adalah yang terkena
untuk pertama kali. Sensasi yang hilang pertamakali adalah terhadap uji tusuk (pin prick),
suhu, dan sentuhan ringan; dan berikutnya adalah deep presure dan modalitas lainnya.
Perluasan secara bertahap pada kerusakan saraf selama bertahun-tahun akhirnya akan
menghasilkan anestesia total pada ekstermitas atau bahkan pada tubuh. Ketika tingkat yang
sesuai dari large mixed peripheral nerves telah tercapai, kerusakan motorik akan mengikuti.

PPDS DERVEN FK UNHAS 17


Uji klinis menunjukkan bahwa saraf-saraf otonom dirusak. Refleks tendon biasanya utuh
(intact) hingga stadium sangat akhir dari penyakit.
Lepra lepromatosa adalah penyakit sistemik, dengan basilemia dan keterlibatan banyak
organ.
Infeksi pada mata tejadi adalah infeksi lokal dan penyebaran hematogen (lihat Bab 11 ).
Lepromata dapat terbentuk pada konjungtiva, dan kornea menjadi kabur karena keratitis.
Cabang kornea saraf kranialis V mungkin terkena dini. Basil menginvasi iris dan membentuk
lepromata miliar di sekitar pupil, dan badan siliar secara perlahan dihancurkan. Kerusakan
mata berlangsung sangat perlahan dan tidak tampak, kecuali terdapat suatu kondisi reaksi
yang dapat memproduksi iridosiklitis akut. Kerusakan pada nervus kranial kelima dan
ketujuh menghasilkan anestesi pada kornea dan lagoftalmus, menyebabkan mata rentan
terhadap trauma dan infeksi, yang mungkin diperburuk apabila kelenjar nasolakrimalis diblok
oleh granuloma lepra di dalam hidung. Saraf-saraf kranial yang lain tidak terkena.
Otot-otot polos dan lurik terinvasi, terutama otot-otot superfisial (Gambar 3.6).
Mungkin didapatkan banyak basil pada muskulus arrectores pilorum dan dartos. Invasi pada
otot lurik pada wajah, tangan, dan kaki adalah penyebab lebih lanjut wasting dan
kelemahan dan mungkin terjadi sebelum keterlibatan saraf besar. Basil tampaknya
terproteksi di otot, karena mereka bertahan lama di sini setelah mereka dibersihkan melalui
pengobatan dari bagian-bagian lainnya.
Pembuluh darah vena pada ekstremitas menjadi berliku-liku dengan lumen yang ireguler,
menyempit, dan dilatasi. Ditemukan fibrosis dan granuloma, tetapi basil berjumlah sedikit,
yang menyarankan bahwa defek
pada pembuluh darah vena terjadi
akibat kerusakan saraf.
Pada lepra lepromatosa tulang
mungkin terinvasi. Tulang hidung
dan falang adalah bagian yang
paling umum terlibat. Desktruksi
pada spina nasalis anterior
menyebabkan hidung kolaps,
sedangkan desktruksi pada
procesus alveolaris dari maxilla
menyebabkan gigi incisivus superior
terlepas (Gambar 3.7). Sumsum
tulang falang diganti dengan sel-sel
busa (foam cells) terisi banyak basil
yang menginvasi cancellous bone
(trabecular bone or spongy bone)
dan mungkin membentuk kista di dalamnya dan menghancurkannya. Jarang didapatkan
penipisan korteks tulang. Terjadi osteoporosis dan fraktur tulang mudah terjadi. Fraktur paling
sering terjadi di dekat persendian, yang kolaps. Jari-jari mungkin menjadi pendek dan
terdistorsi. Kartilago persendian mungkin juga terinvasi langsung, tetapi hanya pada kartilago
yang terletak di bawah permukaan kulit (dingin). Hal ini juga terjadi pada tendon dan selubung

18 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

tendon yang superfisial, yaitu yang terletak di dorsum pergelangan tangan, mungkin
terinfiltrasi.
Kartilago hidung sering terinvasi dan septum mungkin mengalami ulserasi, terutama
dengan keberadaan infeksi sekunder. Epiglotis adalah daerah laring yang paling sering
terinvasi.
Testis adalah organ yang paling sering dan paling berat infeksinya. Sel-sel epitel pada
tubulus seminiferus diinvasi dan terjadi aspermia dan sterilitas. Sel-sel Leydig mengalami
perubahan hipertrofi dan destruksi. Ginekomastia pada lepra lepromatosa diduga terjadi
terkait dengan perubahan sel Leydig. Kerusakan hati dan malnutrisi protein mungkin juga
memberikan kontribusi.
Seluruh limfonoduli superfisial kulit dan limfonoduli lebih profundus lainnya diinvasi oleh
makrofag, banyak dari mereka yang mengandung BTA. Makna invasi ini dibahas di Bab 7 .
Pada hati, M. leprae difagositosis oleh (dan kemungkinan bermultiplikasi di) sel-sel
Kupffer yang mana mungkin menjadi fokus dari granulomata kecil multipel. Ginjal tidak
diinvasi oleh M. leprae tetapi mungkin dirusak oleh kompleks imun berupa suatu
glomerulonefritis (lihat hal.29 [38]).
Lepra tidak memberikan pasien proteksi dari penyakit lain, dan pada lepromatosa
mungkin mempunyai ketahanan yang lebih rendah dari infeksi lain (lihat hal. 77 [112]).
BTA terdapat di seluruh lesi lepra lepromatosa. Slit-skin smears didapatkan positif,
dengan indeks bakteriologi (IB) 5 atau 6 plus (lihat hal. 42 [63]).
Tidak adanya sistem imun selular dicerminkan melalui tes lepromin yang negatif. Respon
imun lepra lepromatosa dan sifat dasar dari defek imunologis didiskusikan pada Bab 7 .

Amyloidosis

Amyloidosis sekunder adalah satu dari beberapa komplikasi mematikan pada lepra (lihat hal.
30 [40]). Hal ini terjadi pada pasien dengan penyakit multibasiler lama, terutama mereka
yang menderita reaksi tipe 2 rekuren, dan pada pasien dengan ulkus plantaris kronik.
Insoluble amyloid fibrils dideposit di organ-organ besar termasuk ginjal, hati, limpa, dan
adrenal, yang menyebabkan disfungsi ireversibel dan kegagalan organ. Pada amyloidosis
sekunder, amyloid fibrils tersusun dari protein amyloid A (AA), berlawanan dengan rantai
ringan imunoglobulin (AL) pada amyloidosis primer. Prekursor dari protein AA adalah acute
phase serum protein SAA, yang konsentrasinya meningkat beberapa ratus kali lipat setelah
kerusakan atau inflamasi, termasuk pada reaksi tipe 2. Pasien yang mendapatkan amyloidosis
sekunder mungkin mempunyai defek enzim sehingga mereka tidak bisa memetabolisme SAA
secara lengkap, tetapi menghasilkan protein AA yang polimerisasi menjadi insoluble fibrils.
Diagnosis dari amyloidosis adalah melalui histologi pada biopsi rektum, ginjal, lemak subkutan
atau jaringan terkena lainnya. Ketika diwarnai dengan Congo Red, dan dilihat di bawah
cahaya terpolarisasi, jaringan amyloid menghasilkan tanda khas berupa apple-green
bireffringence. Di Papua New Guinea, 20% pasien lepra lepromatosa selama dua tahun
mempunyai amyloidosis yang ditunjukkan melalui biopsi rektum.

PPDS DERVEN FK UNHAS 19


Translated Bryceson (2010)

Lepra Borderline (BB)


Di antara kedua kutub yang ekstrem, terdapat bentuk penyakit dari spektrum penyakit lepra,
gejala klinis dari setiap titik mencerminkan keseimbangan di antara multiplikasi bakteri dan
sistem imun selular pada pasien (Gambar 3.9).

Secara histopatologis, makrofag berdiferensiasi menjadi sel epitelioid, tetapi BTA tampak
di dalamnya. Sel-sel raksasa jarang didapatkan. Limfosit biasanya didapatkan dan tersebar
secara renggang di antara granuloma sel-sel epitelioid, tetapi tidak ada fokalisasi menjadi
tuberkel. Saraf diinfiltrasi oleh sel mononuklear tetapi masih dapat dikenali. Didapatkan clear
subepidermal zone seperti halnya pasien lepra lepromatosa.
Gejala klinis mencerminkan tidak adanya fokalisasi dari penyakit dan juga sifat dasar yang
labil dari keseimbangan. Terdapat banyak lesi kulit dengan bentuk dan ukuran bervariasi.
Banyak saraf yang terlibat, walaupun tidak simetris seperti halnya pasien lepra lepromatosa,
pasien juga tidak mempunyai
komplikasi terkait dengan invasi
bakteri.
Didapatkan BTA dengan IB 3
atau 4 plus. Uji lepromin negatif.
Kebanyakan pasien lepra
menunjukkan karakteristik
borderline (atau “dimorfik”), dan
dalam prakteknya biasanya
memungkinkan untuk mengatakan
apakah pasien berada di tengah
spektrum (BB), ke arah ujung
tuberkuloid (BT), atau ke arah
lepromatosa (BL). Penentuan yang

20 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

akurat dari lokasi spektrum yang pasti pada pasien dapat ditentukan secara histologis.
Midpoint BB adalah secara teori ada berada di tengah spektrum. Tipe ini sangatlah tidak stabil
sehingga penyakit biasanya cepat berubah menjadi BT atau BL.
Pada lepra borderline tuberkuloid (BT) secara histologis didapatkan granuloma seperti
halnya pada TT, tetapi terdapat clear narrow subepidermal zone. BT berbeda dari BB yaitu
sel-sel epitelioid difokalisasi oleh limfosit menjadi suatu tuberkel, dan sel raksasa Langhans
mungkin ditemukan. Infiltrasi saraf dalam derajat sedang hingga berat (Gambar 3.8). IB tidak
lebih dari 1 atau 2 plus dan tes lepromin positif lemah (1+ atau 2+).
Pada lepra borderline lepromatosa (BL) terdapat lesi yang mengandung limfosit lebih
banyak daripada LL, dan terdapat diferensiasi makrofag ke arah sel epitelioid, tetapi
perubahan busa (foamy change) umum didapatkan. IB biasanya 4-5 plus dan tes lepromin
negatif.
Bagaimana mekanisme jaringan dirusak pada lepra dirangkum dalam Gambar 3.9.

Manfaat klasifikasi
Penentuan posisi pasien dalam spektrum mempunyai beberapa manfaat:
1. Pemahaman terhadap konsep spektrum harus mendahului kewaspadaan terhadap
manifestasi klinis penyakit yang luas, jika diagnosis lepra benar.
2. Lepra tuberkuloid (TT dan terutama BT) dihubungkan dengan kerusakan yang berat
dari saraf besar; lepra lepromatosa, dengan kronisitas dan komplikasi jangka panjang.
3. Proses sembuh spontan terjadi apabila berada di spektrum dekat kutub tuberkuloid;
hal ini tidak terjadi pada lepra lepromatosa.
4. Bentuk polar dari penyakit bertendensi untuk ‘stabil’ secara imunologis dan jarang
terjadi perubahan posisi dalam spektrum, yang artinya tidak ditemukan kondisi reaksi
tipe I (lihat Bab 8).
5. Penyakit borderline adalah tidak stabil dan mungkin berpindah di sepanjang spektrum.
Pergeseran pada sistem imun selular sering disertai dengan reaksi akut (tipe I). Reaksi
ini, yang mungkin terjadi secara spontan atau dipicu oleh terapi, sering dikaitkan
dengan kerusakan yang berat dari banyak saraf.
6. Pasien lepromatosa mudah mendapatkan reaksi yang diperantarai oleh kompleks
antigen-antibodi (reaksi tipe 2).

Penentuan posisi penyakit pasien pada spektrum ketika diagnosis akan membantu
menentukan respon dan durasi dari terapi, dan komplikasi yang sering timbul sehingga
edukasi (precaution) yang tepat dapat diberikan untuk mencegahnya. Manfaat tambahan
lainnya,
7. Untuk keperluan penelitian, klasifikasi memberikan dasar untuk mencocokan pasien
pada penelitian, contohnya pada uji coba obat-obatan.
8. Klasifikasi pasien ketika survei lepra mungkin dilakukan, membantu dalam
merencanakan sarana kontrol.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 21


Translated Bryceson (2017)

BAB 4: KELUHAN DAN TANDA KLINIS


(Original Bryceson Hal. 25-55)

Gambaran klinis lepra mencerminkan patologi, yang bergantung pada keseimbangan antara
multiplikasi basil dan respon imunitas selular host.

Masa Inkubasi
Onset yang lambat, tanda klinis awal yang tidak jelas, dan kesukaran dalam eksperimen
transmisi penyakit pada manusia, membuat penilaian untuk menentukan masa inkubasi yang
tepat pada individu ataupun populasi menjadi tidak memungkinan. Masa inkubasi biasanya
berkisar antara 2-4 tahun, walaupun pernah dilaporkan masa inkubasi 3 bulan hingga 40
tahun.

Pemunculan
Lesi kulit
Lesi mungkin tunggal atau
beberapa. Pada beberapa pasien
satu lesi dapat menetap selama
bertahun-tahun sebelum lesi yang
lainnya muncul, atau lesi inisial
hilang secara spontan beberapa
bulan atau tahun sebelum lesi yang
berikutnya muncul. Pada yang lain,
penyakit menyebar dengan cepat
dari lesi primer. Sedangkan
beberapa pasien tidak menyadari
lesinya hingga lesi mengalami
peradangan ketika kondisi reaksi.
Secara klasik lesi awal adalah lepra indeterminate (Gambar 4.1). Lesinya berupa makula,
berbatas tidak tegas, sedikit hipopigmentasi, dengan ukuran diameter beberapa sentimeter,
dan tanpa keluhan. Lesi paling sering terdapat pada wajah, badan, atau anggota gerak bagian
ekstensor. Kadang-kadang terdapat beberapa lesi. Sensasi normal atau sedikit terganggu;
keringat dan pertumbuhan rambut biasanya tidak dikenai. Basil sukar ditemukan dan diagnosis
mungkin berdasarkan pada observasi terus-menerus yang teliti. Banyak pasien yang tidak
mempunyai lesi sampai lesi berkembang menjadi bentuk determinate pada spektrum. [Prof:
determinate = yang ada dalam spektrum]

Mati rasa
Anestesi paling sering ditemukan, tetapi jarang keluhan anestesi ini menyebabkan pasien
memeriksakan diri ke dokter. Tangan atau kaki pasien sering tidak sengaja terpotong atau
terbakar, dan pasien mungkin tidak menyadarinya jika ekstremitasnya anestetik, hingga
ditanya apakah cideranya menyakitinya pasien. Mati rasa merupakan tampilan yang paling
sering didapatkan, terutama di Asia.

22 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Kelemahan
Kelemahan otot mungkin berlangsung perlahan atau mendadak. Pada lepra borderline dan
tuberkuloid, kerusakan saraf tepi yang besar mungkin berlangsung perlahan dan kelemahan
kadang-kadang muncul sebelum terjadi anestesia. Sering kali reaksi akut memicu timbulnya
kelemahan otot mendadak yang menyebabkan ulnar palsy, foot drop, atau facial palsy dan
dapat merupakan tanda-tanda awal. Pada lepra lepromatosa, invasi basil pada otot mungkin
meyebabkan kelemahan pada wajah, kaki, atau tangan.

Nyeri
Nyeri pada satu atau beberapa saraf mungkin merupakan keluhan yang ada pada lepra
tuberkuloid atau BT bahkan sebelum lesi kulit muncul. Limfadenopati sekunder yang nyeri
akibat infeksi pada ekstermitas yang anestetik mungkin memerlukan perhatian sehubungan
dengan luka pada tangan atau kaki yang diakibatkannya.

Mata
Nyeri, fotofobi, pandangan kabur mungkin menjadi keluhan awal adanya iridoksiklitis pada
pasien lepra lepromatosa.

Hidung
Hidung tersumbat, sekret, atau darah mungkin merupakan keluhan lepra lepromatosa.

Keluhan sistemik
Kadang-kadang keluhan demam, malaise, nyeri pada persendian, arthritis, tenosinovitis,
myositis, atau limfadenitis yang menyertai reaksi adalah manifestasi awal dari lepra.

Gatal
Walaupun jarang ditemukan, mungkin didapatkan rasa gatal yang luas (generalisata) dalam
waktu singkat yang mendahului onset LL progresif cepat, sebelum terjadi perubahan kulit yang
terlihat.

Evolusi Penyakit

Penggolongan dalam Spektrum


Kemungkinan tiga dari empat lesi
indeterminate dapat sembuh
spontan. Sisanya menjadi
determinate dan masuk ke dalam
spektrum klinis. Batas yang
semakin jelas, hipopigmentasi,
hiperestesia, anestesia, atau
peninggian batas mengindikasikan
pergerakan ke arah kutub
tuberkuloid; sedangkan
peningkatan jumlah lesi, eritem,
bagian tengah yang menjadi samar atau meninggi mengindikasikan pergerakan ke arah kutub

PPDS DERVEN FK UNHAS 23


Translated Bryceson (2010)

lepromatosa (lihat Tabel 4.1). Saat penyakit berlangsung, atau reaksi muncul (lihat hal. 80
[115]), lesi makula mungkin berubah menjadi lesi infiltrat (Gambar 4.2).

Karakteristik Penyakit pada Titik-Titik di Sepanjang Spektrum


Definisi dari titik-titik (‘point’) pada spektrum adalah perluasan yang berubah (to some extent
arbitrary) dengan pengecualian untuk lepromatosa polar dimana terjadi ketiadaan komplit
dari sistem imun selular dan bersifat tetap (fixed). Walaupun spektrum klinis linear, terdapat
sejumlah tonjolan (‘bulges’); tonjolan invasi basil, imunitas selular, ketidakstabilan,
kemungkinan kerusakan saraf, dan kemungkinan untuk terjadi perburukan perjalanan klinis
yang cepat. Tonjolan, dan karakteristik penyakit yang menyertainya perlu diidentifikasi.
Penting untuk mengidentifikasi posisi penyakit pasien pada spektrum LL-TT, dimana
membutuhkan pemeriksaan klinis lengkap dan mungkin membutuhkan bakteriologi, tes kulit
dan histologi, dan efloresensi lesi kulit yang mungkin berupa tuberkuloid, borderline, atau
lepromatosa. Perhatian pada titik ini memungkinkan untuk mengakomodasi dengan pasti
istilah lama yang dibuat berdasarkan observasi klinis. Salah satu aspek yang berharga terhadap
istilah lama (beberapa di antaranya disebutkan pada paragraf di bawah ini) adalah mereka
mempunyai tanda-tanda khusus untuk dikenali yang menentukan bentuk alami tertentu dari
penyakit.

Lepra Tuberkuloid (TT)


Lesi kulit hanya sedikit seringkali tunggal. Jarang mempunyai diameter lebih dari 10 cm. Lesi
asimetris dan mungkin melewati garis tengah. Pada kulit gelap lesi hipopigmentasi, kadang-
kadang berwarna tembaga pada kulit pucat, dan mudah dilihat (Plate 1). Batasnya tegas dan
tidak putus. Dapat berupa makula atau meninggi, berupa plak atau hanya pada tepinya,
dimana penyakit berkembang sedangkan bagian tengah yang datar menandakan
penyembuhan (Gambar 4.3-4). Lesinya anestetik, tidak berambut, kering karena gangguan
berkeringat [Prof: Anestesi, Alopecia, Anhidrosis, Akromia, Atrofi]. Lesi pada wajah tidak seanestesi lesi di
bagian tubuh lain karena persarafan pada wajah kaya overlapping.

24 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Lesi tuberkuloid yang kecil, hipopigmentasi yang jelas dan “pebbled” (batu kerikil) dan
yang beralih menjadi central healing yang cepat (tuberkuloid minor) tidak selalu berhubungan
dengan keterlibatan saraf yang berat (Gambar 4.3). Lesi yang besar, yang cenderung lebih
banyak dan lebih meninggi secara seragam (tuberkuloid mayor) adalah bentuk yang lebih
sering dihubungkan dengan keterlibatan saraf yang berat. Lesi tersebut juga dapat menginvasi
daerah bebas lesi (‘spared areas’, lihat hal. 27 [34]), terutama kulit kepala, ketiak, lipat paha,
telapak kaki dan tangan (Gambar 4.5). Istilah gambaran klinis tuberkuloid mayor dan minor
merujuk pada lesi pasien BT.

PPDS DERVEN FK UNHAS 25


Pada TT saraf perifer yang membesar umumnya tunggal dan kadang-kadang dapat
menjadi satu-satunya tanda dari penyakit (Gambar 4.6). Tempat predileksi adalah (sesuai
dengan frekuensi): saraf ulnaris di atas celah olekranon, saraf tibialis posterior di belakang
maleolus internal, saraf peroneus communis (poplitea lateralis) pada fosa poplitea dan
proksimal dari tempat dimana saraf mengelilingi leher fibula, saraf radialis cutaneus pada
pergelangan tangan, saraf fasialis dan saraf auricularis magnus, dan saraf medianus pada
proksimal dari retinakulum fleksorum. Sebagai tambahan, semua cabang saraf yang
berhubungan dengan bercak mungkin membesar. Pembesaran saraf biasanya mendahului
tanda-tanda kerusakan saraf pada pasien tuberkuloid kecuali jika penyakit dalam keadaan
reaksi dimana terjadi pembesaran, nyeri tekan, nyeri, dan paresis yang muncul mendadak dan
bersama-sama. Dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, kerusakan saraf dapat
dihindari. Karenanya, tanda-tanda
kerusakan saraf dianggap sebagai
komplikasi (lihat Bab 10).
TT menggambarkan puncak
kurva dari ‘tonjolan’ (bulge)
sistem imun selular (Gambar 4.7),
gambaran penyakit yang stabil,
tidak terdapat diseminasi atau
penyebaran lokal, frekuensi reaksi

26 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

yang rendah, dan kecenderungan untuk sembuh sendiri. Pengobatan biasanya diberikan untuk
meminimalisir kerusakan saraf. Lepra tuberkuloid berupa lesi makula (makuloanestetik) dapat
sembuh spontan tanpa lesi pernah menjadi infiltratif.

Lepra Lepromatosa (LL)


Lepra lepromatosa menunjukkan
puncak dari ‘tonjolan’ (bulge)
multiplikasi bakteri (Gambar 4.8),
dengan gambaran beragam dan
komplikasi yang banyak: onset yang
tersembunyi (insidious), perjalanan
“steady downhill” (perlahan
memburuk), melibatkan banyak
organ, deformitas wajah, dan
kebutaan. LL juga menjadi
predisposisi pasien untuk terjadinya komplikasi reaksi antigen-antibodi dan penyakit kompleks
imun.
Lesi awal pada lepra lepromatosa adalah berupa makula (Gambar 4.9, Plate 2). Lesinya
tersebar luas, simetris bilateral, dan banyak. Batas lesi tidak tegas, permukaan mengkilap dan
lebih sering eritematosa daripada
hipopigmentasi. Pada kasus progresif
yang cepat, lesi-lesi tersebut
bergabung sehingga seluruh kulit
dikenai secara seragam, dan bahkan
pada cahaya yang terang sekalipun,
lesi sulit dilihat. Pada area kulit
tertentu bebas lesi hingga stadium
akhir penyakit, seperti kulit kepala,
ketiak dan sela paha, telapak tangan
dan kaki, fosa antekubital dan
poplitea, dan garis tengah punggung.
Area ini adalah area tubuh paling
hangat. Lesi makula awal pada LL
tidak anestesi.
Manifestasi dari kerusakan saraf
relatif lambat munculnya. Kehilangan sensasi sensoris biasanya simetris dan pertamakali
dideteksi pada permukaan bagian ekstensor dari lengan bawah, tungkai, tangan, dan kaki.
Area-area ini ukurannya membesar secara perlahan untuk menutupi seluruh lengan, tungkai,
dan bokong kemudian menyebar ke badan, tetapi area disebut di atas bebas, dan tidak
anestetik kecuali dan hingga saraf perifer besar terlibat. Karena itulah “true gloves and
stocking distribution” tidak ditemukan pada lepra LL dini, seperti bentuk lain neuritis perifer,
dan jarang nyeri. Kelemahan biasanya dimulai pada otot intrinsik tangan dan kaki.
Jika penyakit berkembang tanpa diobati, kulit yang terkena menjadi seperti berlilin dan
terasa ‘penuh’. Penebalan kulit terlihat terutama pada wajah, khususnya dahi, cuping telinga,
alis mata, hidung, dan malar (Gambar 4.10-11). Penebalan kulit berkembang menjadi lipatan,

PPDS DERVEN FK UNHAS 27


Translated Bryceson

yang kemudian menggantung menghasilkan gambaran klasik menyerupai singa atau Fasies
leonina. Terjadi madarosis, yaitu hilangnya alis dan bulu mata. Pada area ini kemudian terjadi
pembentukan nodul dan perubahan serupa timbul pada area lain dari kulit yang terkena.
Nodul meninggi pada bagian tengah, dan menipis perlahan-lahan. Seiring dengan waktu,
anestesia menjadi luas dan disertai anhidrosis. Kompensasi berupa keringat yang berlebih
pada area tidak terkena, terutama ketiak menjadi jelas dan mungkin menjadi suatu
kepercayaan di beberapa negara bahwa berkeringat lebih merupakan tanda dari lepra. [Prof:
‘lepra basah’ di Indonesia = lepra LL]

Limfonoduli dapat diraba dan membesar pada 90% pasien dengan LL, dibandingkan hanya
70% pada pasien pausibasiler. Urutan yang paling sering dikenai adalah inguinal, servikal,
aksila, dan epitroklear. [Henry: dekat nervus ulnaris]
Invasi pada mukosa hidung dan kadang-
kadang pada tenggorokan, menyertai invasi
pada kulit pada sekitar 80% pasien lepromatosa
dan jika telah dikenai akan berkembang cepat.
Hidung tersumbat, seperti ketika flu, mungkin
menjadi tanda pertama, dan mukosa tampak
menebal dan kuning pucat. Terbentuk nodul
atau plak, yang kemudian merusak hidung
(Gambar 4.12). Trauma minor dan infeksi
sekunder menyebabkan ulserasi, epistaksis,
discar mukopurulen, dan pembentukan krusta.
Perforasi septum akan mengikuti kecuali jika
diterapi dengan aktif (vigorous). Pada kasus
lanjut, spina nasalis anterior dihancurkan dan hidung kolaps. Pada saat ini dapat terjadi
infiltrasi pada palatum dan laring, dengan gejala suara serak dan bahaya obstruksi laring.
Jarang terjadi suatu perforasi palatum.
Kerusakan mata dibahas di Bab 11.
Pada LL lanjut, tangan dan kaki membengkak, keras, dan edem. Foto Röntgen kaki dan
tangan menunjukkan osteoporosis pada falang dengan hilangnya trabekulasi (‘ground glass

28 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

appearance’) dan sering didapatkan fraktur hairline (Gambar 4.13). Foramina nutrien
membesar. [Henry: foramina nutrien = foramen tempat pembuluh darah masuk dari luar tulang ke medula] Lebih jarang
terjadi adalah terdapat lesi osteolitik kecil, yang mungkin menjadi faktor predisposisi
terjadinya fraktur kompresi dan pembengkakan pada persendian. Perubahan ini dapat
menghasilkan pemendekan jari-jari, proses yang mungkin dipercepat dengan mekanisme
kerusakan seperti nekrosis akibat tekanan, trauma, dan infeksi, komplikasi yang dapat
menyertai anestesi pada pasien yang tidak mengetahui bagaimana atau mengabaikan untuk
merawat ekstremitasnya yang anestesia (lihat Bab 10). Pertumbuhan kuku mungkin
terganggu, kuku-kuku menjadi melengkung, rapuh, dan menipis. Kerusakan saraf otonom
mungkin mengganggu respon kardiovaskular terhadap posisi tubuh dan olahraga.

Kerusakan pada testis berjalan perlahan dan tanpa gejala kecuali testis mengalami
inflamasi akut ketika reaksi. Testis menjadi lunak dan kecil pada perabaan. Ginekomastia
mungkin mengikuti atrofi testis, dan ditemukan pada 1/3 laki-laki dengan riwayat LL yang
lama, terutama mereka yang mengalami reaksi tipe 2 (lihat hal. 84 [121]). Kedua kondisi ini
dikatikan dengan peningkatan ekskresi urinary gonadotrophin dan kadar plasma tesosteron
dan urinary 17-ketosteroid yang rendah, kondisi yang mirip dengan sindroma Kleinfelter’s
[Henry: Klinefelter's syndrome, 47, XXY, or XXY syndrome is a condition in which human males have an extra (an
aneuploidy) X sex chromosome. The principal effects are development of small testicles and reduced fertility].
Azospermia dan sterilitas biasanya mendahului perubahan hormonal, yang, kemudian
menyebabkan ginekomastia, mungkin memberikan kontribusi terhadap osteoporisis dan
kemungkinan impotensi.
LL adalah penyakit yang stabil dan tidak mengalami remisi secara alami. Sebelum terdapat
pengobatan antibakteri yang efektif, multiplikasi terus berlanjut. Perjalanan penyakit yang
“downhill” (memburuk) ditandai dengan peradangan akut penyakit pada tempat penyakit
yang disertai dengan kelompok-kelompok bengkak kemerahan yang nyeri pada kulit dan
gejala sistemik berupa demam (reaksi tipe 2; lihat hal. 84 [121]). Penyebab kematian paling
sering pada lepra adalah gagal ginjal (10-40%: glomerulonefritis, interstitial nephritis,

PPDS DERVEN FK UNHAS 29


Translated Bryceson

amyloidosis pada 1/3), infeksi akut (infeksi pyogenik pada luka di ekstermitas yang anestetik),
tuberkulosis (10-30%: angka ini lebih tinggi dibandingkan sebelum tersedianya obat anti
tuberkulosis), dan komplikasi usia tua (lihat Tabel 4.2). Nefritis dan pneumonia terutama
dikaitkan dengan LL. Deposit amyloid sering tersebar pada pasien LL. Kematian akibat
obstruksi pernafasan, hiperpireksia, dan kakeksia sudah jarang ditemui. Komplikasi-komplikasi
fatal ini dapat dicegah dengan diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat.

Lepra Lucio. Ini adalah bentuk paling murni dari LL, dan menyebabkan infiltrasi pada kulit
wajah dan kebanyakan tubuh yang muncul perlahan, progresif, dan difus (lepra bonita/
beautiful leprosy). Kelopak mata menebal dan alis mata rontok (sleepy or sad leprosy).
Kongesti hidung, suara serak, rasa kebas, dan edem pada tangan kaki pada akhirnya
berkembang, namun dapat diragukan dengan miksedema. LL bentuk ini dapat muncul pada
semua bentuk reaksi yang paling berat, fenomea Lucio (lihat Bab 8). Lepra Lucio muncul
pada orang-orang Meksiko keturunan campuran Spanyol dan Amerindian, tetapi jarang di
negara lain.

Lepra Borderline (BB)


Gambaran klinis dari spektrum pertengahan ini
memperlihatkan campuran dari karakteristik bentuk polar,
sering aneh dan membingungkan.
Didapatkan banyak lesi kulit, walaupun tidak sebanyak
pada LL. Lesi cenderung untuk simetris, beberapa lesi dapat
melewati garis tengah. Makula bervariasi dalam bentuk
dan ukuran, sebagian dapat berbatas tegas sebagian lain
tidak, lainnya dapat mempunyai bentuk memanjang seperti
“coastal inlets” dan seperti pulau pada peta. Pada tepi lesi
sering didapatkan lesi satelit, seperti pulau-pulau tepi
pantai. Lesi meninggi mempunyai tepi luar yang succulent
(juicy, berair), mengkilap, dan sloping (menyerupai
lepromatosa); dimana bagian tengah dimpling, terdapat
daerah punch out yang dalam atau sembuh dengan jelas
(menyerupai tuberkuloid) (Gambar 4.14). Adanya gambaran tuberkuloid yang khas seperti itu
menyarankan bahwa penyakit mungkin berawal dari dekat polar dan kemudian
‘downgraded’ melewati spektrum pertengahan. Lesi kulit hipoestetik.

30 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Banyak saraf yang dikenai, dalam distribusi yang asimetris. Pembesaran saraf dapat halus
dan regular, atau bertonjol-tonjol (lumpy) dan tidak rata. Anestesia yang sesuai dengan
distribusi saraf muncul dini.
Tanda-tanda yang menunjukkan invasi bakteri pada mukosa hidung, mata, hidung, dan
testis biasanya tidak didapatkan.
Lepra BB mewakili puncak
ketidakstabilan (Gambar 4.15).
Keseimbangan antara multiplikasi
basil dan sistem imun selular sukar,
sulit, dan jarang bertahan lama
tanpa satu atau gambaran lain yang
lebih dominan. Tanda khas penyakit
pasien pasien kemudian berubah
sesuai dengan dan campuran antara
lesi baru dan lesi lama.
Kadang-kadang gambaran
klinisnya kompleks sehingga membutuhkan pemeriksaan histopatologis untuk menentukan
posisi di dalam spektrum. Perubahan ini mungkin berlangsung perlahan, tetapi lebih sering
terjadi cepat dan disertai dengan peradangan di dalam lesi, sebagai suatu menifestasi dari
hipersensitivitas selular akut (reaksi tipe I; lihat hal. 81 [116]).
Kecenderungan untuk terjadinya reaksi, yang disertai dengan kerusakan saraf dan kulit,
adalah tanda khas yang penting pada lepra BB.
Ketidakstabilan di spektrum pertengahan ini mungkin juga menyebabkan gambaran klinis
yang lain: walaupun penyakit borderline (BL atau BT) lebih sering daripada bentuk polar, tipe
BB sejati tanpa gambaran baik L ataupun T yang lebih menonjol relatif jarang ditemukan.
Bentuk distribusi pada Asia, dimana penyakit lepromatosa relatif lebih sering; dan di Afika,
dimana gambaran tuberkuloid relatif lebih sering, digambarkan pada Gambar 4.16.

Lepra Borderline Tuberkuloid (BT)


Ciri-ciri BT adalah campuran dari infiltrat selular yang intens dan dari titik pertengahan
spektrum yang tidak stabil.

PPDS DERVEN FK UNHAS 31


Translated Bryceson

Lesi kulit menyerupai lepra tuberkuloid, tetapi selalu terdapat bukti bahwa penyakit
tidak termasuk kelompok ini. Hal ini mungkin tampak melalui dua hal: tiap lesi kulit tidak
memperlihatkan batas yang tegas yang khas untuk TT. Tepi lesi mungkin sebagian sedikit
bergabung dengan kulit normal, mungkin bergelombang, atau mungkin terdapat lesi satelit
kecil (Gambar 4.17-19). Tepi lesi yang meninggi kemudian melandai menjadi tempat seperti
erosi pada pinggir kawah vulkano lama. Kemungkinan lain, lesi sangat banyak untuk TT, dan
mungkin menujukkan ukuran, kontur, dan karakter yang bervariasi (Gambar 4.4, 4.20). Lesi
seperti itu diduga sebagai tanda adanya fase perluasan hematogen. Seringkali didapatkan
kedua tanda khas BT. Lesi kulit, kecuali apabila di wajah, adalah insensitif, meskipun sangat
kurang bila dibandingkan dengan TT. Hipopigmentasi, kekeringan, ”pebbling”, dan skuama
kurang jelas bila dibandingkan dengan TT (Gambar 4.21). Pada kulit pucat, lesi kulit sering
berwarna merah atau tembaga (Plate 1,5).

Jumlah lesi saraf lebih banyak dibandingkan daripada TT. Beberapa saraf perifer besar
menjadi membesar secara iregular pada tempat predileksi dan dalam pola asimetris. Pada
kasus yang sudah berlangsung lama, hampir semua saraf tepi mungkin terlibat. Kerusakan
saraf adalah tanda yang khas paling penting pada pasien BT, dan anestesi atau paresis pada
distribusi saraf sering ditemukan saat pasien pertama kali datang. Pasien mungkin

32 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

menunjukkan tanda kerusakan saraf yang khas pada kulit yang tanpa lesi, dan menjadi sulit
untuk didiagnosis.
Lepra neural murni. Kadang-
kadang pasien memperlihatkan
adanya tanda kerusakan saraf yang
khas tanpa adanya lesi kulit.
Gambaran ini dikatakan lebih sering
ditemukan di India daripada tempat
lain. Biasanya hanya satu saraf
yang dikenai, khususnya saraf
ulnaris pada siku. Diagnosis yang
tepat harus ditegakkan untuk
menghindari salah penanganan
yang menimbulkan malapetaka. Biopsi mungkin diperlukan, dan histologi sering
menunjukkan BT atau TT, tetapi gambaran multibasiler pun dapat ditemukan.
Lepra BT merepresentasikan puncak dari kerusakan saraf akut (Gambar 4.22). Perluasan
dari infiltrat selular yang sudah ada menyebabkan saraf sangatlah rentan terhadap kerusakan
bahkan dari inflamasi akut derajat ringan ketika reaksi, yang memberikan ciri-ciri seluruh
bentuk penyakit borderline (puncak ketidakstabilan/ instability peak). Jumlah saraf yang
dikenai lebih sedikit pada BB tetapi mempunyai potensi kerusakan permanen dan cepat
yang lebih tinggi.

Pasien BL yang tidak diobati dapat berlanjut selama bertahun-tahun. Fase reaksi
mempercepat kerusakan saraf dan diikuti oleh deformitas multipel akibat anestesia,

PPDS DERVEN FK UNHAS 33


Translated Bryceson (2010)

paralisis otot, dan kontraktur. Banyak kasus yang akhirnya sembuh – ‘the burnt out case’ (burnt
out: exhausted as a result of longtime stress). Kasus yang lain downgrade dan timbul reaksi dan penyakit
meningkat menjadi lepromatosa, sehingga didapatkan pula komplikasi berupa invasi basil
pada saraf-saraf yang telah hancur.

Lepra Borderline Lepromatous (BL)


Ciri-ciri BL adalah campuran dari infiltrat basil dan dari titik pertengahan spektrum yang
tidak stabil. Lesi kulit menyerupai LL, tetapi pada pemeriksaan lebih teliti, didapatkan
sejumlah perbedaan. Distribusi lesi pada tubuh tidak simetris. Didapatkan area kulit normal
di antara lesi. Lesi yang satu dan lainnya mempunyai ukuran dan bentuk yang berbeda. Papul
dan nodul mungkin muncul jelas dari kulit, bukan bergabung secara kasat mata menjadi
suatu infiltrat (Gambar 4.23-24). Lesi yang lebih besar, baik berupa makula atau plak, dengan
distribusi asimetris, atau lesi dengan bagian tengah punched out, mungkin menunjukkan
bahwa awalnya penyakit dimulai dari kutub tuberkuloid dan kemudian downgrade (Gambar
4.25-26). Alis mata tidak hilang keseluruhan.

34 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Invasi basil pada hidung dan laring tidak separah pada LL; tanda klinis berupa keratitis,
lepromata pada mata, atrofi testis, dan ginekomasti tidak muncul kecuali penyakit
downgrade.
Anestesi terjadi seperti pada LL, tetapi tidak simetris; saraf perifer besar menjadi
menebal lebih awal daripada LL dengan anestesia dan pareses yang asimetris. Kerusakan saraf
terjadi tidak secepat pada BB dan BT.

Lepra BL merepresentasikan puncak dari ‘rapid downhill progress’, kombinasi dari


instabilitas dan multiplikasi basil (Gambar 4.27). Penyakit pasien berada pada sisi ‘yang salah’
dari puncak ketidastabilan dan semua sering downgrade ke arah LL dengan berbagai
komplikasi penyertanya. Namun, tanda-tanda klinis khas dari fase borderline dini
kemungkinan dapat dikenali. Pengenalan pada tanda-tanda ini penting karena merupakan
indikasi bahwa pasien mempunyai potensi untuk imunitas selular, dan reaksi tipe 1,
prognosis dari pengobatan lebih baik daripada kasus LL yang tidak pernah menunjukkan ciri-
ciri borderline. Di Asia Tenggara, sekitar 80% pasien lepromatosa mempunyai tanda penyakit
borderline yang lama. Proprosi ini bahkan lebih tinggi di Afrika.
Downgrading mungkin disertai dengan inflamasi pada seluruh lesi, dimana pasien sering
mengeluhkan nyeri hebat walaupun kerusakan saraf tidak seserius seperti pasien BT.

Perluasan penyakit
Lepra dapat memburuk melalui dua cara:
1. Penyakit menyebar, tetapi tidak merubah ciri-ciri klinisnya atau posisinya dalam
spektrum. Hal ini terjadi secara konstan (invariable) dan kontinyu pada pasien LL yang
tidak diobati dan dapat terjadi berkali-kali pada titik lain dalam spektrum.
2. Hilangnya sistem imun selular menggeser posisi pasien dalam spektrum ke arah
kutub lepromatosa (downgrade), dengan perubahan yang sesuai pada gejala
penyakit. Hal ini terjadi pada tipe borderline. Downgrading mungkin pertama
menyebabkan pengurangan ciri-ciri aktivitas penyakit, seperti bengkak dan nyeri, dan
kondisi pasien mungkin memburuk sebelum diperhatikan.

Prognosis

PPDS DERVEN FK UNHAS 35


Translated Bryceson (2010)

Prognosis pada kasus lepra yang


tidak diobati bergantung
terutama pada posisi pasien
dalam spektrum (Gambar 4.28).
Pada kutub lepromatosa pasien
memburuk secara perlahan
(steadily). Penyebab kematian
telah dibahas di hal. 29 [38].
Pada kutub tuberkuloid terjadi
kesembuhan. Penyakit
borderline (BL, BB, BT) akan
memberikan prognosis satu dari
dua cara ini, tetapi kemana pun
arahnya, deformitas yang
ekstensif akibat kerusakan saraf
multipel akan terjadi.

Faktor-faktor penentu prognosis:


1. Pengobatan. Pengobatan meningkatkan prognosis melalui dua cara. (1) menghentikan
multiplikasi basil, sehingga mengurangi jumlah basil dan antigen dan mencegah
perluasan penyakit, (2) pada seluruh pasien kecuali mereka yang dimulai pada LL
murni, pengobatan menyebabkan pengembalian, atau peningkatan, imun selular yang
menggeser posisi pasien ke arah kutub tuberkuloid sehingga bertendensi sembuh
sendiri dan mengurangi resiko relaps. Tanpa sistem imun selular, relap akan terjadi
dengan penghentian pengobatan, karena dengan menggunakan obat yang tersedia
sekarang, tidak mungkin untuk membunuh satu basil yang terakhir.
2. Ras. Pertahanan tubuh alami berariasi. Pertahanan ini terbaik pada Negro, lebih
rendah pada ras Mongolia dan paling rendah pada Caucasian. Indian mempunyai
ketahanan yang lebih daripada Anglo Indians, Burmese, Chinese, dan Europeans.
Rendahnya pertahanan menyebabkan kecenderungan untuk mendapatkan penyakit
lepromatosa.
3. Usia. Lepra biasanya penyakit endemis. Lepra seringkali didapatkan ketika anak-anak
dan sembuh sendiri. Pada mereka yang tumbuh dewasa dengan tetap mendapat lepra,
mempunyai proporsi yang lebih besar dengan pertahanan yang jelek. Kejadian lepra
secara umum lebih tinggi pada dewasa daripada anak-anak, tetapi penyakit secara
implisit tidak memburuk pada dewasa.
4. Jenis kelamin. Hampir di seluruh dunia, lepra mengenai lebih pada laki-laki daripada
wanita, dengan rasio 2:1. Tetapi pada beberapa negara, terutama Afrika, rasionya
seimbang atau bahkan terbalik. Perbedaan pada rasio jenis kelamin, yang lebih jelas
pada dewasa daripada anak-anak, mungkin mencerminkan paparan terhadap infeksi
daripada kerentanan terhadap jenis penyakit. Namun, laki-laki dewasa, mempunyai
angka lepromatosa lebih daripada wanita dewasa dan berisiko untuk memperoleh
deformitas yang lebih hebat.

36 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

5. Kehamilan. Selama kehamilan terdapat peningkatan dalam darah kadar kortikosteroid,


estrogen, dan hormon thyroid dan penekanan sistem imun selular non-spesifik. Pada
kehamilan awal rasio sel normal T/B terbalik (lihat Bab 7 ). Perubahan ini dikaitkan
dengan pengurangan pertahanan, terutama terhadap infeksi intraselular yang mungkin
direaktivasi. Perubahan dibalik secara cepat saat kala nifas, dan pertahanan didapatkan
kembali. Kehamilan berisiko sebagai faktor presipitasi munculnya lepra untuk pertama
kali, dan relaps. Penyakit mungkin menjadi memburuk sebagai akibat dari
downgrading¸ bila tidak diobati, atau melalui adanya resistensi dapson, bila diberikan
monoterapi (lihat Bab 6). Reaksi tipe 2 sering didapatkan ketika trimerster pertama
dan selama laktasi, dan reaksi tipe 1 sering didapatkan pada kala nifas, dikaitkan
dengan upgrading. Reaksi-reaksi ini mungin menyebabkan kerusakan saraf mendadak
(lihat hal. 82 [118]). Pubertas, terutama perempuan, dikaitkan dengan hal serupa,
walau risikonya lebih rendah. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan lepra mempunyai
berat badan lahir dan plasenta yang rendah, berat badan bertambah perlahan setelah
pemberian ASI, dan rentan terhadap marasmus dan infeksi intercurrent.
6. Kecepatan progresifitas penyakit. Prognosis akan lebih buruk pada pasien dengan
penyakit yang progresif cepat daripada pasien dengan penyakit yang relatif inaktif
untuk jangka waktu lama.
7. Malnutrisi dan infeksi intercurrent. Walaupun telah diketahui bahwa malnutrisi pada
anak-anak muda mungkin mengurangi pertahanan terhadap beberapa infeksi, belum
diketahui hubungan antara malnutrisi dengan insiden atau jenis dari lepra. Pasien lepra
mungkin menjadi malnutrisi dan hal ini mungkin memperlama proses penyembuhan.
Infeksi intercurrent, seperti selulitis, osteomyelitis, dan tuberkulosis memperburuk
prognosis pasien melalui beberapa cara (lihat Bab 9).

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 37


Translated Bryceson

BAB 5: DIAGNOSIS
(Original Bryceson Hal. 57-75)

Diagnosis lepra biasanya ditegakkan dari pemeriksaan klinis yang ditunjang melalui slit skin
smears. Kadang-kadang pemeriksaan lain dibutuhkan.

Tanda kardinal lepra


1. Anestesia. Ini mungkin pada setiap lesi kulit atau dalam distribusi pada saraf perifer besar,
seperti halnya pada lepra tuberkuloid; atau ini mungkin pada area dengan keterlibatan
saraf yang halus pada lepra lepromatosa, diawali dari bagian ekstensor pada lengan bawah
dan tungkai, tangan, dan kaki.
2. Penebalan saraf, pada lokasi predileksi (lihat hal. 26 [29])
3. Lesi kulit. Tanda-tanda lesi yang esensial pada lepra tuberkuloid pada kulit gelap adalah
hipopigmentasi, apakah berupa makula atau infiltrat. Pada kulit putih, lesi berwarna
tembaga atau merah (Plate 1 & 5)
4. Didapatkan BTA pada slit skin smear pasien lepromatosa dan lesi borderline.

Minimal dua dari tiga tanda kardinal yang pertama atau yang keempat didapatkan untuk
menegakkan diagnosis lepra.

Bagaimana cara memeriksa lepra


1. Anamnesis. Hal ini sering tidak informatif, tetapi anamnesis mengenai mati rasa, nyeri
akibat terbakar atau terpotong, perkembangan evolusi lesi kulit, kesulitan berjalan atau
menggenggam, masalah mata, kontak keluarga dengan lepra, riwayat pengobatan
sebelumnya dengan dapson.
2. Pemeriksaan fisik: telanjangi pasien, pasien berdiri, cahaya cukup. Bila ragu, coba
merubah arah sumber cahaya, hal ini membantu memperlihatkan beberapa lesi, tetapi
cahaya yang terang pada kulit yang gelap mungkin membuat lesi sulit dilihat.
3. Amati kulit dari jauh kemudian mendekat, perhatikan:
a. Bercak (makula atau plak), sering hipopigmentasi. Lesi LL dini berwarna lebih
eritematosa daripada hipopigmentasi
b. Nodul
c. Infiltrat
d. Terbakar, skar, ulkus – terutama pada tangan dan kaki. Apakah terasa nyeri? Apakah
pasien mengetahui bagaimana cara terjadinya?
4. Palpasi pembesaran saraf dan nyeri tekan. Be gentle.
a. Saraf ulnaris. Berhadapan dengan pasien, letakkan jari kelingking pemeriksa pada
fosa olecranon dan rasakan pembesaran saraf di atas fosa menggunakan jari yang
lain. Rasakan penebalan, iregularitas, konstitensi, dan nyeri tekan dan perbandingan
sisi kanan & kiri. Gerakkan tangan ke bawah pada area ulna lengan bawah dan tangan
dan rasakan kekeringan kuit dan wasting dari otot hipotenar.

