Sie sind auf Seite 1von 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334081577

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE ZAMAN

Article · June 2019

CITATIONS READS
0 25,896

5 authors, including:

Rumzil Azizah
iain madura
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

article View project

All content following this page was uploaded by Rumzil Azizah on 28 June 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE
ZAMAN

Oleh:
Rumzil Azizah, Email: azizahrumzil@gmail.com
Rosidi, Email: rosidi@gmail.com

ABSTRACT: Sufism comes from the word suffah. Suffah is a term or term for people
who live a simple life, and can be said to be poor which is far from glamorous. These
were friends of the Prophet who had migrated and lived around the Medina mosque.
Sufism comes from the word shuf. Shuf means wool yarn. Mention for people who
use coarse wool or sheep's clothing. Unlike wool now, it was used by most poor
people. While the rich people in the past usually used clothes made of silk. Sufism
comes from the word Shafa 'which means, people who purify their hearts to draw
closer to Allah. This is what Samsul Munir Amin said in his book entitled The
Knowledge of Sufism. Whereas according to the terms of Sufism is, how to purify the
soul and heart of all forms of hustle and bustle and fill it with love for God. This is
intended to get closer as close as God. Sufism itself appeared at the time of Tabi'in
in the second century. Then in the following centuries, the III and IV centuries later
emerged in Sufism. This article discusses Sufism starting from the foundation and
motivation of the birth of Sufism, the history of the development of Sufism and its
phases, types of Sufism, and the benefits of Sufism in the world of Islamic education.

Keywords: Sufism and suffah, the world of Islamic education

A. PENDAHULUAN
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama
islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk
segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah
berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk
memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari
jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang
menghingapi masyarakat pada waktu itu. (Muhammad Fauqi H, 2013: 7 ).
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk
mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku
problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan
hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat
mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah
Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran
dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam
mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad
sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari

1
kebersaihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak
kecil.
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau
16 Agustus 571 M, berarti nabi Muhammad SAW telah diangkat dan diutus
menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan
ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan
itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat
yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
Adapun tentang sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam itu
terdapat bermacam-macam pendapat. Diantaranya ada yang menyatakan
bahwa sumber tasawuf islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu pula
ada yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia, Hindu
Nasrani dan sebagainya. (Syamsun Ni'am, 2014: 122).
Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata tentang
sumber tasawuf bahwa :”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam
memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam
bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara
mazhab tasawuf dan mazhab ahli Sunnah wal-Jama`ah”. Menurut penadapat
merx :”Tasawuf merupakan aliran yang datang kedalam islam yang berasal dari
pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu berasal dari Filsafat
Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster Persia atau agama Hindu.
Tentang tasawuf Islam itu berorientasi R.A Nicholson menjelaskan sebagai
berikut : “Menetapkan tasawuf Islam merupakan import ke dalam Islam, tidaklah
dapat diterima, yang sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama Islam,
bahwa bibit berfikir seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh
didalam hati setiap keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu
sedang membaca Al-Qur`an dan Hadist Nabinya”. (Harun Nasution,1990:58).
Dari pendapat-pendapat tersebut diatas jelas adanya perbedaan
pandangan tentang sumber tasawuf Islam itu, namun demikian dapat
dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa
tasawuf Islam itu berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada benih-benih
untuk tumbuh dan berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati setiap
muslim, karena tidak dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan bahwa:
Islam itu tinggi dan tidak ada yang dapat mengatasinya,” dengan pengertian lain
dapat ditegaskan bahwa kemurnian ajaran islam itu benar-benar mengandung
nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber akhlak bagi setiap muslim, terutama
bagi para sufi yang senantiasa berusaha membersihkan hati dan mensucikan
jiwa mereka dan berhias dengan perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari
perangai tercela. (Harun Nasution,1990:58).
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa sumber dan landasan tasawuf
islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan selanjutnya mendapat pengaruh
dari luar islam. Tasawuf Islam itu dalam perkembangannya mempunyai unsur-
unsur yang jauh. Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang jauh. Unsur yang
dekat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah Khulafaurrasyidin, Struktur

2
Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh ialah pengaruh agama Nasrani,
yahudi, budha dan Persia.

