Sie sind auf Seite 1von 42

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah


Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari
gastrointestinal sangat bervariasi dari satu negara ke negara yang lainnya. Infeksi
ini dapat disebabkan oleh bakteri, parasit atau jamur.
Selama kurun waktu seabad terakhir ini, telah terjadi banyak perubahan
dalam epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostic, pengelolahan maupun
prognosis abses hati. Sesuai dengan perkembangan zaman, di Negara-negara yang
sudah maju abses hati amebic yang pada awal abad ke-20 mendominasi abses hati,
sekarang sudah jarang ditemukan sedangkan abses hati piogenik lebih banyak
ditemukan.
Di Negara-negara yang sedang berkembang, abses hati amebik didapatkan
secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan abses hati piogenik. Dalam
makalah ini akan dibicarakan abses hati amebik dan abses hati piogenik yaitu
penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang sering
terjadi.
Amebiasis hati merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi oleh
entamoeba histolitika. Penyakit ini masih sering dijumpai terutama di negara
tropis. Dulu penyakit ini lebih dikenal sebagai abses tropik, karena disangka
hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata sangkaan tersebut
tidak benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia.
Terdapat terutama di negara tropik dan subtropik dengan sanitasi yang
masih buruk seperti India, Pakistan, Indonesia, Asia, Afrika dan Mexico. Tapi
dapat juga di Negara lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada kaum pria jika
dibandingkan dengan kaum wanita, dengan perbandingan 4 : 1. Lebih sering pada
orang-orang dewasa. Pada lebih kurang penderita amebiasis timbul komplikasi
pada hati. Menurut penelitian ADAM DAN HADI di Bagian Penyakit Dalam R.S.
Hasan Sadikin sejak januari 1974 sampai dengan Oktober 1975, hanya dirawat 6
penderita amebiasis hati. Tapi pada penelitian selanjutnya oleh

Lilis Khairani 029 Page


1
ABDURACHMAN DAN HADI dari Januari 1978 s/d Juni 1979, ditemukan 32
penderita yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ini kemungkinan
meningkatnya sarana diagnostik.

1.2 Masalah dan Pembatasan Masalah


Referat ini membahas tentang definisi, anatomi, histologi, fisiologi,
klasifikasi, epidemiologi, penyebab, faktor resiko, patogenesis, gejala dan
tanda, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, penegakan diagnosa,
penata laksanaan, preventif dan promotif, komplikasi, prognosa.
Dalam masalah yang dipaparkan dan pembatasannya amebic liver
abscess berupa sebagai berikut, yaitu :
1. Apakah definisi / pengertian dari amebic liver abscess?
2. Bagaimana pengklasifikasian dari amebic liver abscess?
3. Bagaimana epidemiologi dari amebic liver abscess?
4. Apakah penyebab dari amebic liver abscess ?
5. Apakah faktor pencetus / dan atau risk factor pada amebic liver abscess ?
6. Bagaimana patogenesis dari amebic liver abscess ?
7. Bagaimana patologi dari amebic liver abscess?
8. Bagaimanakah gejala dan tanda dari amebic liver abscess ?
9. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada amebic liver
abscess?
10. Bagaimana diagnosa banding dari amebic liver abscess ?
11. Bagaimana penegakkan diagnosa dari amebic liver abscess ?
12. Bagaimana penatalaksanaan amebic liver abscess ?
13. Bagaimana pencegahan (promotion and prevention) yang dapat dilakukan
pada amebic liver abscess ?
14. Apakah komplikasi yang mungkin terjadi pada Apakah pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada amebic liver abscess ?
15. Bagaimana prognosa dari amebic liver abscess ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam pemaparan kasus amebic liver abscess ini bertujuan sebagai
berikut, yaitu :
1. Mendeskripsikan dan Mengetahui definisi / pengertian dari amebic liver
abscess ?
2. Mendeskripsikan dan Mengetahui pengklasifikasian dari amebic liver
abscess ?
3. Mendeskripsikan dan Mengetahui epidemiologi dari amebic liver
abscess ?
4. Mendeskripsikan dan Mengetahui penyebab dari amebic liver abscess ?
5. Mendeskripsikan dan Mengetahui faktor pencetus / dan atau risk factor
pada amebic liver abscess ?
6. Mendeskripsikan dan Mengetahui patogenesis dari amebic liver abscess ?
7. Mendeskripsikan dan Mengetahui patologi dari amebic liver abscess ?
8. Mendeskripsikan dan Mengetahui gejala dan tanda dari amebic liver
abscess ?
9. Mendeskripsikan dan Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada amebic liver abscess ?
10. Mendeskripsikan dan Mengetahui diagnosa banding dari amebic liver
abscess ?
11. Mendeskripsikan dan Mengetahui penegakkan diagnosa dari amebic liver
abscess ?
12. Mendeskripsikan dan Mengetahui penatalaksanaan yang dapat dilakukan
pada amebic liver abscess ?
13. Mendeskripsikan dan Mengetahui cara pencegahan (promotion and
prevention) yang dapat dilakukan pada amebic liver abscess ?
14. Mendeskripsikan dan Mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada
amebic liver abscess ?
15. Mendeskripsikan dan Mengetahui prognosa dari amebic liver abscess ?

Thipo Ardini 028 Page


3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Amebiasis hati merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi oleh
entamoeba histolitika. Penyakit ini masih sering dijumpai terutama di negara
tropis. Dulu penyakit ini lebih dikenal sebagai abses tropik, karena disangka
hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata sangkaan tersebut
tidak benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia.(1)
Abses hati amebik merupakan komplikasi ekstra intestinal yang paling
sering terjadi sesudah infeksi E. histolytica yaitu pada 1-25% (rata-rata 1,8%)
penderita dengan amebiasis intestinalis klinis. E. histolytica didalam feses dapat
ditemukan dalam 2 bentuk yaitu bentuk vegetative atau trofozoit dan bentuk kista
yang dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia.(2)

ANATOMI DAN HISTOLOGI HATI


Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada
manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di
kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan.
Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah
diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava
inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan
terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan
bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan
duodenum sblh prox ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica,
v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut
membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria posterior ki-ka
:Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum
toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada
pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di
bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan
scr anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.

Secara Mikroskopis
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan
elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym
hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari
hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-
lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang
disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di
bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari
sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya
mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain
.Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan
sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-
lobuli Di tengah-tengah lobuli tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari
vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian

Thipo Ardini 028 Page


5
tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus
portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang v.porta,
A.hepatika, ductus biliaris.Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan
mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan
Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel
hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan
isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar , air keluar
dari saluran empedu menuju kandung empedu.
FISIOLOGI HATI
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fung hati yaitu :
1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari
usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen
lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen
menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut
glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama
glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa
monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa
mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida,
nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon
(3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).
2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES

Thipo Ardini 028 Page


7
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak
dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol .Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan
metabolisme lipid
3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam
amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-
bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk
plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea.Urea
merupakan end product metabolisme protein.∂ - globulin selain dibentuk di
dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang β – globulin hanya
dibentuk di dalam hati.albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM
66.000
4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi
adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang
beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya
dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk
pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
6. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai
macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.
7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.
8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam
a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan
hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari,
shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

Thipo Ardini 028 Page


9
2.2. Klasifikasi
Ada 2 klasifikasi Amoebic Liver Abscess (ALA) berdasarkan  durasi penyakit dan
beratnya: 
1. Akut
- akut jinak 
- Akut agresif 
2. Kronis
- kronis jinak 
- Kronis dipercepat 

Variants 
ALA biasanya terjadi di lobus kanan hati dan soliter (30% - 70%). presentasi yang
tidak biasa termasuk abses multipel, abses lobus kiri, abses penyajian sebagai lesi
tekan, dan abses robek ke jeroan. Ini adalah klinis penting karena sifat dapat
disembuhkan penyakit ini dan berpotensi fatal hasil dalam abses diobati.