38 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

b. Saraf radialis cabang kutaneus. Susuri dengan jari-jari pada saraf ketika menyilang di
tepi lateral radius tepat proximal dari pergelangan tangan.
c. Saraf medianus. Pada bagian profundus dari superior dan inferior fosa antekubitus,
bagian medial dari arteri brakialis, dan profundus dari permukaan dan bagian anterior
pergelangan tangan di antara tendon palmaris dan flexor carpi radialis.
d. Saraf radialis. Susuri saraf pada fosanya di humerus posterior pada insertio
deltoideus.
e. Saraf poplitea lateralis. Berhadapan dengan pasien, letakkan jempol pemeriksa pada
batas atas dari patela dan dengan jari-jari di sekitar lipat lutut, raba saraf pada fosa
poplitea tepat di bagian medial dari tendon biceps femoralis. Saraf poplitea medial
mungkin juga teraba di sini. Ikuti perjalanan saraf poplitea lateralis dan susuri saraf
tersebut ketika mengelilingi leher dari fibula.
f. Saraf tibialis posterior. Saraf ini berada di samping dan profundus dari arteri tibialis
posterior kemudian melewati bagian posterior dan inferior dari maleolus medialis.
g. Saraf tibialis anterior. Saraf ini muncul dari bawah fleksor retinaculum lateral ke
tendon extensor hallucis longus dan ke arteri dorsalis pedis.
h. Saraf aurikularis magnus. Minta pasien untuk melihat ke samping, kemudian raba
saraf melewati (across) otot sternocleidomastoideus. Saraf ini sering tampak atau
terpalpasi pada orang yang kurus.
i. Saraf supraorbital. Dengan menggunakan jari telunjuk, jari digerakkan dari tengah ke
arah lateral. Pembesaran saraf teraba ketika saraf berjalan keluar dari cavum orbita.
j. Saraf kutaneus terkait dengan bercak. Pembesaran saraf mungkin proksimal dari
bercak atau profundus dari bercak, tetapi jarang berada di distal dari bercak.
5. Pemeriksaan anestesia. Gunakan ujung dari kapas, sentuhkan pada kulit normal untuk
menentukan tingkat sensitivitas normal. Sentuhkan pada titik sekali saja. Jangan digores.
Bandingkan sensasi antara kulit normal dan bercak. Kapas mungkin terlalu halus untuk
kulit yang menebal pada telapak tangan dan kaki, gunakan daun, kertas, atau ujung pensil.
Minta pasien untuk menunjukkan secara tepat (akurat) tempat pemeriksa menyentuh
dengan ujung jarinya. Ketika pasien dapat melakukan ini, minta pasien untuk menutup
mata dan melanjutkan. Ketidakmampuan untuk menentukan titik secara akurat disebut
"misreference". Ini adalah gejala paling dini dari hipestesia. Batas normal dari keakuratan
adalah 2 cm pada wajah dan 7 cm pada punggung dan bokong. Tes:
1. Berkaitan dengan bercak, lesi pada TT pada wajah mungkin tidak selalu hipoestesia
2. Berkaitan dengan pembesaran saraf dan saraf kranial kelima, termasuk kornea
3. Permukaan ekstensor pada tangan, lengan bawah, tungkai, kaki, dan bokong
4. Hampir seluruh tubuh
5. Tes hilangnya sensasi nyeri (pin prick) dan suhu (tes tabung mengandung air dingin
dan panas)
6. Tes tekanan ringan pada telapak kaki dan tangan, merupakan sensasi protektif,
dengan ball-point pen atau pensil.
6. Cari adanya komplikasi. Invasi lepra pada mata, hidung, laring, dan testis.
a. Reaksi: nyeri tekan saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis, orchitis, dactylitis,
tenosynovitis
b. Kerusakan saraf sensoris: terbakar, terpotong, ulkus, skar, kehilangan jari

PPDS DERVEN FK UNHAS 39


Translated Bryceson (2010)

c. Kerusakan saraf motorik: kelemahan, hilangnya masa dan tonus otot, paralisis,
kontraktur (lihat hal. 92 [134] untuk tanda tiap-tiap lesi saraf)
d. Kerusakan saraf otonom: gangguan berkeringat, pengurangan pertumbuhan rambut,
cyanosis perifer, poor capillary return
7. Pemeriksaan fisik generalisata yang lengkap
8. BTA. Buat, warnai, dan periksa slit skin smears (lihat pemeriksaan laboratorium di bawah)
9. Lakukan biopsi kulit bila diagnosis meragukan
10. Putuskan:
a. Apakah pasien mendapatkan lepra?
b. Jika ya, dimanakah posisi pasien dalam spektrum?
c. Apakah status aktivitasnya?
d. Apakah pasien sedang reaksi (lihat Bab 8)?
e. Apakah pemeriksaan saraf yang lebih canggih dan kuantitatif dilakukan (lihat hal. 94
[136])?
f. Apakah pengobatan yang diberikan dan untuk apa? Anti lepra, anti radang, untuk
komplikasi lepra, atau obat unmum untuk malnutrisi atau intercurrent illness?
g. Apakah dampak sosial terhadap keputusan ini?

Observasi klinis diringkas pada diagram tubuh (Gambar 5.1) dan pada catatan kecacatan
(Gambar 5.2).

Gambar 5.1. Pada kartu ini dicatat lokasi lesi kulit dan
pembesaran saraf, pola anestesia, dan hasil pemeriksaan slit
skin smears.
Gambar 5.2. Pencatatan kecacatan. Pengisian kartu secara
seksama pada pemeriksaan awal, pastikan bahwa disabilitas
pasien tercatat, dan pengobatannya tidak diremehkan. Ketika
pengobatan, kartu baru dibuat untuk menggambarkan
progresivitas.

40 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Diagnosis Laboratoris

Slit-skin smears
Hapusan dibuat dari lesi yang dicurigai dan juga dari lokasi lain yang sering dikenai pada lepra
lepromatosa, biasanya cuping telinga, dahi, dagu, lengan bawah bagian ekstensor, jari-jari
bagian dorsal, bokong, dan badan.
Kulit dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol atau eter. Untuk mengantisipasi
kemungkinan pasien HIV positif, WHO merekomendasikan penggunaan sarung tangan ketika
mengambil preparat hapusan. Lipatan kulit dipencet dengan jari telunjuk dan jempol, dipencet
erat untuk mencegah darah mengalir. Dibuat insisi kecil hingga lapisan dermis dengan pisau
skalpel steril yang tajam (Bard-Parker no.15). Pisau kemudian diputar 90 dan digunakan
untuk menggores (scrape) permukaan jaringan yang terpotong. Cairan yang didapatkan
dioleskan ke objek gelas dan didiamkan hingga mengering.
Hapusan yang terkontaminasi darah tidak dapat digunakan. Enam hingga delapan
hapusan dapat diletakkan secara tranversal pada slide yang sama.
Standarisasi dari slide
dilakukan dengan meletakkan
slide pada tempat khusus untuk
pengiriman pos (Gambar 5.3). Di
bawah dari tempat untuk slide
diletakkan kertas putih dimana
enam hingga delapan garis
paralalel digambar dan setiap
hapusan dibuat di atas garis ini
berurutan. Hal ini untuk membantu kecepatan pemeriksaan.
Hapusan hidung dibuat dari berbagai lokasi infiltrat di cavum nasi. Dengan bantuan
spekulum dan cahaya yang cukup pada hidung, lesi digores dengn ujung datar atau spatula
halus.
Selain pemeriksaan hapusan hidung, hapus ‘nose blow’ juga bernilai. Discar hidung atau
mukus didapatkan dengan meminta pasien bersin di atas selembar plastik polietilen dan
segera dibuat apusan dari mucus, berupa bloodstained bila memungkinkan, pada slide yang
terpisah. Pemeriksaan ini tidak banyak membantu untuk diagnostik, tetapi dengan
menghitung indeks morfologi dapat sebagai sarana untuk menentukan apakah pasien masih
infeksius atau tidak.
Slide kemudian dipanaskan di atas api untuk memfiksasi preparat, segera setelah kering
dan diwarnai dengan metode Ziehl-Neelsen’s. Basil lepra tidak sebanyak basil tuberkulosis.
Modifikasi metode untuk menghindari kebutuhan memanaskan slide adalah:
1. Tutup (cover) slide dengan pewarna carbol-fuchsin kuat/Tween 80 yang baru disaring
dingin dan diamkan selama 10 menit
2. Genangi preparat dengan air untuk membersihkan pewarna
3. Tutup (cover) slide dengan alkohol asam/metilen biru dan diamkan selama 3 menit
4. Bersihkan dengan baik di bawah air mengalir dan diamkan hingga kering

Cara menyiapkan reagen:

PPDS DERVEN FK UNHAS 41


Translated Bryceson (2010)

Strong carbol-fuchsin/Tween 80. 3,5g fuchsin dasar dilarutkan dalam 12,5g fenol
murni dengan dipanaskan secara perlahan. Dinginkan dan tambahkan 25cc alkohol 95% atau
spiritus. Tambahkan akuades hinga 300cc dan tambahkan 30 tetes Tween 80 atau Teepol –
deterjen lain mungkin bisa digunakan dengan hasil sama – dan aduk tanpa menimbulkan buih.
Alkohol asam/metilen biru. 1cc dari asam hidrochlorid terkonsentrasi ditambahkan ke
100cc alkohol 70% atau spiritus. Larutkan ini ke dalam 0,6g metilen biru.
Pewarna carbol-fuchsin yang umum didapatkan tidak mengandung deterjen. Penetrasi zat
warna ke basil dibantu melalui memanasi slide yang tercover carbol-fuchsin hingga 60 C
(hingga preparat beruap tetapi tidak mendidih) selama 5 menit sebelum dibilas, di-
decolourizing dan counter-staining. Metoda ini mungkin lebih meyakinkan untuk mewarnai
hapusan dengan indeks bakterial yang rendah. Hal ini juga bertendensi untuk memproduksi
indeks morfologis yang lebih tinggi.
Setelah diwarnai, preparat diperiksa di bawah mikroskop menggunakan minyak emersi
dalam pembesaran 100x. Basil akan tampak berwarna merah dengan latar belakang berwarna
biru. Keberadaan basil mengkonfirmasi diagnosis lepra. Densitas dari basi dicatat sebagai
indeks bakteriologis (IB):
6+ banyak kelompok atau lebih dari 1000 basil dalam lapangan pandang rata-rata
5+ 100-1000 basil dalam lapangan pandang rata-rata
4+ 10-100 basil dalam lapangan pandang rata-rata
3+ 1-10 basil dalam lapangan pandang rata-rata
2+ 1-10 basil dalam 10 lapangan pandang
1+ 1-10 basil dalam 100 lapangan pandang

Pada lepra lepromatosa yang lanjut didapatkan IB 5+ atau 6+, dan mulai menurun setelah
satu tahun pengobatan. Bila tidak diobati, cuping telinga pasien memberikan jumlah basil
yang terbanyak. Pada pasien yang diobati, permukaan dorsum jari-jari sering menjadi
tempat terakhir yang berubah menjadi negatif. Pada lepra BT, IB adalah 0 hingga 2+ (Gambar
4.9). Pemeriksaan slit-skin smears negatif pada lepra TT. Pemeriksaan slit skin smears dapat
mendeteksi keberadaan basil pada konsentrasi basil lebih dari 10 4 buah per gram jaringan
kulit, dan tidak bisa digunakan untuk pemeriksaan kesembuhan.
Indeks morfologi (IM) juga penting untuk diperiksa. IM adalah persentasi kuman terwarna
solid. Basil yang terwarna ireguler atau terurai atau terfragmentasi artinya mati (hal. 131
[192]). IM bermanfaat untuk melihat progresifitas setelah pengobatan dan berubah lebih
cepat daripada IM. Pada lepra lepromatosa, IM berkurang dari 5-20% menjadi 0% setelah
pengobatan dapson yang tidak putus selama 5-6 bulan, atau setelah sekitar lima minggu
dengan rifampisin. IM yang meningkat setelah turun menunjukkan bahwa (1) pasien tidak
meminum atau tidak meminum secara rutin obat-obatannya; atau (2) basil telah resisten.

Histologi
Biopsi kulit diperlukan apabila diagnosisnya meragukan, terutama dalam kasus lepra
indeterminate. Biopsi pada cabang saraf kutaneus mungkin mengkonfirmasi diagnosis dari
lepra neural yang tidak dijumpai lesi kulit. Biopsi kulit diperlukan untuk (1) klasifikasi akurat
dari lepra dan mungkin digunakan untuk (2) membedakan antara downgrading dan reversal
pada reaksi tipe 1 (lihat hal. 83 [120]) dan (3) antara relaps dan reaksi setelah penghentian
terapi pada lepra borderline (lihat hal. 62 [88]).

42 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Materi biopsi paling baik difiksasi menggunakan larutan fiksasi FMA (formaldehid 40%,
merkuri klorida 2g, asam asetat glasial 3cc, air ad 100 cc) selama dua jam dan kemudian
dipindahkan ke alkohol 70%. Cairan alternatif lain adalah 10% formol saline buffered to pH 7,0.
Potongan biasanya diwarnai menggunakan haematoxylin dan eosin untuk histologi, dan Fite-
Faraco untuk basil.

Serodiagnosis
Pemeriksaan serologis spesifik untuk lepra (lihat hal. 74 [107]) sekarang telah tersedia untuk
identifikasi:
1. Orang yang telah terinfeksi M. leprae. Kebanyakan dari mereka tidak berkembang
menjadi penyakit klinis.
2. Orang dengan lepra lepromatosa dini dan subklinis, yang mempunyai kadar antibodi
yang tinggi terhadap phenolic glycolipid I dan arabinomannan, dan dapat dideteksi
antigen dari M. leprae pada serum dan urin.
Tes-tes ini terbukti berguna untuk penyelidikan epidemiologi dan mungkin digunakan untuk
perencanaan kontrol, tetapi masih belum diaplikasikan untuk diagnosis klinis dan diagnosis
banding dari lepra.

Uji Kulit

Tes lepromin
(lihat hal. 78 [113] untuk definisi dan prosedur)
Tes ini tidak diagnostik untuk lepra: banyak orang yang belum pernah terpapar dengan infeksi
M. leprae (sebagai contohnya di Inggris) mempunyai reaksi Mitsuda yang positif. Tes ini
memberikan hasil positif dalam kasus TT dan BT dan mungkin bermanfaat untuk membantu
klasifikasi; tes ini negatif pada LL, BL, dan biasanya BB (Gambar 7.4). Tes yang positif dalam
kasus suspek lepra indeterminate menyingkirkan diagnosis lepra atau mengindikasikan
bahwa penyakit telah menjadi lepra tuberkuloid. Tes ini mungkin bermanfaat untuk menilai
arah dari pergeseran imunologis pada lepra borderline.

Tes histamin
Respon terhadap histamin yang berupa 'wheal and flare' adalah produk akhir dari refleks lokal
yang tergantung pada integritas dari serabut saraf simpatis. Pada bercak hipopigmentasi lesi
lepra, respon kulit terhadap histamin akan ditunda, berkurang, atau tidak ada.

Setetes dari asam histamin fosfat 0,001% diteteskan pada lesi yang dicurigai dan setetes pada
kulit normal. Kulit kemudian ditusuk (pricked) dengan jarum melewati tetesan tersebut dan
didiamkan selama 10 menit. Kemudian dievaluasi intensitas dan perluasan dari 'flare' yang
muncul. Pada orang berkulit gelap, pemeriksaan ini mungkin sulit untuk dibaca.

Uji Pilokarpin
Berkeringat bergantung pada integritas serabut saraf parasimpatis. Pada bercak
hipopigmentasi lesi lepra, respon kelenjar keringat terhadap obat kolinergik akan
berkurang.

PPDS DERVEN FK UNHAS 43


Translated Bryceson (2010)

Suntikkan pilokarpin 0,06% sebanyak 0,1cc secara intradermal pada bercak dan pada kulit
normal sebagai kontrol. Respon berkeringat dinilai secara visual, atau secara lebih akurat
melalui perubahan tepung quinizarin dari putih menjadi biru yang diperoleh pada daerah yang
diperiksa dengan menggunakan selotip transparan. Apabila quinizarin tidak tersedia, daerah
yang diperiksa dapat diwarnai dengan tinctura iodin dan dibiarkan mengering sebelum
disuntik pilokarpin dan kemudian taburi tepung karbohidrat; keringat akan merubah tepung
menjadi biru.

Uji histamin dan pilokarpin jarang diperlukan. Pemeriksaan yang lebih sederhana dan praktis
adalah dengan meminta pasien berolahraga di bawah matahari dan dilihat apakah pasien
berkeringat atau tidak.

Diagnosis Banding
Diagnosis lepra harus dibuat secara positif. Diagnosis tidak dibuat berdasarkan eksklusi
ataupun percobaan terapi (eksjuvantibus). Apabila diagnosis meragukan maka lesi mungkin
terlalu dini (lepra indeterminate) atau bukan suatu lepra. Seringkali lesi yang berupa makula
menimbulkan kebingungan, tetapi lepra pada segala stadium dapat menyerupai banyak
penyakit yang lain.

Kesalahan Lokal (Setempat)


Dokter hendaknya mengetahui praktek lokal yang mungkin meningkatkan kesulitan dalam
mendiagnosis lepra, agar dapat menghindar dari kesalahan konyol.
Tindakan lokal (setempat). Apakah kondisi sosial menyebabkan pasien menyembunyikan
lepra, sehingga kasusnya cenderung datang terlambat? Apakah pasien memeriksakan keluhan
lesi kulit minor apapun ke dokter, dan mengharapkan untuk mendapatkan dapson untuk efek
antimalarianya?
Batas normal dari warna kulit. Apakah batas dari warna dan tekstur kulit? Apakah warna
yang terlalu gelap untuk eritem dapat tampak? Banyak orang Afrika mempunyai garis batas
demarkasi yang jelas di antara kulit bagian dorsal dan ventral di sepanjang lengan atas dan
kadang-kadang paha. Hal ini dapat disalah sangka sebagai batas dari makula besar. Bayi ketika
iklim jelek seringkali mempunyai bercak pada pipinya.
Pekerjaan lokal (setempat). Pekerjaan terkait menggali, mencangkul, menanam, atau
membajak menghasilkan poli yang khas berupa kalus pada tangan. Hal ini hendaknya tidak
disalahartikan sebagai skar pada tangan anestesi. Pada gadis muda Iran yang menjahit karpet
di rumah mempunyai deformitas yang khas: jari ketiga dari tangan kanan, terkadang jari
keempat pada tangan kiri, mempunyai deformitas akibat tekanan yang kuat dari usaha
mengkait benang kuat-kuat. Ini bukan merupakan hasil dari lesi pada saraf ulnaris.
Praktek kesehatan lokal (setempat). Apa yang mereka lakukan pada lepra? Di sebagian
Afrika, lesi lepra dini dikauter dengan besi panas. Di sebagian Asia Tenggara, lesi lepra dibakar
menggunakan pasta campuran dari kapur, batu bara, dan alkohol. Setiap metode akan
memberikan skar yang khas. Bercak hipopigmentasi di sekitar skar, menandakan penyebaran
setelah pengobatan, hampir sepenuhnya diagnostik untuk lepra. Kauterisasi tidak pernah
menyembuhkan lepra karena basil sudah berada di saraf.

44 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Praktek kosmetik lokal


(setempat). Beberapa anggota
aliran animisme merusak anaknya
melalu berbagai cara sehingga
roh tidak cemburu terhadap
kecantikannya. Pencabutan alis
mata, amputasi falang terminal
pada jari kelingking, pengisian gigi
incisivus atas yang pada akhirnya
menyebabkan gigi terjatuh,
adalah contoh-contoh yang dalam
kondisi tertentu, salah dianggap
sebagai tanda-tanda lepra. Tato
kadang-kadang diikuti oleh halo
hipopigmentasi, atau bahkan plak
dengan gambaran histopatologis
sama dengan tuberkuloid. Menggambar tato juga dapat menyebarkan lepra (lihat hal. 140
[206]). Pembuatan skar untuk identitas (scarifications) pada beberapa suku pedalaman pada
tampilan sekilas dapat menyerupai lesi makula lepromatosa, dan nodul keloid kecil-kecil
lepromatosa yang padat.
Penyakit kulit lokal (setempat) yang umum. Dispigmentasi atau keratisis pada
onchocerciasis, hiperkeratosis palmaris pada infeksi frambusia yang menyebabkan kontraktur,
atau cacing. Ingat bahwa hipestesia dapat menyertai bermacam lesi hiperkeratotik dan bahwa
hipestesia pada bercak di wajah pada lepra lebih tidak sejelas pada lesi di badan.
Satu atau dua penyakit dapat muncul bersama-sama. Pasien dengan tinea versicolor,
onchocerciasis (Gambar 5.4) atau leishmaniasis kutis munkin mendapatkan lepra dan lesi di
kulit mungkin pertamakali membingungkan. Kadang-kadang lepra dapat muncul bersama
dengan penyakit kulit yang langka.

Lesi Makula
Bayi umumnya mempunyai pipi dengan bercak, terutama bila mereka terpapar sinar
matahari dan angin. Bercak tersebut mungkin dikarenakan nutrisi, dan tanda-tanda lain dari
malnutrisi protein dan vitamin harus dipikirkan. Beberapa mungkin dikarenakan jamur.
Tanda lahir sering didapatkan, tetapi tidak selalu muncul sejak lahir. Beberapa mungkin
menghilang perlahan selama bertahun-tahun, tetapi yang khas adalah mereka tidak berubah
bentuknya, sedangkan lepra yang tidak diobati berubah berkesinambungan. Tanda lahir sering
mempunyai bentuk yang iregular, kadang kala aneh dan mungkin mnunjukkan beberapa
derajat hipopigmentasi pada lesi yang sama. Batas biasanya tegas, tetapi tekstur dan karakter
dari kulit seringnya normal.
Vitiligo. Hilangnya pigmen total tidak pernah disebabkan oleh lepra. Tanda khas vitiligo
adalah makula depigmentasi dengan bermacam bentuk atau ukuran, bermacam distribusi,
dengan penyebab tidak diketahui. Hilangnya pigmen otal mungkin diikuti oleh lsi dari sifilis
endemik, frambusia, onchocerciasis, luka bakar, atau kontak dengan zat kimia tertentu.

PPDS DERVEN FK UNHAS 45


Translated Bryceson (2010)

Infeksi jamur seringkali


menyerupai lepra. Infeksi yang
paling sering adalah Tinea
versicolor (tinea flava, tinea furfura,
pityriasis versiolor) (Gambar 5.5).
Lesi biasanya berukuran kecil, lebih
kecil daripada makul pada
lepromatosa, dan berjumlah
banyak. Mereka mungkin sedikit
hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
atau eritem dan dilapisi oleh
skuama halus warna putih. Tiap-
tiap lesi terpisahkan dengan batas
yang tegas, tetapi mereka sering
bergabung menutupi area luas dari
kulit. Lesi paling sering terdapat pada badan bagian atas dan di sekitar leher, kemudian
menyebar ke pertengahan dada dan punggung, disebut “necklace” (kalung).
Dermatitis seboroik juga mempunyai permukaan powdery (seperti tepung) dalam bentuk
yang lebih ringan. Seringkali dimulai dari kulit kepala (ketombe), dan kemudian menyebar di
sekitar garis rambut, belakang telinga dan ke badan. Lesi tunggal pada pipi mungkin
menimbulkan kecurigaan lepra, tetapi pemeriksaan yang hati-hati pada alis dan batas rambut
sering menghasilkan perubahan yang
khas. Pityriasis alba ditandai dengan
makula hipopigmentasi berbentuk bulat
atau lonjong dengan skuama pada
wajah dan badan anak-anak, terutama
di Afrika, dan mungkin menyerupai
lepra. Lesi sembuh spontan dalam
beberapa bulan (Gambar 5.6).
Penyembuhan lesi inflamasi
dengan penyebab apapaun (terutama
infeksi jamur, eczema, impetigo, dan
pityriasis alba) sering dikelilingi oleh
halo hipopigmentasi yang kabur.
Anamnesis mungkin memberikan
informasi sumber asalnya.

Lesi plak dan cincin


Lesi menyerupai plak yang paling sering
pada lepra juga merupakan penyakit
dengan patogenesis berupa sistem imun
selular ataupun reaksi hipersensitivitas.
Patogenesis ini menentukan gambaran
klinisnya.

46 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Ringworm. Infeksi jamur ini sering didapatkan, tetapi tidak selalu, di daerah dimana kulit
hangat dan lembab dan jarang dikena pada lepra. Batas yang meninggi sering meradang dan
mungkin berupa vesikel atau krusta yang tidak pernah didapatkan pada lepra. Ringworm
biasanya gatal. Pemeriksaan mikroskopis pada kerokan kulit dengan KOH 10%, untuk
melarutkan keratin, memberikan gambaran hifae yang khas. Pengobatan dengan antifungi
topikal akan membersihkan lesi dengan cepat.
Granuloma multiforme (Gambar 5.7). Penyakit ini terutama di daerah tropis Afrika.
Terutama menyerang dewasa, dengan gambaran lesi sirsinar dengan ukuran bermacam-
macam, menyerupai lepra tuberkuloid. Kebanyakan lesi mempunyai bata infiltrat yang tegas,
tetapi tanpa hipopigmentasi. Terkadang ditemukan plak. Distribusi lesi terutama pada tubuh
bagian atas, wajah, badan, dan lengan. Tidak ditemukan gangguan sensasi atau berkeringat
pada lesi. Lesi mungkin tetap, berubah perlahan, atau sembuh spontan. Etiologi tidak
diketahui.

Sarcoidosis. Lesi tidak mungkin


dibedakan secara visual dengan lesi
lepra tuberkuloid, tetapi lesi
sarcoidosis tidak anestetik. Mungkin
didapatkan gejala sistemik, atau
eritema nodosum. Tes Kveim
positif.
Tuberkulosis kutis (lupus
vulgaris). Penyakit ini paling sering
mengenai wajah dan mempunyai
gambaran klinis yang bervariasi,
perbedaan dengan lepra
tuberkuloid adalah pada penyakit
ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan adanya skar yang dapat dilihat nodul merah atau
jingga. Lesi cenderung sembuh pada salah satu sisi dan menyebar ke yang lainnya, daripada
sembuh dari tengah seperti halnya lepra.
Lupus eritematosus. Lesi dini melewati hidung dan pada kedua pipi mungkin meninggi,
menyerupai plak tuberkuloid, sebelum terjadi atrofi dan skar; tetapi tidak seperti lepra,
terdapat follicular plugging.

Pada semua penyakit di atas, saraf perifer normal. Pemeriksaan histolongi mungkin tidak
informatis untuk , kecuali pada lupus eritematosus, karena memberikan gambaran granuloma
tuberkuloid. Keberadaan jaringan saraf yang normal di dalam granuloma menyingkirkan
diagnosis lepra.
Dermatosis yang sering lainnya. Liken simpleks mempunyai lesi berupa plak di leher
belakang dan lengan dan tungkai bagian ekstensor. Psoriasis jarang ditemukan di orang Afrika,
tetapi sering pada Kaukasian. Psoriasis mempunyai gambaran plak merah muda atau lesi
sirsinar ditutup skuama putih yang khas, bila dikerok akan didapatkan bintik-bintik
perdarahan. Lichen planus mempunyai beberapa gambaran: bentuk paling sering adalah plak
kecil multipel, dengan permukaan datarnya ditutup dengan celah halus. Didapatkan juga nodul

PPDS DERVEN FK UNHAS 47


Translated Bryceson (2010)

abu-abu besar atau makula hiperpigmentasi. Dalam penyakit-penyakit ini saraf perifer normal,
dan pemeriksaan histopatologis membedakannya dengan lepra.

Lesi nodul
Leishmaniasis kutis (Gambar 5.8). Di daerah savana Afrika selatan dari Sahara, Afrika
utara, dan Etiopia, India, Timur Tengah, Amerika Selatan dan Tengah, penyakit ini sering
didapatkan. Lesi mungkin tunggal atau multipel. Lesi paling sering didapatkan di wajah atau
lengan. Lesi berupa nodul yang setelah beberapa bulan pecah dan sembuh (oriental sore). Lesi
mungkin menyerupai lepra tuberkuloid bila didapatkan central healingyang diserai dengan
perluasan ke tepi yang timbul perlahan (lupoid atau recidivans leishmaniasis), atau lepra
lepromatosa jika lesi tidak bisa sembuh dan nodul baru muncul, terutama pada wajah yang
distribusinya seperti lepra. Keadaan terakhir ini (diffuse cutaneous leishmaniasis), yang sering
dilihat di Etiopia dan Amerika Selatan, mencerminkan gagalnya sistem imunitas selular, sama
dengan lepra lepromatosa. Slit-skin smears memberikan hasil BTA negaif, tetapi tidak
mengandung amastigotes Leishmani, yang bisa dilihat melalui pewarnaan Leishman’s. Di
beberapa negara, dimana didapatkan kala azar, terutama India dan Kenya, penemuan kulit
yang serupa kadang-kadang dijumpai setelah terapi (post kala azar dermal leishmaniasis).
Lain-lain. Nodul di wajah, yang ketika dilihat petamakali mungkin menyerupai lepra,
kadang-kadang juga ditemukan pada neurofibromatosis, moluskum kontagiosum,
blastomikosis, dan histoplasmosis. Kaposi’s sarkoma sering muncul di tangan dan kaki
(Gambar 5.9). Nodul sering terdapat profundus dan mudah berdarah jika terluka. Gambaran
ditribusi dan BTA yang negatif menyingkirkan diagnosis lepra.

Lesi saraf
Penebalan saraf. Untuk mempermudah prakteknya, di negara yang endemis lepra, lepra
mungkin dipertimbangkan sebagai satu-satunya penyebab penebalan saraf. Penyebab
penebalan saraf lainnya sangatlah jarang, seperti:
1. Peroneal muscular atrophy (Charcot-Marie-Tooth disease) yang mana bentuk paling
seringnya berupa neuropati perifer yang diturunkan dengan pola dominan autosomal.

48 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Kelemahan distal dan wasting mendominasi gambaran klinis, refleks tendon hilang
dan pes cavus sering didapatkan. Biopsi saraf memberikan gambaran khas.
2. Dejerine-Sottas disease adalah penyakit neuropati perifer campuran yang berkembang
perlahan, diturunkan secara dominan autosomal, dimulai sejak kecil. Kadar protein di
cairan serebrospinal meningkat. Biopsi saraf memberikan gambaran khas.
3. Refsum’s disease mirip dengan Dejerine-Sottas disease, tetapi dikaitkan dengan
abnormalitas fisik lainnya dan merupakan akumulasi dari phytanic acid di darah dan
jaringan.
4. Saraf mungkin menebal pada amyloidosis
Anestesia mungkin terjadi setelah kerusakan saraf akibat trauma, kompresi saraf lokal
atau penyebab lain dari neuritis perifer, dimana paraestesia atau nyeri biasanya juga
didapatkan. Neuritis perifer yang dikaitkan dengan memakan ketela (cassava) di Afrika Barat
sering disertai dengan tanda-anda ataksia dan atrofi optik. Syringiomyelia ditandai dengan
anestesia simetris terhadap nyeri dan suhu, tetapi tidak terhadap sentuhan (dissociated
anaesthesia). Sering didapatkan tanda-tanda LMN (lower motor neuron) pada lengan, dan
tanda-tanda UMN (upper motor neuron) pada tungkai bawah. Saraf tidak membesar.
Kontraktur. Dupuytren’s contracture awalnya mengenai jari keempat, deformitas flexi
kongenital pada jari kelima, sifilis tersier pada jari ke-3, 4, dan 5. Pola-pola ini dan tidak adanya
hilang rasa sensori menyingkirkan lesi saraf ulnaris atau medianus.
Ulkus plantaris mungkin timbul pada neuropati sensoris apapun. Mereka seringkali
didapatkan pada diabetes dan terutama pada inherited sensory neuropathy, yang onsetnya
terutama pada dekade kedua atau ketiga. Saraf-saraf tidak membesar pada penyakit ini. Fisura
pada kaki sering ditemukan pada iklim kering, dan umumnya nyeri; pada iklim basa, mereka
sering disebabkan oleh late yaws.

Lesi mata
Entropion dan trichiasis adalah lebih sering disebabkan oleh trachoma daripada lepra.
Iridosiklitis dan komplikasinya mempunyai banyak penyebab. Di daerah endemis, lepra
dan ochocerciasis adalah paling sering.
Jika ragu, tunggu, dan observasi. Jangan mengobati lepra kecuali diagnosisnya tegak.
Tidak ada yang lebih sulit diobat daripada leprofobia. Diagnosis yang salah mungkin
menyebabkan komplikasi sosial yang berat.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 49


Translated Bryceson

Gambar-gambar saraf tepi

50 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Saraf ulnaris

Saraf Medianus Saraf Radialis

PPDS DERVEN FK UNHAS 51


Translated Bryceson (2010)

Saraf Peroneus Comunis, Tibialis Posterior

Saraf Supraorbital

52 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

FIG. 6. Proposed model of infection of peripheral nerve by M. leprae via blood vessels. A cutaneous nerve with
three fascicles is represented here to illustrate the proposed steps in the pathogenesis of infection of peripheral
nerves by M. leprae. (A) Initially, colonization of the epineurium (e) occurs when bacilli (red) localize in cells in
and around blood vessels (blue). It is possible that this is enhanced by drainage of bacilli through the lymphatics
(green) that are intertwined with the blood vessels of the epineurium (lymphatics are here illustrated only at the
lower end of the drawing). The resulting accumulation of bacilli within and around endothelial cells greatly
increases the likelihood that bacilli will be available for circulation through the endoneurial vessels which branch
off the epineurial ones. (B) Entry of M. leprae into the endoneurial compartment proceeds along blood vessels
from foci on and within the perineurium (p), extending through it into the interior of the nerve. The mechanisms
responsible for entry into the interstitial space of the endoneurium remain to be determined. Once inside,
however, bacilli are available for phagocytosis by Schwann cells (SC), represented here with concentric layers of
myelin surrounding axons. Although these initial events in the localization and entry of M. leprae into peripheral
nerves are postulated to be unrelated to specific immune function, the subsequent pathogenesis of neuritis in
leprosy probably depends in large part on the patient’s immune response to M. leprae. (C) If no effective immune
respose develops. (Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Kranhenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The Continuing
Challenges of Leprosy. Clinical Microbiology Reviews, Vol. 19, No. 2. Apr. 2006, p. 338–38)

PPDS DERVEN FK UNHAS 53


Translated Bryceson

BAB 6: PENGOBATAN
(Original Bryceson Hal. 77-90)

Lepra dan komplikasinya menghasilkan bermacam kelainan, dan pengobatannya melibatkan


berbagai ahli di bidang kesehatan, mulai dari psikoterapi hingga bedah rekonstruktif. Bab ini
membahas hanya mengenai pengobatan medis dari infeksi tidak dengan komplikasi.
Pengobatan komplikasi dibahas pada Pengobatan Reaksi (Bab 9 ), Rehabilitasi Fisik (Bab 12),
Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Kerja (Bab 13 ), dan Mata (Bab 11). Hingga tahun 1941,
tidak ada obat anti lepra yang efektif, walaupun minyak Hydnocarpus yang banyak digunakan
di India dan Cina selama berabad-abad mempunyai makna.

Kini telah tersedia beberapa obat yang bagus. Konsentrasi inhibisi minimum yang diperlukan,
kadar plasma obat, dan kecepatan obat membunuh basil telah diketahui. Beberapa karakter
dari obat-obat yang sering digunakan ada pada Tabel 6.1. Apabila obat-obatan ini digunakan
dengan benar, dan pada penyakit stadium awal, prognosisnya sangat baik. Sejak diketahuinya
resistensi obat, dan perkembangan dari teknik kaki tikus untuk mempelajarinya (lihat hal.
131 [192]), banyak teori dan paradigma yang telah dipublikasikan untuk pendekatan terapi
dan kontrol lepra. Namun, dasar penggunaan kombinasi obat telah jelas, dan multidrug
therapy (MDT) sekarang diterapkan secara luas di lapangan. Hasil dari berbagai penelitian dan
pengalaman individu mungkin diharapkan dapat merubah bagaimana obat tersebut
digunakan.

Obat Konsentrasi Dosis Rasio Durasi hari Aktivitas Biaya


inhibisi minimal (mg)d konsentrasi dimana bakterisidal ($/tahun)
(KIM) ( g/ml) serum puncak konsentrasi
terhadap KIM serum puncak
melebihi KIMb
Dapson 0,003 100 500 4-12 Rendah 0,6
Rifampisin 0,3 600 30 1 Tinggi 9,00 (1xbln)
Clofaziminec ? 50 ? ? Rendah 13,50
Ethionamide 0,5 375 60 1 Sedang 60,00
Prothionamide 0,3 375 40 1 Sedang 60,00
Tabel 6.1. Karakteristik obat yang tersedia untuk lepra (WHO Study Group 1982). (a) rasio konsentrasi serum
puncak pada manusia setelah dosis tunggal terhadap KIM yang ditentukan pada tikus; (b) konsentrasi serum pada
manusia setelah dosis tunggal; (c) karena distribusi pada jaringan tidak rata, penentuan KIM tidak mungkin
dilakukan; (d) dosis pada dewasa ≥ 50 kg.

Obat yang tersedia

Sulfa
Sulfa adalah obat yang pertamakali digunakan untuk mengobati lepra pada tahun 1941, dan
masih menjadi obat yang paling berguna. Diaminodiphenyl sulphone (dapsone, DDS) adalah
obat yang pertama disintesai di Jerman di 1908, dan ditemukan bermanfaat untuk mengontrol
infeksi bakteri pada binatang percobaan, tetapi dosis yang ekuivalen ditemukan terlalu toksik
untuk manusia. Pada akhir 1930, derivat pengganti dapson, glucosulfone sodium (promine)
telah ditemukan mempunyai kerja antituberkulosis pada guinea pig. Untuk alasan ini, pada
tahun 1941, Guy Faget mencobakan ini ke pasien lepra di Carville, Louisiana melalui injeksi

54 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

intravena setiap hari dan ditemukan efektif. Kemudian Robert G. Cochrane menggunakan
dapson dalam suspensi minyak secara intramuskular sebagai depo dan berhasil. Pada tahun
1947, John Lowe di Nigeria mencoba bahan kimia induk secara oral, tetapi dalam dosis lebih
rendah, dan ditemukan mungkin untuk menghindari toksisitas yang ditemukan pada
penggunaan awal.
Dapsone telah terbukti murah, aman, dan efektif, dan cocok untuk obat rawat jalan,
tetapi sejak 1965, dua masalah utama telah muncul, yaitu: resistensi dapson dan microbial
persistence.

Farmakologi
Dapson adalah bakteriostatik tetapi cara kerja pastinya belum diketahui pasti. Dapson bekerja
sebagai inhibitor kompetitif terhadap asam para-aminobenzoik dan mengganggu kerja
metabolisme asam folat, tetapi sensitifitas yang unik dapson terhadap M. leprae
mencerminkan terdapat mekanisme lain yang mungkin terlibat.
Konsentrasi inhibisi minimal dari dapson pada tikus yang terinfeksi M. leprae adalah 0,003
g/ml. Dapson diekskresikan secara eksponensial dan waktu paruhnya pada manusia adalah
24 jam, dengan rentang perbedaan antar individu adalah 13-40 jam. Dosis tunggal 100 mg
pada manusia memberikan konsentrasi di dalam darah sekitar 1,5 g/ml, yang adalah
bakterisida lemah dan turun ke konsentrasi inhibisi minimal dalam 4-12 hari. Dosis dapson
sangat rendah (1-10 mg/hari) memberikan kadar bakteriostatik dalam darah di atas
konsentrasi inihibisi minimal tetapi memicu timbulnya resistensi dan seharusnya tidak dipakai.
Indeks morfologi basil dari hapusan pasien lepra lepromatosa yang diobati dengan
dapson turun menjadi 0 dalam waktu lima hingga delapan bulan.

Administrasi dan dosis


Sediaan dapson biasanya berupa tablet 100mg. Di beberapa negara lain tersedia ukuran yang
lain. Dapson diberikan dalam dosis tunggal harian per oral 50 mg atau 100 mg pada dewasa
dan 2mg/kg badan pada anak-anak. Apabila kepatuhan pasien diragukan, dapson dapat
diberikan secara intramuskuler 600 mg/minggu. Dapson biasanya diberikan secara kombinasi
dengan satu atau lebih obat antilepra lainnya (lihat hal. 59 [86]).
Bentuk endapan (repository compound), acedapsone (4,4-diasetil-diaminodifenil-sulfon,
DADDS), melepas dapson atau derivat dalam bentuk monoasetil secara perlahanm dan injeksi
225mg setiap 75 hari memberikan respon inisial yang memuaskan dan telah dicoba pada
program skala besar (lihat hal. 152 [224]). Penggunaan rutinnya tidak direkomendasikan
karena kadar plasma jauh lebih rendah (0,02-0,1 g/ml) dibandingkan dapson oral standar,
dan dapat memicu strain resisten dari M. leprae.

Efek samping
Efek samping jarang didapatkan apabila dapson digunakan dalam dosis harian yang
direkomendasikan. Efek-efek sampingnya dapat dipertimbangkan sebagai:
1. Dose dependent.
a. Psikosis akut. Jarang
b. Anemia. Hemolisis ringan sering ditemukan tetapi anemia berat jarang dan
biasanya terjadi dikaitkan dengan intercurrent infection dan defisiensi G6PD.
Apabila anemia berat timbul, harus digunakan obat lain selain dapson.

PPDS DERVEN FK UNHAS 55


Translated Bryceson

c. Hipoalbuminemia & neuropati yang sebabkan kelemahan otot. Pada pasien


yang mengkonsumsi dapson dosis sangat tinggi untuk penyakit kulit lain.
2. Idiosyncratic.
a. Rash alergi termasuk dermatitis eksfolativa yang dapat fatal. Onset biasanya 1-
2 bulan setelah memulai pengobatan dan mungkin disertai dengan demam dan
jaundice.
b. FDE, yang sering muncul sebagai makula hiperpigmentasi atau hitam.
c. Agranulositosis dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi dapson 25 mg/hari
sebagai obat profilaksis malaria tetapi ini sebagai tambahan obat yang lain.
3. Basil yang mati dan pelepasan antigen bakteri.
Obat antilepra yang efektif dapat memicu reaksi (lihat hal. 80 [115]) dan dapson
adalah obat yang paling sering menyebabkan reaksi karena dapson adalah obat yang
paling sering digunakan. Beberapa pasien, terutama pasien borderline pada tahapan
pengobatan dini dan pasien lepromatosa setelah beberapa bulan atau tahun,
tampaknya menjadi intoleransi terhadap dapson.
Dahulu, pengobatan pasien sering dimulai dengan dosis rendah karena takut
menimbulkan reaksi. Sekarang, telah ditunjukan jelas bahwa keparahan dan terjadinya
reaksi tipe 2 pada lepra lepromatosa tidak dipengaruhi oleh dosis dapson.

Resistensi
Dalam 25 tahun terakhir, resistensi terhadap dapson telah menjadi masalah yang meiningkat
di seluruh dunia. Sebagian besar resistensi adalah sekunder, muncul pada pasien multibasiler
sesudah 10-20 tahun pengobatan dengan dapson saja. Keterlambatan munculnya resistensi
dari 1945 sampai 1965 mungkin berkaitan dengan tingkat bakterisidal yang lemah yang
dihasilkan oleh dosis konvensional dapson. Resistensi utama (primer) mulai muncul di akhir
1970-an dan lebih jarang ditemukan. Ini terkait dengan infeksi oleh M. leprae dengan jenis
resisten dapson dan mungkin terjadi pada pasien lepra jenis apa pun. Tingkat resistensi
mungkin rendah, menengah, atau tinggi; seperti halnya yang diukur melalui dosis dapson yang
dibutuhkan untuk menghambat replikasi pada telapak kaki tikus (lihat hal. 131 [192]).
Tingkat prevalensi dari resistensi sekunder dapson pada pasien MB yang diobati lebih dari
5 tahun sangatlah bervariasi, tetapi mendekati 100% di Etiopia, Shanghai, dan beberapa
bagian di India. Sebagian besar resistensi ini mempunyai derajat tinggi. Insiden resistensi
sekunder berkisar dari 0,1% di Malaysia sampai 3% di Eitopia dan Mali. Resistensi primer
dapson biasanya rendah atau menengah dan tingkat prevalensinya berkisar mulai dari 3%
pada pasien-pasien baru di Filipina sampai ke lebih dari 50% di Cina, Etiopia, dan Nepal.
Sebagian besar pasien diperkirakan akan merespon secara klinis terhadap dapson yang
diberikan dalam dosis penuh. Tingkat resistensi derajat tinggi adalah di bawah sepersepuluh
dari gambaran ini. Hal ini berarti dapson masih merupakan obat yang berguna dalam regimen
MDT.
Resistensi sekunder dapson mungkin dicurigai ketika pasien dengan LL atau BL, yang
telah mendapatkan monoterapi dapson selama bertahun-tahun, muncul lesi aktif baru. Pada
kulit, lesi tersebut mungkin memiliki ciri yang berbeda dari lesi infeksi semula. Lesi tersebut
mungkin berupa nodul keras yang terisolasi (kusta histoid), yang sukar sembuh dengan obat
baru, atau mungkin meningkat de novo sebagai nodul besar yang berair pada area terbatas
dari kulit seperti satu lengan, atau punggung. Kadang-ladang lesi itu tersebar luas di seluruh

56 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

tubuh. Wajah biasanya mempunyai tampilan berkerut dari penyakit inaktif, dan hapusan dari
telinga memiliki IB dan IM rendah, sedangkan pada lesi baru IB 5+ sampai 6+ dan IM 50%. Basil
pada lesi baru ini seringkali seragam tampilannya. Resistensi mungkin juga dicurigai jika
pasien yang sudah lama diobati, dengan penyakit tenang, tanpa diduga mendadak
mendapatkan reaksi tipe 2.
Resistensi dapat dikonfirmasi secara klinis atau eksperimen. Pasien diberi dapson dosis
penuh secara teratur an disupervisi selama enam bulan. Jika, di akhir waktu ini, IM tidak
turun ke nol, resistensi dapat ditegakkan. Dimana ada fasilitas laboratorium, basil harus diuji
kepekaannya terhadap dapson di dalam telapak kaki tikus (lihat hal. 133 [195]).

Persistensi
Terpisah dari masalah resistensi adalah pengamatan yang mencurigai bahwa M. leprae, yang
sepenuhnya peka terhadap dapson, dapat diisolasi dari saraf-saraf, otot halus, dan otot lurik
kira-kira pada 50% pasien lepromatosa (BL, LL) yang sudah mendapatkan dapson lebih dari 10
tahun, dan yang menunjukkan tidak adanya penyakit aktif. Basil ini mampu berkembang-biak
segera setelah terapi dihentikan dan menyebabkan relaps secara klinis. Dalil bahwa persisters
dikarenakan basil yang dorman dan kemudian lepas (bebas) dari aksi obat. Sayangnya tidak
ada obat atau kombinasi obat yang telah ditemukan yang dapat mengeliminasi persisters.

Rifampisin
Rifampisin (Rifadin) adalah obat anti-lepra yang paling efektif dan menurunkan IM pada
lepra lepromatosa sampai nol dalam waktu sekitar lia minggu. Diberikan secara oral dengan
dosis 600 mg sekali sehari, atau 450 mg untuk pasien yang beratnya di bawah 35 kg.
Walaupun bakteri terbunuh dengan cepat, tingkat turunnya IB, kecepatan perbaikan klinis dan
insiden reaksi tipe 2 pada pasien lepromatosa adalah sama dengan dapson. Rifampisin
mempunyai dua kelemahan, mahal dan dapat menghasilkan sindroma toksik. Toksisitasnya
bergantung pada dosis (gagal ginjal dan hepatitis cenderung sering terjadi dengan dosis besar)
dan pada interval antar dosis (demam, anemia hemolitik, dan trombositopenia cenderung
sering terjadi apabila obat diberikan dengan interval mingguan). Tidak ada efek toksik yang
dilaporan dengan pemberian bulanan.
Sudah diperlihatkan bahwa pemberian harian 600 mg rifampisin ternyata tidak lebih
efektif dari pemberian bulanan 600 mg selama dua hari berurutan. Karena biayanya dan risiko
toksisitasnya, pengobatan dengan rifampisin harus disupervisi sepenuhnya.
Rifampisin belum terbukti sebagai penyembuh cepat bagi penderita lepra. Persisters
masih dapat ditemukan di lokasi yang sukai pada tubuh pasien lepra lepromatosa yang sudah
diobati dengan rifampisin setiap hari selama 5 tahun. Tetapi rifampisin dapat membantu
pasien lepra lepromatosa menjadi non-infeksius dalam 2 hari, obat ini terdapat dalam regimen
MDT (lihat hal. 59 [86]). Resistensi rifamppisin sejauh ini lebih jarang ditemukan, tetapi
rifampisin tidak boleh diresepkan sendirian. Rifampisin tidak direkomendasikan untuk
trimester pertama kehamilan.

PPDS DERVEN FK UNHAS 57


Translated Bryceson (2010)

Antibiotik-antibiotik aminoglikosida
Streptomisin bersifat bakteriostatik terhadap M. leprae. Di masa lampau, streptomisin
ditemukan efektif terhadap ulserasi lepromatosa di wajah dan septum nasal, tetapi sekarang
lebih sering digunakan rifampisin. Streptomisin adalah obat lini kedua yang berguna, yang
diberikan dengan dosis dewasa 1 gram setiap hari, atau 20mg/kg berat badan untuk anak-
anak, dengan injeksi intramusuklar. Apabila digunakan tunggal, resistensi berkembang dengan
cepat. Pada tikus, streptomisin memberikan efek tambahan atau sinergis ketika diberikan
bersama rifampisin.
Kanamisin efektif terhadap M. leprae pada tikus, tetapi belum digunakan pada manusia.