B. PEMBAHASAN
1. Sejarah perkembangan tasawuf dan fase-fasenya
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase,
yaitu: Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud).
Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase
ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan
dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun
tempat tinggal. (Muhammad Fauqi H , 2013: 17).
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang
masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok
kaum Muslim memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada
pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara
lain: Al-hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H)
kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum
sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka
pembentukan prilaku hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan.
Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya pendalaman studi
psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya terlibat dalam
masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai
hubungan manusia dengan Allah SWT. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi
seperti Fana`, terutama Abu Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum
sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan,
maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara
lain : Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya Al-
Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah
sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini
tasawuf identik dengan akhlak (berkembang ± satu abad). Pada abada ketiga
hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang
eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian dihukum mati karena
menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj
mengalami peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu sangat
kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi
tasawuf akhlaqi. (Samsul Munir Amin, 2015: 209).
Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf
seperti Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan
pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam sebuah bentuk
jamaah. Untuk pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu
merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan berbagai
pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik, kepada para murid dan orang-

3
orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf. Demikian juga ajaran tasawuf
al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan dirinya sebagai
seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi dan berakhir dengan fatwa
ulama bahwa dia adalah seorang kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung
di Aleppo pada tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya
dengan Ibn Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri
karena serangan para ulama yang sangat gencar terhadap ajaran tasawuf yang
diajarinya. Tidak sedikit pila para ulama yang membantah ajaran tasawuf Ibn
Arabi yang mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan
suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan
pada hakikat adalah satu.
Dengan banyaknya ajaran yang menyimpang dari syari`at, maka ilmu
tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga
berakhir dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu Islam dan telah
berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak membawa
sesuatu yang baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari pengagungan
para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima.
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis
tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah
dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf kepada status semula
sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-
pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat
sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran
Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang
kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran
teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. (Samsul Munir Amin, 2015: 233). Dalam
orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan
konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min
Al-Dhalal, sebagai berikut: pertama, Sejak tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh
tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi
terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh
Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang
sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan
generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan
Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn
Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini
adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali; Kedua, Pada abad ke enam hijriah ,
sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh
tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.Pada abad ke enam
Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka
dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah . diantara
mereka terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar Muhyiddin
Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.

4
2. Macam- macam tasawuf
Jenis tasawuf menurut perkembangannya zaman ke zaman terbagi
menjadi dua, yakni:
a. Tasawuf sunni
Tasawuf Akhlaqi disebut juga Tasawuf Sunni. Tasawuf ini menitik
beratkan pada perbaikan akhlak atau moral pada diri seseorang.
Orientasinya adalah untuk mencari hakikat kebenaran yang dapat
mengantarkan manusia untuk mencapai tingkatan ma’rifat. Ma’rifat adalah
bersatunya manusia dengan Allah dengan metode tertentu yang telah
ditetapkan. Tasawuf akhlaqi ini juga banyak dikembangkan oleh para Ulama
Salafussalih. (Samsul Munir Amin, 2015: 2).
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS Asy
Syams : 7-8)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki potensi untuk
berbuat baik dan potensi berbuat buruk. Potensi untuk berbuat baik adalah Al
Aql dan Al Qalb. Potensi untuk berbuat baik disebut dengan Nafsu yang
dibantu dibisikkan keburukannya oleh Setan yang tiada henti menggoda
manusia.
Menurut para sufi, untuk masuk kepada tasawuf tentu membutukan
mental dan juga aspek lahiriah yang siap. Pada awal memasuki tasawuf,
maka seseorang harus berkonsentrasi agar dapat menghindarkan diri dari
akhlak buruk atau tercela (mazmumah) dan terus konsisten mewujudkan
akhlak yang baik yaitu mahmudah. (Samsul Munir Amin, 2015: 332).
Ajaran ini, menurut para sufi, melatih manusia untuk dapat menguasai
hawa nafsu, menekan hawa nafsu bagkan sampai pada mematikan hawa
nafsu jika memungkinkan. Tentu saja membutuhkan pelatihan dan
pembiasaan yang ketat.
Para Sufi yang mengembangkan ajaran tasawuf ini diantaranya
adalah Hasan al-Basri (21 H – 110 H), Al-Muhasibi (165 H – 243 H), Al-
Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-
Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Gajali (450 H – 505 H),
Ibnu Atoilah As-Sakandari. (Samsul Munir Amin, 2015: 141).
Pelaksanaan ajaran tasawuf tentu saja tidak bisa dilakukan hanya
satu atau dua kali untuk mencapai proses tertinggi, yaitu tujuan mendapatkan
ma’rifat. Proses ini dilakukan agar akhlak baik atau mahmudah selalu
melekat kepada manusia. Akhlak tercela dan buruk lainnya akan hilang dan
tidak mengusik atau mengganggu jiwa manusia yang suci.
Jiwa yang buruk atau dipenuhi akhlak tercela tentu akan
memudahkan nafsu manusia semakin banyak mendorong untuk melakukan
hal hal yang buruk. Untuk itu, kesucian jiwa harus dipenuhi dan terus
dipupuk. Berikut adalah proses atau langkah untuk mendapatkan tujuan dari
tasawuf akhlaqi.
Takhali adalah proses awal yang dilakukan oleh sufi. Aktivitas Takhali
ini adalah usaha untuk mengosongkan diri manusia dari perilaku yang
tercela. Salah satu akhlak tercela yang disoroti oleh tasawuf adalah