Multiple liver abscesses: 15% dari pasien mungkin memiliki beberapa


abses. Mereka hadir dengan demam, toxaemia, dalam penyakit kuning, dan
ensefalopati. Toxaemia adalah sugestif dari infeksi bakteri ditambahkan mengarah
ke lebih parah penyakit. E.coli dan Klebseilla adalah umumnya organisme
budidaya. Dalam hal ini pasien dengan gambaran klinis tidak dapat dibedakan dari
hati karena kegagalan hepatoseluler ensefalopati akut. Ensefalopati hepatik pada
pasien mungkin ALA hasil dari kombinasi oklusi vena hati kanan, pylophlebitis,
dan oklusi pembuluh darah beberapa portal radicles10, 11. 

Left lobe abscess: 35% pasien datang dengan abses lobus kiri. Setengah ini
memiliki terkait lesi pada lobus kanan sementara sisanya telah soliter abscess12
lobus kiri. Pasien ini memiliki durasi yang lebih lama dari gejala (3-4 minggu)
dan demam kurang umum diamati dibandingkan dengan abses lobus
kanan. Mungkin hadir sebagai massa epigastrika besar dengan gerakan yang
minimal dengan respirasi. Sering kali, putus asa clinician's, telah bingung dengan
pseudokista pankreas. Pasien ini juga memiliki berat badan dengan lokalisasi hati
miskin gejala. Komplikasi seperti peritonitis dan toxaemia adalah secara

Thipo Ardini 028 Page


11
signifikan lebih sering terjadi pada abses lobus kiri. Jarum aspirasi mungkin lebih
menguntungkan dalam kombinasi dengan obat anti-amuba. Sebuah indeks
kecurigaan yang tinggi dan awal diagnosis yang penting bagi pengelolaan yang
baik.

Compression lesions: Sebuah posterior terletak di ALA lobus kanan dapat hadir


sebagai v. kava inferior obstruksi atau keluar obstruction13 hati. Ini disarankan
oleh pedal edema bilateral, ascites, terlihat pembuluh darah pada dinding
abdomen anterior dan posterior, sepanjang dengan fitur klinis, radiologi, dan
serologis dari ALA. Fitur-fitur ini menghilang setelah aspirasi dari abses.

Extension of the abscess: Kebocoran abses mungkinterjadi ke dalam rongga


pleura, dengan thoracis empiema. Rongga perut ekstensi berikut perforasi ke
rongga peritoneum biasanya berhubungan dengan terkejut dan peritonitis umum
dan dapat terjadi dalam upto 7% dari kasus. Pecah ke usus dan empedu pohon
juga telah dilaporkan. Koleksi subhepatic juga mungkin local dan berdinding
off. Namun presentasi seperti ini telah langka dan membentuk sejumlah kecil
kasus di setiap seri di ALA. Pola-pola klinis di atas telah dijelaskan lebih sering
dengan ketersediaan rutin USG dan tes serologis. Varian klinis penting karena
maknanya terapi dan prognosis dengan hasil yang terbaik terjadi pada pasien
dengan soliter abses.(4)

2.3. Epidemiologi

Insiden hati amebic yang pasti sukar diketahui dan laporan setiap penelitian
berbeda oleh karena tergantung populasi yang diambil dan cara penelitian.
Penelitian secara otopsi mengahasilkan angka yang lebih tinggi daripada secara
klinis yaitu antara 7,6%-84,4% (rata-rata 36,6%) sedangkan secara klinis 1-25%
(rata-rata 8,1%).(2)
Pria lebih sering menderita abses hati amebik dibanding wanita. Prevalensi
terbanyak ditemukan pada umur antara 30-50 tahun sedangkan di RS Hasan
Sadikin Bandung kejadian terbanyak pada decade 5 dan ke-6.

Kejadian penyakit ini lebih sering bila didapatkan pada daerah atau masyarakat
dengan sanitasi jelek, tingkat ekonomi rendah dan yang padat.

Terdapat terutama di negara tropik dan subtropik dengan sanitasi yang masih
buruk seperti India, Pakistan, Indonesia, Asia, Afrika dan Mexico. Tapi dapat juga
di Negara lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada kaum pria jika
dibandingkan dengan kaum wanita, dengan perbandingan 4 : 1. Lebih sering pada
orang-orang dewasa. Pada lebih kurang penderita amebiasis timbul komplikasi
pada hati. Menurut penelitian ADAM DAN HADI di Bagian Penyakit Dalam R.S.
Hasan Sadikin sejak januari 1974 sampai dengan Oktober 1975, hanya dirawat 6
penderita amebiasis hati. Tapi pada penelitian selanjutnya oleh
ABDURACHMAN DAN HADI dari Januari 1978 s/d Juni 1979, ditemukan 32
penderita yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ini kemungkinan
meningkatnya sarana diagnostik.(1)
Sekitar 10% dari populasi dunia terinfeksi Entamoeba, mayoritas dengan dispar
Entamoeba noninvasif. Amebiasis terjadi akibat infeksi dengan E. histolytica dan
merupakan penyebab paling umum ketiga kematian akibat penyakit parasit
(setelah schistosomiasis dan malaria).Spektrum luas penyakit klinis yang
disebabkan oleh Entamoeba ini disebabkan sebagian perbedaan antara kedua
spesies menginfeksi. Kista dari E. histolytica dan dispar E. secara morfologis
identik, tapi histolytica E. memiliki isoenzymes unik, antigen permukaan, spidol
DNA, dan sifat virulensi (Tabel 202-1). Kebanyakan operator tanpa gejala,
termasuk pria homoseksual dan pasien dengan AIDS, pelabuhan E. dispar dan
infeksi diri terbatas.Pengamatan ini menunjukkan bahwa dispar E. tidak mampu
menyebabkan penyakit invasif, sejak Cryptosporidium dan belli Isospora, yang
juga menyebabkan penyakit diri sendiri hanya terbatas pada orang
imunokompeten, menyebabkan diare parah pada pasien dengan AIDS.Namun,
faktor tuan rumah berperan serta. Dalam sebuah penelitian, 10% dari pasien

Thipo Ardini 028 Page


13
asimptomatik yang terjajah dengan E. histolytica melanjutkan untuk
mengembangkan kolitis amebic, sedangkan sisanya tetap asimtomatik dan
membersihkan infeksi dalam waktu 1 tahun.

Table 202-1 E. histolytica and E. dispar, Compared and Contrasted

Similarities 
1. Both species are spread through ingestion of infectious cysts.

2. Cysts of the two species are morphologically identical.

3. Both species colonize the large intestine.

Differences 
1. Only E. histolytica causes invasive disease.

2. Only E. histolytica infections elicit a positive amebic serology.

3. The two species have distinct rRNA sequences.

4. The two species have distinct surface antigens and isoenzyme markers.

5. Gal/GalNAc lectin can be used to differentiate the two species in stool


ELISA.

Note: ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay; Gal/GalNAc, galactose N-


acetylgalactosamine.