Klofazimin
Substitusi dari iminiphenazine dye (Lamprene-Ciba Geigy; B-663) ini adalah unik dalam lepra,
karena klofazimine memiliki aksi yang sama dengan dapson dan juga suatu efek anti-inflamasi
yang berguna dalam ekadaan reaksi. Klofazimin adalah zat crystalline merah yang
disuspensikan dalam suatu oil/wax base dan dipasarkan dalam kapsul gelatin 50 dan 100 mg.
Obat ini diserap dengan sangat baik setelah makan dan didistribusikan secara tidak merata
dalam jaringan, konsentrasi tinggi ada di mukosa intestinal, limfonoduli, dan jaringan lemak.
Waktu paruh dalam serum sekitar 10 hari, tetapi waktu paruh dalam jaringan dapat mencapai
70 hari. Keadaan stabil dicapai setelah sekitar enam minggu. Oleh karena distribusinya yang
tidak rata, MIC tidak dapat dikalkulasi. Resistensi terhadap klofazimin sangat jarang: obat ini
telah digunakan tunggal selama beberapa tahun untuk merawat pasien yang resisten terhadap
dapson. Mekanisme kerja tidak diketahui, tetapi kemungkinan menganggu DNA mikobakteria.
Dosis dewasa untuk pengobatan infeksi lepra (berlawanan dengan dosis untuk reaksi)
adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg tiga kali seminggu, dan untuk anak 1 mg/kg/hari. Pada
skema kontrol, dosis bulanan dapat juga diberikan (lihat hal. 58 [87]). Dalam dosis ini
klofazimin menurunkan frekuensi reaksi tipe 1 dan tipe 2 hampir 30%. Bila diberikan untuk
menangani reaksi, dosis yang lebih tinggi diberikan (lihat hal. 89 [130]).
Kekurangan klofazimin adalah biaya, efek samping hiperpigmentasi, dan gejala abdomen.
Pada awalnya kulit menjadi merah, kemudian coklat dan berangsur-angsur biru kehitaman.
Pigmentasi ini beragam tergantung warna kulit dasarnya, dan pigmen lepra letaknya lebih
dalam dari kulit normal. Konjungtiva menjad imerah, kencing, sputum, dan keringat menjadi
merah-jambu (pink). Lemak berwarna oranye, dan organ berwarna merah bata. Pada pasien
dengan warna kulit semakin terang, semakin menolak efek pigmentasi yang terjadi. Namun,
pada orang Kaukasia, jika mereka mendapatkan suatu reaksi, mereka lebih memilih warna
daripada penderitaan. Pada pasien dengan warna kulit gelap, efek pigmentasi ini dapat
diterimanya. Kulit gatal, kering, dan pecah-pecah sering terjadi tetapi bukan masalah. Kristal
dari klofazimin dideposit dalam mukosa usus halus dan pada limfonoduli mesenterik. Nausea
dan diaera seringkali dapat dikontrol dengan memberikan obat bersama-sama makanan. Dosis
tinggi kolfazimin dapat menimbulkan nyeri abdomen yang berat. Basil yang dicurigai persisten
telah ditemukan pada pasien lepromatosa yang diobati 6 tahun dengan klofazimin.
Klofazimin direkomendasikan sebagai bagian dari pengobatan lepra multibasilar.
Klofazimin dapat digunakan untuk pengobatan lepra yang resisten terhadap dapson. Juga
bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan (lihat hal. 120 [176]), atau yang
mendapatkan reaksi yang melibatkan mata.

58 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Ethionamide dan prothionamide


Keduanya ini sebenarnya dapat saling menggantikan (lihat Tabel 5.1), dan menunjukkan
resistensi silang satu dan lainnya. Kedua thioamides ini adalah bakterisida yang efektif dalam
dosis 5-10 mg/kg/hari. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa kegiatan bakterisidal dari
obat-obat ini akan berkompromi kalau tidak diberikan setiap hari. Obat-obat ini lebih mahal
dan lebih bersifat toksis dibandingkan dapson. Karena sifatnya yang hepatotoksik kuat,
pemeriksaan kadar transaminase serum harus dilakukan sebelum dan setiap 2-4 minggu
selama terapi. Pada dosis 10 mg/kg/hari tingkat toksisitas cukup tidak dapat diterima. Pada
tingkat yang lebih rendah yaitu 5 mg/kg/hari, toksisitasnya turun menjadi 10-20%. Walupun
demikian, ada satu proporsi pasien terkena penyakit kuning, khususnya di Cina dan negara lain
di Asia. Hepatotoksisitas sepertinya lebih merupakan masalah ketika obat diberikan bersama
dengan rifampisin. Terkait dengan toksisitas obat ini, obat-obat hioamides adalah pilihan
terakhi dari obat-obat bakterisidal untuk penggunaan oral.

Campuran Thiourea
Thiacetazone
Thiacetazone (thiosemicarbazone, p-acetaminobenzaldehyde) adalah satu-satunya sediaan
yang masih tersedia. Obat ini murah dan mungkin berguna sebagai obat lini kedua. Obat ini
diberikan secara oral dengan dosis 150 mg/hari. Basil lepra resisten terhadap obat ini dengan
cepat dan kemudian menjadi resisten silang dengan ethionamide.

Regimen pengobatan Multidrug Therapy (MDT)


Di tahun 1982, mengikuti pertimbangan-pertimbangan dari sebuah kelompok studi, WHO
menetapkan rekomendasi khusus
untuk pengobatan lepra dengan
menggunakan lebih dari satu
obat.

Alasan dan prinsip MDT


Berdasarkan pengalaman dalam
pengobatan tuberkulosis sudah
menunjukkan bahwa masalah
resistensi obat dapat diatasi
dengan menggunakan kombinasi
minimal dua obat yang efektif.
Kedua obat tersebut membunuh
atau mencegah multiplikasi
organisme-organimse yang peka,
dan masing-masingnya
mencegah pertumubhan
korganisme yang resisten satu
sama lainnya. Pada populasi M.
leprae, satu organisme dalam

PPDS DERVEN FK UNHAS 59


Translated Bryceson (2010)

106 akan menunjukkan resistensi derajat rendah terhadap dapson, 1:109 resistensi derajat
tinggi terhadap dapson, dan 1:107 resisten terhadap rifampisin. Dosis rendah atau
pengobatan tidak teratur dalam monoterapi meningkatkan pertumbuhan mutan-mutan ini.
Pasien lepra pausibasiler mempunyai kurang dari 106 M. leprae yang hidup dan
mempunyai respon imun selular yang baik; penggunaan dua obat harus cukup untuk
mencegah munculnya resistensi. Pasien lepra multibasilear mempunyai 109-10 M. leprae yang
hidup, dari total 1011 organisme, dan tidak mempunyai respon imun selular. Mutan yang
resisten tehradap dua obat akan ada; maka tiga obat mungkin diperlukan untuk mencegah
munculnya resistensi (Gambar 6.1).
Satu atau dua dosis rifampisin membunuh 105 organisme, mengurangi jumlah M. leprae
yang hidup sampai 104 pada penyakit MB, dan mengeliminasi sebagian besar atau semua
mutan yang resisten terhadap dapson dan klofazimin. Ini meninggalkan 104 organisme yang
peka terhadap rifampisin, yang terlalu sedikit unutk meningkatkan jumlah mutan yang
resisten, dan 102 organisme yang resisten terhadap rifampisin, yang akan dibunuh selama
enam bulan pengobatan dengan dapson dan klofazimin. Sejumlah organisme akan bertahan
hidup sebagai persisters, dalam teori, selama 7 tahun. Pengobatan dua tahun menyebabkan
angka relap di bawah 1% dan dengan organisme yang peka terhadap obat.
Rifampisin, yang bersifat bakterisidal, dapat diberikan secara bulanan, yakni sekali setiap
dua kali pembelahan M. leprae. Dapson, yang bersifat bakteriostatik dan dengan waktu paruh
hidup yang pendek, harus diberikan setiap hari. Klofazimin mempunyai efek deposit, tetapi
dosis bulanan tidak mencukupi; namun, suatu suplemen bulanan untuk dosis harian atau
sekali dua hari akan memberikan keadaan yang cukup jika kepatuhan pasien buruk.
Regimen yang direkomendasikan untuk MDT adalah kompromi antara teroi yang ideal dan
tujuan yang dapat dicapai dalam kondisi lapangan di negeri-negeri miskin.

Regimen MDT
Lepra PB. Untuk tujuan MDT, ini mencakup pasien lepra tipe indeterminate, TT, dan BT;
dengan beberapa pengecualian yang dirawat sebagai pasien MB. Pasien dewasa harus
mendapatkan:
Rifampisin 600mg sekali sebulan (disupervisi); dan
Dapson 100mg sekali sehari (tidak disupervisi)
Pengobatan diberikan selama enam bulan

Lepra MB. Untuk tujuan MDT, ini mencakup:


1. Pasien lepra tipe BB, BL, dan LL
2. Pasien dengan luka kulit lebih dari 15 atau melibatkan saraf yang tersebar tanpa
menghiraukan klasifikasi: pasien ini mungkin menunjukkan episode basilaemia
3. Jika histologi tidak tesedia, pasien yang slit skin smears-nya menunjukkan BTA apa saja
(adalah mudah untuk membuat kesalahan klasifikasi pasien borderline berdasarkan hasil
slit-skin smears)
4. Pasien MB relap tidak peduli apapun perubahan dalam klasifikasi

60 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Pasien dewasa harus mendapatkan:


Rifampisin 600mg sekali sebulan (disupervisi); dan
Dapson 100mg sekali sehari (tidak disupervisi); dan
Klofazimin 50mg setiap hari (disupervisi); dan
Klofazimin 300mg setiap bulan, disupervisi

Pengobatan diberikan selama dua tahun, atau 24 bulan dalam satu periode 36 bulan, atau
sampai hapusannya negatif, tetapi tidak pernah kurang dari 24 bulan. Thioamides digunakan
jika terjadi intoleransi obat atau jika klofazimin ditolak dengan alasan kosmetik.
Regimen ini sekarang diterima luas, walaupun variasi lokal dapat ditemukan; contohnya
ada yang lebih suka memberikan rifampisin dua hari pertama setiap bulannya. Ada yang
menghiraukan istilah 'sampai hapusannya negatif' dan mengobati setiap pasien dengan
penyakit MB selama 24 bulan, tanpa kecuali. Ada yang mengobati penyakit PB selama 12
bulan.

Pemantauan setelah pengobatan


Apabila kemoterapi sudah diselesaikan, pasien dengan penyakit PB diperiksa sekali enam
bulan selama dua tahun dan pasien dengan penyakit MB paling kurang selama lima tahun.
Pasien ditanya dan diperiksa mengenai aktivitas dan reaksi, dan slit-skin smears dilakukan
pada pasien MB.

Manfaat MDT
Bila diterapkan dengan tepat, MDT dapat:
1. Mencegah resistensi terhadap obat
2. Mengobati infeksi resistensi terhadap dapson sebelum hal itu muncul
3. Mengeliminasi keperluan menentukan kepekaan dari M. leprae sebelu memulai
pengobatan
4. Merubah konsep pengobatan dari pengobatan berkepanjangan yang hana menahan
penakit, menjadi suatu pengobatan jangka pendek yang menyembuhkan penyakit.
Dengan mendorong moral ini
5. Meningkatkan kepatuhan - pada pola ini dari 50% menjadi 95%
6. Mencegah deformitas secara lebih efisien
7. Mengurangi beban kasus separuh setiap tahun
8. Merubah pasien menjadi non-infeksius lebih cepat
9. Menurunkan biaya jangka panjang dari program pengontrolan

Masalah-masalah MDT
1. Definisi kasus. Klinis dan slit-skin smears dapat menyebabkan salah klasifikasi dari suatu
proporsi kasus MB sebagai PB dan akibatnya terjadi under-treatment dan follow-up yang
tidak cukup, khususnya pada pasien lepra tipe BT yang menyebar luas yang dalam
biopsinya mungkin menunjukkan lebih banyak BTA pada saraf dibandingkan pada kulit.
Teknik slit-skin smears tidak dipraktekkan atau diartikan secara seragam. Ini menyulitkan
untuk membandingkan hasil-hasil penelitian dari tempat-tempat yang berbeda.
2. Aktivitas penyakit. Pada akhir dari enam bulan, tanda-tanda klinis pada banyak pasien
dengan lepra PB tidak akan berubah, meskipun basil sudah mati. Dokter maupun pasien

PPDS DERVEN FK UNHAS 61


Translated Bryceson

mungkin tidak senang untuk menghentikan kemoterapi. Ini adalah masalah serius di
India, dimana sampai 30% pasien PB tetap aktif secara klinis. Pengobatan mungkin
dilanjutkan enam bulan lagi, walaupun manfaatnya belum terbukti; tingkat
penyembuhan klinis yang 80% pada akhir perawatan pada lepra PB berubah menjadi di
atas 95% dalam 3-4 tahun.
3. Reaksi atau relaps? Reaksi reversal mungkin muncul sampai tiga tahun setelah dimulai
pengobatan pada pasien PB, dan bertahun-tahun lebih lama bagi pasien lepra tipe BL
atau subpolar. Lesi saraf baru mungkin muncul, dan pada pasien BL yang upgrade lesi
kulit baru dapat terjadi. Membedakan antara relaps dan reaksi mungkin sukar, bahkan
dengan bantuan histologi. Jika kemoterapi baru saja diselesaikan, pengobatan untuk
reaksi saja yang diberikan. Jika reaksi tidak mereda dengan cepat atau jika pengobatan
sudah dihentikan setahun yang lampau, atau slit-skin smears menunjukkan basil solid,
kemoterapi juga dilanjutkan.
4. Relaps. Sekitar 2-3% pasien PB diperkirakan mungkin relaps setelah 6 bulan MDT. Dalam
satu studi di India, perawatan 12 bulan dengan rifampisin dan dapson menurunkan
tingkat relaps sampai nol. Relaps terjadi dalam dua tahun pertama setelah perawatan
berhenti, dan yang paling umum pada pasien lepromin negatif (yang mungkin telah salah
klasifikasi), pada pasien dengan banyak lesi, dan pada wanita-wanita muda. Tingkat relap
dari penyakit MB setelah MDT tidak kelihatan lebih tinggi, yang mana memberi
semangat karena separuh dari relaps diperikrakan terjadi dalam tiga tahun pertama
setelah pengobatan berhenti. Pengalaman dengan monoterapi dapson menunjukkan
tingkat kumulatif relaps 9% selama 20 tahun, sehingga tingkat relaps dengan MDT yang
sebenarnya belum diketahui. Kapan saja memungkinkan, kepekaan obat dari organisme
relaps harus ditentukan pada kaki tikus.
5. Persiters. MDT tidak mengeliminasi persisters. Setelah dua tahun jumlahnya sudah
dikalkulasi sekitar 104 pada soerang pasien lepromatosa. Relaps yang terkait dengan
multiplikasi persisters seharusnya bersifat sensitif terhadap obat.
6. Aspek operasional dari MDT dipertimbangkan dalam Bab 16.

Imunoterapi
Upaya untuk mengembalikan sistem imun dari lepra lepromatosa masih dalam tahap
percobaan. Injeksi loka dari heat-killed M. leprae dengan BCG dapat menimbulkan suatu reaksi
yang dimediasi selular lokal yang membersihkan basil dari daerah tersebut. Injeksi berulang,
yang dapat menyebabkan ulkus yang nyeri, mungkin menginduksi suatu reaksi reversal dan
memicu reaksi. Hasil yang serupa telah dibuktikan untuk mycobacteria lain, yang digunakan
dengan cara yang sama. Hingga kini, metode ini belum dilakukan dalam pengobatan. Sejumlah
peneliti telah membuktikan berhasil mengembalikan kerusakan imunitas in vitro, dengan
penambahan interleukin 2, atau mediator-mediator lain (lihat hal. 71 [103]) ke kultur-kultur
sel limfosit, tetapi tidak ada persetujuan umum mengenai hasil-hasil ini dan hasil-hasil ini tidak
dapat diterapkan pada pasien.

62 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Manajemen pasien

Program rawat jalan


Sebagian besar pasien lepra ditangani di klinik rawat jalan. Dimana staf ahli sedikit dan
supervisi buruk, standar pelayanan mungkin jauh dari ideal, tetapi klinik rawat jalan saja dapat
menurunkan insiden deformitas dalam jumlah besar dan ini ang harus menjadi salah satu
tujuan. Salah satu faktor yang membatasi efikasi klinik rawat jalan adalah pengobatan yang
mungkin memicu suatu reaksi dan akibatnya menyebabkan anestesi dan paralisis.
Jika nyeri atau nyeri tekan berkembang dalam saraf, petugas lepra harus segera
merujuk pasien ke rumah sakit, atau bila itu tidak mungkin, dia harus membalut dan
mengistirahatkan anggota gerak dan mengobati dengan obat anti-inflamasi yang ada,
termasuk steroid. Kemoterapi tetap dilanjutkan.
Perlu ditekankan kepada semua pekerja paramedis, dan kepada mereka yang
mensupervisi program rawat jalan, bahwa anestesi, paralisis dan disabilits lainyna yang
diakibatkan oleh neuritis akut bukanlah konsekuensi lepra yang tidak dapat dihindari, dan
perujukan ke rumah sakit lepra mendesak kapanpun hal tersebut membahayakan. Pasien
harus diperiksa secara teratur untuk bukti disfungsi saraf yang progresif atau nyeri tekan.
Suatu bagian yang penting dari program lepra apa saja aalah pendidikan pasien
mengenai dosis obat-obat dan durasi pengobatan, penyimpanan obat mereka sendiri,
pengenalan reaksi, dan pencegahan luka dan kecacatan. Ini adalah usaha tambahan bagi staf
tetapi bermanfaat sebagai investasi yang tidak ternilai jika dilakukan dengan antusias dan
dengan pendekatan yang dapat diterima pasien.

Di rumah sakit
Banyak pasien akan mendapatkan manfaat dari rawat inap jangka pendek di rumah sakit pada
permulaan perawatan. Ada sejumlah alasan untuk ini:
1. Pasien dapat diperiksa secara cukup oleh dokter yang mungkin tidak mempunyai waktu
mengunjungi klinik rawat jalan cukup sering
2. Jenis perawatan yang paling cocok dapat segera dimulai
3. Terbentuk rutinitas pengobatan reguler
4. Kondisi reaksi dapat didiagnosis dan dikendalikan
5. Kecacatan dini dapat dideteksi dan diobati
6. Intercurrent illness dapat diobati
7. Pasien diajari cara proteksi kaki dan tangan anestesi
8. Pasien dapat belajar dari mereka yang telah memperoleh manfaat dari edukasi dan
mengenali anestesi mereka
9. Pasien mempunyai kesempatan untuk menjadi terbiasa dengan rumah sakit jika
diperlukan perawatan di masa mendatang

Setiap usaha hendaknya dibuat untuk membantu pasien yang mempunyai masalah sosial,
psikologis, atau pekerjaan. Pasien daiajari bahwa dengan kontrol dan perawatan yang teratur,
dia tidak perlu menjadi cacat atau deformitas.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 63


Translated Bryceson

BAB 7: IMUNOLOGI
(Original Bryceson Hal. 93-114)

Respon tubuh terhadap mikroorganisme penyerang melibatkan mekanisme pertahanan


spesifik dan non-spesifik. Mekanisme non-spesifik berupa pertahanan yang berasal dari kulit
dan mukosa, sekresi sebum dan mukosa yang bersifat antiseptik, asam lambung, produksi
acute phase proteins, aktivasi komplemen jalur alternatif, antibodi natural, demam, dan
fagositosis dan pencernaan oleh leukosit polimorfonuklear serta makrofag. Mekanisme
spesifik adalah semua yang dihasilkan oleh respon imun. Semuanya ini berperan terhadap
penyembuhan dan imunitas, hipersensitivitas dan patologi. Beberapa parasit, salah satunya M.
leprae, berhasil menghindar dan menghancurkan mekanisme pertahanan tersebut.

Imunologi Dasar yang Terkait Lepra


Sebuah mikroorganisme mengandung dan menghasilkan banyak zat-zat kimia yang bervariasi
dan bersifat antigenik. Antigen tersebut mencapai organ limfoid (kelenjar limfe atau limpa)
dimana setiap antigen dapat menginduksi suatu respon imun. Jenis respon yang terinduksi
ditentukan oleh (1) sifat dari antigen, (2) bagaimana cara antigen tersebut dipresentasikan ke
limfosit, dan (3) respon selular yang timbul mengikutinya.

Respon Imun
Respon imun terhadap kebanyakan organisme terdiri atas dua buah komponen, selular dan
humoral. Sistem imun selular (SIS) diperantarai oleh limfosit yang selama dalam kehamilan
diproduksi oleh kelenjar thymus, dan disebut sebagai limfosit T atau sel T. Sistem imun
humoral (SIH) diperantarai oleh limfosit B atau sel B dan progenitornya (sel plasma) [koq
progenitornya = sel plasma?] yang memproduksi antibodi. Pada burung, limfosit B diproduksi di bursa of
Fabricius, sebuah organ yang berhubungan dengan hind gut namun tidak ada organ anatomi
yang setara pada mamalia. Pada manusia, limfosit B diproduksi di sumsum tulang.
Respon imun diregulasi oleh sekelompok mekanisme umpan balik dari sistem humoral
dan selular yang kompleks dan bekerja berurutan, berkembang, dan berkurang jika tidak
digunakan. Oleh sebab itu banyak tahap-tahap dimana respon imun mungkin tersupresi
(suppressed) atau terbiaskan (deviated).
Toleransi imun (immune tolerance) merupakan bentuk paling ekstrem dari supresi, dan
mungkin terjadi melalui satu dari beberapa mekanisme. Kemungkinan terdapat
ketidakmampuan merespon, yang diturunkan genetik, terhadap antigen tertentu atau
penghapusan yang didapat (acquired deletion) atau hilangnya fungsi limfosit T spesifik untuk
antigen. Berlawan dengan hal ini, kemungkinan terdapat supresi non-spesifik oleh faktor-
faktor supresi yang dirilis sel atau oleh penghapusan selektif (selective removal) dari faktor-
faktor stimulasi. Ketika respon imun terlumpuhkan oleh sebuah mekanisme antigen spesifik,
kejadian lanjutan yang diperantarai oleh antigen yang sama akan gagal untuk menimbulkan
respon imun. Limfosit T dibutuhkan baik untuk imunitas selular dan humoral, sehingga supresi
pada limfosit T akan mengganggu kedua sisi respon imun. Pada lepra lepromatosa, pasien
dapat memproduksi antibodi tetapi tidak ada respon cell mediated terhadap M. leprae.

64 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Perubahan pada jaringan limfoid

Skema limfonoduli tergambar pada gambar 7.1. Ketika respon imun berlangsung, prosesnya
berlangsung di limfonoduli (yang menerima antigen) atau di limpa (apabila terdapat antigen
yang berada dalam sirkulasi/ circulating antigens). Antigen intradermis dipresentasikan oleh
makrofag yang masuk melalui marginal sinus dan melewati germinal centres menuju ke
paracortex. Kemudian bagian dari kelenjar yang berkembang akan bergantung apakah yang
diinduksi adalah imunitas humoral atau selular.

Gambar 7.1. Skema limfonoduli

Imunitas humoral. Korteks bertambah besar, jumlah dan ukuran germinal centres
bertambah dan membesar, bahkan sampai menonjol ke dalam dan mendistorsi seluruh
limfonoduli. Sel plasma muncul di medula yang menebal. Pada respon antibodi sejati (pure)
parakorteks menipis. Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan pironin (yang mewarnai
RNA merah) menunjukkan aktivitas yang intens di germinal centres dan medula. Perubahan ini
tampak pada lepra lepromatosa.
Imunitas selular. Daerah parakorteks (yang perkembangannya bergantung integritas
thymus ketika fetus) bertambah besar. Daerah tersebut kemudian dipopulasi oleh limfosit
kecil, yang kemudian masuk melalui vena postkapiler, dan kemudian membelah. Sel-sel pucat,
besar, dan membelah ini juga pironinofilik dalam pewarnaan. Limfosit kecil non-pironinofilik
diproduksi dan keluar dari limfonoduli melalui sinus intermedula, yang kemudian terdistensi.
Pada respon imun selular murni, korteks dan medula menipis. Perubahan ini tampak pada
lepra tuberkuloid.
Mikroorganisme pada umumnya mengandung antigen yang memacu kedua macam
respon.

Antigen
Antigen dari M. leprae dibahas di Bab 2 (Tabel 2.1). Pembahasan di bawah membahas sifat
antigen secara umum.
Sifat kimia. Beberapa antigen, terutama polisakarida dan zat-zat kimia sederhana
(hapten) dengan afinitas yang lemah terhadap protein host, mempunyai sifat antigen yang
lemah, terutama terhadap imunitas selular. M. leprae kaya dengan polisakarida, yang
kemudian mungkin membelah komponen protein atau lemak aslinya.

PPDS DERVEN FK UNHAS 65


Translated Bryceson (2010)

Ukuran molekul. Beberapa zat dengan berat molekul rendah (di bawah 10 kd), termasuk
protein, mempunyai sifat antigen yang lemah, dan dalam kondisi tertentu memicu toleransi.
Bentuk polimer dari zat-zat tersebut dan molekul dengan berat molekul tinggi lebih bersifat
antigenik. Antigen dari M. leprae berukuran sekitar dan di bawah dari ukuran ini.
Konsentrasi. Antigen dengan konsentrasi yang tinggi mungkin lebih menginduksi
toleransi daripada menginduksi respon imun. Pada host yang telah imun, konsentrasi
demikian mungkin menekan ekspresi dari imunitas selular (desensitisasi), menghasilkan
sebuah situasi yang mirip dengan deviasi imun. Mekanisme ini mungkin mendasari proses dari
downgrading pada lepra borderline. Pasien dengan penyakit multibasiler mempunyai
konsentrasi antigen yang tinggi, terutama phenolic glycolipid pada seluruh jaringan terinfeksi,
plasma, dan urin. Konsentrasi antigen yang rendah mungkin juga ditoleransi.
Kelarutan. Antigen yang sangat larut lebih mudah mencapai konsentrasi dalam sirkulasi
yang tinggi dan menjadi kurang imunogenik daripada antigen yang tidak larut atau antigen
yang bergabung dengan protein host.
Jalur presentasi ke jaringan limfoid. Antigen mungkin mencapai jaringan limfoid melalui
aliran darah atau pembuluh limfe. Antigen mungkin dalam bentuk bebas atau diangkut oleh
makrofag. Antigen yang (1) tidak larut, (2) diinokulasi secara intradermis, (3) difagositosis oleh
makrofag, dan (4) diambil pembuluh limfe ke kelenjar limfe regional adalah sangat
imunogenik, terutama oleh bantuan sistem imun selular. Hal ini mungkin terjadi ketika M.
leprae diinokulasi melalui kulit. Antigen yang diabsorbsi melalui usus cenderung menginduksi
supresi imun. Antigen sirkulasi yang sangat larut (highly soluble antigens circulating) dalam
bentuk bebas dalam aliran darah jauh tidak efisien untuk menginduksi imun, terutama
imunitas selular, dan mungkin menyebabkan toleransi. M. leprae bermultiplikasi di dalam sel
Schwann dari saraf perifer. Lokasi ini dipilih karena mikrobakteri bersifat intraselular dan
tidak menginduksi ekspresi molekul kelas II (lihat bawah), dan karena tidak ada pembuluh
limfe di perineurium. Antigen dari M. leprae mungkin secara langsung melewati pembuluh
darah vena, dan mencapai limpa dimana apabila kondisi dan konsentrasinya sesuai, mereka
mungkin lebih mensupresi daripada menginduksi sistem imun selular.
Adjuvants. Zat-zat tertentu, terutama komponen lemak dari dinding sel Mycobacteria,
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan (augmenting) respon imun humoral dan selular
terhadap bermacam antigen yang diinokulasi ke emulsi dengan adjuvant. Dinding sel dari M.
leprae kemungkinan bertindak sebagai adjuvants yang efisien.

Sistem HLA (Human Leucocyte Antigen) dan Presentasi Antigen


Faktor genetik setidaknya mempunyai peran dalam infeksi pada manusia. Peranannya ada
pada dua titik. Yang pertama adalah segera setelah infeksi, dimana gen mungkin menentukan
apakah organisme dapat bermultiplikasi dalam manusia dan menyebabkan penyakit,
contohnya apakah zat-zat esensial tertentu ada untuk beberapa parasit intraselular. Titik
kedua adalah beberapa saat setelah terjadi proses infeksi dan menentukan bagaimana respon
host terhadap infeksi, dan kemudian mempengaruhi pola dan hasil dari penyakit. Ketika hanya
gen tunggal yang terlibat, hubungannya dengan penyakit mungkin jelas tampak, seperti halnya
spondilitis ankylosis dan HLA-B27. Tetapi, umumnya, banyak gen yang terlibat dimana sumber
asalnya rumit dan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil dari infeksi. Oleh sebab
itu sulit untuk menentukan pengaruh genetik. Pada lepra, suatu kelompok gen yang terletak di
kompleks HLA dihubungkan dengan hasil dari infeksi M. leprae (lihat hal. 144 [211]). Tetapi

66 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

kompleks HLA mempunyai banyak peranan dasar dalam infeksi karena kompleks HLA
menentukan perilaku bagaimana antigen dipresentasian ke limfosit dan kemudian
mengendalikan induksi respon imun, terutama SIS. Kompleks HLA juga membatasi interaksi
antara limfosit terhadap beberapa jenis sel, yang membawa di permukaannya molekul, atau
‘produk gen’, yang diproduksi atas perintah dari gen HLA. Kompleks dari gen, produk-
produknya dan interaksinya dengan limfosit T dikenal sebagai sistem HLA. Produk HLA juga
merupakan antigen transplantasi jaringan.
Gen HLA terletak di lengan pendek (yang menyerupai untaian manik-manik/string of
beads) kromosom 6 (gambar 7.2). Mereka dibagi menjadi 2 kelas. HLA kelas 1 mengandung
gen HLA-A,B, dan C. HLA kelas 2 mengandung 3 kelompok dari gen HLA-DP, DQ, dan DR. Setiap
gen mempunyai banyak bermacam varian yang mungkin atau ‘alel’, yang menyebabkan
sistem HLA mempunyai banyak sekali variasi (polimorfisme), dan mempengaruhi
bermacam-macam sistem ketahanan manusia dan kerentanan terhadap infeksi. (Alel
terhadap gen dapat dianalogikakan seperti pemain pengganti untuk suatu posisi tertentu
dalam kelompok sepak bola). Faktor gen mengendalikan produksi dari molekul glikoprotein
tertentu, yang membentuk bagian dari membran sel dan mungkin diekspresikan pada
permukaan sel. Molekul kelas I diekspresikan oleh kebanyakan sel bernukleus; sedangkan
molekul kelas II oleh sel imunokompeten, seperti sel B, sel T teraktivasi, dan antigen
presenting cells (monosit, makrofag, sel dendritik, dan sel Langerhans). Sel Schwann tidak
mengekspresikan molekul kelas II.

Gambar 7.2. Skema sistem HLA (Ottenhoff & de Vries, 1987)

Limfosit T hanya akan mengenali antigen yang dipresentasikan yang terkait dengan
sebuah molekul HL pada permukaan dari antigen presenting cells (APC). Limfosit T sitotoksik
(sel Tc, lihat hal. 69 [101]) mengenali molekul kelas I dan kemudian dapat melawan atas
berbagai jenis sel, seperti sel tumor dan sel terinfeksi virus. Limfosit T regulator (sel T helper,
TH), dan kemungkinan beberapa sel T supresor (Ts) mengenali molekul kelas II, sehingga
interaksi terbatas pada sel imunokompeten. Beberapa produk gen, bergantung pada alel,
berperan terhadap fungsi sel T yang efisien, produk-produk lain menghasilkan respon sel T

PPDS DERVEN FK UNHAS 67


Translated Bryceson (2010)

yang minimal atau tidak ada sama sekali dan menyebabkan kerentanan terhadap organisme.
Terminologi ‘immune response’ (Ir, respon imun) dan ‘immune susceptibility’ (Is, kerentanan
imun) kadang kala digunakan untuk gen-gen ini.
Pada lepra, molekul HLA-DR dibutuhkan untuk mempresentasikan antigen M. leprae ke
limfosit T reaktif. Sebagai hasilnya sel TH berproliferasi: sehingga HLA-DR adalah gen Ir untuk
M. leprae. Namun, sel Ts mungkin juga berproliferasi, terutama sebagai bagian normal dari
sistem kendali. DR3 juga dikaitkan dengan lepra tuberkuloid dan tes lepromin yang positif.
Gen HLA yang lain, DQwl, mungkin secara berlawanan menjadi gen Is untuk lepra karena gen
itu dikaitkan dengan lepra lepromatosa dan tes lepromin yang negatif.

Presentasi Antigen Tanpa Molekul HLA

Gambar 7.3 menggambarkan bahwa antigen bebas mungkin menstimulasi sel B dan sel T
supresor. Hal ini mungkin bahwa pada individu yang tidak mengekspresikan HLA-DR secara
efisien, antigen M. leprae yang larut mengindukasi bentuk dari supresi imun dengan
menstimulasi sel T supresor dan produksi antibodi, yang kemudian memungkinkan
perkembangan lepra lepromatosa.

Gambar 7.3. Interaksi sel, lymphokines, dan antibodi dalm inkusi, ekspresi, dan regulasi respon imun.
1. Garis lurus menggambarkan aktivasi/ progresi, garis putus-putus: supresi
2. B = limfosit B, P = sel plasma, Ig = imunoglobulin, M1 = makrofag/APC lain (sel dendrit), M2 = makrofag/
sel fagosit lain yang bisa mempresentasikan antigen, TH = sel T-helper, Ts = sel T-suppressor, Tc = sel
sitotoksik
3. Kontak antigen yang persisten (atau diulang akibat respon imun sekonder) menyebabkan (i) proliferasi
lanjutan limfosit TH yang bergantung IL-2 (ii) proliferasi lanjutan sel Ts (iii) produksi sel plasma lanjutan.
4. Antibodi IgG membentuk kompleks dengan antigen meregulasi produksi lanjutan antibodi. Antibodi anti-
idiotype mungkin mensupresi fungsi sel TH
5. Keberadaan sel CD4 suprressor dan sel CD8 tidak terbukti

68 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Induksi Respon Imun


Antigen dibawa ke jaringan limfoid, dan secara benar dipresentasikan, mensensitisasi limfosit
T dan B terhadap klon yang sesuai dengan reseptor spesifik pada permukaannya. Hal ini
memicu sebuah kaskade yang kompleks dari interaksi selular yang diperantarai oleh produk-
produk larut (cytokines) dari monosit (monokines) dan limfosit (lymphokines).
Penelitian pada kejadian ini, yang hingga kini masih belum dipahami sempurna, telah
dimungkinkan dengan ketersediaan suatu antibodi monoklonal: antibodi yang diproduksi dari
klon tunggal dari limfosit B yang mengenal hanya satu buah antigen atau epitope. Banyak
antibodi monoklonal yang telah dibuat dan antigen yang dikenalinya pada permukaan limfosit
tidak harus berhubungan dengan fungsi sel tersebut (Tabel 7.1).

Limfosit B

Reseptor imunoglobulin D pada permukaan bereaksi dengan antigen bebas dan


membelah beberapa kali untuk memproduksi sel plasma yang mensekresi antibodi spesifik,
dalam satu/ lebih kelas imunoglobulin. Beberapa antigen membutuhkan bantuan dari sel TH
untuk memicu limfosit B. Sel B-memory juga diproduksi. Pada respon imun primer, antibodi
IgM secara normal diproduksi terlebih dahulu, kemudian IgG. IgM bersirkulasi sebagai
pentamer, dan efisien dalam membersihkan sirkulasi dengan memproduksi kompleks-
kompleks besar dengan antigen yang dibuang melalui fagositosis. Tetapi IgM tidak masuk ke
dalam jaringan. Antibodi IgG masuk ke dalam jaringan inflamasi dengan baik dan opsonize
(make cells more susceptible to the action of phagocytes) atau membunuh organisme bebas,
tetapi bukan organisme intraselular. Antibodi IgA mencegah organisme dari melekat ke
permukaan mukosa. Tidak ada peran protektif yang telah ditunjukkan oleh antibodi
terhadap lepra, walaupun antibodi IgA dan IgG mungkin mempunyai peran dalam proteksi
terhadap reinfeksi.

Clusters of Antibodi monoklonal Karakter fungsi


differentiation
CD 1 OKT 6 Thymocyte dan sel Langerhans
CD 2 Leu 4, OKT 11 Pan T-cell
CD 3 Leu 1, OKT 3 Pan T-cell
CD 4 Leu 3, OKT 4 T-helper
CD 8 Leu 2, OKT 8 T-suppressor
CD 8 Leu 2, OKT 8 T-cytotoxic
Tabel 7.1. Subset limfosit T pada lepra: sebuah petunjuk yang disederhanakan. CD adalah clusters of cells
differentiated by monoclonal antibodies, dan fungsinya tidak berbeda. Oleh sebab itu perannya tidak
pasti, contoh: OKT 8 sel positif pada lesi lepra tuberkuloid.
[Prof: CD = antigen permukaan, setiap limfosit mempunyai antigen (CD) sendiri-sendiri]

Limfosit T

Sel T-helper (CD4, Tabel 7.1) bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas II pada APC
dan menjadi aktif. Tahapan ini membutuhkan monokine interleukin 1 yang disekresikan

PPDS DERVEN FK UNHAS 69


Translated Bryceson

sebagai respon terhadap fagositosis atau pinocytosis. Sel TH yang teraktivasi mensekresi
lymphokine interleukin 2. Sel TH mempunyai reseptor untuk interleukin 2, dimana keberadaan
antigen akan menyebabkan reseptor tersebut membelah dan menghasilkan sejumlah sel
efektor dan sel memory. Sel memory menetap untuk menginisiasi respon imun sekunder. Sel
TH bekerjasama dengan limfosit B memproduksi lymphokine interleukin 4 (B-cell growth
factor).
Sel T cytotoxic (CD8) bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas I pada APC,
kemudian teraktivasi dan terjadi pembelahan dalam tahapan yang sama dengan sel TH. Sel Tc
teraktivasi, terkadang dikenal sebagai killer lymphocyte atau sel Tk, membunuh sel-sel tumor
tertentu dan sel-sel terinfeksi virus melalui keberadaan antibodi.
Sel T suppressor (Ts) menekan aktivitas TH. Sel-sel CD8 in vitro mempunyai ciri-ciri ini, dan
beberapa penelitian membuktikan bahwa sel CD4 mengandung kelompok sel supresor. Sel-sel
tersebut mungkin bekerja dengan membunuh sel TH atau dengan membersihkan (mop up)
lymphokines yang tersedia untuk proliferasi TH. Sebagai tambahan, makrofag mungkin
mensupresi aktivitas TH melalui produksi prostaglandin. Peranan sel supresor dalam
meregulasi respon pada lepra tuberkuloid dan respon supresi pada lepra lepromatosa sedang
dalam perdebatan tetapi belum memberikan kesimpulan.
Natural killer cells. Limfosit-limfosit ini (NK cells), belum teraktivasi secara imunologis.
Sel-sel tersebut membunuh sel tumor dan sel terinfeksi virus tanpa antibodi. Belum ada bukti-
bukti yang mendukung peran sel-sel ini pada lepra.

Ekspresi dari Respon Imun

Imunitas Humoral (diperantarai antibodi)


Terdapat beberapa mekanisme kerja antibodi untuk menghilangkan mikroorganisme. Pada
waktu yang bersamaan, respon yang ‘tidak diinginkan’ akibat antigen yang terlalu banyak akan
menyebabkan timbulnya kondisi hipersensitivitas yang menyebabkan patologi dari
penyakitnya.
Mekanisme kerja yang paling penting adalah:
1. Antibodi bergabung dengan toksin dan menetraliasi toksin, seperti halnya pada
difteria atau tifus, tetapi tidak terjadi pada lepra
2. Circulating antibody/ antibodi dalam serum (opsonizing atau complement fixing)
bereaksi dengan antigen pada dinding dari organisme. Pertama, terjadi fagositosis
yang cepat dan efisien. Kedua, komplemen terfiksasi dan organismenya dilisiskan.
Kedua mekanisme ini bukan merupakan pertahanan yang penting terhadap lepra.
3. Antibodi secara pasif menyelimuti permukaan sel host dan siap untuk bereaksi dengan
antigen. Antibodi ini adalah salah satu dari dua jenis. Antibodi ini dapat sitofilik untuk
makrofag, dalam hal ini sel mampu untuk memakan mikroorganisme; mekanisme ini
mungkin penting pada sistem imun selular terhadap beberapa organisme fakultatif
intrasel, tetapi mekanisme ini tidak meningkatkan kekuatan pencernaan dai makrofag,
dan mungin tidak berhubungan dengan lepra. Secara alternatif antibodi adalah
reaginik dari kelas IgE (reaginic: noncommittal term used for antibodies substances
that differ in several respects from ordinary antibodies) dan terfiksasi terhadap sel

70 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

mast. Antigen dalam serum bereaksi dengan antibodi terfiksasi menimbulkan


anafilaksis lokal atau sistemik. Hal ini tampaknya tidak terjadi pada lepra.
4. Precipitating antibody bergabung dengan antigen, dimana terdapat dalam jumlah
yang cukup banyak, dan membentuk kompleks dimana komplemen terfiksasi.
Kompleks ini dapat terjadi baik di sirkulasi atau di jaringan. Kompleks yang terbentuk
dalam sirkulasi dideposit, tergantung pada ukurannya, di ruang endotel dari pembuluh
darah, terutama pada glomerulus, kulit, dan membran sinovial. Depo dari antigen
pada jaringan, contohnya pada nodul lepromatosa, dapat menjadi sumber awal dari
konsentrasi antigen. Antibodi berdifusi dari sirkulasi dan pada konsentrasi relatif yang
cocok akan membentuk suatu kompleks dan terdeposit. Komplemen terfiksasi dan
pelepasan dari C3 yang aktif dan komponen lainnya akan menarik leukosit
polimorfonuklear dimana akan berakumulasi, memfagositosis kompleks, dan
menghasilkan enzim (enzim yang paling poten adalah proteases yang menyebabkan
kerusakan jaringan). Aktivasi pada endotel pembuluh darah akan menyebabkan adhesi
dari leukosit dan platelet, thrombosis dan haemorrage. Proses ini penting pada
terjadinya reaksi tipe 2 pada lepra.

Imunitas Selular (diperantarai oleh limfosit dan makrofag)


Antibodi secara normal tidak masuk ke dalam sel host. Beberapa organisme telah beradaptasi
dengan hidup intraselular, dan organisme yang beradaptasi terhadap hidup intra-makrofag
akan terproteksi dengan baik. Organisme ini termasuk Leishmania, M. leprae, M. tuberculosis,
beberapa jamur, dan organisme fakultatif intrasel yang lebih jarang, Salmonella dan Brucella.
Imunitas selular mempunyai peran yang penting dalam menghadapi organisme-organisme
ini. Sistem imun selular juga penting pada beberapa infeksi virus, penolakan graft dan
imunitas pada tumor.
Terdapat dua mekanisme utama bagaimana sel menghasilkan dan mempertahankan
kondisi imunnya, yaitu: (1) aktivasi makrofag dan (2) sitotoksisitas dari limfosit. Terdapat
beberapa mekanisme lain yang terlibat dalam produksi dari kondisi hipersensitivitas tipe
lambat yang berkontribusi terhadap patologi.
1. Limfosit T yang spesifik dan tersensitisasi, diproduksi di area parakorteks dari jaringan
limfoid, masuk ke sirkulasi dan menetap di lokasi-lokasi yang mengandung antigen.
Pada lepra, hal ini terutama di makrofag terinfeksi pada kulit dan saraf. Di sini, sel TH
(CD4) mengenali antigen, yang dipresentasikan oleh APC dengan molekul HLA yang
sesuai, dan dikendalikan oleh IL-2, mensekresi INF- . Lymphokine ini menghambat
migrasi dari makrofag, menyebabkan fokalisasi dari lesi, dan, yang lebih penting,
memicu ‘respiratory burst’, sebuah rantai reaksi enzim yang menghasilkan H 2O2 yang
membunuh organisme intrasel. Kemampuan makrofag mencerna organisme yang
mati juga meningkat (gambar 7.3). Proses ini akan berlangsung, dan meningkat
(augment) dengan recruitment lebih banyak limfosit, bersamaan ini antigen
dipresentasikan dan terdapat sel T mampu untuk memproduksi dan mengenali IL-2.
2. Sel-sel Tc (CD8) memberikan respon melalui jalan yang sama tetapi sel-sel tersebut
mensekresi limfotoksin yang menghancurkan antigen bearing cells. Sel-sel mungkin
bertanggungjawab atas proses kaseosa pada tuberkulosis, ulserasi kulit pada

PPDS DERVEN FK UNHAS 71


Translated Bryceson

leishmaniasis, dan dekstruksi dari sel kanker dan sel terinfeksi virus. Terdapat
sejumlah besar sel-sel CD8 pada lesi lepra, tetapi peran sel-sel tersebut masih belum
dipahami.
Lymphokine. Lymphokine bukanlah imunoglobulin. Lymphokine tersusun terutama oleh
glikoprotein dan mempunyai durasi kerja yang sangat pendek: efek-efeknya terutama lokal,
hal ini berlawanan dengan circulating antibody. Sebagai tambahan dari IL-2, INF- , dan
limfotoksins, limfosit yang aktif memproduksi beberapa lymphokine yang pertamakali
diidentifikasi dan diketahui melalui aktivitas biologinya. Hal ini termasuk skin reactive factor,
yang meningkatkan permeabilitas kapiler; chemotactic factor, menarik makrofag; tumour
necrosis factor & mitogenic factor, yang meyebabkan limfosit yang tidak secara spesifik
tersensitisasi untuk membelah dan mensekresi lymphokines, kemudian meningkatkan respon.
Penggunaan antibodi monoklonal mengarahkan pada identifikasi pada banyak lymphokine dan
reklasifikasinya (tabel 7.2).

Designation Target cell Aktivitas


IL2 B Proliferasi
T11 Proliferasi, produksi lymphokine
Tc NK Stimulasi
IL3 Sel punca Stimulasi
IL4 (BCGF, MAF) B Proliferasi
T Proliferasi
Makrofag Pembentukan sel epitelioid
IL5 (Eo-CSF) Eosinofil Diferensiasi
IL6 Hepatosit Produksi acute phase proteins
INF (MAF) B Proliferasi
NK Stimulasi
Makrofag Peningkatan aktivitas mikrobisida
dan tumorisida
GMCSF Makrofag, Polimorfologi Stimulasi
TNF Makrofag Aktivasi
TNF (cachectin) Hepatosit Inhibisi sintesis protein
Tabel 7.2. Lymphokines diproduksi oleh sel T-helper teraktivasi: sebuah petunjuk yang
disederhanakan. (IL-1 diproduksi oleh makrofag). IL: interleukin; BCGF: B-cell growth factor;
MAF: macrophage activation factor; Eo-CSF: eosinophil colony stimulating factor; GMCSF:
granulocyte macrophage colony stimulating factor; TNF: tumour necrosis factor.

Kejadian ini membuat suatu fenomena dari sistem imun selular dan hipersensitivitas tipe
lambat yang tampak pada jaringan, yaitu:
1. Fokalisasi dan pembelahan makrofag
2. Akumulasi limfosit di sekitar makrofag
3. Perubahan makrofag menjadi sel epitelioid, hal ini sering diikuti oleh pembentukan
giant cells. Tahap ke-1, 2, dan 3 memproduksi tuberkel, suatu gambaran histologis
yang khas pada sistem imun selular. Hal ini adalah fungsi dari IL-4
4. Peningkatan aktivitas enzim dari makrofag dan peningkatan kemampuan untuk
fagositosis dan mencerna organisme. Peningkatan aktivitas ini tidak spesifik terhadap
organisme yang menginduksi respon imun.

72 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

5. Nekrosis sentral, atau ulserasi pada kulit di atasnya.


Ketika hasil akhir dari proses ini berupa eliminasi dari organisme penyebab dan proteksi
dari reinfeksi, sebuah kondisi SIS ada; ketika inflamasi saja, hipersensitivitas selular atau
delayed ada.

Regulasi dan Supresi Respon Imun

Regulasi
Beberapa sistem regulasi yang normal digambarkan pada Gambar 7.3. Sel Ts mensupresi
dari respon sel TH terhadap antigen dan mungkin menghambat replikasi dari sel B teraktivasi.
Bagaimana mekanisme kerjanya belum dipahami. Antibodi meregulasi respon imun melalui
beberapa jalur. Antibodi IgG membentuk kompleks dengan antigen yang menghambat
proliferasi limfosit B. Antibodi mungkin menyerupai (mask) antigen pada APC. Bagian dari
variable region dari ‘closed jaw’ pada bagian Fab molekul imunoglobulin dikenal sebagai
idiotop: mempunyai konfigurasi molekul yang spesifik terhadap antigen. Selama respon
antigen-antibodi, jaws ini terbuka dan idiotop terekspos, sehingga membuat jaringan regulasi
tidak berujung. Sebagai tambahan dari respon antibodi modulasi, antibodi anti-idiotype, yang
variable region mempunyai struktur dari antigen asli, mensupresi aktivitas TH, kemungkinan
dengan berkompetisi dengan antigen recognition site. Stimulus antigen yang kuat, contohnya
oleh M. leprae, menginduksi respon antibodi poliklonal yang intens terhadap antigen terkait
dan tidak terkait.