5
kecintaan manusia yang berlebihan terhadap urusan duniawi, hingga
melalaikan pada kesucian jiwa dan kesiapan untuk kembali kepada Allah.
Takhalli berbeda dengan Tahalli. (M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, 2002:
259).
Tahalli adalah proses untuk mengisi dan menghiasi diri manusia
dengan pembiasaan perilaku dan akhlak yang baik. Proses ini dilakukan oleh
para sufi dengan mengosongkan jiwanya dari segala akhlak yang buruk.
Mereka menjalankan ketentuan agama dengan mengintegrasikan ke dalam
dan keluar dirinya. Aspek luar adalah kewajiban seperti shalat, puasa, haji,
dan sebagainya. Sedangkan, untuk yang bersifat ke dalam adalah keimanan,
keaatan, dan kecintaan kepada Allah. (Mustafa Zahri, 1998: 82).
Tajalli adalah proses pemantaapan dan pendalaman materi yang
sudah dilalui pada proses tahalli. Tajalli berarti terungkapnya nur ghaib.
Proses ini adalah memantapkan dan membuat akhlak-akhlak baik tersebut
tetap ada dalam jiwa. Untuk itu, pada proses ini benar-benar menumbuhkan
kecintaan dan kerinduan yang mendalam pada Allah SWT. Praktis tasawuf
ini tentu saja perlu diperhatikan agar tetap mampu menjawab masalah utama
manusia yaitu yang berkenaan dengan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses
Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam
Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi
agama yang terdapat dalam Al-Quran. (Mustafa Zahri, 1998: 245).
b. Tasawuf irfani
Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari
kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Secara terminologis, ‘irfan diindentikkan
dengan ma’rifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang berma’rifat
kepada Allah. Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al- mubasyir al
wujudani (penagkapan langsung secara emosional), bukan penangkapan
secara rasional.
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis
dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan
hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan
Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini
disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana
seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujan puncak
kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dan keadaan
jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut. (Samsul
Munir Amin, 2015: 241)
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada
masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam
semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi)
yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat,
bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika
filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip
rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian

6
diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. (Samsul
Munir Amin, 2015: 241)
Tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah Rabi’ah adalah Rabi’ah binti
Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al Qaisiyah. Dalam perkembangan
mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah Al Adawiyah adalah wanita satu-
satunya dalam Islam yg terkenal kesufiannya. Sebagaimana dikutip oleh Eko
Ariwidodo, B.R.Wolfman menyatakan bahwa : Posisi wanita akan selalu ada di
bawah kedudukan laki- laki. “Kaum wanita tidak dapat diberi kedudukan yang
tinggi, karena tidak tahu bagaimana mengambil keputusan yang sulit’’. (Eko
Ariwidodo, 2016: 333).
Tidak sulit bagi Rabi’ah Al-Adawiyah mengembangkan khazanah
keilmu agamaannya mencapai tingkat mahabbah. Menguraikan secara
feministik rasa tulus ikhlas ke dalam cinta sebenar-benarnya kepada Allah.
Melebihi dari para sufi lainnya yang notabene laki-laki. Sementara generasi
sebelumnya merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan
pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan
pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti
dari Allah. (Samsul Munir Amin, 2015: 242).
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-
Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal
sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam
terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ‘ilm, yakni
sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran.
Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah
satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual.
Termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik
vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at,
sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau
melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah.
Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang ‘arif akan senantiasa
mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan
dan keadilan.
Ia membagi tingkatan ma’rifat yaitu ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin
bahwa seorang mu’min bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian
ajaran yang telah dia terima; ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni ma’rifat
yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk
kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga
diyakini adanya Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa
merasakan lezatnya ma’rifat tersebut; ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-
fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan
pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan
karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Tuhan dengan
manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara
adalah hati dan bukannya akal;

7
Abu Yazid Tahifur bin Isa dari Al-Bisthami dilahirkan pada tahun
188 H. di Bistham Khurasan, Persia. Dari berbagai riwayat diketahui bahwa
Abu Yazid adalah seorang faqih, pengikut Abu Hanifah tetapi kehidupannya
berubah dengan memasuki dunia tasawuf. Menurut Abu Yazid, Wali Allah itu
ada tiga macam, seorang zahid karena zuhudnya, seorang Abid karena
ibadahnya, dan seorang Alim karena ilmunya. (Samsul Munir Amin, 2015:
254).
Abul Mubhist Al-Husain Bin Manshur Al-Khallaj di lahirkan di
Baidha Persia pada tahun 244H/858.Al Khallaj selalu hidup berpindah-
pindah dalam pengembaraan yang panjang. Di dalam pengembaraan itu ia
telah tinggal Tustur, Khurasan, Sijistan, Karman, Persia, Ahwaz, Basrah dan
Baghdad. Al-Khallaj juga mengembara ke daerah Timur dimulai dari
Turkistan, Mesir dan beberapa daerah di India. Selama dalam perjalanan ia
mendapat gelaran yang bermacam-macam. Di Baghdad ia digelari
dengan Al-Mushtalam, di Tukistan dengan Al-Mukiths, di India dengan Al-
Mugihst dan sebagainya.
Buku-buku karangannnya antara lain As-Sahaihur Fi Naqshid Duhur,
Kaifa Kana Wakaifa Yakun, Al-Abad Wa Al-Mabud, Kitab Huwa-Huwa, Sirru
Al-Alam Wa Al-Tauhid, Al-Thawasin Al-Azal. Kitab-kitab itu hanya tinggal
catatan, karena ketika hukuman mati dilaksanakan, kitab yang ia karang pun
ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu
Atha dengan judul Al-Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan sumber-sumber
muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran Al-Khallaj dalam tasawuf.
c. Tasawuf falsafi
Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi dua, yaitu
antasa Tasawuf dan Filsafat. Tasawuf artinya kecintaan terhadap tuhan,
sedangkan ilmu Filsafat Islamadalah yang berkenaan dengan akal atau
fikiran. Falsafi disini adalah cara yang digunakan dalam bertasawuf. (Samsul
Munir Amin, 2015: 264)
Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam bertasawuf yang
menggabungkan antara visi mistik dan visi yang rasional. Tasawuf ini
merupakan hasil dari pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang
diungkapkan dengan bahasa filosofis.Tasawuf ini tidak bisa dikatakan
sebagai Tasawuf yang murni karena telah menggunakan pendekatan fikiran
dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan filsafat seutuhnya karena
didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi merupakan
penggabungan antara rasa dan rasio.
Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf
Falsafi adalah, kajian terhadap tuhan, manusia dan sebagainya yang
menggunakan motode rasio atau akal. Aliran dalam Tasawuf Falsafi terkesan
tidak jelas, karena banyaknya istilah-istilah yang diungkapkan oleh tokoh-
tokkohnya dalam aliran ini yang tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan
istilah Filsafat.
Tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi pada umumnya mengerti dan
akrab dengan ilmu Filsafat. Mereka mempelajari Filsafat Barat, Yunani
Kuno,dan Filsafat Islam, serta mengenal para filosof barat seperti, Socrates,

