Sie sind auf Seite 1von 4

JIKA BUKAN KITA, MAKA SIAPA LAGI

Lara Oktaviana

Pagi itu udara terasa sangat segar. Setelah semalaman hujan cukup deras. Jalanan basah penuh
genangan. Belum lagi tanah kuning yang membuat jalanan menjadi sangat licin. Hal ini sangat
menyulitkan masyarakat sekitar untuk beraktifitas, apalagi berkendara. Jika tidak terbiasa dan
kurang berhati-hati, sudah dipastikan akan terjatuh atau terjebak lumpur kuning.

“Mit, kamu mau ikut aku ke pasar gak?” Tanya Ratna pada mitha yang tengah mencuci piring
sisa sarapan miliknya.

Ratna dan Mitha adalah mahasiswi tingkat akhir yang tengah berlibur di desa Ratna, desa
Teluk. Selama berlibur Mitha tinggal di rumah Ratna. Rumah Ratna bukanlah rumah yang
mewah, hanya rumah sederhana yang bagian depannya terdiri dari bangunan beton dan
dapurnya masih berdinding papan, berlantai semen. Di desa Teluk sendiri hanya Ratna yang
bersekolah tinggi sampai ke jenjang kuliah, sedangkan para gadis seusianya banyak yang sudah
berumah tangga dan memiliki anak. Selain dari niatnya sendiri, Ratna melanjutkan
pendidikannya ke jenjang kuliah karena keinginan dan cita-cita dari almarhum ayahnya.

“kemana na?” sahut Mitha, menghampiri ratna yang sedang bersiap-siap.

“kepasar, nganterin barang dagangan sisa ibu yang belum kebawa.” Terang Ratna, sambil
menyiapkan barang yang akan dibawa ke pasar.

“Mau dong ikut, tapi aku ganti bentar ya.” Mitha bergegas lari kekamar dan mengenakan jilbab
miliknya.

Ibu Ratna seorang janda anak dua, Ratna kehilangan ayahnya ketika dia duduk di bangku
Sekolah Menegah Pertama. Ratna juga memiliki saudara laki-laki yang berusia 14 tahun. Pagi-
pagi sekali ibunya sudah berangkat ke pasar menjual sayuran dan rempah yang mereka
dapatkan dari berkebun milik keluarganya. Orang tuanya sudah mulai berdagang dari ratna
masih kecil hingga sekarang ratna menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi akan
melaksanakan wisudanya.

“Dah, yuk berangkat.” Ucap Mitha di belakang Ratna dengan semangat.

*****
Diperjalanan, Ratna tiba-tiba menghentikan laju motor matic miliknya, sehingga Mitha
tersentak kedepan sambil meringis.

“Na… yakin kita lewat jalan ini?” lirih Mitha, terbelalak menatap jalanan didepannya yang
menantang adrenalin. Wajahnya yang tadi semringah seketika berubah meringis tak yakin.

“Iya Mit, cuma ini jalan satu-satunya ke pasar.” Ratna sebenarnya sudah terbiasa, lain halnya
dengan Mitha. Hanya saja karena selama ini dia dikota sudah lama tidak berjumpa dengan
jalanan licin dan belumpur didesanya. Yang menurutnya semakin parah.

“Yaudah, aku mau jalan kaki aja. Ga lucu kalo nanti tiba-tiba kamu oleng na, haha.” Kekeh
Mitha sambil melepas sandal dan menggulung tinggi celananya, agar tidak terkena kotoran
tanah kuning.

Ratna bersiap, menarik pegangan gas motornya dengan perlahan, menyusuri jalananan yang
licin dengan berhati-hati. Sedangkan Mitha menyusul dibelakang sembari menenteng kedua
sandal miliknya. Bagi Ratna ini sudah biasa didesanya. Terutama jika malam harinya hujan,
tidak heran paginya jalanan didesanya akan berubah menjadi tanah kuning yang licin.

Jalanan di desa Ratna memang masih belum dapat perhatian dari pemerintah. Bisa dibilang
masih pelosok. Dari sebelum ratna lahir, jalanan didesanya belum ada perbaikan ataupun
sentuhan dari pemerintah, padahal jalan tersebut merupakan jalan penghubung antar desa.
Warga didesanya pun beraktifitas hanya menggunakan alternative jalan tersebut.

“Kok bisa sih jalan didesa mu separah ini? Ga ada diperbaiki yah na?” Rutuk Mitha yang tak
habis pikir.