Wilayah insiden tertinggi (karena sanitasi yang tidak memadai, dan padat)
termasuk negara yang paling berkembang di daerah tropis, terutama Meksiko,
India, dan bangsa Amerika Tengah dan Selatan, Asia tropis, dan Afrika. Dalam
studi tindak lanjut 4-tahun anak-anak prasekolah di daerah endemik tinggi
Bangladesh, 80% anak memiliki paling sedikit satu episode infeksi dengan E.
histolytica dan 53% memiliki lebih dari satu episode. Tentu kekebalan yang
diperoleh tidak berkembang namun biasanya berumur pendek dan berkorelasi
dengan kehadiran di bangku sekresi antibodi IgA ke kepatuhan lektin
asetilgalaktosamin galaktosa utama N-(Gal / GalNAc). Kelompok-kelompok
utama di amebiasis risiko di negara maju dikembalikan pelancong, imigran baru,
pria homoseksual, dan narapidana lembaga.
2.4. Penyebab
Entamoeba Histolytica masih tetap merupakan salah satu parasit protozoa
yang paling penting bagi manusia. Amebiasis ditemukan secara endemik di
banyak negara Tropik seperti Afrika, Timur jauh, Asia, Amerika Latin dan
Amerika Utara bagian selatan.
Abses hati amebik merupakan komplikasi ekstra intestinal yang paling
sering terjadi sesudah infeksi E. histolytica yaitu pada 1-25% (rata-rata 1,8%)
penderita dengan amebiasis intestinalis klinis. E. histolytica didalam feses dapat
ditemukan dalam 2 bentuk yaitu bentuk vegetative atau trofozoit dan bentuk kista
yang dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia.
Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap suasana kering
dan suasana asam. Bentuk trofozoit ada berukuran kecil (yaitu 10-20 mikron) dan
berukuran besar (yaitu 20-60 mikron). Bentuk trofozoit ini akan mati dalam
suasana kering dan suasana asam. Trofozoid besar sangat aktif bergerak, mampu
memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan
mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Entamoeba histolitika mempunyai 3 bentuk yaitu: bentuk minuta, bentuk
kista, dan bentuk aktif (vegetative). Bentuk katif menembus dinding usus untuk
membentuk ulkus. Lokalisasi ulkus amebika biasanya di Soekum. Parasit tersebut
merusak jaringan dengan cara sitolitik dan terdapat kemungkinan pembuluh darah
juga terkena, sehingga dapat menimbulkan perdarahan. Adanya erosi di vena
dapat menyebabkan terjadinya penyebaran parasit melalui vena portal dan masuk
ke hati, terutama di lobus kanan dan terjadi hepatitis amebika.
Jarak waktu serangan di intestinal dengan timbulnya kelainan di hati
berbeda-beda. Bentuk yang akut dapat memakan waktu kurang dari 3 minggu.
Tetapi bentuk yang kronis lebih dari 6 bulan, bahkan mungkin sampai 57 tahun.
Oleh karena itu penderita intestinal amebiasis tidak luput dari kemungkinan
menderita abses hepatis amebika.

Thipo Ardini 028 Page


15
Siklus Hidup dan Transmisi 

E. histolytica diperoleh oleh kista fecally yang terkontaminasi konsumsi,


makanan, air atau tangan. Makanan-ditanggung eksposur paling lazim dan sangat
mungkin ketika penangan makanan penumpahan kista atau makanan yang sedang
tumbuh dengan kotoran yang terkontaminasi tanah, pupuk, atau air. Selain minum
air yang tercemar, berarti kurang umum transmisi termasuk praktek seksual oral
dan dubur dan dubur di inokulasi langka contoh-langsung melalui perangkat
irigasi kolon. trophozoites motil dilepaskan dari kista di usus kecil dan, pada
kebanyakan pasien, tetap sebagai commensals berbahaya dalam usus besar.
Setelah encystation, kista menular di bangku gudang dan dapat bertahan selama
beberapa minggu di lingkungan lembab. Pada beberapa pasien, baik trophozoites
menyerang mukosa usus, kolitis menyebabkan gejala, atau aliran darah,
menyebabkan abses jauh dari hati, paru-paru, atau otak. The trophozoites tidak
mungkin encyst pada pasien dengan disentri aktif, dan trophozoites
hematophagous motil sering hadir dalam tinja segar. Trophozoites dengan cepat
dibunuh oleh paparan udara atau asam lambung, bagaimanapun, dan karena itu
tidak dapat menularkan infeksi. 
Table e16-3 Protozoal Infections

    Life-Cycle Hosts Diagnosis


Parasite Geogra Intermed Defini Parasit Body Serolog Other
phic iate tive e Stage Fluid ic Tests
Distrib (Transmi or
ution ssion) Tissue
Intestinal Protozoans
Entamoeba Worldw Fecal- Huma Troph, Feces, EIA, Ultrasound,
histolytica ide, oral ns cyst liver antigen liver CT,
(amebiasis)  especial detectio PCR
ly n
tropics
Giardia Worldw Fecal- Huma Troph, Feces Antigen String test,
lamblia ide oral ns cyst detectio DFA, PCR
(giardiasis)  n
Isospora Worldw Fecal- Huma Oocyst Feces — Acid-fasta
belli ide oral ns  
Cryptospor Worldw Fecal- Huma Oocyst Feces Antigen Acid-fast,a
idium  ide oral ns, detectio DFA,
other n biopsy,
anima PCR
ls
Cyclospora Worldw Fecal- Huma Oocyst Feces — Acid-fast,a
cayetanens ide? oral ns, modified
is other safranin,
anima autofluoresc
ls? ence,
biopsy,
PCR
Microspori Worldw ? Anim Spore Feces — Modified
dium ide? als, trichrome,
(Enterocyt huma acid-fast,a
ozoon ns biopsy,
bieneusi, PCR
Encephalit
ozoon spp.)
(microspori
diosis) 
Free-Living Amebas
Naegleria Worldw Warm Huma Troph, CNS, DFA Biopsy,
ide water ns cyst nares nasal swab,
culture
Acanthamo Worldw Soil, Huma Troph, CNS, DFA Biopsy,
eba ide water ns cyst skin, scrapings,
cornea culture
Blood and Tissue Protozoans
Plasmodiu Subtrop Mosquito Huma Asexua Blood Limited PCR
m spp. ics and es ns l use
(malaria)  tropics

Thipo Ardini 028 Page


17
Babesia U.S., Ticks Roden Asexua Blood IIF Animal spp.
microti especial ts, l in asplenia,
(babesiosis ly New huma PCR
) Englan ns
d
Trypanoso Sub- Tsetse Huma Tryp Blood, IIFb Also
ma Saharan flies ns, CSF   chancre,
rhodesiens East herbiv lymph
e (African Africa ores nodes
sleeping
sickness)
T. Sub- Tsetse Huma Tryp Blood, Card Also
gambiense Saharan flies ns, CSF agglutin chancre,
(African West swine ation, lymph
sleeping Africa IIF b, c nodes
sickness)  
T. cruzi Mexico Reduviid Huma Amasti Multipl IIF, EIA Reactivatio
(Chagas' bugs ns, gote, e n in
disease)  (triatome dogs, tryp organs/ immunosup
South s) wild blood pression
Americ anima
a ls
Leishmania Widesp Sandflies Huma Amasti Skin IFA, Biopsy,
tropica, read in (Phleboto ns, gote EIAd  scrapings,
etc. tropics mus) dogs, culture
and rodent
subtropi s
cs
L. Mexico Sandflies Huma Amasti Skin, IFAb, Biopsy,
braziliensis (Lutzomy ns, gote mucous EIA scrapings,
(mucocutan ia) dogs, membra   culture
eous) South rodent nes
Americ s
a
L. Widesp Sandflies Huma Amasti RE IFAb, Biopsy,
donovani read in (Phleboto ns, gote system EIA culture,
(kala-azar) tropics mus)  dogs, PCR
and wild
subtropi anima
cs ls
Toxoplasm Worldw Humans, Cats Cyst, CNS, EIA, IIF PCR
a gondii ide other troph eye,
(toxoplasm mammals muscles
osis) , other
a
Acid-fastness is best demonstrated by auramine fluorescence or modified acid-fast stain.

b
Contact the CDC at 770-488-7760.

c
Card agglutination is provided to endemic countries by the World Health Organization.

d
Limited specificity; most sensitive for L. donovani.