8
Aristoteles serta pemikiran-pemikiran filosof Islam seperti Al Farabi dan Ibnu
Sina. (Abdul Kadir Riyadi, 2014: 199).
Menurut Ibnu Khaldun dikutip dalam karyanya Al Ma’rifat, objek dari
kajian Tasawuf Falsafi ini ada empat: pertama, Latihan yang bersifat
kebatinan atau rohaniyah dengan menggunakan rasa, intuisi dengan dan
introspsesi diri dengan tingkatan maqam, hal dan rasa; kedua, Kajian
tentang hakekat dari sifat-sifat tuhan, malaikat,arsy, kursy, wahyu, kenabian,
roh, hakekat dari alam ghaib dan yang nyata serta susunan kosmos dan
penciptaannya. Biasanya para filosoh dalam kajiannya dan latihan
rohaniahnya melakukan zikir-zikir dengan meninggalkan keduniaan dan
membuka kekhusukan terhadap Allah; ketiga, Peristiwa yang luar. Kejadian
yang terdapat di alam ini atau kosmos, yang mempengaruhi kekeramatan;
keempat, Pengungkapan teory dengan istilah yang filosofis. Istilah tersebut
tidak bisa dipahami seutuhnya oleh masyarakat awam. Istilah Tasawuf
Falsafi hanya bisa dimengerti oleh para tokoh Tasawuf Falsafi itu sendiri.
Pada intinya, ciri dari Tasawuf Falsafi adalah mengabungan antara
pemikiran atau rasionalitas dengan perasaan (dzuq). Aliran ini mendasarkan
pada dalil naqli dan diungkapkan dalam istilah filosofis. (Achmad Mubarok,
2001: 124).
Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi lainnya adalah Ibnu ‘Arabi, Nama
lengkap dari Ibnu Arabi yaitu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath
tha’I Al Haitami. Beliau dilahirkan di Murcia, daerah Andalusia tenggara,
Spanyol. Pada tahun 560 H. Ia tinggal di Hijaz dan wafat di sana, pada tahun
638 H. karya Ibnu ‘Arabi yang paling fenomenal adalah Al Futuhat Al
Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 H. (Samsul Munir Amin, 2015: 274).
Ajaran dari Ibnu ‘Arabi ada tiga: Wahdad al wujud – Kesatuan Wujud. Intinya
wujud dari semua makhluk itu adalah satu, yaitu wujud dari khaliqnya;
Hakiqat Muhammadiyah – Lanjutan dari wahdad Al Wujud adalah Hakikat
Muhammadiyah, yang menurut Ibnu Arabi, bahwa penciptaan alam semesta
ini adalah pelimpahan dari wujud yang satu yaitu tuhan. Dari yang satu itu,
Lalu lahirlah semua wujud dengan segala proses penciptaannya; Wahdad Al
Adyan – Turunan ketiga dari Wahdatul Wujud adalah Wahdatul Adyan yaitu
kesamaan agama. Semua agama itu adalah satu yang bersumber dari tuhan.
(Amin Syukur, 2002: 7)
Al Jilli, Nama lengkap Al Jilli adalah Abdul Karim bin Ibrahin Al- Jilli
yang lahir tahun 1365 M dan wafat tahun 1417 M. Baliau lahir di Jilan
propinsi di selatan Kaspi. Tempat lahirnya Jilli (Gilan) yang kemudian
menjadi nama dari Al Jilli. Beliau adalah sufi yang terkenal di Bagdad. Ia
pernah berguru pada tokoh tarekat Qadariyah yaitu Abdul Qadir Al Jailani,
seorang sufi dari India. Ajaran dari Al Jilli adalah: Insan Kamil – Pemahaman
tentang insan kamil atau manusia sempurna sebagai wujud dari tuhan yang
diumpamakan bagai cermin. Seseorang tidak bisa melihat dirinya sendiri
kecuali dengan cermin; Maqamat – Al Jilli merumuskan tahapan atau
tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah : Islam, Iman, Ihsan, Shalah,
Shahadah, Sidqiyyah dan Qurbah. (Samsul Munir Amin, 2015: 281).