Supresi
Supresi imun mungkin muncul dari overregulasi terutama apabila bagian dari lengan
efektor tidak efisien, atau dari respon yang abnormal. Klon dari sel T, atau gen Ir, mungkin
tidak ada. Klon sel T mungkin dibunuh oleh antigen menginduksi toleransi. Antigen bebas
mungkin secara selektif meninduksi suppressor cells. Beberapa antigen, walaupun ketika
dipresentasikan dengan sesuai, menginduksi Ts dibandingkan sel TH. M. leprae mempunyai
antigen-antigen tersebut. Kegagalan untuk pindah produksi dari IgM ke IgG, dengan
overproduksi IgM yang persisten, mungkin menutup (mask) antigen dari sel T, atau menahal
peran efektor dan regulator dari antibodi IgG. Jaringan limfoid yang sebelumnya dipenuhi oleh
keberadaan satu antigen mungkin memberikan respon jelek terhadap yang lain (kompetisi
antigen). Mekanisme ini yang mungkin berkontribusi terhadap supresi parsial dari imunitas
selular yang ditemukan pada lepra LL.
Kehamilan menekan imunitas selular, dan mempengaruhi pola dari lepra (lihat hal.37 [
53]). Beberapa penyakit mengganggu sistem imun, termasuk malaria, campak dan malnutrisi.
Efek dari penyakit ini terhadap infeksi lepra primer masih belum diketahui. Beberapa obat
(yang paling sering adalah kortikosteroid) bersifat imunosupresif. Pengetahuan ini yang
mendasari tatalaksana dari reaksi. Efek dari infeksi virus HIV pada infeksi M. leprae belum
diketahui. Apakah lepra akan menjadi penyakit AIDS?

Penemuan-penemuan Imunologis pada Lepra


Tanda-tanda yang khas pada gambaran klinis dan patologis dari lepra membuat sebuah
spektrum dari LL hingga TT. Faktor yang terutama menentukan tempat penyakit seseorang di

PPDS DERVEN FK UNHAS 73


Translated Bryceson

spektrum sangat luas dan bergantung bagaimana ekspresi dari SIS. Pada lepra tuberkuloid, SIS
dan hipersensitivitas berkembang baik. Pada lepra lepromatosa, hal ini tidak terjadi; pada LL
induksi dan/atau ekspresi mungkin terganggu. Pada borderline, ekspresi lebih terganggu
dibandingkan induksi. Sebagai tambahan respon antibodi pada kutub berbeda, dan walaupun
perbedaan ini mungkin tidak secara langsung berperan terhadap posisi pasien dalam
spektrum, perbedaan ini berperan terhadap aspek-aspek tertentu lainnya terhadap penyakit.

Karakteristik dari Respon Imun pada Kutub


Lepra Tuberkuloid
1. Respon selular. Keberadaan sistem imun selular ditunjukkan oleh beberapa
karakteristik penyakit pada kutub ini dan oleh beberapa data penelitian (Gambar 7.4).
a. Gambar histopatologis yang khas dan penting adalah tuberkel: makrofag yang
terdiferensiasi (sel epitelioid) yang dikelilingi (focalized) oleh limfosit. Pada
bagian sentral dari granuloma adalah sel TH (sel CD4) dan sel-sel dengan
reseptor untuk IL-2. Pada tepi (mantle) adalah sel TH, Ts/c (sel CD8), dan sel
yang memproduksi IL-2. Antigen HLA kelas II secara berlebih diekspresikan oleh
sel-sel imunokompeten. Penemuan ini menyarankan organisasi menjadi inti
dari sel-sel helper yang meluas dikendalikan oleh IL-2, dan menyebabkan
aktivasi makrofag dan desktruksi basil, dan daerah perifer regulator yang terdiri
dari sel-sel supressor/sitotoksik.
b. Terdapat reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit yang digambarkan
dengan tes lepromin yang positif (lihat bawah).
c. Limfonoduli menunjukkan perkembangan area parakortikal yang baik dan
mengandung banyak sel-sel pyroninophilic blast. Sinus intramedula
mengandung banyak sel-sel limfosit non-pyroninophilic. Germinal centres tidak
berkembang dan medullary cords mengandung sedikit sel plasma.
d. Sel limfosit pada pasien dengan lepra tuberkuloid, dikultur secara in vitro
dengan adanya basil lepra, bertransformasi menjadi sel blast, mengaktivasi
makrofag dan menghambat migrasinya. Derajat transformasi limfosit
berkorelasi dengan posisi pasien pada spektum dan intensitas inflamasi pada
lesi kulit. Teknik kultur spesial juga menunjukkan keberadaan sel CD8
circulating dan supresi.
e. Makrofag dari pasien dengan lepra tuberkuloid dapat distimulasi, secara in
vitro, untuk memakan M. leprae apabila limfosit dari pasien tuberkuloid (tetapi
tidak dari pasien lepromatosa) ditambahkan pada kultur.
f. Penyakit mempunyai tendensi untuk sembuh secara spontan.

74 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Gambar 7.4. Respon imun diperantarai sel, seperti ditunjukkan melalui infiltrasi
limfosit pada lesi dan melalui tes lepromin yang positif (abu-abu).

2. Respon humoral.
a. Antibodi terhadap M. leprae dapat dideteksi pada serum pasien dengan lepra
TT tetapi dalam frekuensi dan titer yang lebih rendah pada pasien dengan
lepra LL (Tabel 7.3)
b. Tidak diproduksi auto-antibodi.

1. Indirect immunofluorescence after absorption of sera against other mycobacterial species makes the test
specific of M. leprae. It is useful in epidemiology. High titres indicate persistence of M. leprae which
makes the test useful in identifying subclinical, especially pre-lepromatous cases. The test is time-
consuming, laboriuous and subjective.
2. Gel precipitation is laborious and insensitive and cannot demonstrate M. leprae specific antibodies.
3. Crossed immunoelectrophoresis. Difficult test, useful experimentally to identify antigens and antibodies,
but not of diagnositc or epidemiological value.
4. Radioimmunoassay enables responses to a chosen antigen to be studied. * Figure show % maximal
binding to the antigen. Antibodies demonstrated in 30% of babies of leprosy patients. IgA anibodies have
been shown in cord blood of infants and mucosae of adults.
5. Spot test uses antigen fixed to a card and is simpler than ELISA. Antibody titres to phenolic glycolipid
reflect the bacillary load. Antibody titres disappear gradually after treatment in paucibacillary disease
but persist in 50% of patients with multibacillary disease. IgM antibodies fade first.
6. Enzyme-linked immunosorbent assay is a simple test, suitable for mass use. The detection of specific IgM
antibodies is potentially ideal for identifying subclinical lepromatous patients.

PPDS DERVEN FK UNHAS 75


Translated Bryceson

7. This is an inhibition assay in which the monoclonal competes with the test serum for specific epitopes.
Subclinical cases of LL have high titres by this test. Monoclonals can also be used to demonstrate
antigens in tissue and to identify M. Leprae in e.g. insects.

Lepra Lepromatosa
1. Respon selular. Tidak adanya imunitas selular ditunjukkan melalui:
a. Tidak terjadi pembentukan tuberkel. Gambaran histologi adalah leproma:
makrofag tidak berdiferensiasi, edema dan basil yang banyak, tanpa dikelilingi
limfosit. Basil yang hidup dan mati dikelilingi oleh 'foam' of phenolic glycolipid.
Tidak ada pembentukan granuloma pada inti dan selimut (mantle). Sel TH (CD4)
dan terutama sel Ts/c (CD8) tersebar jarang-jarang di dalamnya. Beberapa sel
memproduksi IL-2, sekitar 20x lebih sedikit daripada granuloma tuberkuloid,
tetapi terdapat banyak sel-sel dengan reseptor IL-2. Injeksi dari IL-2, INF- , pada
lesi lepromatosa menginduksi reaksi upgrade lokal dengan pembersihan M.
leprae dari lokasi.
b. Tes lepromin negatif.
c. Pada limfonoduli, bagian germinal centre berkembang baik dan medullary cord
penuh dengan sel plasma. Area parakorteks tidak berkembang dan diganti oleh
makrofag yang tidak berdiferensiasi dan sering makrofag bacilliferous (banyak
basil di dalamnya). Sinus intermedula tidak mengandung limfosit.
d. Limfosit pada pasien lepra lepromatosa, secara in vitro, tidak bertransformasi
menjadi sel blast dengan adanya M. leprae, tidak juga mengaktivasi makrofag/
menghambat migrasinya, tidak juga memproduksi INF- . Kecacatan in vitro ini
sebagian reversibel pada sebagian pasien dengan pemberian IL-2. Jumlah
limfosit bersirkulasi yang dapat mengikat permukaan M. leprae lebih rendah
pada pasien lepromatosa daripada tuberkuloid.
Beberapa peneliti melalui suatu teknik kultur khusus menunjukkan
adanya sel-sel Ts bersirkulasi – kemungkinan berbeda dengan yang
ditunjukkan pada pasien tuberkuloid. Ketika dikultur dengan M. leprae,
phenolic glycolipid atau antigen 36 kD, sel-sel Ts bersirkulasi ini menekan
respon dari HLA-D sesuai sel TH terhadap antigen M. leprae. Pembuangan sel Ts
mengembalikan sebagian respon in vitro pada pasien LL. Keberhasilan
penelitian in vitro ini, yang secara universal belum diterima, masih belum jelas.
e. Makrofag pada pasien lepromatosa dapat distimulasi secara in vitro untuk
mencerna M. leprae ketika limfosit dari pasien tuberkuloid (tetapi tidak dari
lepromatosa) ditambahkan pada kultur. Makrofag pasien lepromatosa
menghasilkan monokine yang menghambat produksi IL-2.
f. Penyakit ini tidak sembuh spontan.

76 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Gambar 7.5. Respon humoral yang ditunjukkan melalui keberadaan precipitating antibodies
dalam serum dan kecondongan untuk meimbulkan eritema nodosum leprosum (diarsir)

2. Respon humoral (Gambar 7.5)


a. Antibodi terhadap antigen M. leprae dan mikobakteria lainnya terdeteksi dalam
titer yang tinggi melalui uji complement fixation, precipitation, hemaglutinasi
indirek, imunofluoresensi, dan ELISA; lihat Tabel 7.3. Precipitins hingga 5
antigen ada pada 80% serum lepromatosa. Kadar serum IgG meningkat.
b. Serum pada pasien lepromatosa secara in vitro tidak menghambat respon
blastogenik terhadap M. leprae pada limfosit pasien tuberkuloid. Penelitian ini
membuktikan tidak adanya antibodi enhancing pada serum tersebut.(antibodi
enhancing: antibodi yang dapat menguatkan interaksi antibodi-antigen dan idiotipik-antibodi anti-idiotipik)
c. Banyak auto-antibodi yang diproduksi. Mereka termasuk antibodi spesifik
terhadap thyroid, saraf, testis dan mukosa lambung; dan antibodi cross-reactive
seperti rheumatoid factor (anti-immunoglobulin), anti-DNA, cryoglobulins dan
cardiolipin yang memberikan hasil false positive untuk sifilis pada reaksi
Wassermann.

Antibodi pada lepra tidak mempunyai peran protektif yg berguna. Mereka tidak dapat
mengambil organisme intraselular. Mereka mempunyai peran terhadap reaksi tipe 2, tetapi
hal ini tidak bermanfaatnya bagi pasien. Hal yang belum diketahui adalah apakah antibodi
autoimun menyebabkan kerusakan jaringan, apakah merupakan hasil dari kerusakan jaringan,
atau apakah merupakan manifestasi akibat aktivitas adjuvant M. leprae di limfonoduli dan
tidak berhubungan secara langsung dengan gambaran atau pola patologi lepra.

Sifat Dasar dari Defisiensi Imun pada Lepra Lepromatosa


Temuan imunologi pada pasien lepra lepromatosa menunjukan bahwa terdapat defisiensi SIS
terhadap M. leprae. Keberadaan klon limfosit yang seharusnya ada, dalam hal ini menjadi
tidak ada, atau tidak memberikan respon, atau memberikan respon abnormal. Hasil akhirnya
adalah terdapat produksi IL-2, IFN- , dan lymphokines lain yang tidak cukup, sehingga
granuloma tidak terbentuk, makrofag tidak diaktivasi dan tidak dapat mencerna M. leprae.
Ciri-ciri lain dari hipersensitivitas selular juga tidak ada. Bukti-bukti yang ada
menggambarkan bahwa sebenarnya terdapat klon dari limfosit yang memberikan respon
terhadap M. leprae, tetapi sel-sel TH tersebut tidak diinduksi atau tidak dapat
bermultiplikasi, mungkin karena kegagalan untuk membentuk IL-2 ketika di re-stimulasi oleh
antigen. Beberapa penelitian menyarankan bahwa sebaliknya sel-sel Ts diproduksi, sanggup

PPDS DERVEN FK UNHAS 77


Translated Bryceson (2010)

untuk menghambat apa yang menjadi sedikit fungsi TH mungkin ada. Sebagai tambahan, sel-
sel TH yang responsif terhadap mikobakteria lain tidak memberikan respon terhadap cross-
reactive epitope dari M. leprae, sehingga pasien lepromatosa tidak mendapatkan ‘bantuan’
tambahan yang non-spesifik ini. HLA-DR diekspresikan pada pasien lepromatosa, tetapi gen Ir
HLA-DR3 diturunkan lebih jarang daripada pasien tuberkuloid, sedangkan HLA-DW3
diturunkan lebih sering (lihat hal. 67 [97]). Mungkin saja cacat (defect) ini berada di bawah
kendali genetik. Jika tidak, pasti terdapat dalil yang menyatakan bahwa pengenalan awal M.
leprae oleh pasien akan menginduksi toleransi (lihat hal. 64 [94]). Defek ini secara mutlak
dan ireversibel terjadi pada pasien LL.
Pada BB dan BL, dan beberapa pasien yang diklasifikasikan sebagai LL, defek terjadi
reversibel setelah mendapatkan kemoterapi dan terjadi pembersihan antigen (antigen
clearance). Manipulasi secara in vitro mungkin juga secara sebagian membalik defek pada
sebagian pasien. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat faktor-faktor tambahan lain dan
reversibel yang mensupresi imunitas selular. Hal ini mungkin berupa produk-produk dari M.
leprae seperti antigen dengan suppressive epitopes, atau produk dari respon imun seperti
kompleks imun, antibodi idiotipik atau antibodi enhancing, atau overproduksi sel-sel Ts
regulator. Faktor-faktor supresor yang diproduksi oleh makrofag pada LL mungkin juga
memberikan kontribusi.
Defisensi yang berat pada sistem imun selular pada pasien LL adalah spesifik untuk M.
leprae. Akan tetapi, terdapat partial generalized depresssion terhadap SIS pada beberapa
pasien dengan LL yang berat. Mereka mempunyai kadar limfosit T sirkulasi yang berkurang,
dan melalui uji in vitro terhadap fungsi limfosit terhadap antigen lain mungkin sedikit
terganggu. Respon mereka terhadap sensitisasi dengan beberapa (tidak semua) bahan-bahan
kimia (contoh dinitrocholorobenzene) terganggu, respon mereka terhadap beberapa antigen
uji tes kulit terganggu, mreka menolak graft dari kulit homolog lebih perlahan dan mereka
mungkin lebih rentan terhadap intercurrent disease (disease that intervenes during the course of another disease).
Supresi ini, yang cenderung membaik setelah terapi, kemunginan disebabkan oleh karena
disorganisasi (kekacauan) dari struktur limfonoduli dan karena kompetisi antigen.

Tes Lepromin
Lepromin adalah preparat semi-standar dan sederhana basil dari nodul lepromatosa atau hati
armadilo.
Sebanyak 0,1cc disuntikkan secara intradermis dan lokasi ini diamati setelah 72 jam
(reaksi Fernandez), dan 3-4 minggu (reaksi Mitsuda) untuk nodul yang teraba (palpable) yang
diameternya diukur dan diberi derajat:
Tidak ada nodul Negatif
1-2 mm (meragukan)
3-5 mm +
> 5 mm ++
Ulserasi +++
Reaksi Fernandez yang positif menandakan keberadaan hipersensitif lambat (delayed
hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae, dan merupakan tanda infeksi sebelumnya
dengan Mycobacterium leprae atau Mycobaterium lain (cross-reacting).

78 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Reaksi Mitsuda yang positif mungkin menandakan bahwa (1) individu tersebut
sebelumnya pernah terpapar dengan antigen M. leprae dan mempunyai hipersensitivitas
selular atau (2) individu tersebut dapat memberikan respon imun selular terhadap M. leprae,
dan hal ini menjadi penentu prognosis (lihat hal. 145 [212]).
Tes ini pada kasus TT dan BT, tetapi tidak dapat digunakan sebagai sarana diagnosis.
Terdapat beberapa cross-reactivity dengan antigen dari Mikobakteria lain. (1) Infeksi dengan
M. tuberculosis, (2) imunisasi dengan BCG atau (3) uji lepromin sebelumnya mungkin (tetapi
tidak selalu) memberikan reaksi Mitsuda yang positif pada individu sehat.

Leprolin dan leprosin


Kedua antigen ini merupakan ekstrak dari M. leprae yang larut dan digunakan untuk uji
delayed hypersensitivity pada penelitian epidemiologi. Antigen-antigen ini tidak spesifik dan
interpretasi hasil yang positif sulit.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 79


Translated Bryceson (2010)

BAB 8: KOMPLIKASI IMUNOLOGIS: REAKSI


(Original Bryceson Hal. 115-126)

Terminologi dari "reaksi" digunakan untuk menggambarkan timbulnya tanda dan gejala dari
suatu inflamasi akut di lesi pada pasien lepra.

Secara klinis didapatkan bengkak, kemerahan, nyeri tekan pada lesi kulit; dan bengkak, nyeri,
dan nyeri tekan pada saraf, yang sering disertai dengan hilangnya fungsi saraf. Dapat timbul
lesi baru. Penting untuk mengenali dan mengobati reaksi dengan segera karena kerusakan
saraf mungkin terjadi cepat dan ekstensif. Reaksi kemungkinan menggambarkan suatu episode
akut dari hipersensitivitas dari antigen basil, disebabkan oleh gangguan dari keseimbangan
imunologis. Dua macam dari hipersensitivitas dianggap mendasari terjadinya berbagai
manifestasi klinis yang mungkin terjadi selama reaksi (Gambar 8.1).

Reaksi yang pertama (tipe 1) adalah hipersensitivitas selular dan sering tetapi tidak selalu,
disertai dengan perubahan derajat sistem imun selular pasien, yang penyakitnya kemudian
mengalami pergeseran spektrum. Reaksi tipe ini terjadi pada pasien demgan lepra borderline
(BL, BB, BT) yang status imunologisnya tidak stabil. Perubahan pada sistem imun selular pada
pasien dapat terjadi ke berbagai arah. Terminologi "reversal" digunakan untuk
menggambarkan peningkatan imunitas dan perubahan ke arah tuberkuloid; sedangkan
terminologi "downgrading" untuk hilangnya sistem imun dan perubahan ke arah lepromatosa.
Reversal terjadi setelah pengobatan; downgrading hanya terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat dan sering dipicu oleh pubertas pada laki-laki dan
kehamilan/ melahirkan pada wanita. Selain perubahan yang fundamental, reaksi pada reversal
dan downgrading sering secara klinis tidak terbedakan dan sering dianggap muncul bersama-
sama.

Reaksi kedua (tipe 2) adalah hipersensitivitas humoral dan


tidak berhubungan dengan pergesaran pada spektrum.
Reaksi tipe ini terjadi karena reaksi antigen-antibodi dengan
pembentukan kompleks imun pada lokasi deposit antigen di
berbagai jaringan dan menyebabkan fokus-fokus inflamasi
akut. Reaksi tipe ini terjadi pada pasien lepromatosa (tipe LL,
lebih jarang pada tipe BL) (Gambar 8.1)

Reaksi tipe ketiga, fenomena Lucio, adalah vaskulitis terjadi akibat M. leprae pada sel endotel
vaskular dan lebih berat dibandingkan reaksi tipe 2 (reaksi tipe 2 dan tipe ini mempunyai
kemiripan) (lihat Hal. 85 [124]).

Berdasarkan klasifikasi reaksi hipersensitivitas oleh Gell & Coombs, reaksi lepra tipe 1 adalah
reaksi hipersensitivitas tipe IV, sedangkan reaksi lepra tipe 2 adalah reaksi hipersensitivitas
tipe III.

80 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Reaksi tipe I

Gejala klinis
Di dekat kutub tuberkuloid
Lesi kulit menjadi bengkak dan edem (Gambar 8.2). Eritem sering didapatkan dan diikuti oleh
deskuamasi dan kadang-kadang terjadi ulkus (Gambar 8.3, Plate 5). Apabila lesi kulit mengenai
mata atau hidung, mungkin terjadi edem kongjungtiva, gatal, dan lakrimasi, atau hidung
tersumbat. Tidak semua lesi biasanya dikenai. Pada pasien yang mendapat reaksi reversal,
biasanya didapatkan lesi baru; lesi yang muncul, lesi biasanya berupa lesi khas tuberkuloid
dengan batas yang tegas, diskret, dan batas dengan infiltrasi yang tebal. Reaksi-reaksi ini
terkadang disangka pasien normal, apalagi mempunyai tendensi untuk sembuh spontan,
tetapi ‘upah’ yang harus dibayarnya adalah kerusakan saraf pada dirinya.

Semakin pasien berada di tengah spektrum, semakin banyak jumlah lesi yang terlibat, dan
semakin berat perubahannya. Selama downgrading banyak lesi baru yang mungkin muncul
dan lesi tersebut bertendensi untuk tidak menunjukkan batasan yang tegas dari lesi
sebelumnya (Gambar 4.25-26, Plate 5). Setelah setiap reaksi, lesi-lesi akan mempunyai ciri-ciri
lebih borderline. Tenosynovitis, terutama pada tendon ekstensor pada dorsal pergelangan
tangan, mungkin muncul selama reaksi pada lepra borderline (Gambar 8.4)

PPDS DERVEN FK UNHAS 81


Translated Bryceson

Saraf. Beberapa sara yang


dikenai akan menjadi bengkak
dengan cepat, sangat nyeri, dan
nyeri tekan. Parestesia atau nyeri
pada distribusi sensorisnya umum
didapatkan. Hilangnya fungsi
motorik berkembang dengan
cepat. Hal ini mungkin menjadi
permanen apabila tidak diobati
dengan cepat. Kusta neural murni
(lihat hal. 33 [42]) mungkin
terjadi melalui cara ini. Paralisis
mendadak akibat neuritis radialis,
ulnaris, atau poplitea lateral
memberikan prognosis yang lebih
baik daripada kerusakan saraf fasialis. Penyakit sistemik minimal, sering terbatas pada edem di
tungkai atau wajah.

Di tengah spektrum
Reaksi pada pasien dengan lepra BB mungkin terjadi sangat berat, kemungkinan karena
mereka dikaitkan dengan derajat pergeseran pada spektrum yang sangat hebat.
Lesi kulit menjadi bengkak, eritem, dan edematus dengan cepat. Didapatkan nyeri pada
lesi dan nyeri tekan biasanya berat. Mungkin muncul banyak lesi baru.
Saraf. Banyak saraf yang terlibat, dan menjadi bengkak, nyeri, nyeri tekan. Terdapat
kerusakan saraf yang tersebar luas dan diikuti dengan paresis luas. Pasien tidak dapat
bergerak karena nyeri dan kelemahan.
Penyakit sistemik lebih umum didapatkan, dengan kelemahan, malaise, dan edem
generalisata, terutama pada tangan, kaki, dan wajah.

Di dekat kutub lepromatosa


Reaksi tipe 1, muncul pertama kali pada lepra BL, biasanya menandakan suatu upgrading, dan
paling sering pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda baru saja downgraded dan sekarang
baru saja mendapatkan pengobatan. Reaksi tersebut mungkin berlangsung hingga berbulan-
bulan dan membutuhkan penanganan yang seksama.
Lesi kulit, ukuran kulit dan batasnya meningkat dengan cepat. Lesi kulit merah,
mengkilap, dan tegang. Lesi baru muncul dan seluruh kulit mungkin terinfiltrasi.
Saraf. Walaupun kebanyakan saraf perifer kemungkinan terlibat, derajat dari infiltrasi
selular tidak sehebat yang di akhir spektrum dan terdapat sedikit kemungkinan untuk paralisis
pogresif yang cepat. Oleh sebab itu, pada beberapa pasien, setiap saraf mungkin member,
nyeri, rusak dengan hebat.
Penyakit sistemik. Demam, malaise, pada prostration (kolaps secara fisik) dapat terjadi
dalam kondisi berat dengan suhu tubuh harian naik durun, dan edem.
Pasien yang tidak diobati mungkin juga downgrade dan menderita efek dari invasi basil ke
mukosa saluran pernafasan atas, mata, testes, dan falang. Karena hipersensitivitas selular

82 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

tersupresi, reaksi tipe 2 mungkin terjadi dan gambaran klinis menjadi membingungkan (lihat
hal. 84 [121]).

Histologi
Secara histologi, kedua reversal dan downgrading dapat dibedakan, terutama apabila telah
terdapat biopsi sebelumnya untuk perbandingan.
Reaksi reversal ditandai dengan edem dan peningkatan infilrat limfosit dan volum dari
lesi. Peningkatan diferensiasi makrofag ke arah sel epitelioid dan sel raksasa memberikan
gambaran sel Langhans. Jumlah basil berkurang dan IM berkurang. Kadang-kadang terdapat
nekrosis di dalam granuloma. Penyembuhan disertai dengan fibrosis.
Reaksi downgrading ditandai dengan hilangnya fokalisasi dan hilangnya pembentukan
tuberkel. Jumlah limfosit di lesi berkurang dan sel epitelioid ber-de-diferensiasi menjadi sl
histiosit yang lebih sederhana dan mungkin menunjukkan edem intraselular. Perubahan ini
diikuti dengan peningkatan multiplikasi basil dan peningkatan IM. Juga didapatkan edem
ekstraselular. Granuloma menyebar dan tidak terjadi fibrosis.

Imunologi
Reaksi selama reversal mungkin terjadi secara spontan, terutama pada lepra BT subpolar,
tetapi lebih sering mengikuti pengurangan jumlah basil karena pengobatan. Peningkatan
sistem imun selular menghasilkan peningkatan prognosis, dengan progresivitas cepat
terhadap penyembuhan dan berkurangnya kemungkinan terjadi relaps. IB turun drastis.
Apabila penyakit pasien bergeser dari BL atau BB ke BT, tes lepromin akan menjadi positif.
Reaksi selama downgrading terjadi secara spontan pada pasien yang tidak diobati dan
pada pasien yang pengobatannya terganggu untuk alasan apa pun. Hilangnya sistem imun
selular mungkin menyebabkan perjalan downhill yang cepat. IB meningkat. Apabila penyakit
pasien bergeser dari BT, tes lepromin akan menjadi negatif.
Penelitian serial in vitro pada pasien India yang reaksi dan tidak diobati menunjukkan
bahwa pasien dengan lepra BT, kira-kira setengahnya mengalami upgrading dan setengahnya
downgrading, dimana seluruh pasien lepra BL adalah upgrading.
Penyebab inflamasi akut ( gejala penting) pada reaksi tipe 1 adalah peningkatan
mendadak dari hipersensitivitas selular, hal ini didemonstrasikan dengan peningkatan
mendadak pada transformasi limfosit (lihat hal. 71 [103]). Reaksi yang menyertai upgrading
menunjukkan peningkatan organisasi ke inti dan selimut (mantle) dengan terjadi influks sel-sel
CD8 ke dalam selimut (lihat hal. 74 [106]). Penelitian in vitro memberikan saran bahwa
hipersensitivitas ditujukan terutama terhadap antigen sitoplasmik selama reaksi di saraf,
dan terutama terhadap antigen permukaan selama reaksi di kulit. Pada reaksi yang
menyertai reversal, hipersensitivitas meningkat dengan imunitas, kemungkinan sebagai
respon terhadap antigen yang dilepaskan dari basil yang mati. Pada reaksi tanpa pergeseran
spektrum, episode hipersensitivitas terjadi tanpa perubahan imunitas. Kedua situasi ini
mungkin dibandingkan dengan respon positif terhadap tes Mantoux (episode hipersensitivitas)
pada pasien dengan TB yang penyakitnya membaik (reversal) atau tetap (tidak ada
pergeseran). Reaksi yang terjadi ketika downgrading mungkin mengartikan peningkatan relatif
dari hipersensitivitas selular yang dipicu oleh peningkatan sekresi dari antigen akibat basil
yang bermultiplikasi, yang peningkatannya sendiri mencerminkan penurunan imunitas (seperti
tes Mantoux dengan dosis tuberkulin yang sangat besar pada pasien yang TB-nya memburuk;

PPDS DERVEN FK UNHAS 83


Translated Bryceson

downgrading). Hal ini juga mungkin bahwa edem generalisata dan demam yang terkadang
menyertai reaksi mungkin sesuai dengan fenomena Koch pada TB: suatu kondisi dimana
injeksi sistemik atas sejumlah besar tuberkulin memicu edem, demam, dan malaise.

Reaksi tipe 2

Gejala klinis
Reaksi tipe 2, yang merupakan komplikasi dari lepra LL dan BL, mungkin muncul secara
spontan tetapi paling sering pada pasien yang mendapatkan cukup pengobatan untuk
mengurangi IM hingga di bawah 5%. Lebih dari setengah pasien LL yang dalam pengobatan
akan menderita reaksi tipe 2, dan sekitar seperempat pada pasien BL. Reaksi terutama sering
didapatkan selama kehamilan dan laktasi. Serangan reaksi seringkali diperpanjang (prolonged)
atau rekuren.
Reaksi ditandai dengan eritem nodosum leprosum (ENL), munculnya lesi kulit berupa
nodul eritem yang nyeri, yang mungkin terletak superfisial atau profundus di dermis (Gambar
8.5, 8.6). Mereka berbentuk kubah dengan batas tidak tegas, mengkilap, dan nyeri tekan. Lesi
mungkin mengalami ulserasi, mengeluarkan pus kuning ketal yang mengandung BTA
polimorfik dan degenerasi; tetapi steril pada kulturnya. Lesi paling sering didapatkan di wajah
dan permukaan ekstremitas bagian ekstensor, tetapi mungkin juga dilihat di tempat lain. Lesi
bertahan selama beberapa hari dan mungkin diikuti dengan timbulnya sekelompok lesi baru.
Karena lesi dapat menjadi keunguan, sulit untuk melihatnya pada orang berkulit gelap, dan
kulit sekitarnya terasa menebal. ENL kronik menunjukkan indurasi otot (brawny) paling sering
didapatkan di permukaan ekstensor dari paha, punggung antar skapula (calves), dan lengan
bawah.

Sebagai tambahan, gejala-gejala berikut mungkin muncul: iridosiklitis (lihat hal. 108
[158]), orkitis, daktilitis, pembesaran seluruh saraf tepi yang disertai nyeri tekan, dan
limfadenopati yang nyeri tekan. Yang jarang timbul adadlah otot mungkin menjadi nyeri tekan
dan persendian mungkin terasa nyeri atau bahan membengkak, dan mungkin terjadi epistaksis
dan proteinuria. Demam, nyeri kepala, insomnia akibat nyeri dan depresi dapat menjadi suatu

84 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

masalah. Kadang-kadang iridosiklitis mungkin menjadi satu-satunya gejala reaksi, atau bahkan
lepra. Reaksi tipe 2 biasanya tidak memberikan dampak seserius reaksi tipe 1, karena reaksi
tipe 2 sering terbatas pada kulit saja, dan kerusakan saraf jarang terjadi secapat reaksi tipe 1,
tetapi seringnya lebih lama (prolonged). Namun, keberadaan neuritis atau iridosiklitis,
merupakan indikasi untuk pengobatan dengan anti-inflamasi yang kuat. Pada beberapa kasus
berat, gejala sistemik yang menyertai mungkin menyebabkan kehilangan energi dan tenaga
yang berat.

Histologi
Kebanyakan pada kasus-kasus ENL yang ringan, fokus inflamasi berada jauh dari lesi kulit
utama, dan sering berada di dalam dermis. Biasanya terdapat sedikit basil di tengah dari lokasi
reaksi. Basil sering ditemukan berupa fragmented atau granular, dan bahkan setelah mereka
tidak tampak melalui pewarnaan carbol-fuchsin, bayang-bayangnya dapat terlihat melalui
mikroskop elektron, dan antigennya melalui imunofluoresensi, terikat pada makrofag dan
jaringan ikat. Lesi ringan terdiri dari sekelompok dari polimorfik, edem, dan pecahan selular.
Vaskulitis atau nekrosis vaskular dengan perdarahan terdapat pada beberapa tetapi tidak
semua lesi. ENL yang berat lebih sering dikaitkan dengan deposit basil yang lebih besar.
Infiltrasi polimorfik lebih intens dan mungkin meluas hingga area yang besar di dermis,
mungkin terdapat banyak edem. Selanjutnya diikuti oleh nekrosis dan ulserasi. Infiltrasi
polimorfik yang serupa ditemukan pada badan silier (ciliary body), saraf, otot, dan limfonoduli
ketika mereka terlibat.

Imunologi
Pasien dengan lepra lepromatosa mempunyai titer antibodi precipitating terhadap
antigen M. leprae yang tinggi. Seringkali, antibodi ini tidak mempunyai peran dalam patologi
penyakit. Namun, kadang-kadang, konsentrasi relatif dari antigen dan antibodi precipitating
tampaknya berperan terhadap pembentukan kompleks imun yang dideposit pada jaringan.
Komplemen terikat pada kompleks terdeposit, dan polymorphonuclear leucotactic factor
dirilis. Akumulasi polimorf, fagosistosis kompleks dan rilis enzim proteolitik yang menghasilkan
inflamasi dan nekrosis jaringan. Pembentukan komplek dapat terjadi baik pada jaringan
(dimana terdapat gradasi konsentrasi antigen ketika antigen tersebut berdifusi menjauh dari
kelompok basil terdegenerasi), atau pada sirkulasi. Ketika episode ENL, kompleks bersirkulasi
mengandung komplemen (C1q), IgG, dan IgM. Pada kondisi kompleks yang terbentuk pada
jaringan, terbentuk fokus inflamasi di dalam atau di dekat lesi yang sudah ada; dan apabila
kompleks terdeposit pada dinding pembuluh darah, yang mana menunjukkan sumber dari
gradasi antibodi, maka akan terjadi vaskulitis. Pada kondisi kompleks pada sirkulasi, akan
terbentuk komplek imun dalam sirkulasi dan terdeposit pada lokasi yang jauh dari lesi penuh
basil. Mekanisme ini mungkin yang menyebabkan terjadinya erupsi dari nodul eritematosus
pada kulit di lokasi yang sebelumnya tidak terkena dan nefritis, dan mungkin menyebabkan
terjadinya arthralgia dan neuritis, yang juga memberikan gejala penyakit kompleks imun
lainnya, seperti serum sickness.
Selama reaksi tipe 2, terdapat peningkatan rasio limfosit CD4:CD8 dan penurunan jumlah
CD8. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme imun selular dalam beberapa hal meregulasi
ekspresi inflamasi akibat kompleks imun; namun, tidak terjadi pergeseran posisi pasien dalam

PPDS DERVEN FK UNHAS 85


Translated Bryceson

spektrum imunologi, tidak ada perubahan tes lepromin yang negatif, dan tidak ada perubahan
prognosis.

Fenomena Lucio
Hal ini terjadi secara eksklusif pada pasien dengan lepra Lucio (lihat hal. 30 [40]), sering
terjadi sebelum pengobatan dimulai. Lesi kecil berwarna merah jambu (pink) muncul di kulit,
terutama di ekstremitas. Lesi tersebut berbatas tidak tegas, nyeri, dan dapat diraba, dan
terutama berbentuk segitiga atau irregular (Gambar 8.7). Setelah beberapa hari, lesi berubah
menjadi gelap, berkrusta, dan menyembuh. Lesi yang lebih besar akan lebih inflamasi, dan
muncul bula yang meletus di atasnya, meninggalkan ulkus besar dan nyeri yang sembuh
perlahan dengan skar.

Histologi menunjukkan nekrosis iskemik epidermal dengan nekrosis pada pembuluh darah
superfisialis dan edem dan proliferasi endotel pada pembuluh darah dalam. Walaupun tidak
terdapat infiltrat polimorfonuklear, seperti halnya pada ENL, pewarnaan imunofluoresensi
menunjukkan deposi dari imunoglobulin dan komplemen di dinding dari pembuluh darah, dan
sejumlah besar BTA pada sel-sel endotel. Semua pasien mempunyai titer imun kompleks
sirkulasi yang tinggi dan cryoglobulin yang tinggi.

--===000===--

86 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

BAB 9: TATALAKSANA REAKSI


(Original Bryceson Hal. 127-132)

Lepra yang tidak diobati akan berlanjut secara tersembunyi (insidious) dan timbul kerusakan
saraf setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun; tetapi ketika reaksi, neuritis akut mungkin
menyebabkan kelumpuhan dalam semalam dan iridosiklitis mungkin menyebabkan kebutaan
yang cepat. Lesi kulit dan saraf terinflamasi dapat terasa sangat nyeri. Empat prinsip dasar
tatalaksana reaksi adalah:
1. Kendalikan neuritis akut untuk mencegah anestesia, paralisis, dan kontraktur
2. Hentikan kerusakan mata dan cegah kebutaan
3. Kendalikan nyeri
4. Bunuh basil dan cegah perluasan penyakit
Prinsip ini untuk semua tipe reaksi. Walaupun terdapat perbedaan tatalaksana pada
pasien bergantung pada jenis reaksinya, beratnya reaksi yang biasanya menentukan
bagaimana tatalaksananya.
Reaksi, terutama tipe 2, mungkin dipicu oleh vaksinasi, intercurrent illness, gangguan
hormonal ketika masa kehamilan, atau faktor psikososial. Apabila hal-hal ini tidak dapat
diantisipasi dan dicegah, reaksi harus dirawat dan diobati. Ketika pasien memulai pengobatan,
dia harus diingatkan mengenai kemungkinan terjadi reaksi. Pasien harus diyakinkan bahwa
gejala yang timbul bukan tanda perburukan penyakit, kemungkinan justru sebalikanya, dan
bahwa penderitaan dapat dikurangi, apabila dia berobat dengan cepat.
Kini, sudah tidak diijinkan untuk mengatakan bahwa anestesia, paralisis, dan kontraktur
adalah konsekuensi lepra yang tidak dapat dihindari. Diagnosis dan pengobatan dini dan
tatalaksana reaksi yang giat seharusnya mencegah perkembangan segala kecacatan.
Pendekatan praktis dari tatalaksana melibatkan empat modalitas.

Terapi anti-inflamasi

Reaksi ringan
Reaksi dapat berupa reaksi tipe 1 apabila tidak terdapat nyeri dan nyeri tekan pada saraf,
yang menandakan pasien tidak dalam bahaya dan kulit tidak inflamasi berat hingga ulserasi,
atau reaksi tipe 2 yang berupa lesi kulit minor dengan sedikit gangguan sistemik.
Aspirin adalah obat terbaik dan termurah untuk mengontrol nyeri dan inflamasi derajat
sedang: 600-1200 mg yang diberikan setiap 4 jam, 4-6 kali per hari.
Klorokuin, mempunyai efek anti-inflamasi, merupakan obat terbaik dan tersedia dengan
mudah, obat ini efektif untuk mengendalikan reaksi ringan: 150 mg basa klorokuin diberikan 3
kali per hari. Gejala toksik akibat pemberian klorokuin jangka panjang adalah: rash, teutama
foto-sensitisasi, pruritus, gangguan saluran cerna, gangguan visual, dan tinitus.
Kombinasi dari aspirin dan klorokuin lebih baik daripada diberikan sendiri-sendiri. Dosis
dikurangi perlahan apabila gejala dan tanda klinis sudah terkontrol.
Antimonial. Efek anti-inflamasinya dapat digunakan untuk mengontrol reaksi ringan. Obat
ini terutama bermanfaat untuk mengurangi gejala nyeri pada tulang dan persendian pada
reaksi tipe 2. Efek toksik termasuk rash, nyeri persendian, bradikardia, hipotensi, dan

PPDS DERVEN FK UNHAS 87


Translated Bryceson (2010)

perubahan EKG. Antimonial berupa trivalen organik bersifat kurang toksik daripada yang
inorganik, dan lebih dipilih. Stibophen mengandung 8,5 mg antimoni setiap ml: 2-3 ml
diberikan secara intramuskular sekali setiap dua hari, tidak melebihi dosis 30 ml.
Talidomid. Efek anti-inflamasi dari obat ini digunakan hanya untuk mengontrol gejala dari
reaksi tipe 2, termasuk neuritis dan iridosiklitis. Obat ini mungkin digunakan untuk semua
kasus terutama yang beat, dan sering bermanfaat untuk menghentikan kortikosteroid pasien.
Talidomid diberikan 400 mg per hari dan hingga reaksi terkontrol, dan kemudian dikurangi
perlahan menjadi 50 mg per hari. Obat tidak boleh diberikan kepada wanita pre-menopaus
karena efek teratogeniknya yang berbahaya; untuk alasan ini pula yang membatasi
ketersediaan obat ini. Talidomid menyebabkan drowsiness dan paling baik diberikan malam
hari. Talidomid telah dilaporkan menyebabkan neuritis perifer, tetapi hal ini belum terbukti
menjadi suatu masalah pada pasien lepra, meskipun sudah diobat selama berbulan-bulan.

Reaksi berat
Reaksi dikategorikan berat apabila:
a. Bahaya paralisis atau anestesia yang membahayakan yang menyertai neuritis. Hal ini
terutama pada reaksi tipe 1 pada lepra BT dan BB, tetapi mungkin terjadi pada reaksi
tipe 2.
b. Ulkus kulit membahayakan. Hal ini kadang-kadang mungkin mengikuti reaksi tipe 1
yang berat, tetapi paling sering pada ENL dan sering disertai dengan iritis, orchitis,
arthritis, dactylitis, demam, dan prostration
c. Iridosiklitis atau orchitis yang muncul sendiri

Kondisi-kondisi ini adalah kegawatdaruratan medis dan pengobatan anti-inflamasi harus


diberikan segera sehingga dapat menghindari kecacatan. Tatalaksana dari iridosiklitis dibahas
secara detail pada hal. 108 [158].
Kortikosteroid. Pada kasus neuritis, penting untuk mengontrol dengan cepat. Pada reaksi
tipe 1, prednison atau prednisolon diberikan dimulai dengan dosis tunggal harian 40-80 mg
(bergantung keparahan). Dosis yang lebih tinggi hendaknya dikurangi menjadi 40 mg setelah
beberapa hari. Kemudian dosis dikurangi 5-10 mg setiap 2-4 minggu, bergantung respon,
diakhiri dengan 10 mg pada hari alternatif (sekali dalam dua hari) setidaknya selama dua
minggu. Respon diukur secara perlahan melalui pemeriksaan fungsi saraf (lihat hal. 94 [136]).
Pasien lepra BT dengan reaksi umumnya membutuhkan kortikosteroid selama 2-6 bulan,
sedangkan pasien lepra BL dengan reaksi mungkin membutuhkan kortikosteroid hingga 9
bulan. Untuk penggunaan di lapangan, regimen tetap dengan dosis 40 mg per hari dan
dikurangi 5 mg setiap 2 minggu telah terbukti aman dan bermanfaat. Kortison atau
hidokortison juga sebaik prednison; dosisnya lima kali lebih tinggi.
Jika pasien dengan reaksi tipe 1 telah diobati dengan dapson dan kortikosteroid, dan
setelah beberapa minggu kortikosteroid tetap dibutuhkan dalam dosis yang cukup tinggi,
dapson hendaknya diganti dengan klofazimin.
Pada reaksi tipe 2, kerusakan saraf tidak membahayakan secepat pada reaksi tipe 1, dan
talidomid adalah obat pilihan. Apabila tidak tersedia, atau kontra indikasi, prednison
hendaknya dimulai dengan dosis 20-40 mg/hari dan dosis disesuaikan dengan respon.
Walaupun dosis yang lebih rendah mungkin dapat mengendalikan ENL, kondisi terkadang
menjadi kronik dan mungkin menjadi lebih sulit untuk menghentikan kortikosteroid pada

88 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

reaksi tipe 2 dibandingkan pada pasien dengan reaksi tipe 1. Dalam kondisi ini, penambahan
atau peningkatan dosis klofazimin memungkinkan untuk menghentikan steroid (lihat bawah).
Kadang-kadang talidomid saja gagal untuk mengontrol dengan cukup reaksi tipe 2. Dalam
kasus ini, penambahan dosis kecil kortikosteroid mungkin cukup.
Harus diingat bahwa kortikosteroid mensupresi respon imun dan kemudian meningkatkan
multiplikasi bakteri. Oleh sebab itu sangat diperlukan untuk melanjutkan terapi anti-lepra
ketika kortikosteroid diberikan atau mulai kembali monoterapi dapson atau klofazimin jika
MDT telah diselesaikan. Efek samping lain dari kortikosteroid adalah retensi air dan garam,
wasting otot, dan aktivasi ulkus peptikum. Tuberkulosis, strongyloidiasis, dan amoebiasis
mungkin kambuh pada pasien dengan kortikosteroid jangka lama. Apabila memungkinkan,
foto thoraks dan pemeriksaan feses hendaknya dilakukan.
Klofazimin. Klofazimin digunakan untuk reaksi pada pasien yang tidak dihentikan
kortikosteroidnya atau pasien yang bermasalah dengan ENL kontinyu dan talidomid tidak
dapat digunakan. Terapi standar dengan dapson dan rifampisin biasanya tetap dilanjutkan.
Apabila ENL terjadi setelah obat anti-lepra distop, tidak diperlukan obat anti-lepra lain.
Klofazimin mungkin secara temporer memicu reaksi dan dimulai dengan ‘dipayungi’
pemberian steroid yang ditingkatkan, yang mana kemudian dosisnya diturunkan perlahan.
Untuk mendapatkan efek anti-inflamasi, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk diberikan
untuk mendapatkan efek antibakteri. Dosis awal adalah 300 mg/hari dalam dosis terbagi,
selama 2 minggu, dikurangi menjadi 200 mg/hari selama satu atau bulan, dan kemudian
diturunkan menjadi 100 mg/hari bergantung respon. Efek-efek toksik disebutkan pada hal.
58 [84]. Pasien dengan keadaan umum yang lemah akibat reaksi tidak mengalami perubahan
warna ketika nyeri dan masalah yang timbul teratasi.

Terapi analgesik

Obat
Pada reaksi yang ringan, analgesik berfungsi sama dengan obat anti-inflamasi. Pada reaksi
yang berat, harus diberikan aspirin sebagai tambahan dari kortikosteroid apabila nyeri tidak
terkontrol. Hal ini berlaku terutama pada ENL kronik. Kecemasan akan menurunkan ambang
nyeri, ketika kecemasan dan insomnia menjadi masalah, mungkin diberikan chlorpromazin 25-
50 mg hingga tiga kali sehari waktu malam hari. Obat-obat opiat jarang diperlukan dan
biasanya dihindari karena bahaya ketegantungan. Nyeri yang menetap merupakan indikasi
untuk meningkatkan dosis kortikosteroid atau clofazimin, atau untuk pembedahan.

Injeksi intraneural
Injeksi lignocaine dan prednison intraneural dapat mengurangi nyeri dari neuritis akut, tetapi
meningkatkan kecenderungan terhadap kerusakan saraf dan pembentukan skar, dan
hendaknya dihindari. Dosis steroid sistemik yang cukup mempunyai efektifitas sama, dan lebih
dipilih karena steroid meringankan infiltrasi di seluruh saraf dan tidak hanya pada lokasi yang
terutama dikeluhkan pasien.

PPDS DERVEN FK UNHAS 89


Translated Bryceson (2010)

Pembedahan
Apabila terjadi abses saraf, hal ini dapat diaspirasi melalui jarum dengan diameter lebar.
Apabila gagal, saraf dibuka, dan abses diinsisi di sepanjang aksis dari saraf. Abses kecil
biasanya sembuh spontan.
Selama episode neuritis, terjadi peningkatan volum cairan di dalam saraf, epineurieum
menjadi menebal dan jaringan sekitar membengkak. Kejadian ini meningkatkan tekanan
intraneurial, terutama pada lokasi awal konstriksi. Apabila terapi kortikosterid yang adekuat
tidak dapat meringankan gejala nyeri atau tidak menunjukkan perbaikan cepat fungsi saraf,
tindakan pembedahan mungkin perlu dipertimbangkan. Neurolysis meringankan saraf dari
konstriksi di sekitarnya dan epineurotomy merobek (slit) selongsong saraf, melepas tekanan
internal. Dilakukan dalam waktu 10 hari sejak onset dari reaksi, oleh seorang dokter bedah
berpengalaman, hasil jangka pendek dan panjang seringkali adalah baik.
Saraf hendaknya tidak pernah dibuang bila ada kemungkinan masih terdapat fungsi atau
fungsi akan kembali, karena hal ini akan menghancurkan suplai darah, meningkatkan edem,
dan menyebabkan pembentukan skar dan memperburuk kerusakan. Saraf yang tidak
berfungsi total selama berbulan-bulan mungkin dirobek di sepanjang garis panjangnya atau
dieksisi total untuk mengurangi nyeri yang tidak dapat diatasi (intractable).