Note: troph, trophozoite; tryp, trypomastigote form; IIF, indirect immunofluorescence; RE,
reticuloendothelial; PCR, polymerase chain reaction; EIA, enzyme immunoassay; CNS, central
nervous system; IFA, indirect fluorescent antibody; CSF, cerebrospinal fluid; DFA, direct
fluorescent antibody.

2.5. Faktor Resiko

1. Negara tropik dan subtropik dengan sanitasi yang masih buruk seperti
India, Pakistan, Indonesia, Asia, Afrika dan Mexico.

2. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada kaum pria jika dibandingkan
dengan kaum wanita, dengan perbandingan 4 : 1. Lebih sering pada orang-
orang dewasa.

2.6. Patogenesis

Cara penularan pada umumnya fekaloral baik melalui makanan atau


minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan hygiene
perorangan yang buruk. Pada kelompok homoseksual disebutkan insidens
amebiasis lebih tinggi dikaitkan dengan masalah hubungan oral-anal atau oro-
genital yang dilanjutkan dengan genito-oral. Sesudah bentuk oral hanya bentuk
kista yang bisa sampai ke dalam intestine tanpa dirusak oleh asam lambung,
kemudian kista pecah keluar trofozoit. Di dalam usus trofozoit menyebabkan
terjadinya ulkus pada mukosa akibat enzim proteolitik yang dimilikinya, dan bisa

Thipo Ardini 028 Page


19
terbawa aliran darah portal dan masuk ke hepar. Ameba kemudian tersangkut
menyumbat venul porta intrahepatik, terjadi infark hepatosit sedangkan enzin-
enzim proteolitik tadi mencerna sel parenkim hati sehingga kemudian terbentuk
abses. Di daerah sentralnya terjadi pencairan yang berwarna coklat kemerahan
“anchovy sause” yang terdiri dari jaringan hati yang nekrotik dan berdegenerasi.
Amebanya dapat ditemukan pada dinding abses dan sangat jarang ditemukan di
dalam cairan di bagian sentral abses. Kira-kira 25% abses hati amebic mengalami
infeksi sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau busuk.
Sampai sekarang masih belum jelas mengapa ada periode laten yaitu jarak
waktu yang lamanya bervariasi kadang-kadang sampai bertahun-tahun di antara
kejadiaan infeksi pada usus dengan timbulnya abses hati. Disamping itu hanya
lebih kurang 10% penderita abses hati yang dapat ditemukan adanya kista E.
histolytica dalam tinjanya pada waktu yang bersamaan, bahkan dilaporkan 2-33%.
Factor yang berperan dalam keaktifan invasi ameba ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin ada kaitannya dengan virulensi parasit, diit, flora bakteri usus
dan daya tahan tubuh seseorang baik humoral maupun seluler.
Patogenesis amoebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti. Cara penularan pada
umumnya fekal-oral baik melalui makanan atau minuman yang tercemar kista atau
transmisi langsung pada keadaan hygiene perorangan yang buruk.

Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi
parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi
parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan
penurunan imunitas cell-mediated.

Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme :


1. Strain E. histolytica ada yang patogen dan non-patogen
2. Secara genetic E. histolytica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung
pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran
cerna terutama kepada flora bakteri.

Mekanisme terjadinya amoebiasis hati :


1. penempelan E. histolytica pada mukosa usus.
2. pengrusakan sawar intestinal
3. lisis sel epitelintestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun
cell-mediated yang disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat
karena penyakit tuberculosis, malnutrisi, keganasan, dll.
4. penyebarab amoeba ke hati. Penyebaran amoeba dari usus ke hati sebagian
besar melalui v.porta. terjadi proses akumulasio neutrofil periportal yang
disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan
granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini
dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amoebiasis hati ini dapat
terjadi bebulan atau tahun setelah terjadinya amoebiasis intestinal dan
sekitar 50% amoebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri
amoebiasis.

2.7 Patologi
Abses hati amebic biasanya terletak di lobus superoanterior. Besarnya
abses bevariasi dari beberapa sentimeter sampai abses besar sekali yang
mengandung beberapa liter pus. Abses dapat tunggal (soliter) ataupun ganda
(multiple). Walaupun ameba berasal dari usus, kebanyakan kasus abses hati
amebic tidak menunjukkan adanya amebiasis usus pada saat bersamaan, jadi ada
infeksi usus lama bertahun-tahun sebelum infeksi menyebar ke hati.
Istilah hepatitis amebic tidak tepat untuk terus dipertahankan dan dipakai
karena secara histologik jaringan hati sekitar abses tetap normal. Sejak awal
penyakit, lesi ameba didalam hepar tidak pernah difus melainkan proses local.
Proses hepatolitik tetap asimtomatik dan gejala-gejala akan muncul jika daerah ini
meluas membentuk suatu abses yang lebih besar. Lesi kecil akan sembuh dengan
pembentukan jaringan parut, sedangkan pada dinding abses besar akan ditemukan
fibrosis. Jarang terjadi klasifikasi, dan amebiasis tidak pernah menjadi sirosis hati.
Hati biasanya membesar, tergantung pada besarnya abses. Lokalisasi yang
sering ialah di lobus kanan. Abses di lobus kiri jarang terdapat hanya kurang lebih
15%, lebih kurang 70% bersifat soliter dan 30% multipel. Cairan abses biasanya
kental berwarna coklat susu, yang terdiri dari jaringan rusak dan darah yang

Thipo Ardini 028 Page


21
mengalami hemolis. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya
penyakit. Abses yang lama dan besar berdinding tebal.

2.8. Gejala dan Tanda

Riwayat Penyakit
Cara timbulnya abses hati amebic biasanya tidak akut, menyusup yaitu
terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir pada seluruh
kasus yaitu pada 92-96,8%. Terdapat rasa sakit diperut atas pada 97,75-96% yang
sifat sakit berupa perasaan ditekan atau seperti ditusuk. Rasa sakit akan bertambah
bila penderita berubah posisi atau batuk. Penderita merasa lebih enak bila
berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu dapat pula terjadi
sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila abses terletak dekat diafragma dan
sakit di epigastrium bila absesnya di lobus kiri.
Anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat
badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan.
Batuk dan gejala iritasi pada diafragma seperti cegukakan (“hiccup”) bisa
ditemukan walaupun tidak ada rupture abses melalui diafragma. Diare dengan
atau tanpa terbukti colitis amebic, terjadi pada kurang dari 20%. Kegagalan faal
hati fulminan sekunder terhadap abses, merupakan keadaan yang sangat jarang
terjadi.
Pada bentuk akut gejalanya lebih nyata, dan biasanya timbul dalam masa
kurang dari 3 minggu. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut
kanan atas. Rasa nyeri terasa ditusuk-tusuk dan tersa panas, demikian nyerinya
sampai perut di pegang, terutama kalau berjalan sampai membungkuk ke depan
kanan. dapat juga timbul rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin
disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada kahirnya dapat timbul
gejala pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul pada abses hepatis
jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke
punggung atau scapula kanan. Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul
batuk-batuk. Keadaaan serupa ini dapat timbul pada waktu timbul perforasi abses
hepatis ke paru-paru. Batuk disertai dengan sputum berwarna coklat susu.
Sebagian penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat diagnose yang
dibuat.
Pada pemeriksaan dapat dijumpai penderita tampaka kesakitan. Kalau
jalan membungkuk ke depan kanan sambil memegang perut kakan atas yang sakit.
Badan teraba panas. Hati membesar dan bengkak. Pada tempat abses teraba
lembek dan nyeri tekan. Di bagian yang di tekan dengan satu jari terasa nyeri,
berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari
mudah diketahui terutama bila letaknya di intercostals bawah lateral. Ini
menunjukan bahwa tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas abses hepatis.
Lokalisasi abses terbanyak ialah di lobus kanan, jarang di lobus kiri. Batas paru-
paru hati meninggi. Ikterus jarang sekali ditemukan.

