Sie sind auf Seite 1von 18

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara


histologis jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan jaringan
ikat (fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti
ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan.1,2

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal,
yang mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen
atau defisiensi androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan
erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak
ditemukan pada pria kisaran umur 14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini
disebut juga Angiofibroma Nasofaring Belia.1,2,3

Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang


ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan
leher. Insidensi di berbagai negara diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per
50.000 dari jumlah keseluruhan pasien THT. Sedangkan di Indonesia dari
beberapa rumah sakit pendidikan melaporkan 2 sampai 4 kasus
angiofibroma nasofaring belia dalam 1 tahun. Namun demikian, tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring yang paling sering ditemukan.
Keterlibatan intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36% kasus dengan
glandula pituitari, fossa kranii anterior dan media sebagai bagian yang paling

Page | 1
sering terkena. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi
antara 0% hingga 57%.2,3

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif
berulang, obstruksi hidung dan adanya massa di nasofaring sangat
mendukung kecurigaan adanya angiofibroma.4

Pembedahan merupakan terapi pilihan utama meskipun sering


mengalami kesulitan, karena sulitnya mencapai daerah nasofaring,
perdarahan yang hebat, serta sifat tumor yang mengekspansif ke ruang-
ruang di sekitar nasofaring serta seringnya terjadi residif. Pengobatan lain
seperti pemberian sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak
dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor
dan mengurangi perdarahan durante operasi.4,5

Page | 2
BAB II

PEMBAHASAN

ETIOLOGI

Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui


secara pasti. Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk
mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal. 1,5

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring


terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau
periosteum di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago
atau periosteum tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada
akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang
vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal
dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. 1,5,6

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa


terjadinya angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari.
Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan
hormon androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan
adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia
penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring
dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang

Page | 3
dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah periosteum
sebagai reaksi terhadap hormonal.1,5

Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai


tumor vaskular yang mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam
bentuk pembuluh darah yang tidak beraturan pada angiofibroma
menyimpulkan bahwa tumor tersebut diakibatkan malformasi pembuluh
darah. Selain itu, ada pula yang menyatakan kemiripan angiofibroma dengan
jaringan erektil pada hidung dan menginterpretasikan angiofibroma sebagai
hamartoma akibat dari jaringan erektil kelamin yang terletak tidak pada
tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa tumor ini berasal dari sel
paraganglion nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari arteri
maksilaris. 5,6

Dari teori-teori yang telah disebutkan di atas, tetap tidak dapat


diketahui etiologi pasti dari angiofibroma nasofaring belia. Oleh karena itu
dewasa ini penelitian mulai dikembangkan ke arah adanya
ketidakseimbangan genetik sebagai etiologi angiofibroma nasofaring belia. 5

HISTOPATOLOGI

Secara histopatologis angiofibroma nasofaring mengandung dua unsur


yaitu jaringan pembuluh darah dan jaringan ikat fibrosa dengan sel-sel
bintang dan fibroblas muda. Dinding pembuluh darah tumor tidak
mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot sehingga mudah terjadi
perdarahan hebat bila tersentuh.

Pada tumor yang baru tumbuh, komponen pembuluh darah tampak


mendominasi dibandingkan jaringan ikat fibrosa yang hanya sedikit.
Sementara pada tumor yang sudah lanjut terjadi hal sebaliknya. Komponen
pembuluh darah dapat dilihat melalui arteriografi di mana pada tumor yang

Page | 4
masih baru tampak hipervaskularisasi daerah yang terdapat tumor,
sedangkan pada kasus yang lanjut gambaran vaskularisasi berkurang.

Bila dihubungkan dengan umur, maka perdarahan yang terjadi lebih


banyak pada penderita umur di bawah 15 tahun. Ini sesuai dengan teori
yang mengatakan bahwa dengan bertambahnya umur, angiofibroma
nasofaring akan mengandung lebih banyak jaringan ikat atau unsur
pembuluh darahnya berkurang.6,7

PATOFISIOLOGI

Angiofibroma berasal dari daerah yang luas pada dinding lateral


kavum nasi posterior yang merupakan pertemuan antara prosesus sphenoid
os palatina dengan pars horizontalis os vomer dan atap dari prosesus
pterigoideus. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah
posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh
membesar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring
mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa di atap rongga hidung posterior.8,9,10,11

Gambar 1: Lokasi tumor nasofaring21

Pada perluasan ke arah lateral tumor melebar ke arah foramen


sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior dinding maksila. Bila meluas terus akan masuk ke fossa
intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke
jaringan lunak antara otot maseter dan businator sehingga menimbulkan
pembengkakan pipi dan rasa penuh di wajah. Tumor dapat mengakibatkan
deformitas pada wajah bila tumor masuk ke fisura orbitalis superior. Apabila
Page | 5
tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan timbul
proptosis, bentuk wajah penderita tampak berubah seperti muka kodok,
yang merupakan gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”
dan dapat terjadi gangguan visus.1,8,9,10,11