Pembidaian dan olah raga


Pada reaksi yang berat, imobilisasi pada tungkai yang terkena membantu untuk mengurangi
nyeri. Pembidaian yang benar pada ekstremitas membantu tangan/ kaki untuk bertahan
bahkan dari reaksi kombinasi tipe 1 dan 2 yang berat dan memberikan manfaat. Ekstremitas
yang tidak dibidai akan terbentuk kontraktur, terutama selama reaksi kombinasi dimana
mungkin terjadi paralisis sementara dan arthritis akut. Persendian menjadi kaku pada posisi
clawed dan tangan menjadi cacat kecuali fungsi otot intrinsik kembali. Persendian hendaknya
dibidai pada posisi fungsionalnya. Pembidaian paling nyaman dengan menggunakan plaster
slabs atau Plastazote® keras, dengan diberi padding dari kapas wol yang banyak dan
diamankan dengan bidai (bandages). Pembidaian harus dibiarkan dalam posisinya selama 24
jam hingga inflamasinya berkurang, dilepas hanya sewaktu olah raga. Olah raga dimulai
dengan olah raga pasif yang sederhana (gentle) setiap hari. Olah raga aktif secara gradual
dilakukan hingga fungsi normal kembali (lihat hal. 118 [172]).

Terapi antibiotik
Karena lepra disebabkan oleh infeksi M. leprae, maka pengobatan antibiotik harus
dilanjutkan selama infeksi masih ada. Prinsip ini penting dalam pengobatan pasien dengan
kortikosteroid dan menjadi lebih penting terutama bila spektrum pasien semakin dekat
dengan kutub lepromatosa. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan dosis dari dapson,
menghentikan atau memulai kembali, tidak mempengaruhi kejadian reaksi tipe 2 dan hanya
sedikit merubah derajat keparahannya. Demikian pula dengan rifampisin tidak memicu reaksi
tipe 2.
Kemungkinan peran dapson atau rifampisin pada terjadinya reaksi tipe 1 belum dipahami
sepenuhnya (lihat hal. 56 [80], 84 [121]), tetapi ada tiga pernyataan mengenai reaksi tipe 1:

90 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

1. Pasien yang datang pertama kali dengan nyeri tekan pada saraf, klofazimin mungkin
tidak memperhebat situasi, tidak seperti dapson dan rifampisin.
2. Beberapa pasien borderline mengalami reaksi yang berat dalam beberapa minggu
setelah memulai dapson. Pemberian klofazimin menyebabkan pemberian
kortikosteroid dapat dikurangi segera.
3. Apapun jenis obat anti-lepra-nya yang digunakan ketika reaksi, obat tersebut harus
digunakan dalam dosis biasanya.
Pada reaksi tipe 2 apabila terjadi ulserasi pada mukosa saluran pernafasan atas,
pemberian streptomisin menjadi indikasi tambahan (lihat hal. 58 [83]).

Fenomena Lucio
Pengobatan dengan regimen yang mengandung rifampisin adalah sarana yang paling penting,
dan biasanya memberikan kontrol yang cepat terhadap fenomena ini pada pasien yang belum
memulai pengobatan. Jika tidak, steroid hendaknya diberikan sebagai pengobatan seperti
halnya reaksi tipe 2. Talidomid dan klofazimin tidak efektif.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 91


Translated Bryceson

BAB 10: KOMPLIKASI AKIBAT KERUSAKAN


SARAF
(Original Bryceson Hal. 133-152)

Infeksi pada saraf perifer adalah satu bagian dengan lepra tetapi kerusakan saraf bukan akibat
yang tidak bisa dihindari dari infeksi. Pencegahan atau pengurangan kondisi reakssi dapat
meminimalisir kerusakan saraf. Menghentikan atau membalik kerusakan saraf jauh lebih
penting daripada mengobati komplikasi yang terjadi setelah perubahan yang ireversibel
terjadi. Perlu ditegaskan bahwa pencegahan dari kerusakan saraf harus dipertimbangkan
sebagai satu-satunya aspek paling penting dalam pengobatan lepra, dan salah satu yang paling
sering diabaikan (lihat Bab 9).
Terdapat pola konsisten terhadap keterlibatan saraf pada lepra. Saraf akan terkena paling
berat ketika saraf tersebut terletak superfisial, tepat di bawah kulit. Pada lepra lepromatosa
dini, adalah cabang terminal halus dari serabut sensorik dan otonomik pada kulit yang
terkena; pada lepra tuberkuloid, adalah saraf perifer besar pada ‘lokasi predileksi’. Hal ini
terjadi kemungkinan karena:
1. Suhu. Saraf terletak superfisial otomatis lebih dingin (cooler). Preferensi dari M. leprae
untuk memilih tempat dengan suhu lebih rendah daripada suhu tubuh mendukung hal
ini.
2. Trauma mungkin menjadi faktor penentu dikarenakan posisi yang lebih rentan pada
lokasi-lokasi tersebut.
3. Pergerakan. Kerusakan terjadi akibat tarikan kuat dari saraf secara konstan dan
biasanya proksimal dari persendian, dimana kemungkin terdapat terowongan tempat
saraf melintas, atau bentuk lain yang memungkinkan konstriksi
Terdapat tiga fungsi fisiologi dari saraf, yaitu: sensorik, motorik, dan otonomik; ketiganya
mungkin secara seimbang terlibat tetapi biasanya komponen sensoris adalah yang paling dini
dan paling berat dikenai. Keterlibatan saraf otonom tidak berhubungan langsung dengan
saraf-saraf yang lain, namun demikian pada anestesi yang berat terjadi gangguan berkeringat
dan disfungsi vasomotor (saraf dan otot yang mengendalikan vasodilatasi/ vasokontriksi). Seringkali terdapat
hilangnya sensasi sensoris yang berat dan luas, tetapi tidak terjadi atau sedikit kelemahan
motorik; dan jarang terjadi kerusakan motorik tanpa hilangnya sensasi sensoris. Hal yang
umum terjadi adalah kombinasi dari berbagai derajat dari kerusakan pada seluruh
komponen.

Lokasi predileksi saraf yang terkena dan disabilitas yang dihasilkan


Saraf ulnaris. Saraf ini terletak tepat di proksimal dari fossa olekranon. Sensasi hilang pada
setengah bagian ulnar dari tangan. Kerusakan otonom menyebabkan cyanosis dan kulit kering.
Terdapat paresis atau paralisis pada interoseus dan dua otot lumbricalis medialis dan otot
hipotenar, yang diikuti oleh atrofi. Jari kelingking terabduksi dan tidak dapat bergerak ke arah
sebaliknya, penonjolan hipotenar mendatar, dan terdapat cekungan (guttering) pada ruang
interoseus. Jari kelingking dan jari manis fleksi pada persendian interfalang dan ekstensi pada
persendian metacarpofalang. Pola ini disebut ulnar atau minimal claw (Gambar 10.1). Hal yang

92 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

jarang terjadi adalah kerusakan


ulnaris lebih luas dan terdapat
kelemahan pada deep flexors
pada jari kelingking dan jari
manis.

Saraf medianus. Saraf ini jarang


terkena sendiri dan biasanya
dihubungkan dengan kerusakan
saraf ulnaris. Kemungkinan
mengenai dua lokasi:
1 – Rendah. Tepat
proksimal dari carpal tunnel.
Hilangnya sensasi sensoris dan
otonomik pada setengah tangan
bagian lateral. Terdapat kelemahan atau paralisis otot pada thenar eminence (opponens
pollicis, abductor pollicis brevis, flexor pollicis brevis), dan 2 buah lumbricalis lateralis. Tangan
terbaring datar dan jempol sejajar dengan tangan. Jempol tidak dapat abduksi atau opposed,
tetap masih dapat fleksi. Thenar eminence datar. Jari jempol, telunjuk, dan tengah dalam
posisi fleksi pada persendian interfalang proksimal dan hiperekstensi pada persendian
metacarpofalang (Gambar 10.2). Jika juga terjadi deformitas paresis ulnaris, hal ini melengkapi
gambaran “complete claw”. Claw hand pada mulanya mobil dan apabila dilatih setiap hari
dapat mempertahankan fungsi berguna. Apabila diterlantarkan, kontraktur akan muncul dan
tangan menjadi terfiksasi dan sulit terjadi perbaikan fungsi.
2 – Tinggi. Proksimal dari lipat siku. Kerusakan ini sering didapatkan. Tidak
meningkatankan hilangnya sensasi, tetapi menyebabkan jari telunjuk dan jari tengah tidak
dapat fleksi, dan jempol tidak dapat fleksi dan gerak berlawanan, dan mungkin terjadi
kelemahan fleksi dan pronasi pada pergelangan tangan.

Saraf radialis. Saraf ini berjalan di


sekitar humerus, dibawah insersio
deltoid. Saraf ini jarang terlibat.
Kehilangan sensoris hanya
terbatas pada daerah kecil di
proksimal dari jari telunjuk di
bagian dorsal telapak tangan.
Tetapi kehilangan motorik berat
dan menyebabkan paralisis
ekstensor dan supinator dengan
akibat 'wrist drop' yang
mengakibatkan kecacatan berat.

Saraf peroneus komunis.


Didapatkan di sisi proksimal ketika
saraf melewati sekitar leher fibula dan berjalan ke atas ke fosa poplitea. Kerusakan pada saraf

PPDS DERVEN FK UNHAS 93


Translated Bryceson (2010)

ini menyebabkan anestesi pada bagian lateral dari tungkai dan dorsum dari kaki. Defisit
motorik pada otot peroneus dan dorsifleksor pada kaki. Tanda dini kerusakan adalah kesulitan
untuk dorsofleksi dan eversi terhadap tahanan. Gambaran lengkap kerusakan adalah foot drop
dengan high-stepping gait.
Saraf tibialis posterior. Didapatkan di sisi proksimal ketika saraf melewati maleolus
medialis. Kerusakan mengakibatkan anestesia pada telapak kaki dan paralisis otot intrinsik
kaki, menyebabkan 'clawing' jari-jari kaki, dan kolaps akiles. Kerusakan saraf ini adalah faktor
predisposisi paling sering dan penting dalam menyebabkan luka pada kaki pasien lepra.

Saraf fasialis. (Lihat Bab 11)


1. Cabang temporal dan zigoma [Henry: saraf-saraf cabang superior] adalah yang paling
sering dikenai karena keduanya menyilang zigoma, terutama karena letaknya yang superfisial
pada posisi ini. Kerusakannya menyebabkan lagoftalmus (tidak bisa menutup mana) yang
mana pada stadium dini dapat diamati bila pasien menutup matanya dengan perlahan
(Gambar 4.20).
2. Paralisis pada cabang buccal, mandibula, dan cervical [Henry: saraf-saraf cabang
inferior] jarang terjadi dan biasanya dikaitkan dengan keterlibatan cabang atas (upper
branches). Pola ini membedakan facial palsy pasien lepra dengan Bell's palsy. Ketika cabang ini
dikenai, tersapat hilangnya ekspresi wajah dan ketidaksanggupan menutup bibir.

Saraf trigeminus. Kerusakannya kemungkinan pada akhir saraf halus (fine nerve endings) dan
menyebabkan anestesia pada wajah, dan paling penting, pada kornea dan konjungtiva.

Uji untuk mengukur fungsi saraf


Untuk tujuan diagnosis, perlu untuk melakukan pemeriksaan sederhana untuk anestesia
(sensorik), kelemahan (motorik), dan hilangnya fungsi otonomik (lihat hal. 38 [58]). Sebelum
pengobatan dimulai, pemeriksaan lebih seksama terhadap kerusakan saraf penting untuk
memberikan informasi semi kuantitatif dari kerusakan saraf. Hal ini penting terutama ketika
kerusakan saraf baru terjadi, atau mengancam karena terjadi reaksi, dan obat anti-inflamasi
rencana diberikan. Pemeriksaan ulang periodik memberikan petunjuk obyektif untuk
tatalaksana.
Kehilangan sensoris mungkin diukur dengan penggunaan serat benang nilon yang ditekuk
pada tekanan tertentu (graded nylon bristles that bend to known pressures). Kehilangan
motorik secara sederhana diukur melalui derajat kekuatan setiap otot dengan skala berikut:
5: kekuatan penuh
4: sedikit kelemahan
3: melawan gravitasi
2: tidak dapat melawan gravitasi
1: lecutan otot (flicker of movement)
0: tidak ada gerakan
Uji ini, walaupun sederhana, sering memakan waktu dan paling baik dilakukan oleh
fisioterapi terlatih.

94 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Ketika terdapat fasilitas, uji elektrofisiologi pada fungsi saraf harus dilakukan: nerve
conduction velocity dan elektromiografi. Uji ini merupakan pemeriksaan kuantitatif dari setiap
fungsi saraf dan otot.

Ciri-ciri kerusakan saraf pada spektrum penyakit


Pada lepra tuberkuloid, keterlibatan saraf terjadi dini dan berlanjut (progress) dengan cepat.
Hal ini disebabkan infiltrasi pada saraf oleh granuloma tuberkuloid dan edem pada kondisi
reaksi. Jumlah saraf yang terlibat terbatas (sedikit) dan dapat dibandingkan dengan jumlah lesi
kulit yang sedikit pada penyakit tuberkuloid. Pada stadium yang dini, kerusakan dapat dibalik
(reversed) dengan relatif mudah.
Pada lepra lepromatosa, kerusakan saraf tersebar luas, tetapi berlangsung jauh lebih
perlahan. Setelah beberapa tahun, terjadi kerusakan pada ujung saraf sensoris pada lokasi
tubuh lebih dingin, seperti bagian dorsal dari lengan bawah, telinga, dan hidung; yang
kemudian bagian ini menjadi anestetik. Hilangnya sensasi pada mulanya tidak berkaitan
dengan badan saraf perifer, yang kemudian mengikuti ketika terjadi fibrosis yang luas dan
ekstensif menggantikan akson saraf, menghasilkan pola anestesia dan paralisi yang serupa
pada lepra tuberkuloid tetapi simetris.
Pasien lepra borderline mempunyai keterlibatan saraf besar paling luas, dan kemungkinan
terjadinya reaksi menyebabkan mereka mendapatkan kerusakan yang paling berat, sering
dengan paralisis bilateral. Pasien ini yang paling sulit tatalaksananya.

Mekanisme yang menyebabkan disabilitas (kecacatan)


Kerusakan pada tiga komponen
fisiologis saraf diikuti oleh anestesia,
kulit kering, dan paralisis otot. Ketiga
faktor ini mendasari terjadinya
deformitas dan kecacatan pada tangan
dan kaki pasien lepra karena mereka
menyebabkan ekstremitas yang
dikenai menjadi salah guna (misuse).
Ulserasi, pembentukan skar, dan
infeksi sekunder menimbulkan dan
membuat suatu lingkaran kejadian
yang mengakibatkan hilangnya
jaringan dalam dan menghasilkan
kecacatan yang berat. Penyebab lebih
lanjut pada pasien lepra adalah akibat
invasi M. leprae ke jaringan.
Delapan penyebab disabilitas
dibahas mendalam berikut ini. Interaksi antar penyebab digambarkan dalam Skema 10.3.

PPDS DERVEN FK UNHAS 95


Translated Bryceson

1. Anestesia
Anestesia adalah komplikasi paling 'menghancurkan' (devastating) pada lepra dan, sejauh ini,
adalah penyebab paling berperan dalam disabilitas. Anestesia meningkatkan risiko disabilitas
disertai kerusakan saraf motorik dan sensorik, dan menjadi faktor predisposisi utama terhadap
komplikasi sekunder.
Bagaimana, kapan, dimana, dan mengapa kita menyentuh mempunyai makna psikologis
dan fungsi perilaku yang penting, termasuk fungsi informasi dan protektif. Sebagai tambahan
luka fisik yang dibahas pada hal. 98 [142], pasien dengan anestesia menderita secara
psikologis dan sosial. Mereka merasa bingung, tidak berdaya terhadap luka, dihindari teman-
teman, takut, dan bahkan putus asa. Mereka menjadi canggung, mempunyai kesulitan
memegang barang dan tidak dapat mengerjakan pekerjaan halus. Sekitar 50% menyerah
terhadap aktivitas, seperti menjahit atau bertanam atau olahraga, dan rasa dijauhkan dari
lingkungan sosial timbul sebelum disabilitas fisik timbul.
Terdapat suatu kelainan kongenital yang langka, yaitu hilangnya serabut saraf untuk
persepsi nyeri. Dalam perjalanan waktu 15-30 tahun, mereka timbul disabilitas pada tangan
dan kaki seperti mereka yang terkena lepra. Mekanismenya terjadi karena hilangnya
pengenalan nyeri dan kemudian sebabkan mengabaikan trauma yang menimbulkan infeksi di
tangan dan kaki.
Satu masalah utama pada individu yang tidak mempunyai sensasi nyeri pada
ekstremitasnya adalah untuk identifikasi 'diri' (self) dengan 'tubuh'. Pada individu dengan
sensasi nyeri (individu normal), 'diri' dan 'tubuh' saling mendukung. Tetapi individu dengan
ekstremitas anestetik mempertimbangkan bahwa 'diri' tidak mengisi seutuhnya ruang 'tubuh'
dimana 'diri'-nya berada, dan sebagai konsekuensinya, dia merusak bagian tubuh tersebut
yang melewati batas dari 'diri'. Kadang-kadang, pasien dengan anestesia pada lengan akan
menolak bahwa lengan bukan bagian dari dirinya, sehingga, walalupun lengan dapat berfungsi,
dia tidak akan menggunakannya sama sekali, dan mungkin tidak memasukkan pakaian ke
lengannya. Ketika seseorang lain menunjukan ketertarikan pada ekstremitas tersebut, dan
mulai merawatnya, contohnya oleh fisioterapi, pasien baru akan menggunakannya lagi dan
kemudian fungsinya meningkat.
Paul Brand, yang merupakan ahli bedah piawai terhadap rehabilitasi pasien lepra,
mengatakan bahwa apabila dia mempunyai kesempatan memberikan hadiah kepada pasien-
pasiennya, itu adalah berupa kemampuan mempersepsi nyeri.

2. Kulit kering
Kerusakan pada serabut saraf
simpatis mengganggu fungsi
berkeringat dan membuat kulit
kering, tidak elastis, dan rapuh;
fisura mudah terjadi, sehingga
memulai terjadi lingkaran ulserasi
dan pembentukan skar (Gambar
10.4). Proses ini adalah proses
paling penting di sekitar tepi dari
telapak kaki dimana setiap
langkah, terutama pada kaki

96 PPDS Kulit & Kelamin FK UNAND/Padang


Translated Bryceson

anestesi, mencegah fisura sembuh. Kerusakan pada inervasi pembuluh darah kulit dan
jaringan subkutis diikuti dengan hilangnya tonus pembuluh darah dan stasis pembuluh darah
kapiler. Panas mungkin tidak disalurkan dengan baik dan jaringan mungkin lebih mudah
terbakar. Kontraktilitas pembuluh darah hilang dan luka mungkin lebih mudah menimbulkan
hematoma. Oksigenasi terganggu dan jaringan mungkin menyembuh lebih pelan.

3. Paralisis Otot
Paralisis sendiri merupakan suatu
disabilitas. Sebagai tambahan,
paralisis menyebabkan
ketidakseimbangan otot yang
mengakibatkan posisi abnormal
persendian, dan juga paparan
tangan dan kaki terhadap tekanan
abnormal, yang apabila disertai
anestetik, dapat menyebabkan
destruksi pada jaringan profundus
dan ulserasi kulit (Gambar 10.5).
Pada penyakit dimana terjadi suatu
paralisis tanpa terjadinya anestesia,
pasien tetap perhatian terhadap
ekstermitasnya dan merawatnya
dari luka. Pada lepra, paralisis
memperberat efek anestesia.
Contoh yang paling sering dilihat
pada claw hand (Gambar 10.6).
Ketika pasien menggenggam suatu
peralatan, persendian interfalang
hiperfleksi, dan tekanan berlebih
ditekankan pada ujung jari-jarinya.
Otot subkutikuler memar terhadap
ujung tajam dari falang. Memar
yang berulang menghancurkan
otot. Terjadi pembentukan kalus
pada kulit, merusak langsung tulang
dan kemudian terjadi ulserasi.
Tangan yang berfungsi tidak baik oleh pasien tidak digunakan sepenuhnya; tendon
memendek dan persendian menjadi kaku. Namun, persendian yang kaku lebih sering
disebabkan karena kerusakan akibat salah penggunaan, ulserasi, infeksi sekunder, dan
ankilosis fibrosis.
Dengan paralisis pada otot-otot intrinsik pada kaki, jari-jari kaki menjadi hiperekstensi
pada persendian metatarsofalang dan bengkok (clawed). Terdapat kurang proteksi otot pada
ujung metatarsal, yang kemudian membuatnya lebih rentan terhadap luka, dan kulit di

PPDS DERVEN FK UNHAS 97


Translated Bryceson

atasnya menjadi ulserasi. Drop foot menyebabkan pasien sulit berjalan, dan apabila terjadi
anestesi, bagian depan kaki mudah mengalami ulserasi.

4. Misuse (salah penggunaan)


Minimal sembilan dari sepuluh luka pada tangan dan kaki yang anestesia terjadi akibat salah
penggunaan. Salah penggunaan pada ekstremitas yang anestetik diikuti luka terjadi tanpa
disadari oleh pasien. Luka tersebut diabaikan hingga terjadi komplikasi, dan terjadi lingkaran
yang menyebabkan kehancuran jaringan dan disabilitas dimulai. Melalui cara ini cedera minor
menjadi malapetaka mayor. Perjalanan cedera tergantung pada usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan kebiasaan pasien: pekerja kantor yang menggunakan sepatu modis, yang mungkin terlalu
ketat, akan lebih rentan terhadap friction blister dan lebih jarang tejradi luka potong dan tusuk
daripada petani yang tidak menggunakan alas kaki. Ibu rumah tangga lebih rentan terbakar
tangannya ketika memasak.
Terdapat enam macam cedera yang sering dijumpai. Cedera yang disebabkan oleh
tekanan yang berulang, lama, dan berlebih adalah yang paling penting.

a. Memar akibat trauma minimal berulang. Memar terjadi akibat tindakan yang berulangkali/
bertenaga lebih dari seharusnya, seperti berjalan atau mengendalikan peralatan. Tekanan
yang diperlukan untuk menghasilkan memar adalah 1,4-3,5 kg/cm2. Tetapi tekanan tersebut
harus diulang ribuan kali. Ribuan repetisi yang pertama menyebabkan inflamasi, yang nyeri
pada ekstremitas normal dan membatasi aktivitas. Pada ekstremitas anestetik, tidak terdapat
batasan aktivitas tersebut. Ribuan repetisi selanjutnya akan menyebabkan nekrosis pada
bagian yang terinflamasi dan terjadi perdarahan. Pada tahap ini, apabila pasien menyadari
terjadi memar dan kemudian istirahat, maka pembentukan ulkus dapat dicegah dan mungkin
dapat terjadi penyembuhan tanpa terjadi pembentukan skar. Episode memang berikutnya
dapat dicegah apabila aktivitas yang menyebabkannya dapat dibatas dan apabila macam
aktivitas berulang dilakukan secara gradual, yang mana memberikan jaringan waktu untuk
hipertrofi dan menahan tekanan yang dalam kondisi normal dapat ditoleransi.
Apabila pasien tidak menyadari terjadi memar, jaringan subkutan atau bahkan tulang
mungkin dihancurkan. Jaringan
subkutan yang mati dan bekuan
darah mencair dan mengalir ke
salah satu sisi kaki sebagai
necrosis blister. Kulit di atasnya
menjadi ulserasi (Gambar 10.7).
Ulkus ini biasanya disebut
sebagai, walaupun salah, ‘ulkus
tropikum’. Tulang yang paling
rentan rusak melalui cara ini
adalah tulang metatarsal. Terjadi
nekrosis aseptik dan absorpsi
pada kepala dan absorpsi
konsentris pada batang, yang
kemudian menjadi menyempit
dan meruncing seperti pensil,

98 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

dengan penebalan pada korteks


tulang (Gambar 10.8).
Pada kaki, terjadi dua jenis
tekanan, yang apabila terjadi
berulang-kali akan menyebabkan
memar dan ulserasi. Mereka
disebut sebagai ‘thrust’
(tekanan) dan ‘shear’ (robekan).
‘Thrust’ adalah tekanan tumpul
langsung yang efeknya dijelaskan
di atas. ‘Shear’ adalah tekanan
menarik pada jaringan subkutan
ketika kaki dalam gerakan
seperti berjalan atau berlari.
Ketika kaki menyentuh tanah,
kulit tertarik ke belakang; dan
ketika kaki bergerak ke atas dari
tanah, kulit tertarik ke depan.
Gerakan ini tidak berbahaya
pada kaki yang normal, karena nyeri akan ‘mengingatkan’ apabila terlalu banyak tekanan.
Pada kaki yang skar, jaringan subkutan tidak dapat bergeser secar normal dan robekan
mungkin terjadi berlebih; apabila kaki anestetik, terjadi lebih banyak jaringan subkutan yang
robek dan terbentuk ulkus.

b. Nekrosis akibat tekanan yang lama atau abnormal. Tekanan yang ringan, sekitar 0,07
kg/cm2, dapat menyebabkan nekrosis dan ulkus apabila berlangsung secara konstan selama
beberapa jam. Tekanan tersebut mungkin terjadi akibat sepatu yang ketat atau akibat
pembebatan di dalam sepatu yang hal demikian sering digunakan pasien dengan ulkus pada
kaki. Pasien dengan kaki yang mengalami deformitas kadang-kadang menggunakan sepatu
yang siap pakai tetapi tidak pas di kakinya untuk menutupi deformitasnya. Contoh-contoh
situasi lain yang lama dan konstan, tetapi tekanan sedikit saja dapat menyebabkan nekrosis
jaringan adalah tangan yang menggenggam pegangan ketika bepergian dengan bus atau siku
bersandar pada meja ketika bermain catur. Pada contoh-contoh ini, kurangnya rasa nyeri pada
ekstremitas yang anestetik menyebabkan hilangnya ‘peringatan’ untuk merubah stance (posisi
berdiri), grip (genggaman), dan posture (posisi tubuh).
Efek dari tekanan yang konstan memperberat deformitas yang sudah terjadi, yang
mungkin menyebabkan tekanan terjadi pada lokasi yang tidak dilindungi oleh ‘bantalan’
subkutan (jaringan lemak & fibrosa). Pada kondisi ini, tekanan mungkin meningkat hebat.
Sebagai contoh, ketika tangan yang normal mengangkat beban 22,5 kg maka tekanan yang
terjadi adalah 0,2 kg/cm2; pada beban yang sama, yang diangkat oleh ujung-ujung jari yang
bengkok, menghasilkan tekanan 2,1 kg/cm2 [Henry: 10x lipat], yang dengan cepat mematikan
jaringan.
Pasien dengan tangan anestetik tidak mengetahui seberapa besar tenaga yang
diperlukan untuk menggenggam benda (contoh: perkakas atau kunci), untuk melakukan suatu
aksi, dan, kemudian, pada tahanan maksimum, menghasilkan tekanan lebih besar daripada

PPDS DERVEN FK UNHAS 99


Translated Bryceson

yang diperlukan. Benda tumpul akan membuat memar sedangkan benda tajam akan
memotong kulit.

c. Luka tusuk dan potong. Penetrasi duri, kuku, atau benda runcing lain ke kulit sering
menghasilkan luka yang tidak berdarah ataupun menimbulkan kerusakan kulit yang jelas, dan
tidak mudah diamati oleh ekstremitas yang anestetik. Individu normal akan berhenti berjalan
dan membuang duri pada kakinya karena nyeri, tetapi pasien lepra tidak merasakan sakit dan
terus berjalan. Luka terisi dengan kotoran dan setiap langkah menyebabkan infeksi lebih
dalam pada jaringan. Demam, limfadenitis inguinal yang nyeri atau bengkak pada kaki
menyebabkan pasien menyadari kondisi yang berbahaya. Jika tidak nekrosis dan ulserasi tidak
dapat dihindari.
Luka potong lebih mudah dikenali daripada luka tusuk karena luka ini berdarah atau
mungkin tampak; tetapi, apabila terabaikan karena anestesia, luka potong menyebabkan
komplikasi sama dengan luka tusuk.

d. Luka bakar. Luka bakar adalah


bentuk cedera yang sering. Tangan
yang anestetik tidak dapat
mengenali, atau terlambat
mengenali, panas dari panci masak
atau rokok; kaki yang anestetik
tetap melangkah dengan tidak
nyeri pada bara atau masuk ke
dalam bak yang terlalu panas
(Gambar 10.9). Banyak pasien
lepra, dan bahkan beberapa
dokter, memikirkan bahkan lepra
sendiri sering menyebabkan
gelembung pada tangan dan kaki.
Gelembung demikian adalah selalu disebabkan oleh bakaran atau gesekan. Dalam kondisi yang
sangat jarang, ENL mungkin bermanifestasi berupa gelembung di sekitar tepi dari telapak
tangan atau kaki.
Luka bakar derajat dua akan sembuh tanpa pembentukan skar apabila mereka diobati
dengan benar dan tidak terjadi infeksi; tetapi luka bakar derajat tiga mungkin menyebabkan
hilangnya jaringan yang cukup luas dan terjadi pembentukan skar.

e. Gelembung akibat gesekan. Penggunaan sepatu yang terlalu longgar atau penggunaan
perkakas yang digenggam berulang pada tangan mungkin menyebabkan terjadinya
gelembung. Gelembung tersebut secara normal akan terasa nyeri; pasien menghentikan
aktivitasnya dan gelembung menyembuh. Anestesia menunda pengenalan gelembung dan
aktivitas lebih lanjut menimbulkan terbentuknya ulkus.

f. Dislokasi persendian. Cedera yang jarang terjadi tetapi sangat menyebabkan kecacatan
mungkin terjadi akibat hilangnya dua jenis sensasi pada dan sekitar persendian: sensasi
regangan dan nyeri. Pada individu normal, apabila dia berjalan dan kemudian tumit
terpelintir, tendon akan teregang dan kontraksi otot mengamanan persendian. Pada saat yang

100 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

bersamaan, refleks relaksasi pada


otot di sekitar lutut dan pinggung
menarik beban dari tumit tersebut.
Pasien akan tidak seimbang tetapi
persendian selamat. Hilangnya
sensasi regangan dan nyeri
menyebabkan pasien tetap
memberikan beban sepenuhnya
pada tumit yang terpelintir, ligamen
terobek, dan persendian tidak stabil.
Ketika pasien berjalan lebih lanjut
menyebabkan dislokasi dan bahkan
fraktur, menyebabkan persendian
kacau atau neuropatik. Bukti klinis
yang pertama dari cedera adalah
bengkak dan demam di sekitar tumit.
Sebagai perbandingan dengan kaki
yang lain, pada bagian medial arkus pedis merata (Gambar 10.10). Foto radiologi pada tulang
memberikan hasil bermakna. Seringkali cedera menyebabkan kolapsnya leher dari talus
(Gambar 10.11).

5. Ulserasi
Berbagai jenis dari keenam cedera
yang terjadi, adalah akibat dari
salah penggunaan dari ekstremitas
yang anestetik mungkin
menyebabkan ulserasi. Dari
keenamnya, memar dari trauma
minimal yang berulang adalah
penyebab paling sering. Ulkus
pada telapak kaki kemungkinan
komplikasi sekunder paling sering
pada pasien lepra. Lokasi ulkus
pada telapak kaki paling sering
adalah di sekitar kepala
(kapitulum) tulang metatarsal,
dasar metatarsal V, dasar falang
proksimal dan kalkaneus. Ulkus
merusak karena menyebabkan infeksi sekunder dan sembuh dengan pembentukan skar
(Gambar 10.12).

PPDS DERVEN FK UNHAS 101


Translated Bryceson

6. Pembentukan Skar
Defek akibat ulkus diganti oleh jaringan skar yang lebih lemah dan mempunyai suplai
pembuluh darah yang lebih sedikit daripada jaringan sehat. Ketika skar berkontraksi, suplai
pembuluh darah menjadi lebih rendah dan skar mungkin pecah (break down) sebagai akibat
cedera minor, atau bahkan terjadi spontan. Skar menyebabkan distorsi pada telapak tangan
atau kaki, menyebabkan distribusi tekanan yang abnormal dan menyebabkan ulserasi lebih
lanjut.

7. Infeksi Sekunder
Seperti halnya anestesi yang menunda pengenalan terhadap cedera mekanis, demikian pula
infeksi sekunder menunda pengenalan infeksi sehingga seringkali memperberat cedera.
Selulitis terjadi dan menghancurkan jaringan subkutan, dan infeksi mungkin mengenai tulang.
Pasien adalah ‘beruntung’ apabila gejala sistemik muncul memaksa dia untuk mengenai
sesuatu yang salah; tetapi pada waktu itu, kerusakan yang permanen mungkin tidak dapat
dihindari.

102 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Osteomyelitis menyebabkan kerusakan yang lebih hebat pada tulang daripada: nekrosis
aseptik akibat trauma berulang, osteoporosis akibat tidak digunakan, erosi akibat invasi M.
leprae. Pada banyak pasien mekanisme ini terjadi saling ko-eksistensi. Sebagai akibat dari
osteomyelitis, terjadi absorbsi tulang, terbentuk sequestra, dan distorsi kaki dan tangan yang
tidak dapat disembuhkan (irretrievably) (Gambar 10.12-13). Tetapi, bahkan perubahan pada
tahap akhir ini dapat dihentikan melalui pengendalian infeksi, mencegah terjadinya trauma
lebih lanjut, dan jaringan di atasnya untuk sembuh.

Sebagai kelanjutan dari hal ini, dari anestesia hingga disabilitas, juga ditemukan kondisi
lain yang menyebabkan hilangnya sensasi, seperti diabetes, tabes dorsalis, syringomyelia, dan
spina bifida. Pada lepra, perubahan ini mungkin menyebabkan disabilitas tambahan akibat dari
invasi M. leprae pada jaringan.

8. Invasi M. leprae pada jaringan


Pada pasien lepra seluruh jaringan tangan dan kaki mungkin diinfiltrasi oleh M. leprae, dan
mungkin tidak berfungsi secara normal. Mungkin terjadi fraktur tulang (lihat hal. 29 [36] dan
Gambar 4.13). Peradangan pada kondisi reaksi mungkin meningkatkan kerusakan jaringan dan
diikuti dengan kaku persendian, dan menyebabkan disabilitas.

Pencegahan kecacatan (prevention of disability)


Rangkaian kejadian yang menyebabkan dari kerusakan saraf hingga disabilitas dapat dilihat
melalui empat titik (Gambar 10.14):
1. Pencegahan dari salah penggunaan (misuse), dengan melindungi ekstremitas
anestetik dan mengedukasi cara perawatannya
2. Pengenalan dini inflamasi, sehingga bagian mungkin diistirahatkan sebelum terjadi
ulserasi
3. Membuat ulkus untuk sembuh sesegera setelah didapatkan, sehingga terdapat
jumlah skar sisa dan distorsi minimal

PPDS DERVEN FK UNHAS 103


Translated Bryceson

4. Menyediakan proteksi untuk tangan dan kaki yang rusak, untuk distribusi tekanan
yang rata dan untuk mencegah cedera lanjut.

--===000===--

104 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

BAB 11: MATA PADA LEPRA


(Original Bryceson Hal. 153-163)

Kebutaan adalah komplikasi lepra yang sering didapatkan dan menjadi musibah. Kebutaan
membatasi komunikasi pasien dengan dunia di sekitar pasien. Kerusakan mata pada lepra
sering dimulai secara tersembunyi dan pasien mungkin memperhatikan bahwa pandangannya
tidak sebaik biasanya atau bahwa dia hanya merasakan sedikit nyeri pada salah satu matanya.
Pemeriksaan mata merupakan bagian penting dari pemeriksaan fisik pada pasien yang
dicurigai menderita lepra dan pemeriksaan ulangan hendaknya dilakukan secara rutin di setiap
kunjungan. Pemeriksaan yang hanya memakan waktu 10 menit ini dapat mencegah kebutaan
yang akan terjadi bertahun-tahun. Diagnosis banding untuk lesi mata dibahas di hal. 49 [75].

Pemeriksaan mata
Amati wajah untuk melihat apakah terdapat bukti lesi di dekat atau di sekitar mata. Infiltrat
lepra pada wajah atau bercak tuberkuloid yang besar yang mengelilingi mata menandakan
bahaya infiltrat konjungtiva, anestesi, atau paralisis. Lihat pada kelopak mata untuk ektropion
atau entropion dan amati apakah kelopak mata bergerak sempurna ketika pasien
mengedipkan mata.
Minta pasien untuk menutup matanya, pertama-tama secara lembut dan kemudian
dengan kuat, dan lihat apakah pasien dapat mempertahankannya selama 10 detik. Hal ini akan
menunjukkan lagoftalmus yang menyebabkan kerusakan akibat paparan di kemudian hari.
Raba tekanan intraokuler dengan ujung kedua jari telunjuk, atau apabila memungkinkan
dengan menggunakan tonometer.
Cari infiltrat lepromatosa pada konjungtiva dan injeksi perilimbal yang merupakan
tanda iridosiklitis. Amati permukaan kornea apakah cukup lembab (moist) dan apakah air mata
mengalir dengan benar melalui punctum. Lihat apakah pupil dapat berkontraksi secara normal
dan secara reguler terhadap cahaya.
Amati dengan seksama pada permukaan kornea, iris, dan pada tepi pupil. Pemeriksaan
ini terbaik dilakukan dengan
mikroskop kornea, tetapi apabila
tidak tersedia dapat diganti
dengan menggunakan sumber
cahaya yang difokuskan dan
diarahkan ke mata secara oblik
dan lup pembesar kornea (lup
dengan pembesaran 8x atau
lebih). Kedua modalitas ini
terdapat pada Hobbs illuminated
slit loupe. Periksa fundus
menggunakan oftalmoskopi untuk
melihat keberadaan lesi akibat
penyakit yang lain.

PPDS DERVEN FK UNHAS 105


Translated Bryceson

Akhirnya, hitung ketajaman visus menggunakan Snellen chart. Apabila pasien buta
huruf gunakan E chart. Apabila terjadi gangguan visual, cari apa penyebabnya.

Penyebab kerusakan mata


Paparan dan anestesia
Pada lepra sering dijumpai kerusakan saraf kranial ketujuh terutama pada cabang occipito-
temporal dan zigomatikus, menyebabkan paralisis selektif pada otot orbicularis oculi (Gambar
4.20). Serabut otot paling superfisial mengalami paralisa paling berat. Hal ini dapat terjadi
pada jenis lepra apapun tetapi terutama sering terjadi pada lesi tuberkuloid (TT atau BT) pada
wajah, terutama selama reaksi tipe 1, dan pada pasien lepra lepromatosa yang terlambat
diobati. Infiltrasi basil pada otot superfisial wajah mungkin menyebabkan kelemahan pada
lepra lepromatosa. Terjadi lagoftalmus, kedipan mata tidak sempurna, dan kornea dan
konjungtiva menjadi mudah kering akibat trauma minor. Reaksi pada lesi tuberkuloid pada
wajah mungkin menghasilkan skar pada lempeng tarsal dan menyebabkan terjadinya suatu
entropion dan trichiasis. Kedua hal ini menjadi bencana terutama apabila terjadi anestesia.
Kerusakan pada saraf karnial V cabang oftalmikus sebabkan anestesia pada kornea dan
konjungtiva. Hal ini dapat terjadi ketika bercak tuberkuloid menutupi mata atau ketika
terdapat invasi lepromatosa pada saraf kornea. Hilangnya sensasi kornea sebagian dan kornea
yang kering diintepretasikan oleh pasien sebagai ‘gatal’. Pasien mungkin dengan mudah
mencederai matanya dengan menggosoknya. Dengan anestesi yang lebih hebat, rangsangan
untuk berkedip akan hilang dan paparan dan trauma dengan cepat akan menyebabkan
ulserasi pada kornea, yang apabila tidak diterapi dengan sungguh-sungguh, kornea akan
perforasi dan terjadi kebutaan.

Invasi basil
Invasi pada mata pasien lepra
lepromatosa terjadi melalui
aliran darah. Mungkin terbentuk
lepromata pada konjungtiva dan
infiltrasi meluas ke dalam kornea
(Gambar 11.2). Basil
bermultiplikasi pada badan siliar
yang menjadikannya rentan
terhadap reaksi. Efek pada invasi
basil dan hipersensitivitas jauh
lebih parah pada ras Mongolian
dan Kaukasia daripada pada ras
Negro.

Hipersensitivitas
Jaringan mata yang telah diinvasi
oleh basil lepra cenderung
mengalami kerusakan yang berat
ketika reaksi tipe 2 terjadi. Hal ini terutama terjadi pada iris dan badan siliar. Lokasi tersebut

106 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

mungkin menjadi lokasi deposit kompleks imun bersirkulasi walaupun tidak terdapat basil di
sana. Inflamasi pada iridosiklitis menyebabkan sinekia, menfiksasi iris ke lensa (posterior) atau
kornea (anterior). Sinekia posterior atau tersumbatnya pupil dengan eksudat inflamasi
mungkin menghambat aliran aqueous dari bilik mata belakang. Sinekia anterior yang luas,
kadang-kadang, mungkin mencegah aliran aqueous masuk ke Canal of Schlemm. Salah satu
dari kedua mekanisme ini menyebabkan glaukoma, yang mungkin diikuti oleh atrofi optik dan
kebutaan.

Gejala klinis
Paparan dan anestesia
Lagoftalmus yang tidak diobati akan menyebabkan pemendekan dan fibrosis pada serabut
superfisial dari otot orbicularis oculi, dan serabut profundus tertarik tidak rata pada tarsal
sehingga membalik kelopak dan menyebabkan ectropion yang kemudian meningkatkan resiko
paparan. Baik kornea dan konjungtiva mengalami perubahan kronis sebagai akibat dari mata
kering akibat paparan. Punctum tidak menyentuh konjungtiva dan air mata mengalir ke wajah.
Anestesi diamati dengan menyentuh kornea menggunakan ujung kapas terpilin
sewaktu pasien melihat ke atas dan jauh dari tangan pemeriksa. Sensasi dikatakan normal
apabila terjadi reflek kedip langsung dan cepat. Ulkus kornea mungkin pertama terjadi
superfisial dan dapat dideteksi menggunakan lup. Apabila kornea anestetik maka ulkus tidak
nyeri dan hanya dikenali akibat lakrimasi dan inflamasi konjungtiva. Ulkus mungkin sembuh
meninggalkan skar yang mengganggu penglihatan atau jika tidak sembuh maka akan terinfeksi
dan menembus hingga belakang kornea (Gambar 11.2). Ulkus yang aktif dapat dibedakan dari
skar menyembuh setelah pembilasan fluorescein 1%. Debris inflamasi terkumpul di bilik mata
depan dengan pembentukan hypopyon. Apabila proses ini tidak dihentikan maka infeksi
menembus mata yang kemudian menjadi buta.
Infeksi pada kantong lakrimalis adalah sumber tetap bahaya untuk mata. Ketika terjadi
lagoftalmus, berikan tekanan pada kantong lakrimalis dan lihat apakah punctat mengeluarkan
pus – tanda dacryocystitis.

Invasi basil
Tanda pertama adalah beading
(manik-manik) pada saraf kornea
yang hanya dapat dilihat
menggunakan mikroskop kornea.
Infiltrat lepromatosa pada
permukaan kornea dimulai sebagai
keratitis punctata dengan opasitas
putih kecil-kecil khas, biasanya
pada kuadran temporal atas, yang
mungkin bergabung menghasilkan
kekaburan (haze) pada membrana
Bowmann’s. Keratitis punctata ini
adalah tanda patognomonis lepra
(Gambar 11.3). Beberapa opasitas ini mengalami kalsifikasi, menjadi lebih padat dan disebut

PPDS DERVEN FK UNHAS 107


Translated Bryceson

‘korneal pearls’. Keratitis punctata mungkin melewati tengah dari kornea dan menyebabkan
pandangan kabur. Kemudian, pannus (superficial vascularization of the cornea with infiltration of granulation tissue)
terbentuk; hal ini jarang mencapai central kornea dan biasanya tidak menimbulkan keluhan.
Invasi dini basil lepromatosa pada konjungtiva tidak dapat dilihat, tetapi hapusan akan
mengandung BTA. Kemudian, nodul lepromatosa mungkin muncul pada konjungtiva sebagai
masa kecil kekuningan, biasanya pada bagian limbus yang terekspos dan dapat mengganggu
kelopak menutup atau menjadi lokasi timbulnya reaksi (Gambar 11.2). Hal ini harus dibedakan
dengan pterygium.
Iris pearls, yang dapat dibandingkan dengan yang pada kornea, mungkin menjadi satu-
satunya tanda invasi pada traktus uvea yang tampak, tetapi ketika mereka sudah tampak
seluruh mata bagian depan sudah terinvasi termasuk koroid, badan silier, dan sklera. Mungkin
tidak terdapat keluhan hingga terjadi reaksi.

Hipersensitivitas dan komplikasi-komplikasinya


Iridocyclitis
Manifestasi paling penting pada reaksi tipe 2 pada mata adalah iridocyclitis akut (Gambar
11.2, 11.4). Hal ini adalah penyebab paling sering kebutaan pada lepra. Hal ini menyebabkan:
1. Nyeri, yang dirasakan ‘dalam’ di mata dan cukup berat hingga membuat pasien mencari
bantuan. Pasien yang kehilangan sensasi okuler lebih sering tidak perhatian terhadap
nyeri sebagai keluhan yang membahayakan. Keluhan lainnya dapat dikeluhkan oleh
pasien sehingga pasien perhatian terhadap inflamasi awal.
2. Fotofobia dengan peningkatan lakrimasi
3. Pandangan kabur dan berkurangnya ketajaman visus
4. ‘Pink eye’ karena inflamasi terjadi di sekitar limbus daripada terjadi di seluruh konjungtiva
seperti halnya konjungtivitis.
5. Konstriksi pupil yang mana pupil tidak berespon cepat terhadap cahaya dan pupil
ireguler. Jika sebelumnya
terdapat iridocyclitis, iris
mungkin menipis dan
kehilangan pola regulernya;
batasnya berjumbai dan pupil
terdistorsi, dan bagian iris
mungkin melekat ke lensa.
6. Kekeruhan (cloudiness) pada
bilik mata anterior disebabkan
eksudat radang sel-sel darah
putih yang terapung pada
aqueous humour. Hal ini
merupakan tanpa paling awal
dari iridocyclitis. Kekeruhan
sering menyebabkan pasien
merasa tidak nyaman, dan sayangnya hal ini hanya dapat dideteksi menggunakan
mikroskop slit-lamp. Sel-sel ini membentuk keratic precipitates di belakang kornea.

108 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Setelah beberapa serangan iridocyclitis akut, sebuah kondisi inflamasi subakut atau
kronis mungkin menetap, dan keluhan mungkin minimal. Pemeriksaan yang seksama pada
mata termasuk pemeriksaan visus diperlukan untuk mendeteksi kondisi ini dan mencegah
komplikasi.
Iridocyclitis khususnya adalah bagian dari reaksi tipe 2 generalisata dan manifestasi
lainnya seperti eritema nodosum leprosum dan neuritis yang sangat nyeri (lihat bab 8 )
mungkin ditemukan juga. Namun, kadang-kadang, iridocyclitis mungkin menjadi tanda
pertama lepra lepromatosa.

Skleritis dan episkleritis


Kadang-kadang yang lebih menjadi lokasi reaksi adalah selubung mata (coats of the eyeball)
dibandingkan traktus uvea yang menghasilkan bercak hiperemia yang nyeri tekan dan tampak
pada konjungtiva. Inflamasi kronis mungkin melemahkan sklera sehingga pleksus choroid
muncul keluar sebagai staphyloma.
Sinekia
Perlekatan iris pada permukaan lensa atau kornea menyebabkan deformitas dan robekan
pada pupil dan hal ini dapat dilihat dengan jelas ketika pupil didilatasikan dengan midriatikum.
Tanda-tanda kerusakan iris kronis sering didapatkan. Salah satu dari tujuan utama dari
pengobatan iridosiklitis adalah untuk mencegah sinekia.
Glaukoma
Glaukoma adalah komplikasi umum akibat iridosiklitis rekuren. Konjungtiva menjadi merah
muda gelap (dusky pink) dan tekanan bola mata meningkat. Ketajaman visus berkurang dan
pada kasus lanjut lempeng optik tampak pucat. 'Pink eye' pada lepra sering disebabkan oleh
iridosiklitis, bukan glaukoma. Apabila ragu, dokter hendaknya mengobati iridosiklitis terlebih
dahulu. Banyak pasien tidak mempunyai keluhan hingga tekanan intraokuler tinggi dan visus
telah terganggu. Tekanan intraokuler hendaknya diukur secara rutin pada seluruh pasien
dengan bukti inflamasi yang lama (previous) atau aktif (current).
Katarak
Hal ini adalah komplikasi akibat iridosiklitis rekuren.