2.9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan tinja jarang sekali ditemukan ameba. Menurut beberapa
kepustakaan ditemukan sekitar 4-40%. Ditemukannya ameba dalam tinja, akan
banyak membantu diagnosis. Walaupun demikian pemeriksaan tinja harus
dilakukan berulang kali.
Jumlah leukosit meninggi sekitar 10-20 ribu / mm 3. Pada bentuk akut
sering jumlah leukosit melebihi 16.000/mm3, sedang pada bentuk kronik terdapat
sekitar 13.000/mm3.
Tes seroamuba positif, tes faal hati menunjukkan batas-batas normal. Pada
keadaan yang berat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit
peninggian kadar globulin, dengan protein total dalam batas-batas normal. Pada
keadaan memberat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit
peninggian kadar globulin, dengan protein total dalam batas-batas normal. Setelah
penyakitnay sembuh, segera nasehati segera normal.
Pemeriksaan serologic sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
dengan sensitivitas 91-93% dan spesifisitas 94-99%. Pemeriksaan serologic
positif berarti sedang atau pernah terjadi amebisis invasive. Didaerah endemic

Thipo Ardini 028 Page


23
amebiasis, seorang tanpa sedang menderita amebiasis invasive sering memberikan
reaksi serologic positif akibat antibody yang terbentuk pada infeksi sebelumnya.
Oleh Karena itu pemeriksaan kuantitatif tidak bernilai dalam diagnostic. Titer
diatas 1/512 (positif kuat) secara IHA menyokong adanya abses amebic.
Sebaliknya abses stadium awal bisa memberikan serologic negative.
Cara pemeriksaan yang cukup sensitive ialah IHA dan yang paling
sensitive ialah cara ELIZA.
Pemeriksaan parasit E.histolytica dilakukan pada isi abses atau cairan
aspirasi lainnya, biopsy abses tinja, atau biaopsi kolonoscopy/ zygmoidoscopy
dengan hasil positif ditemukan pada kurang dari 1/3 penderita.

Pemeriksaan Rontgen
Pada sinar tembus toraks tampak diafragma kanan meninggi dengan
gerakan terbatas. Dan mungkin ada efusi pleura. Pada foto thoraks bisa didapatkan
pula kelainan lain seperti corakan bronkovaskuler paru kanan bawah bertambah,
infiltrate, atelektasis, garis adesi tegak lurus dari difragma ke paru-paru. Abses
paling sering di bagian superoanterior hepar sehingga tampak ada kubah di bagian
anteromedial diafragma kanan.
Abses di lobus kiri memberikan gambaran deformitas berbentuk bulan
sabit di daerah curvatura minor pada foto memakai bubuk barium. Secara
angiografi abses pembuluh disekelilingnya yang berdistorsi dan
hipervaskulerisasi.
Thipo Ardini 028 Page
25
Ultrasonogerafi (USG)
Ultrasonografi (USG) termasuk salah satu sarana diagnostik tidak
invasive, mudah dan aman penggunaannya, dapat dilakukan setiap saat adalah
biasa digunakan untuk menditeksi abses hati. Wang dan kawan-kawan (1964)
meneliti 218 penderita abses hati secara USG, dan dibuktikan dengan fungsi pada
154 penderita, laparatomi 50 penderita, seorang pada otopsi, dari 13 penderita
lainnya berhasil baik dengan pengobatan saja. Vcary dan kawan-kawan (1977)
telah melakukan UGS pada 8 penderita dengan abses hati. Penulis sendiri (1986)
meneliti 59 penderita abses hati amubik selama 4 tahun di lobus kanan, 8 di lobus
kiri dan 6 letaknya di kedua lobi. Disamping itu ditemukan abses tunggal pada 55
penderita, dan abses ganda pada 4 penderita (2 terletak di lobus kanan saja dan 2
terletak pada kedua lobi). USG selain dapat menentukan letak abses, juga dapat
menentukan diameter nya. Pada penelitian ini ditemukan diameter terkecil yaitu
kurang dari 3 cm pada 10 penderita, 15 penderita dengan diameter antara 3-5cm,
28 penderita dengan diameter 5-15 cm, dan dengan diameter lebih dari 15 cm
ditemukan pada 6 penderita.

Gambaran USG dari abses hati umumnya memperlihatkan suatu lesi bebas
gema yang bulat atau oval berdinding ireguler. Jadi lesi ini termasuk suatu bentuk
massa kistik. Bedanya hanya di dalam daerah lesi ditemukan butir-butir gema
internal yang kasar tersebar terutama di dasar. Pada peninggian intensitas
gelombang suara atau gain, batas lesi makin tegas, dan gema internal makin jelas
dalam daerah bebas gema. Pada dinding distal tampak peninggian densitas gema
yang disebut distal enhancement.

Cara ini digunakan rutin untuk diagnostic, penuntun aspirasi dan


pemantauan hasil terapi. Dengan USG dapat dibedakan lesi padat dan kistik, dan
dapat dievaluasi sifat cairan abses. Hal ini merupakan kelebihan USG
dibandingkan dengan sidik hati memakai radioisotop. Hasil positif palsu kira-kira
5% misalnya pada kista, tumor dengan nekrosis sentral, hematoma tau abses
piogen. Abses ameba dengan infeksi sekunder bisa memberikan hasil negative
palsu. Gambaran USG yang sangat mencurigakan abses hati amebic ialah:

Thipo Ardini 028 Page


27
a. Lesi hipoekoik pada “gain” normal maupun ditinggikan dan pada gain
tinggi jelas tampak eko halus homogeny tersebar rata.
b. Lesi berbentuk bulat oval, pada abses hepar tampak lobulasi, tidak
berdinding, terletak dekat permukaan hati.
c. Terdapat peninggi pada eko pada bagian distal abses.

Gambaran USG yang khas dan lengkap seperti kriteria diatas hanya
ditemukan yaitu pada 37,8% kasus saja sedang di RSHS kami mendapatkannya
pada 41,67%.

Pemeriksaan sidik hati


Dengan cara ini sifat struktur lesi tidak dapat dibedakan, karena itu
dianjurkan kombinasi sidik hati dan USG untuk meningkatkan sensitivitas
amebic. Lesi abses hati akan tampak kosong (“filling defect”) pada sidik hati
memakai radio koloid113m, indium99m, technetium atau 198m
Au dan bila dilanjutkan
113m
dengan sidik hati memakai “blood fool isotop” misalnya indium transferin
akan menunjukkan lesi yang akan tetap kosong dan sekitar lesi ada gambaran
“halo” akibat sifat hipervaskulerisasi18,19. Keuntungan sidik hati ialah mampu
menditeksi abses pada stadium dini diamana aktivitas sel kuppler sudah terganggu
dan sudah terjadi gangguan penangkapan isotop19.