“Seharusnya kalian warga desa Teluk harus ambil tindakan. Speak up na.” sambung Mitha.

“Ini kan sudah bertahun-tahun, kemana saja dana yang digunakan untuk membangun
infrastruktur desa.” Ucap Mitha geram.

Ratna hanya tersenyum getir, ia sudah bosan mendengar janji-janji yang diberikan para pejabat
daerah yang akan memperbaiki jalanan tapi sampai saat ini belum ada yang terealisasi seperti
yang diharapkan para warga. Mungkin karena mereka berada di pelosok, sehingga tidak terlalu
diperhatikan keberadaanya. Toh rata –rata penduduknya banyak yang tidak bersekolah, paling
mentok hanya tingkat menengah pertama. Mereka juga sudah terbiasa dan tidak ada yang
berani untuk speak up mengenai hal tersebut.

*****
Sesampainya di rumah, sehabis dari pasar Ratna dan Mitha menuju kebelakang untuk
membersihkan kotoran tanah kuning yang memenuhi pakaian mereka berdua. Begitu juga
dengan motor maticnya, sangat kotor dan lengket.

Setelah membersihkan tubuh, Mitha bergegas masuk kekamar, membuka laptop. Sambil
menunggu proses loading, Mitha menegak air minum yang ia bawa dari dapur. Setelah laptop
menyala, mitha langsung menuju pada laman web miliknya, dengan gesit tangannya
memainkan benda modern tersebut.

“Dizaman modern seperti saat ini, rupanya masih ada daerah yang jalannya belum tersentuh
oleh mesin tendem roller. Entah kemana pergi anggarannya.”

Begitulah tulisan yang Mitha bagikan di social media. Selain itu, Mitha juga menambahkan
beberapa foto dan video. Untungnya, Mitha sempat memfoto dan merekam kondisi jalanan
yang rusak parah tadi di handphone miliknya. Di video tersebut terekam dimana Ratna
membawa motor miliknya dengan susah payah, bahkan beberapa kali ban motornya tergelincir.
Foto dan video tadi disebarkan Mitha ke semua sosial media seperti di Twitter, tiktok,
Instagram, Facebook dan web miliknya. Berharap postingannya di notice dan menjadi viral
sehingga pemerintah pusat dapat mengetahui dan memberikan perhatian khusus terhadap desa
Teluk.

Biarpun warga desa Teluk berada di ujung pelosok, warganya juga berhak mendapatkan
fasilitas infrastruktur yang layak, terutama jalan yang merupakan penghubung segala kegiatan
antar desa. Mitha berfikir disaat seperti ini lah peran ia dan Ratna diperlukan sebagai seorang
mahasiswa yang telah banyak belajar dari kota besar, sehingga dapat diterapkan dalam
lingkungan desa maupun daerah, serta membantu warga desa Teluk untuk berbicara dan
menyampaikan aspirasi mereka melalui dirinya dan Ratna.

*****
Ratna menyusul masuk ke kamar, berdiri di belakang Mitha yang tengah mengotak atik
laptopnya. Perlahan ia meng-eja apa yang diketik oleh Mitha.

Mitha pun menoleh, menghentikan kegiatannya sesaat, menatap Ratna sembari tersenyum
meyakinkan.

“Jika bukan kita, siapa lagi na?”

Ratna pun tersenyum, mengangguk setuju.

******

Tamat

Pesan Moral

Dari cerpen diatas, pesan moral yang dapat kita ambil adalah :

1. Jangan ragu dan takut untuk menuntut apa yang menjadi hak kita. Terutama jika kita
adalah seorang pemuda yang saat ini dituntut untuk memajukan bangsa, dan daerah.
Keberadaan kita para pemuda dan perannya sangat dinanti oleh setiap masyarakat yang
terhalang dan tidak berdaya dalam menuntut hak milik mereka. Maka, disanalah peran
kita sangat dibutuhkan dengan menyuarakan suara dan mendengarkan aspirasi dari
mereka, apalagi pada era digital seperti saat ini yang semuanya dapat dijangkau dan
diakses dengan mudah dan cepat.
2. Apabila kita sebagai pemimpin suatu daerah yang telah berjanji sebelumnya, maka kita
harus menepati janji tersebut. Karena janji yang sudah kita berikan adalah harapan besar
bagi masyarakat yang sudah lama menantikannya. Dimana janji adalah hutang.

Das könnte Ihnen auch gefallen