PENGOBATAN
Pencegahan
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, komplikasi akibat penyakit mata dapat dicegah.
Anestesia dan kerusakan akibat paparan hendaknya tidak pernah terjadi dan invasi
lepromatosa dini dapat ditunda. Walaupun demikian, reaksi mungkin terjadi selama
pengobatan dan pasien harus diedukasi untuk kontrol teratur dan memberitahu dokter bila
terdapat nyeri, pandangan kabur, atau peningkatan lakrimasi.

Pengobatan
PENGOBATAN PAPARAN DAN ANESTESIA
Massage dan exercise. Pijatan dan menutup kelopak mata dan otot-otot wajah dengan paksa
mungkin mengembalikan cukup tonus otot setelah beberapa bulan untuk mengembalikan
kemampuan menutup kelopak mata pada kasus lagoftalmus yang ringan.

PPDS DERVEN FK UNHAS 109


Translated Bryceson (2010)

Pencegahan kekeringan. Gunakan air mata buatan. Hal ini dilakukan terbaik dengan
menggunakan solutio polyvinyl alcohol 1,4% (PVA) dalam air. Cairan ini mahal harganya, tetapi
rumah sakit yang mempunyai bagian prostetik mungkin mempunyai scraps of PVA sheeting.
Scraps ini kemudian dilarutkan dalam air steril dengan suhu hangat dan ditambahkan
chlorbutanol 1% sebagai pengawet. Satu tetes PVA diteteskan tiga kali sehari. Cairan
pengganti air mata lainnya adalah metilselulosa 1% atau natrium bikarbonat 1% untuk siang
hari, minyak castor steril atau petrolatum untuk malam hari.

Proteksi terhadap cedera. Kacamata dengan lensa netral atau tinted hendaknya digunakan
setiap hari. Kacamata mungkin dibutuhkan ketika kerja, terutama apabila terdapat risiko
kegawatan seperti partikel-partikel metal atau kayu.

Kendalikan infeksi sekunder. Penetesan harian zinc sulfat 1% dalam cairan asam borat 4%
dapat mengatasi. Infeksi pada kantung lakrimalis membutuhkan pengobatan lebih seksama
dengan antibiotik lokal dan sistemik.

Pasien lagoftalmus yang tidak dapat diperbaiki secara konservatif, atau yang dikomplikasikan
dengan anestesi korneal atau kerusakan kornea yang sudah ada, membutuhkan pengobatan.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah tarsorafi dan transfer tendon temporal dijelaskan di
halaman 120 [176].

PENGOBATAN INVASI BASIL


Ketika terdapat invasi langsung ke mata oleh basil lepra, pengobatan antilepra hendaknya
diberikan seperti biasanya (lihat hal. 59 [85]). Basil mungkin menetap pada mata selama
bertahun-tahun setelah dieliminasi dari kulit.
Lepromata konjungtiva hendaknya dikikis menggunakan skalpel apabila menghalangi
perlengketan kelopak mata dari kornea ketika mengedip.

PENGOBATAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS (TIPE 2):


Reaksi pada mata biasanya adalah bagian dari reaksi tipe 2 generalisata yang mungkin
membutuhkan pengobatan anti-inflamasi sistemik (lihat hal. 87 [128]). Beberapa modalitas
pengobatan lokal diperlukan secara spesifik untuk keterlibatan okuler.

1. Iridosiklitis akut. Dilatasikan pupil dan relaksasi otot silier dengan meneteskan atropin 1%
atau skopolamin 0,25% dalam bentuk tetes atau salap. Pengobatan ini diberikan tiga kali
sehari dan kemudian setiap hari selama inflamasi masih terjadi. Midriatikum lebih kuat yang
digunakan untuk melepas sinekia pada kasus berat/ rekuren adalah mydricaine (sulfat atropin
0,016g; kokain 0,03g; adrenalin 1:1000 3 ml; akuades 6 ml; adrenalin ditambahkan untuk
sterilisasi). Mydricaine diberikan melalui injeksi sub-konjungtiva ke forniks, dengan dosis 0,2
ml setiap harinya selama 4 hari, setelah menganestesikan kornea dengan kokain. Kemudian
proses akut dapat dikendalikan melalui penggunaan harian atropin salaf/ tetes. Atropin, yang
melumpuhkan iris, menyebabkan fotofobia dan pasien mungkin membutuhkan penggunaan
kacamata gelap.
Tekan inflamasi dengan penetesan kortison 1% atau hidrokortison 1% setiap 4 jam.
Cara alternatif, atau tambahan untuk kasus-kasus yang berat, injeksi subkonjungtiva 0,2 ml

110 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

solutio yang mengandung hidrokortison 25 mg/ ml (preparat yang dibuat untuk injeksi intra-
artikuler dapat digunakan) atau metilprednisolon 10 mg.
Atasi nyeri. Nyeri akan berhenti ketika inflamasi menyembuh, tetapi nyeri dapat diatasi
dengan pemberian aspirin 600 mg setiap 4 jam dan uapkan mata dengan sendok yang ditutup
dengan kain dan dicelupkan dalam air mendidih.
Pertimbangkan kemoterapi. Apabila iridosiklitis menetap pertimbangkan mengganti
obat klofazimin (lihat hal. 89 [130]).
2. Iridosiklitis dan skleritis kronis. Pengobatan dengan penetesan lokal atropin dan
hidrokortison dipertahankan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, setiap pengobatan
diberikan 1x/hari. Penting untuk memeriksa tekanan untuk evaluasi peningkatan tekanan
intra-okuler dalam interval reguler dan beritahu pasien untuk melaporkan peningkatan nyeri
karena hal ini dapat menjadi tanda glaukoma. Pengobatan tetap dilanjutkan hingga tidak
ditemukan sel pada bilik mata anterior melalui slit lamp, atau selama tiga bulan lebih setelah
keluhan dan tanda inflamasi sembuh.
3. Pengobatan komplikasi reaksi.
Glaukoma. Pada lepra, glaukoma adalah komplikasi iridosiklitis, dan merupakan suatu indikasi
bahwa pengobatan harus dipertahankan. Dapat ditambahkan asetazolamid 250 mg oral tiga
kali sehari. Iridektomi mungkin diindikasikan apabila respon yang buruk.
Katarak. Katarak mungkin dioperasi pada mata 'tenang', tetapi operasi mungkin dapat
memicu reaksi, untuk alasan inilah perlu diberikan injeksi subkorneal metilprednisolon 20 mg
pre-operasi. Mata dengan riwayat inflamasi dalam 6 bulan terakhir hendaknya tidak dioperasi.

Definisi oftalmologi:
 Bilik anterior. Bagian rongga aqueous di depan iris
 Segmen anterior. Sepertiga depan mata, termasuk lensa dan badan silier
 Membrana Bowman's. Bagian anterior atau permukaan superfisial dari stroma kornea, tepat di bawah epitel
 Katarak. Opasitas lensa
 Kemosis. Edem pada konjungtiva
 Badan silier. Akar dari iris, mengandung otot dan pembuluh darah
 Dacryocystitis. Inflamasi pada sakus lacrimalis
 Ektropion. Eversi pada batas/ tepi kelopak mata
 Entropion. Inversi pada batas/ tepi kelopak mata
 Episkleritis. Inflamasi pada jaringan ikat di atas sklera
 Glaukoma. Peningkatan tekanan intra-okuler dan sindrom yang timbul akibat ini.
 Hipopion. Akumulasi pus pada bilik mata anterior mata.
 Iridosiklitis. Inflamasi pada iris dan badan silier: uveitis
 Keratitis presipitatum. Leukosit dan debris lainnya terjebak pada bagian posterior kornea.
 Lagoftalmus. Kelopak mata tidak menutup sempurna.
 Limbus. Perbatasan kornea dengan sklera dan konjungtiva.
 Madarosis. Hilangnya rambut pada alis atau bulu mata, atau keduanya.
 Midriatikum. Obat yang mendilatasikan pupil.
 Pannus. Vaskularisasi kornea.
 Bilik mata posterior. Bagian rongga aqueous di belakang iris.
 Pterygium. Penebalan berbentuk segitiga pada konjungtiva perilimbus yang melekat pada kornea dan biasanya ada di
lateral.
 Staphyloma. Penonjolan atau herniasi pada kornea atau sklera.
 Sinekia. Perlengketan iris ke lensa (posterior) atau kornea (anterior).
 Tarsorafi. Operasi untuk menjahit sebagian kelopak mata untuk mengurangi lebar fisura palpebralis.
 Trikiasis. Bulu mata yang tumbuh ke dalam (ingrowing).

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 111


Translated Bryceson

BAB 12: REHABILITASI FISIK


(Original Bryceson Hal. 165-181)

Bab ini membahas mengenai prosedur praktis yang mungkin diperlukan untuk mengatasi
pasien dari kecacatan fisik akibat lepra, terutama kecacatan akibat kerusakan saraf. Pada
kecacatan yang paling berat, masalah yang timbul sangatlah besar, tetapi kesempatan dan
inisiatif lebih penting daripada kemampuan fisik. Meskipun cacat berat ataupun buta, individu
masih dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Sebagai suatu pertimbangan psikologis
yang penting; setelah rehabilitasi, setiap pasien seharusnya dapat hidup semandiri mungkin.

Pencegahan kecacatan fisik


Harus ditekankan kembali bahwa aspek yang paling penting dalam tatalaksana lepra adalah
pencegahan anestesi dan paralisis. Hal ini dapat dicapai melalui:
1. Diagnosis dini, sebelum saraf rusak dan tidak dapat diobati
2. Pengobatan dini untuk mencegah kerusakan saraf
3. Pengobatan yang penuh pertimbangan, dengan pengamatan yang seksama
terutama pada pasien lepra borderline
4. Pengenalan dini dan pengobatan semaksimal mungkin atas kondisi reaksi yang
melibatkan saraf dan mata
Sebagai tambahan:
5. Meyakinkan pasien bahwa dia tidak perlu menjadi cacat, dan ajari pasien tanda-
tanda bahaya dari neuritis dan iridosiklitis

Tatalaksana kecacatan fisik

Pengendalian ulkus
Ulkus plantaris adalah kecacatan paling berat dan paling sering pada lepra, dan mempunyai
nilai ekonomis yang bener-benar tinggi. Adalah penting untuk memahami proses terjadinya
ulkus pada lepra dan untuk mengingat bahwa penyebab paling sering dari ulkus adalah ulkus
sebelumnya.

Pencegahan ulkus
Ulkus dan destruksi ekstremitas dapat dihindari. Pasien dapat diedukasi bagaimana merawat
bagian yang anestesi, tetapi pertama kali mereka harus mengenai dan memahami
(acknowledge) kekurangan mereka terhadap sensasi normal. Seringkali pasien tidak mau
menerima bahwa dirinya ‘abnormal’.
Latihan-latihan yang hendaknya dipelajari untuk membantu individu untuk
mempertahankan ekstremitasnya yang anestetik adalah:
Anda sendiri, sebagai dokter atau tenaga paramedis, tunjukkan perhatian (concern)
kepada pasien. Tunjukkan minat kita kepada usaha pasien untuk mempertahankan
ekstremitasnya di samping ketidakmampuannya untuk merasakan nyeri. Hal yang penting

112 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

kepadanya adalah mengingatkan dia untuk bebas dari ulkus, tetapi tunjukkan betapa
pentingnya juga ini untuk anda.
Edukasi pasien untuk menghargai (respect) tangan dan kakinya, untuk menerima
mereka sebagai bagian dari tubuhnya. Edukasi dia untuk memeriksa setiap hari apakah ada
trauma dan untuk merawat cedera paling kecil (Gambar 12.1).

Obati pertama-tama ulkus karena bencana yang, dan selama diobati, menunjukkan
munculnya ulkus lanjutan tidak perlu terjadi. Tunjukkan pasien bagaimana cedera harus
diobati terbaik, dengan menggunakan bidai (splint) untuk menggantikan fungsi imobilisasi
(splinting) yang sebelumnya ‘dikerjakan’ oleh nyeri.
Bantu pasien untuk menentukan penyebab dari setiap cedera. Jangan pernah
mengijinkan pasien untuk mempercayai bahwa kerusakan adalah akibat dari ‘lepra’. Apakah
itu karena gesekan? Tarikan? Tusukan? Terbakar? Bagaimana dan kapan hal itu terjadi? Hanya
ketika pasien memahami penyebabnya maka dia dapat menghindari cedera di masa
mendatang.

Lindungi kaki anestetik dengan sepatu. Tanpa sepatu, tidak akan ada harapan untuk
tetap terbebas dari ulkus. Terdapat 3 prinsip desain sepatu untuk kaki yang anestetik:
1. Kelunakan dan elastisitas sol sepatu bagian dalam, untuk melindungi jaringan yang
‘rapuh’
2. Cetak sol bagian dalam (moulding) yang mengikuti kaki, untuk mendistribusikan
beban berat secara rata
3. Kekerasan pada sol sepatu bagian luar untuk melindungi, dan pada kaki yang cacat,
kekakuan untuk menghindari robekan

PPDS DERVEN FK UNHAS 113


Translated Bryceson

Tingkatan mana sepatu harus dijahit terhadap kebutuhan kaki tergantung pada luasnya
abnormalitas. Kaki dapat dipertimbangkan dalam empat kategori tergantung pada beratnya
kecacatan.
a. Kaki risiko rendah. Kaki anestetik, tanpa atau terdapat skar yang sangat minimal
b. Kaki risiko sedang. Satu mempunyai skar multipel dan beberapa kehilangan
bantalan lemak subkutan
c. Kaki risiko tinggi. Satu mempunyai deformitas ringan pada struktur arsitek (seperti
flat foot), pemendekan atau hilangnya jari-jari
d. Kaki terdisintegrasi. Kaki mempunyai deformitas tulang mayor, seperti: disintegrasi
tarsal, ‘boat-shaped foot’, atau dislokasi pada ankle.

 Ad. A) kaki risiko rendah membutuhkan proteksi dan kelembutan. Sol sepatu yang
elastis dan tipis dimasukkan ke dalam sepatu yang pas (well-fitting) mungkin cukup
untuk masalah minor, tetapi sol sepatu dalam yang tebal mungkin menyebabkan
terjadinya gesekan yang menyebabkan ulserasi. Sandal dapat dibuat dengan sol
dengan bahan yang tidak dapat ditempus seperti ban mobil bekas dan sol dalam dari
karet mikroselular dengan ketebalan 1-1,5 cm dan kelembutan dimana itu dapat dilipat
dua (ditekuk) di antara jari jempol dan jari-jari lainnya (it can readily be compressed to
half its thickness between thumb and finger). Strap dapat dibuat dari ban dalam bekas
atau kabel-kabel ban (split cords of tyres) dan ujung-ujungnya dijahit di antara kedua
lapisan, melalui lapisan sol luar (Gambar 12.2). Paku dan kawat tidak boleh dipakai.

 Ad. B) kaki risiko sedang. Sebagai tambahan yang di atas, sepatu hendaknya diberikan
sebuah cetakan (moulding) yang dapat dikerjakan dengan menambahkan balok (bar)
metatarsal dan dukungan arkus (arch support) sehingga berat tubuh sebagian
dijatuhkan pada daerah kepala metatarsal, dan didistribusikan di sekitar daerah arkus.
Secara alternatif, atau untuk tambahan, cetakan (moulding) mungkin disediakan
dengan membuat sol bagian dalam dari polietilen yang dibentuk (contoh: Plastazote® -
Smith & Nephew) setebal 1,25 cm yang bisa dicetak langsung pada kaki. Pasien berdiri
pada selembar Plastazote® yang telah dihangatkan pada suhu 140 C dalam oven dan
berdiri pada alas keras. Sepatu tersebut harus mempunyai ‘heel counter’ dan strap
yang aman sehingga kaki tetap dalam posisi yang benar pada sol bagian dalam
(Gambar 12.3).

114 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

 Ad. C) kaki risiko tinggi membutuhkan sandal atau sepatu dengan cetakan lebih dan
dengan sol keras. Cetakan (moulding) hendaknya menyerupai bentuk kontur kaki yang
abnormal. Pasien berdiri pada Plastazote® dipanaskan dan berdiri pada selapis gabus
(foam rubber) setebal 10-150 cm. Sepatu kemudian dibuat di bawah Plastazote®
dengan lapisan karet mikroselular. Sol kayu yang keras atau sol karet keras dibuat pas.
Kemudian Plastazote® dilengketkan ke sol kayu yang telah diukur pas dengan bagian
bawah dari Plastazote® dengan akurat. Permukaan depan balok kayu harus berbentuk
seperti kapal untuk membuat aksi yang lebih kuat karena solnya rigid (Gambar 12.4)
Sepatu ini bermanfaat dan bekerja dengan baik pada kaki dengan deformitas atau
memendek.

 Ad. C) kaki terdisintegrasi sangat sulit untuk direhabilitasi. Apabila terdapat kerusakan
sub-talar atau dislokasi ankle, kadang-kadang hal ini dapat diperbaiki dengan
arthrodesis*). Apabila kaki plantigrade**) stabil dengan jaringan telapak kaki baik maka
melalui pembedahan tipe kaki dirubah menjadi tipe (c). Apabila tidak bisa, maka tidak
ada alternatif lain selain amputasi.
*) arthrodesis: artificial induction of joint ossification between two bones via surgery;
arthro=joint + desis = fusion

PPDS DERVEN FK UNHAS 115


Translated Bryceson

**) plantigrade: a foot posture in which the full length of their foot, including podials,
metapodials, and 'heel', touches the ground; Walking with digits flat and part or all of
the ankle and wrist also on the ground

Paku dan kawat harusnya tidak


digunakan dalam sepatu dan sandal,
yang seharusnya dirakit dengan lem dan
dijahit dengan benang nilon. Bagian luar
dari sepatu bervariasi di masyarakat.
Dalam situasi tertentu, berbagai bentuk
sandal atau sepatu dapat diterima. Jika
tidak, jenis yang tertentu mungkin
mengindikasikan bahwa pemiliknya
terkena lepra, sehingga harus dibuat
menyerupai sepatu normal, yang
pembuatannya lebih sulit.
Drop foot (kaki gantung) yang
anestetik berisiko terjadinya ulserasi
berat pada bagian depan kaki. Sebuah
penyokong (support) harus ditambahkan
pada sepatu (Gambar 12.5) atau
transfer tendon (lihat hal. 122 [178]).
Kaki yang rusak dan skar yang
diproteksi dengan baik sehingga pembentukan ulkus dapat dicegah selama 1-2 tahun akan
menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan menuju normal. Jaringan skar akan menjadi
lunak dan supple (supple: moving and bending with ease). Area terdepresi akan terisi. Tulang yang melemah
akibat osteomyelitis dan diuse atrophy akan rekalsifikasi dan kalus akan menghilang
sempurna. Setelah hal ini terjadi, sepatu lebih sederhana mungkin mencukupi.
Fisura pada kaki dan tangan yang kering dan anestetik mungkin secara sempurna
dicegah dengan merendam setiap hari selama 30 menit dalam air dan kemudian, setelah
dikeringkan dengan dianginkan, digosok dengan petrolatum untuk mencegah evaporasi air
dari kulit. Fisura yang telah terjadi diobati dengan mengelupas kalus yang tebal dengan pisau
atau menggosoknya dengan batu apung (pumice) untuk membuat kulit menjadi lunak
sehingga fisur dapat menyembuh.
Tangan yang kering, terbentuk kalus atau deformitas perlu dilindungi selama kerja
keras. Beberapa orang menyarankan adaptasi (perubahan) pegangan perkakas untuk
mencegah cedera, tetapi hal ini tidak dapat dilakukan pada seluruh pasien; beberapa menolak
untuk menggunakan perkakas yang ‘berbeda’. Alternatif yang dapat diterima dalam beberapa
komunitas adalah penggunaan sarung tangan kanvas.
Membatasi penggunaan bagian tubuh yang anestetik. Pada kebanyakan orang, musim
tani memberikan ancaman tambahan terhadap kedua tangan dan kaki. Berjalan di sawah dan
trauma ekstra ketika mengerjakan pekerjaan pertanian meningkatkan risiko cedera. Pasien-
pasien perlu dibantu untuk menemukan cara untuk mencegah cedera. Sarung tangan, atau
kain yang dililitkan di sekitar pegangan perkakas, atau membatasi jenis atau jumlah dari
pekerjaan dapat dilakukan. Beberapa pasien mungkin perlu untuk mencari pekerjaan lain

116 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

apabila memungkinkan. Ketika pasien sering bepergian, beberapa sarana transportasi lain
selain menggunakan kaki adalah penting untuk dipertimbangkan. Keledai mungkin lebih
murah daripada sepeda dan memberikan hasil yang memuaskan.

Tatalaksana ulkus
Ulkus terbentuk terutama akibat faktor mekanis dan tatalaksananya penting dikerjakan secara
mekanik, dengan melindungi ekstremitas secara lengkap dari faktor-faktor ini.
Hal yang penting terutama adalah perawatan terhadap cedera minimal. Berbagai
kulit yang robek hendaknya ditutup untuk mencegah infeksi sekunder dan dibidai untuk
proses penyembuhan.
Ulkus dapat disembuhkan melalui imobilisasi. Setelah infeksi sekunder diatasi, kaki
diukur untuk dibuatkan sepatu, dan ekstremitas diimobilisasi menggunakan weight-bearing
plaster cast selama enam minggu. Plaster cast dipasang pada tungkai yang insensitif dan
membutuhkan perawatan spesial. Padding hendaknya dipasang hanya di sekitar maleolus dan
melewati bagian depan ankle. Sebuah ‘felt strip down’ di bagian depan dari tibia membuat
pelepasan lebih mudah. Selembar tipis plaster dipasang pada tungkai dan dicetak seksama
pada setiap bagian. Kemudian sebuah ‘back slab’ dan lapisan reinforcing ditambahkan, dan
besi Bohler atau sol plywood dengan tumit karet ditempelkan. Ketika cast dilepas, sepatu akan
siap dipakai.
Metode imobilisasi alternatif adalah tirah baring (bed rest) dan crutches dengan bebat
untuk mencegah pergerakan di ulkus mendekati persendian. Langkah weight-bearing tidak
boleh dilakukan hingga proses penyembuhan sempurna terjadi dan alas kaki yang sesuai ada.
Ketika pasien memulai berjalan, dia hendaknya berjalan mulai dari jarak dekat dengan langkah
kecil, untuk meminimalisir bahaya akibat robekan atau skar inflamasi.
Apabila pasien harus mulai berjalan sebelum ulkus sembuh sempurna, dan alas kakinya
telah dibuat, ulkus harus ditutup dengan selapis plester zinc oxide. Ulkus akan berlanjut
menyembuh. Jangan pernah memakai gauze dressing dalam sepatu karena akan
meningkatkan tekanan pada titik yang seharusnya dilindungi.
Infeksi sekunder yang dalam atau berat hendaknya diobati dengan antibiotik sistemik.
Infeksi superfisial diobati dengan antiseptik topikal. Perak nitrat 0,5% dalam air memberikan
hasil yang baik karena mencegah pertumbuhan seluruh organisme termasuk yang resisten.
Cairan ini dapat dibuat dengan air keran biasa apabila tidak terdapat mineral dalam air
tersebut yang dapat mempresipitasi peraknya. Dressing harus diganti dua kali sehari dan
ditutup dengan plastic film tipis untuk mencegah kekeringan.
Debridement. Setiap jaringan mati atau kalus hendaknya dibuang. Hal ini dapat
dilakukan setelah kulit dilunakkan dengan direndam ke dalam air.
Skin grafting. Ulkus plantaris, terutama yang berulang atau terjadi skar luas, dapat
diobati dengan eksisi total pada area ulserasi dan seluruh jaringan skar, kemudian ditutup
dengan skin graft. Hal ini akan memberikan tempat untuk pertumbuhan jaringan subkutan
daripada jaringan skar. Dengan sepatu pelindung dan perawatan pada bagian tersebut, graft
akan memberikan perlindungan dan tidak akan pecah lagi.
Ulkus rekuren pada kaki yang sudah dirawat dengan baik menandakan adanya
abnormalitas seperti bone spur, skar dalam, atau kurangnya jaringan subkutan, terutama pada
daerah metatarsal head. Bone spur dapat dibuang, jaringan skar dieksisi, dan tendon
ditransfer ke jari-jari yang clawed. Ulkus dalam di bawah kalkaneus akan sukar sembuh. Ulkus

PPDS DERVEN FK UNHAS 117


Translated Bryceson (2010)

mungkin dieksisi dengan insisi 'mulut ikan' di sekitar batas sol kaki. Defek telapak kaki dijahit
dua lapis sebelum diberikan drain dan menjahit 'fish mouth'.

Penggunaan fisioterapi
Fisioterapi adalah bagian penting, baik segi medis dan bedah, dalam tatalaksana lepra.
Ketika saraf diinvasi oleh lepra, eksudat selular dan edem menyebabkan bengkak di
dalam selongsong yang relatif tidak fleksibel dan hal ini menyebabkan iskemi. Iskemi sebagian
menyebabkan neuropraksia, atau gangguan konduksi. Apabila iskemi terjadi lama, saraf
dihancurkan, tetapi apabila aliran darah dapat dikembalikan, perbaikan saraf kembali, dan
dapat berfungsi kembali.
Fisioterapi mungkin membantu melindungi fungsi fisiologis dari otot yang paralisa dan
mencegah atrofi, dan menguatkan otot selama penyembuhan. Walaupun konduksi saraf
mungkin terganggu untuk jangka waktu yang lama, beberapa fungsi mungkin akan kembali.
Oleh sebab itu penting untuk mempertahankan masa dan aktivitas otot selama periode
paralisis. Fisioterapi hendaknya dimulai sesegera mungkin untuk memperoleh hasil yang baik.
Paralisis diobati melalui dua fase:
Fase ekspektasi (harapan) - ketika tidak terdapat tanda-tanda penyembuhan
dimulai
Fase aktif - ketika terdapat pengembalian konduksi saraf

Tujuan fisioterapi pada fase-fase ini adalah:

Fase harapan
a. Untuk mencegah kontraktur dan memperoleh pergerakan sempurna (full range
of movement)
b. Untuk mencegah atrofi otot
c. Untuk mencegah overstretching dari otot yang paralisis

Sarana untuk mencapai tujuan ini adalah:


Pemeriksaan fungsi saraf dan otot. Hal ini dijelaskan pada bab 10.
Pergerakan pasif. Seluruh persendian yang kaku akibat paralisis harus digerakkan
secara pasif melalui gerakan full range motion.
Massage. Massage ringan pada otot yang dikenai mungkin membantu
mempertahankan sirkulasi dan tonus otot.
Stimulasi elektrik. Stimulasi Faradic pada otot lumpuh akan membantu
mempertahankan tonus dan mencegah atrofi, dan hendaknya dilakukan dua kali
sehari.
Pembidaian. Seluruh persendian yang tidak dapat dipertahankan pada posisi
fungsionalnya oleh pasien hendaknya dibidai untuk mencegah penarikan otot yang
paralisis dan pemendekan otot antagonisnya.

Fase aktif
Tujuannya adalah untuk memperoleh kembali senormal mungkin kekuatan otot
normal dan range of movement. Sarana untuk mencapai tujuan ini adalah:

118 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

a. Olahraga berhati-hati dan bertahap untuk menguatkan otot yang dikenai


b. Mempraktekkan gerakan skilled co-ordinated sehingga pasien akan kembali ke
kehidupan dan pekerjaan lamanya

Pasien hendaknya melakukan olah raga segera keluhan neuritis akut hilang. Latihan
hendaknya dilakukan dalam 3-5 sesi setiap hari, setiap sesi dilakukan berulang 30 kali.
Pasien memulai dengan gerakan pasif; ketika fungsi sudah mulai kembali, gerakan aktif
dapat dimulai.
Tangan. Untuk paralisis lumbrikalis, pasien duduk, meletakkan telapak tangan yang
dikenai dengan posisi supinasi pada pahanya, atau pada meja, dan menggosoknya
dengan tangan lainnya, dari telapak hingga ke ujung jari-jari, tarik persendian yang
kaku hingga ekstensi. Oleskan sedikit minyak untuk membantu ini, tetapi tidak harus.
Gerakan aktif dilakukan pada tangan yang terkena pada posisi yang sama, tetapi sisi
ulnar tangan yang lain ditekan keras pada telapak tangan yang menghadap ke atas.
Pasien kemudian mencoba meluruskan jari-jarimya pada telapak tangan yang di
bawahnya. Gerakan ini untuk mengekstensi persendian interfalang, dan untuk
mencegah hiperekstensi pada persendian metacarpofalang.
Mengikuti kerusakan saraf medianus, jejaring jempol (thumb web) perlu diluruskan:
pasien menggenggam ujung distal tulang metacarpal jempol yang dikenai, menarik
menjauhi jari-jari lain. Tekanan harus tidak dipaksakan pada falang karena akan
meningkatkan kekenduran persendian.
Kaki. Pada pasien dengan drop foot, olah raga pasif yang membantu untuk menarik
tendon Achilles adalah berdiri tegak, mempertahankan kaki dalam posisi datar pada
tanah, dan menghadap ke tembok dengan jarak 70 cm. Telapak tangan diletakkan flat
pada tembok, dan lakukan 'press up' dalam posisi vertikal.
Mata. Pertama pasien harus memijat kulit di atas otot orbicularis oculi dengan tepi
ventral jari-jari, 30 kali. Kemudian, dengan melihat ke cermin, pasien hendaknya
berusaha untuk menutup mata sekuat sebisanya.
Seluruh gerakan olah raga ini dapat dilakukan pasien sendiri di rumah. Apabila
direncakan dilakukan bedah rekonstruktif, pasien membutuhkan persiapan di bagian
fisioterapi lebih intensif.

Fisioterapi pre-operatif
Tujuannya adalah untuk mengedukasi pasien mengenali gerakan dari tiap-tiap otot. Banyak
operasi rekonstrutif memputuhkan pasien untuk menggunakan otot yang lain untuk
menggantikan fungsi dari otot yang paralisis. Apabila operasinya berhasil, pasien harus
mempelajari cara menggunakan otot itu dalam isolasi dari otot-otot singergisnya dan
antagonisnya sebelum operasi dilakukan. Keberhasilan dari operasi bergantung pada
kerjasama pasien.

Bedah rekonstruksi pada lepra


Pembahasan di sini tidak memberikan teknik operasi detail, tidak pula memotivasi pembaca
untuk melakukan tindakan bedah. Pustaka yang dilampirkan pada akhir bab ini mnjelaskan
dengan detail teknik operasi pada lepra yang seharusnya dibaca oleh mereka yang ingin

PPDS DERVEN FK UNHAS 119


Translated Bryceson

melakukan tindakan rehabilitasi bedah pada pasien lepra. Hendaknya ditekankan bahwa
banyak tindakan-tindakan ini dipelajari dengan memuaskan melalui (apprenticeship) dan
harus ditambahkan bantuan pre- dan post-operatif dari fisioterapis terlatih atau tenaga medis
fisioterapis khusus lepra terlatih.
Bukti bahwa bedah diindikasikan pada seluruh pasien lepra apabila terdapat kegagalan:
1. Kegagalan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya diagnosis dini dan terapi
yang adekuat
2. Kegagalan dalam tatalaksana lepra dan komplikasinya
3. Kegagalan mengedukasi pasien bagaimana hidup dengan anestesia

Bagian anatomi tubuh pada pasien lepra yang paling sering terlibat, dan juga
merupakan alat yang vital dan sarana komunikasi pasien terhadap dia, contoh: tangan, kaki,
dan mata. Setiap usaha harus dilakukan untuk menyelamatkan anggota tubuh vital tersebut.
Bedah destruktif atau mutilating biasanya jarang dilakukan. Jari-jari dan tulang-tulang tangan
dan kaki hendaknya hanya dibuang ketika sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak
berguna. Apabila terdapat keraguan, ambil langkah konservatif. Kemudian, edukasi dan
edukasi ulang pasien bagaimana cara mempertahankan ekstremitasnya.

Indikasi untuk bedah rekonstruktif


Bedah rekonstruktif yang membutuhkan kerjasama pre- dan post-operatif pasien hendaknya
dilakukan hanya jika pasien sanggup untuk membantu dirinya sendiri dan sanggup
bekerjasama.
Apabila kortikosteroid telah digunakan dalam 3 bulan sebelum operasi, mereka harus
diresepkan kembali untuk beberapa hari setelah operasi.
Waktu yang cukup hendaknya diberikan untuk pengobatan secara medisin sebelum
mempertimbangkan bedah. Banyak otot yang paralisis akan mendapatkan fungsi normal
apabila mendapatkan terapi yang benar (lihat Bab 8 ). Sering terjadi kembalinya fungsi otot
setelah paralisis radial dan wrist drop. Otot yang diinervasi oleh saraf medianus dan ulnaris
lebih jarang memperoleh fungsinya kembali, tetapi kadang-kadang dapat terjadi dalam tahun
pertama pengobatan kondisi reaksi. Drop foot mungkin membaik hingga 18 bulan setelah
onsetnya atau lebih lama. Semakin muda usia pasien, semakin baik prognosisnya. Pasien
berusia lebih dari 40 tahun jarang memperoleh kembali fungsi yang hilang.
Ketika fungsi otot membaik karena pengobatan medis dan fisioterapi, hasilnya lebih
baik secara signifikan karena tindakan bedah rekonstruktif.
Penggunaan klofazimin, yang mempunyai kinerja ganda dalam pengobatan reaksi,
telah mengurangi kebutuhan pembedahan dan membuat tindakan bedah dapat dikerjakan
lebih dini daripada sebelumnya.
Tindakan pembedahan dapat dibagi menjadi fungsional dan kosmetik.

Prosedur untuk perbaikan fungsi


Wajah
Bedah adalah satu-satunya pengobatan untuk entropion dan trikiasis. Prosedur standar
digunakan pada lepra.
Dua tindakan yang lazim digunakan untuk lagoftalmus:

120 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Tarsorafi, atau penutupan parsial fisura palpebralis (Gambar 12.6). Hal ini dapat dilakukan
pada bagian lateral, medial, atau keduanya, dan mungkin untuk sementara atau permanen.
Tarsorafi lateral adalah tindakan paling sederhana dan efektif. Hal ini dikerjakan dengan
membuang kulit dan konjungtiva pada batas kelopak mata berlawanan pada fornix lateral dan
sepertiga pada lempeng tarsal bawah. Permukaan tersebut kemudian dijahit bersama untuk
mempersempit fisura palpebralis. Tarsorafi medialis harus dilakukan pada bagian medial dari
puncta. Hasil terbaik diperoleh dengan tehnik Z-plasty. Tarsorafi akan tampak bila dilakukan
hanya unilateral, bila dikerjakan bilateral, maka tidak akan tampak terlalu jelas hasilnya.

Transfer temporalis. Hal ini memberikan hasil yang lebih memuaskan daripada tarsorafi
karena menyebabkan penutupan kelopak mata secara aktif tetapi hanya beberapa pasien saja
yang mempunyai keinginan cukup untuk menggunakannya dengan baik, jika tidak hal ini tentu
akan menjadi 'static sling'. Sedikit otot temporalis dilewatkan zygoma ke mata, dan kedua
ekstensi fascia temporalis dibuat mengelilingi mata dan difiksasikan ke ligamen palpebralis
medial. Mereka diaktivasi dengan pergerakan otot ketika temporalis berkontraksi. Apabila
lagoftalmus disertai komplikasi anestesia kornea, prosedur ini tidak akan memberikan hasil
yang baik karena pasien tidak mempunyai stimulus eksternal yang menyebabkan berkedip dan
kecil kemungkinan untuk pasien untuk melakukannya. Ketika hal ini terjadi, maka tindakan
tarsorafi lebih dipilih.
Kelumpuhan nervus fasialis dengan ketidakmampuan menutup mulut. Sebuah graft
statis dari fascia lata atau tendon plantaris dapat digunakan untuk menyokong bibir inferior.
Hal ini akan membuat mulut tertutup dan mencegah hilangnya gigi akibat kekeringan dan
penyakit periodontal sekunder dan mempunyai nilai kosmetik.

Tangan
Paralisis pada otot intrinsik tangan. Untuk paralisis ulnar dua buah prosedur lazim
dilakukan untuk aktivasi fleksi pada persendian metacarpofalang dan ekstensi persendian
interfalang:
1. Penggantian intrinsik, dengan menggunakan ekstensor radialis pergelangan tangan
sebagai motor, dan memanjangkan itu dengan graft tendon bebas dari otot palmaris
atau plantaris atau dengan fascia lata. Graft tendon mengikuti gerakan dari otot
lumbricalis dan dikaitkan dengan bagian lateral dari ekspansi dorsal dari tendon
ekstensor. Metode ini cocok untuk tangan mobile dan supple.

PPDS DERVEN FK UNHAS 121


Translated Bryceson (2010)

2. Untuk tangan yang lebih kaku, kita hendaknya memikirkan perlunya fisioterapi pre-
operatif, tendon flexor superfisial pada jari tengah atau manis dapat digunakan.
Tendon dibagi menjadi empat ujung dan dimasukkan ke dorsal expansion.
Untuk paralisis saraf medianus yang menyebabkan hilangnya gerakan oposisi jempol,
tendon flexor superfisialis dari jari manis dirute ulang ke jempol. Prosedur ini mengembalikan
fungsi oposisi.
Kontraktur jari-jari yang flexi dan kaku. Arthrodesis adalah prosedur terbaik, biasanya
pada persendian interfalang proksimal dan kadang-kadang persendian distal.
Kerusakan berat pada ketiga saraf (ulnaris, medianus, radialis) untungnya jarang terjadi,
kerusakan ini sangat menimbulkan kecacatan dan terdapat sedikit otot yang tersisa yang
dapat digunakan sebagai pengganti. Wrist drop dapat dikoreksi melalui tiga transfer:
1. Tendon pronator teres ke tendon ekstensor carpi radialis brevis dan longus.
2. Tendon flexor carpi radialis ke tendon ekstensor digitorum communis.
3. Tendon palmaris ke tendon fleksor pollicis longus. Kemudian, penggantian intrinsik
dengan tendon fleksor superfisial dari jari tengah dan manis untuk kerusakan ulnar dan
median dapat dilakukan. Kadang-kadang, arthrodesis pergelangan atau persendian jari
diperlukan karena kurangnya otot.

Kaki
Drop foot. Ini merupakan deformitas pada kaki yang paling sering membutuhkan bedah
rekonstruktif. Prosedur standar adalah dengan mentransfer tendon otot tibialis posterior ke
insersio dari dorsum pedis. Edukasi pre- dan post-operasi sulit dan operasi hendaknya
dilakukan ketika seorang fisioterapis yang dilatih khusus tersedia.
Disintegrasi tulang tarsal. Pengobatannya lama dan mungkin mematahkan semangat
apabila tidak dilakukan dalam rutinitas. Persendian diimobilisasi dengan walking plaster
selama 9 bulan. Plaster ini dilepas untuk percobaan berjalan yang dilakukan dengan berhati-
hati. Proses berjalan ditingkatkan secara gradual, dengan bantuan elastic bandage, dan
dengan waktu untuk istirahat, selama ketika tanda-tanda inflamasi tidak reda.
Apabila tatalaksana yang salah atau kurangnya kerjasama pasien, satu-satunya pilihan
adalah triple arthrodesis. Untuk komplikasi lepra yang berupa drop foot ini, lebih dari yang
lain, kesabaran mungkin bermanfaat.
Dislokasi atau deformitas pada ankle diperbaiki dengan wedge resection pada
persendian, memfiksasinya dalam pengaturan yang benar untuk membuat kaki plantigrade
dengan penyelipan Steinman pin pada kedua sisi reseksi, yang kemudian ditarik dengan kuat
bersama-sama menggunakan external clamps dan dipertahankan hingga terbentuk
penyambungan (union).
Jari-jari kaki yang bengkok (clawing of toes) sering dijumpai. Hal ini menyebabkan
tekanan berlebih pada metatarsal heads. Untuk koreksi jempol dilakukan dengan melepas otot
ekstensor halucis longus dari falang distal dan melekatkannya pada metatarsal head pertama
dan melakukan arthrodeses pada persendian interfalang. Untuk jari-jari kaki yang lain, tendon
fleksor longus ditransfer ke ekspansi ekstensor.
Amputasi. Ketika tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan arkus
yang kuat secara mekanis, dan terjadi destruksi total pada talus/ kalkaneus, tidak ada
alternatif lain selain amputasi. Amputasi juga diindikasikan ketika terjadi degenerasi malgina

122 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

yang merupakan komplikasi ulkus yang lama. Beberapa epitelioma derajat ringan dapat
dieksisi dan ditutup skin graft apabila tidak mengenai struktur yang lebih dalam.
Stom hendaknya dibuat sepanjang mungkin, pada bagian ujungnya ditutup dengan lapisan
otot yang bagus atau jaringan subkutan. Amputasi biasanya dilakukan pada perbatasan antara
bagian bawah dan sepertiga kaki bawah; tetapi lokasi ini mungkin bervariasi, contohnya
apabila terdapat osteomyelitis pada satu dari tulang panjang.

Tindakan kosmetik
Tindakan kosmetik dilakukan untuk alasan sosial dan pekerjaan, jika tidak pasien akan ditolak
dari lingkungan sosial/ keluarga/ ditolak untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini adalah sangat
penting di beberapa negara Asia tetapi tidak penting di Afrika.

Wajah
Penggantian alis. Transplantasi rambut dari kulit kepala dengan free/ pedicle graft.
Hidung kolaps. Sokong kontur hidung dengan prostesis atau bone graft strut, setelah
mukosa yang hancur diganti dengan skin graft.
Sagging face and ear lobes. Tindakan plastik sederhana untuk membuang kulit yang
berlebih.

Tangan
Di beberapa daerah di dunia, wasting atau atrofi intrinsik pada tangan adalah sebuah
stigmata. Defek ini dapat diisi dengan memberikan graft jaringan atau injeksi foamed silicone
rubber.

Ginekomastia
Hal ini memalukan untuk pasien dan mungkin menjadi stigmata lepra. Tindakan
mastektomi sederhana dilakukan dengan insisi pada tiga perempat di sekitar batas areola.
Sepotong kecil jaringan payudara ditinggalkan di bawah areola. Prosedur ini sederhana dan
memberikan hasil memuaskan.

Prostetik
Prostetik yang paling sering dibutuhkan pada lepra adalah tungkai artifisial untuk amputasi di
bawah lutut. Prostesis ini hendaknya berkontak dan menahan berat pada area sebesar
mungkin pada stom untuk meminimalisir risiko tekanan yang tidak merata pada titik tertentu
yang menyebabkan ulserasi pada ekstremitas yang anestetik.
Sebuah teknik telah dikembangkan untuk membuat prostesis di bawah lutut yang
digunakan dalam situasi yang mana prostesis konvensional tidak tersedia. Keduanya cocok
untuk mereka yang lepra, dan juga untuk pasien amputasi lain. Teknik ini menggunakan
Plastazote sebagai pelapis permukaan bagian dalam; selongsong dan badan prostesis terbuat
dari epoxy resin. Selongsong terbuat langsung ke stom setelah Plastazote dicetak ke stom.
Selongsongnya berupa total-contact socket mirip dengan selongsong conventional patellar
tendon bearing socket. Pembuatan prostesis langsung pada ekstremitas bukan pada plaster of
paris membuat prosedur lebih cepat, sederhana, dan murah.

PPDS DERVEN FK UNHAS 123


Translated Bryceson

Sebuah strap karet dibuat dari ban dalam mobil bekas. Strap dimulai dari tepi postero-
medial dari socket, menyilang ruang popliteal, mengelilingi tungkai bawah di atas patela dan
menyilang ruang popliteal ke tepi postero-lateral. Hal ini akan memberikan sokongan yang
cukup tetapi tetap memberikan mobilitas persendian lutut yang baik.
'Kaki' tidak diberikan karena meningkatkan biaya, dan diharuskan mengenakan rapid
wear. Kebanyakan pasien merasakan lebih mudah mengontrol tungkai bawah dengan large
round peg-like end.

--===000===--

POD
Impairment: segala kehilangan/ abnormalitas struktur/ fungsi
yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik. Misalnya:
leproma, madarosis, ulkus

Disability: segala keterbatasan/ kekurangmampuan (akibat


impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas
kehidupan yang normal bagi manusia

Handicap: kemunduran seorang individu (akibat impairment atau


disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas
normal yang bergantung pada umur, seks, dan sosial budaya

Dehabilitation: keadaan dimana pasien kusta (handicap)


kehilangan status sosial secara progresif, isolasi dari masyarakat,
keluarga, dan teman-teman

Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi


menyeluruh dari masyarakat tanpa makanan dan perlindungan

124 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

BAB 13: REHABILITASI SOSIAL, PSIKOLOGIS,


DAN KERJA
(Original Bryceson Hal. 183-189)

Rehabilitasi artinya pengembalian pasien ke kondisi fisik dan sosial sebelumnya sehingga dia
kembali (resume) ke tempatnya di rumahnya, lingkungannya, dan kerjanya. Untuk
memperoleh ini, diperlukan pengobatan penyakitnya (Bab 6 ) dan juga pengobatan kecacatan
fisik (Bab 12); tetapi harus diberikan edukasi kepada pasien, keluarganya, dan masyrakat,
sehingga tidak hanya pasien yang memperoleh kembali tempatnya, tetapi juga masyrakat
menerimanya dan membantunya secara positif.

Stigmata dan Prasangka


Di banyak bagian di dunia, lepra masih mempunyai 'tempat' yang spesial di antara penyakit
lain. Sayang sekali, sebuah prasangka yang sudah tertanam dalam-dalam terhadap pasien
lepra lebih sulit dilawan daripada penyakit terkait lainnya. Tidak ada penyakit lain yang
menyebabkan reaksi demikian pada komunitas dan begitu banyak tekanan kepada pasien dan
keluarga. Kadang-kadang prasangka lebih sulit diobati daripada penyakitnya.
Progresifitas penyakit lepra yang sangatlah lambat dan sejumlah kecacatan yang
disebabkan menyebabkan lepra berbeda dari yang lain. M. Leprae adalah parasit yang berhasil
menimbulkan keseimbangan dengan host-nya sehingga dapat dicerna (thrive) tanpa
membunuhnya, kemudian pasirn menjadi semakin mengerikan di mata kawan-kawannya.
Kebanyakan penyakit yang menyebabkan kecacatan 'membunuh' penyakit lebih cepat
sehingga dia tidak akan di sana ketika 'kengerian' penyakitnya muncul. Hal yang alami adalah
orang akan berpikir "Saya tidak mau menjadi sepertinya yang mengemis-ngemis di tepi jalan
selama waktu yang tidak bisa ditentukan, buta, dan cacat".
Kecacatan fungsional yang disebabkan oleh lepra lebih jarang menimbulkan masalah
daripada deformitas yang merubah fisik (disfigures) dan menstigmatisasi pasien. Sayangnya,
kebanyakan orang takut terhadap pasien yang tampak mengerikan walaupun mungkin proses
penyakit berkurang, sebaliknya pada pasien yang proses infeksinya tidak tampak, tanda-tanda
klinis lepranya muncul sangat pelan. Untuk alasan ini, isolasi pasien lepra dari masyrakat
umum tidak mempunyai makna dalam IKM, dan hanya meningkatkan stigma.
Oleh karena hal inilah, kita, sebagai dokter, dapat berbuat untuk pasien dengan
menjadi contoh dalam masyarakat. Mudah untuk melupakan atau melihat dalam-dalam fakta
bahwa komunitas mengikuti contoh-contoh yang kita berikan dan sikap kita terhadap pasien
dan sakitnya. Oleh sebab itu, ketika kita mengedukasi, edukasi tersebut tidak hanya untuk
pasien dan masyarakat, tetapi, yang lebih penting, edukasi untuk tenaga kesehatan sehingga
mereka mempunyai sikap yang rasional dan membantu terhadap pasien lepra.

Menghindari kebutuhan rehabilitasi: rawat jalan


Terdapat banyak keuntungan rawat jalan. Jika pasien dapat diobati ketika dia tinggal di rumah,
dia tidak perlu untuk dikembalikan ke masyrakat. Pasien mau untuk memulai pengobatan
pada stadium dini, jauh sebelum pasien setuju untuk pergi ke rumah sakit. Pengobatan dini

PPDS DERVEN FK UNHAS 125


Translated Bryceson

mengurangi infeksi dengan cepat sehingga transmisi secara nyata akan berkurang dalam
beberapa hari. Melalui cara ini, pengobatan di rumah menghasilkan ‘isolasi kimia’. Pasien
secara normal dapat melanjutkan hubungan dan kontak dan pekerjaannya sehari-hari. Dia
tidak perlu merasa diasingkan dari komunitasnya sendiri dan tidak membutuhkan berbagai
jenis rehabilitasi.
Masalah pada pengembangan sistem rawat jalan yang berjalan membutuhkan segala
usaha dan pembelajaran kita. Apabila pengobatan pasien rawat jalan tersedia dan diterima
oleh pasien, maka kebanyakan masalah lepra terselesaikan. Tetapi sekali pasien jauh dari
keluarga dan lingkungan sekitarnya, dia akan beradaptasi dengan situasi lain, terutama ketika
terdapat orang lain yang mempunyai penyakit dan kecacatan yang sama. Dia bergabung
dengan grup ('tribe' atau klub lepra) - dan merasa lebih 'rumah' dengan anggotanya daripada
saudara sedarahnya.
Setiap usaha harus dibuat untuk meminimalisir pengobatan rawat inap. Semakin lama
pasien jauh dari rumah, semakin sulit baginya untuk kembali. Setelah tiga tahun, tidak
mungkin baginya untuk kembali ke rumah asalnya.
Terdapat banyak masalah terlibat dalam tatalaksana lepra dengan komplikasi,
terutama dalam situasi dimana ketakutan dan prasangka tinggi, dan mudah untuk secara
emosional sangat terlibat dan melakukan sesuatu berlebih untuk pasien. Sebuah
keseimbangan kehangatan dan cinta, rayuan dan edukasi, diperlukan sehingga kebutuhan
pasien tercapai, tetapi dengan demikian pasien hendaknya tidak menjadi tergantung dengan
yang lainnya, dan mau untuk kembali ke hidupnya dimana dia akan mempunyai tanggung
jawab dan harga diri.