Pemeriksaan tomografi dengan computer


Merupakna car a terbaik untuk melihat gambaran abses terutama abses
yang multiple atau letaknya posterior. Sensitivitas adalah 98% dan dapat
mendeteksi lesi berukuran 5mm12. Dibandingkan USG, pemeriksaan dengan cara
ini biayanya mahal.
2.10. Diagnosis Banding

Penyakit amebiasis hati perlu dibedakan dengan penyakit hati lainnya,


penyakit paru-paru dan penyakit infeksi sistemik.
a. Pada hepatitis infeksiosa dapat timbul kenaikan suhu badan, tetapi
biasanya rendah dan tidak ada lekositosis. Tidak dijumpai hepatomegali
dan tanda Ludwig negative. Diafragma kanan tak meninggi. Tes faal hati
menunjukkan hati terganggu.
b. Penyakit paru-paru misalnya pneumonia dan empyema kanan perlu
dibedakan dengan amebic abses hati, karena keluhan yang timbul dapat
serupa. Pada penyakit paru-paru tersebut di atas tidak dijumpai
hepatomegali, dan tidak ada peninggian diafragma kanan.
c. Abses hati piogenik perlu dibedakan dengan amebic abses hati. Pada abses
piogenik biasanya ditemukan leukositosis yang hebat, dan tidak ditemukan
kuman ameba histolitika. Pengobatan dengan anti amebika tidak
menunjukkan perbaikan.

2.11. Penegakan Diagnosa

Anamnesa

1. Hati yang membesar dan nyeri.


2. Leukositosis. Tanpa anemia pada penderita abses amebik yang akut, atau
abses tipe kronik.
3. Adanya “pus amebic” yang mungkin mengandung tropozoit E.histolytica.
4. Pemeriksaan serologic terhadap E.histolytica positif.
5. Gambaran radiologi yang mencurigakan, terutama pada foto toraks
posteroanterior dan lateral kanan.
6. Adanya “filling defect” pada sidik hati.
7. Respon yang baik terhadap terapi metronidazol.

Thipo Ardini 028 Page


29
Gambaran seseorang dengan amebic abses hati, ialah adanya rasa nyeri
diperut terutama hipokondrium kanan, disertai dengan kenaikan suhu badan.
Kalau jalan membungkuk ke depan kanan sambil memegang bagian yang sakit,
ada tanda hepatomegali dan tanda Ludwig positif. Sebelum keluhan diatas timbul,
didahului dengan diare berdarah dan berlendir. Pada pemeriksaan sinar tembus
terlihat diafragma kanan meninggi dan tidak bergerak. Gambaran darah
menunjukkan leukositosis. Tes seroameba positif. Bila pada pemeriksaan tinja
ditemukan ameba histolitika, maka akan tampak suatu daerah pengosongan.
Hasil pemeriksaan USG tampak jekas suatu massa kistik bentuk oval atau
bulat yang irregular, terisi gema internal. Bila dilakukan pungsi, keluar cairan
coklat susu.

Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya tidak begitu tinggi kurva suhu bisa intermiten atau
remiten. Lebih dari 90% didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati
akan membesar kearah caudal dan cranial dan mungkin mendesak kea rah perut
atau ruang intercostals. Pada perkusi di atas daerah hepar akan terasa nyeri.
Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa juga agak keras seperti keganasan. Abses
yang besar tampak sebagai massa yang membenjol di daerah dada kanan bawah.
Pada kurang dari 10% abses terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat seperti
massa yang teraba nyeri di daerah epigastrium.
Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila ikterus hebat
biasanya disebabkan abses yang besar atau multiple, toraks di daerah kanan
bawah mungkin di dapatkan adanya efusi pleura atau “friction rub” dari pleura
yang disebabkan oleh iritasi pleura.
Gambaran klinik abses hati amebic mempunyai spectrum yang luas dan
sangat bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan
penyulit yang terjadi. Pada penderita gambaran bisa berubah setiap saat. Dikenal
gambaran klasik dan tidak klasik.
- Pada gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan
nyeri perut kanan atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan
hepatomegali yang nyeri. Gambaran klasik didapatkan pada 54-70%
kasus.
- Pada gambaran klinik tidak klasik ditemukan pada penderita ini gambaran
klinik klasik seperti di atas tidak ada. Ini disebabkan letak abses pada
bagian hati yang tertentu memberikan manifestasi klinik yang menutupi
gambaran yang klasik.

Gambaran klinik tidak klasik dapat berupa:


1. Benjolan didalam perut, seperti buakn kelainan hati misalnya diduga
empyema kandung empedu atau tumor pancreas.
2. Gejala renal.
Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa yang diduga
ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobus
kanan hati.
3. Ikterus obstruktif.
Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak di dekat porta
hapatis.
4. Colitis akut.
Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik
absesnya sendiri.
5. Gejala kardiak.
Rupture abses kerongga pericardium memberikan gambaran klinik efusi
pericardial.
6. Gejala pleuropulmonal.
Penyulit yang terjadi berupa empyema toraks atau abses paru menutupi
gambaran klasik abses hatinya.
7. Abdomen akut.
Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga
peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang
berkurang.
8. Gambaran abses yang tersembunyi.
Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri, ditemukan pada 1.5%.
9. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.

Thipo Ardini 028 Page


31
Secara klinik sering dikacaukan dengan tifus abdominalis atau malaria. Biasanya
ditemukan pada bases yang terletak disentral dan yang dalam hati. Ditemukan
pada 3,6% kasus.

2.12. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Pada prinsipnya pengobatan secara medikamentosa terdiri dari


