Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
2.BP.BLOGSPOT
B9
Tanwir al-Qulub
Telah menjadi keharusan atas umat yang hidup pada akhir zaman ini untuk ber-taqlid (mengikutiRed) kepada imam-imam mujtahid.
ALADIN.CO.ID
itab Tanwir al-Qulub fi Muamalati Allami al-Ghuyub (Tanwir al-Qulub) adalah sebuah kitab yang masyhur di dunia Islam. Kitab ini adalah salah satu kitab wajib yang dipelajari pada hampir seluruh pesantren di Indonesia, khususnya pesantren salafiyah. Penulisnya adalah Syekh Muhammad Amin al-Kurdi yang kadang kala juga disebut Syekh Sulaiman al Kurdi. Beliau dilahirkan pada paruh kedua abad ke-13 di Kota Irbil, dekat Kota Mosul di Irak. Kitab Tanwir al-Qulub dibagi atas tiga bagian besar. Pertama, bagian aqidah biddiniyyah terdiri atas tiga bab. Kedua, bagian fikih terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal. Dan ketiga, bagian tasawuf dibagi atas 22 pasal. Pada pembahasan akidah, dengan terang-terangan Syekh Amin al-Kurdi mengatakan bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jamaah al-Asyariyah dan Maturidiyah saja dengan menyertakan dalil-dalil aqli (akal) dan naqli (nash) serta menolak syubhat (samar dan meragukanRed) yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah (halaman 66). Syekh al-Kurdi mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib diimani, antara lain Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil hawadits, Qiyamuhu binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama, Bashr, Kalam, Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Samian, Kaunuhu Bashiran, dan Kaunuhu Mutakalliman. Dan, 20 sifat yang mustahil atas Allah antara lain adalah Adam, Huduts, Fana, Mumatsalatuhu lil hawadits, Ihtiyaj ila mahalin wa mukhashashin, Taaddud, Ajzu`an mumkinin, Karahah, Jahil, Maut, Shamam, Ama, Bukm, Kaunuhu `Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Ashamm, Kaunuhu Ama, dan Kaunuhu Abkam. Adapun sifat Jaiz, yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Dalil atas sifat ini adalah surat Alqashash ayat 68, Dan, Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Dalam bab fikih, ulama asal Mosul ini menjelaskan bahwa kitabnya secara lengkap mengulas permasalahan fikih Imam Syafii. Meskipun pembahasannya tidak dilakukan secara panjang lebar, hal itu mencukupi bekal untuk para pelajar pesantren dalam memahami ilmu fikih Mazhab Syafii. Sebab, di samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW. Dibandingkan dengan kitab-kitab sejenisnya, misalnya kitab Kifayah al-Akhyar karangan Imam Taqiyuddin, kitab Tanwir al-Qulub ini memiliki keunggulan tersendiri. Dalam kitab ini, terdapat pembahasan bab Faraidh (warisan) yang cukup luas dan tidak terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar itu. Sedangkan, dalam pembahasan tasawuf, Syekh alKurdi memulainya dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawuf. Pertama, takwa kepada Allah, wara, dan istikamah. Kedua, mengikuti sunnah Nabi SAW dalam perkataan dan perbuatan. Ketiga, memalingkan diri dari makhluk, bersabar, dan bertawakal kepada Allah. Empat adalah ridha. Lima, taubat dan syukur kepada Allah. Sedemikian kokohnya pemahaman pengarang atas tiga prinsip dasar: akidah, fikih, dan tasawuf itu, Syekh Amin al-Kurdi berkata dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat yang hidup pada akhir zaman ini untuk ber-taqlid (mengikutiRed) kepada imam-imam mujtahid dari paham Ahlussunnah dan imam mazhab yang empat saja. Dengan mengikuti mereka, berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, lanjutnya, barang siapa yang tidak ikut salah seorang dari para imam ini (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) dan mengucapkan bahwa dia terlepas dari mazhab yang empat serta hanya menggali langsung dari kitab Alquran dan sunnah, orang terse-