Perluasan ke arah anterior yaitu kavum nasi akan mengisi rongga


hidung, mendorong septum ke arah kontralateral dan memipihkan konka.12

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal


yang menyebabkan erosi dasar fossa kranialis medialis melalui sepanjang
fisura pterigomaksilaris dan fisura orbitalis superior. Perluasan tumor ke
intrakranial akan menimbulkan kelainan neurologis.8,9

Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan


otitis media. Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan
penyumbatan pada ostium sinus sehingga terjadi sinusitis. Perluasan tumor
ke arah orofaring dapat menekan palatum molle sehingga menimbulkan
disfagia yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.
Selain itu tumor dapat meluas ke sinus sphenoid lewat dinding atas ke sinus
kavernosus dan fossa pituitari atau melalui pterigomaksila masuk ke fossa
serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari
sinus sphenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1,12,13

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring


sangat bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada
permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%)
adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya dan
epistaksis masif yang berulang. 8,11

Page | 6
Sedangkan penderita yang lanjut datang dengan keadaan umum yang
lemah, anemia, gangguan menelan, gangguan pernapasan karena
tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan
deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis
sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini
dikenal dengan “wajah kodok”. 1,8,9,10,11

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:1,8,9,10,11

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan


gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya
obstruksi hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan
sekret, sehingga timbul rinorea kronis.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged
nasal discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral)
dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia
hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke
intracranial.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba
eustachius.
6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi
menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat
penimbunan sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius
pada sepertiga atas septum nasi.
8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)
9. Nyeri telinga (otalgia)
10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),

Page | 7
11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang
meluas ke lateral.

Gambar 2: “Muka kodok”


pada penderita
angiofibroma nasofaring.22

DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor
setelah tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat
mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan,
atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi
pengangkatan tumor.14,15

Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis


massif yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada
wajah. Selain itu perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti
adanya penurunan berat badan dan kelelahan.14,15

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi anterior dan posterior akan


terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari
abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan
licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah
muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena

Page | 8
lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1,14,15

Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa


jaringan lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi
dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi
kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring
belia.16

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (Rontgen kepala AP, lateral


dan Waters) akan terlihat gambaran klasik yang dikenal sebagai tanda
“Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang
sehingga fisura pterigopalatina melebar.16

Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa


pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa
di daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya
erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat
kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi
tulang ke jaringan sekitarnya. 1,16

Penciteraan Resonansi Magnetik (MRI) dapat digunakan untuk


menegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-
kasus yang telah menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan
resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan
suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater,
arteri karotis interna, dan sinus kavernosus).16

Page | 9
Gambar 3: MRI yang memperlihatkan massa pada posterior nasofaring
hingga sinus sphenoid, prossesus pterigoideus dan fossa pterigopalatina.23

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh


darah pemasok utama untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan
tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris
interna homolateral. 1

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat penderajatan tumor


menurut Chandler sebagai berikut:1

Stadium 1 : tumor di nasofaring

Stadium 2 : tumor meluas ke rongga hidung dan atau ke sinus sphenoid.

Stadium 3 : tumor meluas ke salah satu atau lebih dari sinus maksila dan
ethmoid, fossa pterigomaksila dan infratemporal, rongga mata
dan atau pipi.

Stadium 4 : tumor meluas ke intrakranial.

TERAPI

Terapi pilihan utama untuk angiofibroma nasofaring adalah


pembedahan. Kesulitan utama dalam tindakan pembedahan adalah
perdarahan hebat yang dapat mencapai 2000 cc sampai 3000 cc dalam
waktu relatif singkat, serta tindakan untuk mengangkat jaringan tumor pada
daerah yang relatif sempit. 4

Page | 10
Persiapan pra bedah yang baik sangat membantu keberhasilan dalam
pengangkatan angiofibroma. Embolisasi arteri utama, yaitu arteri maksilaris
interna dapat mengurangi perdarahan dan mempermudah pengangkatan
tumor. Embolisasi lebih disukai dibandingkan dengan ligasi arteri karotis
eksterna, karena dapat mencapai jaringan tumor, sehingga menimbulkan
trombosis intravaskular. Di samping itu ligasi arteri karotis eksterna tidak
memberikan hasil yang memuaskan dikarenakan adanya sistem kolateral.
Embolisasi dilakukan 2-5 hari sebelum operasi, biasanya dengan memakai
partikel-partikel kecil gel foam. Pada arteri-arteri lain seperti arteri faringeal
asenden, arteri oksipitalis dan arteri palatum mayor sering dilakukan
embolisasi, terutama untuk tumor yang sudah meluas. Komplikasi yang
dapat ditemukan adalah demam dan nyeri fasial serta masuknya emboli ke
sistem intrakranial. 4,13,16

Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi


tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral,
rinotomi sublabial (sublabial midfacial degloving) atau kombinasi dengan
kraniotomi apabila meluas ke intrakranial.1,4,13,16

Pendekatan Transpalatal

Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor di nasofaring yang


meluas ke sphenoid dan nasal posterior. Banyak jenis insisi palatum, namun
yang paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf “U”. insisi tersebut
dapat diperluas ke tuberositas maksila dan bergabung dengan insisi
sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum. Setelah dilakukan insisi
berbentuk huruf “U”, jabir mukoperiosteal diangkat ke atas, sedangkan
tulang palatum durum posterior dibuang. Bila tumor sudah lengkap terlihat
maka tumor dapat diangkat bersama-sama dengan mukoperiosteum
nasofaring. 4,13,16

Pendekatan Rinotomi Lateral

Page | 11
Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson digunakan untuk mencapai
rongga hidung dan sinus maksilaris. Bila ingin mencapai fossa
pterigopalatina, insisi dapat diperluas ke tuberositas maksila. Kekurangan
dari pendekatan rinotomi lateral adalah terdapatnya jaringan parut pada
wajah dan biasanya dilakukan hanya pada tumor yang tumbuh unilateral.
Oleh karenanya pendekatan ini perlu dikombinasi dengan pendekatan
transpalatal untuk dapat mengangkat tumor secara utuh. 4,13,16

Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)

Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi sublabial bilateral dan


transversal maksila. Pendekatan degloving ini tidak menimbulkan parut di
wajah ataupun gangguan fungsi palatum. Keuntungan lainnya adalah
pendekatan ini dapat mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas,
yaitu rongga hidung, nasofaring, dan daerah muka sepertiga tengah, sinus
maksilaris, fossa pterigomaksila serta fossa infratemporal. Conley dan Price
mengembangkan teknik operasi ini dengan menggabungkan empat macam
insisi yaitu insisi sublabial bilateral pada sulkus ginggivobukal, insisi
transfiksi yang memisahkan tulang rawan lateral atas dan jaringan lunak
hidung serta insisi apertura piriformis pada kedua sisi. Setelah itu keempat
insisi dihubungkan, jaringan muka sepertiga tengah dapat ditarik ke kranial
sampai mencapai sutura nasofontal dan lengkung infraorbita, serta dapat
dilakukan reseksi tulang untuk
mencapai lapangan operasi yang
diinginkan. Komplikasi yang didapat
adalah stenosis vestibulum.16,17

Gambar 4: operasi dengan pendekatan sublabial (midfacial degloving). 24

Page | 12
Pendekatan Kraniotomi

Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke intrakranial, dapat


dilakukan kombinasi pendekatan intrakranial dan ekstrakranial rinotomi
bilateral. Bila tumor intrakranial cukup kecil dan mudah digerakkan, maka
dapat diangkat bersamaan dengan tumor ekstrakranial melalui lubang defek
tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi bila tumor intrakranial
agak besar, harus direseksi tepat pada defek tempat masuknya ke fossa
media.16,17

Terapi radiasi dan terapi hormonal biasanya diberikan diberikan


sebelum melakukan pembedahan. Hal ini dilakukan berdasarkan bukti pada
pemakaian hormon dapat menyebabkan maturasi kolagen dan bersamaan
dengan ini menyebabkan berkurangnya vaskularisasi tumor. Terapi estrogen
diberikan dengan dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan,
terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran tumor
30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula
diberika preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari
selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi.
Efek samping pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar
testosteron plasma dan dapat terjadi atropi testis. Ketergantungan
angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen menjadikan terapi anti
androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk menghambat dan
menekan plasma testosteron. Terapi ini biasa diberikan pada kasus-kasus
yang tumornya sulit diangkat sebersih mungkin, seperti yang telah meluas
ke intrakranial.17,18

Pemakaian radiasi pada kasus angiofibroma harus selektif, misalnya


pada kasus-kasus yang sering mengalami kekambuhan dan khususnya pada
kasus yang tumornya meluas ke intrakranial sehingga sulit dilakukan operasi
(inoperable). Radiasi yang diberikan selama 4-5 minggu dapat membuat
80% angiofibroma mengalami involusi permanen. Efek ionisasi radiasi