pemberian amebisid jaringan untuk mengobati kelainan di hatinya, disusul
amebisid intestinal untuk memberantas parasit E.histolytica didalam usus
sehingga dicegah kambuhnya abses hati. Perlu diperhatikan pemberian
amebisid yang adekuat untuk mencegah timbulnya resistensi parasit.
Sebagai amebisid jaringan, metronidazol saat ini merupakan
pilihan utama dengan dosis 3x750 mg/hari selama 10 hari. Sebagai pilhan
kedua adalah kombinasi emetin-hidroklorida atau dehidroemetin, dengan
kloroquin. Baik emetin maupun dehidroemetin merupakan amebisid
jaringan yang sangat kuat, didapatkan dalam kadar tinggi di hati, jantung
dan organ lain. Obat ini tidak bisa sebagai amebisid intestinal, kurang
sering dipakai oleh karena efek sampingnya, biasanya baru digunakan
pada keadaan yang berat. Obat ini toksik terhadap otot jantung dan uterus
karena itu tidak boleh diberikan pada penderita penyakit jantung (kecuali
perikarditis amebic) dan wanita hamil. Dosis yang diberikan 1 mg
emetin/kg BB selama 7-10 hari atau 1,5 mg dehidroemetin/kg BB selama
10 hari intramuskuler. Dehidroemetin kurang toksik disbanding dengan
emetin.
Amebisid jaringan yang lain ialah kloroquin yang mempunyai nilai
kuratif sama dengan emetin hanya pemberian membutuhkan waktu lama.
Kadar yang tinggi didapat pada hati, paru dan ginjal. Efek samping
sesudah pemakaian lama ialah retinopati. Dosis yang diberikan 600mg
kloroquin basah, lalu 6 jam kemudian 300mg dan selanjutnya
2x150mg/hari selama 28 hari, adapula yang memberikan kloroquin 1gram/
hari selama 2 hari, diteruskan 500mg/hari sampai 21 hari.
Sebagai amebisid intestinal bisa dipakai diloksanid furoat selama
3x500mg/hari selama 10 hari atau diiodohidroxiquin 3x600mg/hari selama
21 hari atau klefamid 3x500mg/hari selama 10 hari.
Setiap penderita yang diduga menderita amebiasis hati sebaiknya
dirawat dirumah sakit da dianjurkan untuk istirahat. Pengobatan yang
dianjurkan ialah:
1. Dehidroemetin (D.H.E), suatu derivate sintetik dari emetin, yang dianggap
kurang toksik dan mempunyai aktivitas yang hamper sama dengan emetin.
D.H.E dapat diberikan per os ataupun parenteral dengan dosis 1-11/2 mg/kg
BB/hari (maksimum 60-80mg/hari) selama paling lama 10 hari. Walaupun
pengaruh toksiknya kurang dibandingkan dengan emetin , tetap dianjurkan
agar pemberiannya diawasi dengan pemeriksaan ECG. Bila D.H.E tidak
ada dapat dipakai emetin hidrokloride, yang sangat efektif terhadap
bentuk-bentuk vegetative dari ameba, baik intra intestinal maupun ekstra
intestinal. Dosis yang dianjurkan ialah 1 mg/kg BB/hari dengan dosis
maksimal 60mg sehari dan hanya diberikan parenteral selama 3-5 hari.
Pemakaian obat ini betul-betul harus diawasi karena sifatnya sangat toksik
terhadap sel protoplasma, terutama terhadap sel otot. Oleh karena itu
pemberian dalam jangka lama, dihawatirkan berpengaruh buruk terhadap
otot jantung. Setiap penderita yang diberikan pengobatan dengan emetin
sebaiknya dianjurkan beristirahat di tempat tidur dan harus diawasi dengan
pemeriksaan EKG. Dan terhadap penderita penyakit jantung, penderita
yang berusia lanjut, wanita hamil, keadaan umum jelek, polineritis,
sebaiknya tidak diberikan obat ini.
2. Chloroquin, ialah suatu senyawa aktif dari 4 quinolin. Obat ini menurut
COMAN (1948) sangat efektif untuk mengobati amebiasis hati, walaupun
efeknya agak kurang bila dibandingkan dengan ametin. Dosis yang
dianjurkan ialah 2x500mg/hari selama 2 hari pertama, kemudian
dilanjutkan 1x500mg atau 2x250mg/ hari selama 3 minggu. Walaupun
obat ini diberikan dalam jangka waktu lama, tidak menunjukkan tanda-

Thipo Ardini 028 Page


33
tanda toksis. Sebaiknya pemberian chloroquin diberikan bersama-sama
dengan D.H.E atau emetin, yang berdasarkan pengalaman ternyata
memberikan hasil yang sangat baik.
3. Metronidazole merupakan derivate dari nitromidazole, telah dicoba untuk
mengobati amebiasi hati dengan hasil yang memuaskan. Bila ada kontra
indikasi terhadap pemberian emetin, maka dianjurkan untuk memberikan
metronidazole dengan dosis 3x500mg selama 10 hari.
4. Setelah selesai pengobatan abses hati, dianjurkan untuk memberikan juga
obat-obat amebicidal intestinal untuk mengobati intestinal amebiasis yang
mungkin menyertainya. Menurut SPELLBERG, colon harus betul-betul
bebas dari ameba histolitika untuk menghindari kembali amebiasis hati.

Obat-obatan yang dianjurkan diantaranya ialah:


a. Iodo-oxiquinolin misalnya:
- Diodoquin (diiodo-hydroxyquinoline dengan dosis 3-4x 0,20gr/8 jam
selama 20 hari, atau
- Iodo-chlorhydroxyquinoline (enterovioform) dengan dosis 3x250-500
mg/hari.
b. Carbarsone (Carbaminophenyl – arsenic acid) dengan dosis 2x250mg/hari
selama 10 hari.
c. Tetracycline dapat diberikan dengan dosis 500 mg tiap 6 jam selama 10
hari. Obat ini dapat membunuh Entamoeba histolitika di intestinal.

Ada 2 macam skema kombinasi pengobatan yang dianjurkan oleh ZUIDEMA,


ialah:
1. Emetine Flagyl Clioquinal
60 mg/hari 3x750 mh/hari 3x1 tablet

7 hari 5 hari 10 hari

2. Flagyl Resochin

4x250 2x250
3x750 mg/hari
2 hari 19 hari

5 hari 21 hari 10 hari


2. Tindakan aspirasi terapeutik
Indikasi:
1. Abses yang dikhawatirkan akan pecah
2. Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
3. Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga
pericardium atau peritoneum.

Yang paling mudah dan aman, aspirasi dilakukan dengan tuntunan


USG. Bila sarana USG tidak tersedia dapat dikerjakan aspirasi secara
membuta pada daerah hati atau toraks bawah yang paling menonjol atau
daerah yang paling nyeri pada palpasi.
Ada beberapa ketentuan untuk melakukan aspirasi dari abses hati,
diantaranya ialah:
1. Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut
diatas tidak berhasil, dalam arti kata masih membesar, semua keluhan
masih ada yaitu; masih terdapat peninggian suhu badan, nyeri perut
kanan atas, tanda Ludwig positif, dan lain-lain gejala.
2. Pada pemeriksaan USG ditemukan abses hati dengan diameter lebih
dari 5 cm.
3. Bila ditemukan abses ganda, dengan diameter lebih dari 3 cm.

Aspirasi sebaiknya dilakukan di ruangan khusus, dalam keadaan


aseptic, untuk mencegah kontaminasi. Pada abses ganda, dilakukan
aspirasi di tempat abses yang paling besar. Bila tersedia alat USG, lebih
baik dilakukan biopsi secara terpimpin, agar dapat lebih terarah dan dapat
dikeluarkan semua cairan abses. Bila tidak terdapat alat USG dapat
dilakukan biopsy secara membuta. Lokalisasi aspirasi membuta ialah di
tempat yang paling lembek dan paling nyeri. Jarum yang dipakai ialah
jarum panjang dengan diameter kira-kira 1-2 cm, dan didahului dengan
anastesi local di tempat insersi jarum. Cairan berwarna coklat susu
(anchovy sauce pus) harus dikeluarkan sampai habis, dan dihentikan bila
penderita merasa kesakitan karena tertusuknya jaringan parenkim hati.

Thipo Ardini 028 Page


35
Setelah aspirasi harus diberikan pengobatan medikamentosa seperti
tersebut di atas.
Aspirasi sirurgis dianjurkan terhadap abses ganda yang sulit
dilakukan aspirasi biasa, atau bila secara USG ditemukan diameter abses
lebih dari 15 cm, atau bila letak abses dikhawatirkan akan terjadinya
perforasi.

3. Tindakan pembedahan
Pembedahan dilakukan bila:
1. Abses disertai infeksi sekunder.
2. Abses yang jelas menonjol kedinding abdomen atau ruang interkostal.
3. Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
4. Rupture abses ke dalam rongga intraperitoneal /pleura/pericardial.

Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau


tindakan reseksi misalnya lobektomi.

2.13. Pencegahan ( Promotion and Prevention )

Karena amoebic liver abscess banyak ditemukan dinegara tropik


dan subtropik dengan sanitasi yang masih buruk seperti India, Pakistan,
Indonesia, Asia, Afrika dan Mexico, sebaiknya penderita atau individu
menjaga sanitasi agar tetap baik. Dan penderita juga harus makan makanan
yang higienis.
2.14. Komplikasi

1. Infeksi sekunder
Merupakan infeksi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2. Rupture atau pendarahan langsung
Organ atau rongga yang terkena tergantung pada letak abses, misalnya
abses di lobus kiri mudah pecah ke pericardial dan intraperitoneum.
Perforasi yang paling sering adalah ke pleuropulmonal (10-20%),
kemudian ke rongga intraperitoneum (6-9%) selanjutnya pericardium
(0,01%) dan organ-organ lain seperti kulit dan ginjal.
3. Komplikasi vaskuler
Rupture ke dalam vena porta, saluran empedu atau traktus
gastrointestinalis jarang terjadi.
4. Parasitemia, amebiasis serebral
E.histolytica dapat merusak aliran darah sistemik dan menyangkut di
organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi
fokal intracranial.