Masalah dalam rehabilitasi

Rehabilitasi fisik
Restorasi fisik pada individu ke fungsi terbaiknya adalah langkah pertama yang penting dan
biasanya lebih mudah dicapai daripada langkah rehabilitasi yang lainnya. Pada beberapa
negara di Afrika, rehabilitasi fisik adalah kebutuhan utama, sehingga individu dapat kembali ke
kehidupan normalnya. Sayangnya, hal ini tidak sama dengan bagian dunia yang lain. Di
tempat-tempat dimana lepra mendapatkan stigma yang kuat, fakta bahwa dia mendapatkan
lepra cukup menyebabkannya dihindari dari masyarakat, walaupun tidak ada tanda-tanda
klinis lepra pada dirinya.

Rehabilitasi psikologis
Pada beberapa komunitas, contohnya sebagian India dan Amerika Selatan, pasien secara
perlahan dan pasti meninggalkan keluarganya untuk menghindari penolakan sosial yang juga
mengenai keluarganya yang tidak sakit. Masalah yang sulit dikendalikan mungkin muncul.
Pasien mungkin kehilangan kerjanya dan tanpa penghasilan keluarganya menjadi miskin.
Sebagai tambahan dia mempunyai ketakutan bahwa dia akan menyebarkan penyakitnya ke
mereka. Kemudian akan tetap muncul suatu pikiran bahwa, walaupun penyakitnya sembuh,
dia mungkin tetap tidak diterima. Dia menjadi tekurung dengan ketakutan, ketakutan
diketahui mendapatkan lepra, ketakutan ditolak oleh yang dicintai dan ketakutan diasingkan
oleh masyarakat.

126 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Rawat inap jangka pendek ketika terjadi penyakit mempunyai beberapa poin-poin
penting (lihat hal. 63 [90]). Di lingkungan dengan stigma tinggi, pasien menerima bahwa dia
adalah orang yang diasingkan dan sikap ini semakin diterima ketika dia masuk ke rumah sakit
lepra. Hal ini hendaknya dihindarim kecuali dibutuhkan suatu perawatan khusus. Masalah
akan terselesaikan jika rumah sakit mempunyai kompetensi dan mau merawat pasien lepra.
Pasien lepra membutuhkan sokongan psikologis maksimum. Keluarga hendaknya
dikunjungi dan diyakinkan dan membantunya bersosialisasi. Melalui cara ini edukasi
masyarakat secara keseluruhan diperlukan.

Rehabilitasi sosial
Edukasi adalah kebutuhan dasar. Edukasi kepada keluarga dan masyarakat untuk menerima
pasien dan masyarakat untuk menerima pasien karena mempunyai penyakit yang dapat
diobati dan kurang infeksius dibandingkan penyakit kebanyakan yang dikenalinya. Edukasi
pasien untuk menerima tanggung jawab pasien dalam masyarakat bukan dalam isolasi, dan
kepada orang yang pasien bergantung karena pasien tidak dapat melakukannya saat ini. Tetapi
masyarakat harusnya tidak, di samping ketakutan, menyiapkan pasien dan secara sempurna
merendahkan harga dirinya ataupun kemampuan pasien untuk merawat dirinya.

Legal measures
Karena bagaimana cara lepra menyebar belum dipahami dengan baik, sangat sulit untuk
mengatakan bagaimana cara pengendalian penyakit terefektif. Isolasi pasien terbukti gagal.
Rencana untuk kontrol penyakit infeksi dapat dan hendaknya:
1. Kasus-kasus baru hendaknya dilaporkan
2. Isolasi dan pengobatan hendaknya dipertimbangkan hanya pada pasien infeksius
yang menolak pengobatan

Tidak ada satupun hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pasien lepra.

Tatalaksana lepra di general health services


Satu dari cara paling efektif untuk mengurangi prasangka terhadap pasien lepra adalah
menyediakan perawatan harian di general medical units. Klinis obat (dispensaries), pusat
kesehatan, dan rumah sakit hendaknya, dalam waktu yang bersamaan, menerima dan
mengobati pasien lepra ataupun penyakit infeksi lainnya. Seperti halnya penyakit yang
menjadi penyebab sakit utama dan yang mempunyai masalah tertentu, hendaknya terdapat
staf dan fasilitas spesialis yang mahir untuk perawatan pasien dengan masalah di luar
pengetahuan sehari-hari dari paramedis rata-rata. Tetapi pengobatan lazimnya lepra dan
komplikasi-komplikasi umum dan edukasi pasien hendaknya menjadi tanggung jawab setiap
fasilitas kesehatan. Hal ini tidak hanya membuat perawatan tersedia mudah, tetapi yang lebih
penting adalah hal ini mengurangi stigmata lepra. Implementasi dari aturan ini akan
menyebabkan pasien lebih diterima dalam masyarakat.

Peran organisasi sukarelawan


Beberapa pasien lepra, terutama mereka yang cacat, mungkin membutuhkan bantuan jangka
panjang. Rumah sakit pemerintah di negara berkembang mempunyai sedikit perencanaan
terhadap pasien jangka panjang. Staf medis jarang didapatkan dan sering tidak tertarik, atau
takut, dengan lepra. Sayang sekali, pasien lepra kebanyakan dirawat oleh para misionaris dan

PPDS DERVEN FK UNHAS 127


Translated Bryceson (2010)

organisasi sosial, sebuah fakta yang mana meningkatkan stigmanya. Oleh sebab itu,
perawatan jangka panjang pada mereka yang cacat masih menjadi bidang kerja bagi organisasi
relawan, yang seharusnya menerima bantuan pemerintah tetapi mendapatkan tanggung
jawab penuh untuk kinerja administrasinya sendiri.
Sebuah peringatan kuat hendaknya diberikan kepada bantuan-bantuan tersebut untuk
menghindari risiko ketergantungan dan hilangnya harga diri pada sebagian pasien. Bantuan
disebut sebagai bantuan sesungguhnya bila bantuan tersebut menimbulkan inisiatif dan
keinginan untuk kembali ke 'tempat' normal dalam masyarakat.

Bantuan terhadap keluarga pasien


Ketika tidak ada sumber dukungan, keluarga pasien, dan terutama anak-anak, harusnya
dirawat oleh agen kesejahteraan. Tetapi ini seharusnya menjadi pilihan terakhir, ketika tidak
ada saudara, teman, atau rekan kerja yang memanggul tanggung jawab tersebut. Hal ini
terbaik dilakukan melalui bantuan yang disediakan oleh agen-agen yang peduli dengan
kebutuhan serupa dari pasien-pasien yang sakit apapun, bukan hanya pasien lepra.

Anak-anak pasien
Hal yang paling humanis, paling ekonomis, paling aman untuk merawat anak-anak pasien lepra
adalah dengan membiarkan mereka tinggal bersama orang tuanya. Tidak memberikan ASI
kepada anaknya membuahkan suatu hukuman mati di banyak negara di dunia. Bayi yang lahir
dari pasien lepra hendaknya diproteksi dengan vaksinasi BCG, dan bila diindikasikan,
kemoterapi profilaksis (lihat hal.156 [229]). Anak-anak dari pasien lepra dan anak-anak yang
sedang dalam terapi lepra hendaknya dianggap normal dan segera masuk ke sekolah. Tidak
ada sarana/ fasilitas khusus yang dibutuhkan anak-anak tersebut. Anak-anak dengan lepra MB
tidak infeksius setelah 2 hari pertama mereka minum regimen MDT yang mengandung
rifampisin, dan tidak perlu mengeluarkan mereka dari sekolah.
Berdasarkan pengalaman di Nigeria selama 15 tahun terhadap 1000 anak-anak yang
berkontak erat dengan pasien menunjukkan bahwa, walaupun beberapa mendapatkan lepra,
tidak ada contoh bahwa penyakitnya berat ataupun menimbulkan kecacatan atau penyakit
berlangsung lama. Hal ini terjadi karena penggunaan vaksinasi BCG dan berdasarkan fakta
bahwa anak-anak didiagnosis dini. Masalah psikologis, administratif, dan finansial yang muncul
akibat dari perawatan institusi dapat dicegah dan anak-anak dapat tumbuh relatif normal.

Orang pincang dan pengemis


Mereka adalah saksi prasangka dari masyarakat dan kelemahan profesi kesehatan. Pada
beberapa komunitas, pasien yang cacat fisik (disfigures) diterima dalam komunitas, tetapi
hanya sebagai pengemis. Pada komunitas lainnya, mengemis tidak dapat diterima secara
sosial dan tidak memberikan penghasilan yang cukup untuk hidup. Kondisi kurangnya
penghasilan ini lebih dipilih (daripada tidak dapat diterima) karena pasien harus
bertanggungjawab sendiri untuk pengeluaran hariannya. Ketika hal ini tidak mungkin
dilakukan, mereka hendaknya dibantu oleh keluarga, atau apabila gagal, oleh pemerintah.
Pada komunitas agrikultur, dimana lepra bukan suatu stigma, biasanya mungkin bagi
pasien untuk kembali bertani. Walaupun dengan kecacatan yang berat termasuk kebutaan,
beberapa masih sanggup untuk merawat diri sendiri dengan sedikit ataupun tanpa bantuan.
Sikap yang menunjukkan bahwa ini yang diharapkan pasien, menyebabkan kembali bekerja
dalam dilakukan.

128 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Rehabilitasi kerja
Berbagai metoda bervariasi tergantung situasi, tergantung sikap orang-orang, tergantung
kesempatan kerja untuk yang sehat fisik dan untuk yang cacat, dan ketersediaan lahan
pertanian. Pada banyak situasi, kesulitan terbanyak adalah penerimaan pekerja yang terkena
lepra. Dan, sekali lagi, penting untuk mengedukasi komunitas bahwa mereka dapat bekerja,
dan mereka tidak akan menularkan penyakitnya. Terdapat empat faktor yang terkait diri
pasien sendiri:
1. Dia harus dapat belajar untuk hidup dengan ekstremitas anestetik - untuk belajar
bagaimana dia dapat bekerja dan tidak menghancurkan 'peralatan' paling berharganya
(tangan, kaki, dan matanya).
2. Dia harus mempunyai kemampuan fisik untuk bekerja dan mempunyai inisiatif untuk
melakukannya. Hal ini tidak sulit untuk dilakukan di Afrika. Di tempat lain seperti
Amerika Utara atau Selatan dan beberapa bagian India, hal ini mungkin tidak mungkin
dilakukan, karena kurangnya inisiatif dan prasangka pekerja lain terhadap pekerja
dengan lepra.
3. Pelatihan untuk pekerjaan baru. Beberapa pasien mempunyai kecacatan yang berat
atau selektif yang menyebabkan tidak mungkin baginya untuk kembali ke pekerjaan
lamanya dan pelatihan ulang diperlukan. Pelatihan hendaknya dipertimbangkan
dengan kecacatan yang dimiliki oleh pasien, termasuk anestesia, sehingga untuk
melakukannya pasien tidak perlu menambah kecacatannya. Hal lain yang harus
dipertimbangkan adalah kesempatan dalam masyarakat dan faktor sosial setempat
lainnya. Tidak baik melatih orang dengan kemampuan yang tidak akan terpakai,
ataupun kemampuan yang dilarang dalam kasta ataupun sukunya.
4. Industri yang terproteksi. Hanya dalam sedikit situasi yang memungkinkan untuk
membuat industri yang terproteksi terutama untuk pasien lepra. Tetapi industri
tersebut ada untuk pekerjaan mereka yang cacat, dan mereka hendaknya dimotivasi
untuk menerima mereka yang cacat karena lepra.

Edukasi
Faktor yang paling penting dalam rehabilitasi adalah edukasi. Masyarakat perlu diedukasi
untuk menerima pasien lepra. Pasien sendiri harus diedukasi pentingnya pengobatan yang
cukup, dan bagaimana untuk melindungi tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Hal ini dicontohkan
oleh tenaga kesehatan bagaimana mereka mengobati pasien dengan lepra dalam penuh
penghormatan dan pertimbangan yang mereka tunjukkan sebagai individu yang bertanggung
jawab. Hal ini adalah hal yang paling penting.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 129


Translated Bryceson

BAB 14: PERCOBAAN LEPRA


(Original Bryceson Hal. 191-201)

Armauer Hansen menemukan basil lepra di tahun 1873, mendiskripsikan kuman ini tahun
1874 dan menyebutkan bahwa kuman ini adalah penyebab lepra. Peristiwa ini merupakan
penemuan bakteri pertama yang dianggap sebagai sebagai penyebab penyakit pada manusia,
namun teorinya belum siap diterima. Ilmu bakteriologi masih ‘bayi’ saat itu. Bukti pertama
suatu infeksi bakteri diungkapkan oleh Robert Koch melalui transmisi kuman antraks pada
domba di tahun 1876. Di tahun 1882, Koch mengisolasi M. tuberculosis dan menunjukkan
bahwa kuman ini adalah penyebab tuberkulosis. Meskipun ini merupakan awal yang baik,
namun penelitian terhadap M. leprae tertinggal dari penelitian-penelitian lain terhadap kuman
lain, termasuk virus; karena M. leprae tidak dapat ditumbuhkan pada medium artifisial.
Hal ini tidak akan menjadi sangat serius jika hewan coba untuk multiplikasi M. Leprae
ditemukan. Kultur M. leprae invivo bertujuan:
1. Untuk memperoleh data dasar bakteri mengenai viabilitas, infektifitas,
pertumbuhan, patogenitas dan sensitivitas terhadap obat antimikroba
2. Untuk membuat suatu model ujicoba hewan terhadap lepra pada manusia agar
dapat meneliti interaksi host dan parasit sehingga dapat lebih dimengerti patologi
yang mendasari pola klinis yang mempunyai rentang tidak biasa. Hal ini
dibutuhkan pada keadaan:
a. Penyakit ini hendaknya menyerupai penyakit yang tampak di manusia
b. Organisme penyebanya mirip, atau sangat erat terkait, yang menyebabkan
penyakit manusia
c. Respon hewan terhadap organisme ini hendaknya semirip mungkin dengan
cara manusia merespon

Ada beberapa model penelitian lepra pada tikus, armadillo, dan primata yang masing-
masingnya mempunyai manfaat yang berbeda. Informasi terawal dari hewan berasal dari tikus
yang terinfeksi M. lepraemurium.
Walaupun M. leprae tidak dapat dikultur secara in vitro, namun saat ini ditemukan
pertumbuhan yang terbatas di media cair tertentu atau kultur sel. Hal ini dan tehnik biologi
molekuler yang terbaru memberikan kontribusi besar terhadap ledakan pengetahuan
mengenai lepra.

Lepra pada tikus (rat): infeksi M. lepraemurium


M. lepramurium secara morfologi mirip dengan M. leprae dan hingga saat ini tidak dapat di
kultur secara in vitro. M. lepraemurium ini merupakan patogen alami pada tikus yang
menyebabkan penyakit sistemik yang fatal tidak seperti lepra pada manusia, tetapi bakteri ini
memberikan kontribusi yang penting terhadap bakteriologi lepra.
Pada tahun 1958, JA McFadzean dan RC Valentine menyatakan bahwa organisme yang
mati dapat dibedakan dengan organisme yang hidup dengan menggunakan mikroskop
elektron, dimana organisme yang mati mempunyai kepadatan yang ireguler pada sitoplasma

130 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

yang terdisorganisasi. Dua tahun kemudian, RJW Rees dan RC valentine memperlihatkan
kemiripan basil yang mengalami degenerasi pada lepra manusia dan menghubungkan hal ini
dengan penonjolan (beading) yang ireguler yang terlihat pada sebagian organisme ini pada slit
skin smear.
Mereka kemudian mengobati tikus ini dengan INH, didapatkan penurunan proporsi
basil solid (hidup) lebih cepat dibandingkan jumlah total basil; dan kemudian kuman solid
meningkat dengan cepat, yang menandakan terjadi resistensi organisme ini terhadap INH.
Penelitian ini membuktikan hubungan indeks morfologi yang dibuat oleh SG Browne (lihat hal.
42 [64]) untuk menilai perkembangan lepra pada manusia, beberapa tahun sebelum terjadi
konfirmasi bahwa M. leprae yang berbentuk granul (beaded) adalah kuman yang mati
(Gambar 14.1). Penelitian-penelitian ini juga mendasari penilaian obyektif terhadap uji
kemoterapi.

Lepra pada tikus (mouse): infeksi M. leprae


Di tahun 1960, Charles C. Shepard di Atlanta, Georgia berhasil membuktikan bahwa M.leprae
dapat bermultiplikasi di telapak kaki tikus. Hampir seluruh pengetahuan tentang bakteriologi
M. leprae dan informasi lain tentang hubungan host dan parasit berasal dari hasil
penelitiannya dan juga penelitian RJW Rees di London.

Multiplikasi M. leprae
Inokulasi sebanyak 104 organisme, setelah lag phase*) sekitar 90 hari, akan bermultiplikasi
secara logaritmik dalam periode 6 bulan untuk mencapai plateau sekitar 2 x 106 organisme.
Inokulasi yang lebih banyak atau lebih sedikit memberikan hasil yang sama. Hal ini
memberikan waktu generasi 12-13 hari selama fase pertumbuhan logaritmik, dan rata-rata
waktu generasi secara keseluruhan adalah 18-42 hari. Setelah sekitar 16 bulan, jumlah basil
menurun (Gambar 14.2). Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 27-30 C. *[Henry: Lag phase: stage
of bacterial growth in which metabolic activity occurs but no growth]

PPDS DERVEN FK UNHAS 131


Translated Bryceson (2010)

Telapak kaki tikus telah digunakan sebagai media kultur untuk uji viabilitas M. leprae
yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda dan dipaparkan ke berbagai kondisi.
Kemudian, telah ditunjukkan bahwa M. leprae pada discar (sekret) nasal dan darah pasien
lepra bersifat viable (hidup), bahwa pengobatan 10 tahun dengan dapson atau 2 tahun dengan
rifampisin tidak membunuh seluruh basil pada pasien lepra; otot polos, otot lurik, dan saraf
merupakan tempat yang disukai untuk M.leprae hidup, bahwa obat yang berbeda membunuh
basil dengan jumlah yang berbeda (lihat Bab 6). Dapson dengan jumlah dosis kecil meskipun
memberikan respon klinis yang baik, namun secara konsisten gagal membunuh basil pada
organ internal, bahwa M. leprae dapat bertahan diluar tubuh hingga 2 hari (kadang-kadang
lebih) pada lingkungan. Pada sekret hidung, M. leprae bertahan hidup hingga 7 hari pada
kelembaban 44%, atau 14 hari pada kelembaban 78%. Inokulasi pada telapak kaki tikus 10 kali
lebih sensitif dalam mendeteksi M.leprae dari pada slit skin smear.

Virulensi dan viabilitas dari isolasi berbeda M. leprae


Ratusan isolasi M. leprae dari berbagai bagian dunia dan dari berbagai tipe pasien yang
berbeda dari tipe LL hingga BT (tidak mungkin untuk mengisolasi cukup organisme dari pasien
tipe TT) telah dicoba diinokulasi pada tikus. Tidak terdapat bukti sejauh ini bahwa strain
organisme yang berbeda bertanggung jawab terhadap munculnya lesi tipe LL atau TT atau
terdapat perbedaan dalam hal pertumbuhan dari berbagai isolasi yang berbeda. Pada tikus,
beberapa strain mencapai plateau lebih cepat dari yang lain, menghasilkan total basil lebih
tinggi dan merangsang sedikit respon selular. Karakteristik pertumbuhan yang cepat dan
lambat ini menunjukkan kecenderungan breed true.
(ikatan yang diturunkan dikatakan breed true bila kedua orang tua dengan fenotip tertentu
menghasilkan fenotip yang sama pada anak/ When individuals breed true their characteristics
are reproduced faithfully in their offspring)

Bukti identitas M. leprae


Satu-satunya cara untuk mengidentifikasi organisme M. leprae dan cara multiplikasinya adalah
dengan menginokulasikannya ke telapak kaki tikus. Identitas ini dikonfirmasi secara

132 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

histopatologi dari lesi pada tikus dan ketidakmampuan organisme bermultiplikasi pada media
kultur standar. Inokulasi pada telapak kaki tikus digunakan untuk memperlihatkan bahwa
arthropoda tertentu dapat memakan M. leprae pada penderita leprosa (lihat hal. 140 [206]).
Sejumlah tes penyaring (screening) yang lebih sederhana dan cepat bergantung pada
kemampuan M. leprae, keunikan sejumlah mikobakteria, untuk mengoksidasi dopa menjadi
melanin. Sebuah suspensi basil dicampur pada slide mikroskop dan diperiksa perubahan
warnanya.

Studi kemoterapi
Efek obat dicoba pada fase pertumbuhan logaritmik M. leprae. Hal ini memungkinkan untuk
pertama kali menilai konsentrasi dapson yang menghambat M. leprae, untuk mencoba obat
baru pada hewan bukan pada manusia, untuk membedakan antara aktivitas efek bakterisidal
dan bakteriostatik, dan untuk uji stratin tertentu terhadap resistensi obat.
Kerja dapson. Pada tikus konsentrasi hambat minimal (MIC) dapson adalah 0,003
mg/ml (lihat hal. 54 [78]). Level ini didapat pada individu coba dengan dosis harian dapson 1
mg. Pada uji coba terhadap manusia menunjukkan dosis tersebut bersifat parsial, tetapi efektif
walaupun tidak keseluruhan.
Uji coba obat baru. Rifampisin merupakan obat pertama yang memiliki aktivitas
antilepra pada hewan sebelum dicobakan pada pasien. Keberhasilan prosedur ini berarti
bahwa tidak diperlukan lagi dicobakan bahan-bahan baru ke manusia sebelum mencobanya
dahulu pada hewan coba, sehingga dapat dilakukan percobaan dengan ratusan bahan lain
diantaranya etionamide.
Bakterisidal atau bakteriostatik? Penggunaan metode ‘kinetik’ memungkinkan untuk
membedakan antara aktivitas obat bakterisidal dan bakteriostatik. Obat diberikan terbatas
pada periode tertentu selama periode pertumbuhan log phase. Penghitungan jumlah bakteri
dibuat dari kumpulan sampel dari tikus alam interval yang reguler dan waktu pengambilan
saat pertumbuhan bakteri dijadikan sebagai awal cara kerja obat. Rifampisin memperlihatkan
efek bakterisidal; sementara dapson, thiambutosine, clofazimin, streptomisin bersifat
bakteriostatik. Obat-obat ini gagal menunjukkan efek sinergisme antar obat, namun
memperlihatkan adanya efek antagonis terhadap dapson oleh INH dan asam para amino
salisilat.
Resisten Obat. Resistensi M.lepra terhadap dapson telah diduga secara klinis selama
bertahun-tahun, hal ini dikonfirmasi dengan tikus. Ditemukan rasio resistensinya (MIC dapson
terhadap strain yg sensitif) yaitu 100. Strain yang resisten terhadap dapson tidak menjadi
sensitif selama percobaan dengan tikus. Dosis dapson 100 mg/hari akan menghasilkan rasio
terapeutik (blood level/MIC) 100. Tidak diketahui apakah hal ini mempunyai efek terhadap
kontrol terhadap munculnya mutay yang resisten..

Imunisasi
Vaksinasi tikus dengan BCG secara signifikan menghambat multiplikasi M. lepra, hal ini
kemungkinan merupakan hasil dari imunitas spesifik terhadap antigen yang bereaksi silang
dibandingkan dengan imunitas non spesifik pada boosting imunitas selular. M. lepra yang mati
atau yang hidup setelah pengobatan, juga melindungi tikus saat diberikan secara intradermal.
Spesies mikobakteria lainnya telah terbukti tidak efektif.

PPDS DERVEN FK UNHAS 133


Translated Bryceson

Bentuk penyakit pada tikus normal


Pada telapak kaki tikus, M.lepra bermultiplikasi terutama pada sel-sel otot dan respon
selularnya dapat dibandingkan dengan lepra indeterminate pada manusia. Diduga pada
awalnya jumlah basil berkurang setelah 16 bulan, dimana infeksi berakhir . Namun setelah 2
tahun, tikus tersebut diperiksa secara histopatologi ditemukan perubahan. Sejumlah kecil basil
ditemukan pada sel histiosit dan sel Schwann pada dermal neurovaskuler bandle. Juga
terdapat granuloma sel epitelioid yang dikelilingi limfosit. Bentuk ini terdapat pada lepra tipe
BB. Beberapa basil ditemukan diseminata pada telapak kaki dan hidung tikus yang bukan pada
tempat inokulasinya dimana multiplikasi basil ini dapat berkembang biak. Kesamaan lepra
pada manusia dan manipulasinya pada binatang coba memberikan peningkatan pemahaman
mengenai penyakit ini.

Bentuk penyakit pada tikus yang menjalani timektomi dan radiasi


Infeksi M. lepra pada tikus tidak segera tampak, jika dibiarkan dalam jangka waktu yang cukup
lama, maka akan menghasilkan suatu penyakit seperti pada manusia, dan hal ini cenderung
mengalami perbaikan yang disebabkan oleh respon imun yang efisien. Berbagai percobaan
telah dilakukan untuk menurunkan kompetensi imunologi tikus sebelum menginfeksi tikus
tersebut, dengan melakukan timektomi tikus dewasa dan diberikan paparan radiasi subletal
dengan 900R. Prosedur ini menghancurkan sel-sel hasil respon cell-mediated dan mengurangi
respon humoral. Pada tikus:
1. M. leprae bermultiplikasi pada angka yang sama namun mencapai hasil akhir yang
lebih besar 109 (Gambar 14.2)
2. Setelah inokulasi intravena, lesi muncul pada hidung, telinga dan kaki. Dan jumlah basil
mencapai 1010
3. Inokulasi pada telapak kaki diikuti dengan penyebaran pada tempat inokulasi
4. Histologi lesi menyerupai lepra tipe LL

Lepra pada nude mice


Pada tahun 1976 tikus tanpa rambut ditemukan. Mutan ini kekurangan kelenjar timus,
defisiensi sel T, dan tidak bisa menghasilkan respon imun selular. Nude mouse sangat sensitif
terhadap infeksi M.lepra, dan setidaknya dapat dideteksi 100 organisme hidup pada inokulum
dari 108 organisme mati. Jumlah bakteri total mencapai 1010, dan terdapat infeksi kulit yang
berat (terutama pada ekor, telinga, dan moncong), testes, hati, limfe dan limfonoduli. Basil
juga terdapat pada endoneurim dan perineurin, termasuk sel Schwann, dan otot polos dan
lurik serta sel endotel pembuluh darah.

Reaksi
Jika tikus dengan lepra LL yang timusnya telah menjalani timektomi dan telah diradiasi
diinjeksikan secara intravena dengan limfosit syngeneic (kompatibel secara genetik) dari tikus
normal, 10 hari kemudian, terjadi inflamasi akut terjadi pada tempat yang sebelumnya lesi
tidak ada. Secara klinis hal ini menyerupai reaksi tipe 1. Secara histologi juga menyerupai
reaksi tipe 1, limfosit menginfiltrasi lesi dan limfosit ini memasuki perineurium dimana sel
Schwann terdegenerasi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa patogenesis reaksi merupakan suatu
peningkatan mendadak imunitas selular dan hipersensitivitas.

134 PPDS Kulit & Kelamin FK UNAND/Padang


Translated Bryceson

Transmisi
Sebagai tambahan cara inokulasi pada penelitian umumnya yang dilakukan secara subkutan
atau intradermal, lepra juga dapat ditransmisikan ke nude mice melalui mukosa nasal, baik
secara aerosol atau aplikasi langsung. Proses menelan secara oral, inokulasi paru dan gigitan
nyamuk Aedes aegyptii gagal mentransmisikan lepra.

Lepra pada armadilo


Sekitar 40% dari armadilo dengan 8 pita (Dasypus novemcintus, Gambar 14.3) yang
diinokulasikan dengan M. leprae, muncul lepra lepromatosa florid, baik secara klinis dan
histologis, setelah satu tahun atau lebih. Terdapat sejumlah besar multiplikasi basil yang
melibatkan paru dan otak demikian jaringan lain yang umum diserang oleh M. leprae. Hepar
mungkin mengandung 109 basil/gram jaringan. Jumlah basil yang banyak pada binatang
demikian tersebut dapat digunakan untuk studi imunologi dan metabolik. Kebanyakan
binatang gagal mendapatkan penyakit, tetapi terjadi respon tuberkuloid pada tempat
inokulasi. Armadilo rentan terhadap beberapa kuman patogen manusia, mungkin hal ini
disebabkan karena mereka memiliki suhu tubuh rendah, 30-36 C; namun masih sedikit
diketahui mengenai respon imunnya.

Armadilo hidup selama 12-15 tahun dan menghasilkan 4 anak monozigot (monozygous
quadruplets) yang dapat membantu studi genetik, tetapi binatang ini tidak berkembang biak
cepat ketika dalam penangkaran. Sejak tahun 1975 terdapat peningkatan armadilo liar
menderita lepra di Texas dan Lousiana (lihat hal. 139 [204]).
Sejumlah kecil armadilo dengan 7 pita (Dasypus hybridus) beradaptasi lebih baik dalam
penangkaran, berkembang biak lebih cepat dan lebih mudah untuk dikendalikan. Binatang ini
mendapatkan lepra lebih cepat daripada armadilo dengan 9 pita, dan dapat menjadi suatu
binatang uji coba yang lebih berguna.

Lepra pada primata


Penemuan lepra yang didapat secara alami pada monyet Mangabey (Cercocebur atys),
memberikan kebangkitan dalam penggunaan primata untuk model penelitian lepra. Monyet

PPDS DERVEN FK UNHAS 135


Translated Bryceson (2010)

Mangabey yang diinfeksi untuk penelitian menderita lepra tipe lepromatosa dan mati setelah
4 tahun. Terdapat sangat banyak basil M. leprae di kulit, mukosa nasal, saraf tepi, dan testis;
namun hanya sedikit organ dalam yang dikenai. Studi imunologi memperlihatkan suatu defek
limfosit T yang sama pada manusia. Monyet Rhesus (Macaca malatta) dan monyet Afrika hijau
(Cercopithecus aethiops) adalah model yang cocok dan lebih ‘nyaman’ yang sedang dalam
investigasi.

Mycobacterium leprae pada kultur sel dan pemeliharaan dalam jangka pendek
in vitro
M. leprae mungkin dapat dipertahankan hidup dalam kultur makrofag tikus atau manusia
selama beberapa minggu, dan juga dalam media kelompok tertentu dalam waktu yang sama.
Bakteri ini aktif secara metabolik yang terlihat melalui pengambilan (uptake) timidin yang
dilabel radio. Sistem ini diuji untuk menilai kemampuan untuk demonstrasi efek obat dan
adanya resistensi dapson.
Kultur in vitro jaringan saraf atau sel Schwann dan sel neurofibroblast yang telah
dimurnikan, digunakan sebagai studi interaksi M. leprae dengan saraf. M. leprae, namun tidak
mikobakteria lainnya, yang melekat pada permukaan sel Schwann, difagosit. Sel Schwann dan
neurofibroblast akan memfagosit M. leprae. M. leprae tidak akan menginvasi akson saraf. M.
leprae akan bermultiplikasi pada sel Schwann. Sel Schwann yang diserang secara normal tidak
berhubungan dengan akson, dan tidak mensintesis myelin. Kemoterapi yang berhasil mungkin
mengembalikan fungsi sel Schwann. M. leprae tidak toksik terhadap sel-sel pada kultur,
namun penambahan sel-sel imun limpa menginduksi perubahan sitopatik.
Percobaan untuk mengkultur M. leprae dari manusia atau armadilo pada media bebas
sel sering menghasilkan Mykobacteria yang, dalam evaluasi kritisnya, telah dibuktikan adalah
spesies yang lain. Ini menimbulkan asumsi oleh beberapa peneliti bahwa keberhasilan
pertumbuhan intraselular M. leprae bergantung pada adanya organisme kedua yang
memberikan nutirisi esensial yang tidak dapat disintesa oleh M. Leprae. Namun, M. leprae
dapat dipertahankan hidup dalam medium cair selama 16 minggu dan terlihat bermultiplikasi
dalam 2-3 generasi sebelum mati. Hal ini belum pernah disubkultur. Kultur pemeliharaan
jangka pendek ini telah digunakan untuk memperlihatkan efektifitas dapson dan rifampisin,
dan beberapa turunan dari trimetoprim.

Biologi molekuler M. leprae


Produksi antibodi monoklonal dan teknologi penggunaan rekombinan DNA adalah dua
pendekatan yang tebukti berguna pada studi mikobakterium.
Teknologi antibodi monoklonal diproduksi dengan memfusikan sel B dari tikus yang
diimunisasi dengan mikobakteria, dengan sel myeloma tikus, dan menanam hibrid-hibrid
secara individual, sehingga klon dari sel tumbuh mensekresikan immunoglobulin tunggal, yang
spesifisitasnya ditentukan melalui skrining terhadap seluruh organisme atau komponennya,
atau terhadap antigen yang diproduksi oleh expression of library (lihat di bawah). Antibodi
yang terbentuk ini mungkin kemudian digunakan untuk taksonomi mikobakterium, diagnosis,
epidemiologi, dan deteksi imunokimia atas antigen mikobakterium. Antibodi monoklonal yang

136 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

bereaksi dengan sel limfoid telah terbukti berguna untuk mengidentifikasi tipe sel yang
terlibat dalam granuloma lepra (lihat hal. 75 [110]).
Teknologi rekombinan DNA telah digunakan untuk memproduksi dan meneliti protein
M. leprae. DNA, yang diekstrak secara kimiawi dari M. Leprae, dipotong dalam potongan-
potongan kecil, baik secara mekanis atau menggunakan enzim. Potongan DNA ini kemudian
dimasukkan melalui bakteriofag atau vector plasmid ke dalam DNA E. coli, yang berkembang
pada klon dan memproduksi ulang potongan DNA yang dimasukkan bersamaan bersama-sama
dengan DNA-nya sendiri. Melalui cara ini genomic library dikumpulkan dan isi dari library
tersebut (setiap klon dengan setiap segmen dari M. leprae dikumpulkan dalam suatu ‘buku’
tunggal) dapat dibaca melalui berbagai teknik. Salah satu teknik melibatkan penggunaan rantai
tunggal fragmen DNA yang akan melekat atau bersatu dengan pasangan identiknya. Secara
alternatif, pengikatab antibodi ke protein yang dihasilkan mungkin juga dapat digunakan untuk
membaca library. Teknik hibridisasi mungkin juga dapat digunakan untuk identifikasi sejumlah
kecil organisme (contohnya organisme dari tanah atau binatang atau serangga). Secara teori,
walaupun sulit dalam prakteknya, DNA M. lepra yang diklon dalam E. coli mungkin
mengekspresikan produk gennya untuk membuat protein yang sesuai dalam jumlah yang
banyak. Protein-protein yang murni ini dapat digunakan untuk studi imunologi yang dapat,
sebagai contoh, mengarah pada produksi vaksin yang cocok. Enzim-enzim M. leprae yang
dihasilkan oleh library ini dapat digunakan menjadi target untuk obat baru. Potensi dari
teknologi ini masih dalam penelitian dan belum direalisasikan.

--===000===--

PPDS DERVEN FK UNHAS 137


Translated Bryceson

BAB 15: EPIDEMIOLOGI


(Original Bryceson Hal. 203-216)

Keseluruhan informasi mengenai epidemiologi lepra terlalu banyak untuk mengisi bab ini,
namun dapat disimpulkan dengan satu kalimat: epidemiologi lepra masih tidak sepenuhnya
dipahami - walaupun aplikasi serologi untuk epidemiologi, dan pengembangan model nude
mouse pada lepra telah menjawab pertanyaan tentang transmisi dan infektivitas.
Terdapat banyak kesulitan dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data
epidemiologi lepra. Hal-hal terpenting adalah:
1. Pasien dipilih sendiri pada satu kelompok (patients are a self selected group) dan
tidak mewakili keseluruhan populasi yang ada
2. Studi prevalensi (proporsi populasi dengan penyakit pada satu waktu) mudah
disimpulkan tetapi adalah dari studi retrospektif dan tidak dapat menjelaskan
apapun tentang transmisi. Studi insiden (proporsi populasi yang terdapat kasus
baru tiap tahun) sulit, mahal, dan memakan waktu, tetapi jauh lebih informatif
3. Data tersedia dari berbagai tempat di dunia, namun diperlukan kewaspadaan
sepenuhnya dalam menginterpolasikan hasil dari satu situasi ke keadaan lainnya
4. Lepra tersebar sangat lambat (lihat hal.7  [1], 146 [214]) baik dalam individu dan
dalam komunitas, sehingga yang bentuk evolusinya masih kurang dipelajari
5. Ketidakmampuan kita dalam menginokulasikan M. leprae secara in vitro
menghilangkan informasi bakteriologi dasar. Kelemahan ini sebagian diperbaiki
melalui kultur in vivo pada tikus dan armadilo (lihat Bab 14)
6. Sampai saat ini, tidak ada cara untuk mendeteksi kasus subklinis, dan mereka yang
berisiko mendapatkan lepra (lihat bawah: Siapa yang mendapat tipe apa dari
lepra?)
Bab ini memberikan informasi (a) kepercayaan bahwa hal ini benar, dan (b) untuk
menggambarkan kesulitan dalam menghadapi studi epidemiologi. Hal ini dimaksudkan sebagai
bahan diskusi, bukan dogma. Informasi yang didapatkan sedapat mungkin dikualifikasi untuk
mencegah penyederhanaan dan deduksi yang salah. Pembaca diundang untuk memeriksa
kembali informasi pada sumber pustaka dan memberikan kesimpulannya masing-masing.

Organisme: Mycobacterium leprae

Agen etiologi
Basil lepra secara konsisten ditemukan pada penderita lepra (dalam rentang kelompok LL-BT);
patogen lainnya tidak ditemukan. M. leprae menghasilkan suatu penyakit menyerupai lepra
saat diinokulasikan ke telapak kaki tikus (Rees 1969). Hanya satu dari sekian banyak upaya
keras dalam mentransmisikan lepra ke manusia yang berhasil, dan hanya 4 yang merupakan
transmisi secara kebetulan (Rees 1973, Wade 1948).

138 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Reservoir
Sejauh ini, telah dikenal bahwa manusia adalah satu-satunya reservoir alami M. leprae. Infeksi
secara eksperimental dengan sulit telah dicobakan pada hamster, tikus, beberapa spesies
monyet, dan armadilo dengan 9 pita. 2-6% armadillo liar di Texas dan Louisana terinfeksi M.
leprae dan tidak satupun di Florida yang terinfeksi. Infeksi diduga berasal dari manusia yang
kemudian menyebar ke armadilo. Satu armadillo terinfeksi dapat mengandung 1012 M. leprae.
Beberapa tukang rawat armadilo terinfeksi lepra. (Lumpkin dkk 1983, Stors 1984). Empat
kasus lepra telah dilaporkan sejak 1985 di Texas dan Lousiana pada manusia tanpa diketahui
riwayat kontak lepra. Dapatkah armadillo menjadi reservoir penting infeksi? (Job dkk 1989).
Peranan pakaian dan debu rumah sebagai kemungkinan reservoir adalah tidak diketahui.
Satu implikasi dari informasi ini, jika benar, adalah sebagai sarana pencegahan hanya
diperlukan untuk manusia dan hubungan antar manusia.

Multiplikasi, variabilitas, dan viabilitas


Waktu generasi M. leprae, selama fase pertumbuhan logaritmik pada tikus adalah 12-13 hari,
namun perbedaan isolasi memperlihatkan lag phase dengan durasi yang berbeda, oleh sebab
itu rata-rata secara keseluruhan waktu generasi dari inokulasi hingga mencapai plateau adalah
18-42 hari. Strain yang tumbuh lambat dan cepat, dalam hal ini, berkembang biak sejati (breed
true) (Sheepard & McRae 1970). Sejauh ini, satu-satu perbedaan ditemukan di antara
beberapa ratus isolat dari pasien lepra tipe LL hingga BT dari seluruh dunia. Suhu optimum
pertumbuhan pada telapak kaki tikus adalah 27-30 C dimana suhu ini dicapai dengan suatu
suhu lingkungan 20 C (Shepard 1965). Jika hal ini dihubungkan dengan manusia, kenapa lepra
berhasil hidup pada daerah tropik dimana suhu lingkungan sering mencapai lebih dari 30 C?
Merebus hingga mendidih dan autoclave membunuh M. leprae. M.leprae di mukosa
nasal biasanya mati di luar tubuh dalam 2 hari, namun mungkin bertahan hingga 9 hari (Davey
& Rees 1974, Desikan 1977). Kerentanan terhadap dingin, air,kekeringan, cahaya matahari,
dan desinfektan belum diketahui. Kuman ini bertahan di natrium hidroksida 0,5 N selama 20
menit, dan tidak terbatas pada nitrogen cair. Waktu hidup alami organisme pada tubuh tidak
diketahui, namun basil hidup (‘persisters’) dapat diisolasi dari pasien setelah 10 tahun
pengobatan dengan dapson (Waters dkk 1974).

Transmisi

Sumber infeksi
Siapa yang infeksius? Pasien dengan lepra lepromatosa memiliki paling banyak basil di
kulitnya, namun basil tersebut jarang terkikis dari kulit yang intak: 20 dari 24 pasien di Nepal
dengan lepra lepromatosa tidak mempunyai basil pada 813 cm2 permukaan kulit wajah.
Sejumlah 25 basil ditemukan pada wajah 4 orang pasien sisanya; dimana, 3 diantaranya
terdapat pada discar nasal dan 1 terdapat pada ulkus (Pedley 1970). Mukosa nasal pasien
lepra lepromatosa terinfeksi berat oleh M. Leprae (Gambar 4.12, Plate 4), dan darah dari
kapiler subendotel berisi sejumlah besar konsentrasi basil, sekitar 109/ml, daripada darah
vena. Basil terkikis terus menerus dari sel epitel mukosa dan eksudat inflamasi, atau saat
epitel terluka atau kapiler robek (McDougall dkk 1975). Mukosa nasal mengandung M. leprae
pada 72% pasien lepra lepromatosa, namun hanya 2% pada BL (Pedley 1973). Discar harian

PPDS DERVEN FK UNHAS 139


Translated Bryceson

basil mencapai 107-108, dan basil ini secara konsisten hidup (Davey & Rees 1974). Sekret nasal
dan ulkus lepromatosa (berlawanan dengan ulkus plantaris) mungkin menjadi sumber infeksi
utama. Pasien lepra tuberkuloid mempunyai sedikit basil tetapi infiltrat selular mencapai
epidermis, yang kemudian dapat menjadi ulserasi selama periode reaksi. Pada saat ini basil
mungkin dapat terkikis. Namun, terdapat beberapa observasi epidemiologi, seperti bentuk
penyebaran pada daerah epidemik, yang melalui hipotesis ini tidak cukup dijelaskan (Leiker
1960).
M. leprae terkadang mungkin ditemukan pada plasenta ibu dengan lepra lepromatosa.
Meskipun lepra sangat jarang dibawah umur satu tahun, bayi dari ibu penderita lepromatosa
yang menjalani pengobatan mengalami peningkatan titer antibodi IgM dan IgA terhadap M.
leprae, memperlihatkan bahwa bayi tersebut terinfeksi. Duncat dkk (1983) berpendapat
bahwa infeksi lebih sering terjadi melalui trans-plasenta daripada melalui ASI ibu lepromatosa.
Apakah ibu menularkan lepra ke bayi, menginduksi imunitas, atau menginduksi toleransi
imunologi (lihat hal. 64 [94])?

Vektor
Darah pasien lepra berisi basil hidup dalam jumlah cukup besar hingga untuk terambil
serangga melalui gigitannya (Druzz dkk 1974). Dibawah kondisi eksperimen, nyamuk Culex
fatigans, dan bed bug Cimex hemipterus dapat mencerna M. leprae ketika diumpankan ke
penderita lepra. Basil dicerna oleh Culex fatigans telah terlihat, melalui inokulasi pada telapak
kaki tikus, untuk bertahan hidup hingga 2 hari (Narayanan dkk 1972). Dapatkah serangga ini
mentransmisikan M. leprae ke manusia?
Pembuatan tato dalam beberapa kondisi diduga dapat secara instan mentransmisikan
lepra dari manusia ke manusia, dan dicatat terdapat kasus transmisi kebetulan lainnya dengan
injeksi intradermal. Haruskah inokulasi terjadi secara intradermal?

Tempat masuk kuman


Terlepas dari beberapa kasus dengan rute transmisi secara kebetulan, rute bagaimana M.
leprae masuk ke kulit masih belum diketahui.
Lesi klinis pertama hampir selalu berada di kulit, dan secara histologi basil terlihat pada
zona subepidermal atau sekitar folikel sebasea. Secara alternatif, terdapat infiltrasi pada batas
dermo-dermal dan pada epidermis tidak terlihat adanya basil. Hal ini dianggap mewakili
imunitas yang maksimum pada infeksi awal (Ridley 1971). Suatu laporan di India menyatakan
bahwa 1/3 anak yang berkontak mempunyai BTA pada kulit tanpa gejala klinis pada organ
tubuh lainnya (Chatterjee 1976). Jika itu adalah M. leprae bagaimana mereka bisa
mendapatkannya di sana? Turun dari folikel rambut? Dapatkah kuman ini berpenetrasi pada
kulit yang intak? Dapatkah kuman berpenetrasi pada kulit yang pecah? Dikatakan bahwa di
Asia, dimana ibu menggendong bayinya pada pinggul, lesi pertama sering pada bokong; dan di
Afrika, dimana bayi digendong dipunggung, lesi pertama sering muncul pada dahi. Namun
ternyata bahwa beberapa bayi menoleh ke samping dan dahinya jarang menyentuh punggung.
Lesi tunggal lepra tuberkuloid di India tersebar pada area kulit yang terpapar (exposed
area). Distribusi ini cocok dengan bentuk pakaian pada kedua kelompok jenis kelamin, dan
pada kelompok umur berbeda (Bedi dkk 1975). Apakah hal ini berarti bahwa M. leprae yang
diinokulasi secara intrakutan pada lokasi ini, baik melalui kontak atau melalui gigitan

140 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

serangga? Hal ini menunjukkan bahwa ujung tajam anyaman daun palem dapat
mentransmisikan M. leprae dari satu individu ke individu lain.
Infeksivitas yang luar biasa mukosa nasal pada pasien lepra lepromatosa menunjukkan
bahwa M. leprae mungkin tersebar melalui bersin. Droplet yang besar yang jatuh ke tanah
yang mungkin mengkontaminasi pakaian atau keset dan ditransmisikan melalui kulit, atau
makanan terkontaminasi dan dicerna. Droplet yang ringan dan kecil terapung sebagai aerosol
mungkin dapat masuk ke hidung atau mata atau di inhalasi ke paru (Dave & Rees 1974). Hal ini
menarik bahwa angka eksresi basil pada pasien dengan TB sama, dan bahwa di India serangan
pada kedua penyakit ini, dianalisa menurut umur, jenis kelamin secara kasar adalah sama
(Meade 1974). Apakah observasi ini menunjukkan persamaan model transmisi? Pasien dengan
lepra lepromatosa dini umumnya mempunyai gejala nasal dan lokasi infiltrasi lepra yang paling
sering di hidung adalah bagian anterior dari tulang turbinate inferior, yang diduga akibat
‘benturan’ pertama dengan udara (Barton 1974). Hal ini mungkin menunjukkan bahwa hidung
adalah tempat masuk atau bahkan tempat inokulasi. Jika demikian, kenapa hidung bersih dari
basil pada lepra tipe BL? Apakah lesi di hidung mendahului atau mengikuti penyebaran lepra
lepromatosa?
Lepra dapat ditransmisikan pada tikus yang telah menjalani timektomi dan radiasi
dengan bentuk aerosol dari M. leprae (Rees & McDougall 1977). Pada nude mice (lihat hal.
134 [194]), lepra ditransmisikan jika M. leprae ditempelkan pada mukosa nasal intak atau
diinokulasikan secara subkutan, namun tidak dengan menempelkan pada kulit atau
diinokulasikan langsung ke bronkus dan perut (Chehl dkk 1985). Barangkali di sana mungkin
terdapat lebih dari 1 tempat masuk ke manusia, yang masing-masing dikaitkan dengan
imunologi dan gejala klinis yang berbeda.

Host

Siapa yang terinfeksi?