SUBJECTIVE
Timur Tengah bernama Muhammad Riyadl. Kitab tersebut berjudul Tanwir al-Qulub fi Muamalati Allam al-Ghuyub, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, cetakan pertama tahun 1995 M. Kitab ini dipenuhi komentar dan catatan kaki. Di dalam kitab yang tebalnya mencapai 621 halaman ini, Muhammad Riyadl membantah bahkan menyatakan sesat beberapa masalah yang telah dibahas oleh Syekh Muhammad Amin al-Kurdi. Kritikan terbanyak dilontarkan pada pembahasan akidah (ushuluddin) dan Tarekat Naqsyabandi. Salah satu kritikan Muhammad Riyadl yang agak keras adalah masalah sifat wujud Allah. Dia mengatakan wajib meyakini wujud Allah secara zahiriyah apa yang tertulis pada ayat Alquran dengan menolak takwil. Sehingga, jika ditanyakan, Di mana Allah?, wajib menjawab bahwa Allah ada di seluruh tempat. Namun, keberadaan Allah di seluruh tempat itu adalah Ilmu-Nya dan bukan dengan Zat-Nya (sebuah keterangan yang jelas-jelas muncul dari hasil takwil). Kemudian, beliau mengatakan lagi bahwa wajib meyakini Allah itu dengan Zat-Nya bertempat di langit-Nya, di atas Arasy-Nya, dan di atas segala yang paling tinggi sesuai dengan Keperkasaan dan Keagungan-Nya! Sebagai penyokong pendapatnya ini, dikemukakannya dalil, Dialah Tuhan yang di langit. (QS Alzukhruf: 84). Firman Allah, Tuhan yang Maha Penyayang duduk di atas Arasy, (QS Thaha ayat: 5). (Lihat halaman 30). Hal tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Syekh Amin al-Kurdi yang meyakini Allah itu ada tanpa memerlukan tempat, tanpa memerlukan waktu, dan tidak memiliki pencipta. Hal ini senada dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah yang meyakini bahwa Allah maujud bi laa makan, wa laa zaman (Allah ada tanpa tempat dan Allah ada tanpa waktu). Imam Hanafi, seorang imam dari generasi Salaf asShalih, dalam kitabnya al-Washiyyah, mengatakan, Penduduk surga melihat Allah dengan pasti tanpa menyifati-Nya dengan sifat benda, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan tanpa berada di satu arah pun. (Tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di bumi, dan tidak di langitPen). Sementara itu, Imam Ali bin Abi Thalib berkata, Allah itu ada sebelum adanya tempat dan sekarang (setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti semula, yakni ada tanpa tempat. (Lihat kitab al-Farq baina al-Firaq halaman 333). Penulis mencoba meneliti ayat Alquran yang dikemukakan sebagai dalil oleh Muhammad Riyadl. Ternyata, ayat itu dipotong sedemikian rupa sehingga tidak sempurna lagi wujud dan maksud yang sebenarnya. Seharusnya, ayat tersebut berbunyi, Dan, Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Azzukhruf: 84). Sebagai catatan bagi pembaca, kata yang disembah adalah makna takwil yang dilakukan mufasir ahli sunnah. Sayangnya, secara sengaja Muhammad Riyadl telah memotong ayat itu sampai kepada bunyi Dialah Tuhan di langit saja dengan menghilangkan kalimat sambungan berikutnya yang sangat penting dari ayat ini. Semestinya, dia tidak boleh menghilangkan pula bunyi kalimat berikutnya, Dan, Tuhan (yang disembah) di bumi, agar para pembacanya tahu ada juga Tuhan di bumi. Dalam kaidah ilmiah, perbuatan menggunting dan memotong dalil agar sesuai selera dan dapat dipergunakan untuk membela paham sendiri adalah perbuatan tercela yang pada ujungnya akan merugikan umat dan diri sendiri. Bagaimanapun para pembaca yang kritis akan mengetahui juga perbuatan curang itu setelah meneliti dalil-dalil yang dikemukakan dengan merujuk kepada sumber dalilnya yang asli. Wallahualam. KH Tengku Zulkarnain