Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Pasien HIV/AIDS
Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional, dan
internasional dalam menghadapi HIV/AIDS
Empati
Solidaritas
Tanggung jawab
Konseling adalah proses pertolongan di mana seseorang dengan tulus ikhlas dan
tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari dirinya, mengenali, dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes sukarela merupakan
kegiatan konseling yang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum
atau sesudah tes darah di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih
dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat
persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar.
Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS. Konseling dilakukan
oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat,
pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater, atau profesi lain.
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang
sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya
antibodi HIV di dalam sampel darahnya.
Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara pasti
status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama
ini
Rahasia : Apapun hasil Tes ini (baik positif maupun negatif ) hasilnya hanya
boleh diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan
Informed consent adalah peresetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut (Permenkes, 1989)
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi hasil tes positif
atau negatif yang berupa konseling prates. Dalam menjalankan fungsi perawat
sebagai advokat bagi klien, sedangkan tugas perawat dalam in formed consent
telah meliputi tiga aspek penting yaitu :
Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya,
persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan
perawatan lain (Kelly 1997 dalam Chitty 1993). Persetujuan juga sebaiknya
dalam bentuk tertulis, karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien
untuk menyangkal persetujuan yang telah diberikannya di kemudian hari.
Depkes Afrika pada Bulan Desember 1999 mengeluarkan kebijakan tentang
perkecualian di mana informed consent untuk tes HIV tidak diperlukan, yaitu
untuk skrining HIV pada darah pendonor dimana darah ini tanpa nama. Selain itu
informed consent juga tidak diperlukan pada pemeriksaan tes inisial (Rapid Test)
pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang terpapar darah klien yang di curigai
terinfeksi HIV, sementara klien menolak dilakukan tes HIV dan terdapat sampel
darah.