Jika memang benar M. leprae ditransmisikan terutama melalui aerosol bersin, maka seluruh
kontak dengan pasien lepromatosa akan rentah terinfeksi, bahkan jika kontak tersebut tidak
sengaja dan cepat. Hipotesis ini dapat diujikan melalui tes imunologi.
Transformasi limfosit (lihat hal. 74 [107]) dapat digunakan sebagai tes hipersensitif
selular spesifik. Penggunaan M. leprae sebagai tes antigen, dengan BCG sebagai antigen
kontrol, secara statistik di Etiopia diperlihatkan terdapat hubungan statistik yang signifikan
antara hipersensitivitas dan kontak dengan lepra (lihat Tabel 15.1). Hasil ini menunjukkan
bahwa M. leprae mungkin lebih infeksius daripada yang diduga sebelumnya, dan
mengkonfirmasi pandangan bahwa mayoritas utama manusia yang terinfeksi
mengembangkan infeksi yang subklinis dan menimbulkan respon imun (Godal & Negassi
1973). Uji sistem imun selular mendeteksi semua yang telah terinfeksi dan telah berespon.
Non responder akan hilang. Tes ini mungkin meremehkan transmisi.

PPDS DERVEN FK UNHAS 141


Translated Bryceson (2010)

Proses kontak (jumlah diperiksa) Persentase yang respon


Tidak ada: menetap kurang dari 2 bulan di Etiopia (26) Tidak ada
Menetap di Etiopia lebih dari 1 tahun (45) 24%
Kontak karena kerja dengan lepra lebih dari 1 tahun (118) 53%
Orang Etiopia yang merupakan tenaga RS lepra:
- Staf kantor (12) 8%
- Pekerja di bangsal, fisioterapi, dst (27) 59%
- Pekerja di poli rawat jalan yang ramai (17) 88%
Tabel 15.1. Hubungan antara kontak dan infeksi pada daerah endemis lepra, ditunjukkan oleh
transformasi limfosit yang positif terhadap M. leprae (Godal & Negassi 1973).

Tidak ada perbedaan kepositifan dari transformasi limfosit didemonstrasikan antara


kontak dengan lepromatosa dan tuberkuloid (41%:48%). Apakah hasil ini menunjukkan bahwa
pasien tuberkuloid menginfeksi banyak kontak sebanyak pasien lepra lepromatosa atau
apakah ini menunjukkan bahwa kontak dengan pasien lepromatosa mungkin diikuti oleh
pengurangan respon imun terhadap M. leprae, atau bahwa banyak individu terinfeksi di luar
rumah?
Di Jepang, Abe dkk (1980) mempelajari anak-anak pada suatu daerah yang endemik
rendah, menggunakan suatu tes antibodi fluoresein (FLA-ABS) dimana serum diabsorbsikan
dengan mikobakteria lain untuk memperbaiki spesifitas (lihat Bab 7). Mereka menemukan
bahwa 63% dari seluruh anak dan 92% dari kontak positif pada usia 5 tahun. Tes ini sangatlah
sensitif namun apakah ini sespesifik seperti yang disebutkan? Tes serum dari daerah non
endemik adalah negatif. Dengan menggunakan suatu tes yang kurang sensitif, namun
kemungkinan lebih spesifik, ELISA mendeteksi phenolic glicolipid, hal ini terlihat di Srilangka
bahwa sekitar 34% kontak seropositif. Angka bervariasi menurut lokasi, kisaran antara 10-55%.
Angka tertinggi pada anak usia 10-14 tahun (Young & Buchanan, 1983). Di India, 73% kontak
memiliki FLA-ABS positif pada usia 5 tahun, dibandingkan dengan 33% kontak kasus non lepra
(Bharadwaj dkk 1982). Jika serologis yang positif benar-benar merupakan indikasi infeksi, studi
ini menunjukkan bahwa, pada daerah endemis, mayoritas populasi terinfeksi ketika kanak-
kanak awal, dan kontak, terutama, dengan individu lepromatosa adalah faktor risiko paling
besar.

Siapa yang rentan terhadap lepra?


Jika pertanyaan ini dapat dijawab pada terminologi individu, maka kemungkinan hal ini dapat
melalui imunisasi, profilaksis dan surveilan untuk mengeradikasi lepra relatif mudah dan
murah. Peranan faktor genetik dan imunitas spesifik dapatan didiskusikan di hal. 144 [211].
Kontak. Pada suatu kelompok dimana lepra endemik, risiko berkembangnya penyakit
sangat besar diantara kasus kontak. Contohnya pada studi selama 8 tahun di India, angka
serangan pada kontak adalah 6,8 per 1000, dibandingkan dengan 0,8 per 1000 tanpa kontak.
Risiko menjadi dua kali meningkat dengan kontak berulang atau melalui kontak dengan pasien
lepra lepromatosa (Rao dkk 1975). Risiko meningkat melalui kedekatan dan durasi kontak.
Pada pasien di Lousiana yang telah dikenal kontak, kontak tersebut adalah orang tua pada
100% pasien dibawah usia 5 tahun, namun hanya 33% pasien berusia > 10 tahun.
Bahkan sekitar 2/3 dari seluruh pasien tidak memiliki kontak dan terdapat catatan
individu pasien yang menetap di area endemik pada periode waktu yang pendek. Seberapa
sering lepra ditransmisikan melalui individu yang infeksinya secara klinis tidak tampak?

142 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Di Etiopia, 2 dari 76 bayi lahir dari ibu dengan lepra multibasiler yang mendapat
pengobatan mendapatkan lepra dalam 17 bulan kelahiran (Duncan dkk 1983). Pada Koloni
lepra Culion di Filipina, sebelum dapson ditemukan, 36% bayi tinggal dengan ibunya yang
menderita lepra lepromatosa selama 3-6 tahun, menderita lepra sebelum usia 6 tahun. Tidak
ada satupun anak-anak yang dipisahkan langsung dari dari ibunya saat lahir menderita
penyakit ini (Lara 1961). Pola ini mungkin memperlihatkan bahwa intensitas infeksi
mengurangi usia dan meningkatkan risiko penyakit.
Usia. Lepra dapat terjadi
pada usia berapapun namun
jarang pada infants (Brubaker
dkk 1985). Apakah hal ini
disebabkan oleh transfer
imunitas pasif atau panjangnya
periode inkubasi? Darah tali
pusat bayi dari ibu lepra berisi
IgG , dan pada 1/3 dan 1/2 IgA
dan IgM terhadap M. leprae
(Duncan dkk 1983). Di Madras,
20% pasien dibawah usia 20
dibandingkan dengan 3% di AS
bagian Selatan (Badger 1964).
Apakah ini merupakan cerminan
fakta bahwa terdapat insiden lepra yang lebih besar di Madras dan Hawai dibandingkan di AS
bagian selatan? Pada suatu keluarga di Hawai dimana terdapat suatu kasus lepra pada lebih
dari setengah kasus baru adalah dibawah 15 tahun, namun pada keluarga yang sebelumnya
tidak terinfeksi hanya 1/5 dari kasus baru adalah dibawah 15 tahun. Apakah ini menunjukkan
bahwa peluang kontak merupakan faktor utama dalam menentukan insiden usia?
Pada daerah endemik di India, angka insiden usia menunjukkan suatu distribusi
bimodal, puncak di usia 10-14 dan 35-44 tahun (de Vries dkk 1985; Gambar 15.1). Data ini,
diperoleh dengan data sero epidemiologi transmisi lepra (lihat hal. 142 [208]).
Ketika lepra ‘padam’ seperti halnya di Norwegia, Texas, dan sebagian India, insiden
puncak usia meningkat dan rasio lepra meningkat (Irgens 1985). Apakah ini menunjukkan
bahwa kondisi sosial mengalami perbaikan, terjadi peningkatan imunitas individu dan ternak
(herds), dan penyakit terbatas pada sedikit kasus yang resistensinya telah melemah ketika
mereka menjadi tua?
Jenis Kelamin. Pada banyak studi prevalen, laki-laki lebih banyak terinfeksi dari pada
wanita. Namun laki-laki lebih rentan terhadap lepra lepromatosa, dan mungkin lebih
terlambah dalam usaha mencari pengobatan. Di bagian Afrika rasio laki-laki:wanita >1 di
rumah sakit namun < 1 di klinik rawat jalan. Di Malaysia, rasio laki-laki:wanita dirumah sakit
3:1 . Perbedaan jenis kelamin kurang bermakna pada anak-anak dan pada daerah epidemis
(wabah). Apakah perbedaan ini berkaitan dengan faktor peluang kontak, hormon, pakaian,
gen, atau faktor sosial?
Ras. Jika frekuensi dan keparahan lepra lepromatosa digunakan sebagai indeks
kerentanan maka ras Kaukasia merupakan ras paling rentan, selanjutnya Mongolia, India, dan

PPDS DERVEN FK UNHAS 143


Translated Bryceson

Negro. Bentuk ini berlaku juga pada migran. Apakah ini juga berarti lebih rentan terhadap
kontrak lepra? Apakah penyebab hubungan yang jelas antara warna kulit dan resistensi
terhadap infeksi?
Imunitas spesifik dapatan. Jika lepra ditransmisikan pada kanak-kanak awal, lepra
pada dewasa merupakan post primer, faktor apakah yang mengurangi resistensi dan membuat
penyakit muncul pada dewasa? (Bryceson 1981) Di area endemik di Kongo, lebih dari 8 tahun,
25% populasi diatas 20 tahun berkembang mangalami Lepra (Browne 1974). Dengan
pengecualian pada wanita hamil (lihat hal. 37 [53]), tidak ada faktor yang bertanggung jawab
telah teridentifikasi. Perubahan pola usia ketika lepra berkurang (lihat hal. 143 [210]),
menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berpengarhun daripada faktor yang diturunkan.
Imunitas didapat dari infeksi mikobakterium lain. Infeksi M. tuberculosis
menyebabkan sensitifitas terhadap tuberkulin. Sensitifitas terhadap tuberculin bukan satu-
satunya resistensi terhadap lepra. Pasien lepra memperlihatkan suatu kerentanan terhadap
tuberkulosis dan sebaliknya. Tidak ada bukti yang baik dari proteksi silang dan juga BCG belum
bisa memberikan proteksi terhadap keduanya. Di Uganda, BCG menurunkan insiden lepra
hingga 80% pada anak sekolahan dalam periode 9 tahun; namun di Burma, BCG kurang efektif
(lihat hal. 152 [223]; Bechelli dkk 1973, Meade 1974, Stone & Brown 1973).
Ketidakseimbangan dalam perlindungan lebih bermanfaat pada saat BCG digunakan untuk
melawan tuberkulosis: 75% di Chichago, 31% disatu bagian India selatan, dan tidak ada
ditempat lain. Salah satu hipotesis adalah bahwa paparan sebelumnya terhadap Mikobakteria
di lingkungan merupakan cara awal tubuh bereaksi terhadap infeksi Mikobakteria selanjutnya.
Imunitas mungkin sangat meningkat sehingga penambahan efek BCG tidak terdeteksi, atau
secara alternatif, respon imun yang dikeluarkan mungkin tidak efisien, sehingga vaksin BCG
tidak tidak efektif. Jika hipotesis ini terbukti, hal ini mungkin dapat dimasukkan sebagai alasan
perbedaan geografis dalam insiden dan tipe lepra (Pallen 1984). Hubungan antara organismee
ini dalam hal sensitifitas dan imunitas bersifat rumit dan kesimpulan tidak dapat diambil
dengan tergesa-gesa.

Siapa yang akan mendapat tipe tertentu lepra?


Adakah faktor genetik? Anak-anak dan keluarga penderita lepra tidak mendapatkan lepra
lepromatosa lebih sering daripada populasi pada umumnya, demikian pula tipe lepra tidak
sesuai dengan kontaknya (Horton & Povey 1966). Adakah faktor genetik pada penderita lepra
sehingga lebih rentan terhadap lepra dapat dibedakan pada orang kembar. Pada 35 pasangan
kembar dengan lepra di India, 23 pasang adalah monozigotik (identik) dan 12 dizigotik. Pada
19 pasangan monozigot, dua pasangan menderita lepra dan pada 17 sisanya setiap pasangan
memiliki penyakit dengan tipe yang sama. Hanya pada 2 pasangan dizigot yang keduanya
mengalami lepra dan keduanya tidak mempunyai jenis yang sama (Ali & Ramanujam 1966).
Pengamatan ini telah diaplikasikan pada komunitas, dimana, jika mereka menderita
lepra, secara keturunan rentan untuk mendapatkan penyakit lepromatosa, dan bahwa
kerentanan ini ditentukan secara genetik (Newell 1966).
Kerentanan genetik terhadap M. lepraemurium dapat secara jelas diperlihatkan pada
tikus hasil perkawinan dekat: tikus C3H membiarkan pertumbuhan tak terhalang pada
organisme, sementara itu tikus C57B berkembang menjadi suatu respon granulomatosa dan
terinfeksi (Closs 1975). Gen yang bertanggung jawab yaitu kompleks H2 yang ekuivalen

144 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

dengan sistem HLA pada manusia. Adalah lebih sulit untuk membuktikan kerentanan yang
terkait HLA terhadap M. leprae pada manusia.
Studi frekuensi HLA pada keluarga dengan sedikitnya 2 yang terinfeksi dan 2 anak yang
tidak terinfeksi, telah memperlihatkan bahwa anak-anak dengan lepra tuberkuloid mempunyai
haplotip tertentu lebih dari yang diharapkan, khususnya DR2 dan DR3 yang juga sering
didapatkan pada individu dengan lepromin positif dan lebih jarang pada pasien lepromatosa.
Karena lepra lepromatosa tidak umum, pemisahan (segregation) HLA mungkin hanya
ditemukan pada survei yang besar. DQwl diekspresikan lebih sering pada lepra lepromatosa
dan pada individu dengan tes lepromin negatif (Ottenhoff & de Vries 1987). Data ini
menunjukkan bahwa gen mempengaruhi tipe lepra daripada kerentanan terhadap penyakit.
Seberapa pentingkah pengaruh faktor genetik? Apakah hal ini mempengaruhi usaha pada
pencegahan (kontrol) primer? (Lihat hal. 155 [228])
Nilai prognostik lepromin. Suatu studi prospektif di India dilakukan pada lebih dari 600
orang anak sekolah dites dengan lepromin. Pada mereka yang mempunyai lepromin (Mitsuda)
positif, 3% akan berkembang menjadi lepra dan tidak satupun menjadi lepromatosa. Pada
mereka dengan lepromin negatif, 15% menjadi lepra dimana 75% pasien lepra tersebut
menjadi suatu bentuk lepromatosa. Anak-anak dengan lepromin negatif diperiksa ulang tiga
kali dan beberapa dari mereka berubah menjadi positif. Pada mereka yang gagal untuk
berubah, 62% mengalami lepra dan 5/6-nya adalah lepra lepromatosa (Dharmendra &
Chatterjee 1956).
Apakah ini memperlihatkan bahwa lepromin (Mitsuda) yang negatif dapat digunakan
sebagai suatu indeks prognostik untuk mengidentifikasi populasi yang berisiko? Lepromin
(Mitsuda) yang positif dapat diinduksi secara alami melalui paparan dengan M. leprae, melalui
tes lepromin, dan melalui inokulasi BCG, namun pada masing-masing cara tersebut terdapat
individu yang gagal memberikan respon. Pasien dengan lepra lepromatosa tidak pernah
menjadi lepromin positif, bahkan saat sembuh. Apakah ketidakmampuan terhadap respon ini
diturunkan ke host (genetik)? Atau apakah hal ini di induksi oleh M. leprae (didapat)?
Nilai prognostik serologi. Pasien dengan lepra lepromatosa mempunyai titer antibodi
terhadap berbagai antigen yang lebih tinggi daripada pasien tuberkuloid (lihat hal. 77 [111]).
Dapatkah individu dengan ‘pre-lepra’ yang subklinis dibedakan dengan mayoritas individu
dengan infeksi subklinis yang akan sembuh secara spontan? Ramu (1988) melaporkan 17
kontak dengan FLA-ABS positif dimana serum juga positif pada pemeriksaan inhibisi
monoklonal. Tujuh dari mereka berkembang menjadi lepra dalam 1 tahun dibandingkan
dengan 3 dari 48 yang negatif pada tes monoklonal. Di India, tes FLA-ABS dikombinasikan
dengan tes lepromin pada suatu studi terhadap 390 kontak. Pada 1,5% kelompok tes
lepromin positif/ kelompok seronegatif mendapatkan lepra dibandingkan dengan 14%
kelompok lepromin negatif/ kelompok seropositif. Jika hasill awal ini dapat digunakan secara
konsisten diulang pada kelompok lainnya di daerah lain, mungkin grup ‘dalam risiko’ dapat
diidentifikasi untuk tujuan kontrol? (Editorial, 1986)

Lepra sebagai penyakit impor


Lepra diimpor oleh imigran ke negara berkembang: 1700 ke AS dalam 10 tahun, 2000 ke
Inggris Raya dalam 30 tahun (Neill dkk 1985). Tidak ada kasus sekunder telah dilaporkan
meskipun pasien lepra lepromatosa mungkin tidak terdiagnosis dalam beberapa tahun.

PPDS DERVEN FK UNHAS 145


Translated Bryceson

Apakah yang menentukan imunitas dalam kelompok ini? Lepra sebelumnya, vaksinasi BCG,
kehidupan standar, atau faktor lainnya? Saat lepra diimpor untuk pertama kalinya ke negara
kurang berkembang lain, epidemi dimulai.

Kondisi epidemik dan endemik


Epidemik mungkin terjadi saat lepra diperkenalkan ke suatu populasi untuk pertama kalinya.
Setelah epidemik melalui puncak, penyakit ini menetap menjadi kondisi endemik. Pola
penyakit cenderung berbeda pada kedua situasi ini (Tabel 15.2).
Generalisasi ini membawa bahaya penyamarataan. Perlukan seseorang mengatakan
bahwa lepra adalah penyakit menular yang tinggi atau rendah penularannya? Apakah kontak
berbahaya? Apakah anak-anak rentan?
Pada akhirnya, dapatkah lepra dieradikasi sebelum seluruh pertanyan yang
dikemukakan pada bab ini terjawab?

Epidemik Endemik
1. Penyakit menyebar cepat. Di Nauru pada 1921- Penyakit menyebar perlahan
1925, 30% populasi mendapatkan lepra
2. Kasus ditemukan terutama di kebanyakan desa Kasus seringkali klaster di sekitar fokus desa atau
dan rumah dan tidak ada fokus tertentu yang keluarga
dapat diidentifikasi
3. Kebanyakan orang mendapatkan penyakit Secara relatif lebih banyak penyakit lepromatosa.
tuberkuloid (BT-TT) yang sembuh spontan Terdapat suatu saran bahwa 5-10 per 1000
populasi mudah mendapatkan penyakit
lepromatosa pada kedua situasi
4. Seluruh usia dan jenis kelamin secara seimbang Anak-anak dan dewasa muda adalah lebih sering
sama-sama rentan dikenai, dan laki-laki lebih daripada wanita
5. Kontak dengan pasien lepromatosa tampaknya Kontak dengan pasien lepromatosa secara hebat
tidak penting dalam menentukan pola (bentuk) meningkatkan risiko infeksi dan menentukan pola
penyebaran (bentuk) penyebaran
Tabel 15.2. Perbedaan dalam sikap lepra dalam kondisi epidemik dan endemik

--===000===--

146 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

BAB 16: PENGENDALIAN LEPRA


(Original Bryceson Hal. 217-230)

Masalah
WHO memperkirakan bahwa setidaknya terdapat lebih dari 2 milyar orang yang tinggal di
daerah dengan prevalensi lepra setidaknya 5 per 10.000 dan, oleh sebab itu, mereka berisiko
terinfeksi. WHO mempertimbangkan bahwa 1 juta pasien baru mungkin didapatkan selama
periode 5 tahun, dan hanya 5,3 juta dari 11,5 juta (angka estimasi total penderita di dunia)
pasien yang pernah memperoleh pengobatan. Masalah di belakang kita sangatlah banyak,
terutama masalah yang berhubungan dengan negara berkembang, yaitu sedikit dana yang
dihabiskan untuk program kesehatan pencegahan.
Alasan utama untuk pengendalian (kontrol) lepra adalah untuk mencegah kecacatan.
Di India, program pengendalian pada pasien rawat jalan mengurangi sejumlah individu yang
cacat baru hingga 66% selama periode 10 tahun.
Sejak penemuan dapson yang menghambat pertumbuhan M. leprae, hal yang telah
dipikirkan adalah pengendalian lepra pada suatu komunitas atau daerah geografis tertentu
hendaknya bersifat dapat dikerjakan (feasible), dan dengan kesinambungan (persistence) kita
dapat menahan dan bahkan mengeradikasi penyakit. Individu yang terinfeksi dipikirkan
merupakan satu-satunya sumber basil lepra – kecuali pada beberapa armadilo liar di AS
selatan – dan jika sejumlah besar proporsi pasien telah diobati, sangatlah logis untuk berpikir
bahwa lepra sebenarnya akan musnah. Angka prevalensi terendah dimana transmisi penyakit
masih dapat berlanjut belum diketahui, tetapi kemungkinan di bawah 5 per 10.000.
Sejak pengenalan proyek pengendalian (control projects), yang dimulai dengan
adaptasi luas pengobatan dengan dapson sekitar 1945-1950 dan berlanjut dengan
penggunaan MDT, penekanan diberikan kepada diagnosis dini dan pengobatan kasus infeksi
yang diketahui. Hal ini disebut dengan pencegahan sekunder. Sebuah model statistik
dikembangkan untuk WHO menyarankan bahwa pendekatan ini tidak seluruhnya efektif, dan
bahwa kecuali beberapa ‘senjata’ baru dikenalkan untuk sarana pengendalian, eradikasi tidak
akan dicapai dalam kurun waktu kurang dari 200 tahun.

Sarana pengendalian

Sejarah
Pada abad pertengahan terjadi suatu epidemik lepra di Eropa utara. Setelah 300-400 tahun,
epidemik ini berkurang dan pada abad ke-19 dalam proporsi yang tidak bermakna. Pada saat
itu tidak ada agen terapi yang efektif, dan hal yang dipercaya bahwa hilangnya penyakit
karena isolasi. Tetapi terdapat bukti bahwa lepra sudah berkurang sebelum pengasingan
dilakukan, dan tidak pernah lebih dari sejumlah fraksi kecil dari pasien yang diasingkan pada
satu waktu; dan karena pasien lepromatosa sering infeksius selama bertahun-tahun sebelum
tanda-tanda penyakit muncul, tampaknya tidak memungkinkan bahwa isolasi dapat
mempunyai efek seperti ini. Selanjutnya, banyak perubahan lain yang terjadi dalam cara hidup

PPDS DERVEN FK UNHAS 147


Translated Bryceson

seseorang, dan tampaknya bahwa satu atau beberapa perubahan ini yang lebih menjadi faktor
yang signifikan.
Banyak orang Skandinavia membawa lepra bersamanya ketika mereka emigrasi ke AS
pada abad ke-19; tetapi setelah generasi ke-3 penyakit itu punah. Di sisi lain, orang-orang
Perancis yang menetap di Nova Scotia dan kemudian akibat penganiayaan (persecution)
meninggalkan kota itu dan kemudian menetap di Louisiana, mempunyai sejumlah kecil fokus
penyakit, yang kemudian menjadi sumber pasien baru setiap tahunnya. Mereka adalah orang
desa, berpendidikan kurang, dan mempunyai taraf hidup yang rendah. Lepra juga menetap di
kelompok etnik lainnya di AS, kebanyakan dari mereka mempunyai sejarah berasal dari daerah
yang endemik lepra, tetapi mereka juga cenderung menetap di lingkungan dengan sanitasi
buruk dan mempunyai taraf hidup rendah. Sekitar tahun 1895, Armauer Hansen menyatakan
bahwa kebersihan diri dan rumah akan mencegah penyebaran infeksi dan pengendalian lepra.
Di negara dimana lepra bersifat endemik, melalui berbagai usaha untuk meningkatkan standar
hidup terbukti sebagai faktor penting untuk eradikasi lepra terutama untuk pengendalian
penyakit.

Pendekatan masa kini


Keseimbangan biologis antara manusia dan basil lepra saat ini kurang lebih sama, dan segala
tindakan yang sudah diatur dengan baik, seharusnya mengurangi penyakit.
Isolasi terbukti tidak efektif dan praktis. Isolasi dilakukan dengan kekejaman dan isolasi
memicu penyebaran lanjut penyakit dari kasus subklinis dan tersembunyi. Isolasi mahal dan
menimbulkan ketakutan akan lepra. Dapson sendiri secara cepat akan menghasilkan ‘isolasi
kimia’ (lihat hal. 126 [184]). Segala rejimen yang mengandung rifampisin menyebabkan
pasien menjadi non-infeksius dalam waktu 2 hari. Isolasi tidak diperlukan.
Pengendalian lepra masa kini berdasarkan dua buah prinsip: (1) pengobatan kasus
infeksius, dan (2) peningkatan daya tahan tubuh mereka yang berisiko.

(1) Pengobatan kasus infeksius


Diagnosis dini. Lepra didefinisikan sebagai ‘hiperendemik’ bila terdapat prevalensi
lebih dari 10:1000, dan sebagai ‘masalah kesehatan penting’ bila prevalensinya 1:1000.
Pada daerah hiperendemik, satu metode untuk memulai program pengendalian adalah
melalui survei lepra. Hal ini
mahal tetapi menentukan
ukuran (size) masalah dan
menemukan sejumlah kasus
yang penting. Fungsi yang paling
bermanfaat dari survei adalah
untuk mengedukasi populasi
terhadap tanda-tanda dini
penyakit lepra, menjelaskan
bahwa lepra dapat
disembuhkan, dan memberitahu
mereka dimana pengobatan
dicari. Kampanye edukatif yang
baik adalah cara terbaik untuk

148 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

menemukan kasus-kasus baru. Pemeriksaan terhadap kontak dengan penderita


terinfeksi lebih bermanfaat dibandingkan survei masal dan hendaknya dilanjutkan
untuk lima tahun.
Survei masal pada populasi atau kelompok terpilih (tentara, polisi, buruh,
mereka yang tinggal di daerah kumuh, dan terutama anak sekolah) hendaknya
digunakan untuk mencari beberapa kasus di saat yang bersamaan, untuk memberikan
imunisasi terhadap infeksi setempat yang penting dan kemungkinan untuk mengobati
mereka yang sakit tanpa masalah (simple ailments). Angka perkiraan kasar atas
prevalensi dapat ditentukan melalui pemeriksaan seluruh anak-anak usia sekolah. Total
prevalensi akan berkisar 4x dari jumlah kasus yang ditemukan (Gambar 16.1)
Pengobatan dini, pemantauan, case holding, dan kepatuhan. Masalah
terburuk adalah untuk membujuk pasien yang merasa sehat dan tidak mempunyai
tanda-tanda untuk pergi berobat (kepatuhan/compliance). Lepra tidak nyeri atau
menyebabkan kecacatan hingga penyakit lanjut, dan manifestasi dini sering tidak cukup
untuk membujuk pasien untuk tetap memeriksakan diri ke klinik (case holding). Jika
inisiatif pasien untuk tetap memeriksakan diri ke klinik rendah, kasus dini yang
ditemukan akan sedikit, tetapi case holding akan jauh lebih mudah. Laki-laki muda
adalah pemberontak terburuk (worst offenders). Mereka tidak suka diketahui sakit dan
sering berdalih sulit mencari waktu untuk memeriksakan diri. Klinik-klinik yang jauh
dan regimen pengobatan yang lama, seperti yang terjadi dengan pengobatan
monoterapi dengan dapson, menyebabkan terjadinya defaulters (mereka yang
berhenti pengobatan). Edukasi, kerjasama, regimen pengobatan sederhana dan jangka
waktu pendek, dan optimisme menghasilkan peningkatan kepatuhan terhadap MDT
dan case holding. Pasien yang default (berhenti pengobatan) harus dikunjungi di rumah
dan dibujuk untuk kembali memeriksakan diri. Tenaga kesehatan sendiri mungkin gagal
melihat kebutuhannya
dan menjadi hilang minat.

Tes bercak urin


sederhana yang
menghasilkan warna pada
kertas tersedia untuk
mendeteksi keberadaan
dapson di urin; tes ini
positif jika pasien
meminum dapson dalam 3
hari terakhir. Obat MDT
mungkin diberikan dalam
kemasan dengan kalender,
dimana pengobatan tiap
harinya diatur dalam kartu
dan diberi label yang jelas.
Setiap bulan, paket
pengobatan sebelumnya

PPDS DERVEN FK UNHAS 149


Translated Bryceson

diperiksa di klinik untuk menilai kepatuhan, dan paket baru diberikan (Plates 3, 6, dan
7; Gambar 16.2)
WHO memperkirakan bahwa jika 75% kasus terinfeksi memeriksakan diri untuk
pengobatan 75% dalam suatu waktu, transmisi mungkin akan berhenti. Tetapi di
manapun hal ini tidak tercapai. Salah satu kesulitan utama adalah untuk menentukan
kasus infeksius dini.
Rawat jalan. Klinik hendaknya didirikan dalam jangkauan pasien. Klinik dapat di
rumah sakit atau pusat kesehatan atau di suatu tempat pertemuan yang nyaman,
didatangi setiap minggu oleh tenaga penyedia obat. Dalam beberapa situasi, mobile
clinics adalah bermanfaat tetapi jauh lebih mahal untuk dilaksanakan dan cenderung
kurang dipercaya. Setiap usaha hendaknya dibuat untuk membuat klinik senyaman
mungkin dalam hal lokasi dan waktunya. Penyelenggaraan klinik di hari pasar adalah
sebuah ‘insentif tambahan’ untuk membuat pasien datang.
Sebuah registrasi disimpan di setiap klinik dengan nama dan alamat pasien dan
setiap kehadiran atau ketidakhadiran dicatat.
Klinik hendaknya dikunjungi secara teratur oleh dokter untuk memotivasi
penyedia obat (dispenser)/ pekerja, memeriksa pengobatan, mencari kasus yang
membutuhkan perawatan rumah sakit dan menghentikan mereka yang sembuh. Pasien
hendaknya menyadari bahwa klinik adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Apabila
klinik ini tidak dikelola dengan baik, mereka mempunyai wewenang dan kewajiban
untuk melaporkan hal ini.
Edukasi – kunci keberhasilan. Tujuan hendaknya dimunculkan dalam
komunitas, pasien dan keluarganya dengan sikap yang masuk akal terhadap lepra, baik
tidak memicu bahaya infeksi ataupun tidak meminimalisirkannya. Teknik edukasi
kesehatan hendaknya menggunakan segala sarana. Edukasi masyarakat untuk
mengenali lepra dini dan untuk memahami bahwa ini dapat diobati dengan sukses.
Edukasi pasien kemana mereka pergi untuk berobat. Edukasi mereka perlunya periksa
teratur. Bantu mereka yang cacat untuk memperoleh pengobatan. Edukasi karyawan
perlunya bersimpati dan memotivasi pasien. Ajari mereka perlunya mencari pasien
yang gagal menghadiri dan untuk mencari kenapa mereka acuh, tidak tertarik, atau
ketidakmampuan yang sering mendasari kehadiran yang tidak teratur, terutama laki-
laki muda dengan penyakit TT dan BT. Grup risiko tinggi lain adalah wanita dalam usia
siap menikah, yang kemungkinan untuk pindah ke daerah lain.
Pencegahan kecacatan dan rehabilitasi. Hal ini bermanfaat banyak untuk moral
pasien baru agar termotivasi untuk tetap datang. Ketika jumlah penderita yang pincang
dan cacat fisik (disfigured) menghilang, Ketakutan, prasangka, dan stigma masyarakat
akan berurang. Tenaga klinik hendaknya diajari untuk memeriksa dan mencatat nyeri
tekan saraf dan fungsi motorik dan sensorik secara teratur. Mereka hendaknya tau
kapan saat untuk merujuk pasien dengan reaksi atau untuk alas kaki protektif, dan
dalam kondisi darurat mampu memberikan kortikosteroid untuk melindungi dalam
perjalan pasien ke rumah sakit.
Pelatihan dan administrasi. Tanpa karyawan terlatih dan administrasi yang
baik, tidak akan ada program kesehatan yang akan berhasil. Faktor penting yang harus
dipertimbangkan untuk merencakan program adalah:

150 PPDS Kulit & Kelamin FK UNAND/Padang


Translated Bryceson

1. Ukuran dan perjalanan alami masalah yang harus diatasi.


2. Karyawan telah tersedia, dan karyawan secara potensial tersedia untuk
pelatihan.
3. Sumber dana dan fasilitas yang dialokasikan, dan untuk berapa lama
4. Kerjasama tenaga kerja dan karyawan kesehatan yang ada, dan bagaimana
cara memanfaatkan mereka

Penerapan MDT. Memungkinkan untuk menerapkan regimen MDT dan skema


pengendalian MDT di kebanyakan daerah; walaupun di beberapa tempat yang
terpencil populasi terpencar, kurangnya transportasi publik, dan bencana alam seperti
musim paceklik mungkin membuat MDT sulit dipraktekkan. Tetapi perencanaan, usaha,
dan kepedulian diperlukan untuk keberhasilan. Sebuah survei dini bermanfaat untuk
menentukan dan menentukan ulang masalah. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah:
1. Apakah perluasan dari masalah klinis?
2. Apakah yang penting untuk memulai skema? Peningkatan tenaga kerja,
pelatihan tenaga kerja, suplai barang, obat, transportasi, fasilitas dan tehnik
laboratorium yang lebih baik, pencatatan yang akurat, uang? Kebanyakan
dari metode dan sikap lama perlu dirubah.
3. Pasien yang mana yang hendaknya diinklusi atau eksklusi?
4. Bagaimana cara mengedukasi pasien dan komunitas, sebelum dan selama
kampanye.
5. Bagaimana memonitor konsumsi obat.
6. Penelitian pilot di satu atau dua daerah desa dan kota untuk membantu
melihat masalah yang belum tampak.
7. Target untuk jumlah dan waktu harus didefinisikan dan aturan untuk
mengelola reaksi dibuat.
8. Evaluasi progresivitas
9. Ketika jumlah kasus tercatat turun setelah tahun-tahun pertama, karyawan
harus dilatih ulang untuk mengelola kecacatan, pencarian kasus baru,
mempertahankan angka follow-up yang baik dan bahkan menggunakan
pengalaman mereka untuk mengendalikan penyakit yang lain, seperti
tuberkulosis. Melalui cara ini, investasi terhadap MDT akan membayar biaya
awal yang mahal.
10. Dana. Biaya untuk obat-obat MDT, dibeli dalam sejumlah besar, dan dikirim
ke negara-negara berkembang, adalah seharga 6$ untuk 6 bulan
pengobatan per pasien PB, dan 26$ untuk 2 tahun pengobatan per pasien
MB (tahun 1986). Hal ini mencerminkan 10-20% dari total biaya dari
program.

Integrasi pengendalian lepra ke servis kesehatan umum (general health


service/ puskesmas). Secara sejarah, pengendalian lepra, seperti varisela dan
frambusia, di beberapa negara telah dimulai sebelum perkembangan servis kesehatan
umum pedesaan. Pengenalan dapson membuatnya memungkinkan untuk
mengembangkan kampanye anti-lepra masal sebelum pendirian servis kesehatan

PPDS DERVEN FK UNHAS 151


Translated Bryceson

dasar. Tetapi pengendalian lepra hendaknya sekarang diintegrasikan ke servis


kesehatan umum dan hendaknya dikerjakan secara bersama-sama ketika:
1. Insiden telah berkurang ke tingkat yang dapat diterima
2. Servis kesehatan umum menjangkau negara secara luas dan didukung
pemerintah sepenuhnya
3. Tenaga kerja kesehatan, perawatan, dan primer tersedia; dan telah
diedukasi untuk diagnosis dan tatalaksana lepra.

(2) Peningkatan daya tahan tubuh mereka yang berisiko


Dalam suatu epidemik, hingga 30% populasi mungkin menjadi terinfeksi, tetapi di
bawah 2% memperoleh lepromatosa. Pada daerah hiperendemik, prevalensi lepra
biasanya di bawah 5%. Populasi berisiko dalam komunitas biasanya kecil. Saat ini, tidak
ada sarana praktis untuk mengidentifikasi dan melindungi populasi ini, dan mereka
yang terpapar infeksi perlu untuk diproteksi serupa.
Imunisasi. Tidak ada vaksin spesifik untuk lepra. Percobaan imunisasi dengan
BCG telah dilakukan dalam sejumlah besar anak-anak di Uganda, dimana imunisasi
memberikan proteksi sekitar 80%, dan di Malawi dan New Guinea sekitar 50%. Tingkat
proteksi bervariasi terhadap usia. Di Burma, BCG memberikan proteksi 40% terhadap
mereka yang berusia di bawah lima tahun; anak-anak yang lebih besar tidak
terproteksi. Proteksi hanya diberikan terhadap penyakit tuberkuloid. Secara nyata,
tidak tersedia informasi atas proteksi terhadap lepromatosa. Dari data ini, sulit untuk
menilai manfaat BCG. Hal yang mungkin adalah bahwa perbedaan antara Uganda dan
Burma mungkin ditentukan oleh faktor ras. BCG hendaknya diberikan untuk
manfaatnya dalam pencegahan tuberkulosis, tetapi untuk memberikan proteksi yang
optimum terhadap lepra hendaknya BCG diberikan di tahun-tahun pertama kehidupan.
Percobaan vaksinasi sedang dalam penelitian dengan menggunakan M. leprae
yang dibunuh melalui panas dan dikombinasikan dengan BCG dan dengan spesies
Mycobacteria lainnya.
Kemoterapi profilaksis. Profilaksis masal dengan dapson oral tidak dapat
dipraktekkan dan mungkin menyebabkan munculnya jenis strain yang resisten
terhadap dapson. Di Mikronesia, injeksi depo acedapsone (DADDS) diberikan setiap 75
hari terhadap seluruh populasi Pingelapese berusia dia atas 6 bulan selama periode 3
tahun. Setelah 1 tahun, insiden lepra turun dari 25:1.000 menjadi 0. Tidak dimukan
kasus baru ketika acedapsone terus dilanjutkan, tetapi dalam setahun penghentian
profilaksis, kasus baru, yang seringnya adalah lepromatosa, muncul. Pada studi lain di
India, acedapsone diberikan setiap 10 minggu selama 3,5 tahun memberikan proteksi
hampir 50% pada kontak anak-anak kontak dengan pasien lepromatosa. Pendekatan
ini mungin dapat diterapkan di daerah dengan batas geografis yang jelas, tetapi harus
diikuti oleh surveilans yang hati-hati ditujukan untuk deteksi dini kasus lepromatos
yang penyakitnya selama ini secara temporer ditekan oleh acedapsone.
Kemoprofilaksis direkomendasikan diberikan ke anak-anak dengan usia di
bawah 10 tahun, yang orang tuanya atau kontak rumah tangganya infeksius (LL/BL,
mensekresikan basil dari hidung atau dengan IM di atas 1%) dan menerima
pengobatan reguler. Dapson profilaksis diberikan dalam dosis penuh (lihat hal. 55

152 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

[79]), selama 3 tahun memberikan proteksi 50%. Kemoterapi selama 6 bulan dengan
dapson dan rifampisin, seperti halnya pada lepra PB (lihat hal. 60 [86]) hendaknya
memberikan proteksi yang lebih baik. Anak-anak yang lebih besar, atau anak-anak dari
orang tua yang tidak infeksius, tidak memberikan manfaat. Bayi yang mendapatkan
ASI dari ibu meminum dapson menerima proteksi yang cukup hingga stop meminum
ASI.

Efikasi sarana pengendalian

Hasil
Di beberapa negara, tidak ada program pengendalian lepra yang efektif telah dilaksanakan
karena kurangnya dana, tenaga kerja, fasilitas, atau inisiatif. Di negara lain, berbagai derajat
pengendalian telah dilakukan.
Begitu banyak tergantung pada sikap sosial dan prasangka masyarakat terhadap lepra
bahwa hal ini sering menjadi faktor dasar dalam penentuan efikasi program. Juga seringkali
ditemukan bahwa stigma lebih hebat pada grup dengan sosio-ekonomi atas dan pasien akan
menolak untuk datang berobat jika ditawarkan dalam kondisi bahwa pengobatan itu spesifik
untuk lepra. India adalah contoh dari negara dimana stigma telah menghalami program
pengendalian.
Di Afrika, tekanan sosial diberikan tetapi kontrol teratur masih dimungkinkan dan
pengendalian lebih mudah. Salah satu alasan untuk ini adalah masyarakat mungkin datang
untuk alasan yang salah. Contohnya, di beberapa bagian Nigeria, terdapat kepercayaan bahwa
dapson meningkatkan fertilitas. Dimana ketika kepercayaan ini dipercayai, seluruh masyarakat
desa akan mungkin datang secara sukarela untuk memeriksakan diri. Semuanya mau
menerima ‘pil ajaib’ dan mereka yang memperolehnya adalah yang terpilih dan mereka
menjaga haknya hati-hati, datang dengan teratur, dan meminumnya dengan seluruh jiwa
setiap tablet yang berharga ini. Dalam kondisi ini, dalam 5 tahun telah membuktikan cukup
untuk memperoleh seluruh pasien lepra pengobatan dan setelah 7 tahun berikutnya,
insidennya sangat rendah.
Namun, di Tanzania, terbukti sulit untuk memperoleh lebih dari 50% kasus untuk
berobat teratur. Di Uganda, dimana pengendalian telah dipraktekkan selama 20 tahun, insiden
telah menjadi setengahnya
dalam 10 tahun terakhir. Tetapi,
tidak ada tempat dimanapun
yang berhasil mengeradikasi
lepra. Efek dari sarana
pengendalian pada prevalensi
dan insiden lepra di Jepang
digambarkan dalam Gambar
16.3 dan 16.4.
Di samping seluruh
kendala operasional yang
dihadapi, beberapa negara atau
proyek mendokumentasikan

PPDS DERVEN FK UNHAS 153


Translated Bryceson

penurunan insiden selama dekade terakhir. MDT diharapkan untuk mempercepat tren ini. Di
banyak negara, dimana MDT telah dikenalkan secara luas, telah diobservasi terjadi penurunan
prevalensi sebanyak 75% selama 5 tahun.
Hasil mungkin juga dinilai melalui penurunan angka disabilitas. Dengan keberhasilan
kampanye, angka ini turun 1/3 dalam 4 tahun dan 2/3 dalam 10 tahun. Angka dengan MDT
sama dengan monoterapi,
tetapi angka pengembalian
fungsi yang hilang adalah lebih
besar, meningkat dari 20%
menjadi 50% di Malawi.
Akhir kata, ketika
pengendalian tercapai, puncak
usia terjadinya onset meningkat
sekitar 20 tahun pada laki-laki
dan 60 pada wanita, dan kasus-
kasus baru seringkali adalah
lepromatosa. Penemuan ini
mengartikan bahwa transmisi
telah dihentikan dan satu-
satunya kasus adalah post-
primer dimana daya tahan tidak dapat melawan infeksi yang didapat ketika kanak-kanak (lihat
hal. 143 [209]).

Masalah
Waktu. Pengendalian lepra membutuhkan waktu bertahun-tahun. Waktu yang lama ini
menyebabkan inisiatif menurun dan supervisi menjadi kendor. Walaupun insiden berkurang,
fasilitas rumah sakit tetap dibutuhkan untuk perawaan kasus yang rumit. Mereka yang cacat
berat harus dirawat dalam jangka waktu tidak terhingga. Sebagai sarana pengendalian, MDT
secara dramatis telah mengurangi durasi pengobatan pada pasien, mengurangi jumlah pasien
yang tetap memeriksakan di klinik, dan memacu moral dan efikasi tenaga kesehatan dan
pasien. Tetaplah diperlukan untuk memantau apakah MDT akan membuat angka insiden turun
lebih cepat. Hal ini akan menentukan berapa lama skema harus dipertahankan untuk
beroperasi.
Terrain (lahan). Sejumlah kegagalan yang bermakna dalam pengendalian terlihat pada
migran, seperti penggembala ternak Fulani di Nigeria Utara, yang selalu berpindah-pindah ke
lahan yang baru. Tidak ada sarana yang berhasil untuk menyediakan pengobatan telah
ditemukan dan hanya sedikit dari mereka dengan penyakit atau kecacatan yang berat yang
mau merubah cara hidup mereka untuk menetap di tempat dimana mereka dapat
melanjutkan pengobatan rutinnya. Masalah daerah lainnya adalah daerah kumuh di kota-kota
besar, seperti Bombai, dimana kebanyakan pasien adalah buruh. Banyak yang tinggal di lokasi
kerjanya dan sulit untuk dilacak.
Uang. Lepra tidak pernah menjadi berita utama (contoh: kolera, kelaparan, dan musim
paceklik) dan lepra ‘menarik’ hanya sedikit dana pemerintah, terutama ketika berapa lama
dana harus dialokasikan. Pendanaan tahunan menyebabkan perencanaan berhasil. Dana
biasanya tidak mencukupi untuk merekruit dan melatih tenaga yang cukup.

154 PPDS DERVEN FK UNHAS


Translated Bryceson

Tenaga kerja. Masyarakat yang besar di komunitas dimana lepra merupakan suatu
stigma tidak mau bekerja untuk pasien lepra. Seringkali, tenaga kerja tidak minat karena
kurangnya gaji dan supervisi hanyalah mimpi (lackadaisical). Pekerja lepra yang tidak
mempunyai obat selain daripada dapson dan pilihan yang ada hanyalah memberikan atau
menahannya, tidak dapat mengobati komplikasi. Hasilnya kadang-kadang mematahkan
semangat, dan pasien kehilangan kepercayaan diri.
Integrasi. Ketika pelayanan lepra diintegrasikan dengan servis kesehatan umum, hal ini
condong untuk menyebabkan peran sekunder dan hilangnya tenaga kerja dan dana.
Sikap. Efek terhadap sikap pasien dan publik terhadap pengendalian lepra telah
dibahas di atas. Pemerintah gagal menyadari bahwa lepra adalah salah satu masalah besar
yang menyebabkan kecacatan di negara, dan kepentingan ekonomi.

Masa depan
Saat ini, pengendalian lepra
berarti pencegahan sekunder,
atau deteksi dan pengobatan
kasus yang ada. Hal ini telah
dipraktekkan kini pada
beberapa tempat selama lebih
dari 35 tahun, dan terbukti
tidak mengeradikasi penyakit.
Hampir tanpa pengecualian
bahwa prevalensi lepra telah
secara signifikan berkurang di
seluruh dunia, tetapi apakah ini
karena seluruh usaha dan
pengeluaran dikeluarkan untuk
pengendalian lepra, atau oleh
karena faktor atau faktor-
faktor yang mengarahkan
hilangnya lepra dari Eropa
utara di abad sebelumnya,
tidaklah diketahui.
Pendekatan lebih fundamental diperlukan untuk mencegah perkembangan penyakit
klinis bersama-sama, dengan mendeteksi individu dalam risiko dan melindungi mereka.
Pendekatan ini bertujuan terhadap apa yang disebut dengan pencegahan primer. Penentuan
dari prevalensi lepra adalah mudah tetapi mengabaikan faktor ‘waktu’. Hanya melalui
penelitian insiden kita dapat memperoleh informasi yang berharga terhadap pola lepra di
komunitas yang mungkin membantu pengendalian. Dari insiden, memungkinkan untuk
menentukan faktor berisiko tinggi dan kelompok berisiko tinggi dari setiap individu (lihat hal.
141 [207]). Kemudian, itu memungkinkan untuk mencegah faktor ini berlanjut, dan untuk
melindungi kelompok dari paparan. Faktor kontribusi yang tetap membutuhkan pembelajaran
adalah usia, jenis kelamin, grup etnik, kondisi sosial ekonomi. Hal ini harus dikaitkan secara

PPDS DERVEN FK UNHAS 155


Translated Bryceson

hati-hati untuk menemukan efek terhadap perkembangan penyakit. Penting untuk diketahui
bahwa studi yang dilakukan terburu-buru, tetap tidak boleh mengabaikan pertimbangan etik.
Pendekatan lain untuk pencegahan primer adalah berusaha mengidentifikasi individu
dalam risiko melalui tanda-tanda genetik atau imunologik. Tanda-tanda genetik terhadap
kerentanan lepra belum diidentifikasi dalam detail yang cukup untuk digunakan secara praktis
(lihat hal. 144 [211]). Namun, tanda-tanda imunologik tersedia (lihat hal. 74 [106]),
walaupun dalam teori kekuatan pembedanya belum diuji secara cukup di lapangan. Tidaklah
sulit untuk memformulasikan dan menguji skema seperti yang digambarkan dalam Gambar
16.5, untuk mengidentifikasi dan memonitor anak-anak yang rentan, dan untuk identifikasi
dan mengobati kasus lepromatosa dini, sebelum mereka menjadi positif secara klinis dan
bakteriologis.
Pendekatan yang imaginatif diperlukan apabila lepra ingin dikendalikan, dibiarkan
tereradikasi sendiri. Masalah akan menjadi lebih sulit, terutama di Afrika, bila lepra menjadi
suatu penyakit AIDS (lihat hal. 73 [106]).

--===000===--

2017 PPDS Departemen Dermatologi Venerologi FK UNHAS MAKASSAR

156 PPDS DERVEN FK UNHAS

Das könnte Ihnen auch gefallen