9
Ibnu Sab’in, Nama lengkap dari Ibnu Sab’in adalah Abdul Haq Ibnu
Ibrahim Muhammad Ibnu Nashr. Beliau lahir tahun 614 H di Murcia. Ibnu
Sabi’in adalah anak dari keluarga bangsawan, yang hidup berkecukupan.
Namun beliau memilih untuk mengasingkan dari segala bentuk kemewahan
tersebut. Beliau mempelajari ilmu-ilmu seperti Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu
Agama, Ilmu fiqih (fiqih pernikahan, fiqih muamalah jual beli), Ilmu Filsafat
dan Logika. Ajaran dari Ibnu Sab’in adalah: Kesatuan mutlak – Kesatuan
mutlak adalah ajaran pemahaman tentang wujud itu hanya satu yaitu wujud
tuhan; Menolak paham Aristotelian – Intinya Ibnu Sab’in berusaha menyusun
logika baru yang membantah adanya konsep jamak. Konsep ini disusun
untuk mencapai kesatuan mutlak tadi. Menurut Ibnu Sab’in logika ini
menggunakan penalaran ketuhanan atau ilahi. Pemikiran ini yang membuat
manusia melihat dan mendengar sesuatu yang baru, yang belum pernah
dilihat dan didengar sekalipun. (Mustafa Zahri, 1998: 82-89).

3. Manfaat tasawuf dalam dunia Islam


Tasawuf memiliki banyak manfaat dalam kehidupan dan dunia islam,
di bawah ini adalah 10 manfaat tasawuf yaitu: Dalam bidang kecerdasan
emosional, apabila dapat mengamalkan tasawuf dengan baik maka dapat
mengendalikan emosionalnya dengan baik pula; Dalam bidang kecerdasan
spiritual, tasawuf mengingatkan manusia tentang kemaitian, agar umat
manusia selalu beribadah, beramal shaleh, serta menjauhi perbuatan
maksiat dan kejahatan; Dalam bidang Agama, tasawuf ini sangat diperlukan
agar umat islam bisa mengamalkan teori Islam secara kaffah dan juga untuk
mengembangkan integrasi sosial dan kerukunan hidup dalam beragama
serta bebangsa; Dalam bidang etos kerja, tasawuf dapat memperkuat etos
kerja karena dalam ajaran Islam bekerja itu wajib untuk memenuhi keperluan
diri sendiri, keluarga dan umat. (Amin Syukur, 2002: 7).
Dalam bidang Pendidikan, tasawuf merupakan salah satu mata
pelajaran yang perlu diajarkan di Madrasah dan mata kuliah di Perguruan
Islam untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh
serta untuk mengembangkan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan
maju; Dalam bidang Ilmu Pengetahuan, tasawuf mendidik anggota
masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional serta
mendidik untuk memiliki tanggung jawab sosial; Sumber Pengingat, apa
yang akan membantu kita terhadap hal ini adalah mengingat Allah bahwa
Allah menjamin kita akan penyediaan, dan pengetahuan dan kekuatan-Nya
sempurna, dan bahwa Dia terlepas dari penciptaan dan jauh dari kelupaan
dan dari ketidakmampuan. Syaikh Ibn Ataillah menulis dalam bukunya The
Abandonment of the Management of Affairs: “Percayakan urusan kita kepada
Allah juga merupakan kualitas yang sangat penting untuk diperoleh. (Mustafa
Zahri, 1998: 82-89).
Landasan Hidup, tanpa pemahaman ini muslim akhirnya lumpuh.
Tapi dengan itu kaum Muslim bebas menjadi budak, yaitu mematuhi dengan
cara tanpa hambatan. Masalah mencoba taat tanpa pengertian adalah
bahwa Anda hanya bisa melakukan apa yang Anda bisa. Tapi untuk menaati