Page | 13
menyebabkan tumor akan mengkerut dan menjadi keras sehingga terjadi
pengurangan vaskularisasi. Komplikasi yang tidak diharapkan adalah
timbulnya katarak bilateral, krusta, perdarahan hidung serta malignansi
paska radiasi.19

Terapi lain yang dapat diterapkan adalah pemberian obat-obatan


sitostatika berupa kombinasi daksorubisin 60 mg IV dan dakarbasin 250 mg
IV selama lima hari atau kombinasi vinkristin 2 mg IV, daktinomisin 0,015 mg
IV dan siklofosfamid 10 mg IV. Komplikasi yang sering muncul adalah
mielosupresif yang bersifat reversibel. 19

PROGNOSIS

Prognosis angiofibroma pada penderita muda adalah baik meskipun


kekambuhan merupakan persoalan penyakit karena pengaruhnya terutama
berhubungan dengan kondisi psikologis penderita. Angka kekambuhan
setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.Salah satu
penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40 penderita yang
dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai
12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar 3%. 2,3,20

Page | 14
BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara


histologis jinak tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor
ini banyak ditemukan pada pria kisaran umur 14-25 tahun. Etiologi tumor ini
masih belum jelas, diduga akibat ketidakseimbangan hormonal yaitu
overproduksi estrogen atau defisiensi androgen.

Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang


ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan
leher. Insidensi di berbagai negara diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per
50.000 dari jumlah keseluruhan pasien THT.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif
berulang, obstruksi hidung dan adanya massa di nasofaring sangat
mendukung kecurigaan adanya angiofibroma.

Pembedahan merupakan terapi pilihan utama meskipun sering


mengalami kesulitan, karena sulitnya mencapai daerah nasofaring,
perdarahan yang hebat, serta sifat tumor yang mengekspansif ke ruang-
ruang di sekitar nasofaring serta seringnya terjadi residif. Angka
kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.

Page | 15
Daftar Pustaka

1. Arsyad S Efiaty, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.

2. Pandi PS, Rifki N. The Surgical Management of Juvenile Nasopharyngeal


Angiofibroma. Third edition. Bali: Asia Oceania Congress of OLR, 1975.

3. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile


Nasopharyngeal Angiofibroma: Management and Therapy. Laryngoscope:
2001.

4. Bull, Kerr. Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology. London:


Butterworth, 1987

5. Mokhtar Furaq, Ghanimah. Hormonal Receptor in Juvenile


Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope, 1987.

6. Shacheen. Angiofibroma. In Scott -Brown’s Otolaryngology. London:


Butterworth, 1987.

7. Jone, Lawrence. Juvenile Angiofibroma. Arch Otolaryngology Head and


Neck Surgery. 1986.

8. Adams, Boeis. Fundamental of Otolaryngology. Sixth ed. Philadelphia:


Saunders, 1987.

Page | 16
9. Sjahril, Munir. Angiofibroma Nasofaring dalam Penatalaksanaan
Penyakit dan Kelainan Telinga, Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1992.

10. Toomey, JM. Cysts and Tumors of the Pharynx in Paparella


Otolaryngology. Philadelphia: Saunders, 1973.

11. Ballenger. Disease of the Nose, Ear, Throat, Head and Neck. 13th ed.
Illinois: Lea and Feblinger, 1993.

12. Tandon, Kackeer. Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of


Laryngology and Otology. 1988.

13. Antonelli, Capiello. Diagnosis, Staging and Treatment of Juvenile


Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope, 1987.

14. PS, Pandi. Angifibroma Nasofaring Juvenil dengan Pertumbuhan ke


Pipi. Bandung: Konas Perhati I, 1969.

15. RH, Miller. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinus. In Disease of
the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Ed. Ballenger, 14th ed, 1991.

16. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery for


Juvenille Angiofibroma: When and How. Laryngoscope, 2003.

17. Darmabakti. Angiofibroma Nasofaring di Bagian THT FKUI-RSCM.


Jakarta, 1989

18. Green, Mierrau. Tumors of the Head and Neck in Children. New York:
1983.

19. Geofert, Cangir. Chemotherapy for Aggressive Juvenile


Nasopharyngeal Angiofibroma, Staging and Management. Ann
Otolaryngology. 1984

Page | 17
20. Morrison. Disease of the Ear, Nose and Throat. 2nd ed. New York:
Appleton, 1995

Gambar 1: www.csmc.edu/images/nasopharyngeal_tumor_8082

Gambar 2: www.monografies.com/trabajos63/alteracrones

Gambar 3: www.ajronline.org/cgi/content_nwfull/189

Gambar 4: www.scielo.br/img/ftpe/rboto

Page | 18

Das könnte Ihnen auch gefallen