Telah diketahui abses hati amubik merupakan komplikasi ekstra intestinal


dari infeksi entamoeba hepalitika. Namun demikian abses hati amubik sendiri
dapat menyebabkan komplikasi. Adapun komplikasi yang sering ditemukan ialah
timbulnya perforasi dari abses. Perforasi dari abses tersebut akan dapat kerongga
dada (intratorakal), ke rongga perut (intraperitonial), dan keluar badan, tergantung
dari letak abses. Perforasi intratorakal dapat ke rongga pleura yaitu berupa
perforasi intrapleural dan perforasi kea rah rongga jantung (perforasi intra kardia).
Dari hasil penelitian penulis dari tahun 1986 menemukan 19 dari 59
penderita abses hati amubik dengan komplikasi, terdiri atas 15 perforasi
intrapleural, 2 perforasi intrakardial, dan 2 perforasi intraperitoneal.
Perforasi intrapleural terjadi karena letak abses yang besar di lobus kanan
atas dekat diafragma. Bisanya perforasi dari abses ini terlalu melalui tendo sentral
dari diafragma kanan yang menyebabkan timbulnya efusi atau empiema. Keluhan
yang sering diajukan penderita ialah timbulnya mendadak sesak nafas, batuk-

Thipo Ardini 028 Page


37
batuk dengan nyeri di dada kanan bawah disertai dengan panas badan. Untuk
mengurangi perasaan atau keluhan tersebut di atas biasanya tampak penderita di
dyspnoeu. Dada kanan tampak lebih cembung dengan pergerakan pernapasan
yang berkurang. Kadang-kadang teraba nyeri tekan di dada kanan bawah. Pada
perkusi terdengar pekak, dan pada saat auskultasi tidak terdengar suara
pernapasan. Disamping timbulnya efusi pleura dapat juga terjadi abses paru.
Komplikasi ini jarang ditemukan, dan pada penelitian penulis tidak menemukan
gambaran tersebut.
Bila letak abses hati di lobus kiri dapat dekat diafragma kiri, maka akan
dapat menyebabkan terjadinya perforasi intraperikardial, sehingga timbul efusi
pericardial. Keluhan yang diajukan yaitu merasa mendadak sesak napas, badan
panas, nyeri di dada kiri. Penderita lebih enak tidur dengan bantal tinggi. Tanda-
tanda temponade kardiak makin jelas. Sebagian akibat munculnya kompresi
miokardial. Umumnya penderita menjadi gelisah, karena sesak napas dan nyeri
dada. Seseorang penderita abses hati amubik dengan komplikasi efusi pericardial
biasanya memliki prognosis yang jelek, karena sering dapat berakibat fatal. Oleh
karena itu perlu segera dilakukan aspirasi cairan efusi perikarial atau dilakukan
tindakan pembedahan. Dari hasil pengalaman penulis salah seorang meninggal
dunia dan seorang lagi setelah dilakukan aspirasi cairan pericardial dan
pengobatan konservatif dapat hidup.
Pada abses di lobus kiri hati, gambaran seperti tersebut di atas tidak nyata.
Abses di lobus kiri hati, sering memberikan penekanan pada lambung, yang dapat
dilihat dengan foto lambung dengan kontras barium.
113 m 99 m
Sidik hati dengan bahan radioaktif. In atau Tc banyak sekali yang
menolong penentuan diagnosa, dengan dapat dilihat adanya tempat pengosongan
di daerah abses hati. Daerah yang kosong tersebut masih perlu dipikirkan
kemungkinannya dengan karsinoma hati. Bila mana dilakukan sidik hati ulangan
75
dengan Se Selenite tetap dijumpai daerah kosong (daerah dingin) maka
merupakan gambaran dari abses hati. Setelah penyakitnya sembuh, tempat
pengosongan akan terisi lagi. Perforasi intra peritoneal timbul bila letak abses
dekat permukaan hati sebelah distal baik di lobus kiri maupun di lobus kanan.
Penderita mengeluh mndadak perut terasa tegang dan nyeri berdenyut disertai
dengan panas badan meninggi. Keluhan semacam ini memperlihatkan tanda-tanda
abdomen akut. Penderita umumnya menjadi gelisah, karena tegangnya perut
disertai tanda-tanda peritonitis akuta. Bila ditemukan tanda-tanda tersebut di atas,
perlu segera dilakukan tindakan pembedahan. Dua orang penderita dengan
perforasi intraperitoneal yang ditemukan penulis selama 4 tahun, setelah
dilakukan pembedahan sito dan pengobatan anti amoeba menjadi baik kembali.
Komplikasi intraperitoneal umumnya mempunyai prognosis yang jelek, apalagi
bila tidak segera dilakukan tindakan pembedahan.

Thipo Ardini 028 Page


39
2.15. Prognosis

Factor yang mempunyai prognosis


a. Virulensi parasit
b. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
c. Usia tua, usia penderita, lebih buruk pada usia tua
d. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosis lebih buruk.
e. Letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau
multiple.
f. Stadia penyakit
g. Komplikasi

Bila terapi adekuat, resolusi abses akan sempurna tetapi imunitas tidak
permanen dan dapat terjadi lagi re-infeksi.
BAB III

KESIMPULAN

Abses hati merupakan infeksi pada hati yang di sebabkan bakteri, jumur,
maupun nekbrosis steril yang dapat masuk melalui kandung kemih yang
terinfeksi, infeksi dalam perut, dsb. Adapun gejala-gejala yang sering timbul
diantaranya demam tinggi, nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dll. Dan pada
umumnya diagnosis yang di pakai sama seperti penyakit lain yaitu pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, dan laboratorium. Secara konvensional
penatalaksanaan dapat dilakukan dengan drainase terbuka secara operasi dan
antibiotik spektrum luas.

Thipo Ardini 028 Page


41
DAFTAR PUSTAKA

Harrison, T.R., Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th ed., The McGraw-
Hill Companies, Inc., United States Amerika, 2008.

Tortora, Gerard J & Derrickson, Bryan, Principles of Anatomy and Physiology,


11th edition, hal: 918-921, John Wiley &Sons, United States Amerika, 2007.

Sherwood, Lauralee, Human Physiology from cell to systems, 6th edition, hal: 605-
610, Thomson Coorporation, United States Amerika, 2007.

Sulaiman, h.Ali, dkk., Gastroenterologi Hepatologi, edisi ke 2, hal: 395-401,


Sagung Seto, Bandung, 1997.

Hadi, Sujono, Gastroenterologi, 2nd ed, hal: 668-682, Alumni, Bandung, 2002.

Soeparman, dkk., Buku Ajar Penyakit Dalam Abses Hati Amoebik, jilid 1, edisi 1st,
hal:328-332, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001.

Michael F. Leitzmann, M.D., M.P.H. Recreational Physical Activity and The


Risk of Cholecystectomy in Women. The New England Journal of Medicine. 1999.

Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta. 1994

Victor P.Eroschenko. Atlas Histologi di Fiore. 9th ed. Jakarta:EGC. 2003

MP Sharma, Vineet Ahuja.Amoebic Liver Abscess. Avaliable from :


http://medind.nic.in/jac/t03/i2/jact03i2p107.pdf. Updated: June 2003.

Das könnte Ihnen auch gefallen