10
Allah sambil mempercayai Dia adalah untuk meninggalkan semua
keterbatasan praktis, dan untuk memulai pencapaian apa yang telah Allah
perintahkan agar kita lakukan; Pembatas Ilmu Islam, tasawwuf membuat
semua pengetahuan lain tunduk pada pengetahuan tertinggi yaitu La ilaha
illallah. Dengan Tasawwuf kita menyadari bahwa pengetahuan tentang Allah
berada di atas setiap pengetahuan lainnya. Tasawwuf memungkinkan kita
untuk mencicipi La hawla wa la quwwata illa billah seperti tasawuf amali;
Lebih Mencintai Allah, dalam Qur’an, Allah menghubungkan bahwa orang
beriman di antara orang-orang Firaun berkata:” Saya telah mempercayakan
perselingkuhan saya kepada Allah. “Kenyataannya adalah keinginan kita
kepada Allah untuk melestarikan kita dari semua yang memiliki bahaya di
dalamnya dan yang dengannya kita tidak memiliki keamanan. (Abudin Nata
1996: 13).

C. KESIMPULAN
Tasawuf adalah ilmu jalan menuju Allah. Tasawuf adalah ilmu yang
sesuai dengan jalur Islam melalui pengalaman langsung sang Nyata dan
bukan melalui lidah atau belajar dari buku. Ini menyiratkan ditinggalkannya
teologi apapun. Tauhid tidak logis. Dalam hal ini Tasawwuf adalah pelindung
Tauhid: La ilaha illallah. Muslim menegaskan: La hawla wa la quwwata illa
billah. Ini menyiratkan bahwa tidak ada dua kekuatan di alam semesta. La
hawla wa la quwwata illa billah juga berarti ada satu sumber kekuatan. Allah
memberi kita kuasa-Nya dan membimbing kita dengan keterbatasan kita.
Oleh karena itu kita adalah sumber kesengsaraan kita sendiri. Semua
sarana tersedia bagi kita. Dari sinilah datang tawakkul: hasbunullahu wa
ni’mal wakil, “Allah sudah cukup bagi kita dan Dia adalah wali terbaik” seperti
hakikat tasawuf falsafi. Tasawuf tidak menjadi konsumen pasif dan jinak
dalam masyarakat ini dengan malam yang tercerahkan. Tasawuf adalah
transformasi hati Anda sehingga Anda menyadari bahwa Anda bertanggung
jawab atas dunia, dan dunia tidak bertanggung jawab atas Anda.
Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa apa yang Allah
perintahkan adalah mungkin, dan ini menunjukkan jalan kita untuk mencapai
tujuan tertinggi kita fisabilillah. Tasawuf memungkinkan kita untuk memahami
bahwa perbuatan hati lebih kuat daripada perbuatan anggota badan.

DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, Eko. Kontribusi Pekerja Perempuan Pesisir Sektor Rumput Laut Di


Bluto Kabupaten Sumenep. Jurnal Nuansa :jurnal penelitian ilmu sosial dan
keagamaan Islam. Volume 13. No.2 Juli-Desember 2016. LP2M IAIN
MADURA. Dikutip pada tanggal 27 Juni 2019.
Fauqi H, Muhammad. (2013). Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta : Amzah.
Mubarok, Achmad. (2001). Psikologi Qur’ani. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Munir Amin, Samsul. (2015). Ilmu Tasawuf. Jakarta. Amzah.
Ni'am, Syamsun. (2014). Pengantar Belajar Tasawuf. Jakarta : Ar-ruz Media.

11
Riyadi, Kadir. (2014). Antropologi Tasawuf. jakarta : LP3ES.
Syukur, Amin. (2002). Menggugat Tasawuf. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zahri, Mustafa. (1998). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya : PT. Bina ilmu.

12

View publication stats

Das könnte Ihnen auch gefallen